Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
1.1. Latar Belakang Gagal jantung merupakan suatu kondisi yang telah diketahui selama berabad-abad namun penelitian epidemiologi sulit dilakukan karena tidak adanya definisi tunggal kondisi ini. Gagal jantung merupakan suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan tubuh. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas mengenai disfungsi ventrikel. Menurut Paul Wood (1958), gagal jantung adalah suatu sindroma dimana disfungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup.1 Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak nFAas, fatigue, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema, dan tanda-tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. Sekitar 3-20% populasi mengalami gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia, yaitu 100 per 1000 orang pada usia di atas 65 tahun, dan angka ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan hidup setelah infark miokard akut. Di Inggris, sekitar 100.000 pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun untuk gagal jantung.2 Menurut ESC (European Society Of Cardiology), sekurang-kurangnya 15 juta penderita gagal jantung di 51 negara Eropa. Prevalensi gagal jantung asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-20%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diberbagai tempat di Indonesia, penyakit katup jantung menduduki urutan ke-2 setelah penyakit jantung koroner dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung.3 Atrial fibrilasi merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan paling sering menjadi penyebab seorang harus mengalami perawatan di rumah sakit. Walaupun bukan merupakan keadaan yang mengancam jiwa secara langsung, tetapi atrial fibrilasi berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 2,2 juta pasien FA dan setiap tahun ditemukan 160.000 kasus baru. Pada populasi umum prevalensi FA terdapat diameter 1-2% dan meningkat dengan 1
bertambahnya umur. Pada umur di bawah 50 tahun prevalensi FA kurang dari 1% dan meningkat menjadi lebih dari 9% pada usia 80 tahun. Lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan wanita, walaupun terdapat kepustakaan yang mengatakan tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. FA merupakan faktor resiko independen yang kuat terhadap kejadian strok emboli. Kejadian strok iskemik pada pasien FA non valvular ditemukan sebanyak 5% per tahun, 2-7 kali lebih banyak dibandingkan pasien tanpa FA. Pada studi Framingham risiko terjadinya strok emboli 5,6 kali lebih banyak pada FA non valvular dan 17,6 kali lebih banyak pada FA valvular dibandingkan dengan kontrol.3 Defek septum atrium merupakan keadaan dimana terjadi defek pada bagian septum antar atrium sehingga terjadi komunikasi langsung antara atrium kiri dan kanan. Defek septum atrium sering tidak terdeteksi sampai dewasa karena biasanya asimptomatik dan tidak memberikan gambaran diagnosis fisik yang khas. Lebih sering ditemukan secara kebetulan pada pemerikssaan rutin foto toraks atau ekokardiografi. Walaupun angka kekerapan hidup tidak seperti normal, cukup banyak yang bertahan hidup sampai usia lanjut.4
1.2. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, pengobatan, dan prognosis gagal jantung yang disebabkan oleh penyakit jantung bawaan serta kelainan yang menyebabkan gangguan irama jantung yaitu atrial fibrilasi. Selain itu penulisan referat ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior di Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler RS Haji Adam Malik Medan.
Definisi Gagal jantung adalah sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak nFAas dan fatik (saat istirahat dan saat beraktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana fungsi jantung sebagai suatu pompa tidak adekuat untuk mengirimkan darah kaya oksigen ke seluruh tubuh.5 Gagal jantung kongestif adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang dan disebabkan oleh (1) kegagalan kontraksi ventrikel (impaired ventricular contractility) , (2) Kegagalan pengisian ventrikel( impaired ventricular filling) (3) peningkatan FAterload.6 Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan-perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel dan aktivasi sistem simpatis.
Epidemiologi Secara epidemiologi, 1% dari orang berusia diatas 50 tahun akan menderita gagal jantung, sekitar 5% dari usia 75 tahun keatas dan 25% dari usia 85 tahun keatas akan menderita gagal jantung.Lebih dari 3 juta orang akan menderita CHF, dan lebih dari 400.000 penderita baru muncul setiap tahunnya. Angka prevalensi kejadian CHF adalah 1-2%. Prevalensi terjadinya CHF lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita pada pasien berusia 40-75 tahun. Tidak ada perbedaan angka kejadian CHF pada pasien berusia diatas 75 tahun. Prevalensi gagal jantung asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-20%. Pada Negara tertentu mortality gagal jantung telah menurun dengan terapi yang moden. Kira-kira 50% penderita gagal jantung meninggal setelah 4 tahun dan 40% pasien yang masuk rumah sakit dengan gagal jantung meninggal atau kambuh dalam setahun.7
Klasifikasi Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana fungsi pompa jantung menjadi berkurang dan tidak adekuat. Akibatnya, darah menjadi kurang efisien pada sistem sirkulasi mengakibatkan peninggian tekanan pada pembuluh darah dan mendorong cairan pada pembuluh darah masuk ke jaringan tubuh. Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru. Jika terjadi gagal jantung kiri, cairan akan terkumpul pada paru-paru (edema pulmonal). Adanya cairan berlebihan pada paru (kongesti) akan menyebabkan proses pernFAasan yang terganggu ketika proses inspirasi. Gejala klinis yang dapat timbul berupa dyspneu deffort, ortopnea, dyspneu nocturnal paroxismal, mudah lelah, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, suara jantung tambahan S3 dan S4, pernFAasan cheyne stokes, takikardi, pulsus alternans, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/ sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan.
New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas, yaitu: 1. Kelas I, bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan. 2. Kelas II, bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan. 3. Kelas III, bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan. 4. Kelas IV, bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring.5
Etiologi Penyebab gagal jantung kiri: Systolic dysfunction (a) kegagalan kontraktilitas- miokard infark,transient miokard ischemia, volume overload ( mitral regurgitasi dan aortic regurgitasi) dan dilatasi kardiomiopati. (b) Peningkatan FAterload aortic stenosis dan hipertensi
Diastolic dysfunction (a) Kegagalan relaksasi ventrikular LVH, hypertrophic cardiomyopathy, restrictive cardiomyopathy, transient myocardiac ischemia. (b) Okstruksi pengisian ventrikel kiri mitral stenosis dan pericardiac constriction atau tamponade. Penyebab gagal jantung kanan : (a) Penyakit jantung gagal jantung kiri, katub pulmonal stenosis, infark ventrikel kanan (b) Penyakit parenkim pulmonal COPD, instertial lung disease( eg. Sarcoidosis), adult respiratory distress syndrome, infeksi paru yang kronik dan bronchietasis. (c) Penyakit vaskular pulmonal pulmonary embolism dan primary pulmonary hipertensi.8
Patofisiologi Gagal jantung kongestif dapat dilihat sebagai suatu kelainan yang progresif, dapat terjadi dari kumpulan suatu kejadian dengan hasil akhir kerusakan fungsi miosit jantung atau gangguan kemampuan kontraksi miokard. Beberapa mekanisme kompensatorik diaktifkan untuk mengatasi turunnya fungsi jantung sebagai pompa, di antaranya sistem adrenergik, renin angiotensin ataupun sitokin. Dalam waktu pendek beberapa mekanisme ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal, menghasilkan pasien
asimptomatik. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan berjalan seiring waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan suatu keadaan remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang simptomatik. Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal jantung seperti (1) mekanisme Frank-Starling, (2) neurohormonal (3) ventricular hipertrofi dan remodeling. Penurunan stroke volume akan meningkatkan end sistolic volume (ESV) sehingga volume dalam ventrikel kiri meningkat. Peningkatan volume ini akan meregang ventrikel kiri sehingga otot jantung akan berkontraksi dengan lebih kuat untuk meningkatkan stroke volume (Frank-Starling mechanism) dan cardiac output untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh. Mekanisme kompensasi ini mempunyai batasnya. Pada gagal jantung, penurunan cardiac output akan merangsang sistem simpatis sehingga meningkatkan kontraksi jantung sehingga stroke volume meningkat dan cardiac output meningkat.
Penurunan cardiac output juga merangsang renin angiotensin sistem dan merangsang vasokonstriksi vena dan menyebabkan venous return meningkat (preload increase) dan 5
akhirnya stroke volume meningkat dan cardiac output tercapai. Penurunan cardiac output juga meningkatkan ADH dan merangsang retensi garam dan air untuk memenuhi stroke volume dan cardiac output. Peningkatan beban jantung juga akan meningkatkan wall stress menyebabkan dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan tekanan sistolic untuk mengatasi FAterload yang meningkat. Chronic volume overload seperti pada mitral regurgitasi atau aorta regurgitasi akan merangsang miosit memanjang. Maka radius chamber ventrikel meningkat dan dinamakan eccentric hipertrofi. Chronic pressure overload seperti hipertensi atau aorta stenosis akan merangsang miosit menebal yang dinamakan concentric hypertrophy. Hipertrofi dan remodeling ini membantu untuk menurunkan wall stress tetapi pada waktu yang lama, fungsi ventrikel akan menurun dan dilatasi ventrikel akan terjadi. Apabila ini terjadi, beban hemodinamik pada otot jantung akan menurunkan fungsi jantung sehingga gejala gagal jantung yang progresif akan timbul.9
Manifestasi klinis Gagal jantung kongestif akan menyebabkan meningkatnya volume intravaskuler, kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat. Edema paru terjadi akibat peningkatan tekanan vena pulmolalis sehingga cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli, yang dimanifestasikan dengan batuk dan napas pendek. Edema perifer umum dan penambahan berat badan akibat tekanan sistemik. Turunnya curah jantung akibat darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ. Tekanan perfusi ginjal menurun mengakibatkan pelepasan renin dari ginjal,yang pada gilirannya akan menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler.10 Tanda dan gejala : Dispnea, akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang, ortopnea , kesulitan bernapas saat berbaring, paroximal nokturnal dispnea (terjadi bila pasien sebelumnya duduk lama dengan posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur), batuk, bisa batuk kering dan basah yang menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah banyak kadang disertai banyak darah. mudah lelah akibat cairan jantung yang kurang, yang menghambat cairan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuanggan sisa hasil katabolisme, kegelisahan akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernapas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik, edema ekstremitas bawah atau edema dependen, hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen, anoreksia dan mual terjadi akibat pembesaran vena dan status vena didalam rongga 6
abdomen, nokturia, rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi renal didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring, Lemah akibat menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuanggan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan, palpitasi ( jamtung berdebar-debar), pusing dan pingsan karena penurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau karena kemampuan memompa yang buruk, bisa menyebabkan pusing dan pingsan.11
Pemeriksaan Penunjang ElektokardiogrFAi tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai faktor sekunder dalam mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan EKG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal jantung. Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan posterior anterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi sistolik karena ukuran bisa terlihat normal. Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal jantung yaitu pemeriksaan laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan NT- pro BNP (N Terminal protein BNP). Protein NT-proBNP merupakan penanda sensitif untuk fungsi jantung. Menurut situs web Endolab Selandia Baru, kadar NT-proBNP orang sehat di bawah 40 pmol/L. Peningkatan kadar NT-proBNP di atas 220 pmol/L menunjukkan adanya gangguan fungsi jantung dalam tahap dini yang perlu pemeriksaan lebih lanjut. Tes NT-proBNP mampu mendeteksi gagal jantung tahap dini yang belum terdeteksi dengan pemeriksaan elektrokardiogrFAi. Hal ini memungkinkan dokter membedakan gagal jantung dengan gangguan pada paru yang memiliki gejala serupa, sehingga pengobatan lebih terarah. Kadar NT proBNP yang berkorelasi dalam darah itu bisa digunakan untuk mengidentifikasi pasien gagal jantung yang perlu pengobatan intensif serta memantau pasien risiko tinggi. Di sisi lain, kadar NT-proBNP bisa turun jika penderita minum obat, sehingga pemeriksaan rutin NTproBNP bisa digunakan untuk mengetahui kemajuan pengobatan.12
Kriteria Diagnosis Kriteria Framingham: Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. 13
Kriteria mayor Paroksismal nocturnal dispnea Distensi vena-vena leher Peningkatan tekanan vena jugularis Ronki basah basal Kardiomegali Edema paru akut Gallop bunyi jantung III Refluks hepatojugular positif Kriteria minor Edema ekstremitas Batuk malam Sesak pada aktivitas Hepatomegali Efusi pleura Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal Takikardia (>120 denyut/menit) Mayor atau minor Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan 13
Penatalaksanaan Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi Gagal jantung : pengobatan terhadap Gagal jantung, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor pencetus. Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung. Pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu dan kelembaban, oksigen, pemberian cairan dan diet. Selain itu, penatalaksanaa gagal jantung juga berupa medikamentosa, yaitu: Obat inotropik (digitalis, obat inotropik intravena), Vasodilator : (arteriolar dilator, veno dilator, mixed dilator), Diuretik, Pengobatan disritmia. Pada umumnya obat-obatan yang efektif mengatasi gagal jantung menunjukkan manfaat untuk mengatasi disfungsi sistolik. Gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri hampir selalu disertai adanya aktivitas sistem neuro-endokrin, karena itu salah satu obat pilihan utama adalah ACE Inhibitor.
ACE Inhibitor, disamping dapat mengatasi gangguan neurohumoral pada gagal jantung, dapat juga memperbaiki toleransi kerja fisik yang tampak jelas sesudah 3-6 bulan pengobatan. Dari golongan ACE-I, Captopril merupakan obat pilihan karena tidak menyebabkan hipotensi berkepanjangan dan tidak terlalu banyak mengganggu faal ginjal pada kasus gagal jantung. Kontraindikasinya adalah disfungsi ginjal berat dan bila ada stenosis bilateral arteri renalis. Diuretika, bertujuan mengatasi retensi cairan sehingga mengurangi beban volume sirkulasi yang menghambat kerja jantung. Yang paling banyak dipakai untuk terapi gagal jantung kongestif dari golongan ini adalah Furosemid. Pada usia lanjut seringkali sudah ada penurunan faal ginjal dimana furosemid kurang efektif dan pada keadaan ini dapat ditambahkan metolazone. Pada pemberian diuretika harus diawasi kadar kalium darah karena diuresis akibat furosemid selalu disertai keluarnya kalium. Pada keadaan hipokalsemia mudah terjadi gangguan irama jantung. Spironolakton, dipakai sebagai terapi gagal jantung kongestif dengan fraksi ejeksi yang rendah, bila walau sudah diterapi dengan diuretik, ACE-I dan digoksin tidak menunjukkan perbaikan. Dosis 25 mg/hari dan ini terbukti menurunkan angka mortalitas gagal jantung sebanyak 25%. Obat-obatan inotropik, seperti digoksin diberikan pada kasus gagal jantung untuk memperbaiki kontraksi ventrikel. Dosis digoksin juga harus disesuaikan dengn besarnya clearance kreatinin pasien. Obat-obat inotropik positif lainnya adalah dopamine (5-10 Ugr/kg/min) yang dipakai bila tekanan darah kurang dari 90 mmHg. Bila tekanan darah sudah diatas 90 mmHg dapat ditambahkan dobutamin (5-20 Ugr/kg/min). Bila tekanan darah sudah diatas 110 mmHg, dosis dopamin dan dobutamin diturunkan bertahap sampai dihentikan. Pada usia lanjut lebih sering terdapat gagal jantung dengan disfungsi diastolik. Untuk mengatasi gagal jantung diastolik dapat dengan cara: Memperbaiki sirkulasi koroner dalam mengatasi iskemia miokard (pada kasus PJK). Pengendalian tekanan darah pada hipertensi untuk mencegah hipertrofi miokard ventrikel kiri dalam jangka panjang. Pengobatan agresif terhadap penyakit komorbid terutama yang memperberat beban sirkulasi darah, seperti anemia, gangguan faal ginjal dan beberapa penyakit metabolik seperti Diabetes Mellitus. Upaya memperbaiki gangguan irama jantung agar terpelihara fungsi sistolik atrium dalam rangka pengisian diastolik ventrikel.
Obat-obat yang digunakan antara lain: 1. Beta bloker, untuk mengatasi takikardia dan memperbaiki pengisian ventrikel. 2. Diuretika, untuk gagal jantung disertai oedem paru akibat disfungsi diastolik. Bila tanda oedem paru sudah hilang, maka pemberian diuretika harus hati-hati agar jangan sampai terjadi hipovolemia dimana pengisian ventrikel berkurang sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun.15
Prognosis Secara umum, mortality rate untuk pasien gagal jantung yang dirawat inap adalah 520% sementara penderita yang di luar rumah sakit adalah 20% pada akhir tahun pertama setelah diagnosa ditegakkan dan setinggi 50% pada 5 tahun pertama post diagnosis. Walaupun terdapat perbaikan pengobatan. Setiap pasien yang rehospitalization mempunyai peningkatan mortality rate sebanyak 20-30%. Cardiopulmonal stress testing merupakan cara yang efektif untuk menilai survival rate pasien untuk tahun ke depan dan indikasi transplantasi jantung. Pasien dengan NYHA IV, ACC/AHA stage D mempunyai mortality yang melebihi 50% mortality pada tahun pertama post diagnose. Gagal jantung yang disebabkan oleh myocard infark akut mempunyai inpatient mortality rate 20-40%; mortality rate mendekati 80% pada pasien yang menderita hipotensi( eg.cardiogenic shock).16
2.2. Atrial Fibrilasi Definisi Atrial fibrilasi adalah aritmia jantung (irama jantung abnormal) yang paling umum, dan melibatkan dua kamar atas (atrium) dari jantung . Atrial fibrilasi merupakan getatan dari otot-otot jantung atrium, bukan kontraksi terkoordinasi. Hal ini sering dapat diidentifikasi dengan mengambil pols dan mengamati bahwa denyut jantung tidak terjadi secara berkala. Namun, indikator kuat FA adalah tidak adanya gelombang P pada elektrokardiogram (ECG atau EKG), yang biasanya hadir ketika ada kontraksi atrium terkoordinasi pada awal setiap denyut jantung.17 Etiologi17,18 Atrial fibrilasi mempunyai hubungan yang bermakna dengan kelainan struktural akibat penyakit jantung. Diketahui bahwa sekitar 25% pasien FA juga menderita penyakit jantung koroner. Selain itu hubungan antara FA dengan penyakit katup jantung telah lama ketahui. Penyakit katup reumatik meningkatkan kemungkinan terjadinya FA dan mempunyai 10
resiko empat kali lipat untuk terjadinya komplikasi tromboemboli. FA juga dapat timbul sehubungan dengan penyakit sistemik non kardiak. Misalnya pada hipertensi sistemik ditemukan 45% dan diabetes melitus 10% dari pasien FA. Demikian pula pada beberapa penyakit paru obstruktif kronik dan emboli paru. Penyakit Jantung yang berhubungan dengan FA : o PJK o Kardiomiopati Dilatasi o Kardiomiopati Hipertropik o Penyakit Katup Jantung; reumatik maupun non-reumatik o Aritmia Jantung; atrial takikardi, atrial fluter, AVNRT, sindrom WPW, sick sinus syndrome o Perikarditis Penyakit di luar Jantung yang berhubungan dengan FA : o Hipertensi Sistemik o Diabetes Melitus o Hipertiroidisme o Penyakit Paru: PPOK, Hipertensi Pulmonal Primer, Emboli Paru Akut o Neurogenik
Klasifikasi Atrial Fibrilasi 1. FA Paroksimal, bila FA berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih kurang 50% FA paroksismal akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam 24 jam. FA yang episode pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut FA paroksismal. 2. FA Persisten, bila FA menetap lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. Pada FA persisten diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus. 3. FA Kronik atau Permanen, bila FA berlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit sekali untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten).18
Manifestasi Klinis FA dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala FA sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya FA, penyakit yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama saat beraktivitas, sesak nafas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. FA dapat mencetuskan gejala iskemik pada FA dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang sangat berkurang pada 11
FA akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri.18
Komplikasi FA dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi yang dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas. Pada pasien dengan syndroma WPW dan konduksi yang cepat melalui jalur ekstranodal yang memintas nodus atrioventrikular, dimana pada saat terjadi FA disertai pre-eksitasi ventricular, dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian mendadak. Beberapa komplikasi lain dapat terjadi pada flutter atrial dengan laju irama ventrikel yang cepat. Laju ventrikel yang cepat ini bila tidak dapat terkontrol dapat menyebabkan kardiomiopati akibat takikardia persisten. Diantara komplikasi yang sering muncul dan membahayakan adalah tromboemboli, terutama strok.18 Penatalaksanaan18 Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan FA adalah mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli. Kardioversi Pengembalian ke irama sinus pada FA akan mengurangi gejala, memperbaiki hemodinamik, meningkatkan kemampuan latihan, mencegah tromboemboli, mencegah kardiomiopati, mencegah remodeling elektroanatomi dan memperbaiki fungsi atrium. Kardioversi dapat dilakukan secara elektrik atau farmakologis. Kardioversi farmakologis kurang efektif dibandingkan dengan kardioversi elektrik. Kardioversi Farmakologis paling efektif bila dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya FA. Klasifikasi obat anti aritmia dan obat-obat yang dianjurkan adalah : Tipe IA : disopirsamid, prokainamid, kuinidin Tipe IB : lidokain, meksiletin Tipe IC : flekainid, moricizin, propFAenon Tipe II : penyekat beta (propanolol) Tipe III : amiodaron, bretilium, dofetilid, ibutilid, sotalol Tipe IV : antagonis kalsium (verapamil, diltiazem)
12
Kardioversi Elektrik Pasien FA dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat laju irama ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dumulai dengan 200 Joule. Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek. Mempertahankan Irama Sinus FA adalah penyakit kronis dan rekurensi sering terjadi baik pada FA paroksismal maupun pada FA persisten. Bila telah terjadi konversi ke irama sinus maka hal ini perlu dipertahankan dengan pengobatan profilaktik. Pengobatan Profilaktik Dengan Obat Antiaritmia Untuk Mencegah Rekurensi FA yang berlangsung lebih dari 3 bulan merupakan salah satu predictor terjadinya rekurensi. Obat antiaritmia yang sering dipergunakan untuk mempertahankan irama sinus, ialah: amiodaron, disopyramide, dofetilide, flecainide, procainamide, propafenon, quinidine, sotalol. Pemilihan Obat-obat Antiaritmia Pada Pasien dengan Kelainan Jantung Pemilihan obat-obat antiaritmia disesuaikan dengan keadaan penyakit jantung yang diderita untuk mencegah timbulnya proaritmia. Pengontrolan Laju Irama Ventrikel Obat-obat yang sering dipergunakan untuk mengontrol laju irama ventrikel adalah digoksin, antagonis kalsium (verapamil, diltiazem) dan penyekat beta. Laju irama yang dianggap terkontrol adalah diantara 60-80 kali/menit pada saat istirahat dan 90-115 kali/menit pada saat aktivitas. Pencegahan Tromboemboli Pencegahan komplikasi tromboemboli merupakan salah satu tujuan yang penting dalam pengobatan FA.
2.3
Definisi Atrial septal defect merupakan kelainan jantung kongenital yang disebabkan oleh malformasi spontaneus dari septum interatrial.19
Epidemiologi Tiga jenis utama ASD mencakup 10% dari total kelainan jantung kongenital dan 20% -40% kelainan jantung kongenital pada orang dewasa. Ostium sekundum mencakup 70% dari 13
semua jenis ASD dan mencakup 30-40% kelainan jantung kongenital pada orang di atas 40 tahun. Ostium primum mencakup 15-20% dari total ASD. Sedangkan sinus venosus ASD mencakup 10%.19
Etiologi dan Klasifikasi Ostium secundum ASD:Tipe ini terjadi akibat adhesi yang tidak lengkap antara katup yang tertutup yang dikaitkan dengan foramen ovale dan septum sekundum setelah lahir. Foramen ovale yang menetap biasanya akibat resorpsi yang abnormal dari septum primum selama pembentukan foramen sekundum. Resorpsi pada lokasi yang abnormal menyebabkan fenestra atau septum primum yang seperti jaring. Resorpsi yang berlebihan dari septum primum berakibat pada septum primum yang pendek yang tidak menutup foramen ovale. Foramen ovale abnormal yang besar dapat terjadi akibat defek pada pembentukan septum sekundum. Septum primum yang normal tidak dapat menutupi foramen ovale yang abnormal ini pada saat lahir. Kombinasi dari resorpsi yang berlebihan dari septum primum dan foramen ovale yang besar menghasilkan celah ASD ostium sekundum yang besar. Ostium primum ASD: Defek ini terjadi akibat fusi yang tidak sempurna dari septum primum dengan bantalan endokardial. Defek ini terletak bersebelahan dengan katup atrioventrikular, dimana katup atrioventrikular juga dapat mengalami deformitas atau inkompeten. Pada kebanyakan kasus, hanya bagian anterior atau septal dari katup mitral yang terganggu. Sinus venosus ASD: Fusi yang abnormal antara sinus venosus embriologik dan atrium menyebabkan defek ini. Pada kebanyakan kasus, defek berada pada superior dari septum atrial dekat tempat masuknya vena kava superior Coronary sinus ASD: Defek ini ditandai dengan sinus koronarius yang tidak tertutupi bagian puncak dan vena kava superior persisten yang mengalir ke atrium kiri.19
Patofisiologi Pada ASD tanpa komplikasi, darah yang teroksigenasi dari atrium kiri sebagian dialihkan menuju atrium kanan tetapi tidak sebaliknya. Aliran melalui defek ini tergantung kepada ukuran dan komplains dari ventrikel yang mendapat pengisian dari atrium. Normalnya setelah beberapa lama, komplains ventrikel kanan menjadi lebih besar dibandingkan ventrikel kiri akibat penebalan dinding ventrikel kanan, menfasilitasi alur pintas kiri ke kanan. Hasilnya 14
adalah kelebihan volume dan pembesaran atrium kanan dan ventrikel kanan. Jika komplains ventrikel kanan menurun ( karena kelebihan muatan), alur pintas dari kiri ke kanan menjadi berkurang. Pada kasus tertentu, jika penyakit vaskular pulmonal yang parah terjadi, arah dari alur pintas mungkin terbalik, sehingga darah yang tidak tersaturasi dengan oksigen menuju sirkulasi sistemik, berakibat pada hipoxemia dan sianosis.20
Gejala Klinis Kebanyakan bayi dengan ASD asimptomatik. Kondisi ini terdeteksi karena adanya murmur pada pemeriksaan rutin selama anak-anak atau remaja. Jika gejala terjadi, dapat berupa sesak saat aktivitas, fatik, dan infeksi saluran napas bawah yang berulang. Gejala yang paling umum pada dewasa adalah menurunnya stamina dan palpitasi karena takiaritmia atrium akibat pembesaran atrium kanan.20
Pemeriksaan Fisik Dorongan sistolik dapat teraba sepanjang batas sternal kiri bawah, yang menunjukkan kontraksi dari ventrikel kanan yang terdilatasi. Suara jantung kedua melebar dengan pola fixed wide splitting. Peningkatan volume darah yang melintasi katup ppulmonal sering membuat murmur sistolik pada batas sternum kiri atas. Murmur mid diastolik dapat juga terdengar pada batas sternum kiri bawah karena peningkatan aliran yang melewati katup trikuspid. Darah yang melewati ASD sendiri tidak membuat murmur karena absennya gradien tekanan yang signifikan di antara kedua atria.20
Pemeriksaan Penunjang Pada foto toraks, jantung biasanya membesar karena dilatasi atrium kanan dan ventrikel kanan, dan arteri pulmonal menonjol dengan peningkatan vaskular pulmonal. ECG menunjukkan hipertropi ventrikel kanan, sering dengan pembesaran atrium kanan dan RBBB komplit atau inkomplit. Ekokardiografi menggambarkan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, ASD dapat divisualisasikan secara langsung. Dengan sensitivitas tinggi dari ekokardiografi, jarang diperlukan kateterisasi untuk memastikan ASD. Kateterisasi mungkin berguna untuk menentukan resisten vaskular pulmonal dan untuk mendiagnosa kelainan arteri koroner yang mungkin terjadi pada pasien yang lebih tua.20
15
Penatalaksanaan Kebanyakan pasien ASD asimptomati. Tetapi, jika volume darah yang melalui jalur pintas besar (walaupun tanpa gejala), operasi perbaikan elektif direkomendasikan untuk mencegah gagal jantung atau penyakit vaskular pulmonal. Defek dapat diperbaiki dengan penutupuan sutura langsung atau dengan menambal dari perikardial atau sintetik. Pada anak-anak dan dewasa muda, perubahan morfologik pada jantung kanan sering kembali normal setelah perbaikan. Perbaikan ASD perkutaneus, menggunakan alat untuk menutup melaui kateter intravenous yang kurang invasif mungkin menjadi alternatif bagi beberapa pasien.20
16
DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RS H ADAM MALIK
STATUS PASIEN
: Sesak nafas : Hal ini dialami os sejak 2 bulan yang lalu dan memberat dalam 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca tetapi dipengaruhi oleh aktivitas ringan seperti berjalan ke kamar mandi dan berkurang bila beristirahat. Os sering terbangun pada malam hari karena sesak. Riwayat pemakaian dua bantal saat tidur tidak dijumpai. Kaki bengkak dikeluhkan os sejak beberapa hari yang lalu. Os juga mengeluhkan jantung berdebar-debar sejak 1 minggu ini. Akhir-akhir ini os menjadi mudah lelah dan pekerjaannya sedikit terbatasi. Batuk dialami os sejak 4 hari ini, dahak (+) dengan warna dahak putih dan volume dahak kurang dari 5 cc. Demam dialami os sejak 1 minggu ini, bersifat hilang timbul, tidak terlalu tinggi, dan turun dengan obat penurun panas. Riwayat demam berulang disangkal os, riwayat nyeri sendi berpindah disangkal os, riwayat sakit tenggorokan berulang disangkal os, riwayat mudah lelah saat kecil disangkal os. Os merupakan pasien baru di RSU HAM dan masuk ke IGD dengan keluhan sesak napas.
Faktor Risiko PJK : usia >65tahun(-), lakilaki(+), riwayat keluarga(-), obesitas(-), DM(-), dislipidemia (-), hipertensi (-), merokok (+). 17
RPT RPO
: :
Status Presens: KU: sedang Kesadaran: CM RR: 26x/i dispnu (+) TD 120/70mmHg Suhu: 37,6 C ikterus (-) HR : 120x/m, Pulse 110x/I, Sianosis: (-) edema pretibial (+) pucat (-)
Pemeriksaan fisik Kepala: Mata: konj.pal.inf. pucat (-), sklera ikterik (-) Leher : JVP: R+3 cmH2O Dinding Toraks: Inspeksi : simetris fusiformis Palpasi : SF: ki=ka, kesan mengeras pada lapangan bawah paru Perkusi: sonor memendek pada lapangan bawah kedua paru Batas Jantung: Atas: ICS III sinistra Kanan: Linea sternalis dekstra ICS V Kiri : 1 cm lateral linea mid clavicularis sinistra ICS V Auskultasi Jantung: S1 (N), S2(+) mengeras, S3(-), S4 (-) Irreguler Murmur (-) Paru: Suara pernapasan bronkial pada lapangan bawah kedua paru Suara tambahan: Ronki basah pada lapangan bawah kedua paru dan ronki basah basal Abdomen: Palpasi: Hepar / Lien: tidak teraba Asites (-) Ektrimitas: Superior: sianosis (-) Inferior: edema pretibial (+) clubbing (-) pulsasi arteri (+)
Akral: hangat
Interpretasi rekaman EKG 1 Juni 2011 AF, QRS axis RAD, QRS rate 110x/I, P wave sulit dinilai, QRS durasi 0,12 sec, rsR di II-III, aVF, V1-V2, S slurred di V5-V6, I-aVL, LHV (-), VES (-) Kesan EKG: AFRVR + RAD + RBBB complete
18
Interpretasi Foto toraks PA 1 Juni 2011: CTR 65%, Ao N, Po menonjol, pinggang jantung mendatar, apex downward, kongesti (+), infiltrat (+) Kesan: Kardiomegali + kongesti + infiltrat
Hasil laboratorium Hb: 13,50 g/dL Ht: 39,50 Leukosit: 6.060/mm3 Trombosit: 150.000 Asam urat: 9,2 - Bil.total: 1,19 - Bil.direk: 0,61 - ALP: 63 - SGOT: 45 - SGPT: 25 - Ureum: 28,4 - Kreatinin: 0,91
Diagnosa Kerja: CHF Fc II-III ec ASD + AFRVR + Pneumonia 1. Fungsional 2. Anatomi 3. Etiologi : Fc II-III : Septum atrium : Malformasi congenital (ASD)
Pengobatan: Bedrest O2 2-4 l/i IVFD NaCl 0,9% 10gtt/I mikro Inj. Furosemide 1 amp/8jam Inj. Ceftriaxone 1 g/ 12 jam Captopril 3x6,25 mg Simarc 1x2 mg Digoxin 1x0,25 mg KSR 1x600 mg Ambroxol 3xCI
Rencana Pemeriksaan Lanjutan: EKG/ hari Cek INR/3 hari Ekokardiografi Kateterisasi jantung Kultur sputum spesifik/aspesifik (ST)
19
Prognosis Ad Vitam Ad Functionam Ad sanactionam : dubia ad bonam : dubia ad malam : dubia ad malam
Follow Up Tanggal 2-4 Juni 2011 Subjektif: Sesak (+) berkurang, Batuk (+) Objektif: Sens: CM; TD: 100/70 mmHg; HR 92x/I; RR 26x/I; T: 37C Leher: TVJ: R+2 cmH2O Thorax: Cor: S1 (+)N, S2(+) mengeras, S3(-), S4 (-), murmur (-), gallop (-) Pulmo: SP: Bronkial pada lapangan bawah kedua paru ST: Ronki basah di lapangan bawah kedua paru dan ronki basah basal Ektrimitas: Edema (-)
Hasil Lab Darah pada tanggal 3 Juni 2011 Hb: 13,90 g/dL Ht: 42,40% Leukosit: 5.890/mm3 Platelet: 143.000/mm3 Ureum: 28,40 Kreatinin: 0,91 Asam Urat: 9,2 Bil.Total: 1,19 mg/dL Bil.Direk: 0,61 mg/dL ALP: 63 SGOT: 45 SGPT: 25 KGD ad random: 128,40 mg/dL
Diagnosa: CHF Fc II-III ec ASD + AFRVR + Pneumonia Pengobatan: Bedrest O2 2-4 l/i IVFD NaCl 0,9% 10gtt/I mikro Inj. Furosemide 1 amp/8jam Inj. Ceftriaxone 1 g/ 12 jam Captopril 3x6,25 mg Simarc 1x2 mg Digoxin 1x0,25 mg KSR 1x600 mg Ambroxol 3xCI
20
Follow up Tanggal 5-6 Juni 2011 S: Sesak (+) berkurang, batuk (+) berkurang O: CM, TD: 100/70 mmHg; HR: 88x/I; RR: 24x/I; T: 36,8 C Thorax: Cor: S1 (+)N, S2(+) mengeras, S3(-), S4 (-), murmur (-), gallop (-) Pulmo: SP: Bronkial pada lapangan bawah kedua paru ST: Ronki basah di lapangan bawah kedua paru dan ronki basah basal Ektrimitas: Edema (-) Hasil lab pada tanggal 6 Juni 2011 Hb: 13,30 g/dL Natrium: 132 mEq/L Ht: 42,20% Kalium: 3,4 mEq/L Leukosit: 6.750/mm3 Klorida: 101 mEq/L Trombosit: 190.000/mm3 Diagnosa: CHF Fc II-III ec ASD + AFRVR + Pneumonia Pengobatan: Bedrest O2 2-4 l/i IVFD NaCl 0,9% 10gtt/I mikro Inj. Furosemide 1 amp/8jam Inj. Ceftriaxone 1 g/ 12 jam Captopril 3x6,25 mg Aspilet 1x80 mg Digoxin 1x0,25 mg Spironolaktone 1x25mg Ambroxol 3xCI
Follow up Tanggal 7-9 Juni 2011 S: Sesak (-), Batuk (+) berkurang O: CM; TD: 100/70 mmHg; HR: 88x/i; RR: 24x/I, T: 36,5C Leher: TVJ: R+2 cmH2O Thorax: Cor: S1 (+)N, S2(+) mengeras, S3(-), S4 (-), murmur (-), gallop (-) Pulmo: SP: Bronkial pada lapangan bawah kedua paru ST: Ronki basah di lapangan bawah kedua paru dan ronki basah basal Ektrimitas: Edema (-) Hasil Echocardiography pada tanggal 7 Juni 2011 ASD sekundum + PH Diagnosa: CHF Fc II-III ec ASD + AFNVR + Pneumonia + PH
21
Pengobatan: Bedrest O2 2-4 l/i IVFD NaCl 0,9% 10gtt/I mikro Inj. Furosemide 1 amp/8jam Inj. Ceftriaxone 1 g/ 12 jam Captopril 3x6,25 mg Aspilet 1x80mg Digoxin 1x0,25 mg Spironolactone 1x25mg Ambroxol 3xCI
22
23
24
25
26
BAB 4 KESIMPULAN
Gagal jantung adalah satu sindroma klinis pada pasien mengalami kelainan struktur atau fungsi jantung yang disebabkan oleh kelainan bawaan atau acquired heart disease sehingga jantung tidak mampu untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolit tubuh (forward failure ) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau keduaduanya. Atrial fibrilasi adalah aritmia jantung (irama jantung abnormal) yang paling umum, dan melibatkan dua kamar atas (atrium) dari jantung . Atrial fibrilasi merupakan getatan dari otot-otot jantung atrium, bukan kontraksi terkoordinasi. Hal ini sering dapat diidentifikasi dengan mengambil pols dan mengamati bahwa denyut jantung tidak terjadi secara berkala. Namun, indikator kuat AF adalah tidak adanya gelombang P pada elektrokardiogram (ECG atau EKG), yang biasanya hadir ketika ada kontraksi atrium terkoordinasi pada awal setiap denyut jantung.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Huon H., Keith D., John M., Iain A. Gagal Jantung. Lecture Notes of Cardiology. Oct 24 2003;6:80-97. 2. Ali Ghanie. Gagal Jantung Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. May 23 2006;343(3):1511-1514. 3. Dumitru, Baker. Heart Failure. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview. Accessed January 26, 2011. 4. Ghanie, A. 2006. Penyakit Jantung Kongenital Pada Dewasa. Dalam: Aru W S, Bambang S, Idrus A, Marcellus S K, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. h. 1641-1642. 5. Panggabean, Marulam M. 2006. Gagal Jantung, dalam Aru W. Sudoyo dkk, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi I. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h. 1503-1504. 6. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 225. 7. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008 ; 2392-3. 8. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 234-5. 9. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 235-240. 10. Acute Coronary Syndrome. American Heart Association. Available from : circ.ahajournals.org. Accessed 15 May 2011 11. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 240-243. 12. Barita S, Irawan J S. Gagal Jantung. In : Lily I R, Faisal B, Santoso K, Poppy S R, ed. Buku Ajar Kardiologi, 1997; 124-125 28
13. Marulam M.P. Gagal Jantung. In : Aru W S, Bambang S, Idrus A, Marcellus S K, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.2006; 1504. 14. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008 ; 2392. 15. Douglas L M. Disorder Of Heart. In : George W.T, ed. Harrrisons Principles of Internal Medicine, 2008; 1448-1453. 16. Heart failure available from http://emedicine.medscape.com/article/163062-
overview#aw2aab6b2b5aa . Accessed 16 May 2011. 17. Lily Ismudiati Rilantono, dkk. 1996. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h. 279. 18. Aman, Sally Nasution. Ismail, Dasnan. 2006. Atrial Fibrilasi, dalam Aru W. Sudoyo dkk, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi I. Jakarta:Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. h. 1522-1527. 19. Markham, L.W. 2011. Atrial Septal Defect. Emedicine. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/162914-overview#showall. Diakses pada 11 Juni 2011 20. Sankaran, V.G. dan Brown, D.W. 2007. Congenital Heart Disease. Dalam: Lilly, L.S. Pathophysiology of Heart Disease.Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins. 371396.
29