Anda di halaman 1dari 44

RESUME SKENARIO 3 BLOK 7 BATUK BERDARAH Oleh : Kelompok F Muhammad Taufiq Shidqi Khulaida Fatila Hayati Vania Salsabila

K. Kartika Tya Rachmani Satrio Tri Hadmoko Yeni Tri Puspitaningrum Aisyah Adawiyyah M. Fenny Megawati Salman Al Farisi Ika Sriwinarti Rizka Kusumaningsih Nurul Wahidah Adeatma Chita Setya Widyani I Wayan Suardita Abcharina Rachmatina 082010101073 102010101055 102010101057 102010101059 102010101060 102010101062 102010101064 102010101065 102010101071 102010101072 102010101073 102010101074 102010101075 102010101077 102010101099

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2010

SKENARIO 3: BATUK DARAH

Seorang pasien, laki-laki, 35 tahun, datang ke Poli Paru RSD dengan membawa surat rujukan dari dokter puskesmas di desanya. Saat mengisi identitas, diketahui pasien bekerja di gudang tembakau, menikah, dan berasal dari desa terpencil. Dalam surat rujukan dikethaui bahwa pasien tersebut mengalami betuk selama 3 bulan, berdahak disertai darah, sesak nafas, berat badan menurun, dan hasil pemeriksaan fisik dokter puskesmas didapatkan: tekanan darah 100/60, denyut nadi 84x/menit, frekuensi napas 32x/menit, temperatur 37,5 C, pada auskultasi didapatkan ronkhi basah. Sedang pada pemeriksaan darah rutin didapatkan penurunan Hb, peningkatan LED, dan leucopenia. Tertulis juga: Mohon pemeriksaan dan penanganan selanjutnya karena fasilitas kesehatan kami sangat terbatas. Berdasarkan surat rujukan tersebut, dokter spesialis Poli Paru RSD segera melakukan pemeriksaan lanjutan.

I.

KLARIFIKASI ISITILAH 1. LED : ukuran untuk kecepatan sedimentasi eritrosit dalam darah yang belum membeku, dengan satuan mm/jam. LED merupakan uji yang tidak spesifik karena dipengaruhi oleh faktor fisiologis yang menyebabkan temuan tidak akurat. LED dijumpai meningkat selama proses inflamasi akut, infeksi akut dan kronis, kerusakan jaringan (nekrosis), penyakit kolagen, rheumatoid, malignansi, dan kondisi stress fisiologis (misalnya kehamilan). Sebagian ahli hematologi, LED tidak andal karena tidak spesifik, dan. 2. Leukopenia : penurunan jumlah sel darah putih (leukosit) ditemukan dalam darah, yang menempatkan individu pada peningkatan risiko infeksi. Karena pada hitung jenis leukosit, netrofil adalah sel yang paling tinggi persentasinya hampir selalu leukopenia disebabkan oleh netropenia

II. RUMUSAN MASALAH Keyword: Laki-laki 35 tahun Datang ke poli Paru RSD Bekerja di gudang tembakau Menikah Dari desa terpencil

Anamnesis: Batuk 3 bulan Berdahak disertai darah Sesak napas Berat badan menurun

Vital Sign: Tekanan darah 100/60 mmHg Denyut nadi 84x/menit RR 32x/menit T 37,5

Pemeriksaan Fisik : Ronkhi basah Pemeriksaan darah rutin : Penurunan Hb Peningkatan LED Leukopenia

Pemeriksaan lanjutan?

III. ANALISIS MASALAH Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami batuk berdahak selama 3 bulan, disini menunjukkan adanya infeksi kronis karena sudah berlangsung lama. Apalagi batuk yang diderita dahaknya terdapat darah yang dimungkinkan karena adanya iritasi pada bronkus lalu adanya pembuluh darah yang pecah. Mungkin pasien menderita TBC apalagi juga ditandai dengan adanya berat badan yang menurun. Pada pemeriksaan darah rutin menunjukkan adanya penurunan Hb, peningkatan LED, dan Leukopenia. Sebenarnya pemeriksaan darah ini tidak terlalu menunjukkan hasil yang spesifik. Juga hasilnya meragukan sehingga biasanya tidak terlalu digunakan untuk

memastikan suatu penyakit. Tapi dari analisis tentang penurunan LED, bisa dikarenakan terjadi anemia yang menunjukkan adanya infeksi. Dari anamnesis juga diketahui bahwa pasien bekerja di gudang tembakau, yang mungkin saja penyakit yang dideritanya bisa juga berhubungan dengan pekerjaannya di gudang tembakau. Untuk pemeriksaan lanjutan yang dimaksudkan adalah, karena diagnosis sementara menunjukkan pasien menderita TBC, untuk lebih memastikannya harus dilakukan Pemeriksaan Sputum yang digunakan untuk mengeteahui adanya Mycobacterium Tuberculosae pada dahak. Tes selanjutnya yaitu dengan Foto Thorak untuk melihat ParuParu. Untuk lebih jelasnya lagi bisa dilakukan tes Tuberkulin. Tapi pada setiap pemeriksaan lanjutan tersebut mempunyai kekurangan masing-masing, dimana pada pemeriksaan sputum dan Test Tuberkulin bisa memberikan hasil negatif palsu atau positif palsu. Pada Foto Thoraks sering terlihat gambaran yang mirip dengan penyakit lain. Oleh karena itu untuk benar-benar memastikannya, dilakukan kombinasi ketiganya yaitu pemeriksaan sputum, foto thirak dan Test Tuberkulin.

IV. TUJUAN BELAJAR A. Hemoptisis B. Hemathemesis C. TB Paru Patogenesis Patologi Anatomi Klasifikasi Gejala Pemeriksaan Pengobatan

D. Bronkiektasis Patogenesis Etiologi Pemeriksaan Penatalaksanaan

E. Bronchitis Kronik Patofisiologi Etiologi Diagnosis Pemeriksaan Penatalaksanaan

F. Atelektasis Patofisiologi Etiologi Pemeriksaan Pengobatan Pencegahan

G. Emfisema Patofisiologi Etiologi Manifestasi Klinik Diagnosis Terapi

H. Penyakit Paru Akibat Kerja (PPAK) Silikosis Asbestosis Bisinosis Antrakosis Berliosis Pneumonitis Hipersensitif

V. PEMBAHASAN A. HEMOPTISIS Hemoptisis adalah batuk darah/ dahak bercampur darah yang terjadi karena ada lesi di paru-paru atau bronkus/ bronkioli. Ciri-cirinya merah cerah (walau pun tidak selalu), pH alkali (basa), mengandung makrofag alveolar yang memuat hemosiderin, serta beberapa hari setelah peredaran dapat tetap terdapat garis perdarahan, berbusa (karena bercampur dahak dan udara). Klasifikasi hemoptisis berdasarkan volume darah yang dibatukkan : a) Bercak ( streaking). Darah bercampur dengan sputum hal yang sering terjadi, paling umu pada bronchitis. Volume darah kurang dari 15 20 mL per 24 jam b) Hemoptisis Hemoptisis dipastikan ketika total volume darah yang dibatukkan 20 600 mL per 24 jam c) Hemoptisis massif Darah yang dibatukkan dalam waktu 24 jam lebih dari 600 mL d) Pseudohemoptisis Pseudohemoptisis adalah batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cerna atas (gastrointestinal) atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious). Berdasarkan penyebabnya : 1. Batuk darah idiopatik. Yaitu batuk darah yang tidak diketahui penyebabnya: insiden 0,5 sampai 58% {+ 15 %} pria :wanita = 2 : 1 umur 30- 50 tahun kebanyakan 40-60 tahun berhenti spontan dengan suportif terapi. 2. Batuk darah sekunder. Yaitu batuk darah yang diketahui penyebabnya

Diagnosis Setelah anamnesis dan pemeriksaan fisis dengan teliti, foto dada (posterioranterior harus segera dilakukan). Gambaran yang khas adanya darah di ruang pernapasan adalah bayangan pengisian alveolar yang berbercak-bercak (patchy) dan mengumpul, yang kemudian saling berhubungan dalam beberapa hari serta akan menghilang dalam 3-10hari. Akan tetapi lokasi lesi yang ditemukan di foto dada tidak selalu menunjukkan sumber perdarahan karena gambaran infiltrat bisa merupakan hasil aspirasi darah yang berasal dari tempat lain. Hitung darah lengkap, laju endap darah, masa pembekuan dan urinalisis perlu dilakukan. Pemeriksaan sputum harus mencakup sitologi, pewarnaan untuk basil tahan asam, gram, jamur dan kultur. Analisis gas darah dan pemeriksaan koagulasi bila perlu dapat dilakukan. Bronkoskopi penting bagi evaluasi hemoptisis yang tidak jelas sebabnya untuk mencari sumber perdarahan. CT Scan dada berguna pada kasus hemoptisis bila foto dada dan bronkoskopi tidak menemukan kelainan.

Penatalaksanaan hemoptisis 1. Pembedahan Sebelum dilakukan pembedahan harus terlebih dahulu diperiksa fungsi paru dan diketahui asal dari perdarahan (dengan pemeriksaan bronkoskopi). Pembedahan bisa segmentektomi, lobektomi, pneumonektomi. 2. Konservatif Dasar-dasar pengobatan yang diberikan sebagai berikut : a. Mencegah penyumbatan saluran nafas Bagi penderita yang mempunyai refleks batuk yang baik, dapat diletakkan dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan darah yang terasa menyumbat saluran pernapasan. Dapat dibantu dengan pengisapan darah dari jalan na fas dengan alat pengisap. Jangan sekali-kali disuruh menahan batuk. Bagi penderita yang tidak mempunyai refleks yang baik diletakkan dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan, dan sedikit trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa ada darah di saluran nafas yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal.

Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein 10 - 20 mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan, sehingga kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan penderita dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih kooperatif.

b. Memperbaiki keadaan umum penderita Bila perlu dapat dilakukan : Pemberian oksigen Pemberian cairan untuk hidrasi Tranfusi darah Memperbaiki keseimbangan asam dan basa c. Menghentikan perdarahan Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan rata-rata dalam 7 hari. Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresim (Pitrissin)., ascorbic acid ikatakan khasiatnya belum jelas. Apabila ada kelainan didalam factor-faktor pembekuan darah, lebih baik memberikan faktor tersebut dengan infus. d. Mengobati penyakit yang mendasari Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas selalu diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan juga antibiotika yang sesuai.

B. HEMATEMESIS Hematemesis (muntah darah) adalah darah yang berasal dari saluran cerna. Ciricirinya berwarna merah kehitaman seperti kopi, pH asam, tidak berbusa, bisa bercampur makanan (muntah).

C. TBC paru Definisi Suatu penyakit granulomatosa kronis menular yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis yang pada umumnya terjadi di paru-paru, tetapi tidak menutup kemungkinan menyerang organ/jaringan lain di dalam tubuh Patogenesis Tuberkulosis paru (TB) merupakan suatu infeksi kronik yang disebabkan oleh M.tuberculosis. Proses penularan infeksi oleh M.tuberculosis biasanya secara inhalasi

yang mengandung droplet nuklei, khususnya pada pasien penderita TB paru dengan batuk berdahak atau berdarah yang mengandung basil tahan asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis Berbentuk batang dengan ukran panjang 1-4 um dan tebal 0.3 um. Merupakan bakteri tahan asam (BTA) Bersifat dormant (kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan penyakit TB aktif lagi) Parasit intraseluler, yakni dalam sitoplasma makrofag. Bersifat aerob, kiman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandunga oksigennya, dalam hal ini bagian apikal paru yang lebih tinngi daripada bagian yang lain

Tuberkulosis dibedakan menjadi: 1. Tuberkulosis primer Terjadi pada orang yang pertama kali terpapar dengan kuman TB. Bila bakteri infeksi ini terisap oleh orang yang sehat, ia akan menempel pada saluran nafas atau jaringan paru. Kuman akan dihadapi oleh neutrofil kemudian baru oleh makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau keluar dari percabangan trakeobronkial barsama gerakan silia dengan sekretnya. Bila menetap di paru, kuman akan bersarang dan akan membentuk sarang primer atau fokus ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal) dan diikuti dengan pembesaran kelenjar getah bening (limfadenitis regional). Limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (ranke). Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer selanjutnya dapat menjadi: Sembuh sama sekali Sembuh dengan meninggalkan bekas beupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus. Keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5mm dan 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant Berkomplikasi atau menyebar (dari satu organ ke organ lain) Perkontinuatum, yakni menyebar ke sekitarnya Bronkogen pada paru yang bersangkutan atau paru di sebelahnya. Kuman dapat tertelan ke usus Limgogen,ke organ tubuh lainnya. Hematogen. 2. Tuberkulosis pasca primer Terjadi karena kuman yang dormant lalu menjadi TB dewasa karena imunitas turun,pengaruh alkohol,asap rokok,gagal ginjal,diabetes. Tuberkulosis pasca

primer dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paru. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi turbekel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari selsel histosit dan sel datia langerhans kemudian kan berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi lembek dan memberntuk jaringan keju. Bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadilah kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas. Kuman Mycobacterium Tuberculosis yang menetap di paru akan membentuk sarang yang dinamakan sarang Ghon, sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru yang berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil dan jika menjalar ke pleura akan terjadi efusi pleura Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus. Pada penyakit Infeksi tuberculosis paru pasca primer akan terjadi keadaan remisi dan eksaserbasi, maka pada tempat proses infeksi selalu terdapat campuran lesi dasar ditambah dengan proses fiboti (penyembuhan).

Patologi Anatomi TB

Ada empat lesi dasar, yaitu : 1. Lesi Eksudatif Merupakan reaksi awal infeksi berupa reaksi hipersensifitas 2. Lesi proliferative Merupakan kelanjutan dari lesi eksudatif dengan timbulnya nekrosis pengejuan yang dikelilingi oleh jaringan granulasi tuberculosa

3. Cavitas Bila jaringan hasil nekrosis pengejuan mencair dan kemudian dibatukkan / menembus bronchus maka jaringan keju yang cair akan di keluarkan, sehingga meninggalkan ruang berongga (cavitas). Cavitas ini nantinya akan menjadi sumber perkembangbiakan dan akan menjadi sumber batuk darah profus. 4. Tuberculoma Bila lesi proliferative dibungkus oleh kapsul jaringan ikat maka proses akan menjadi tidak aktif.

Klasifikasi Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. 1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas: a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: - Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif - Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. Tuberkulosis paru BTA (-) - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif - Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif 2. Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : - Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi. - Infeksi jamur - TB paru kambuh c. Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Kasus gagal - Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) - Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan e. Kasus kronik / persisten Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.

Kategori penyakit tuberculosis 1. kategori 1 -pasien baru TB paru BTA positif -pasien TB paru TBA negatif foto toraks positif -paien TB ekstra paru 2. kategori 2 paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya

-pasien kambuh -pasien gagal -pasien dengan pengobatan terputus Factor predisposisi reaktivasi M. Tubercolosis : malnutrisi, konsumsi alcohol, penyakit maligna, diabetes, AIDS, dll.

Klasifkasi TB 1. Pembagian secara patologis a) Tuberkolosis primer b) Tuberkolosis post-primer 2. Pembagian secara aktivitas radiologis a) Aktif b) Non aktif c) Quiescent 3. Pembagian secara luas lesi a) Tuberkolosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru. b) Moderately advanced TB. Ada kavitas dengan diameter kurang dari 4 cm. jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian per paru. c) Far advanced tubercolosis. Terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi kedaan pada moderately advanced TB.

Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat: Kategori 0 : tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negative, tes tuberklin negative. Kategori I : terpajan tuberkolosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Riwayat kontak positif, ter tuberculin negative. Kategori II : terinfeksi tuberkolosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif, radiologis dan sputum negative. Kategori III : terinfeksi tubercolosisi dan sakit.

WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori :

Kategori I Kasus baru dengan sputum positif Kasus baru dengan bentuk TB berat Kategori II Kasus kambuh Kasus gagal dengan sputum BTA positif Kategori III Kasus BTA negative dengan kelainan paru yang tidak luas Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut di kategori I Kategori IV TB kronik

GEJALA TUBERKULOSIS a) Batuk. Ini adalah gejala paling dini. Bisa ringan atau berat. Batuk awalnya kering atau non produktif. Lalu jika timbul peradanagn, batuk ini akan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Bila proses destruksi terus berlanjut, secret dikeluarkan terus menerus sehingga batuk menjadi lebih dalam. b) Bila radang mengenai bronkus, batuk terdengar sangat keras, lebih sering atau terdengar berulang-ulang. c) Bila radang mengenai laring, batuk terdengar sebagai hollow sounding cough (batuk tanpa tenaga dan serak). d) Sesak nafas. Merupakan late symptom dari TB, yaitu proses lanjut dari TB paru akibat restriksi dan obstruksi saluran nafas, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru. e) Nyeri dada. Timbul bila infiltrasi sel radang mengenai pleura sehingga menimbulkan pleuritis. f) Demam. Dapat sembuh sebentar, lalu timbul lagi, dst. Dengan suhu yang sedang. g) Menggigil. Dapat terjadi bila panas badan naik cepat, tapi tak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama. h) Keringat malam. Timbul bila proses telah lanjut. i) Anoreksia dan penurunan berat badan bila prosesnya progresif. Gejala klinis: TB primer : dapat tanpa tanpa gejala dan sembuh dengan sendirinya atau dapat berupa gejala neumonia seperti batuk dan panas ringan. Dapat pula dalam

bentuk yang lebih berat seperti nyeri pleura dan sesak nafas. Kesembuhan tanpa pengobatan hanya berkisar 50%. TB post primer : a. Penurunan berat badan b. Keringat dingin pada malam hari c. Temperatur subfebris d. Batuk berdahak lebih dari 2 minggu e. Sesak nafas f. Hemoptisis.

PEMERIKSAAN Pemeriksaan fisik Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam, berat badan menurun. Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah pada bagian apeks. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkus yang redup dan auskultasi suara nafas bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronki basah, kasar dan nyaring. Bila infiltrat diliputi oleh penebalan pleura, suara nafas menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor dan auskultasi memberikan suara amforik. Pemeriksaan laboratorium Darah, kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan tidak spesifi. Sputum, sangan penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis TB sudah dapat dpastikan. Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain 5.000 kuman dalam 1 mL sputum. Tes tuberkulin, biasanya dipakai test montoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin purified protein derivative intrakutan berkekuatan 5 T.U Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibody seluler dan antigen tuberculin. Klasifikasi Hasil Diameter indurasi 0-5 mm, mantoux negative

Diameter indurasi 6-9 mm, meragukan Diameter indurasi 10-15 mm, mantoux positif Diameter indurasi >15 mm, mantoux positif kuat Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Specimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebro spinalis, bilasan lambung, bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsy. Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara mikroskopis dan biakan. -Pemeriksaan Biakan Kuman M.tuberculosis Egg base media : Lowenstein-Jensen,Ogawa Agar base media : Middle brook Skala IUATLD: Tidak ada BTA per100 lapang pandang : negatif Ditemukan 1-9 BTA per100 lapang pandang : ditulis jumlah kumannya Ditemukan 10-99 BTA per100 lapang pandang: disebut + (1+) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang: ++ (2+) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang : +++ (3+) -Pemeriksaan Radiologi Standar toraks PA Pemeriksaan dengan indikasi foto lateral, top-lordotik, oblik CT-Scan Gambaran radiologi curiga TB aktif : - bayangan berawan di segmen apikal dan lobus bawah - kaviti, dikelilingi bayangan berawan/nodular - bayangan bercak milier - efusi pleura unilateral/bilateral Gambaran radiologi curiga TB inaktif : - Fibrotik - Kalsifikasi - Schwarte / penebalan pleura -Pemeriksaan Laboratorium Rutin: +Darah rutin (anemia & infeksi) +Urin rutin +Kimia klinik (DM, LFT, RFT) posterior lobus, atau superior

+Sputum (BTA: SPS, kultur) +Cairan pleura (tanda infeksi)

PENGOBATAN Prinsip Pengobatan TB Kombinasi beberapa jenis dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagau dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apablia panduan obat ayang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman akan berkembang menjadi resisten. Pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat. (DOTS = Directly Observed Treatment Short Course) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Cara Pengobatan TBC Intensif Obat yang diberikan setiap hari. Bila diberikan secara tepat biasanya penderita yang menular menjadi tidak menular dalam jangka waktu 2 minggu. Sebagian penderita dengan BTA (+) menjadi (-) pada akhir pengobatan tahap intensif Lanjutan Jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka waktu lebih lama.

Jenis dan Dosis OAT Isoniazid/INH (H) Bakterisid. Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif. Dosis harian = 5 mg/kgBB. Dosis intermitten 3 kali seminggu 10 mg/kgBB Rimfampisin (R) Bakterisida, membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Dosis harian maupun dosis intermitten 3 kali seminggu = 10 mg/kgBB Pirazinamid (Z) Bakterisida, membunuh kuman di dalam sel dengan suasana asam. Dosis harian = 25 mg/kgBB, dosis intermitten 3 kali seminngu 35 mg/kgBB Etambutol (E)

Bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kgBB. Dosis intermiten 3 kali seminggu = 30 mg/kgBB Streptomisin (S) Bakterisida. Dosis harian ataupun dosis intermitten 3 kali seminggu = 15 mg/kgBB. Penderita berumur sampai 60 tahun, dosisnya 0,75 mg/kgBB. Penderita berumur > 60 tahun dosisnya 0,5 mg/kgBB.

Panduan obat : Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberkulosis dahulu dipakai satu macam obat saja, kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi karena sebagian besar kuman tuberkulosis memang dapat dibinasakan tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok kecil yang resisten ini malah berkembang biak dengan leluasa. Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberkulosis dilakukan dengan memakai panduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid. Dengan memakai panduan obat ini, kemungkinan resistendi awal dapat diabaikan karena : Jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih Pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah terhadap INH

Tetapi belakangan ini di beberapa negara banyak terdapat resistensi terhadap lebih dari satu obat terutama terdapat INH rifampisin. Jenis obat yang dipakai : Obat primer ( obat antituberkulosis tingkat satu ) : isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol Obat sekunder ( obat antituberkulosis tingkat dua ) : kanamisin, pas ( para amino salicylic acid ), tiasetazon, etionamid, protionamid, sikloserin, viomisin, kapreomisin, amikasin, ofloksasin, siprofloksasin, norfloksasin, levofloksasin, klofazimin.

Dosis obat : Dosis Harian Nama Obat BB < 50 kg Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Streptomisin 300 mg 450 mg 1000 mg 750 mg BB > 50 kg 400 mg 600 mg 2000 mg 1000 mg dosis berkala 3 X

seminggu 600 mg 600 mg 2-3 g 1000 mg

Etambutol Etionamid PAS

750 mg 500 mg 99

1000 mg 750 mg 10 g

1- 1,5 g

Panduan OAT di Indonesia Kategori I : 2R7H7E7Z7/4H3R3 Tahap Intensif : 2 bulan: Isoniazid 1 x 300 mg setiap hari Rifampsin 1 x 450 mg setiap hari Pirazinamid 3 x 500 mg setiap hari Ethambutol 3 x 250 mg setiap hari Tahap lanjutan : 4 bulan: Isoniazid 2 x 300 mg 3 x seminggu Rifampisin 1 x 450 mg.3 x seminggu Diberikan untuk : Penderita baru TBC paru BTA (+) Penderita TBC paru BTA (-) Rontgen (+) yang sakit berat Penderita TBC ekstra paru berat Kategori II : 2R7117E7Z7S7/IR7H7E7Z7/5R3H3E3 Tahap intensif : 2 bulan: Isoniazid 1 x 300 mg setiap hari Rifampisin 1 x 450 mg setiap hari Pirazinamid 3 x 500 mg setiap hari Ethambutol 3 x 250 mg setiap hari Streptomisin Inj. 0,75 gr setiap hari 1 bulan Isonlazid 1 x 300 mg setiap hari Rifampisin 1 x 450 mg setiap hari Pirazinamid 3 x 500 mg setiap hari Ethambutol 3 x 250 mg setiap hari Tahap lanjutan: 5 bulan: Isoniazid 2 x 300 mg 3 x seminggu Rifampisin 1 x 450 mg 3 x seminggu Ethambutol 3 x 250 mg 3 x seminggu Diberikan untuk :

Penderita kambuh Penderita gagal Penderita dengan pengobatan setelah lalai Kategori III: 2R7H7Z7/4R3H3 Tahap intensif: 2 bulan: Isoniazid 1 x 300 mg setiap hari Rifampisin 1 x 450 mg setiap hari Pirazinamid 3 x 500 mg setiap hari Tahap lanjutan: 4 bulan: Isoniazid 2 x 300 mg 3 x seminggu Rifampisin 1 x 450 mg 3 x seminggu Diberikan untuk : BTA (-) dan Rontgen (+) sakit ringan Penderita TBC ekstra ringan, yaitu TBC kelenjar limfe, pleuritis exudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang). sendi dan kelenjar adrenal.

Mekanisme Kerja Obat Isoniazid bekerja dengan menghambat sintesis asan mikolat,komponen terpenting pada dinding sel bakteri.Rifampisin menghambat aktivitas polymerase RNA yang etrgantung DNA pada sel-sel rentan.Pirazinamid adalah analog pirazin dari nikotinamid yang berifat bakteriostati atau bakterisid micobacretium tuberculois tergantung pada dosis pemberian.mekanisme kerja pirazinamid belum diketahui secara pasti.Etambutol menghambat sintesis minimal 1 metabolit yang menyebabkan kerusakan pada metabolisme sel,menghambat multiplikasi dan kematian sel.Steptomisin adalah antibiotoc bakterisid yang mempengaruhi sintesis protein.Etionamida bekerja sebagai balteriostatik atau bakterisid tergantung pada konsentrasi obat.mekanisme kerja belum diketahui secara pasti tetapi etionamida dapat menghambat sintesis peptida pada organisme yang rentan.Asam aminosalisilat menghambat pembentukan komponen dinding sel,mikrobatin dengan menurunkan pengambilan besi oleh m.tuberculosis.Rofapentin memiliki mekanisme kerja yang sama dengan rifampisin.

Sifat sifat OAT

a) Entambutol dan Tiastazon : bersifat bakteriostatik dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap obat b) Rifampisin dan Pirazinamid : punya aktivitas sterilisasi yang baik c) Rifampisin dan INH : bakterisid yang lengkap dan kedua obat ini dapat masuk ke seluruh populasi kuman. d) Pirazinamid : bekerja di lingkungan asam e) Streptonisin : bekerja di lingkungan basa f) Rifampisin : dapat segera bekerja bila bergabungan dengan kuman selama 20 menit untuk kuman yang bersifat dormant, tapi kadang-kadang aktif

Efek samping obat Dalam pemakaian obat-obat anti tuberkulosis tidak jarang efek samping yang mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin obat anti tuberkulosis yang bersangkutan masih dapat di berikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tetapi bila efek samping ini sangat mengganggu, obat antituberkulosis yang bersangkutan harus di hentikan pemberiannya, dan pengobatan tuberkulosis dapat diteruskan dengan obat lain. Dan perlu diketahui bahwa semua obat anti tuberkulosis mempunyai efek samping yang kadarnya berbeda-beda pada tiap-tiap individu. a) INH : hepatotoksik dan neuropati perifer (dapat dicegah dengan pemberian vitamin B6) b) Rifampisin : sindrom flu dan hepatotoksik c) Pirazinamid : hepatotoksik dan hiperurisemia d) Streptonisin : nefrotoksik dan gangguan nervus VIII kranial e) Etambutol : neuritis optic, nefrotoksik, dan dermatitis f) Etionamid : hepatotoksik dan gangguan pencernaan g) PAS ( Para Amino Salicyclic Acid) : hepatotoksik dan gangguan pencernaan

Evaluasi Pengobatan klinis. Biasanya pasien di control dalam 1 minggu pertama, selanjutnya tiap 2 minggu pada tahap intensif dan seterusya sebulan sekali sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan pasien. Bakteriologis. Biasanya setelah 2 minggu pengobatan sputum BTA (basil tahan asam ) mulai menjadi negative. Pemeriksaan control BTA di lakukan sekali sebulan. Radiologis. Evaluasi radiologis juga perlu di lakukan untuk melihat kemajuan terapi. Karena perubahan gambaran radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto dada dilakuakan setiap 3 bulan sekali. Kegagalan pengobatan

Obat :

1. Panduan obat tidak adekuat 2. Dosis obat tidak cukup 3. minum obat tidak teratur atau tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan 4. jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya 5. terjadi resistensi obat 6. resistensi obat harus sudah diwaspadai bila pada 1-2 bulan pengobatan tahap intensif, tidak terjadi perbaikan.

Drop out :

1. Kekurangan biaya pengobatan 2. merasa sudah sembuh 3. malas berobat atau krang motivasi

Penyakit :

1. Lesi paru yang sakit terlalu luas atau sakit berat 2. penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti diabetes melitus 3. adanya gangguan imunoligis

Pasien kambuh Penanggulangan terhadap pasien kambuh ini adalah 1. 2. Berikan pengobatan yang sama dengan pengobatan pertama Lakukan pemeriksaan radiologis optimal yakni periksa sputum BTA mikroskopis

langsung 3 kali, biakan, dan resistensi 3. 4. Evaluasi secara radiologis luasnya kelainan paru, Identifikasi adakah penyakit lain yang memberatkan tuberkulosis seperti diabetes

mellitus 5. 6. Sesuaikan obat dengan hasil tes kepekaan atau resitensi Nilai kembali secara ketat hasil pengobatan secara klinis, radiologis, dan bakteriologis

tiap-tiap bulan. D. Bronkiektasis 2.1Patogenesis Definisi: Suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis, berjalan kronis, dan persisten. Patogenesis Faktor predisposisi terjadinya bronkiektasis dapat dibagi menjadi 3 kelompok: 1. Kekurangan mekanisme kongenital yang didapat atau kongenital, biasanya kelainan imunologik berupa kekurangan globulin gama atau kelainan imunitas seluler atau kekurangan antitripsin alfa 1. Pada kasus ini dapat terjadi bronkiektasis yang luas akibat

pneumonia yang berulang. Pada kebanyakan kasus pneumonia terutama pada anak-anak, sering terjadi pelebaran bronkus yang akan kembali normal selama masa penyembuhan. Kalau terjadi kerusakan yang permanen pada dinding bronkus, terjadi bronkiektasis yang menetap. 2. a. Kelainan struktur kongenital Bronkomalasia: kekurangan kartilago bronkus, pembentukan kista atau

kantung menyebabkan pengumpulan sekret dan infeksi bakteri. b. Sindrom kartagener : gangguan silia dan masuknya sekret yang terinfeksi dari

sinus ke bronkus yang menyebakan infeksi sinopulmonal yang berulang. c. Dinding bronkus terinfeksi, terjadi kerusakan pada jaringan otot dan elastin,

sehingga timbul kerusakan yang menetap; kemampuan bronkus untuk berkontraksi selama ekspirasis menghilang, kemampuan untuk mengalirkan sekret menurun, lebih mudah terjadi infeksi. 3. Penyakit paru primer seperti tumor paru, benda asing atau tuberkulosis paru.

Obstruksi saluran nafas menyebabkan atelektasis, penyerapan udara dari parenkim di sekitar daerah yang tersumbat menyebabkan tekanan intrapleura menjadi lebih negatif dan perbedaan tekanan atmosfir dan tekanan intrapleura yang semakin

negatifmenyebabkan bronkus berdilatasi. Dilatasi tersebut mengakibatkan pengumpulan sekret dan infeksi sekunder. Pada tuberkulosis paru postprimer infeksi merusak dinding bronkus menyebabkan bronkiektasis. Brewis membagi tingkatan bronkiektasis: 1. Ringan: batuk-batuk dan sputum warna hijau hanya terjadi sesudah demam (menunjukkkan adanya infeksi sekunder), hemoptisis ringan. 2. Sedang: batuk produktif setiap saat, sputum timbul setiap saat (warna hijau dan jarang mukoid, serta bau mulut busuk), hemoptisis sering, ronki basah kasar pada daerah paru yang terkena. 3. Berat: batuk produktif dengan sputum banyak berwarna kotor dan berbau. Danya pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura. Jika ada obstruksi akan terjadi dispnea dan sianosis. Pemeriksaan fisiknya: ronki basah kasar pada daerah yang terkena. 2.2 Etiologi Bronkiektasis dapat disebabkan karena: 1. Kelainan kongenital Terjadi saat individu masih dalam kandungan. Faktor genetik dan perkembangan fetus memegang peranan penting. Ciri-ciri:

Bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru. Bronkiektasis kongenital sering menyertai penyakit-penyakit kongenital

(Mucoviscidosi, Syndrom Kartagener) dan sering bersamaan dengan kelainan kongenital (penyakit jantung bawaan, tidak adanya tulang rawan di brinkus. 2. Kelainan didapat: Infeksi: sering terjadi sesudah seorang anak menderita pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Obstruksi bronkus: adanya korpus alienum, karsinoma bronkus, dan tekanan dari luar terhadap bronkus. -Sebagai gejala sisa infeksi paru : +Pertusis pada anak +Pneumonia +Tuberkulosis paru -Obstruksi bronkus oleh benda asing atau tumor atau obstruksi bronkus karena kelenjar limfe pada tuberkulosis paru sewaktu masih anak anak. -Atelektasis -Kelainan kongenital -Sindroma kartagener yang terdiri dari trias : +Bronkiektasis +Sinusitis +Dekstro kardi atau situs inversus Perubahan Patologi Anatomi: 1. Bronkiektasis dapat mengenai bronkus pada satu segmen paru, bahkan dapat secara

difus mengenai kedua paru. Bagian bronkus yang sering terkena adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingual paru kiri lobus atas, dan segmen basal pada lobus bawah kedua paru. 2. 3. Bronkus yang terkena umumnya ukuran sedang daripada bronkus ukuran besar. Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi

yang bersifat destruktif dan reversibel. Pada pemeriksaan dijumpai proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos, juga elemen-elemen elastic, pembuluh-pembuluh darah, dan tulang rawan bronkus. Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi, dan penanahan. Gejala

-Batuk kronis, seringkali postural -Sputum, seringkali sangat banyak. -Demam berulang -Hemoptisis -Sesak, ronki kasar pada basal, dan mengi -Sianosis dan jari tabuh -Penurunan berat badan dan kor pulmonal pada kasus yang lanjut Macam Bronkiektasis 1. Tubular/ bentuk tabung Paling ringan Ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronchitis kronik

2. Bentuk kantong Bentuk klasik Ditandai adanya dilatasi dan penyempitan bronkus

3. Varicose bronkiektasis Bentuknya diantara bentuk tabung dan kanton, menyerupai varises pembuluh vena. Tingkatan berat penyakit bronkiektasis: 1. Bronkiektasis ringan Batuk dan sputumnya warna hijau terjadi sesudah demam Hemoptisis ringan

2. Bronkiektasis sedang batuk dan sputum tiap saat Hemoptisis Ronkhi basah kasar

3. Bronkiektasis berat Batuk produktif Sputum banyak, kotor, dan bau Hemoptisis Nyeri pleura Dispnea dan sianosis

Diagnosis Banding Penyakit campak

Batuk rejan Influenza Pemeriksaan 1. Laboratorium; Anemia infeksi kronik Leukositosis infeksi supuratif Urin umumnya normal, ada komplikasi amiloidosis proteinuria Kultur sputum dan uji sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan, apabila ada kecurigaan adanya infeksi sekunder. Perubahan sputum dari wrna putih jernih menjadi kuning atau hijau infeksi sekunder 2. Radiologis; Gambaran radiologi khas untuk bronkiektasis honey comb appearance Kadang juga terdapat bercak-bercak pneumonia Fibrosis atau kolaps (atelektasis) Komplikasi 1.Bronkitis kronik 2.Pneunomia dengan atau tanpa atelektasis 3.Pleuritis 4.Efusi pleura atau empiema (jarang) 5.Abses metastasis di otak 6.Hemoptisis 7.Sinusitis 8.Kor pulmonal kronik 9.Kegagalan pernafasan 10.Amiloidosis

Prognosis Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif ataupun pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema,

payah jantung kanan, hemoptisis, dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronchitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya yang ringan. 2.3 Pemeriksaan

Pada foto terlihat bayangan udara dari pneumotoraks yang berbentuk cembung, yang memisahkan pleura parietalis dengan pleura viseralis. Bila pneumotoraksnya tidak begitu besar, foto dengan pernafasan dalam (inspirasi penuh) pun tidak akan menunjukkan kelainan yang jelas. Dalam hal ini dianjurkan membuat foto dada dengan inspirasi dan ekspirasi penuh. Selama ekspirasi maksimal udara dalam rongga pleura lebih didorong ke apeks, sehingga rongga intrapleura di apeks jadi lebih besar. 2.4 Penatalaksanaan

Terapi yang dilakukan bertujuan untuk : 1. Meningkatkan pengeluaran sekret trakeobronkial. Drainase postural dan latihan

fisioterapi untuk pernapasan dan batuk yang produktif, agar sekret dapat dikeluarkan secara maksimal. 2. Mengontrol infeksi, terutama pada fase eksaserbasi akut. Pilihan antibiotik

berdasarkan pemeriksaan bakteri dari sputum dan resistensinya. Sementara menunggu hasil biakan kuman, dapat diberikan antibiotik spektrum luas seperti ampisilin, kotrakmoksazol, dan amoksisilin. Antibiotik diberikan sampai produksi sputum minimal dan tidak purulen. 3. Mengembalikan aliran udara pada saluran napas yang mengalami obstruksi.

Bronkodilator diberikan selain untuk mengatasi bronkospasme, juga untuk memperbaiki drainase sekret. Alat pelembab dan nebulizer dapat dipakai untuk melembabkan sekret. Bronkoskopi kadang perlu untuk pengangkatan benda asing atau sumbatan mukus. Pasien dianjurkan untuk menghindari rangsangan bronkus dari asap rokok dan polusi udara yang tercemar berat dan mencegah pemakaian obat sedatif dan obat yang menekan refleks batuk. Operasi hanya dilakukan bila pasien tidak menunjukkan perbaikan klinis yang jelas setelah mendapat pengobatan konservatif yang adekuat selama 1 tahun atau timbul hemoptisis yang masif. Pertimbangan operasi berdasarkan fungsi pernapasan, umur, keadaan, mental, luasnya bronkiektasis, keadaan bronkus pasien lainnya, kemampuan ahli bedah, dan hasil terhadap pengobatan

3. Bronchitis kronik Patofisiologi

Bronkhitis kronik merupakan inflamasi berulang dan degenerasi bronkus yang bisa berhubungan dengan infeksi aktif. Bronchitis kronik dapat merupakan proses dasar dari suatu penyakit, seperti asma, fibrosis kistik, sindrom diskinesia silia, aspirasi benda asing, atau paparan terhadap iritan jalan nafas. Pada orang dewasa, dikatakan bronchitis kronik apabila terdapat batuk kronik dan pembentukan sputum selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dalam dua tahun berturut-turut. Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mukus, yang dimulai di saluran napas besar. Meskipun faktor penyebab terpenting adalah merokok, polutan udara lain seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida juga berperan. Berbagai iritasi ini memicu hipersekresi kelenjar mukosa dan menyebabkan hipertrofi kelenjar mukosa dan menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil musin di epitel permukaan bronkus. Pada orang dewasa, bronchitis kronik terjadi akibat hipersekresi mucus dalam bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa dan penambahan jumlah sel goblet dalam epitel saluran nafas. Pada sebagian besar pasien, hal ini disebabkan oleh paparan asap rokok. Pembersihan mukosiliar menjadi terhambat karena produksi mucus yang berlebihan dan kehilangan silia, menyebabkan batuk produktif. Pada anak-anak, bronchitis kronik disebabkan oleh respon endogen, trauma akut saluran pernafasan, atau paparan allergen atau iritan secara terus-menerus. Saluran nafas akan dengan cepat merespon dengan bronkospasme dan batuk, diikuti inflamasi, udem, dan produksi mucus. Apabila terjadi paparan secara kronik terhadap epithelium pernafasan, seperti aspirasi yang rekuren atau infeksi virus berulang, dapat menyebabkan terjadinya bronchitis kronik pada anak-anak. Bakteri pathogen yang paling banyak menyebabkan infeksi salurang respirasi bagian bawah pada anak-anak adalah Streptococcus pneumoniae. Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis dapat pathogen pada balita (umur <5 tahun), sedangkan Mycoplasma pneumoniae pada anak usia sekolah (umur >5-18 tahun). Penemuan patologis dari bronchitis adalah hipertropi dari kelenjar mukosa bronchus dan peningkatan sejumlah sel goblet disertai dengan infiltrasi sel radang dan ini mengakibatkan gejala khas yaitu batuk produktif. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi bronchiolus yang kecil kecil sedemikian rupa sampai bronchiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi utama adalah merokok dan polusi udara lain yang biasa terdapat pada daerah industri. Polusi tersebut dapat memperlambat aktifitas silia dan pagositosis, sehingga timbunan mukus meningkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri melemah.

Mukus yang berlebihan terjadi akibat displasia. Sel sel penghasil mukus di bronkhus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan perubahan pada sel sel penghasil mukus dan sel sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus dalam jumlah besar yang sulit dikeluarkan dari saluran nafas. 3.1 Etiologi Ada 3 faktor utama yang mempengaruhi timbulnya bronchitis yaitu rokok, infeksi dari polusi. Selain itu terdapat pula hubungan dengan faktor keturunan dan status sosial. Rokok Menurut buku Report of the WHO Expert Comite on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya bronchitis. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan VEP (volume ekspirasi paksa) 1 detik. Secara patologis rokok berhubungan dengan hiperplasia kelenjar mukus bronkus dan metaplasia skuamus epitel saluran pernafasan juga dapat menyebabkan bronkostriksi akut. Infeksi Eksaserbasi bronchitis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder bakteri. Bakteri yang diisolasi paling banyak adalah Hemophilus influenza dan streptococcus pneumonie. Polusi Pulusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab, tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi. Zat zat kimia dapat juga menyebabkan bronchitis adalah zat zat pereduksi seperti O2, zat zat pengoksida seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon. Keturunan Belum diketahui secara jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak, kecuali pada penderita defisiensi alfa 1 antitripsin yang merupakan suatu problem, dimana kelainan ini diturunkan secara autosom resesif. Kerja enzim ini menetralisir enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru. Faktor sosial ekonomi Kematian pada bronchitis ternyata lebih banyak pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.

Bronchitis kronik dapat disebabkan oleh serangan bronchitis akut yang berulang, yang dapat melemahkan dan mengiritasi bronkus, dan pada akhirnya menyebabkan bronchitis kronik. Penyebab umum untuk bronchitis akut dan kronik pada anak adalah sebagai berikut. Infeksi virus ; adenovirus, influenza, parainfluenza, respiratory syncytial virus, rhinovirus, coxsackievirus, herpes simplex virus. Infeksi bakteri : S pneumonia, M catarrhalis, H influenza, Chlamydia pneumoniae (Taiwan acute respiratory [TWAR] agent), Mycoplasma species. Polusi udara, seperti merokok. Alergi Aspirasi kronik atau refluks gastrointestinal Infeksi fungi Diagnosis Batuk, mulai dengan batuk batuk pagi hari, dan makin lama batuk makin berat, timbul siang hari maupun malam hari, penderita terganggu tidurnya. Dahak, sputum putih/mukoid. Bila ada infeksi, sputum menjadi purulen atau mukopuruen dan kental. Sesak bila timbul infeksi, sesak napas akan bertambah, kadang kadang disertai tanda tanda payah jantung kanan, lama kelamaan timbul kor pulmonal yang menetap. Pemeriksaan Pemeriksaan fisik Pada stadium ini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang kadang terdengar ronchi pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronchi pada waktu ekspirasi maupun inspirasi disertai bising mengi. Juga didapatkan tanda tanda overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih ke bawah, pekak jantung berkurang, suara nafas dan suara jantung lemah, kadang kadang disertai kontraksi otot otot pernafasan tambahan. Pemeriksaan Diagnostik: Pemeriksaan radiologis Tubular shadow atau traun lines terlihat bayangan garis yang paralel, keluar dari hilus menuju apeks paru. bayangan tersebut adalah bayangan bronchus yang menebal. Corak paru / bronkhovaskuler bertambah Tes fungsi paru dapat memperlihatkan obstruksi jalan nafas yang reversible dengan menggunakan bronkodilator. Analisa gas darah

Pa O2 : rendah (normal 25 100 mmHg) Pa CO2 : tinggi (normal 36 44 mmHg). Saturasi hemoglobin menurun. Eritropoesis bertambah. Penatalaksanaan Tindakan suportif Pendidikan bagi pasien dan keluarganya tentang : Menghindari merokok Menghindari iritan lainnya yang dapat terhirup. Mengontrol suhu dan kelembaban lingkungan. Nutrisi yang baik. Hidrasi yang adekuat. Terapi khusus (pengobatan). Bronchodilator Antimikroba Kortikosteroid Terapi pernafasan Terapi aerosol Terapi oksigen Penyesuaian fisik Latihan relaksasi Meditasi Menahan nafas Rehabilitasi

Penggunaan bronkodilator perlu dipertimbangkan,baik beta adrenergic agonist, seperti albuterol atau metaproterenol, atau teofilin bisa efektif. Agen beta adrenergic lebih kurang toksisitasnya, lebih cepat bekerja daripada teofilin. Inhalasi kortikosteroid bisa efektif. Obat analgesic dan anti piretik ; digunakan untuk mengontrol demam, myalgia, dan arthralgia. Acetaminophen ; pilihan obat untuk rasa nyeri untuk pasien yang tidak bisa menggunakan aspirin atau NSAIDs.

Ibuprofen ; pilihan obat untuk rasa nyeri ringan hingga sedang jika tidak ada kontraindikasi. Menghambat reaksi inflamasi dan rasa nyeri, kemungkinan dengan menurunkan aktivitas siklooksigenase yang menghambat sintesis prostaglandin. a. Kortikosteroid sistemik ; obat ini digunakan untuk jangka pendek (3-10 hari) untuk mengontrol episode asma akut yang tidak terkontrol dengan baik.

b. Bronkodilator ; dapat menurunkan gejala bronchitis. Contoh : albuterol sulfat. c. Antivirus ; vaksinasi influenza untuk melindungi tubuh dari influenza A dan B, karena itu memberikan proteksi yang lebih untuk bronchitis. Diet Meningkatkan pemberian makanan secara oral pada pasien dengan demam. Aktivitas Minta pasien untuk beristirahat hingga demamnya turun Terapi lanjutan a. Jika terapi antiinflamasi sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga gejala menghilang paling kurang 1 minggu. Bronkodilator bisa diberikan jika diperlukan.

b. Penatalaksanaan akut dapat dihentikan apabila gejala sudah menghilang, temuan normal pada pemeriksaan fisik, dan fungsi paru normal. c. Pasien yang didiagnosis dengan asma dapat diberikan terapi controller, yaitu inhalasi terapi kortikosteroid, antihistamin, dan inhibitor leukotrin setiap hari. d. Pasien dengan hipogammaglobulinemia memerlukan terapi pengganti. Komplikasi - Bronkiektasis - Bronkopneumonia - Gagal nafas akut Prognosis Pasien dengan bronchitis kronik dan didiagnosis asma, penyakit struktur saluran nafas, atau imunodefisiensi perlu pengawasan secara teratur untuk meminimalkan kerusakan paru dan perkembangan menjadi penyakit paru kronik yang ireversibel. Prognosis jangka panjang maupun jangka pendek bergantung pada umur dan gejala klinik waktu berobat. 4. Atelektasis paru 4.1 Patofisiologi Adalah kolapsnya jaringan alveolus paru akibat obstruksi parsial atau total airway. Etiologi terbanyak obstruksi airway adalah terbagi dua yaitu intrinsik dan ekstrinsik.

Instrinsik berupa peradangan intra luminar airway. Peradangan intraluminar airway menyebabkan penumpukan sekret yang berupa mukus. Selain itu juga terjadi edema di lumen airway sehingga mengakibatkan obstruksi pada airway. Etiologi ekstrinsik atelektasis pada airway adalah pneumothoraks, tumor dan paling sering adalah pembesaran kelenjar getah bening. Pada anak-anak, atelektasis bisa terjadi. Terutama pada anak dengan infeksi primer Tuberkulosis. Pada infeksi primer tuberkulosis terdapat pembesaran kelenjar getah bening. Pembesaran kelenjar getah bening yang semakin banyak akhirnya menekan airway sehingga dapat dengan cepat timbul atelektasis pada anak-anak maupun bayi. Tingkat keparahan atelektasi tergantung banyaknya airway yang terkena serta kualitas sumbatan pada airway yang mengalami obstruksi. Terapi atelektasis harus berdasarkan etiologi yang mendasari supaya mendapatkan hasil yang optimal untuk mengatasi atelektasis ini. 4.2 Etiologi Sebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan sebuah bronkus. Bronkus adalah 2 cabang utama dari trakea yang langsung menuju ke paru-paru. Penyumbatan juga bisa terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya terisi dengan sel darah, serum, lendir dan kemudian akan mengalami infeksi. Faktor resiko terjadinya atelektasis a. Pembiusan (anestesia)/pembedaha b. Tirah baring jangka panjang tanpa perubahan posis c. Pernafasan dangkal d. Penyakit paru-paru 4.3 Pemeriksaan Pemeriksaan Penunjang Gambaran radiologis atelektasis berupa penarikan diafragma mendekati lobus yang kolaps, penarikan mediastinum mendekati lobus paru yang kolaps dan ICS (intercostal space yang mengecil) akibat tarikan kolaps paru. Paru menjadi kolaps

akibat tekanan negatif yang seharusnya ada pada alveolus berkurang akibat sumbatan sehingga saat inspirasi udara susah masuk ke alveolus sehingga parunya menjadi kolaps dan sesuai dengan hukum keseimbangan maka semakin negatif tekanan di dalam suatu ruangan maka dengan kuat ruangan yang bertekanan sangat negatif itu akan berusaha menyeimbangkan tekanannya dengan menarik udara maupun zat lain di sekitar sehingga pada gambaran radiologis terdapat gambaran radioopak pada lobus kolaps dan ada tarikan organ menuju lobus paru yang kolaps tersebut Pengobatan Tujuan pengobatan adalah mengeluarkan dahak dari paru-paru dan kembali mengembangkan jaringan paru yang terkena. Tindakan yang biasa dilakukan: a. Berbaring pada sisi paru-paru yang sehat sehingga paru-paru yang terkena

kembali bisa mengembang b. lainnya c. d. e. f. g. h. Latihan menarik nafas dalam (spirometri insentif) Perkusi (menepuk-nepuk) dada untuk mengencerkan dahak Postural drainase Antibiotik diberikan untuk semua infeksi Pengobatan tumor atau keadaan lainnya. Pada kasus tertentu, jika infeksinya bersifat menetap atau berulang, Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur

menyulitkan atau menyebabkan perdarahan, maka biasanya bagian paru-paru yang terkena mungkin perlu diangkat i. Setelah penyumbatan dihilangkan, secara bertahap biasanya paru-paru yang

mengempis akan kembali mengembang, dengan atau tanpa pembentukan jaringan parut ataupun kerusakan lainnya. Pencegahan Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya atelektasis: a. Setelah menjalani pembedahan, penderita harus didorong untuk bernafas dalam, batuk teratur dan kembali melakukan aktivitas secepat mungkin. b. Meskipun perokok memiliki resiko lebih besar, tetapi resiko ini bisa diturunkan dengan berhenti merokok dalam 6-8 minggu sebelum pembedahan. c. Seseorang dengan kelainan dada atau keadaan neurologis yang menyebabkan pernafasan dangkal dalam jangka lama, mungkin akan lebih baik bila menggunakan alat bantu mekanis untuk membantu pernafasannya. Mesin ini akan

menghasilkan tekanan terus menerus ke paru-paru sehingga meskipun pada akhir dari suatu pernafasan, saluran pernafasan tidak dapat menciut.

Emfisema Patofisiologi Adalah perubahan anatomi parenkim paru ditandai oleh pembesaran alveolus dan ductus alveolaris Patofisiologi a. Infeksi kronis - Iritan ( rokok ) : menghambat sekresi mukus - Obstruksi kronis ( kelebihan mucus, radang epitel ) => menyumbat saluran nafas => udara tidak bias keluar saat ekspirasi => udara terperangkap di alveoli => alveoli terenggang + infeksi paru =>dextruksi alveoli b. Herediter : bakteri, PMN, monosit, makrofag => memfagosit => menghasilkan protease => mampu memecah elastin dan makromolekul lain pada jaringa paru Klasifikasi a. Emfisema Sentrilobular ( CLE ) - menyerang bronkiolus respiratorius dan ductus alveolaris - Patofisnya : dinding berlubang kemudian membesar b. Emfisema Panlobular ( PLE ) - menyerang alveolus sebelah distal bronkiolus terminalis - Patofisnya : alveoli membesar => mengenai bagian central/perifer => semua bagian asinus terkena - bagian basal lebih parah - ditandai dengan meningkatnya resistensi jalan nafas secara lambat tanpa bronchitis kronis

a. Jenis 1. Emfisema sentriasinar Gambaran khasnya ada keterlibatan lobules. Lesi lebih sering di bagian apeks. Bagian proksimal (bronkiolus respiratorius) terkena, sedangkan bagian distal tidak terkena. 2. Emfisema parasinar Asinus secara merata dan membesar dari tingkat bronkiolus respiratorik hingga alveolus buntu terminal. Cenderung lebih sering terjadi di zona paru bawah.

3. Emfisema Asinar distal Pada bentuk ini bagian proksimal normal namun bagian distal terkena lesi. Emfisema lebih nyata di dekat pleura. b. Patogenesis Patogenesis yang dipahami adalah hipotesis ketidakseimbangan proteseantiprotease berdasarkan pengamatan bahwa pasien dengan defisiensi genetic antiprotease-antitripsinemfisema paru. Antitripsin1 1

memperlihatkan

kecenderungan

besar

mengalami

secara normal terdapat pada serum, cairan jaringan dan

makrofag merupakan inhibitor utama protease yang dikeluarkan neutrofil sewaktu peradangan. Dipostulasikan terjadi rangkaian tersebut: Neutrofil (sumber utama protease sel) secra normal mengalami sekuestrasi di kapiler perifer termasuk di paru, dan beberapa memperoleh akses ke rongga alveolus. Setiap rangsangan yang meningkatkan, baik jumlah leukosit (neutrofil dan makrofag) di paru maupun pelepasan granula yang mengandung protease meningkatkan aktivitas proteolitik. Pada kadar antitripsin1

serum yang renda, destruksi jaringan elastic

menjadi tidak terkendali dan timbul emfisema. Oleh karena itu emfisema dipandang sebagai efek destruktif peningkatan aktivitas protease pada orang dengan aktivitas antitrypsin yang rendah. Perubahan anatomi paru pada pemnderita emfisema: 1. Paru membesar 2. Paru tampak lebih putih 3. Permukaan paru halus seperti berbulu 4. Terlihat : Bleb (rongga subpleura yang terisi udara)

Bula (rongga parenkim yang, terisi udara) Etiologi a. Infeksi kronis b. Obstruksi kronis c. Herediter Manifestasi klinik

a. Batuk b. Sputum : infeksi ( mukoid/putih ) dan noninfeksi ( porulen/mukoporulen) c. Sesak nafas Diagnosis a. Anamnesis b. Pemeriksaan Fisik - badan kurus - fremitus taktil berkurang - perkusi dada hipersonor - suara nafas melemah, ekspirasi panjang c. Pemeriksaan Radiologis - overinflasi rendah dan datar - penciutan pembuluh darah pulmonar d. Pemeriksaan fungsi paru e. Pemeriksaan gas darah f. Pemeriksaan EKG g. Pemeriksaan laboratorium darah Terapi a. Antibiotik - Amoxilin dan streptomicin untuki nfluensa - Augmentin ( amoxilin + asam klavulonat ) jika kuman memproduksi beta laktamase b. Terapi O2 c. Fisio terapi => membantu mengeluarkan sputum d. Bronkodilator => mengatasi obstruksi jalan nafas beta adrenergic dan antikolinergik, salbutamol dan iparatropium bromida

PPAK (Penyakit Paru Akibat Kerja) Pencemaran udara oleh partikel dapat disebabkan karena peristiwa alamiah dan dapat pula disebabkan karena ulah manusia, lewat kegiatan industri dan teknologi. Partikel yang mencemari udara banyak macam dan jenisnya, tergantung pada macam dan jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada. Mengenai macam dan jenis partikel pencemar udara serta sumber pencemarannya telah banyak Secara umum partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan, tanaman, hewan dan manusia. Partikel-partikel tersebut sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya

udara yang telah tercemar oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan atau pneumoconiosis. Pada saat orang menarik nafas, udara yang mengandung partikel akan terhirup ke dalam paruparu. Ukuran partikel (debu) yang masuk ke dalam paru-paru akan menentukan letak penempelan atau pengendapan partikel tersebut. Partikel yang berukuran kurang dari 5 mikron akan tertahan di saluran nafas bagian atas, sedangkan partikel berukuran 3 sampai 5 mikron akan tertahan pada saluran pernapasan bagian tengah. Partikel yang berukuran lebih kecil, 1 sampai 3 mikron, akan masuk ke dalam kantung udara paru-paru, menempel pada alveoli. Partikel yang lebih kecil lagi, kurang dari 1 mikron, akan ikut keluar saat nafas dihembuskan. Pneumoconiosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap di dalam paru-paru. Penyakit pnemokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel (debu) yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru. Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis yang banyak dijumpai di daerah yang memiliki banyak kegiatan industri dan teknologi, yaitu Silikosis, Asbestosis, Bisinosis, Antrakosis dan Beriliosis. Bentuk pneumoconiosis khas pada pekerja tambang batu bara inhalasi debu batu bara Cirri khas: paru-paru berwarna hitam (black lung) Diagnosis: Adanya riwayat paparan debu batu bara Adanya abnormalitas gambaran radiologis Simple opasitas kecil, bulat, <1cm Complicated opasitas satu/multiple, >1cm Simple Pneumokoniosis asimtomatis Complicated Pneumokoniosis Syndrome Caplan Pneumokoniosis + rheumatoid artritis

Klasifikasi berdasarkan bentuk dan ukuran opasitas radiologis: -

Manifestasi klinis -

A. Penyakit Silikosis Penyakit Silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas, berupa SiO2, yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengendap. Debu silika bebas ini banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang mengerjakan besi

(mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juka banyak terdapat di tempat di tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara. Pemakaian batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas SiO2. Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama sama dengan partikel lainnya, seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam bentuk abu. Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau gejala penyakit silicosis akan segera tampak, apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan terhisap ke paru-paru dalam jumlah banyak. Penyakit silicosis ditandai dengan sesak nafas yang disertai batuk-batuk. Batuk ii seringkali tidak disertai dengan dahak. Pada silicosis tingkah sedang, gejala sesak nafas yang disertai terlihat dan pada pemeriksaan fototoraks kelainan paru-parunya mudah sekali diamati. Bila penyakit silicosis sudah berat maka sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung. Tempat kerja yang potensial untuk tercemari oleh debu silika perlu mendapatkan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan yang ketat sebab penyakit silicosis ini belum ada obatnya yang tepat. Tindakan preventif lebih penting dan berarti dibandingkan dengan tindakan pengobatannya. Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, astma broonchiale dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Pengawasan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja akan sangat membantu pencegahan dan penanggulangan penyakit-penyakit akibat kerja. Data kesehatan pekerja sebelum masuk kerja, selama bekerja dan sesudah bekerja perlu dicatat untuk pemantulan riwayat penyakit pekerja kalau sewaktu waktu diperlukan. B. Penyakit Asbestosis Asbestosis adalah suatu penyakit saluran pernapasan yang terjadi akibat menghirup seratserat asbes, kemudian mengendap di dalam dalam paru-paru, menyebabkan fibrosis sehingga tidak dapat mengembang dan mengempis sebagaimana mestinya. Beratnya penyakit tergantung kepada lamanya pemaparan dan jumlah serat yang terhirup. Menghirup asbes juga dapat menyebabkan penebalan pleura. Beratnya penyakit tergantung kepada lamanya pemaparan dan jumlah serat yang terhirup. Pemaparan asbes bisa ditemukan di industri pertambangan dan penggilingan, konstruksi dan industri lainnya. Pemaparan pada keluarga pekerja asbes juga bisa terjadi dari partikel yang terbawa ke rumah di dalam pakaian pekerja.

Asbestosis ditunjukkan dengan plak di atas diafragma C. Penyakit Bisinosis Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran debu napas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas serta pabrik atau bekerja lain yang menggunakan kapas atau tekstil; seperti tempat pembuatan kasur, pembuatan jok kursi dan lain sebagainya. Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-tanda awal penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada dada, terutama pada hari Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu). Secara psikis setiap hari Senin bekerja yang menderita penyakit bisinosis merasakan beban berat pada dada serta sesak nafas. Reaksi alergi akibat adanya kapas yang masuk ke dalam saluran pernapasan juga merupakan gejala awal bisinosis. Pada bisinosis yang sudah lanjut atau berat, penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan penyakit bronchitis kronis dan mungkin juga disertai dengan emphysema. D. Penyakit Antrakosis Penyakit Antrakosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu batubara. Penyakit ini biasanya dijumpai pada pekerja-pekerja tambang batubara atau pada pekerjapekerja yang banyak melibatkan penggunaan batubara, seperti pengumpa batubara pada tanur besi, lokomotif (stoker) dan juga pada kapal laut bertenaga batubara, serta pekerja boiler pada pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara. Masa inkubasi penyakit ini antara 2 4 tahun. Seperti halnya penyakit silicosis dan juga penyakit-penyakit pneumokonisosi lainnya, penyakit antrakosis juga ditandai dengan adanya rasa sesak napas. Karena pada debu batubara terkadang juga terdapat debu silikat maka penyakit antrakosis juga sering disertai dengan penyakit silicosis. Bila hal ini terjadi maka penyakitnya disebut silikoantrakosis. Penyakit antrakosis ada tiga macam, yaitu penyakit antrakosis murni, penyakit silikoantraksosis dan penyakit tuberkolosilikoantrakosis.

Penyakit antrakosis murni disebabkan debu batubara. Penyakit ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi berat, dan relatif tidak begitu berbahaya. Penyakit antrakosis menjadi berat bila disertai dengan komplikasi atau emphysema yang memungkinkan terjadinya kematian. Kalau terjadi emphysema maka antrakosis murni lebih berat daripada silikoantraksosis yang relatif jarang diikuti oleh emphysema. Sebenarnya antara antrakosis murni dan silikoantraksosi sulit dibedakan, kecuali dari sumber penyebabnya. Sedangkan paenyakit tuberkolosilikoantrakosis lebih mudah dibedakan dengan kedua penyakit antrakosis lainnya. Perbedaan ini mudah dilihat dari fototorak yang menunjukkan kelainan pada paruparu akibat adanya debu batubara dan debu silikat, serta juga adanya baksil tuberculosis yang menyerang paru-paru. E. Penyakit Beriliosis Udara yang tercemar oleh debu logam berilium, baik yang berupa logam murni, oksida, sulfat, maupun dalam bentuk halogenida, dapat menyebabkan penyakit saluran pernapasan yang disebut beriliosis. Debu logam tersebut dapat menyebabkan nasoparingtis, bronchitis dan pneumonitis yang ditandai dengan gejala sedikit demam, batuk kering dan sesak napas. Penyakit beriliosis dapat timbul pada pekerja-pekerja industri yang menggunakan logam campuran berilium, tembaga, pekerja pada pabrik fluoresen, pabrik pembuatan tabung radio dan juga pada pekerja pengolahan bahan penunjang industri nuklir. Selain dari itu, pekerja-pekerja yang banyak menggunakan seng (dalam bentuk silikat) dan juga mangan, dapat juga menyebabkan penyakit beriliosis yang tertunda atau delayed berryliosis yang disebut juga dengan beriliosis kronis. Efek tertunda ini bisa berselang 5 tahun setelah berhenti menghirup udara yang tercemar oleh debu logam tersebut. Jadi lima tahun setelah pekerja tersebut tidak lagi berada di lingkungan yang mengandung debu logam tersebut, penyakit beriliosis mungkin saja timbul. Penyakit ini ditandai dengan gejala mudah lelah, berat badan yang menurun dan sesak napas. Oleh karena itu pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi pekerja-pekerja yang terlibat dengan pekerja yang menggunakan logam tersebut perlu dilaksanakan terus menerus. F. Pneumonitis Hipersensitif a. Definisi Penyakit paru yang timbuln akibat respon terhadap inhalasi bahan/antigen biologis chemical. b. Epidemiologi Penyakit Pneumonitis Hipersensitif yang sering ditemukan di Indonesia adalah:

Farmers lung (oleh spora Thermophilic actinomycetes) pada petani padi dan gandum. Pigron-breeders lung pada peternak burung dan unggas. Bagassosis pada pekerja penggiling tebu. Bysinosis pada pekerja pabrik.

c. Patofisiologi Bahan biologis/kemikal yang berperan sebagai antigen terinhalasi sampai di alveolus lalu membentuk komplek antigen-antibodi dan kemudian mengendap di alveoli dan interstisium membentuk alveoli akut. Lalu ada 2 tipe Hipersensitivitas yang dilalui: 1. Tipe III Kompleks antigen antibody mengaktivkan komponen komplemen sehingga permeabilitas vaskuler meningkat dan juga sel-sel inflamasi menjadi lebih aktif (makrofag menjadi lebih aktiv dan mensekret sitokon proinflamasi) 2. Tipe IV - Limfosit T sensitive - Dlam waktu 24-48jam setelah paparan - Infiltrasi makrofag dan limfosit, timbulnya granuloma dan nekrosis d. Gambaran Klinis Akut 2-9jam setelah paparan Flu-like syndrome: sesak napas, batuk demam, menggigil, myalgia, malaise, sakit kepala Puncak paparan antigen 6-24jam setelah paparan antigen dan dapat menghilang tanpa pengobatan dalam waktu 1-3hari E. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai