Anda di halaman 1dari 3

ISLAM DI MALUKU Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah terbanyak di Indonesia.

Karena itu daerah ini banyak dikunjungi para pedagang antar kepulauan Indonesia (lokal) maupun pedagang asing (internasional). Di antara para pedagang lokal terdapat para pedagang muslim dari Jawa. Mereka selain berdagang juga berdakwah. Melalui aktivitas perdagangan rempah-rempah inilah agama Islam masuk ke Maluku. Di Maluku ada empat kerajaan, yaitu: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Di antara ke empat kerajaan itu, yang memegang peranan penting dan menjadi bandar pusat perdagangan adalah Ternate. Agama Islam masuk ke Ternate pada abad ke-15, setelah rajanya memeluk Islam namanya berganti menjadi Sultan Mahrum. Penggantinya bernama Sultan Zainal Abidin yang pernah berkunjung dan belajar agama di Pesantren Giri, Gresik. Ia bersama seorang muballigh bernama Datuk Mulia Husin sangat berjasa mengembangkan agama Islam di Maluku dan Irian, bahkan sampai ke Filipina Selatan. Dari Ternate, agama Islam berkembang ke wilayah Kerajaan Tidore. Pada abad ke-15, Tidore sudah menerima Islam atas jasa seorang muballigh bernama Syekh Mansur. Raja Tidore yang pertama masuk Islam bernama Cirali Lijitu yang berganti nama Sultan Jamaluddin. Wilayah kekuasaan Kerajaan Tidore cukup luas meliputi sebagian Halmahera, pantai barat Irian dan sebagian kepulauan Seram. Sepeninggal Sultan Jalaluddin, pemegang kekuasaan di Kerajaan Tidore adalah puteranya yang bernama Sultan Mansur. Agama Islam juga berkembang di Kerajaan Bacan. Raja Bacan memeluk Islam pada 1521 dan berganti nama Sultan Zainul Abidin. Sejak itu wilayah Bacan yang meliputi Bacan, Obi, Waigeo, Solawati, dan Misool menjadi kerajaan Islam. Sementara itu, Kerajaan Jailolo yang meliputi sebagian Halmahera dan pesisir utara kepulauan Seram juga masuk Islam. Rajanya bernama Sultan Hasanuddin. Di kawasan Indonesia Timur, agama Islam juga berkembang di kepulauan Sumbawa dan sekitarnya pada abad ke-16. Hubungan perdagangan antar kepulauan Indonesia membawa Islam memasuki daerah kepulauan Sumbawa. Diduga yang membawa Islam ke Sumbawa adalah para muballigh dari Makasar. Ini terbukti ditemukannya makam seorang muballigh Islam dari Makasar di pinggiran Kota Bima. Agama Islam semakin berkembang di Sumbawa setelah terjadi letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 M. Seorang ulama bernama Haji Ali memperingatkan rakyat Sumbawa agar bertobat dari segala dosa. Seruan ini membawa banyak perubahan dan menjadikan Kerajaan Sumbawa sebagai kerajaan Islam terkenal dengan nama Sumbawa Besar. Sementara itu, di Lombok agama Islam disebarkan oleh para muballigh Islam dari Bugis. Mereka memasuki Lombok dari Sumbawa. Penduduk Lombok yang memeluk agama Islam dikenal dengan orang Sasak. Demikianlah dakwah Islamiyah telah memasuki seluruh wilayah Indonesia melalui aktivitas perdagangan. Dapat dikatakan bahwa sampai abad ke-17 hampir seluruh wilayah Indonesia telah memeluk agama Islam. Di beberapa kepulauan Indonesia kemudian berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang tidak kecil peranannya dalam menanamkan dan mengembangkan pengaruh Islam baik dalam bidang agama, ekonomi, politik, sosial maupun kebudayaan

a. Budaya Material dan Non-Material Kita tidak bisa mengklaim tabaos sebagai satu-satunya budaya komunikasi di Maluku. Sebab secara non-material, tabaos itu adalah salah satu mekanisme komunikasi budaya yang dimiliki masyarakat di Maluku. Beberapa bentuk budaya komunikasi yang tersistem dalam pranata sosial dan kebudayaan masyarakat di Maluku adalah juga saniri negeri, atau malah makan patita. Tetapi sebagai yang diproduksi oleh masyarakat, beberapa unsur budaya material yang bisa dimengerti sebagai kekayaan filosofi budaya Maluku misalnya baileu. Pada sub-kultur mana pun di Maluku, baileu ini menjadi makrokosmos negeri, dan memainkan fungsi penyeimbang (equalibrium) atau menjaga titik harmoni di dalam relasi antar-masyarakat dengan kekuatan supra-natural di alam.] Di dalam baileu semua urusan masyrakat, dari urusan sosial sehari-hari sampai pada urusan-urusan religiositasnya diurus dan dibicarakan secara bersama-sama oleh Saniri Negeri sebagai pemegang wewenang pengantaraan antara manusia-manusia, dan manusia/masyarakat-manusia adikodrati. Ini yang disebut Plato sebagai syarat pengenalan dunia duniawi kita.

Di samping itu, pada beberapa negeri dalam sub-kultur tertentu, tata cara pengerjaan baileu juga menunjuk pada adanya suatu sistem pandangan filsafati kebudayaan yang kuat. Kita contohkan tradisi tutup baileu di negeri Hulaliu, pulau Haruku. Setiap marga di dalam negeri itu berhak memancang tiang-tiang baileu menurut tata cara adatisnya. Di samping itu, keterlibatan negeri-negeri lain dalam Hatuhaha Amarima, termasuk di dalamnya negeri-negeri Salam tidak bisa diabaikan, sebab justru keterlibatan mereka itu memberi dasar legalis bagi ritus itu. Tanpa itu, ritus itu dipandang tidak sah, dan itu berarti bertentangan dengan tatanan nilai kepercayaan (filsafati) yang telah dimiliki. Cara yang sama pun tampak dalam lakpona, natir, sebagai juga budaya material yang ada di komunitas sub-kultur Maluku Tenggara Barat. Demikian pun misalnya upacara tutup atap mesjid Wapaue di negeri Hila. Keterlibatan saudara-saudara dari Hila Kristen, bukan merupakan suatu hal yang baru pasca-konflik Maluku. Keterlibatan mereka telah terlembaga di dalam tradisi keagamaan orang Hila Salam, tanpa itu, ritus keagamaan tersebut tidak afdhol dan karena itu berlawanan dengan nilai kepercayaan (filsafati) yang dianutnya. Sketsa ini sengaja dimunculkan untuk memperlihatkan bahwa filsafat kebudayaan Maluku, dalam kaitan dengan hasil budaya material, mengandung di dalamnya nilai komunalitas dan hubungan antarmasyarakat yang intens. Suatu budaya material yang dihasilkan tidak sebatas memiliki makna individual, tetapi terhisab ke dalamnya makna sosialitas, dan karena itu sketsa filsafat kebudayaan Maluku adalah sketsa yang terbentuk di dalam gambaran utuh komunitas masyarakat manusia Maluku itu sendiri. Itu berarti ontologi filsafat kebudayaan Maluku adalah suatu semesta makna yang lahir dari basis-basis nilai bersama, apa yang kemudian disebut sebagai mesin eksistensi anak negeri.

b. Kosmologi dan alam Pikiran Filsafat Kebudayaan Maluku Kuatnya pemahaman masyarakat Maluku mengenai negeri dalam term filsafatis gunung tanah atau tampa potong pusa memperlihatkan bahwa terbentuk suatu carapandang (worldview) yang menunjukkan bahwa keterikatan masyarakat atau anak negeri pada negerinya bukan hanya terjadi pada level pemahaman (level of thought) tetapi telah meresap di dalam level kepercayaan (level of belief). Negeri dilihat sebagai tempat di mana seluruh bangunan identitas masyarakat itu terbentuk. Karena itu mereka tidak akan mau memisahkan diri dari negeri di mana mereka dilahirkan. Alam pemikiran seperti ini mengandaikan negeri sebagai anasir utama di dalam hidup. Sebab itu, seluruh praktek berbudaya masyarakat hanya bisa dijumpai di dalam negeri. Atas alasan ini, setiap anak negeri yang berada di luar teritori negerinya (dalam hal ini merantau), akan memiliki fantasi dan keterikatan yang lebih kuat lagi kepada negerinya. Tidak hanya itu, komitmen pulang kampung tidak sebatas untuk membangun nostalgia, tetapi meresap di dalamnya suatu mentalitas strugling atau perjuangan, sebab pulang kampung harus disertai dengan keberhasilan. Tidak ada orang Maluku yang merantau dan bersedia pulang kampung jika balong dapa hidop atau balong jadi orang. Ini adalah bentuk carapandang strugling, yang sebenarnya telah dibentuk oleh wawasan dunia ketika mereka berada di dalam negerinya. Salah satu wawasan dunia yang mendorong orang Maluku keluar dari teritori negerinya adalah pi cari hidop. Ini berarti kerja merupakan suatu aktifitas fisik tetapi juga filsafati. Sebagai aktifitas fisik, kerja adalah manifestasi dari manusia sebagai homo faber. Ia harus beroperasi dengan dirinya, dan karena itu mengembangkan potensi (skill) secara maksimal untuk menghasilkan (produksi) sesuatu baginya dan masyarakat. Sedangkan sebagai aktifitas filsafati, kerja diilhami oleh adanya sistem pemahaman atau kepercayaan tertentu yang menjadi sumber motivasi yang lalu membentuk ethosnya. Dalam sketsa kebudayaan Maluku, persoalan ini tidak bisa dimengerti lepas dari dimensi tanggungjawab budaya atau tanggungjawab filsafati anak negeri kepada orang tua dan negerinya. Cari hidop biar bisa lia orang tatua, atau supaya bisa bangong negeri adalah motivasi filsafati yang telah menjadi bagian dari wawasan dunia orang Maluku. Dalam banyak hal, mentalitas itu pun terbentuk dari adanya wawasan dunia yang melihat laut sebagai simbol chaos atau medan yang harus diseberangi. Ini sangat kelihatan dalam orientasi hidup orangorang Maluku Tenggara dan Lease. Laut adalah medan yang harus ditaklukkan dan diseberangi untuk mencari suatu yang positif untuk diri dan masyarakat. Secara faktual kita bisa melihat bagaimana uletnya orang-orang Maluku Tenggara dan Lease ketika berada dan bekerja di Ambon. Ini memperlihatkan bahwa wawasan dunianya itu telah menjadi suatu nilai yang memotivasi dirinya. Karena itu, ikatan kekerabatan mereka cenderung kuat dan rampat, serta benar-benar memanifestasikan ikatan komunalitas itu.

Anda mungkin juga menyukai