Anda di halaman 1dari 17

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) KETAHUN TERPADU April 5, 2009

Filed under: lingkungan Urip Santoso @ 7:03 am Tags: DAS, Ketahun Oleh: ZULPARMAIDI, SP 1. PENDAHULUAN Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak, melainkan batas yang luwes yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pengelolaan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Pola pembangunan berkelanjutan lahir sebagai reaksi atas perkembangan dunia berdasarkan pola pembangunan konvensional yang dilaksanakan sejak tahun lima puluhan hingga akhir abad ke-20 (Salim, 2004). Pola pembangunan yang hanya berorientasi pada peningkatan produksi dan kebutuhan hidup manusia saja tanpa mengindahkan kelestarian dan keberlanjutan menyebabkan berbagai macam persoalan yang timbul. Pola pendekatan secara parsial dan kurangnya pemahaman terhadap ekosistem menyebabkan pembangunan berjalan sendiri-sendiri dan akhirnya menyebabkan kerugian bagi makhluk hidup. Pendekatan menyeluruh dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perlu dipertimbangkan karena terganggunya salah satu komponen pada sistem alam akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem tersebut. Pendekatan menyeluruh adalah suatu kajian terpadu terhadap keseluruhan aspek sumberdaya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan, sosial,politik dan ekonomi. Untuk dapat melakukan pengelolaan secara terpadu, ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat dimanfaatkan sebagai satu unit perencanaan dan evaluasi yang sistematis, logis dan rasional (Asdak, 2004). Menurut Pedoman Teknis Pengelolaan DAS terpadu, DAS merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia sebagai pelaku pemanfaat sumberdaya alam tersebut. DAS di beberapa tempat di Indonesia memikul beban amat berat sehubungan dengan tingkat kepadatan penduduknya yang sangat tinggi dan pemanfaatan sumberdaya alamnya yang intensif sehingga terdapat indikasi belakangan ini bahwa kondisi DAS semakin menurun dengan indikasi meningkatnya kejadian tanah longsor, erosi dan sedimentasi, banjir, dan kekeringan. Disisi lain tuntutan terhadap kemampuannya dalam menunjang sistem kehidupan, baik masyarakat di bagian hulu maupun hilir demikian besarnya (Departemen Kehutanan, 2003). Kelestarian DAS ditentukan oleh pola perilaku, keadaan sosial-ekonomi dan tingkat pengelolaan yang sangat erat kaitannya dengan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement). Tidak optimalnya kondisi DAS antara lain disebabkan tidak adanya adanya keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan DAS tersebut.

DAS Ketahun sebagai salah satu DAS di Provinsi Bengkulu merupakan DAS regional yang melintasi tiga wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Lebong, Kabupaten Rejang Lebong dan Kabupaten Bengkulu Utara. Dari tingkat bahaya erosi DAS ini merupakan DAS urutan prioritas pertama untuk diperbaiki. Oleh karena meliputi tiga kabupaten tentu masalah yang dihadapi lebih komplek dan memerlukan pengelolaan yang terpadu antar wilayah, antar sektor maupun antar kelembagaan. 2. GAMBARAN UMUM DAN PERMASALAHAN DAS KETAHUN 2.1 Gambaran Umum 2.1.1 Karakteristik DAS Ketahun Bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS) di Provinsi Bengkulu memiliki karakteristik yang berbeda dengan bentuk-bentuk DAS di Provinsi lain. Karakteristik DAS di Provinsi Bengkulu adalah jarak antara hulu dan hilir relatif pendek serta lebar tiap DAS relatif sempit. Bagian hulu DASDAS ini umumnya berada pada pegunungan Bukit Barisan, sedangkan hilirnya pada umumnya langsung ke Samudera Indonesia kecuali DAS Musi yang muaranya ke Pantai Timur Sumatera (Provinsi Sumatera Selatan). Kelerengan termasuk curam hingga sangat curam, karena bagian hulu berada pada pegunungan. Pendeknya jarak dari hulu-hilir dan curamnya kelerengan pada bagian hulu serta sempitnya DAS maka apabila turun hujan pada bagian hulu akan cepat terkirim dan sampai pada outlet/hilir suatu DAS. Arah dan pola aliran sungai yang terdapat dan melintasi wilayah Propinsi Bengkulu dapat dikelompokkan atas 3 pola utama, yaitu : Sungai-sungai yang mengalir ke Samudera Hindia atau ke arah barat; Sungai-sungai yang mengalir ke Selat Bangka atau ke arah timur; Sungai-sungai di Pulau Enggano yang mengalir ke Samudera Hindia. DAS Ketahun adalah salah satu DAS dari 57 DAS yang ada di Provinsi Bengkulu dengan luas total 240.093 ha. DAS Ketahun merupakan DAS regional yaitu DAS yang melintasi lebih dari satu kabupaten/kota, dengan rincian luas bagian DAS yang berada di wilayah Kabupaten Lebong adalah 118.905 ha, di Kabupaten Rejang Lebong seluas 4.348 ha dan di wilayah Kabupaten Bengkulu Utara seluas 116.839 ha. Luas DAS dan Sub DAS Ketahun ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas DAS dan Sub DAS Ketahun No KWP DAS DAS Luas (Ha) Sub-DAS Luas (Ha) 1. KETAHUN 1. Ketahun 240,544.72 1. Ketahun Hulu 116.477 2. Santan 13.646 3. Suwoh 41.021 4. Ketahun Tengah 17.482 5. Lelangi Hulu 25.662 6. Lelangi Hilir 7.346 7. Ketahun Hilir 18.458 JUMLAH 240.093 Sumber : BPDAS Ketahun, 2005 Bagian Hulu DAS ini berada di Kabupaten Lebong dan memiliki topografi yang curam. Luas Kabupaten Lebong adalah 192.924 ha, yang terdiri dari kawasan hutan seluas 134.832 ha (70%) dan arahan penggunaan lain seluas 58.092 ha (30%). Kawasan hutan yang berada pada wilayah

ini adalah Taman Nasional Kerinci Seblat; Cagar Alam (CA) Danau Tes, Danau Menghijau; Hutan Lindung (HL) Rimbo Donok dan Bukit Daun (BPDAS Ketahun, 2005). Bagian hilir DAS Ketahun berada di Kabupaten Bengkulu Utara. Kabupaten ini mempunyai luas 554.854 ha yang terdiri dari kawasan hutan seluas 223.309 ha (40,24%) dan arahan penggunaan lain seluas 331.545 ha (59,82%). Kawasan hutan yang berada di Kabupaten ini adalah Taman Nasional Kerinci Seblat; Cagar Alam Kioyo 1 dan 2, Tanjung Laksaha, Sungai Bahewo, Taba Penanjung I, Taba Penanjung II, Teluk Klowe; Taman Buru Gunung Nanuua; Taman Wisata Alam Air Hitam; Taman Hutan Raya Raja Lelo; Hutan Lindung Bukit Daun, Koko Buwa-buwa; Hutan Produksi Tetap Air Bintunan, Air Urai-Air Serangai; Hutan Produksi Terbatas Lebong Kandis, Air Ketahun, Hulu Malakoni (BPDAS Ketahun, 2005). 2.1.2 Topografi dan Morfologi Wilayah Fisiografi wilayah Propinsi Bengkulu di Pulau Sumatera (mainland) terdiri atas jalur dataran rendah yang tidak begitu lebar dan membentang dari ujung utara sampai ujung selatan, kemudian disusul oleh jalur dataran tinggi yang merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan. Bentuk wilayah relatif memanjang sejajar garis pantai, dengan panjang garis pantai tersebut sekitar 525 km. Sementara lebar daratan dari garis pantai bervariasi, dari yang tersempit sekitar 32,5 km (di sekitar perbatasan Kabupaten Seluma dan Kabupaten Bengkulu Selatan) dan yang terlebar adalah sekitar 102 km (yaitu jarak dari pantai sampai perbatasan Kecamatan Kota Padang Kabupaten Rejang Lebong dengan Propinsi Sumatera Selatan). Secara geomorfologi atau bentukan permukaan bumi terdapat 4 karakter utama, yaitu : Dataran Pantai, yang terdapat di sepanjang pantai, yang membentang dari Kabupaten Mukomuko sampai Kabupaten Kaur; Dataran Alluvial, yang memanjang di belakang dataran pantai, yang mempunyai lebar antara 5 10 km, dan mempunyai kesuburan tanah yang cukup tinggi; Zona Lipatan, yang memanjang sejajar dan di belakang dataran aluvial, dengan ketinggian berkisar antara 100 400 m di atas permukaan laut; Zona Vulkanik, yang merupakan bagian dari Pegunungan Bukit Barisan, dengan karakter pegunungan patahan (dikenal dengan Patahan Semangko) dan kompleks vulkanik dengan pusat erupsi umumnya di luar wilayah Propinsi Bengkulu. Dihubungkan dengan karakter morfologi wilayah di atas, maka di bagian hulu DAS DAS tersebut haruslah berfungsi lindung, berupa kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Luas DAS Ketahun berdasarkan kemiringan lereng seperti pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa kelerengan termasuk curam hingga sangat curam, karena bagian hulu dari DAS berada pada pegunungan. Tabel 2. Luas DAS Ketahun berdasarkan kemiringan lereng No Kelas Kemiringan Lereng Luas Prosentase (%) (Ha) (%) 1. Datar <8 7.847 3,27 2. Landai 8 15 29.801 12,41 3. Agak Curam 16 25 4. Curam 26 40 183.589 76,47 5. Sangat Curam > 40 18.856 7,85 JUMLAH 240.093 100,00

Sumber : BPDAS Ketahun, 2005. 2.1.3 Jenis Tanah Luas DAS Ketahun berdasarkan jenis tanah ditunjukkan pada Tabel 3 berikut ini : Tabel 3. Luas DAS Ketahun Berdasarkan Jenis Tanah No. Jenis Tanah Luas Prosentase (Ha) (%) 1. Dystrandepts 7.537 3,14 2. Dystropepts 148.270 61,76 3. Hapludult 5.125 2,13 4. Hapludults 6.178 2,57 5. Tropaquepts 5.493 2,29 6. Tropofluvents 1.068 0,44 7. Troporthents 18.855 7,85 8. Tropodults 47.567 19,81 Jumlah 240.093 100,00 Sumber : BPDAS Ketahun, 2005. Dari ke-8 jenis tanah tersebut, pada umumnya merupakan jenis tanah yang agak peka sampai sangat peka terhadap erosi. Sehubungan dengan itu, maka selayaknya pemanfaatan lahan atau ruang diatas permukaannya merupakan vegetasi penutup tanah yang memiliki perakaran kuat dan jangan sampai menjadi lahan terbuka atau lahan gundul. Vegetasi penutup tanah dimaksud terdapat baik pada kawasan lindung (berupa hutan) maupun pada kawasan budidaya (terutama berupa perkebunan ataupun pertanian lahan kering lainnya). 2.1.4 Iklim dan Curah Hujan

Tipe iklim berdasarkan klasifiksi Schmid-Ferguson secara umum termasuk tipe A dengan bulan basah sepanjang tahun, kecuali disebelah Selatan Kabupaten Rejang Lebong termasuk type B. Keadaan iklim berdasarkan unsur iklim seperti pada Tabel 4 di bawah ini. Tabel 4. Keadaan Iklim Berdasarkan Unsur Iklim Unsur Iklim Maksimum

Minimum

Rata-rata

Suhu Udara/bulan (C) 34.1 19.8 25.7 Kelembaban Udara (%) 89 84 86 Jumlah Hari hujan/bulan (hari) 25 17 21 Curah hujan (mm/tahun) 639 163 317 Sumber : Bengkulu Dalam Angka Tahun 2005/2006 Rata-rata jumlah curah hujan adalah antara 3.000 sampai 4.000 mm/tahun dan jumlah hari hujan rata-rata 130 200 hari/tahun. Hari hujan pada tahun 2005 rata-rata mencapai 21 hari hujan per bulan. Hari hujan di atas rata-rata terjadi pada bulan Oktober Desember berkisar antara 25-27 hari. Dibandingkan dengan tahun 2004 rata-rata hari hujan tahun 2005 relatif lebih tinggi. Curah hujan pada tahun 2005 mencapai 317 mm. Curah hujan di atas rata-rata terjadi pada bulan Mei, Juni, Agustus dan Oktober Desember berkisar antara 327-639 mm. Dibandingkan tahun 2004, curah hujan tahun 2005 jauh lebih tinggi. Jumlah curah hujan dan hari hujan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan Tahun 2004 dan 2005 Curah hujan (mm) Hari hujan (hh) No Bulan 2004 2005 2004 2005 1 Januari 210 233 21 19 2 Februari 203 176 22 19 3 Maret 142 246 19 21 4 April 258 163 18 19 5 Mei 402 343 21 20 6 Juni 85 378 9 21 7 Juli 184 195 19 21 8 Agustus 107 327 12 16 9 September 335 215 17 17 10 Oktober 137 412 16 27 11 November 547 481 23 25 12 Desember 608 639 24 25 Jumlah 3.216 3.808 216 250 Rata-rata 268 317 18 21 Sumber : Bengkulu Dalam Angka Tahun 2005/2006 2.1.5 Fungsi Kawasan dan Kondisi Penutupan Lahan

Luas DAS berdasarkan fungsi kawasan terdiri atas kawasan Suaka Alam seluas 136.806 ha (56,98%) dan arahan penggunaan lain seluas 103.287 ha (43,02%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 6. Luas DAS Ketahun berdasarkan Fungsi Kawasan No. Fungsi Kawasan Kawasan Suaka Alam Hutan Lindung Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Terbatas Jumlah A B.1. Arahan Penggunaan Lain Jumlah B Jumlah A + B Sumber : BPDAS Ketahun, 2005. A.1. 2. 3. 4. Luas (Ha) 102.596 12.020 22.190 136.806 103.287 103.287 240.093 Prosentase (%) 42,73 5,01 9,24 56,98 43,02 43,02 100,00

Kondisi penutupan lahan berdasarkan hasil penafsiran citra satelit didominasi oleh pertanian lahan kering campur seluas 97.577 ha (40,64%). Pertanian lahan kering campur merupakan asosiasi beberapa komoditi baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan pada areal lahan kering. Selanjutnya diikuti oleh hutan lahan kering primer (29,70%) dan hutan lahan kering sekunder (21,91%). Hutan primer lahan kering umumnya berada di sekitar Pegunungan dan

pada lereng-lereng yang terjal. Secara rinci kondisi penutupan lahan DAS Ketahun seperti pada Tabel 7 berikut. Tabel 7. Luas DAS Ketahun berdasarkan Jenis Penutupan Lahan No. Jenis Penutupan Lahan Luas (Ha) 1. Hutan Lahan Kering Primer 71.301 2. Hutan Lahan Kering Sekunder 52.613 3. Hutan Mangrove Sekunder 56 4. Hutan Tanaman 11 5. Pemukiman 340 6. Perkebunan 1.511 7. Pertanian Lahan Kering Campur 97.577 8. Sawah 7.179 9. Semak/Belukar 8.800 10. Tanah Terbuka 109 11. Tubuh Air 596 Jumlah 240.093 Sumber : BPDAS Ketahun, 2005. Prosentase (%) 29,70 21,91 0,02 0,00 0,14 0,63 40,64 2,99 3,67 0,05 0,25 100,00

2.2 Permasalahan Sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan jumlah penduduk, maka berbagai tatanan kehidupan berubah dengan cepat mengikuti perkembangan peningkatan kebutuhan masyarakat. Salah satu dampak dari perubahan tersebut ialah pola pemanfaatan sumber daya alam yang berada disekitar masyarakat. Keinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin, umumnya kurang memperhatikan dampak yang akan muncul dikemudian hari. Selain itu perkembangan penduduk dan pemukiman akan mendesak pola penggunaan lahan sehingga terjadi alih fungsi lahan (Napitu, 2008). Penyebaran penduduk yang tidak merata antar daerah dan kabupaten/kota yang pada umumnya penyebaran penduduk lebih terkonsentrasi pada bagian hilir DAS dan sungai-sungai yang besar. Fenomena lain adalah mobilisasi penduduk yang mencari lahan-lahan yang relatif lebih subur, sehingga banyak masyarakat dari bagian hilir yang menggarap lahan di kawasan hutan atau pada lahan dengan elevasi yang lebih tinggi. Hariyadi (1988) dalam Napitu (2008) mengemukakan bahwa tingkat pertambahan penduduk begitu pesat, sebaliknya luas DAS relatif tetap tidak mengalami perubahan, ditambah lagi dengan faktor kemiskinan penduduk yang mengakibatkan semakin meningkatnya perubahan penggunaan lahan yang pada umumnya kurang memperhatikan faktor konservasi tanah dan air dalam pengelolaannya. Pemanfaatan potensi DAS baik sumber daya lahan maupun sumberdaya air yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi akan mengakibatkan degradasi di hulu, tengah dan hilir DAS. Kawasan hutan saat ini sedang mengalami tekanan yang berat dari masyarakat dengan berbagai kepentingan, konflik batas wilayah hutan, perambahan hutan dan penebangan liar (illegal logging) masih terus berlangsung. Hal ini tidak terlepas dari pengelolaan hutan dimasa lalu yang melupakan aspek sosial, ekonomi dan ekologi dengan masyarakat sebagai stake holders, disamping itu penegakan hukum (law inforcement) di bidang kehutanan masih lemah. Kesadaran masyarakat dalam upaya konservasi hutan dan lahan belum membudaya, hanya

berorientasi pada kepentingan jangka pendek sehingga menimbulkan degradasi sumberdaya hutan dan lahan dan menurunnya kualitas lingkungan. Kesenjangan sosial dan kemiskinan yang menonjol pada masyarakat di sekitar kawasan hutan mendorong meningkatnya tekanan terhadap hutan dalam berbagai kegiatan. Penebangan liar cukup tinggi karena kebutuhan kayu di masyarakat yang semakin meningkat. Pola usaha tani pada umumnya belum mempraktekan sistem bertani yang ramah lingkungan. Sekitar 35 persen dari 3.000 hektar hutan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) di Kabupaten Lebong yang merupakan bagian hulu DAS Ketahun rusak. Hal ini karena hutan dibabat masyarakat untuk dijadikan lahan perkebunan kopi dan tanaman keras lainnya. Hutan TNKS yang dibuka masyarakat dan dijadikan ladang kopi tersebut tersebar di empat kecamatan yang ada di Kabupaten Lebong yaitu Kecamatan Lebong Utara, Lebong Tengah dan Kecamatan Lebong Atas. Di tiga kecamatan tersebut diperkirakan ada sekitar 1.500 Kepala Keluarga (KK) yang merambah hutan TNKS . Perambah hutan TNKS tersebut bukan saja berasal dari warga Kabupaten Lebong, tetapi juga berasal dari daerah luar Bengkulu (bappekab, 2008). Gambar 1. Bagian hutan yang rusak di Kabupaten Lebong Wilayah Kabupaten Lebong dilewati 2 sungai besar yaitu Sungai Ketahun dan Sungai Sebelat, yang mengalir ke Kabupaten Bengkulu Utara dan bermuara ke Samudera Hindia. Salah satu sungai yang telah dimanfaatkan adalah Sungai Ketahun sebagai pembangkit PLTA Tes yang dikelola oleh PLN dengan daya 17,2 MW. Sungai-sungai kecil di Kabupaten Lebong merupakan DAS Sungai Ketahun dan Sungai Sebelat. Pada saat ini, sungai-sungai kecil tersebut sebagian telah dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber irigasi dan air bersih. Data Kabupaten Lebong menunjukan luas persawahan yang telah dikelola saat ini seluas 12.856 ha yang tersebar di 5 kecamatan, selain untuk mengairi sawah air irigasi juga dimanfaatkan masyarakat untuk budidaya ikan kolam dan air deras, tercatat pada tahun 2003 sektor ini mampu memproduksi ikan sebanyak 2.181 ton dengan luas total kolam 3.131 ha Kajian fisik topografi wilayah Kabupaten Lebong tidak mendukung untuk pembukaan lahan, salah satunya kerena daerah yang memiliki kemiringan di atas 40% mencapai luas 121.209,8 Ha atau sekitar 69,8%. Dengan kondisi tersebut, pembukaan lahan harus dengan pertimbangan dan pola-pola konservasi. Jika pengelolaannya tidak dengan memperhatikan kondisi tersebut, maka erosi, bencana longsor, dan banjir akan terjadi (BPDAS Ketahun, 2005). Di bagian tengah DAS Ketahun degradasi lahan terjadi karena adanya alih fungsi lahan menjadi pemukiman dan perkebunan. Jumlah penduduk pada bagian tengah DAS lebih banyak dibandingkan bagian hulu sehingga pencemaran yang berasal dari limbah rumah tangga juga akan mempengaruhi kesehatan DAS. Pada bagian hilir praktik penebangan kayu ilegal (illegal logging) di Kabupaten Bengkulu Utara kian marak dalam beberapa bulan terakhir terutama di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), hutan lindung, maupun Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Ratusan meter kubik kayu setiap harinya dirambah dari kawasan hutan di daerah itu dan dijual ke depot-depot kayu (panglong) di Kota Bengkulu. Sasaran utama para pencuri kayu adalah kawasan hutan produksi terbatas yang selanjutnya dibuka menjadi areal perkebunan rakyat. Para pencuri juga mengambil kayu jenis Meranti dan kayu kualitas ekspor lainnya dari kawasan hutan lindung dan TNKS, terutama yang berada dekat dengan sungai seperti Sungai Ketahun dan DAS Sebelat, untuk memudahkan transportasi (pengangkutan). Dari luasan kawasan hutan 40% telah mengalami kerusakan (BPDAS Ketahun, 2008).

Pelaksanaan otonomi daerah memberi kewenangan lebih luas bagi pemerintah daerah dalam pengaturan dan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pembangunan dalam wilayah administratifnya masing-masing. Batas wilayah administratif sering tidak sama dengan batas DAS (Daerah Aliran Sungai) yang secara ekologis menjadi unit pengelolaan SDA. Konsekuensi dari hal tersebut adalah timbulnya konflik dalam pengelolaan SDA yang melintasi beberapa wilayah administratif, misalnya aliran air (sungai) lintas kabupaten /kota, lintas propinsi, atau lintas negara. Konflik pengelolaan SDA lintas regional sebenarnya tidak perlu terjadi, ketika berbagai pihak mampu memahami bahwa batas aliran SDA mengikuti batas ekologis (DAS) yang terbentuk secara alami sebelum batas administratif ditetapkan oleh penduduk. Permasalahan lain adalah kelembagaan pengelolaan DAS dan lemahnya kebijakan publik, khususnya menyangkut lemahnya pertanggung-gugatan (accountability) pengelolaan DAS dan sumberdaya air yang merupakan sumberdaya publik. Selain itu, pendekatan teknis yang telah dan akan dilakukan belum menggunakan DAS sebagai unit analisis, tetapi cenderung bersifat parsial, sektoral atau terkait dengan kewenangan wilayah administratif tertentu. Setiap Kabupaten atau Pemerintahan Kota mempunyai program dan kebijakan sendiri-sendiri terkait dengan pengelolaan sumberdaya daya yang terdapat di dalam satu kawasan DAS yang sama tanpa melakukan koordinasi. Akumulasi dari permasalahan di atas menyebabkan terjadinya kerusakan DAS yaitu daerah tangkapan air bagi beberapa sungai besar yang ada di setiap kabupaten akan berkurang, sehingga debit air sungai dapat turun drastis. Hal ini sangat berdampak terhadap debit air irigasi tehnis yang ada. Selain itu, jika hutan Bengkulu yang gundul semakin luas maka daerah ini suatu saat akan dilanda banjir besar pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Gejala seperti itu sudah mulai terlihat sekarang ini dimana hujan tidak turun dalam satu bulan saja warga sudah kesulitan untuk mendapatkan air, karena sumur mereka kering. Kondisi DAS dapat diindikasikan dengan tingkat kekritisan lahan dan tingkat bahaya erosinya. Pada Tabel 8 dan 9 digambarkan tingkat kekritisan lahan dan rekap luas lahan kritis pada berbagai kawasan di DAS Ketahun, sedangkan pada Tabel 10 digambarkan tingkat bahaya erosinya. Tabel 8. Tingkat Kekritisan Lahan pada berbagai kawasan di DAS Ketahun Tingkat Kekritisan Lahan (Ha) No Kawasan Tidak Agak Potensial Sangat kritis kritis kritis kritis kritis 1. Hutan Lindung 708 49.220 59.369 4.416 21.356 2. Budidaya pertanian 0 24.574 7.346 45 0 3. Lindung diluar 0 14.456 444 54.169 326 kawasan hutan Jumlah 708 88.250 67.159 58.630 21.682 Sumber : BPDAS Ketahun, 2005. Tabel 9. Rekap Luas Lahan Kritis di DAS Ketahun No. Kawasan 1. Hutan Lindung 2. Budidaya pertanian 3. Lindung diluar kawasan hutan

Jumlah 135.069 31.965 69.395 236.429

Luas (Ha) 25.772 45 54.495

Prosentase (%) 32,09 0,06 67,85

Jumlah Luas DAS Ketahun Prosentase dari Luas DAS Sumber : BPDAS Ketahun, 2005.

80.312 240.039 33,45%

100,00

Dari Tabel 9 terlihat bahwa luas lahan kritis terbesar pada kawasan lindung di luar kawasan hutan seluas 67,85% dan pada kawasan hutan lindung seluas 32,09%. Hal ini menunjukkan aktivitas budidaya serta kegiatan-kegiatan yang tidak berpihak pada lingkungan. Selain diindikasikan dari kekritisan lahan kerusakan DAS juga ditunjukkan oleh tingkat bahaya erosi seperti pada Tabel 10 di bawah ini. Tabel 10. Luas DAS berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di DAS Ketahun No. Tingkat Bahaya Erosi Luas Prosentase (Ha) (%) 1. Sangat ringan 67.499 28,11 2. Ringan 2.449 1,02 3. Sedang 9.178 3,82 4. Berat 36.003 15,00 5. Sangat Berat 124.964 52,05 Jumlah 240.093 100,00 Sumber : BPDAS Ketahun, 2005. Dari Tabel di atas terlihat bahwa tingkat bahaya erosi dengan kriteria sangat berat merupakan prosentase terbesar (52,05%), karena itu termasuk DAS yang diprioritaskan untuk direhabilitasi. Sub-sub DAS Ketahun yang merupakan urutan prioritas 1 berdasarkan tingkat bahaya erosi adalah sub DAS Ketahun Hulu, Suwoh dan Ketahun Hilir. Urutan prioritas 2 adalah sub DAS Santan dan Lelangi Hulu. Urutan prioritas 3 berdasarkan tingkat bahaya erosi adalah sub DAS Ketahun Tengah dan Lelangi Hilir.

3. STRATEGI PENGELOLAAN DAS KETAHUN TERPADU Kemiskinan dianggap sebagai salah satu penyebab kemerosotan lingkungan. Kualitas sumber daya manusia yang rendah pada masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan akan mempengaruhi kemampuan dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup. Sebaliknya, kualitas lingkungan hidup yang rendah juga mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Makin bertambahnya jumlah penduduk dan makin meningkatnya kebutuhan akan kualitas hidup mendorong peningkatan kebutuhan manusia. Hal tersebut akan berdampak terhadap keberadaan sumber daya lahan dan keadaan keanekaragaman sumber daya alam. Pada aspek lain rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat juga sangat mempengaruhi kualitas lingkungan hidup. Pengelolaan sumber daya alam masih belum berkelanjutan dan masih mengabaikan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kegiatan yang bertujuan untuk peningkatan produksi pertanian semata berupa penggunaan input produksi seperti pupuk dan pestisida yang berlebihan dan mengabaikan kelestarian lingkungan menyebabkan terjadinyan pencemaran dan

ketidakseimbangan sistem lingkungan secara keseluruhan dalam menopang kehidupan manusia. Hal ini lebih diperparah dengan penegakan hukum yang masih lemah, diskriminatif dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi kawasan. Sisi lain adanya pandangan secara parsial terhadap pembangunan menyebabkan masing-masing pemerintah daerah kabupaten lebih mementingkan pembangunan ekonomi untuk mengejar pendapatan asli daerah sehingga banyak terjadi perambahan kawasan berfungsi lindung untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Menurut Rencana Strategi (Renstra) Provinsi Bengkulu (Bappeda, 2004), kebijakan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui konservasi, dilaksanakan melalui program peningkatan efisiensi SDA dan lingkungan hidup dengan beberapa kegiatan antara lain : 1. Peningkatan pemanfaatan dan pemantapan kawasan hutan. 2. Peningkatan efisiensi pemanfaatan dan pengolahan hasil hutan. 3. Pengembangan wisata hutan. 4. Pembinaan dan pengelolaan keanekaragaman hayati. Kebijakan pemberdayaan kemampuan daerah dalam mengelola SDA sebagai wujud pelaksanaan otonomi daerah yang bertujuan untuk rehabilitasi dan penghematan penggunaan SDA dengan menerapkan teknologi yang akrab lingkungan, dilaksanakan melalui program konservasi dan rehabilitasi SDA dan lingkungan hidup dengan beberapa kegiatan antara lain : 1. Penyusunan master plan rehabilitasi hutan dan lahan. 2. Pengelolaan DAS dan kawasan konservasi. 3. Perlindungan hutan dari kerusakan dan pencurian. 4. Penerapan sistem konservasi. 5. Perlindungan daerah tangkapan air. 6. Penghijauan tanaman hutan rakyat. 7. Pengembangan hutan kemasyarakatan dan anka usaha kehutanan. 8. Penyuluhan dan pengawasan di bidang lingkungan hidup. Pengelolaan DAS secara terpadu hulu-hilir dapat dilaksanakan melalui beberapa aspek di bawah ini : 3.1 Penguatan Koordinasi dan Kapasitas Kelembagaan Percepatan pembangunan hanya mungkin dilakukan apabila dilakukan perubahanperubahan menuju pemerintahan yang baik dan besih (good and clean governance) di pihak pemerintah daerah dan perbaikan kualitas sumber daya manusia dipihak masyarakat. Pemerintahan yang baik dan bersih akan terwujud apabila pemerintahan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dilakukan dengan tingkat akuntabilitas dan transparansi yang tinggi dengan melibatkan masyarakat. Pemerintahan yang baik dan bersih akan dicapai melalui beberapa strategi sebagai berikut : 1. Membangun tata pemerintahan yang baik dan bersih dengan memberi teladan dan berani menindak setiap pelanggaran. 2. Menempatkan sumber daya manusia aparatur secara professional dan sesuai dengan kompetensi. 3. Mewujudkan tata pemerintahan partisipatoris, responsif dan demokratis dengan mengutamakan kepercayaan, budaya kerja keras serta disiplin tinggi.

4. Mewujudkan tata pemerintahan yang mampu memotivasi rakyat untuk memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki. Dari aspek perbaikan kualitas sumber daya manusia perlu dikembangkan pendidikan dan keterampilan bagi masyarakat sehingga mampu menghasilkan sumber daya manusia yang trampil dan mandiri. Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam pendekatan penanganan DAS ialah aspek sosial masyarakat dengan melibatkan masyarakat sebagai stakeholder mengunakan pendekatan partisipatif. Pendekatan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menerima, menerapkan, mengelola, dan mengembangkan sendiri teknologi tersebut atau dengan kata lain meningkatkan akseptibilitas masyarakat terhadap teknologi konservasi yang diterapkan. Pendekatan teknis yang selama ini dijadikan sebagai alternatif pengendalian umumnya bersifat jangka pendek, disamping itu menyebabkan biaya sosial dan finansial yang tinggi, sehingga apabila pendekatan teknis/teknologi ini kurang didukung oleh pendekatan-pendekatan institusi, sosial, ekonomi dan kelembagaan yang mantap maka tidak akan memberikan hasil yang memuaskan. Kelembagaan yang dimaksud adalah mencakup aturan main, organisasi yang perilakunya dipengaruhi oleh aturan main tersebut, serta kelembagaan yang berupa ikatan-ikatan sosial di dalam masyarakat (Slamet, 2008). Pengelolaan DAS yang melintasi beberapa wilayah administrasi yang berbeda memerlukan koordinasi dan keterpaduan kebijakan pengelolaan dari hulu-hilir, sehingga kebijakan yang dilaksanakan tidak bersifat ego sektoral dan ego wilayah masing-masing-masing. Pengelolaan DAS harus secara menyeluruh dengan memperhatikan DAS sebagai unit analisis dan bukan batasan wilayah administrasi. Demikian juga dengan koordinasi antar sektor terkait hulu dan hilir, sehingga kegiatan yang dilaksanakan tidak berjalan sendiri-sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut tentu saja bukan hal yang mudah, tetapi dengan komitemen bersama dan kesadaran bersama bahwa dalam pengelolaan DAS berlaku prinsip one river, one plan, one management mengindikasikan pentingnya DAS dikelola sebagai suatu kesatuan utuh ekosistem sumberdaya alam. Melalui pola ini pola pengelolaan yang bersifat ego sektor dan parsial dapat dihindari karena orientasi dan komitmen perencana, pelaksana dan pengawas program pengelolaan DAS akan tertuju pada lembaga bersama dan meliputi keseluruhan hulu-hilir DAS (Asdak, 2007). Dalam rangka peningkatan pemahaman dan koordinasi semua sektor dalam pengelolaan DAS terpadu, strategi yang ditempuh pemerintah daerah melalui : 1. Memantapkan sistem perencanaan tata ruang dengan meningkatkan ketersediaan rencana tata ruang wilayah yang dilakukan secara transparan, partisipatif dan sesuai dengan kaidah perencanaan. 2. Meningkatkan ketertiban pemanfaatan ruang dalam DAS melalui penyediaan rinci tata ruang dan melengkapinya dengan kebijakan, peraturan-peraturan, standar, mekanisme perizinan dalam pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang. 3. Meningkatkan kemampuan kelembagaan melalui pengembangan prosedur dan mekanisme, pengembangan organisasi, pemasyarakatan prinsip pengelolaan DAS termasuk hak dan kewajiban masyarakat dalam penyusunan rencana serta perwujudan dan pengendalian dalam pengelolaan DAS. 3.2 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan Dari data karakteristik DAS Ketahun jenis penutupan lahan yang paling dominan adalah pertanian lahan kering campur seluas 97.577 ha atau 40,64% dari luas seluruh DAS dan dari rekapan luas lahan kritis di DAS Ketahun, kawasan lindung di luar kawasan hutan menempati

urutan teratas yaitu seluas 54.495 ha atau 67,85% dari total luas lahan kritis (80.312 ha). Dari data tersebut strategi yang dilakukan adalah : 3.2.1 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Dalam paradigma baru pembangunan pertanian, pembangunan pertanian berkelanjutan saat ini sudah menjadi isu dan perhatian masyarakat. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa harus mengorbankan kebutuhan dan aspirasi generasi mendatang. Dalam Grand Strategi Pembangunan Pertanian disebutkan bahwa pembangunan pertanian harus dilakukan secara berkelanjutan, dengan memadukan antara aspek organisasi, kelembagaan, ekonomi, teknologi dan ekologis (Bahar, 2007). Dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya tersebut diperlukan suatu konsep yang memperhatikan faktor sosial budaya, ekonomi dan lingkungan secara terintegrasi. Strategi pembangunan pertanian secara berkelanjutan harus mencakup aspek-aspek kebijakan di sektor pertanian, diversifikasi program dan usaha tani, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk secara tepat, perencanaan dan pengelolaan lahan yang memperhatikan aspek konservasi tanah dan air, pemanfaatan sumberdaya air secara efisien, pembangunan infrastruktur pendukung dan peningkatan keterampilan petani dan kelembagaan (Kementrian Lingkungan Hidup, 1997). Kegiatan budidaya pertanian tidak terlepas dari pemanfaatan sumberdaya alam seperti sumberdaya air, tanah, udara dan keanekaragaman hayati untuk mencapai sasaran produksi dan kualitas yang diinginkan. Sumberdaya yang dimanfaatkan tersebut telah memberikan dukungan yang besar dalam pembangunan pertanian, namun pengelolaan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan menyebabkan menurunnya kemampuan alam untuk menopang kehidupan. Praktek pertanian yang berorientasi semata-mata hanya pada peningkatan produksi menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga tidak dapat menjamin keberlanjutan pemanfaatannya. Upaya-upaya peningkatan produktivitas di sektor pertanian dirangkum dalam satu strategi yang disebut revitalisasi pertanian untuk memacu perekonomian. Revitalisasi pertanian dilakukan untuk mendukung peningkatan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian dan mendukung perekonomian daerah. Menurut Las dkk (2006) revitalisasi pertanian mempunyai enam sasaran utama yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Peningkatan kesejahteraan dan pengentasan dari kemiskinan. Perluasan kesempatan kerja dan berusaha. Ketahanan pangan. Peningkatan daya saing pertanian. Pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Pembangunan daerah

Kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan antara lain : a. Penerapan Usaha Tani Konservasi Usahatani konservasi adalah usahatani yang disertai dengan penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air yang lebih menekankan pada pola pengaturan pertanaman, tanpa banyak melibatkan pembuatan struktur bangunan pengendali erosi. Bentuk-bentuk usahatani konservasi antara lain: (1) Pemilihan jenis tanaman yang dibudidayakan, harus memprioritaskan jenis-jenis tanaman yang mempunyai dampak positif terhadap usaha konservasi tanah dan air, yaitu: sistem budidaya yang tidak terlalu banyak memerlukan pengolahan dan pembongkaran tanah terutama pada saat panen;

mempunyai tajuk yang cukup lebat, fungsi penutup tanah baik; mempunyai laju transpirasi kecil, tidak terjadi pemborosan air tanah; tidak terlalu rakus unsur hara, sehingga akan mempercepat pemiskinan hara tanah. Selain itu juga harus memperhatikan faktor-faktor non-teknis seperti, sesuai dengan tujuan pengusahaan, sesuai dengan kondisi agro-ekologi, sesuai dengan kebijakan pembangunan pertanian dan diminati oleh petani. (2) Pengaturan pola pertanaman yang mempunyai fugsi konservasi, seperti: rotasi tanaman, tumpang gilir, tumpang sari, atau monokultur. (3) Pengaturan bentuk pertanaman, seperti: pertanaman lorong (alley cropping) dan pertanaman sejajar kontur. (4) Pemberian mulsa, pemberian mulsa ini pada musim kemarau dapat mengurangi laju evaporasi, pada musim hujan mengurangi daya hancur butir hujan terhadap tanah, dan hasil dekomposisi mulsa dapat merupakan pupuk hijau. (5) Penerapan usaha tani dengan pengolahan tanah minimum (minimum tillage). (6) Pada usahatani perkebunan, dapat dilakukan dengan pananaman cover crop. b. Pembangunan Teras Bangku Berdasarkan topografi kelerengan DAS Ketahun termasuk curam hingga sangat curam, karena bagian hulu dari DAS berada pada pegunungan oleh sebab itu harus diperhatikan teknikteknik konservasinya. Pembangunan teras bangku terutama dilakukan pada lahan-lahan budidaya pertanian tanaman semusim maupun tanaman perkebunan yang memiliki kemiringan lahan antara 25-45 % (curam-sangat curam). Teras bangku pada prinsipnya hanya dapat diterapkan pada lahan-lahan yang kedalamannya cukup dalam dan tidak terlalu gembur. Pembuatan teras bangku pada tanah-tanah gembur akan mudah menimbulkan longsor, yang akhirnya akan menimbulkan erosi yang berlebihan. Pembuatan teras bangku harus disertai dengan penanaman tanaman penguat teras di sepanjang tebing/punggung teras bangku. Disamping itu pembuatan teras bangku juga harus disertai dengan pembuatan saluran-saluran pembuangan air limpasan dengan dasar rumput (grassed waterways) dan struktur terjunan (drop structure) guna mengurangi kemiringan lereng (slope gradient) saluran pembuangan air. Penelitian yang dilakukan oleh Syam (2003), sistem usaha tani konservasi teras bangku ditanami tanaman pangan dan tahunan di bidang olah, rumput pakan pada bibir dan tampingan teras serta melibatkan ternak pada DAS Brantas bagian hulu, menghasilkan produktivitas usaha tani yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem yang dilakukan petani dan secara kumulatif memberikan nilai produksi dan pendapatan bersih lebih tinggi karena selain didapat dari hasil tanaman pangan dan perkebunan juga keuntungan didapat dari usaha ternak. 3.2.2 Penerapan sistim Agroforestry Agroforestry adalah suatu sistem pertanaman campuran antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan berkayu (pohon), dalam suatu tapak yang sama dan dapat dikombinasikan dengan kegiatan peternakan atau perikanan. Sistim agroforestry pada hakekatnya dapat diterapkan dimana saja, namun lebih baik bila diterapkan pada lahan yang mempunyai kelerengan > 45%. Keuntungan-keuntungan sistem agroforestry antara lain: (1) Tercipta komunitas yang berfungsi sebagai hutan, tercipta strata tajuk yang baik sehingga dapat menahan daya hancur butir hujan.

(2) Merupakan sistim usahatani terpadu antara tanaman pangan dengan bahan lain seperti pakan ternak, buah-buahan, lebah madu, kayu bakar, atau kayu bangunan. (3) Kesempatan lebih banyak kepada petani untuk mendapatkan bahan kebutuhan sehari-hari. (4) Jenis-jenis tanaman atau komoditas lain dapat segera memberikan hasil bagi petani yang memerlukannya.

3.2.3 Reboisasi dan Penghijauan Reboisasi adalah penanaman pohon-pohon hutan pada lahan hutan. Reboisasi akan berhasil dengan baik apabila pemerintah dapat memberikan lapangan pekerjaan atau lahan usaha lain bagi perambah hutan. Sepanjang perambah hutan tidak mendapatkan sumber penghasilan lain, maka reboisasi akan sulit untuk berhasil. Kendala keberhasilan penghijaun terletak pada pemilihan jenis tanaman yang ditanam, apabila tanaman yang ditanam sesuai dengan minat masyarakat dan mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, maka kemungkinan untuk berhasil akan lebih besar. 3.2.4 Penerapan proses produksi bersih pada kegiatan agroindustri Agroindustri atau industri pengolahan hasil pertanian merupakan industri yang banyak membutuhkan air dan menghasilkan limbah (padat dan cair) dalam jumlah besar. Pendekatan pengelolaan limbah yang selama ini diterapkan ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan lingkungan. Mengingat limbah agroindustri sebagian besar merupakan bahan organik, maka semestinya dapat dikembalikan kembali ke lahan pertanian sebagai sumbernya. Sehingga perlu digalakkan penerapan proses produksi bersih yang menekankan pada daur ulang (recycle) dan penggunaan kembali (reuse) serta pengurangan (reduction) limbah (padat dan cair) yang dihasilkan. Indikator keberhasilan proses produksi bersih haruslah mengacu pada keberhasilan minimalisasi limbah (kualitas dan kuantitas) yang dihasilkan. 3.3 Pemberdayaan dan Peningkatan Partisipasi Masyarakat

Untuk mencegah terjadinya gangguan di DAS maka perlu dilakukan pengelolaan DAS dengan melibatkan masyarakat yang bermukim pada DAS yang bersangkutan. Pengelolaan DAS dimaksudkan agar terjadi keseimbangan antara sumberdaya alam dengan manusia dan segala aktivitasnya, sehingga diharapkan dapat terwujud kondisi tata air yang optimal, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun distribusinya serta terkendalinya erosi pada tingkat yang diperkenankan Pembangunan yang berorientasi pada masyarakat memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk dapat ikut serta dalam proses pembangunan dengan mendapatkan kesempatan yang sama dan menikmati hasil dari pembangunan tersebut. Syarat dari keikutsertaan seluruh anggota masyarakat adalah selain peluang dan akses yang sama juga menyangkut kemampuan masyarakat untuk berperan serta melalui pemberdayaan masyarakat. Kunci utama dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah adanya partisipasi masyarakat secara aktif dalam berbagai bentuk kegiatan. Menurut Slamet (2003), syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan adalah adanya kesempatan dalam pembangunan, adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu dan adanya kemauan untuk berpartisipasi. Untuk pembangunan tingkat desa yang banyak memerlukan masukan dari masyarakat desa, halhal yang dapat mempengaruhi masyarakat setempat untuk berpartisipasi dalam pembangunan sangat penting dan perlu mendapat perhatian.

Mitchell dkk (2007) berpendapat bahwa ada beberapa alasan agar suatu kegiatan menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdayanya yaitu untuk (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian sehingga memudahkan penerapan. Menurut Hidayati (1999) agar masyarakat berpartisipasi ada dua langkah yang dapat dilakukan yaitu identifikasi dan inventarisasi serta pemahaman stakeholders dan pemberdayaan masyarakat. Identifikasi dan inventarisasi stakeholders untuk mengetahui apa keterlibatan dan alasan mengapa terlibat. Dari hal ini dapat diketahui potensi yang dapat disumbangkan oleh masing-masing stakeholders untuk menunjang pelaksanaan pembangunan berbasiskan masyarakat. Pada pemberdayaan masyarakat perlu diperhatikan lima unsur pemberdayaan masyarakat dalam implementasinya, yaitu : 1. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tujuan utama adalah memberikan alternatif usaha yang secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi ramah terhadap lingkungan. 2. Memberikan akses kepada masyarakat seperti akses terhadap harga dan pasar, akses terhadap pengawasan, penegakan dan perlindungan hukum serta akses terhadap sarana dan prasarana pendukung lainnya. 3. Menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti dan nilai sumberdaya/ekosistem sehingga pelestariannya sangat diperlukan. 4. Menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjaga, mengelola dan melestarikan sumberdaya. 5. Menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengelola dan melestarikan sumberdaya. Dalam setiap upaya pemberdayaan harus dipandang sebagai sebuah pemacu untuk menggerakkan kegiatan ekonomi rakyat. Upaya pemberdayaan masyarakat setidaknya harus memuat lima hal pokok yaitu : 1. Bantuan dana sebagai modal usaha untuk memacu perekonomian masyarakat sehingga masyarakat tidak sepenuhnya tergantung pada hutan. 2. Pembangunan prasarana sebagai pendukung pengembangan kegiatan sosial ekonomi masyarakat. 3. Penyediaan sarana untuk memperlancar pemasaran hasil produksi barang dan jasa masyarakat. 4. Pelatihan bagi aparat dan masyarakat. 5. Penguatan lembaga sosial ekonomi masyarakat. Pengelolaan DAS secara terpadu harus dilakukan oleh semua pihak yang ada di sekitar baik itu Hutan Lindung maupun Taman Nasional. Pemerintah, masyarakat dan swasta harus berkolaborasi untuk menyusun dan mengimplementasikan aktivitas dalam membangun inisiatif lokal pengelolaan DAS Ketahun secara berkelanjutan. Dalam pengelolaan DAS Ketahun diawali dengan membangun inisiatif lokal dalam perencanaan pengelolaan Hulu DAS Ketahun dan juga membangun inisiatif Desa Konservasi secara partisipatif di Kawasan Penyangga Hulu DAS Ketahun (Desa Bandar Agung Kecamatan Rimbo Pengadang Kabupaten Lebong) (Akar, 2007). 4. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat disimpulkan : 1. Pengelolaan DAS yang melintasi beberapa wilayah administrasi yang berbeda memerlukan koordinasi dan keterpaduan kebijakan pengelolaan dari hulu-hilir. Pengelolaan DAS harus secara menyeluruh dengan memperhatikan DAS sebagai unit analisis dan bukan batasan wilayah administrasi. 2. Pengelolaan DAS secara terpadu hulu-hilir dapat dilaksanakan melalui beberapa aspek yaitu penguatan koordinasi dan kapasitas kelembagaan, pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian dan keberlanjutan DAS. DAFTAR PUSTAKA Akar, 2007. Membangun Inisiatif Lokal Dalam Perencanaan Pengelolaan Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ketahun. Melalui akarfoundation.wordpress.com /2007/07/11/pengelolaankawasan. Asdak, 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Asdak, 2007. Pemanfaatan Ruang Dalam Konteks Antar Sektor, Antar Lembaga dan Antar Wilayah. Makalah untuk Workshop Peningkatan Kapasitas Perencanaan Tata Ruang Bagi Aparat Pemerintah Daerah, Medan 14-15 Maret 2007. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Bengkulu, 2004. Rencana Strategis (Renstra) Propinsi Bengkulu Tahun 2004. Bengkulu. Bahar, Y.H., 2007. Pertanian Organik, Ataukah Pertanian Berkelanjutan. Melalui http://www.hortikultura.go.id. Bappekab, 2008. 35 Persen Hutan TNKS di Bengkulu Rusak. Melalui sidoarjo.sytes.net/bappekab/02-info-terbaru/renbang/Edisi-i/Land%20use.doc land use. BPDAS Ketahun, 2005. Data Spasial Lahan Kritis Propinsi Bengkulu. Balai Pengelolaan DAS Ketahun, Bengkulu. BPDAS Ketahun, 2008. Pembalakan Liar di Bengkulu Utara Kian Marak. Melalui http://www,bpdas-ketahun.net. BPS Bengkulu. 2005. Bengkulu Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Bengkulu, Bengkulu. Departemen Kehutanan, 2003. Pedoman Teknis Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Melalui http://www.dephut.go.id/informasi/undang2/skmenhut/. Hidayati, D. 1999. Potensi dan Kendala Dalam Pengelolaan Terumbu Karang: Pedoman Untuk Intervensi Pengelolaan Berbasis Masyarakat. Coremap Press, Australia. Kementrian Lingkungan Hidup . 1997. Ringkasan Agenda 21 Indonesia : Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. 300 Hal. Las, I., K. Subagyono dan A.P. Setiyanto. 2006. Isu dan Pengelolaan Lingkungan Dalam Revitalisasi Pertanian. Melalui http://www.pustaka.deptan.go.id/publication/ p.3253065.pdf. Mitchell, B., B. Setiawan dan D.H. Rahmi. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada Universty Press, Yogyakarta.

Napitu. J.P., 2008. Pengaruh Alih Guna Lahan Terhadap Kerusakan DAS Musi. Melalui forestindonesia.wordpress.com/2008/01/10/hubungan-alih-guna-lahan-terhadapkerusakan-das-musi/ alih fungsi lahan. Salim, E. 2004. Pembangunan Berkelanjutan Tantangan dan Harapan. Makalah Konferensi Nasional XVII Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan (BK-PSL) Makassar, 15-17 September 2004. Slamet, M. 2003. Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Perdesaan dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Penyunting Ida Yustina dan Ajat Sudrajat. Bogor : IPB Press. Slamet, B., 2008. Pelestarian Sungai Deli Melalui Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Deli Terpadu. Syam, A., 2003. Sistem Pengelolaan Lahan Kering di Daerah Aliran Sungai Bagian Hulu.

Anda mungkin juga menyukai