Anda di halaman 1dari 73

Teori pengolahan informasi Pendekatan proses informasi untuk perkembangan kognitif didasarkan pada analogi antara komputer digital

dan pikiran manusia.Kebanyakan teori teori proses informasi berbagi pandangan bahwa pikiran adalah sistem yang memanipulasi simbol2 menurut perangkat aturan.Seperti computer,pikiran kita berupa kode2 informasi yang diterima dari linkungan,dibuat dalam bentuk symbol dimana pikiran bisa diproses dan melalui operasi yang bermacam2,proses informasi ini unutk memproduksi output yang bisa digunakan sebagai solusi dari sebuah masalah.Ada banyak kesejajaran antara kognitif manusia dan computer yang bisa di ekplore oleh teori proses informasi.Seperti computer,kita juga memiliki sumber yang terbatas sepeeti memori yang membatasi tempat kinerja kognitif kita.Sebagai tambahan seperti computer,mengembangkan kecanggihan hardware mereka,demikian juga otak manusia berkembang yang mengarah kepada pertumbuhan pemikiran yang lebih kuat melalui proses.Namun,seperti Klahr dan MacWhinney (1998) teori proses informasi secara harfiah tidak percaya bahwa pikiran kita adalah computer.Lebih jauh mereka mengatakan keomputer sebagai alat untuk mengetes model dari perkembangan kognitif.Pada intinya tujuan nya adalah untuk mengetes teori prilaku yang bisa dihitung yang dapat dijelaskan oleh sistem komputasi,apakah perhitungan dilakukan oleh otak atau computer. Ketika ada banyak teori2 informasi,semua pendekatan dibagi dalam 3 asumsi(Siegler,1998).Keyakinan pertama adalah pengolahan informasi,bahwa setiap proses berpikir seperti mengingat atau mengamati melibatkan pengolahan informasi.kedua,teori proses informasi menekankan kebutuhan untuk mempelajari mekanisme mengubah perkembangan yang bergerak dari satu Negara berikutnya.ketiga,perkembangan dengan sistem proses informasi didorong oleh modifikasi sendiri dmana pengetahuan awal dan strategi dan dapat mengubah pemikiran pada tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Sistem pengolahan informasi Menurut Siegler(1998),teori pengolahan informasi focus pada organisasi sistem pengolahan informasi atau bisa kita sebut sebagai karakteristik structural dan proses yang menyediakan sarana untuk menyesuaikan perubahan permintaan dari lingkungan.pada gilirannya kita akan meneliti 2 aspek dari sistem pengolahan informasi. Karakteristik structural pada sistem pengolahan informasi bersifat universal pada setiap anak dan berbagi dasar yang sama pada struktur kognitif.

Posted on Filed under: Aktivasi Otak Tengah, Berita, Cerita Otak Tengah, Pengaktifan Otak Tengah Hartono @ 3:26 am

Info Terbaru ! Sekali lagi Otak Tengah dan Prof Dr. Sarlito Wirawan menjadi pembicaraan. Kali ini para pakar psikologi dan neuroscience Indonesia yang berbicara. Kontras sekali dengan pendapat negatif segelintir orang tentang Otak Tengah. Diskusi para pakar ilmuwan Indonesia ini ternyata membuka peluang agar penelitian tentang otak tengah semakin berkembang di Indoensia. Selama ini nama Prof Dr. Sarlito Wirawan sebagai pakar psikologi banyak dipakai oleh pihakpihak yang negatif terhadap Aktivasi Otak Tengah. Para pihak yang skeptis dengan aktivasi otak tengah sudah lama menunggu suatu komentar negatif mengenai topik kontroversial ini dari seseorang Pakar di Indonesia. Karena gemasnya, Prof Dr. Sarlito menulis suatu artikel di sebuah surat kabar nasional. Artikel ini diedarkan di kalangan anak-muda dan pihak yang skeptis. Pada pertemuan Diskusi Pakar di Grand Sahid Hotel 20 Jan 2011, para pakar neuroscience dan psikologi Indonesia berdiskusi tentang fenomena menarik yang menjadi topik kontroversial di Indonesia. Bahkan buku Dahsyatnya Otak Tengah karangan Hartono Sangkanparan, mencapai tingkat penjualan yang sangat mengagumkan di Indonesia. Sampai Desember 2010 tercatat sudang dicetak ulang sebanyak 14 kali !. Padahal cetakan pertama baru muncul Februari 2010. Buku ini mencatat rekor pada kelasnya. Bahkan cetak ulang kedua dilakukan pada hari ke 4 sejak peluncuran buku pertama kali. Pada Diskusi Pakar ini Prof Dr. Sarlito hadir dan mendapatkan informasi lengkap tentang aktivasi otak tengah ini. Berlawanan dengan anggapan beberapa orang skeptis bahwa pakar psikologi ini akan mengecam tajam Aktivasi Otak Tengah di Indonesia. Setelah mendapatkan informasi yang seimbang dari hasil diskusi ini, panutan psikolog Indonesia ini membuat suatu pernyataan yang menunjukkan Kelas-nya. Pakar psikologi ini memberikan masukan yang sangat berguna bagi kemajuan kecerdasan dan intelegensia bangsa. Berikut ini adalah sebagian pernyataan Prof Dr. Sarlito Wirawan :

Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono

Setelah mengikuti kuliah Neurologi dr 3 dokter Spesialis Syaraf dan mendengarkan penjelasan umum tentang GMC dari ibu Putri, perkenankan saya mengajukan beberapa hal. Bukan sebagai tokoh antagonis, tetapi sebagai masukan buat program GMC yg bagaimanapun juga sudah terlanjur populer di masyarakat. Harapan saya kita semua bisa meningkatkan kualitas pelayanan GMC agar lebih berdaya guna buat masyarakat, ketimbang adu kontroversi yg malah membingungkan masyarakat.
1. Dalam beberapa hal GMC (atau GMI? Maaf sy lupa) sudah benar.

Misalnya: menganjurkan ortu untuk mengubah cara mendidik anak, lebih banyak memuji walaupun anak salah, tidak memaksa belajar kalau situasi ga kondusif dll; metode training umum untuk meningkatkan general condition of mind, misal: relaksasi, motivasi musik dll (dipraktikkan jg di Asia Week, ESQ dn pelatihan2 lain). 2. Beberapa point masih kontroversial, misal: brain gym dan melihat dg mata tertutup. Ini masih dianggap psedo science dan ga jelas hubungannya dengan peningkatan inteligensi, sehingga perlu dipertimbangkan ulang. 3. Yang mutlak keliru adalah konsep Aktivasi Otak Tengah. Saya kira ke-3 dokter + dr Kemas sendiri, sama pendapatnya, yaitu yg distimulasi adalah

keseluruhan otak, bukan hanya Otak Tengah. Saya kira pernyataan dr Taufik sangat baik, yaitu bahwa teknologi yg terbaik adalah pendidikan. Dan untuk mengintervensi minimal 10 hari (brp Rp tuh?), bahkan bisa bertahuntahun, bukan hanya 2 hari. 4. Dalam strategi marketing ke depan perlu diperbaiki, misal dengan mengubah/hilangkan kata AOT, sehingga tidak ada kesan instant dan pembohongan. 5. Saya mengapresiasi niat baik GMC utk mendengar masukan dari berbagai pihak dan tidak hanya bersikap membela diri seperti yang banyak terjadi di Indonesia. Wassalam, Sarlito
team otaktengah.com

KATA-KATA MUTIARA EISTEIN


Meski ia mengatakan, "Aku tidak punya bakat khusus. Aku hanyalah orang yang penasaran." namun nama "Einstein" sangat identik dengan kata "Jenius". Hampir tidak ada seorangpun yang menolak jika Einstein dikatakan sebagai prototipe manusia jenius. Berikut berbagai pemikiran dan pendapat sang maskot ilmuwan modern. -Hakikatku adalah yang aku pikirkan, bukan apa yang aku rasakan -Selagi ada cinta tidak perlu ada lagi pertanyaan -Aku Berpikir terus menerus berbulan-bulan dan bertahun tahun, sembilan puluh sembilan kali dan kesimpulannya salah. Untuk yang keseratus aku benar. -Kalau mereka ingin menemuiku, aku ada disini. Kalau mereka ingin bertemu dengan pakaianku, bukalah lemariku dan tunjukkan pada mereka. (Ketika istrinya memintanya berganti untuk menemui Duta Besar Jerman) -Kebanyakan orang mengatakan bahwa kecerdasanlah yang melahirkan seorang ilmuwan besar. Mereka salah, karakterlah yang melahirkannya. -Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan tapi imajinasi.

-Imajinasi lebih berharga daripada ilmu pengetahuan. Logika akan membawa Anda dari A ke B. Imajinasi akan membawa Anda kemana-mana. -Tidak ada eksperimen yang bisa membuktikn aku benar, namun sebaliknya sebuah eksperimen saja bisa membuktikan aku salah. -Orang-orang seperti kita, yang percaya pada fisika, mengetahui bahwa perbedaan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan hanyalah sebuah ilusi yang terus menerus ada. -Dunia ini adalah sebuah tempat yang berbahaya untuk didiami, bukan karena orang-orangnya jahat, tapi karena orang-orangnya tak perduli. -Mencari kebenaran lebih bernilai dibandingkan menguasainya. -Hidup itu seperti naik sepeda. Agar tetap seimbang, kau harus terus bergerak. -Sudah saatnya cita-cita kesuksesan diganti dengan cita-cita pengabdian. -Lebih mudah mengubah plutonium dari pada mengubah sifat jahat manusia. -Tidak ada yang lebih merusak martabat pemerintah dan hukum negeri dibanding meloloskan undangundang yang tidak bisa ditegakkan. -Belajarlah dari masa lalu, hiduplah untuk masa depan. Yang terpenting adalah tidak berhenti bertanya. -Generasi-generasi yang akan datang akan kehilangan keyakinan bahwa manusia akan berjalan di muka bumi dengan darah dan daging. -Nilai manusia terletak pada apa yang bisa dia terima.-Kalau nilai 9 itu kesuksesan dalam kehidupan, maka nilai 9 sama dengan x ditambah y ditambah z. Bekerja adalah x, y adalah bermain, dan z adalah untuk berdiam diri. -Orang berjiwa besar akan selalu menghadapi perlawanan hebat dari orang-orang picik. -Barangsiapa yang tidak pernah melakukan kesalahan, maka dia tidak pernah mencoba sesuatu yang baru -Hal yang paling sukar dipahami di dunia ini adalah pajak penghasilan. -Kecerdasan tidak banyak berperan dalam proses penemuan. Ada suatu lompatan dalam kesadaran, sebutlah itu intuisi atau apapun namanya, solusinya muncul begitu saja dan kita tidak tahu bagaimana

atau mengapa. -Kebahagiaan dalam melihat dan memahami merupakan anugerah terindah alam. -Hanya ada dua cara menjalani kehidupan kita. Pertama adalah seolah tidak ada keajaiban. Kedua adalah seolah segala sesuatu adalah keajaiban. -Usaha pencarian kebenaran dan keindahan merupakan kegiatan yang memberi peluang bagi kita untuk menjadi kanak-kanak sepanjang hayat. -Hanya seseorang yang mengabdikan dirinya untuk suatu alasan dengan seluruh kekuatan dan jiwanya yang bisa menjadi seorang guru sejati. Dengan alasan ini penguasaan menuntut semuanya dari seseorang. -Kalau kau tidak bisa menjelaskannya dengan gamblang/sederhana, maka kau belum cukup memahaminya. -Di tengah-tengah kesulitan ada kesempatan. -Kita tidak bisa memecahkan masalah kita dengan pemikiran yang sama pada saat kita menciptakannya. -Ini sungguh mengejutkan bahwa teknologi telah melebihi kemanusiaan kita. -Rahasia dari kreativitas adalah mengetahui cara menyembunyikan sumber kreativitas kita itu.

Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan


Agustus 28, 2009 oleh kuliahfilsafat 2 Komentar

2 Votes

Oleh Fika Ayudhia (2008-070-069) Pengantar: Berikut ini adalah tulisan mahasiswa saya di Atmajaya. Mereka mahasiswa psikologi semester 4, dan bukan mahasiswa filsafat. Karena itu, tentu tulisan yang mereka hasilkan tidak memiliki flavor filsafat yang memadai. Meskipun demikian, mereka telah menghasilkan suatu renungan yang pantas diapresiasi. Persoalan dan Tesis Dalam pembelajaran sehari-hari, sering dijumpai masalah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Masalah yang dijumpai seperti kebenaran yang tidak terjamin dari suatu ilmu, ilmu pengetahuan hanya berlaku bagi pihak tertentu, bahkan terkadang sampai merugikan pihak tertentu. Masalah seperti itu mungkin terjadi akibat dari ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan tersebut tercipta dengan adanya pengaruh dari nilai luar selain nilai ilmu itu sendiri. Mulai dari nilai agama, sosial, moral, politik, ekonomi, dan sebagainya. Sehingga dapat mengakibatkan munculnya masalah ketika diterapkan. Hal itu karena ilmu pengetahuan tidak disusun sungguh-sungguh berdasarkan kebenaran ilmiah. Persoalan ini pun akhirnya menjadi sesuatu yang seringkali dipermasalahkan banyak orang dan dapat merugikan banyak pihak. Ketika suatu ilmu berpihak pada nilai tertentu di luar nilai ilmu pengetahuan itu sendiri, maka nilai kebenarannya pun akan tidak utuh. Ilmu tersebut menjadi tidak ilmiah dan sulit untuk diberlakukan secara universal. Menurut saya, jika kondisinya demikian, bahkan pengetahuan tersebut pun sudah tidak dapat lagi dikatakan sebagai suatu ilmu. Dalam artikel Menggugat Diktum Bebas Nilai dalam Sains (2007), dikatakan bahwa memang seringkali para ilmuwan terpengaruh oleh tradisi budaya mereka dalam menyusun suatu ilmu. Pengaruh dari nilai luar selain nilai pengetahuan itu sendiri memang sulit untuk dihindari. Karena setiap orang, setiap ilmuwan dan para peneliti pun mempunyai latar belakang yang berbeda. Perbedaan latar belakang tersebut menyangkut tradisi, nilai-nilai agama, moral, sosialisasi, ekonomi, sampai kondisi politik masing-masing negara mereka pun berbeda. Perbedaan nilai-nilai dalam latar belakang setiap orang itulah yang seringkali menyebabkan sangat sulit untuk terciptanya suatu ilmu yang memang benar-benar bebas nilai.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, memang sangat sulit untuk menciptakan suatu ilmu pengetahuan yang benar-benar bebas nilai. Namun, kesulitan inilah yang menjadi tantangan bagi setiap ilmuwan. Bagaimana mereka harus bisa menciptakan suatu ilmu pengetahuan yang benarbenar ilmiah dan mengandung kebenaran secara utuh. Ilmu pengetahuan itu pun juga hendaknya bersifat universal yang dapat diakui kebenarannya di mana pun oleh semua orang. Nilai dari ilmu itu juga hendaknya dapat berguna bagi selunih masyarakat. Jadi ilmu pengetahuan yang diciptakan tidak sekedar hanya dapat berlaku bagi semua pihak saja, tapi juga harus bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Uraian Pada persoalan yang telah dijelaskan di atas, memang dewasa ini banyak sekali terjadi permasalahan yang demikian. Banyak aspek nilai lain yang memengaruhi ilmuwan dalam menciptkan suatu ilmu pengetahuan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sekarang persoalan yang dipertanyakan ialah bagaimana cara menghindari masalah tersebut. Juga mengapa persoalan itu menjadi penting dan patut untuk diperjuangkan kebenarannya. Dimulai dari pengertian akan ilmu pengetahuan. Ilmu ialah suatu bidang studi atau pengetahuan yang sistematik untuk menerangkan suatu fenomena dengan acuan materi dan fisiknya melalui metode ilmiah (Marzoeki, 2000). Sedangkan pengetahuan merupakan sesuatu yang diketahui, hal yang diketahui bisa apa saja tanpa syarat dan bisa diperoleh dengan atau tanpa metode ilmiah (Marzoeki, 2000). Maka itu, jika pengetahuan saja, belum tentu merupakan suatu ilmu. Suatu ilmu pengetahuan harus berdasar pada kaidah ilmiah dan menjadi dirinya sendiri (Keraf & Dua, 2001). Suatu ilmu pengetahuan juga dituntut untuk bebas nilai. Maksud bebas nilai adalah suatu tuntutan yang ditujukan kepada ilmu pengetahuan agar ilmu pengetahuan dikembangkan dengan tidak memperhatikan nilai-nilai di luar ilmu pengetahuan (Keraf & Dua, 2001). Tuntutan dasarnya adalah agar ilmu pengetahuan dikembangkan hanya demi ilmu pengetahuan dan tidak boleh dikembangkan berdasarkan pertimbangan lain di luar ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan harus murni dikembangkan berdasarkan pertimbangan ilmiah. Nilai lain di luar nilai ilmu pengetahuan itu sendiri seperti nilai budaya, moral, agama, politik, dan sebagainya. Ilmu pengetahuan tidak baleh berpihak atau terpengaruh oleh salah satu nilai tersebut. Hal itu agar ilmu pengetahuan dapat berlaku di mana pun juga bagi semua orang. Juga supaya ilmu pengetahuan mengandung kebenaran yang utuh. Dalam artikel Menggugat Diktum Bebas Nilai dalam Sains (2007), juga menyatakan bahwa ilmu pengetahuan memiliki sifat yang netral dan universal. Ilmu pengetahuan yang bebas nilai juga bertujuan agar ilmu pengetahuan dapat mencapai kebenaran ilmiah yang objektif dan rasional (Keraf & Dua, 2001). Tidak dibenarkan bila suatu ilmu pengetahuan hanya berlaku bagi kepentingan suatu pihak tertentu. Jika demikian maka ilmu pengetahuan tidaklah bersifat universal. Maka suatu ilmu pengetahuan yang bebas nilai amatlah penting. Hal itu untuk mencapai tujuan akhir diciptakannya ilmu pengetahuan. Tujuan akhir dari ilmu pengetahuan ini ialah untuk mencari dan memberi penjelasan tentang fenomena dalam alam

semesta ini, serta memberi pemahaman kepada manusia tentang berbagai masalah clan fenomena dalam hidup (Keraf & Dua, 2001). Kesimpulan Banyak masalah yang sering terjadi dalam ilmu pengetahuan. Terutama berkaitan dengan masalah ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai. Ilmu tersebut terpengaruh pada nilai lain seperti budaya, agama, moral, politik, atau lainnya. Seringkali para ilmuwan dalam rnenciptakan suatu ilmu terpengaruh nilai-nilai lain tersebut, sehingga ilmu yang tercipta hanya berpihak pada pihak tertentu clan ticlak berlaku universal. Maka dari itu, menurut saya, sangatlah penting suatu ilmu yang bebas nilai. Ilmu pengetahuan harus terbebas akan nilai lain di luar nilai ilmu pengetahuan itu sendiri. Selain itu ilmu pengetahuan juga harus berdasarkan pada kaidah ilmiah yang mengandung kebenaran utuh. Sehingga ilmu pengetahuan dapat bersifat universal, terjamin kebenarannya, clan dapat mencapai tujuannya. Adapun tujuan dari ilmu pengetahuan ialah untuk mencari clan memberi pemahaman kepada manusia mengenai berbagai masalah dan fenomena dalam hidup (Keraf & Dua, 2001). Daftar Pustaka Keraf, A. S. & Dua, M. (2001). Ilmu Pengetahuan. Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius. Marzoeki, D. (2000). Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu. Jakarta: Grasindo. Marzoeki, D. (2007). Menggugat Diktum Bebas Nilai dalam Sains. UGM. Tentang pertanyaanmu itu, saya coba berikan beberapa jawaban di sini, ya. Kalau kita bicara tentang ilmu yang bebas nilai (value free), biasanya yang dimaksud adalah ilmu pengetahuan dan pengembangannya berdasarkan logika ilmu pengetahuan itu sendiri, tidak ditentukan atau tidak merujuk ke nilai-nilai tertentu dalam masyarakat, misalnya nilai keagamaan, etika, norma, kebiasaan, adat istiadat, dan sebagainya. Dalam arti ini, kalau Anda seorang ilmuwan, misalnya, yang yakin berdasarkan keahlianmu, bahwa prenatal diagnosis dapat mencegah lahirnya anakanak cacat, dan bahwa ketika mendeteksi embrio dalam kandungan ternyata ditemukan embrio cacad, karena itu harus digugurkan. Perhitungan keilmuan yang bebas nilai akan mengatakan bahwa menggugurkan kandungan itu dilakukan secara ilmiah dengan menerapkan teknologi reproduksi semata-mata demi alasan keilmuan (objektivitas ilmu), tidak peduli nilai dalam masyarakat mau mengatakan apa (itu bukan urusan ilmu pengetahuan). Tetapi ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai (value laden) akan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan pengembangannya tidak boleh melupakan begitu saja nilai-nilai dalam masyarkat. Mereka yang pro pada pendekatan ini akan mengatakan bahwa menggugurkan kandungan karena alasan bayinya cacad tidak bisa dibenarkan secara etika, apalagi agama. Dalam praktik, ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai sama sekali. Bagaimana pun juga ilmu pengetahuan berkembang dan bertumbuh dalam masyarakat yang memiliki nilai dan norma.

Tetapi di lain pihak, ilmu pengetahuan tidak bisa diberi beban berlebihan untuk memperhatikan selalu nilai-nilai. Dalam filsafat ilmu kita membedan konteks penemuan ilmu (context of discovery) dan konteks pembuktian ilmu (context of justification). Dalam konteks pembuktian atau justifikasi, ilmu pengetahuan tidak bisa bebas nilai. Sementara dalam konteks penemuan ilmu, demi alasan objektivitas, ilmu pengetahuan tentu bisa bebas nilai.

1. Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma (budaya) Sejak dulu sampai sekarang, dikalangan ilmuwan tetap terjadi silang pendapat tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma sosial budaya. Beragam pandangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua pandangan tentang hubungan antara ilmu pengetahuan (science) dengan nilai-norma kehidupan sosial-budaya, antara lain: 1. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat positivisme, yang umumnya terwakili oleh kelompok ilmu pengetahuan alam (natural sciences) atau matematika cenderung berpandangan bahwa: (1) perkembangan ilmu pengetahuan alam dan matematika tidak ada hubungannya dengan nilai dan norma (culture) yang berkembang di masyarakat; dan (2) paradigma pengembangan ilmu matematika dan ilmu pengetahuan alam atau pengetahuan ilmiah bersifat logis, pasti dan objektif-rasional. Sedangkan paradigma nilai, norma atau kebudayaan (culture) adalah dibangun atas dasar relativitas atau kenisbian budaya (Ravertz, J.R. 1982). Oleh karena itu menurut Karl Pearson, dalam Agus, B. (1999), bahwa sikap ilmiah yang ideal dalam pengembangan science adalah tidak memihak (disinterestedness) dan bebas dari prasangka dan kecenderungan pribadi (unbiased by personal feeling). Jadi, pengetahuan ilmiah pengembangannya harus bebas nilai (value free). 2. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat idealisme atau konstruktivisme. Pandangan ini mengkritik habis-habisan pandangan pertama yang menilai pengembangan ilmu pengetahuan harus bebas nilai (value free). Diantara alasan kelompok yang menolak ilmu pengetahuan (science) bebas nilai adalah: (1) bahwa pilihan terhadap asumsi dan rumusan hipotesis yang dikembangkan para ilmuwan pada hakikatnya adalah pernyataan yang timbul dari penilaian (evaluative assertions), sedangkan menilai terhadap sesuatu sudah pasti berdasarkan pada standar nilai dan norma tertentu. Jadi, pandangan bahwa science harus bebas nilai adalah mendustai realitas pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri; (2) teori yang disusun di atas asumsi yang merupakan penilaian terhadap suatu fenomena pada hakikatnya juga tidak terlepas dari pandangan dan nilai tertentu yang diyakini atau atas dasar motivasi subjek untuk memilih. Jadi, unsur subjektiv sedikit banyak ikut mewarnainya; (3) setiap peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah pada hakikatnya tidak bisa membebaskan dirinya dari: (a) hasil karya penelitian ilmiah sebelumnya; (b) pengaruh lingkungan fisik dan sosial, lingkungan budaya, politik dan kondisi ekonominya; dan (c) tidak bisa lepas dari pengaruh kecenderungan pribadi, khususnya dalam memilih atau membatasi ruang

lingkup objek penelitiannya (variabel dan indikator yang diteliti). Jadi, argumentasi tersebut di tatas mementahkan pandangan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus bebas nilai (value free). (Goode, W.J. and Paul K. Hatt. 1981; Myrdal, G. 1982; Poespoprodjo, 1987). Berdasarkan uraian di atas, khususnya menyimak argumentasi yang mendukung bahwa ilmu pengetahuan ilmiah baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu sosial (social sciences) adalah tidak bebas nilai (unvalue free) yang berlaku dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bahwa hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma kehidupan sosial budaya adalah sangat erat. 2. Ditinjau dari filsafat ilmu, maka hakikat pengembangan ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial harus mengandung aspek aksiologi ilmu (nilai fungsional atau pragmatis), misalnya, hasil penelitian ilmiah harus mampu memberikan alternatif pemecahan masalah bagi kemaslahatan kehidupan dan mampu memprediksi fenomena yang akan terjadi dihari-hari yang akan datang (Myrdal, G. 1982; Brannen, J. 2003). 3. Perkembangan ilmu pengetahuan harus mampu meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan kebudayaan atau mampu membangun peradaban hidup. Setiap perkembangan ilmu pengetahuan harus mampu memberi manfaat bagi terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian hidup di masyarakat, baik untuk kurun waktu sekarang maupun waktu yang akan datang. 4. Hubungan antara filsafat dan kehidupan sosial budaya

Synaptogenesis

Sistem saraf pusat(CNS)

spina bifida(kelainan sumsum belakang)

Ventrikel

sinaptogenesis

Apoptosis

Stroke Study Club" (SSC)


Neuroplasticity
Plastisitas otak (neuroplasticity) adalah kemampuan otak melakukan reorganisasi dalam bentuk adanya interkoneksi baru pada saraf. Plastisitas merupakan sifat yang menunjukkan kapasitas otak untuk berubah dan beradabtasi terhadap kebutuhan fungsional. Mekanisme ini termasuk perubahan kimia saraf (neurochemical), penerimaan saraf (neuroreceptive) , perubahan struktur neuron saraf dan organisasi otak. Plastisitas juga terjadi pada proses perkembangan dan kematangan sistem saraf. Untuk memberikan gambaran tentang plastisitas, maka penulis memberikan ilustrasi dengan membandingkan antara sifat plastisitas dan elastisitas. Dari gambar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut;

Suatu benda dengan bentuk awal segi empat jika diberi intervensi atau dimanipulasi untuk membentuk segi tiga, maka pada saat proses dilakukan benda berbentuk segi tiga akan tetapi pada akhirnya benda tersebut akan kembali pada bentuk awalnya, hal ini disebut sebagai kemampuan elestisitas. Jika bentuk awal suatu benda berbentuk segi empat kemudian diberikan intervensi untuk membentuk segi tiga, maka pada saat proses dilakukan benda akan membentuk segi tiga dan juga menjadi bentuk akhir dari benda tersebut, hal ini disebut sebagai kemampuan plastisitas. Dengan demikian jelas bahwa sifat elastisitas berbeda dengan sifat plastisitas. Sifat elastik artinya kemampuan suatu benda untuk dapat kembali pada bentuk asalnya, sedangkan sifat plastisitas menunjukkan kemampuan benda untuk berubah kedalam bentuk yang lain. Nilai positif dari adanya sifat plastisitas adalah pada pasien stroke menjadi potensi untuk dapat dikembangkan dan dibentuk sehingga dapat menghasilkan gerak yang fungsional dan normal. Nilai negatif dari adanya sufat plastisitas adalah jika metode yang diberikan tidak tepat, maka akan terbentuk pola yang tidak tepat pula.

by. irfan

mielinasi

Dalam metode pendidikan Montessori ada beberapa aspek pendidikan yang lingkungan dan merupakan prinsip metode pendidikan Montessori. Diantaranya adalah konsep kebebasan, struktur dan urutan, realistiss dan kealamian, keindahan dan nuansa, serta prinsip alat permainan Montessori. ASPEK 1: PENTINGNYA KEBEBASAN (CONCEPT OF FREEDOM) Metode pendidikan Montessori menekankan pentingnya kebebasan. Mengapa? Karena hanya dalam nuansa atau iklim yang bebaslah anaka dapat menunjukkan dirinya kepada kita. Karena kita bertanggung jawab dalam membantu perkembangan fisik mereka, oleh karena itu kita harus menyediakan ruang yang bebas dan terbuka. Alasan kedua, kunci terjadinya perkembangan yang optimal adalah kebebasan. Montessori mengatakan, Real freedom . Is a concequence of development. Kebebasan sejati adalah suatu konsekuensi dari perkembangan. Montessori mengatakan, Jika anak di hadapkan pada lingkungan yang tepat, dan memberikan peluang kepada mereka unuk secara bebas merespon secara individual terhadap lingkungan tersebut, maka pertumbuhan alami anak terbuka dalam kehidupan mereka. (dalam David Gettman (1987), Basic Montessori: Learning Activities for Under-Fives (New York: St. Martin Press), hal 30.) Oleh karena itu, perkembangan anak harus kita Bantu dengan cara-cara sebagai berikut: ?Mereka harus dibantu memperoleh kemandirian melalui lingkungannya. Mereka harus diberikan kegiatan-kegiatan yang dapat mendorong kemandirian. Mereka tidak boleh dibantu orang lain untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya mereka sendiri dapat melakukan.. Mereka harus diajarkan untuk mampu membantu dirinya sendiri seperti memasang kancing, membuka menutup retsleting, menyimpan sepatu dan lain-lain yang dapat membantu dirinya untuk menjadi mandiri. Semua alat bermain dan furniture harus memiliki ukuran yang sesuai dengan anak. Hal ini akan membuat mereka dapat mengendalikan alat bermain tersebut. Sehingga mereka akan merasa nyaman dan aman melakukan segala aktifitas yang emreka inginkan. ?Anak harus dibantu untuk mengembangkan kemauan (tekad dan daya juang) dengan cara melatih mereka mengkoordinasikan tindakannya untuk mencapai suatu tujuan yang tertentu yang harus mereka capai. ?Anak harus dibantu mengembangkan disiplin dengan cara memberikan kesempatan/peluang kepada mereka untuk melakukan aktifitas konstruktif. ?Anak harus dibantu mengembangkan pemahaman mereka tentang baik dan buruk. Montessori jugamengingatkan kita untuk memahami bahwa hanya tindakan yang bersifat destruktif yang harus kita batasi. Semua aktifitas lain yang konstruktif, apapun itu, dengan cara apapun mereka melakukannya, hendaknya kita perbolehkan dan kita amati dan arahkan. Secara lebih jauh Montessori menyebutkan beberapa hal yang harus kita batasi atau arahkan dalam membeirkan aktifitas kepada meraka antara lain sebgai berikut: ?Menghormati orang lain; anak bebas untuk melakukan aktifitas apa saja sejauh tidak melanggar/merampas hak orang lain dalam kelas;

?Menghormati barang mainan; anak kita dorong untuk dapat melakukan aktifitas dengan semua alat bermain sejauh mereka menggunakannya dengan cara yang benar. Mereka dapat menggunakan alat bermain apa saja sejauh tidak merusak barang tersebut atau benda lain disekitarnya. Adalah tugas kita sebagai guru untuk mengarahkan hal-hal seperti ini. ?Menghormati lingkungan; anak juga harus kita arahkan untuk dapat memperlakukan semua aspek dengan penuh kasih sayang, perhatian dan penghargaan. Mereka harus diarahkan memperlakukan teman lain dan guru dengan lembut, sopan dan penuh penghargaan. ?Menghargai/menghormati diri sendiri; mereka kita ajarkan untuk tidak hanya menghargai orang lain, benda lain tapi juga diri sendiri. Kalau di atas membahas batasan yang sebaiknya tidak boleh terjadi dalam lingkungan bebas, maka kebebasan apa saja yang harus kita berikan kepada anak dalam lingkungan? Montessori menyarankan beberapa hal sebagai beirkutL ? Kebebasan bergerak; anak diberi kebebasan untuk bergerak kemana saja baik di dalam maupun di luar ruangan. ?Kebebasan memilih; anak bebas untuk memilih aktifitasnya sendiri dalam kelas. Kebebasan memilih ini akan membantu mereka mengembangkan kebiasaan kerja dan meningkatkan konsentrasi. Konsekuensinya, kita harus menyediakan beragam aktifitas yang telah derancang dan disiapkan sedemikian rupa untk kebutuhan perkembangan mereka; ?Kebebasan berbicara; pendidikan montessore berbeda dengan pendidikan tradisional. Dalam pendidikan tradisional guru lebih dominan berbicara. Dalam pendidikan Montessori sebaliknya, anaka memperoleh kebebasan berbicara dengan siapa saja yang mereka mau. Bagi yang belum siap, tidak dipaksa, tapi diarahkan untuk bergabung dengan kelompok untuk saling berbagi. Anak tidak didorong untuk bersaing satu sama lain. Karenanya, keinginan alami mereka untuk membantu orang lain berkembang secara spontan. Dalam pendidikan Montessori anak-anak diarahkan untuk mengamati dan memahami aturan dasar kesopanan dengan tidak mengganggu orang lain. ?Kebebasan untuk tumbuh; dalam pendidikan Montessori anak memiliki kebebasan untuk tumbuh dan membangun kemampuan mental mereka dalam lingkungan yang dirancang. Semua benda atau alat bermain dalam kelas Montessori diranncang untuk membantu mereka tumbuh kembang secara alami. ?Bebas untuk menyayangi dan disayangi; anak memiliki hak untuk disayangi dan menyayangi tanpa pandang bulu (pilih kasih). Jika mereka merasa diperhatikan sama dengan yang lain, dimana guru tanpa ada pilih kasih, maka mereka akan menghargai orang lain dan lingkungannya dengan cara yang sama. ?Bebas dari bahaya; anaka memiliki hak untuk tumbuh dari bahaya. Maksudnya, anak diberikan pengetahuan melalui pelatihan yang sistematis tentang keterampilan hidup seperti bagai mana membawa barang mainan dengan cara yang benar yang jika tidak maka akan membahayakan dirinya. ?Bebas dari persaingan; Agar tidak mengganggu kebebasan anak untuk memilih, maka tidak ada kompetisi, reward atau hukuman dalam pendidikan Montessori. Keberhasilan

anak tidak dinilai menurut sudut pandang orang dewasa, seperti melalui nilai, atau perolehan tanda bintang. Motivasi instrinsik merekalah yang mendorong mereka untuk melakukan aktifitas terbaik mereka, bukan reward atau hukuman. Kepuasan mereka karena tela dapat melakukan sesuatu sudah cukup sebagai reward bagi mereka sendiri. ?Bebas dari tekanan; anak diberikan kebebasan untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kecepatan dan perkembangan mereka sendiri. Mereka tidak diharuskan dapat mencapai sesuatu yang disamakan dengan orang lain. Melalui kebebasan-kebebasan dalam kelas Montessori seperti dijelaskan di atas, maka anak akan memperoleh kesempatan-kesempatan unik terhadap tindakannya sendiri. Mereka akan menyadari segala konsekuensi atas apa yang ia lakukan baik terhadap dirinya maupun orang lain, mereka belajar membuktikan atau menguji dirinya terhadap batasan-batasan realistiss, mereka akan belajar tentang apa saja yang membuat ia atau orang lain merasa puas atau sebaliknya merasa kosong dan tidak puas atau kecewa. Peluang untuk mengembangkan pengetahuan diri (self-knowledge) inilah yang merupakan hasil penting dari kebebasan yang kita ciptakan dalam kelas Montessori. ASPEK 2: STRUKTUR DAN KETERATURAN (STRUCTURE AND ORDER) Struktur dan keteraturan alam semesta harus tercermin dalam lingkungan kelas Montessori. Dengan demikian anak akan menginternalisasinya dan akhirnya membangun mental dan inteligensinya sendiri terhadap lingkungan. Melalui keteraturan anak akan belajar untuk percaya pada lingkungan dan belajar untuk berinteraksi dengan lingkungan dengan cara yang positif. Hanya dalam lingkungan yang dirancang dengan tepat dan benar, anak dapat mengkategorisasikan persepsinya yang pada akhirnya nanti akan membentuk pemahaman mereka yang benar terhadap realistis dunia. Melalui keteraturan, anak tahu kemana harus mencari barang mainan yang ia inginkan, misalnya. Oleh karena itu, kita harus merancang penempatan barang mainan sesuai dengan klasifikasi berdasarkan keteraturan tertentu. Sebagai contoh, alat bermain ditempatkan dalam rak yang rendah sehingga terjangkau anak, ditata dengan rapi dan teratur sesuai dengan kategori, begitu pula halnya dengan ruangan kelass tertata sedemikian rupa dengan penuh keteraturan. (John Chattin McNichols (1998), The Montessori Controversy, (New York: Delmar Publiser Inc.), hal 51) ASPEK 3: REALISTIS DAN ALAMI Lingkungan pendidikan Montessori didasarkan atas prinsip realistis dan kealamian. Anak harus memiliki kesempatan untuk menginternalisasikan keterbatasan alam dan realistis supaya mereka terbebas dari sikap berangan-angan (fantasy) atau ilusi baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Hanya dengan cara ini mereka mengembangkan disiplin diri dan keamanan yang dia perlukan untuk menggali dunia eksternal dan internal mereka dan untuk menjadikan mereka pengamat realistiss hidup yang aktif dan apresiatif. Alat bermain dan lingkungan dalam kelas Montessori didasarkan atas konsep realistis. Sebagai contoh, anak dihadapkan dengan telepon yang sebenarnya, gelas sebenarnya, setrika, pisau dan lain-lain. Semuanya adalah benda sebenarnya.

Menurut Montessori, Manusia adalah miliki alam, begitu pula khususnya bagi anak. Mereka membutuhkan gambaran dunia yang akan mereka hadapi kelak melalui alam. Semua hal yang dipelrukan untuk mengembangkan jiwa dan raga mereka adalah alam sebenarnya. Jadi, dalam konsep pendidikan Montessori, segala sesuatunya harus dirancang sedemikian rupa agar sealami dan serealistis mungkin, baik lingkungan indoor mapun outdoor. Montessori percaya bahwa anak harus pertama kali dihadapkan dengan alam melalui perawatan terhadap tanaman dan binatang. ASPEK 4: KEINDAHAN DAN NUANSA Lingkungan Montessori harus sederhana. Semua yang ada didalamnya harus memiliki desain dan kualitas yang baik. Tema warna harus menunjukkan kegembiraan. Nuansa ruangan harus terkesan santai dan hangat sehingga mengundang anak untuk bebas berpartisipasi aktif. ASPEK 5: ALAT BERMAIN MONTESSORI (MONTESSORI MATERIALS) Yang dimaksud dengan Montessori Materials di sini adalah bukan semata-mata alat bermain. Tapi semua benda yang ada dalam lingkungan. Tujuan dari semua benda itu bukan bersifat eksternal untuk mengajar anak keterampilan. Tapi tujuan utamanya adalah bersifat internal yaitu membantu perkembangan fisik dan pembangunan diri anak. Montessori mengatakan, Hal penting pertama perkembangan anak adalah konsentrasi Ia harus menemukan cara bagaimana berkonsentrasi, dan oleh karenanya mereka membutuhkan benda-benda yang dapat membuatnya berkonsentrasi karena itulah pentingnya sekolah kita mendasarkan pada hal ini. Yaitu tempat dimana mereka dapat menemukan aktifitas yang memungkinkan mereka melakukan konsentrasi. Benda-benda atau alat-alat bermain harus membantu pembentukan internal anak. Oleh karenanya benda atau alat bermain tersebut harus sesuai dengan kebutuhan internal anak. Artinya, bendabenda dan atau alat-alat bermain tersebut haris disajikan atau diberikan pada momen yang sesuai dengan perkembangan mereka. Montessori menyebutkan beberapa prinsip dalam penggunaan benda dan atau alat bermain dalam kelas Montessori sebagai berikut: Setiap benda atau alat bermain harus memiliki tujuan dan bermakna bagi anak; Setiap benda atau alat bermain harus harus menunjukkan perkembangan dari sederhana ke rumit dalam desain dan penggunaannya. Setiap benda atau alat bermain dirancang untuk menyiapkan anak secara tidak langsung untuk belajar ke depan. Setiap benda atau alat bermain dimulai dari expesi kongkrit dan secara bertahap mengarahkan mereka pada representasi yang lebih abstrak. Setiap benda atau alat bermain dirancang agar memungkinkan terjadinya auto-edukasi. Artinya kontrol kesalahan berada pada benda tersebut bukan pada guru. Kontrol kesalahan ini akan membimbing anak dalam menggunakan benda tersebut dan memungkinkan ia menyadari kesalahannya sendiri dan memperbaikinya. KESIMPULAN Ada beberapa aspek penting yang harus dipahami betul oleh guru atau pendidik dalam metode pendidikan Montessori. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:

Konsep kebebasan; melalui kebebasan-kebebasan dalam kelas Montessori, maka anak akan memperoleh kesempatan-kesempatan unik terhadap tindakannya sendiri. Mereka akan menyadari segala konsekuensi atas apa yang ia lakukan baik terhadap dirinya maupun orang lain, mereka belajar membuktikan atau menguji dirinya terhadap batasanbatasan realistiss, mereka akan belajar tentang apa saja yang membuat ia atau orang lain merasa puas atau sebaliknya merasa kosong dan tidak puas atau kecewa. Peluang untuk mengembangkan pengetahuan diri (self-knowledge) inilah yang merupakan hasil penting dari kebebasan yang kita ciptakan dalam kelas Montessori. Struktur dan Keteraturan; hanya dalam lingkungan yang dirancang dengan tepat dan benar, yaitu terstruktur dan teratur, anak dapat mengkategorisasikan persepsinya yang pada akhirnya nanti akan membentuk pemahaman mereka yang benar terhadap realistis dunia. Realistis dan Alami; dalam konsep pendidikan Montessori, segala sesuatunya harus dirancang sedemikian rupa agar sealami dan serealistis mungkin, baik lingkungan indoor mapun outdoor. Dengan cara ini mereka mengembangkan disiplin diri dan keamanan yang dia perlukan untuk menggali dunia eksternal dan internal mereka dan untuk menjadikan mereka pengamat realistiss hidup yang aktif dan apresiatif. Keindahan dan Nuansa; unsur-unsur keindahan, keceriaan, baik secara fisik maupun non fisik dalam lingkungan kelas Montessor sangat penting untuk mengundang anak berpartisipasi aktif dengan bebas dan spontan. Benda atau Alat Bermain Montessori; harus membantu pembentukan internal anak. Oleh karenanya benda atau alat bermain tersebut harus sesuai dengan kebutuhan internal anak. Artinya, benda-benda dan atau alat-alat bermain tersebut haris disajikan atau diberikan pada momen yang sesuai dengan perkembangan mereka. Referensi: Course Manual, Diploma in Montessori Method of Education (Birth to Six Years of Age). David Gettman (1987), Basic Montessori: Learning Activities for Under-Fives (New York: St. Martin Press), hal 30. John Chattin McNichols (1998), The Montessori Controversy, (New York: Delmar Publiser Inc.), hal 51.

Pemerolehan Bahasa Pertama dan Bahasa Kedua


Proses anak mulai mengenal komunikasi dengan lingkungannya secara verbal disebut dengan pemerolehan bahasa anak. Pemerolehan bahasa pertama (B1) (anak) terjadi bila anak yang sejak semula tanpa bahasa kini telah memperoleh satu bahasa. Pada masa pemerolehan bahasa anak, anak lebih mengarah pada fungsi komunikasi daripada bentuk bahasanya.

Pemerolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan, yang bergerak dari ucapan satu kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Ada dua pengertian mengenai pemerolehan bahasa. Pertama, pemerolehan bahasa mempunyai permulaan yang mendadak, tiba-tiba. Kedua, pemerolehan bahasa memiliki suatu permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik. Pemerolehan bahasa pertama (B1) sangat erat hubungannya dengan perkembangan kognitif yakni pertama, jika anak dapat menghasilkan ucapan-ucapan yang berdasar pada tata bahasa yang teratur rapi, tidaklah secara otomatis mengimplikasikan bahwa anak telah menguasai bahasa yang bersangkutan dengan baik. Kedua, pembicara harus memperoleh kategori-kategori kognitif yang mendasari berbagai makna ekspresif bahasa-bahasa alamiah, seperti kata, ruang, modalitas, kausalitas, dan sebagainya. Persyaratan-persyaratan kognitif terhadap penguasaan bahasa lebih banyak dituntut pada pemerolehan bahasa kedua (PB2) daripada dalam pemerolehan bahasa pertama (PB1). Manusia memiliki warisan biologi yang sudah dibawa sejak lahir berupa kesanggupannya untuk berkomunikasi dengan bahasa khusus manusia dan itu tidak ada hubungannya dengan kecerdasan atau pemikiran. Kemampuan berbahasa hanya sedikit korelasinya terhadap IQ manusia . Kemampuan berbahasa anak yang normal sama dengan anak-anak yang cacat. Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian anatomi dan fisiologi manusia, seperti bagian otak tertentu yang mendasari bahasa dan topografi korteks yang khusus untuk bahasa. Tingkat perkembangan bahasa anak sama bagi semua anak normal; semua anak dapat dikatakan mengikuti pola perkembangan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi. Kekurangan hanya sedikit saja dapat melambangkan perkembangan bahasa anak. Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain. Bahasa bersifat universal. Pemerolehan bahasa pertama erat kaitannya dengan permulaan yang gradual yang muncul dari prestasi-prestasi motorik, sosial, dan kognitif pralinguistik.

Pemerolehan bahasa pertama erat sekali kaitannya dengan perkembangan sosial anak dan karenanya juga erat hubungannya dengan pembentukan identitas sosial. Mempelajari bahasa pertama merupakan salah satu perkembangan menyeluruh anak menjadi anggota penuh suatu masyarakat. Bahasa memudahkan anak mengekspresikan gagasan, kemauannya dengan cara yang benar-benar dapat diterima secara sosial. Bahasa merupakan media yang dapat digunakan anak untuk memperoleh nilai-nilai budaya, moral, agama, dan nilai-nilai lain dalam masyarakat. Dalam melangsungkan upaya memperoleh bahasa, anak dibimbing oleh prinsip atau falsafah jadilah orang lain dengan sedikit perbedaan, ataupun dapatkan atau perolehlah suatu identitas sosial dan di dalamnya, dan kembangkan identitas pribadi Anda sendiri. Sejak dini bayi telah berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Seorang ibu seringkali memberi kesempatan kepada bayi untuk ikut dalam komunikasi sosial dengannya. Kala itulah bayi pertama kali mengenal sosialisasi, bahwa dunia ini adalah tempat orang saling berbagi rasa. Melalui bahasa khusus bahasa pertama (B1), seorang anak belajar untuk menjadi anggota masyarakat. B1 menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendirian, dalam bentuk-bentuk bahasa yang dianggap ada. Ia belajar pula bahwa ada bentuk-bentuk yang tidak dapat diterima anggota masyarakatnya, ia tidak selalu boleh mengungkapkan perasaannya secara gamblang. Apabila seorang anak menggunakan ujaran-ujaran yang bentuknya benar atau gramatikal, belum berarti bahwa ia telah menguasai B1. Agar seorang anak dapat dianggap telah menguasai B1 ada beberapa unsur yang penting yang berkaitan dengan perkembangan jiwa dan kognitif anak itu. Perkembangan nosi-nosi (notion) atau pemahaman seperti waktu, ruang, modalitas, sebab akibat, dan deiktis merupakan bagian yang penting dalam perkembangan kognitif penguasaan B1 seorang anak. Sistem pikiran yang terdapat pada anak-anak dibangun sedikit demi sedikit apabila ada rangsangan dunia sekitarnya sebagai masukan atau input (yaitu apa yang dilihat anak, didengar, dan yang disentuh yang menggambarkan benda, peristiwa dan keadaan sekitar

anak yang mereka alami). Lama kelamaan pikirannya akan terbentuk dengan sempurna. Setelah itu sistem bahasanya lengkap dengan perbendaharaan kata dan tata bahasanya pun terbentuk. Masa Waktu dan Perkembangan Pemerolehan Bahasa Pertama Perkembangan pemerolehan bahasa anak dapat dibagi atas tiga bagian penting yaitu (a) perkembangan prasekolah (b) perkembangan ujaran kombinatori, dan (c) perkembangan masa sekolah. Perkembangan pemerolehan bahasa pertama anak pada masa prasekolah dapat dibagi lagi atas perkembangan pralinguistik, tahap satu kata dan ujaran kombinasi permulaan. Perkembangan pralinguistik ditandai oleh adanya pertukaran giliran antara orang tua khususnya ibu) dengan anak. Pada masa perkembangan pralinguistik anak mengembangkan konsep dirinya. Ia berusaha membedakan dirinya dengan subjek, dirinya dengan orang lain serta hubungan dengan objek dan tindakan pada tahap satu kata anak terus-menerus berupaya mengumpulkan nama benda-benda dan orang yang ia jumpai. Kata-kata yang pertama diperolehnya tahap ini lazimnya adalah kata yang menyatakan perbuatan, kata sosialisasi, kata yang menyatakan tempat, dan kata yang menyatakan pemerian. Perkembangan bahasa pertama anak lebih mudah ditandai dari panjang ucapannya. Panjang ucapan anak kecil merupakan indikator atau petunjuk perkembangan bahasa yang lebih baik dari pada urutan usianya. Jumlah morfem rata-rata per ucapan dapat digunakan sebagai ukuran panjangnya. Ada lima tahapan pemerolehan bahasa pertama. Setiap tahap dibatasi oleh panjang ucapan rata-rata tadi. Untuk setiap tahap ada Loncatan Atas (LA). Walaupun perkembangan bahasa setiap anak sangat unik, namun ada persamaan umum pada anak-anak, ada persesuaian satu sama lain semua mencakup eksistensi, noneksistensi, rekurensi, atribut objek dan asosiasi objek dengan orang.

Dilihat dari unsur dasar pembentukannya, kombinasi yang dibuat anak pada periode ini mengekspresikan dua unsur deretan dasar pelaku (agen) + tindakan (aksi) + objek. Semua kombinasi dua unsur terjadi, misalnya Agen + Aksi + Objek, Agen + Objek. Pada masa tahap 2 ada tiga sarana ekspresif yang dipakai oleh anak-anak, yang dapat membuat kalimat-kalimat mereka menjadi lebih panjang yaitu kemunculan morfemmorfem gramatikal secara inklusif dalam ujaran anak, pengertian atau penyambungan bersama-sama hubungan dua hal tersebut, dan perluasan istilah dalam suatu hubungan/relasi. Perkembangan pemerolehan bunyi anak-anak bergerak dari membuat bunyi menuju ke arah membuat pengertian. Periode pembuatan pembedaan atas dua bunyi dapat dikenali selama tahun pertama yaitu (1) periode vokalisasi dan prameraban serta (2) periode meraban. Anak lazimnya membuat pembedaan bunyi perseptual yang penting selama periode ini, misalnya membedakan antara bunyi suara insani dan noninsani antara bunyi yang berekspresi marah dengan yang bersikap bersahabat, antara suara anak-anak dengan orang dewasa, dan antara intonasi yang beragam. Anak-anak mengenali maknamakna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi kata-kata yang didengarnya. Anak-anak menukar atau mengganti ucapan mereka sendiri dari waktu ke waktu menuju ucapan orang dewasa, dan apabila anak-anak mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu, hal itu menjadi perbendaharaan mereka. Perkembangan ujaran kombinatori anak-anak dapat dibagi dalam empat bagian yaitu perkembangan negatif/penyangkalan, perkembangan interogratif/pertanyaan, perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem bunyi. Ada tiga tipe struktur interogatif yang utama untuk mengemukakan persyaratan, yaitu pertanyaan yang menuntut jawaban ya atau tidak, pertanyaan yang menuntut informasi, dan pertanyaan yang menuntut jawaban salah satu dari yang berlawanan (polar). Penggabungan beberapa proposisi menjadi sebuah kalimat tunggal memerlukan rentangan masa selama beberapa tahun dalam perkembangan bahasa anak-anak. Pada umumnya, cara-cara menggabungkan kalimat menujukkan gerakan melalui empat

dimensi yaitu gabungan dua klausa setara menuju gabungan dua klausa yang tidak setara, klausa-klausa utama yang tidak tersela menuju penggunaan klausa-klausa yang tersela, yaitu menyisipkan klausa bawahan pada klausa utama, susunan klausa yang memuat kejadian tetap menuju susunan klausa yang bervariasi, dan dari penggunaan perangkatperangkat semantik-sintaktis yang kecil menuju perangkat yang lebih diperluas. Pada perkembangan masa sekolah, orientasi seorang anak dapat berbeda-beda. Ada anak yang lebih impulsif daripada anak yang lain, lebih refleksif dan berhati-hati, cenderung lebih jelas dan nyata dalam berekspresi, lebih senang belajar dengan bermain-main, sementara yang lain lebih pragmatis dalam pemakaian bahasa. Di masa ini setiap bahasa anak akan mencerminkan kepribadiannya sendiri. Siswa taman kanak-kanak memiliki rasa bahasa, bagian-bagiannya, hubungannya, bagaimana cara kerjanya sehingga mereka mampu mengenal serta mengapresiasi bahasa yang dipakai dalam cara yang mengagumkan serta tidak lazim. Selama masa sekolah anak mengembangkan dan memakai bahasa secara unik dan universal. Pada saat itu anak menandai atau memberinya ciri sebagai pribadi yang ada dalam masyarakat itu. Perkembangan bahasa pada masa sekolah dapat dibedakan dengan jelas dalam tiga bidang, yaitu struktur bahasa, pemakaian bahasa, dan kesadaran metalinguistik. Strategi Pemerolehan Bahasa Pertama Strategi pertama dalam pemerolehan bahasa dengan berpedoman pada: tirulah apa yang dikatakan orang lain. Tiruan akan digunakan anak terus, meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa strategi tiruan atau strategi imitasi ini akan menimbulkan masalah besar. Mungkin ada orang berkata bahwa imitasi adalah mengatakan sesuatu yang sama seperti yang dikatakan orang lain. Akan tetapi ada banyak pertanyaan yang harus dijawab berkenaan dengan hal ini. Ada berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan atau spontaneous imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau immediate imitation, imitasi terlambat delayed imitation dan imitasi dengan perluasan atau imitation with expansion, reduced imitation.

Strategi kedua dalam pemerolehan bahasa adalah strategi produktivitas. Produktivitas berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang pada pedoman buatlah sebanyak mungkin dengan bekal yang telah Anda miliki atau Anda peroleh. Produktivitas adalah ciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang anak dapat bercerita atau mengatakan sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi. Strategi ketiga berkaitan dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan responsi. Dengan strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujaran dan lihatlah bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat sosial dalam pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksi dengan orang lain dan sementara itu bersifat kognitif juga. Hal itu dapat memberikan umpan balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadap makna dan juga memberinya sampel yang lebih banyak, yaitu sampel bahasa untuk digarap atau dikerjakan. Strategi keempat adalah prinsip operasi. Dalam strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa prinsip operasi umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa. Selain perintah terhadap diri sendiri oleh anak, prinsip operasi ini juga menyarankan larangan yang dinyatakan dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan kembali. Proses Pemerolehan Bahasa Kedua Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mempunyai dua cara yang, berbeda berdikari, dan mandiri mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua. Pertama, pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak. Mengembangkan kemampuan dalam bahasa pertama mereka. Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah sadar. Para pemeroleh bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi. Kedua, untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya dapat mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa

orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa bahasa tidaklah hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatkan sarana pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa. Pemerolehan dan pembelajaran dapat dibedakan dalam lima hal, yaitu pemerolehan: 1. memiliki ciri-ciri yang sama dengan pemerolehan bahasa pertama, seorang anak penutur asli, sedangkan belajar bahasa adalah pengetahuan secara formal, 2. secara bawah sadar, sedangkan pembelajaran sadar dan disengaja. 3. bahasa kedua seperti memungut bahasa kedua, sedangkan pembelajaran mengetahui bahasa kedua, 4. mendapat pengetahuan secara implisit, sedangkan pembelajaran mendapat pengetahuan secara eksplisit, 5. pemerolehan tidak membantu kemampuan anak, sedangkan pembelajaran menolong sekali. Pandangan pemerolehan bahasa secara alami yang merupakan pandangan kaum nativistis yang diwakili oleh Noam Chomsky, berpendapat bahwa bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia. Perilaku bahasa adalah sesuatu yang diturunkan. Hakikatnya, pola perkembangan bahasa pada berbagai macam bahasa dan budaya. Lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam pemerolehan bahasa. Anak sudah dibekali apa yang disebut peranti penguasaan bahasa (LAD). Pandangan pemerolehan bahasa secara disuapi adalah pandangan kaum behavioristis yang diwakili oleh B.F. Skinner dan menganggap bahasa sebagai suatu yang kompleks di antara perilaku-perilaku lain. Kemampuan berbicara dan memahami bahasa diperoleh melalui rangsangan lingkungan. Anak hanya merupakan penerima pasif dari tekanan lingkungan. Anak tidak memiliki peran aktif dalam perilaku verbalnya. Perkembangan bahasa ditentukan oleh lamanya latihan yang disodorkan lingkungannya. Anak dapat menguasai bahasanya melalui peniruan. Belajar bahasa dialami anak melalui prinsip pertalian stimulus respon.

Perkembangan bahasa anak adalah suatu kemajuan yang sebarang hingga mencapai kesempurnaan. Pandangan kognitif diwakili oleh Jean Piaget dan berpendapat bahwa bahasa bukan ciri alamiah yang terpisah melainkan satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari pematangan kognitif. Lingkungan tidak besar pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual anak. Yang penting adalah interaksi anak dengan lingkungannya. Cara pemerolehan bahasa kedua dapat dibagi dua cara, yaitu pemerolehan bahasa kedua secara terpimpin dan pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Pemerolehan bahasa kedua yang diajarkan kepada pelajar dengan menyajikan materi yang sudah dipahami. Materi bergantung pada kriteria yang ditentukan oleh guru. Strategi-strategi yang dipakai oleh seorang guru sesuai dengan apa yang dianggap paling cocok bagi siswanya. Pemerolehan bahasa kedua secara alamiah adalah pemerolehan bahasa kedua/asing yang terjadi dalam komunikasi sehari-hari, bebas dari pengajaran atau pimpinan,guru. Tidak ada keseragaman cara. Setiap individu memperoleh bahasa kedua dengan caranya sendirisendiri. Interaksi menuntut komunikasi bahasa dan mendorong pemerolehan bahasa. Dua ciri penting dari pemerolehan bahasa kedua secara alamiah atau interaksi spontan ialah terjadi dalam komunikasi sehari-hari, dan bebas dari pimpinan sistematis yang sengaja. Di dalam kelas ada saja buah yang dapat dianggap sangat penting dan mendasar dalam proses belajar bahasa, yaitu (1) belajar bahasa adalah orang, (2) belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan (3) belajar bahasa adalah: orang-orang dalam responsi. Pemerolehan bahasa bersamaan dengan proses yang digunakan oleh anak-anak dalam pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa menuntut interaksi yang berarti dalam bahasa sasaran yang merupakan wadah para pembicara memperhatikan bukan bentuk ucapan-ucapan mereka tetapi pesan-pesan yang mereka sampaikan dan mereka pahami. Perbaikan kesalahan dan pengajaran kaidahkaidah eksplisit tidaklah relevan bagi pemerolehan bahasa, tetapi para guru dan para penutur asli dapat mengubah serta membatasi ucapan-ucapan mereka kepada pemeroleh

agar menolong mereka memahaminya. Modifikasi-modifikasi ini merupakan pikiran untuk membantu proses pemerolehan tersebut. Hubungan antara Pemerolehan Bahasa Pertama dan Pemerolehan Bahasa Kedua Ciri-ciri pemerolehan bahasa mencakup keseluruhan kosakata, keseluruhan morfologi, keseluruhan sintaksis, dan kebanyakan fonologi. Istilah pemerolehan bahasa kedua atau second language aqcuisition adalah pemerolehan yang bermula pada atau sesudah usia 3 atau 4 tahun. Ada pemerolehan bahasa kedua anak-anak dan pemerolehan bahasa kedua orang dewasa. Ada lima hal pokok berkenaan dengan hubungan pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa kedua. Salah satu perbedaan antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ialah bahwa pemerolehan bahasa pertama merupakan komponen yang hakiki dari perkembangan kognitif dan sosial seorang anak, sedangkan pemerolehan bahasa kedua terjadi sesudah perkembangan kognitif dan sosial seorang anak sudah selesai, dalam pemerolehan bahasa pertama pemerolehan lafal dilakukan tanpa kesalahan, sedangkan dalam pemerolehan bahasa kedua itu jarang terjadi, dalam pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua ada kesamaan dalam urutan perolehan butir-butir tata bahasa, banyak variabel yang berbeda antara pemerolehan bahasa pertama dengan pemerolehan bahasa. Kedua, suatu ciri yang khas antara pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua belum tentu ada meskipun ada persamaan perbedaan di antara kedua pemerolehan. Ada tiga macam pengaruh proses belajar bahasa kedua, yaitu pengaruh pada urutan kata dan karena proses penerjemahan, pengaruh pada morfem terikat, dan pengaruh bahasa pertama walaupun pengaruh isi sangat lemah (kecil). Strategi Pemerolehan Bahasa Kedua Perlu diingat bahwa strategi-strategi yang telah dikenal perlu dibagi ke dalam komponenkomponennya. Strategi pertama berpegang, pada semboyan: gunakanlah pemahaman nonlinguistik Anda sebagai dasar untuk penetapan atau pemikiran bahasa, Strategi ini

berlangsung dan beroperasi pada tahap umum dalam karya Brown mengenai dasar kognitif ujaran tahap I. Strategi pertama ini memiliki rerata Panjang Ucapan; rata-rata (PUR) sebesar 1,75, dan Loncatan Atas (LA) sebesar 5. Adapun objek dan persona terusmenerus ada walaupun di luar jangkauan pandangan yang merupakan pemahaman nonlinguistik yang menjadi dasar atau landasan bagi pengarah bahasa atau terjemahan anak-anak terhadap ketidakstabilan atau kemudahan mengalirkan pemikiran ke dalam kategori-kategori bahasa yang lebih pasti. Penggunaan pemahaman nonlinguistik untuk memperhitungkan serta menetapkan hubungan-hubungan makna-ekspresi bahasa merupakan suatu strategi yang amat persuasif atau dapat merembes pada diri anak-anak. Strategi kedua berpegang pada semboyan: gunakan apa saja atau segala sesuatu yang penting, yang menonjol dan menarik hati Anda. Ada dua ciri yang kerap kali penting dan menonjol bagi anak-anak kecil dan berharga bagi sejumlah kata-kata pertama mereka yaitu objek-objek yang dapat membuat anak-anak aktif dan giat (misalnya kunci, palu, kaos kaki, topi) dan objek-objek yang bergerak dan berubah (seperti mobil, jam). Sifatsifat atas ciri-ciri perseptual dapat bertindak sebagai butir-butir atau titik-titik vokal bagi anak-anak (misalnya bayangan, ukuran, bunyi, rasa, bentuk). Anak-anak memperhatikan objek-objek yang mewujudkan hal-hal yang menarik hati ini; dan mereka memperhatikan cara menamai objek-objek itu dalam masyarakat bahasa. Perhatian anak-anak juga bisa pada unsur bahasa yang memainkan peranan penting sintaksis dan semantik dalam kalimat. Pusat perhatian tertentu bagi seorang anak mungkin saja berbeda pada periode yang berbeda pada setiap anak. Strategi ketiga berpegang pada semboyan: anggaplah bahwa bahasa dipakai secara referensial atau ekspresif dan dengan demikian menggunakan data bahasa. Anak-anak kelompok referensial memiliki 50 kata pertama mencakup suatu proporsi nomina umum yang tinggi dan yang seakan-akan melihat fungsi utama bahasa sebagai penamaan objekobjek. Anak kelompok ekspresif memiliki 50 kata pertama secara proporsional mencakup lebih banyak kata yang dipakai dalam ekspresi-ekspresi sosial (seperti terima kasih, jangan begitu) dan lebih sedikit nama-nama objek yang melihat bahasa (terutama sekali) sebagai pelayanan fungsi-fungsi sosial efektif. Kedua kelompok anak itu menyimak bahasa sekitar mereka secara berbeda. Kelompok yang satu memperlakukan bahasa yang dipakai

untuk mengacu, sedangkan kelompok yang satu lagi, kepada bahasa yang dipakai untuk bergaul, bersosialisasi. Ada tujuh fungsi bahasa yaitu fungsi instrumental, fungsi regulasi, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi heuristik, dan fungsi imajinatif. Fungsi instrumental bahasa berkaitan dengan pengelolaan lingkungan, mengkomunikasikan tindak. Fungsi regulasi atau pengaturan berkenaan dengan pengendalian peristiwa, penentuan hukum dan kaidah, pernyataan setuju tidak setuju. Fungsi representasi berkenaan dengan pernyataan, menjelaskan melaporkan. Fungsi interaksi berkaitan dengan hubungan komunikasi sosial. Fungsi personal berkenaan dengan kemungkinan seorang pembicara mengemukakan perasaan, emosi, dan kepribadian. Fungsi heuristik berkaitan dengan perolehan pengetahuan dan belajar tentang lingkungan. Fungsi imajinatif berkaitan dengan daya cipta imajinasi dan gagasan. Strategi keempat berpegang pada semboyan: amatilah bagaimana caranya orang lain mengekspresikan berbagai makna. Strategi ini baik diterapkan pada anak yang berbicara sedikit dan seakan-akan mengamati lebih banyak, bertindak selektif, menyimak, mengamati untuk melihat bagaimana makna dan ekspresi verbal saling berhubungan. Strategi ini mengingatkan kepada gaya atau preferensi belajar yang berbeda pada anakanak yang berlainan usia dalam situasi belajar yang lain pula. Strategi kelima berpegang pada semboyan: ajukanlah pertanyaan-pertanyaan untuk memancing atau memperoleh data yang Anda inginkan, anak berusia sekitar dua tahun akan sibuk membangun dan memperkaya kosakata mereka. Banyak di antara mereka mempergunakan siasat bertanya atau strategi pertanyaan. Siasat ini seolah-olah merupakan sesuatu yang efektif, karena setiap kali dia bertanya: apa nih? apa tu? maka teman bicaranya mungkin menyediakan label atau, nama yang tepat. Suatu pola yang menarik terjadi pada penggunaan pertanyaan mengapa pada usia sekitar 3 tahun. Pandangan Global dan Kecenderungan dalam Pemerolehan Bahasa Ragam atau jenis pemerolehan bahasa dapat ditinjau dari lima sudut pandangan, yaitu berdasarkan bentuk, urutan, jumlah, media, dan keasliannya. Dalam pengertiannya semua

istilah itu ternyata hampir sama. Di dalam literatur keduanya sering dipakai bergantiganti untuk maksud dan pengertian yang sama. Dalam bahasa satu tercakup istilah bahasa pertama, bahasa asli, bahasa ibu, bahasa utama, dan bahasa kuat. Dalam bahasa dua tercakup bahasa kedua, bukan bahasa asli, bahasa asing, bahasa kedua, dan bahasa lemah. Masih ada beberapa istilah lagi yaitu bahasa untuk komunikasi luas, bahasa baku, bahasa regional, bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa modern, dan bahasa klasik. Ditinjau dari segi bentuk ada tiga pemerolehan bahasa yaitu pemerolehan bahasa pertama yaitu bahasa yang pertama diperoleh sejak lahir, pemerolehan bahasa kedua yang diperoleh setelah bahasa pertama diperoleh, dan pemerolehan-ulang, yaitu bahasa yang dulu pernah diperoleh kini diperoleh kembali karena alasan tertentu. Ditinjau dari segi urutan ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa kedua. Ditinjau dari segi jumlah ada dua pemerolehan yaitu pemerolehan satu bahasa (di lingkungan yang hanya terdapat satu bahasa secara luas), dan pemerolehan dua bahasa di lingkungan yang terdapat lebih dari satu bahasa yang digunakan secara luas). Ditinjau dari segi media dikenal pemerolehan bahasa lisan (hanya bahasa yang diucapkan oleh penuturnya), dan pemerolehan bahasa tulis (bahasa yang dituliskan, oleh penuturnya). Ditinjau dari segi keaslian atau keasingan dikenal pemerolehan, bahasa asli (merupakan alat komunikasi penduduk asli), dan pemerolehan bahasa asing (bahasa yang digunakan oleh para pendatang atau bahasa yang memang didatangkan untuk dipelajari). Ditinjau dari segi keserentakan atau keberurutan (khususnya bagi pemerolehan dua bahasa) dikenal pemerolehan (dua bahasa) serentak dan pemerolehan dua bahasa berurutan. Ada tiga komponen yang menentukan proses pemerolehan bahasa yaitu prospensity (kecenderungan), language faculty, (kemampuan berbahasa), dan acces (jalan masuk) ke bahasa.

Istilah prospensity mencakup seluruh faktor yang menyebabkan pelajar menerapkan kemampuan berbahasa untuk memperoleh sesuatu balasan. Hal itu merupakan hasil interaksi mereka yang menentukan kecenderungan aktual pelajar. Selama tidak mempengaruhi segala aspek pemerolehan bahasa pada taraf yang sama, maka tidaklah bijaksana mengaitkan kecenderungan dengan proses pemerolehan dengan cara yang umum. Unsur-unsur komponen kecenderungan itu dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, (misalnya pengajaran) sampai taraf-taraf tertentu. Komponen kecenderungan ada empat yaitu integrasi sosial, pendidikan, kebutuhan komunikatif, dan sikap. Dalam pemerolehan bahasa pertama integrasi sosial merupakan suatu faktor yang dominan. Relevansi faktor ini akan berkurang jika beranjak dari pemerolehan bahasa anak menuju bentuk-bentuk pemerolehan bahasa lainnya. Integrasi sosial mempunyai sedikit kebermaknaan sebagai faktor penyebab kecenderungan dalam belajar bahasa kedua di tingkat perguruan tinggi atau universitas. Dalam hal-hal tertentu, integrasi sosial merupakan faktor yang mengakibatkan pengaruh negatif. Faktor kebutuhan komunikatif harus dibedakan dengan cermat dan tepat dari integrasi sosial. Kedua faktor ini kerapkali berlangsung serta bertindak bersama-sama bahumembahu. Walaupun integrasi sosial jelas sekali mengimplikasikan kepuasan kebutuhankebutuhan komunikatif tertentu; namun kedua faktor itu berbeda. Kedua faktor tersebut telah dipisahkan secara cermat dan keduanya dapat mempengaruhi pemerolehan bahasa dengan cara-cara yang amat berbeda (dalam ranah fonologi, morfologi; sintaksis, kosakata, dan wacana). Ada berbagai ragam jenis kebutuhan komunikasi. Pengaruhnya kepada pemerolehan bahasa tentu juga beragam. Perbedaan yang ada antara integrasi sosial dan kebutuhan komunikatif sebagai dua komponen kecenderungan yang berinteraksi selalu dengan perbedaam atau motivasi integratif dan motivasi instrumental. Bukan berarti bahwa motivasi tidak memberikan kontribusi apa pun kepada kecenderungan. Sikap subjektif mempengaruhi belajar bahasa dengan cara-cara yang tidak jelas, misalnya disebabkan integritas sosial dan kurangnya rasa percaya diri. Daya tarik menarik bahasa sebenarnya dapat menjadi sebuah ebakan. Sikap meremehkan dengan menggampangkan

mengakibatkan sedikitnya perhatian kepada bahasa yang akan dipelajari, hanya sedikit pencurahan dan akhirnya mengantarkan kepada kegagalan belajar bahasa kedua. Kapasitas dan Acces dalam Belajar Bahasa Belajar bahasa mengandalkan berpikir, fungsi otak akan bekerja sebagaimana belajar. Bahasa merupakan dasar fundamental berpikir. Ada keapikan hubungan antara bahasa dan berpikir. Bahasa juga dapat memperluas pikiran. Otak memiliki kapasitas untuk menampung rangsangan-rangsangan yang masuk. Tidak semua rangsangan yang diterima akan langsung direkam ke memori yang paling dalam. Ada rangsangan atau informasi yang diterima dan ditempatkan hanya sampai tingkat permukaan otak maupun ditolak. Pemerolehan bahasa merupakan sebuah proses. Pemrosesan bahasa memerlukan sebuah acces atau jalan masuk. Tanpa jalan masuk tidak mungkin bahan mentah atau bahan kasar dapat diproses dalam pemerolehan bahasa. Jalan masuk memiliki dua komponen yang berbeda, yaitu jumlah yang tersedia dan jajaran jarak kesempatan komunikasi. Belajar bahasa kedua harus dapat membedakan variasi-variasi tekanan suara, nada, intonasi dari satu bahasa ke bahasa lain. Khasanah kosakata anak seringkali didapat karena melibatkan pemahamannya tentang siapa berbicara dengan siapa, di mana, kapan, sambil mengamati gerak tubuh para tokoh dan reaksinya. Walaupun masukan dalam pemerolehan bahasa bersifat spontan tetapi pada umumnya terdiri atau ujaran otentik. Pembicara atau penutur asli mempunyai kecenderungan menyesuaikan bahasanya dengan potensi pelajar yang telah diduga itu. Penyesuaianpenyesuaian belajar bahasa terjadi dalam fonologi, morfologi, sintaksis, kosakata, dan dalam komunikasi pada umumnya. Dengan bertindak demikian pembicara dapat berbuat kesalahan dalam dua hal. Pertama, modifikasi-modifikasinya dapat menghalangi pemahaman kalau pelajar semakin maju datam bahasa itu. Kedua; pelajar mungkin menginterpretasikannya sebagai suatu tanda jarak sosial dan rasa rendah diri dan merasa terhina dengan terlihat berbicara dalam logat khusus seperti ini.

Pemerolehan bahasa spontan mencakup belajar di dalam interaksi sosial dan melalui interaksi sosial. Pelajar diharuskan mempergunakan sebaik-baiknya segala pengetahuan yang tersedia padanya agar dapat memahami apa yang dikatakan orang lain dan menghasilkan ucapan-ucapannya sendiri. Hal itu ditunjang observasi. Pertama, pelajar disajikan dengan lebih banyak masukan linguistik dengan frekuensi yang meningkat dan dalam jangkauan yang lebih luas. Kedua, mendapat lebih banyak kesempatan menguji produksi ujarannya sendiri berlawanan dengan yang datang dari lingkungannya untuk membuktikan hipotesis-hipotesisnya mengenai struktur bahasa sasaran. Pelajar cenderung berbeda dalam tingkat pemonitoran linguistik mereka. Kesempatan-kesempatan berkomunikasi secara verbal jauh lebih terbatas pada pemerolehan bahasa kedua terpimpin. Pertukaran-pertukaran terdiri dari unsur-unsur produksi dan pemahanan bahasa yang siap pakai yang maju terus ke tingkat-tingkat yang beragam dalam komunikasi. Struktur Proses Belajar Bahasa dan Kecepatan Pemerolehan Bahasa Pada proses belajar, pertama memiliki ciri-ciri tidak disengaja, berlangsung sejak lahir, lingkungan keluarga sangat menentukan, motivasi ada karena kebutuhan, banyak waktu untuk mencoba bahasa, dan pelajar memiliki banyak waktu untuk berkomunikasi. Pada proses belajar bahas kedua terdapat ciri-ciri disengaja, berlangsung setelah si pelajar berada di sekolah, lingkungan sekolah sangat menentukan, motivasi pelajar untuk mempelajarinya tidak sekuat mempelajari bahasa pertama, waktu terbatas, pelajar tidak mempunyai banyak waktu untuk mempraktikkan bahasa yang dipelajari, bahasa pertama mempengaruhi proses belajar bahasa kedua, umur kritis mempelajari bahasa kedua kadang-kadang telah lewat, disediakan alat bantu belajar, dan ada orang yang mengorganisasikannya. Selain itu ada juga ciri lain yaitu bahasa pertama dan bahasa kedua mungkin dipelajari secara bersamaan atau secara berurutan, jika dipelajari secara berurutan maka bahasa kedua dapat dipelajari dalam lingkungan bahasa pertama atau bahasa kedua. Kedua, maka bahasa kedua dipelajari melalui kontak bahasa, bahasa kedua biasanya dipelajari melalui pengajaran, belajar bahasa kedua berkaitan dengan perkembangan berbagai keterampilan berbahasa baik secara lisan maupun tertulis.

Ada 10 strategi dalam proses belajar bahasa yaitu strategi perencanaan, aktif, empatik, formal, eksperimental, semantik, praktis, komunikasi, strategi, monitor, dan strategi internalisasi. Ciri pelajar yang baik ialah, mau dan menjadi seorang penerka yang baik, suka berkomunikasi, kadang-kadang tidak malu terhadap kesalahan dan siap memperbaikinya, suka mengikuti parkembangan bahasa, praktis, mengikuti ujarannya dan membandingkannya dengan ujaran yang baku, dan mengikuti perubahan makna kerangka konteks sosial. Peranan Bahasa Pertama dalam Proses Pemerolehan Bahasa Kedua Bahasa pertama mempunyai pengaruh positif yang sangat besar terhadap bahasa kedua sebesar 4 12 % dari kesalahan-kesalahan dalam tata bahasa yang dibuat oleh anak-anak berasal dari bahasa pertama, sebesar 8 23 % merupakan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh orang dewasa. Mayoritas kesalahan-kesalahan tersebut lebih banyak dalam susunan kata daripada dalam morfologi. Bidang yang sangat kuat dipengaruhi oleh bahasa pertama adalah pengucapan. Anak-anak memproses sistem bunyi baru melalui pola-pola fonologis bahasa pertama pada tahap-tahap awal pemerolehan bahasa kedua, tetapi secara berangsur-angsur mereka bersandar pada sistem bahasa kedua dan aksen atau tekanan (logat) mereka pun menghilang. Pengaruh bahasa pertama kian bertambah pada bahasa kedua jika pelajar diharapkan menghasilkan bahasa kedua sebelum dia mempunyai penguasaan yang cukup memadai terhadap bahasa barunya. Pelajar akan bergantung pada struktur-struktur bahasa pertama, baik dalam upaya komunikasi maupun terjemahan. Pengaruh bahasa pertama juga merupakan fakta dalam interaksi yang terjadi antara bahasawan bahasa pertama dan bahasa kedua. Satu-satunya sumber utama kesalahan-kesalahan sintaksis dalam penghasilan bahasa kedua orang dewasa adalah bahasa pertama si pelaku. Ada pandangan yang menyatakan bahwa kesalahan bukan bersumber pada struktur bahasa pertama, melainkan pada latar belakang linguistik yang berbeda-beda dari bahasa kedua (B2) pelajar.

Pengaruh bahasa pertama terlihat paling kuat dalam susunan kata kompleks dan dalam terjemahan frase-frase, kata demi kata. Pengaruh bahasa pertama lebih lemah dalam morfem terikat. Pengaruh bahasa pertama paling kuat atau besar dalam lingkunganlingkungan pemerolehan yang rendah. Pengaruh bahasa pertama bukanlah merupakan hambatan atau rintangan proaktif, melainkan akibat dari penyajian yang justru diperbolehkan menyajikan sesuatu sebelum dia mempelajari perilaku baru itu. Pengobatan atau penyembuhan bagi interferensi hanyalah penyembuhan bagi ketidaktahuan belajar. Bahasa pertama dapat merupakan pengganti bahasa kedua yang telah diperoleh sebagai suatu inisiator atau pemrakarsa ucapan apabila pelajar bahasa kedua harus menghasilkannya dalam bahasa sasaran, tetapi tidak cukup kemampuan bahasa kedua yang telah diperolehnya. Pengaruh bahasa pertama merupakan petunjuk bagi pemerolehan yang rendah. Anak-anak mungkin membangun atau membentuk kompetensi yang diperoleh melalui masukan. Kurangnya desakan penghasilan ujaran lisan akan menguntungkan bagi anak-anak dan orang dewasa menelaah bahasa kedua dalam latar-latar formal. Pengaruh bahasa pertama dapat dianggap sebagai sesuatu yang tidak alamiah. Seseorang dapat saja menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua tanpa suatu pemerolehan. Jika bahasa kedua berbeda dengan bahasa pertama, model monitor dapat dipakai dengan menambahkan beberapa morfologi dan melakukannya dengan sebaik-baiknya untuk memperbaiki susunan kata. Pemerolehan bahasa mungkin pelan-pelan, tetapi dalam jangka panjang akan lebih bermanfaat kalau bahasa dipergunakan untuk maksud dan tujuan komunikasi. Input dan Interaksi dalam Proses Pemerolehan Bahasa Seorang anak akan dihadapkan pada dua penguasaan bahasa dalam mempelajari bahasa kedua (B2) yaitu memperoleh bahasa pertama sedangkan ia sendiri akan berupaya mempelajari bahasa kedua. Bahasa antara adalah bentuk ujaran yang belum atau tidak ada modelnya pada kedua bahasa baik bahasa pertama maupun bahasa kedua, bahasa

sumber maupun bahasa sasaran, bahasa ibu maupun bahasa yang dipelajari. Ideosinkresi adalah bentuk ujaran yang tidak terdapat dalam model bahasa kedua atau yang dipelajari. Proses belajar bahasa berkembang melalui beberapa tahap. Tahap kompetensi perantara disebut kompetensi trasisional atau bahasa antara. Setiap bahasa antara mewakili satu tahap kompetensi yang berisi bentuk-bentuk yang benar maupun yang tidak benar dalam bahasa yang dipelajari. Ada empat kompetensi yakni kompetensi formal, kompetensi semantik, kompetensi berkomunikasi, dan kreativitas. Keempat kompetensi itu dikuasai secara bertahap. Ada empat pemerolehan dalam belajar bahasa yaitu menguasai bunyi bahasa, menguasai bentuk kata, menguasai kalimat, dan menguasai makna. Empat pemerolehan ini lama-kelamaan berlangsung secara otomatis dan pada akhirnya digunakan siswa untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Ada tiga persoalan utama proses belajar yaitu (1) Perbedaan antara dominasi yang tak dapat dihindari, terdapat di dalam otak siswa yang mempelajari bahasa pertama dengan ketidakcakapan siswa menguasai bahasa kedua, (2) pilihan implisit-eksplisit, (3) dilema komunikasi dengan kode. Terdapat hipotesis yang disusun dalam bagian-bagian yang berhubungan dengan komponen pemerolehan bahasa kedua yang ditinjau dari segi umum, situasi, masukan, perbedaan-perbedaan pelajar, proses-proses dan keluaran linguistik. Hipotesis segi umum ini membicarakan perihal bagaimana pemerolehan bahasa kedua, apakah mengikuti perkembangan alamiah atau tidak, dan apakah ada keragaman di antaranya, bagaimana secara vertikal dan bagaimana secara horisontal. Hipotesis segi situasi membicarakan faktor-faktor situasional yaitu siapa ditujukan kepada siapa, kapan, tentang apa, dan di mana serta apakah mempengaruhi urutan perkembangan atau tidak, apakah merupakan penyebab utama bahasa pemeroleh. Hipotesis input atau masukan membicarakan masukan dan interaksi sekaligus, apakah dapat menentukan perkembangan pemerolehan atau tidak. Hipotesis perbedaan pelajar menyangkut personalitas pelajar bahasa baik itu sikap, persepsi, minat maupun motivasi, serta apakah bahasa pertama dapat mempengaruhi perkembangan pemerolehan. Hipotesis proses-proses pelajar membicarakan bahasa antara, keuniversalan bahasa serta korolari. Hipotesis keluaran

linguistik menyangkut sifat keluaran linguistik, apakah formulaik atau tidak, kreatif atau monoton, bervariabel atau tidak, dinamis atau statis, sistemis atau sistematis. Kedudukan Bahasa Indonesia dalam Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia Bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi di Indonesia. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia mempunyai tiga fungsi, yaitu: sebagai alat pemersatu suku-suku bangsa di Indonesia, sebagai lambang kebanggaan dan identitas nasional, dan sebagai alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi dalam kepentingan kenegaraan, alat perhubungan pada tingkat nasional, bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, dan sebagai alat pengembangan kebudayaan, ilmu dan teknologi. Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran pokok di SD, SMTP, SMTA, bahkan sampai di perguruan tinggi. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980 tercatat bahwa bahasa Indonesia dipakai sehari-hari di rumah hanya oleh 12% penduduk Indonesia, bahasa Jawa 40 %, sedangkan bahasa Sunda 15 %. Di antara 146 juta jiwa penduduk Indonesia hanya 12 % yang berbahasa Indonesia sehari-hari. Golongan umur 25 49 tahun merupakan kelompok umur yang tertinggi dalam pemakaian bahasa Indonesia, kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 4.103.00 jiwa, sedangkan di kalangan anak-anak, kelompok 0-4 hanya sebesar 2.692.000 jiwa dan kelompok umur 5-9 tahun sebesar 2.446.000 jiwa. Berdasarkan jenis kelamin penduduk, jumlah penduduk kota, laki-laki dapat berbahasa Indonesia sebesar 81% sedangkan yang perempuan 84 %. Di desa, jumlah penduduk lakilaki dapat berbahasa Indonesia adalah 60 % sedangkan yang perempuan adalah 49%. DKI Jakarta menduduki peringkat terbaik dalam keniraksaraan, yaitu hanya 5 % sedangkan propinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 53 %. Perolehan bahasa Indonesia dapat dilihat dari beberapa sudut yaitu sebagai bahasa pertama atau bahasa kedua, oleh orang dewasa atau anak-anak, di kota besar atau di desa.

Cukup besar perbedaan persentase anak belajar bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dengan orang dewasa. Di kota besar 24,4 % berbanding 5 % dan di desa 16,2 % berbanding 3,2 %. Secara keseluruhan perbedaannya ialah 21,3 % untuk anak-anak dan 43 % untuk orang dewasa. Hal itu berhubungan dengan pola berbahasa masyarakat kota dan desa, yang lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia untuk media dalam berbagai lingkungan kebahasaan dan heterogenitas kebahasaan yang ada. Di Amerika Serikat, setelah orang dan bahasa-bahasa India hampir lenyap dalam abad ke19, ada penambahan dari tahun 1950 ke tahun 1960 dan dari tahun 1960 ke tahun 1970. Pada tahun 1975, + 17 % orang Amerika menyatakan memakai bahasa lain selain dari bahasa Inggris dalam masa kanak-kanak. Pemerolehan Bahasa Kedua 1. Bagi sebagian besar anak Indonesia, bahasa Indonesia bukan bahasa pertama mereka, melainkan bahasa kedua, atau ketiga. 2. Pengenalan/penguasaan bahasa Indonesia dapat terjadi melalui proses pemerolehan atau proses belajar. 3. Proses pemerolehan terjadi secara alamiah, tanpa sadar, melalui interaksi tak formal dengan orang tua dan/atau teman sebaya, tanpa bimbingan. 4. Proses belajar terjadi secara formal, disengaja, melalui interaksi edukatif, ada bimbingan, dan dilakukan dengan sadar. 5. Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2) didapat bersama-sama atau dalam waktu berbeda. Jika didapat dalam waktu yang berbeda, Bahasa Kedua (B2) didapat pada usia prasekolah atau pada usia Sekolah Dasar. 6. Bahasa Kedua (B2) dapat diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama (B1) dan Bahasa Kedua (B2). Jika diperoleh di lingkungan Bahasa Pertama, Bahasa Kedua dipelajari melalui proses belajar formal; jika didapat di lingkungan Bahasa Kedua, Bahasa Kedua didapat melalui interaksi tidak formal, melalui keluarga, atau anggota masya-rakat Bahasa Kedua. Empirisme Dalam Teori Belajar B2

1. Teori belajar behavioris bersifat empiris, didasarkan atas data yang dapat diamati. 2. Kaum behavioris berpendapat bahwa proses belajar pada manusia sama dengan proses belajar pada binatang. 3. Kaum behavioris menganggap bahwa proses belajar bahasa adalah sebagian saja dari proses belajar pada umumnya. 4. Menurut kaum behavioris manusia tidak memiliki potensi bawaan untuk belajar bahasa. 5. Kaum behavioris berpendapat bahwa pikiran anak merupakan tabula rasa (kertas kosong) yang akan diisi dengan asosiasi antara S dan R. 6. Menurut pandangan mereka semua perilaku merupakan respons terhadap stimulus. Perilaku terbentuk dalam rangkaian asosiatif. 7. Belajar adalah proses pembentukan hubungan asosiatif antara stimulus dan respons yang berulang-ulang. Pembentukan kebiasaan ini disebut pengkondisian. 8. Pengkondisian selalu disertai ganjaran sebagai penguatan asosiasi antara S dan R. 9. Bahasa manusia merupakan suatu sistem respons yang canggih yang terbentuk melalui pengkondisian operant/belajar verbal (bahasa). Rasionalisme dalam Teori Belajar B2 1. Teori belajar bahasa yang termasuk aliran rasionalisme ialah teori tata bahasa universal, teori monitor dan teori kognitif. 2. Teori tata bahasa universal mencakup seperangkat elemen gramatikal atau prinsipprinsip yang secara alami ada pada semua bahasa manusia. 3. Prinsip-prinsip di atas merupakan hasil perangkat pemerolehan bahasa (LAD) yang mencakup prinsip-prinsip universal substantif dan prinsip universal formal. 4. Menurut Chomsky prinsip universal ditemukan oleh anak membentuk tata bahasa inti yang sama dalam semua bahasa. Di samping tata bahasa inti di dalam bahasa, ada tata bahasa periferal yang tidak ditentukan oleh tata bahasa universal. 5. Krashen mengemukakan model belajar yang disebut model monitor yang mencakup 5 hipotesis, yaitu hipotesis perbedaan pemerolehan dan proses belajar

bahasa, hipotesis tentang urutan alamiah pemerolehan struktur gramatikal, hipotesis monitor, hipotesis masukan, dan hipotesis saringan. 6. Menurut Krashen, belajar hanya dapat berfungsi sebagai monitor bila disertai dengan kondisi yang memadai. 7. Melalui pemerolehan yang terjadi di bawah sadar anak-anak mendapatkan intuisi bahasa (rasa bahasa), yang tidak diperoleh melalui proses belajar terutama pada tahap awal. 8. Teori kognitif bersumber pada psikologi kognitif dan berfokus pada proses kognitif yang lebih umum. Menurut teori kognitif, belajar bahasa terjadi sebagai pemerolehan keterampilan kognitif yang kompleks. Untuk mencapai kemahiran bahasa sub-subketerampilannya harus dilatih, diotomatisasikan, diintegrasikan, dan diorganisasi-kan ke dalam sistem yang sudah dimiliki, yang selalu berubah strukturnya sesuai dengan perkembangan kemahiran. 9. Pada tahun 80-an Titone mengajukan model belajar bahasa yang disebut model Holodinamik (HDM). Model ini menunjukkan perpaduan ciri-cici aliran behaviorisme dan aliran kognitif serta sangat mementingkan aspek-aspek kepribadian. Model ini mencakup tiga tingkat yaitu tingkat ego, strategi, dan taktik. Peranan Pengajaran Bahasa dalam Memperoleh Bahasa Kedua 1. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang untuk memudahkan orang lain belajar. 2. Pengajaran mencakupi 3 unsur pokok dan banyak unsur yang merupakan konvensi. Unsur pokok bersifat umum/universal sedangkan konvensi dibatasi oleh negara, lingkungan, tujuan, waktu, kelompok. 3. Unsur pokok pengajaran ialah orang yang mengajar (guru), kegiatan/materi yang dirancang untuk memudahkan belajar dan orang yang belajar. 4. Peranan pengajaran secara umum ialah dalam memberikan kemudahan agar siswa Bahasa Kedua (B2) dapat mencapai tujuan belajar yang mencakupi subsubketerampilan membaca, menulis, berbicara, menyimak, dan mengapresiasi sastra dalam Bahasa Kedua (B2).

5. Krashen menyatakan pengajaran yang diciptakan sebagai lingkungan kondusif memegang peranan penting dalam memberikan masukan-masukan terutama bagi siswa yang tidak mempunyai kesempatan memperoleh masukan dari lingkungan informal. 6. Peranan pengajaran Bahasa Kedua (B2), berdasarkan unsur-unsur pokoknya dapat dirinci sebagai peranan guru, materi/kegiatan belajar dan siswa. 7. Guru memegang peranan yang penting dalam memberikan kemudahan menumbuhkan/memelihara/meningkatkan motivasi, mengorganisasikan siswa, memilih/menentukan bahan ajar mengelola/mengarahkan kegiatan belajar, memantau kemajuan, membantu siswa dalam kesulitan belajar. 8. Bahan/kegiatan belajar yang disediakan menentukan apa yang mungkin dikuasai siswa dan bagaimana kualitas penguasaannya. 9. Siswa merupakan pusat pengajaran. Materi, kegiatan belajar, evaluasi disusun dengan mempertimbangkan dan untuk kepentingan siswa. Pengajaran Bahasa Kedua (B2) berpusat pada siswa dengan mempertimbangkan bagaimana siswa belajar B2. Prinsip dan Metode Pengajaran B2 1. Belajar Bahasa Kedua (B2) adalah belajar dalam konteks pemakaian bahasa yang sebenarnya. 2. Belajar Bahasa Kedua (B2) adalah belajar menggunakan Bahasa Kedua (B2) tersebut dalam berbagai fungsinya. 3. Siswa harus dilatih menggunakan bahasa secara tepat. 4. Pengajaran bahasa perlu memperhatikan kebutuhan afektif dan kognitif pelajaran. 5. Pemahaman Budaya Bahasa Kedua (B2) perlu ditumbuhkan dalam pengajaran Bahasa Kedua (B2). 6. Metode tata bahasa terjemahan tidak membuat siswa terampil menggunakan bahasa, tetapi tahu tentang bahasa. 7. Metode langsung diterapkan melalui kegiatan dialog, tubian pola, dan penerapan. Tubian yang dilakukan mencakupi tubian pengulangan dan tubian respons.

8. Tujuan pengajaran bahasa komunikatif ialah agar siswa dapat berkomunikasi dalam permaian bahasa yang sebenarnya dalam bentuk bahasa yang diterima. Dalam pelaksanaannya, jika diperlukan Bahasa Kesatu (B1) dan penerjemahkan dapat digunakan. Tata bahasa diberikan. 9. Pengajaran dengan respons fisik total menekankan penguasaan kemampuan menyimak pada awal pelajaran. Pemahaman dan retensi paling baik dipelajari melalui gerakan fisik sebagai respons terhadap perintah guru. Kegiatan berbicara baru dilakukan bila siswa sudah benar-benar siap. Proses siswa dilaksanakan melalui langkah = latihan mendengarkan, produksi dan membaca serta menulis. 10. Pendekatan alamiah dikembangkan berdasarkan keyakinan bahwa penguasaan bahasa lebih banyak terjadi melalui proses pemerolehan secara alamiah yang digabungkan dengan teori monitor dan Krashen. Pendekatan ini dalam penerapannya sangat mementingkan pemerolehan kosakata.

Proses Pemerolehan Bahasa Pertama Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak kanakkanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan prosesproses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia memperoleh bahasa pertamanya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167). Selama pemerolehan bahasa pertama, Chomsky menyebutkan bahwa ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak memperoleh bahasa pertamanya. Proses yang dimaksud adalah proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini merupakan dua proses yang berlainan. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik) secara tidak disadari. Kompetensi ini dibawa oleh setiap anak sejak lahir. Meskipun dibawa sejak lahir, kompetensi memerlukan pembinaan sehingga anak-anak memiliki performansi dalam berbahasa. Performansi adalah kemampuan anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Performansi terdiri dari dua proses, yaitu proses pemahaman dan proses penerbitan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan mengamati atau mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar, sedangkan proses penerbitan melibatkan kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat sendiri (Chaer 2003:167). Selanjutnya, Chomsky juga beranggapan bahwa pemakai bahasa mengerti struktur dari bahasanya yang membuat dia dapat mengkreasi kalimat-kalimat baru yang tidak terhitung jumlahnya dan membuat dia mengerti kalimat-kalimat tersebut. Jadi, kompetensi adalah

pengetahuan intuitif yang dipunyai seorang individu mengenai bahasa ibunya (native languange). Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada, tetapi dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya, sedangkan performansi adalah sesuatu yang dihasilkan oleh kompetensi. Hal yang patut dipertanyakan adalah bagaimana strategi si anak dalam memperoleh bahasa pertamanya dan apakah setiap anak memiliki strategi yang sama dalam memperoleh bahsa pertamanya? Berkaitan dengan hal ini, Dardjowidjojo, (2005:243-244) menyebutkan bahwa pada umumnya kebanyakan ahli kini berpandangan bahwa anak di mana pun juga memperoleh bahasa pertamanya dengan memakai strategi yang sama. Kesamaan ini tidak hanya dilandasi oleh biologi dan neurologi manusia yang sama, tetapi juga oleh pandangan mentalistik yang menyatakan bahwa anak telah dibekali dengan bekal kodrati pada saat dilahirkan. Di samping itu, dalam bahasa juga terdapat konsep universal sehingga anak secara mental telah mengetahui kodrat-kodrat yang universal ini. Chomsky mengibaratkan anak sebagai entitas yang seluruh tubuhnya telah dipasang tombol serta kabel listrik: mana yang dipencet, itulah yang akan menyebabkan bola lampu tertentu menyala. Jadi, bahasa mana dan wujudnya seperti apa ditentukan oleh input sekitarnya. 2. Tahap-tahap Pemerolehan Bahasa Pertama Perlu untuk diketahui adalah seorang anak tidak dengan tiba-tiba memiliki tata bahasa B1 dalam otaknya dan lengkap dengan semua kaidahnya. B1 diperolehnya dalam beberapa tahap dan setiap tahap berikutnya lebih mendekati tata bahasa dari bahasa orang dewasa. Menurut para ahli, tahap-tahap ini sedikit banyaknya ada ciri kesemestaan dalam berbagai bahasa di dunia. Pengetahuan mengenai pemerolehan bahasa dan tahapnya yang paling pertama di dapat dari buku-buku harian yang disimpan oleh orang tua yang juga peneliti ilmu psikolinguistik. Dalam studi-studi yang lebih mutakhir, pengetahuan ini diperoleh melalui rekaman-rekaman dalam pita rekaman, rekaman video, dan eksperimen-eksperimen yang direncanakan. Ada sementara ahli bahasa yang membagi tahap pemerolehan bahasa ke dalam tahap pralinguistik dan linguistik. Akan tetapi, pendirian ini disanggah oleh banyak orang yang berkata bahwa tahap pralinguistik itu tidak dapat dianggap bahasa yang permulaan karena bunyi-bunyi seperti tangisan dan rengekan dikendalikan oleh rangsangan (stimulus) semata-mata, yaitu respons otomatis anak pada rangsangan lapar, sakit, keinginan untuk digendong, dan perasaan senang. Oleh karena itu, tahap-tahap pemerolehan bahasa yang dibahas dalam makalah ini adalah tahap linguistik yang terdiri atas beberapa tahap, yaitu (1) tahap pengocehan (babbling); (2) tahap satu kata (holofrastis); (3) tahap dua kata; (4) tahap menyerupai telegram (telegraphic speech). 2.1 Vokalisasi Bunyi Pada umur sekitar 6 minggu, bayi mulai mengeluarkan bunyi-bunyi dalam bentuk teriakan, rengekan, dekur. Bunyi yang dikeluarkan oleh bayi mirip dengan bunyi konsonan atau vokal. Akan tetapi, bunyi-bunyi ini belum dapat dipastikan bentuknya karena memang belum terdengar dengan jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah bunyi-bunyi yang dihasilkan tadi merupakan bahasa? Fromkin dan Rodman (1993:395) menyebutkan bahwa bunyi tersebut tidak

dapat dianggap sebagai bahasa. Sebagian ahli menyebutkan bahwa bunyi yang dihasilkan oleh bayi ini adalah bunyi-bunyi prabahasa/dekur/vokalisasi bahasa/tahap cooing. Setelah tahap vokalisasi, bayi mulai mengoceh (babling). Celoteh merupakan ujaran yang memiliki suku kata tunggal seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan pasti. Marat (2005:43) menyebutkan bahwa tahap ocehan ini terjadi pada usia antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa tahap celoteh terjadi sekitar umur 6 bulan. Tidak hanya itu. ada juga sebagian ahli menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan pendapat seperti ini dapat saja. Yang perlu diingat bahwa kemampuan anak berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak. Pada tahap celoteh ini, anak sudah menghasilkan vokal dan konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Mereka juga mulai mencampur konsonan dengan vokal. Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti dengan vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah KV. Ciri lain dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, stuktur silabel K-V ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti: K1 V1 K1 V1 K1 V1papapa mamama bababa Orang tua mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama dengan ibu meskipun apa yang ada di benak tidaklah kita ketahui. Tidak mustahil celotehan itu hanyalah sekedar artikulatori belaka (Djardjowidjojo, 2005:245). Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-kata. Cara anak-anak mencoba menguasai segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori hypothesis-testing (Clark & Clark dalam Marat 2005:43). Menurut teori ini anak-anak menguji coba berbagai hipotesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar. Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan sebagai berikut: (1) menghilangkan konsonan akhir blumen bu boot bu (2) mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal: batre bate bring bin

(3) menghilangkan silabel yang tidak diberi tekanan kunci ti semut emut (4) reduplikasi silabel yang sederhana pergi gigi nakal kakal Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh memory span yang terbatas, kemampuan representasi yang terbatas, kepandaian artikulasi yang terbatas (Marat 2005:46-47). Apakah tahap celoteh ini penting bagi si anak. Jawabannya tentu saja penting. Tahap celoteh ini penting artinya karena anak mulai belajar menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang benar dan membuang bunyi ujaran yang salah. Dalam tahap ini anak mulai menirukan pola-pola intonasi kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa. 2.2 Tahap Satu-Kata atau Holofrastis Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12 dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulangulang untuk makna yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang lengkap, misalnya mam (Saya minta makan); pa (Saya mau papa ada di sini), Ma (Saya mau mama ada di sini). Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, pa berarti juga Di mana papa? dan Ma dapat juga berarti Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama. Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak, kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk suatu perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada suatu benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti a,i,u,e. 2.3 Tahap Dua-Kata, Satu Frase Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang

diucapkan si anak belum tentu dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara subjek + predikat meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek + predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti Ani mainan yang berarti Ani sedang bermain dengan mainan atau kata sifat + kata benda, seperti kotor patu yang artinya Sepatu ini kotor dan sebagainya. 2.4 Ujaran Telegrafis Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman. Cat stand up table (Kucing berdiri di atas meja); What that? (Apa itu?); He play little tune (dia memainkan lagu pendek); Andrew want that (Saya, yang bernama Andrew, menginginkan itu); No sit here (Jangan duduk di sini!) Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun, Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang dilakukan oleh si anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan Hes going out, si anak akan melafalkan dengan He go out. Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian, misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaranujarannya salah, ia mendapat penguatan negatif, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini berasumsi bahwa anak itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah dan dipuji jika ujarannya itu benar. Teori ini tampaknya belum dapat diterima seratus persen oleh para ahli psikologi dan ahli psikolinguistik. Yang benar ialah seorang anak membentuk aturan-aturan dan menyusun tata bahasa sendiri. Tidak semua anak menunjukkan kemajuan-kemajuan yang sama meskipun semuanya menunjukkan kemajuan-kemajuan yang reguler. Selain tahap pemerolehan bahasa yang disebutkan di atas, ada juga para ahli bahasa seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak. Tahap 1: Mendengkur

Tahap ini mulai berlangsung pada anak usia sekitar enam minggu. Bunyi yang dihasilkan mirip dengan vokal tetapi tidak sama dengan bunyi vokal orang dewasa. Tahap 2: Meraban Tahap ini berlangsung ketika usia anak mendekati enam bulan. Tahap meraban merupakan pelatihan bagi alat-alat ucap. Vokal dan konsonan dihasilkan secara serentak. Tahap 3: Pola intonasi Anak mulai menirukan pola-pola intonasi. Tuturan yang dihasilkan mirip dengan yang diucapkan ibunya. Tahap 4: Tuturan satu kata Pada umur satu tahun sampai delapan belas bulan anak mulai mengucapkan tuturan satu kata. Pada usia ini anak memperoleh sekitar lima belas kata meliputi nama orang, binatang, dan lainlain. Tahap 5: Tuturan dua kata Umumnya pada usia dua setengah tahun anak sudah menguasai beberapa ratus kata. Tuturan hanya terdiri atas dua kata. Tahap 6: Infleksi kata Kata-kata yang dianggap remeh dan infleksi mulai digunakan. Dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal istilah infleksi, mungkin berwujud pemerolehan bentuk-bentuk derivasi, misalnya kata kerja yang mengandung awalan atau akhiran. Tahap 7: Bentuk Tanya dan bentuk ingkar Anak mulai memperoleh kalimat tanya dengan kata tanya seperti apa, siapa, kapan, dan sebagainya. Di samping itu anak juga sudah mengenal bentuk ingkar. Tahap 8: Konstruksi yang jarang atau kompleks Anak sudah mulai berusaha menafsirkan meskipun penafsirannya dilakukan secara keliru. Anak juga memperoleh kalimat dengan struktur yang rumit, seperti pemerolehan kalimat majemuk. Tahap 9: Tuturan yang matang Pada tahap ini anak sudah dapat menghasilkan kalimat-kalimat seperti orang dewasa. Proses Perkembangan Bahasa Anak

1. Fonologi Anak menggunakan bunyi-bunyi yang telah dipelajarinya dengan bunyi-bunyi yang belum dipelajari, misalnya menggantikan bunyi /l/ yang sudah dipelajari dengan bunyi /r/ yang belum dipelajari. Pada akhir periode berceloteh, anak sudah mampu mengendalikan intonasi, modulasi nada, dan kontur bahasa yang dipelajarinya. 2. Morfologi Pada usia 3 tahun anak sudah membentuk beberapa morfem yang menunjukkan fungsi gramatikal nomina dan verba yang digunakan. Kesalahan gramatika sering terjadi pada tahap ini karena anak masih berusaha mengatakan apa yang ingin dia sampaikan. Anak terus memperbaiki bahasanya sampai usia sepuluh tahun. 3. Sintaksis Alamsyah (2007:21) menyebutkan bahwa anak-anak mengembangkan tingkat gramatikal kalimat yang dihasilkan melalui beberapa tahap, yaitu melalui peniruan, melalui penggolongan morfem, dan melalui penyusunan dengan cara menempatkan kata-kata secara bersama-sama untuk membentuk kalimat. 4. Semantik Anak menggunakan kata-kata tertentu berdasarkan kesamaan gerak, ukuran, dan bentuk. Misalnya, anak sudah mengetahui makna kata jam. Awalnya anak hanya mengacu pada jam tangan orang tuanya, namun kemudian dia memakai kata tersebut untuk semua jenis jam. 4. Teori-teori tentang Pemerolehan Bahasa Pertama 4.1 Teori Behaviorisme Teori behaviorisme menyoroti aspek perilaku kebahasaan yang dapat diamati langsung dan hubungan antara rangsangan (stimulus) dan reaksi (response). Perilaku bahasa yang efektif adalah membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan. Reaksi ini akan menjadi suatu kebiasaan jika reaksi tersebut dibenarkan. Dengan demikian, anak belajar bahasa pertamanya. Sebagai contoh, seorang anak mengucapkan bilangkali untuk barangkali. Sudah pasti si anak akan dikritik oleh ibunya atau siapa saja yang mendengar kata tersebut. Apabila sutu ketika si anak mengucapkan barangkali dengan tepat, dia tidak mendapat kritikan karena pengucapannya sudah benar. Situasi seperti inilah yang dinamakan membuat reaksi yang tepat terhadap rangsangan dan merupakan hal yang pokok bagi pemerolehan bahasa pertama. B.F. Skinner adalah tokoh aliran behaviorisme. Dia menulis buku Verbal Behavior (1957) yang digunakan sebagai rujukan bagi pengikut aliran ini. Menurut aliran ini, belajar merupakan hasil faktor eksternal yang dikenakan kepada suatu organisme. Menurut Skinner, perilaku kebahasaan sama dengan perilaku yang lain, dikontrol oleh konsekuensinya. Apabila suatu usaha

menyenangkan, perilaku itu akan terus dikerjakan. Sebaliknya, apabila tidak menguntungkan, perilaku itu akan ditinggalkan. Singkatnya, apabila ada reinforcement yang cocok, perilaku akan berubah dan inilah yang disebut belajar. Namun demikian, banyak kritikan terhadap aliran ini. Chomsky mengatakan bahwa toeri yang berlandaskan conditioning dan reinforcement tidak bisa menjelaskan kalimat-kalimat baru yang diucapkan untuk pertama kali dan inilah yang kita kerjakan tiap hari. Bower dan Hilgard juga menentang aliran ini dengan mengatakan bahwa penelitian mutakhir tidak mendukung aliran ini. Aliran behaviorisme mengatakan bahwa semua ilmu dapat disederhanakan menjadi hubungan stimulus-response. Hal tersebut tidaklah benar karena tidak semua perilaku berasal dari stimulusresponse. 4.2 Teori Nativisme Chomsky merupakan penganut nativisme. Menurutnya, bahasa hanya dapat dikuasai oleh manusia, binatang tidak mungkin dapat menguasai bahasa manusia. Pendapat Chomsky didasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, perilaku berbahasa adalah sesuatu yang diturunkan (genetik), setiap bahasa memiliki pola perkembangan yang sama (merupakan sesuatu yang universal), dan lingkungan memiliki peran kecil di dalam proses pematangan bahasa. Kedua, bahasa dapat dikuasai dalam waktu yang relatif singkat. Ketiga, lingkungan bahasa anak tidak dapat menyediakan data yang cukup bagi penguasaan tata bahasa yang rumit dari orang dewasa. Menurut aliran ini, bahasa adalah sesuatu yang kompleks dan rumit sehingga mustahil dapat dikuasai dalam waktu yang singkat melalui peniruan. Nativisme juga percaya bahwa setiap manusia yang lahir sudah dibekali dengan suatu alat untuk memperoleh bahasa (language acquisition device, disingkat LAD). Mengenai bahasa apa yang akan diperoleh anak bergantung pada bahasa yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Sebagai contoh, seorang anak yang dibesarkan di lingkungan Amerika sudah pasti bahasa Inggris menjadi bahasa pertamanya. Semua anak yang normal dapat belajar bahasa apa saja yang digunakan oleh masyarakat sekitar. Apabila diasingkan sejak lahir, anak ini tidak memperoleh bahasa. Dengan kata lain, LAD tidak mendapat makanan sebagaimana biasanya sehingga alat ini tidak bisa mendapat bahasa pertama sebagaimana lazimnya seperti anak yang dipelihara oleh srigala (Baradja, 1990:33). Tanpa LAD, tidak mungkin seorang anak dapat menguasai bahasa dalam waktu singkat dan bisa menguasai sistem bahasa yang rumit. LAD juga memungkinkan seorang anak dapat membedakan bunyi bahasa dan bukan bunyi bahasa. 4.3 Teori Kognitivisme Menurut teori ini, bahasa bukanlah suatu ciri alamiah yang terpisah, melainkan salah satu di antara beberapa kemampuan yang berasal dari kematangan kognitif. Bahasa distrukturi oleh nalar. Perkembangan bahasa harus berlandaskan pada perubahan yang lebih mendasar dan lebih umum di dalam kognisi. Jadi, urutan-urutan perkembangan kognitif menentukan urutan

perkembangan bahasa (Chaer, 2003:223). Hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat Chomsky yang menyatakan bahwa mekanisme umum dari perkembangan kognitif tidak dapat menjelaskan struktur bahasa yang kompleks, abstrak, dan khas. Begitu juga dengan lingkungan berbahasa. Bahasa harus diperoleh secara alamiah. Menurut teori kognitivisme, yang paling utama harus dicapai adalah perkembangan kognitif, barulah pengetahuan dapat keluar dalam bentuk keterampilan berbahasa. Dari lahir sampai 18 bulan, bahasa dianggap belum ada. Anak hanya memahami dunia melalui indranya. Anak hanya mengenal benda yang dilihat secara langsung. Pada akhir usia satu tahun, anak sudah dapat mengerti bahwa benda memiliki sifat permanen sehingga anak mulai menggunakan simbol untuk mempresentasikan benda yang tidak hadir dihadapannya. Simbol ini kemudian berkembang menjadi kata-kata awal yang diucapkan anak. 4.4 Teori Interaksionisme Teori interaksionisme beranggapan bahwa pemerolehan bahasa merupakan hasil interaksi antara kemampuan mental pembelajaran dan lingkungan bahasa. Pemerolehan bahasa itu berhubungan dengan adanya interaksi antara masukan input dan kemampuan internal yang dimiliki pembelajar. Setiap anak sudah memiliki LAD sejak lahir. Namun, tanpa ada masukan yang sesuai tidak mungkin anak dapat menguasai bahasa tertentu secara otomatis. Sebenarnya, menurut hemat penulis, faktor intern dan ekstern dalam pemerolehan bahasa pertama oleh sang anak sangat mempengaruhi. Benar jika ada teori yang mengatakan bahwa kemampuan berbahasa si anak telah ada sejak lahir (telah ada LAD). Hal ini telah dibuktikan oleh berbagai penemuan seperti yang telah dilakukan oleh Howard Gardner. Dia mengatakan bahwa sejak lahir anak telah dibekali berbagai kecerdasan. Salah satu kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan berbahasa (Campbel, dkk., 2006: 2-3). Akan tetapi, yang tidak dapat dilupakan adalah lingkungan juga faktor yang memperngaruhi kemampuan berbahasa si anak. Banyak penemuan yang telah membuktikan hal ini. 5. Kesimpulan Pemerolehan bahasa pertama adalah proses penguasaan bahasa pertama oleh si anak. Selama penguasaan bahasa pertama ini, terdapat dua proses yang terlibat, yaitu proses kompetensi dan proses performansi. Kedua proses ini tentu saja diperoleh oleh anak secara tidak sadar. Ada beberapa tahap yang dilalui oleh sang anak selama memperoleh bahasa pertama. Tahap yang dimaksud adalah vokalisasi bunyi, tahap satu-kata atau holofrastis, tahap dua-kata, tahap dua-kata, ujaran telegrafis. Selain tahap pemerolehan bahsa seperti yang telah disebutkan ini, ada juga para ahli bahasa, seperti Aitchison mengemukakan beberapa tahap pemerolehan bahasa anak. Tahap-tahap yang dia maksud adalah mendengkur, meraban, pola intonasi, tuturan satu kata, tuturan dua kata, infleksi kata, bentuk tanya dan bentuk ingkar, konstruksi yang jarang atau kompleks, tuturan yang matang. Meskipun terjadi perbedaan dalam hal pembagian tahap-tahap yang dilalui oleh anak saat memperoleh bahasa pertamanya, jika dilihat secara cermat, pembahasan dalam setiap tahap pemerolehan bahasa pertama anak memiliki kesamaan, yaitu adanya proses fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik.

Bagaimana sebenarnya proses pemerolehan bahasa pertama ini? Ada beberapa teori pemerolehan bahasa yang menjelaskan hal ini, yaitu teori behaviorisme, nativisme, kognitivisme, interaksionisme. Keempat teori ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menjelaskan perihal cara anak memperoleh bahasa pertamanya. Daftar Pustaka Alamsyah, Teuku. 1997. Pemerolehan Bahasa Kedua (Second Language Acqusition). Diktat Kuliah Program S-2. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang: IKIP Campbel, dkk. 2006. Metode Praktis Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences. Depok: Intuisi Press. Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik:Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor. Fromkin Victoria dan Robert Rodman. 1993. An Introduction to Language. Florida: Harcourt Brace Jovanovich Collage. Mahmud, Saifuddin dan Saadiah. 1997. Teori Pembelajaran Bahasa: Materi Kuliah Program Setara D-3. Banda Aceh: FKIP Unsyiah. Marat, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
2 karena itu penulis mencoba menjelaskan secara singkat bagaimana perkembangan fonologi, perkembangan sintaksis, dan perkembangan semantik anak. II. Pembahasan 2.1 Perkembangan Fonologi

Pada usia 3 hingga 4 bulan bayi mulai memproduksi bunyi-bunyi. Mula-mula ia memproduksi tangisan atau bunyi cooing. Kemudian pada usia antara 5 dan 6 bulan bayi mulai mengoceh. Pada perkembangan fonologi ada yang disebut periode bablling (mengoceh) ia membuat bunyi-bunyi yang makin bertambah variasinya dan makin kompleks kombinasinya. Anak-anak mengkombinasikan vokal dengan konsonan menjadi suatu sequence silaba, umpamanya ba, ba, ba, ma, ma, ma,. Kemudian ada yang disebut uniformitas pada anak-anak dengan berbagai bahasa, dalam hal bunyi- bunyi pertama yang mereka produksi, yaitu konsonan p atau m, vokal belakang a mendahului konsonan belakang k dan g serta vokal depan I dan u. Dalam perkembangan fonologi, seorang anak harus mempelajari aturan-aturan fonologi. Disamping

itu, mereka juga harus belajar menghubungkan bunyi dengan acuannya. Menghubungkan bunyi dengan acuannya merupakan suatu proses yang kompleks, bukan sekedar nama dari benda-benda. Untuk mengetahui hubungan antara ocehan dengan perolehan sistem bunyi orang dewasa, ada dua pendekatan yang digunakan, yaitu

1. Pendekatan berkesinambungan, yaitu pendekatan yang mengatakan bahwa bunyi- bunyi ocehan merupakan pelopor langsung dari tuturan. Pendekatan ini sering disebut selective reinforcement hypothesis. 2. Pendekatan tak berkesinambungan, pendekatan ini menganggap bahwa ocehan tidak ada hubungannya langsung dengan perkembangan bicara selanjutnya.

Kedua pendekatan di atas mendapat kritik karena tidak dapat menerangkan fakta- fakta secara tuntas. P.S. Dale, 1976 beranggapan bahwa proses fonologi merupakan keluaran dari innatephonological acquisition device yang merefleksikan preferensi produksi si anak. Setelah anak-anak melewati periode mengoceh, mereka mulai menguasai segmen-segmen fonetik. Cara anak-anak mengasai segmen fonetik adalah dengan menggunakan teori hypothesis-testing atau discovery procedures. Menurut teori ini, anak-anak menguji coba berbagai hypothesis tentang bagaimana memproduksi bunyi yang betul. 3 Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan dengan cara sebagai berikut: (1) Menghilangkan konsonan akhir: blumen bu boot bu (2) Mengurangi klompok konsonan menjadi segmen tunggal: Batre bate bring bin milk mik kunci ci (3) Menghilangkan silabe yang tidak diberi tekanan (weak syllable delection): tomato mado kunci ti pita ta pyama dama semut emut kecepit pit sandal dal nangis angis

tengok engok capung pung terbang bang sekolah koah buka ka nasi aci banyak anyak (4) Duplikasi silaba yang sederhana (reduplikasi)

kitchen kiki pergi gigi aki (kakek) kiki nakal kakal Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini disebabkan oleh:

Memory span yang terbatas, 4

Kemampuan refresentasi yang terbatas, dan

Kepandaian artikulasi yang terbatas.

Penyederhanaan tersebut di atas hilang bilamana si anak telah menguasai lebih banyak segmen-segmen dan urutan segmen-segmen. Anak-anak juga mempraktekkan segmen-segmen yang baru diperoleh dan anak mengoreksi dirinya sendiri apabila dalam pengucapan kata kurang tepat. 2.2 Perkembangan Semantik

Dalam proses pemerolehan bahasa, anak harus belajar mengerti arti dari kata-kata yang baru. Anak mempunyai dua asumsi mengenai fungsi dan isi dari suatu bahasa, yaitu 1. Bahasa dipergunakan untuk berkomunikasi. Asumsi ini muncul karena ketergantungan pada gestures atau tanda-tanda yang sering menyertai pembicaraan orang dewasa. 2. Bahasa mempunyai arti dalam suatu konteks tertentu. Anak-anak berasumsi bahasa ada hubungan yang masuk akal apa yang dikatakan pembicara dalam suatu situasi tertentu dengan situasi anak sendiri.

Untuk mengerti arti suatu perkataan, anak-anak biasanya membuat suatu hipotesis dengan cara membuat pemetaan (mapping) konsep tentang objek-objek, kejadian-kejadian, sifat-sifat dan hubungan yang tidak asing bagi anak. Gejala

yang nampak pada setiap bahasa ialah adanya over extention (perluasan) dalam pemakaian suatu perkataan untuk mengerti kepada suatu kategori yang lebih luas daripada yang seharusnya ada dalam bahasa orang dewasa.

Dasar lain dari suatu perluasan adalah atribut-atribut perseptual yang statis atau yang berupa gerakan. Awal dari hipotesis ini sering tumpang tindih (overlap) dengan arti yang dianut orang dewasa, tetapi dalam penggunaannya terjadi: a) Over extension Misalnya: bow-bow semua binatang Over extension dapat tupang tidih dalam dua cara berikut ini.

Over extension murni: hanya mengambil 1 atau 2 sifat atau cirri sebagai kriteria untuk penggunaan kata. Bulan jambu sebelah, seiris jeruk bulat

Mixed over extension: berdasarkan ciri-ciri yang berbeda yang clicabik oleh referensinya yang asli dalam situasi yang berbeda. kick maving limb (situasinya sama dengan aslinya) b) Under extension Perkataan si anak hanya menunjuk pada bagian dari butir-butir (itemitem) yang ada dalam ketegorinya orang dewasa. Mobil hanya mobil yang lewat depan rumah. c) Meaning with no overlap Kata-kata yang dipakai tidak memberikan dasar untuk komunikasi sehingga akhirnya ditinggalkan oleh anak-anak.

Proses penyempurnaan arti kata penting artinya faktor relasi semantik (semantic relation). Para pengamat bahasa anak mencatat bahwa kalimat pertama dibatasi oleh beberapa hubungan semantik yang terbatas saja. Hal ini mereflesikan cara manusia memproses pengalaman nonlinguistik, pengalaman mana berlaku umum bagi anak-anak. Menurut Brown (1973 a) ada beberapa relasi semantik yang mendasar yaitu: (1) Agent and action : car go, mommy push, bapak nyanyi (Jaka 2;6) (2) Action and object

: see sock, pick love, pake paku (Glenn 1;9) ayun baca (Glenn 1;9) m(akan), r(oti) (Jaka 2;3) (3) Action and location : sit chair Aik atas (Jaka 2;3) (4) Entity and location : baby table (5) Agent and object : eve lunch, mommy sandwich, naik bus (Jaka 2;6) (6) Prosessor and possession : Daddy chair, kakek Noni (Tari 3;0)

Buku bapak (7) Entity and attribute : Yellow block, Little dog, air dingin (Edi 2;0) (8) Demonstrative and enity : here truck, here sock, ini ju (baju)

Relasi semantik tersebut di atas tidak sama dengan relasi gramatika (grammatical relation), seperti hubungan subjek, predikat dan obyek melalui alat linguistik. 2.3 Perkembangan Sintaksis 6

Anak dalam menguasai bahasa, pada mulanya ia baru mamproduksi kalimat satu kata dan kalimat dua kata. Anak-anak tanpa sengaja menghilangkan preposisi, artikel, dan sebagainya, sehingga bentuk kalimat yang diproduksi menyerupai telegram.

Dalam pengelompokan kata ada bermacam-macam istilah yang digunakan diantaranya Pivot Class dan Open Class. Pivot class jumlahnya terbatas dan setiap kata dari kelompok ini dipergunakan dengan atau bersama-sama dengan kata-kata dari open class yang jumlahnya lebih besar.

Pivot class pada umumnya hanya sedikit dan terdiri dari kata-kata yang frekuensi pemakaiannya dalam tuturan si anak dan secara perlahan makin bertambah. Adapun open class banyak dan jumlahnya mengandung semua kata dalam perkembangan si anak, yang termasuk dalam pivot class.

Kata-kata dari open class dapat saling dikombinasikan dengan kata-kata dari pivot class. Semua kata yang termasuk kelompok open class berdiri sendiri sebagai single word utterances, tetapi kata-kata pivot jarang bahkan mungkin tidak pernah (Mc. Neil, 1970). Sesudah kalimat dua kata, si anak dapat membuat kalimat tiga kata yang konstruksinya adalah sebagai berikut: Agent action objeck: 1. See doggie

2. Penjahat pake pistol (taufik 2;6) 3. Ibu bawa coklat

atau: agent action location: Sit daddy chair Kalimat empat kata muncul pada akhir tahap pertama dan bentuk kalimat yang biasanya diproduksi adalah agent action object location.

Pada tahap pertama belum terjadi infleksi. Infleksi mulai ada dalam tahap ll (kedua). Brown (1973) telah mempelajari 14 gramatical morphemes dari bahasa inggris, antara lain plural s, proposisi on dan in, past tense regular, serta past tanse irregular berkaitan dengan kepandaian atau keahlian untuk penguasaannya.

Sebagai indeks perkembangan bahasa seorang anak dapat dinyatakan dengan MLU (Mean Length of Utterance), yaitu jumlah elemen yang mengandung arti dalam kalimat yang diucapkan seorang anak. Elemen yang ini dapat berupa perkataan dapat pula berupa hal-hal lain seperti indikator plural s, misalnya: bals. kata balls ini mengandung dua elemen yang berarti, yaitu ball dan s. Dengan kata lain, MLU adalah 7 panjangan rata-rata kalimat dari tuturan anak dalam morfem. Secara empiris, bila MLU si anak meningkat, maka bentuk sintaksis akan lebih kampleks konstruksinya.

Pada tahap l setelah jumlah kalimat satu kata dan kalimat dua kata kurang lebih sama, maka MLU yang diperoleh kurang lebih 1.5. Untuk bahasa-bahasa yang memakai system infleksi, infleksi pertama muncul menakala MLU telah mencapai 2.0. Infleksi ini baru mulai dikuasai pada tahap ll (Brown) yang mencapai MLU telah mencapai 2.0 2.5. Namun, karena proses perkembangan cukup panjang jalannya, maka penguasaan yang penuh baru terjadi apabila MLU melampaui 4.0. III. Penutup Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab II dapat di simpulkan sebagai berikut:

a. Anak sudah mulai memproduksi bunyi-bunyi yang mirip ujaran pada umur 5 dan 6 bulan. Kemudian anak mengalami sebuah periode yang disebut periode bablling (mengoceh). b. Untuk memahami suatu makna kata, anak-anak harus belajar mengerti arti dari katakata dengan mengembangkan suatu kamus arti kata-kata. c. Dalam perkembangan semantik pada anak ada beberapa hal penting yaitu over extension, under extension, meaning with no overlap.

d. Pada perkembangan sintaksis, anak pada awalnya baru dapat memproduksi kalimat satu kata, kemudian kalimat dua kata, sampai pada kalimat yang lebih kompleks yang dapat dimengerti oleh orang dewasa.

e. Perkembangan bahasa anak dapat dinyatakan dengan MLU (mean Length of Utterance), yakni jumlah elemen yang mengandung arti dalam kalimat yang diucapkan anak. DATAR PUSTAKA Marat, S., Psikolinguistik: Suatu Pengantar, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.

PSIKOLINGUISTIK PERKEMBANGAN
Download this Document for FreePrintMobileCollectionsReport Document

Info and Rating

inas klepon

Share & Embed Related Documents


PreviousNext 1.

p.

p.

p.

2.

p.

p.

p.

3.

p.

p.

p.

4.

p.

p.

p.

5.

p.

p.

p.

6.

p.

p.

p.

7.

p.

p.

More from this user


PreviousNext 1.

133 p.

10 p.

7 p.

2.

11 p.

Add a Comment

inas kleponleft a comment kesalahan berbahasa 04 / 02 / 2010 Upload a Document Search Documents

Follow Us! scribd.com/scribd twitter.com/scribd facebook.com/scribd About Press Blog

Partners Scribd 101 Web Stuff Support FAQ Developers / API Jobs Terms Copyright Privacy

Copyright 2011 Scribd Inc. Language: English

Anda mungkin juga menyukai