Anda di halaman 1dari 36

SITUS INDO-MARXISTSITUS KAUM MARXIST INDONESIA

PENGANTAR EKONOMI-POLITIK
Pengarang Kontributor Versi Online : Anonim : Ismail Barkah, 7 November 2002 : Situs Indo-Marxist--Situs Kaum Marxist Indonesia!, November 2002

I. Produksi Barang-Barang Kebutuhan Adalah Basis Dari Kehidupan Sosial


Kita harus memulainya dari pemahaman yang sangat mendasar. Bahwa untuk mempertahankan dan melanjutkan hidupnya, manusia harus dapat mencukupi kebutuhan utamanya yaitu: makanan, pakaian dan tempat tinggal. Oleh karena itu manusia harus memproduksi semua kebutuhan-kebutuhannya.[1][1] Dalam proses produksi inilah, manusia menggunakan dan mengembangkan alat-alat produksi (alat alat kerja dan obyek kerja) disamping tenaga kerjanya sendiri. Dari mulai tangan, kapak, palu, lembing, palu, cangkul hingga komputer serta mesinmesin modern seperti sekarang ini. Alat-alat produksi (ada teknologi didalamnya) dan tenaga kerja manusia (ada pengalaman, ilmu pengetahuan didalamnya) tidak pernah bersifat surut melainkan terus maju disebut sebagai Tenaga produktif masyarakat yaitu kekuatan yang mendorong perkembangan masyarakat.

II. Hubungan Produksi, Tenaga Produktif dan Cara Produksi


Dalam suatu aktivitas proses produksi guna memenuhi kebutuhannya manusia berhubungan dengan manusia lain. Karena Proses produksi selalu merupakan hasil saling hubungan antar manusia, maka sifat dari produksi juga selalu bersifat sosial. Saling hubungan antar manusia dalam suatu proses produksi ini disebut sebagai hubungan sosial produksi. Dari kegiatan produksi ini kemudian muncul kegiatan berikutnya yaitu distribusi dan pertukaran barang. Hubungan sosial produksi dalam sebauh masyarakat bisa bersifat kerja sama atau bersifat penghisapan. Hal ini tergantung siapakah yang memiliki atau menguasai seluruh alat-alat produksi (alat-alat kerja dan obyek kerja). Hubungan sosial produksi dan tenaga produktif (alat-alat produksi dan tenaga kerja) inilah kemudian membentuk suatu cara produksi dalam suatu masyarakat. Misalnya cara produksi komunal primitif, perbudakan, feodalisme, kapitalisme dan sosialisme. Perubahan yang terjadi dari suatu cara produksi tertentu ke cara produksi yang lain terjadi akibat berkembangnya tenaga produktif dalam suatu masyarakat yang akhirnya mendorong hubungan produksi lama tidak dapat dipertahankan lagi dan menuntut adanya hubungan produksi baru. Inilah hukum dasar sejarah masyarakat dan merupakan sumber utama dari semua perubahan sosial yang ada.

III. Kelas-Kelas Dalam Masyarakat


Berdasarkan Posisi dan hubungannya dengan alat-alat produksi inilah masyarakat kemudian terbagi kedalam kelompok-kelompok yang disebut kelas-kelas. Misalnya Dalam suatu masyarakat berkelas selalu terdapat dua kelas utama yang berbeda yang saling bertentangan berdasarkan posisi dan hubungan mereka dengan alat-alat produksi. Tetapi, tidak semua cara produksi masyarakat terdapat pembagian kelas-kelas. Dalam sejarah umat manusia terdapat suatu masa dimana belum terdapat pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas. Misalnya dalam cara produksi komunal primitif, alat-alat produksi dimiliki secara bersama (atau alat produksi adalah milik sosial). Posisi dan hubungan mereka atas alat-alat produksi adalah sama. Semua orang bekerja dan hasil produksinya dibagi secara adil diantara mereka. Karena alat produksi masih primitif hasil produksinya pun belum berlebihan diatas dari yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga tidak ada basis/alasan orang/kelompok untuk menguasai hasil kerja orang

lain. Oleh karena itu tidak ada pembagian kelas-kelas dalam masa ini. Yang ada hanyalah pembagian kerja, ada yang berburu, bercocok tanam dan lain-lain. Masyarakat berkelas muncul pertama kali ketika kekuatan-kekuatan produksi (alat-alat kerja dan tenaga kerja) berkembang hingga menghasilkan produksi berlebih. Kelebihan produksi inilah yang pertama kali menjadi awal untuk kelompok lain untuk mengambil kelebihan produksi yang ada. Dalam setiap masyarakat berkelas yang ada selalu didapati adanya pengambilan/perampasan atas hasil produksi. Perampasan atas hasil produksi inilah yang kemudian sering dinamakan dengan penghisapan. Lain halnya dalam cara produksi setelah komunal primitif yaitu perbudakan, yang menghasilkan dua kelas utama yaitu budak dan pemilik budak. Dalam masa perbudakan alat-alat produksi beserta budaknya sekaligus dikuasai oleh pemilik budak. Budaklah yang bekerja menghasilkan produksi. Hasil produksi seluruhnya dikuasai oleh pemilik budak. Budak sama artinya dengan sapi, kerbau atau kuda. Pemilik budak cukup hanya memberi makan budaknya. Sementara dalam masa feodalisme (berasal dari kata feodum yang berarti tanah) dimana terdapat dua kelas utama yaitu tuan feodal (bangsawan pemilik tanah) dengan kaum tani hamba atau petani yang pembayar upeti. Produksi utama yang dihasilkan didapatkan dari mengolah tanah. Tanah beserta alat-alat kerjanya dikuasai oleh tuan feodal atau bangsawan pemilik tanah. Kaum Tani hambalah yang mengerjakan proses produksi. Ia harus menyerahkan (memberikan upeti) sebagian besar dari hasil produksinya kepada tuan feodal atau para bangsawan pemilik tanah. Begitu pula halnya dalam sistem kapitalisme yang menghasilkan dua kelas utama yaitu kelas kapitalis dan kelas buruh. Proses kegiatan produksi utamanya adalah ditujukan bukan untuk sesuai dengan kebutuhan manusia, melainkan untuk menghasilkan barangbarang dagangan untuk dijual ke pasar, untuk mendapatkan keuntungan yang menjadi milik kapitalis. Keuntungan yang didapat ini kemudian dipergunakan untuk melipatgandakan modalnya. Keuntungan yang didapatkan dari hasil kerja buruh ini, dirampas dan menjadi milik kapitalis. Buruh berbeda dengan budak atau tani hamba. Buruh, adalah manusia bebas. Ia bukan miliknya kapitalis. Tetapi 7 jam kerja sehari atau lebih dalam hidupnya menjadi milik kapitalis yang membeli tenaga kerjanya. Buruh juga bebas menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis manapun dan kapanpun ia mau. Ia dapat keluar dari kapitalis yang satu ke kapitalis yang lain. Tetapi akibat sumber satu-satunya agar ia dapat hidup hanya menjual tenaga kerjanya untuk upah, maka ia tidak dapat pergi meninggalkan seluruh kelas kapitalis. Artinya buruh diikat, dibelenggu, diperbudak oleh seluruh kapitalis, oleh sistem kekuasaan modal, oleh sistem kapitalisme. Kita akan membahas persoalan lebih detail lagi.

KAPITALISME Kapitalisme, adalah sebuah nama yang diberikan terhadap sistem sosial dimana alat-alat produksi, tanah, pabrik-pabrik dan lain-lain dikuasai oleh segelintir orang yaitu kelas kapitalis (pemilik modal). Jadi kelas ini hidup dari kepemilikannya atas alat-alat produksi. Sementara kelas

lain (buruh) yang tidak menguasai alat produksi, hidup dengan bekerja (menjual tenaga kerjanya) kepada kelas kapitalis untuk mendapatkan upah. Kepemilikan alat-alat produksi kemudian dipergunakan untuk menghasilkan barang-barang untuk dijual ke pasaran untuk mendapatkan untung. Keuntungan ini kemudian dipergunakan kembali untuk menambah modal mereka untuk produksi barang kembali, jual kepasar, dapat untung. Begitu seterusnya. Inilah yang kemudian sering dikatakan bahwa tujuan dari kapitalis adalah untuk mengakumulasi kapital (modal) secara terus menerus. Pengusaha yang pandai adalah seorang yang membayar sekecil mungkin terhadap apa yang dibelinya dan menerima sebanyak mungkin terhadap apa yang dijualnya. Tahap awal menuju keuntungan yang tinggi adalah menurunkan biaya-biaya produksi. Salah satu biaya produksi adalah upah buruh. Oleh karena itulah kepentingan pengusaha untuk membayar upah serendah mungkin. Selain itu pengusaha juga berkepentingan untuk mendapatkan hasil kerja buruhnya sebanyak mungkin. Kepentingan dari para pemilik modal ini bertentangan dengan kepentingan orang-orang yang bekerja (buruh) kepada mereka. Kelas buruh berkepentingan terhadap meningkatnya upah, meningkatnya kesejahteraannya. Kedua kelas ini bertindak sebagaimana kepentingan (keharusan) yang ada pada mereka. Masing-masing hanya dapat berhasil dengan mengorbankan yang lain. Itulah mengapa, dalam masyarakat kapitalis, selalu ada pertentangan antara dua kelas tersebut.

I. NILAI LEBIH Kelas buruh yang tidak memiliki alat produksi harus menjual tenaga kerjanya untuk mendapatkan upah untuk membeli sejumlah barang untuk kebutuhan hidupnya. Tetapi apakah upah itu? Bagaimana upah itu ditentukan? Upah adalah jumlah uang yang dibayar oleh kapitalis untuk waktu kerja tertentu. Yang dibeli kapitalis dari buruh adalah bukan kerjanya melainkan tenaga kerjanya. Setelah ia membeli tenaga kerja buruh, ia kemudian menyuruh kaum buruh untuk selama waktu yang ditentukan, misalnya untuk kerja 7 jam sehari, 40 jam seminggu atau 26 hari dalam sebulan (bagi buruh bulanan). Tetapi bagaimana kapitalis atau (pemerintah dalam masyarakat kapitalis) menentukan upah buruhnya sebesar 591.000 perbulan (di DKI misalny) atau 20 ribu per hari (untuk 7 jam kerja misalnya)? Jawabanya karena tenaga kerjanya adalah barang dagangan yang sama nilainya dengan barang dagangan lain. Yaitu ditentukan oleh jumlah kebutuhan sosial untuk memproduksikannya (cukup agar buruh tetap punya tenaga untuk bisa terus bekerja). Yaitu kebutuhan hidupnya yang penting yaitu kebutuhan pangan (Misalnya 3 kali makan), sandang (membeli pakaian, sepatu dll) dan papan (biaya tempat tinggal) termasuk juga untuk untuk menghidupi keluarganya. Dengan kata lain cukup untuk bertahan hidup, dan sanggup membesarkan anak-anak untuk menggantikannya saat ia terlalu tua untuk bekerja, atau mati. Lihat misalnya konsep upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah. Jadi upah yang dibayarkan oleh kapitalis bukanlah berdasarkan berapa besar jumlah barang dan keuntungan yang diperoleh kapitalis. Misalnya saja sebuah perusahan besar (yang telah memperdagangkan sahamnyadi pasar saham) sering mengumumkan keuntungan perusahaan selama setahun untung berapa ratus milyar. Tetapi dari manakah keuntungan ini di dapat? Jelas keuntungan yang didapat dari hasil kegiatan produksinya. Tetapi yang mengerjakan produksi bukanlah pemilik modal melainkan para buruh yang bekerja di perusahaannya lah yang menghasilkan produksi ini. Yang merubah kapas menjadi banang, merubah benang menjadi kain, merubah kain menjadi pakaian dan semua contoh kegiatan produksi atau jasa lainnya. Kerja kaum buruh lah yang menciptakan nilai baru dari barang-barang sebelumnya. Contoh sederhana misalnya. Seorang buruh di pabrik garmen dibayar 20.000 untuk kerja selama 8 jam sehari. Dalam 8 jam kerja ia bisa menghasilkan 10 potong pakaian dari kain 30 meter. Harga kain sebelum menjadi pakaian permeternya adalah 5000 atau 150.000 untuk 30 meter kain. Sementara untuk biaya benang dan biaya-biaya produksi lainnya (misalnya listrik, keausan

mesin dan alat-alat kerja lain) dihitung oleh pengusaha sebesar 50.000 seharinya. Total biaya produksi adalah 20.000 (untuk upah buruh) + 150.000 (untuk kain) + 50.000 (biaya produksi lainnya) sebesar 220.000. Tetapi pengusaha dapat menjual harga satu kainnya sebesar 50.000 untuk satu potong pakian atau 500.000 untuk 10 potong pakaian di pasaran. Oleh karena itu kemudian ia mendapatkan keuntungan sebesar 500.000 220.000 = 280.000. Jadi kerja 8 jam kerja seorang buruh garmen tadi telah menciptakan nilai baru sebesar sebesar 240.000. Tetapi ia hanya dibayar sebesar 20.000. Sementara 220.000 menjadi milik pengusaha. Inilah yang disebut nilai lebih. Padahal bila ia dibayar 20.000, ia seharusnya cukup bekerja selama kurang dari 1 jam dan dapat pulang ke kontrakannya. Tetapi tidak, ia tetap harus bekerja selama 8 jam karena ia telah disewa oleh pengusaha untuk bekerja selama 8 jam. Jadi buruh pabrik garmen tadi bekerja kurang dari satu jam untuk dirinya (untuk menghasilkan nilai 20.000 yang ia dapatkan) dan selebihnya ia bekerja selama 7 jam lebih untuk pengusaha (220.000). II. Akumulasi Kapital Dan Krisis Kapitalisme Seperti yang di jelaskan sebelumnya bahwa kapitalisme hidup pertama dari kepemilikan mereka atas alat-alat produksi yang seharusnya menjadi milik sosial (lihat sejarah masyarakat bahwa pada awalnya alat-alat produksi ini adalah milik bersama/sosial). Kepemilikan alat-alat produksi ini dipergunakan untuk menghasilkan barang-barang yang dijual ke pasaran untuk mendapatkan untung. Keuntungan ini kemudian dipergunakan kembali untuk menambah modal mereka untuk produksi barang kembali, jual kepasar, dapat untung. Begitu seterusnya. Inilah yang kemudian sering dikatakan bahwa tujuan dari kapitalis adalah untuk mengakumulasi kapital (modal) secara terus menerus. Sederhananya, kapital menuntut kapitalis untuk terus mengakumulasi modal, untuk menjadi kaya, kaya sekaya-kayanya untuk semakin kaya lagi, dan tidak ada kata cukup untuk menambah kekayaan. Ini semua bukanlah persoalan kapitalisnya serakah atau rakus atau karena kapitalisnya adalah orang yang tidak taat agama, orang Cina, Amerika, Jepang, Korea, Arab dll. Semua kapitalis adalah sama. Karena memang tuntutan ini bukan karena ada watakwatak serakah dari individu-individu kapitalis. Melainkan tuntutan dari cara kerja sistem kapitalisme menuntut setiap kapitalis untuk menjadi demikian. Penjelasannya seperti di bawah ini. Misal bahwa harga ditentukan oleh komposisi permintaan dan penawaran. Adanya permintaan yang besar terhadap suatu barang, sementara penawaran (persedian) yang ada lebih kecil dari permintaan pasar menyebabkan harga suatu barang barang dagangan meningkat. Kejadian ini menyebabkan kapital akan bergerak ke keadaan dimana permintaan meningkat, yang menyebabkan kapital berkembang. Ketika harga suatu barang dagangan tinggi akibat permintaan lebih besar daripada barang yang tersedia di pasar, maka untuk memperbesar keuntungan maka si kapitalis meningkatkan jumlah barang dagangannya. Ini dilakukan dengan cara meningkatkan/menambah jumlah mesin yang ia miliki, menambah jumlah buruh, melakukan pembagian tugas/kerja yang lebih canggih (lebih kecil), melakukan percepatan, dan meningkatkan efisiensi dalam pabrik. Tetapi mesin-mesin juga menciptakan kelebihan populasi pekerja, mereka juga mengubah watak buruh. Buruh-buruh trampil menjadi tidak berguna ketrampilannya karena ketrampilannya telah diganti oleh mesin. Lihat misalnya para sarjana yang kerja di perbankan, atau di perusahaanperusahaan lainnya, mereka yang telatih menggunakan komputer, memiliki kemampuan akutansi, memiliki bermacam keahlian. Semua ketrampilan dan keahlian ini menjadi tidak berguna. Karena dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terjadi proses mekanisasi kerja. Kerjanya kini hanya memasukkan data-data setiap harinya. Terus berulang-ulang. Dengan penggantian mesin, anak-anak juga dapat dipekerjakan. Penambahan mesin-mesin baru yang lebih modern/canggih (ingat sifat dari teknologi yang terus berkembang) memungkinkan seorang buruh dapat memproduksi sebanyak tiga kali lipat, sepuluh kali lipat, tujuh belas, atau puluhan kali lipat dari sebelumnya. Dengan cara ini, maka hasil produksi dapat jauh lebih besar. Harga biaya produksi bisa lebih diperkecil. Tetapi semua tindakan kapitalis diatas tidak saja dilakukan oleh satu kapitalis saja melainkan

kapitalis yang lain juga melakukan tindakan yang sama. Masing-masing berlomba untuk dapat menguasai pasar, bahkan dengan menurunkan harga barang dagangan tadi (walaupun harganya tetap diatas biaya produksi). Persaingan ini terus terjadi. Dimana disatu titik akan menyebabkan beberapa kapitalis yang kalah dalam persaiangan ini terpaksa kalah, bangkrut atau pindah ke usaha lain yang berkembang. Kapitalis-kapitalis yang modalnya lebih besar memenangkan pertarungan ini. Sejak satu abad yang lalu, dengan mesin-mesin baru yang lebih canggih (hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi) kemampuan produksi kapitalisme telah dapat memenuhi jumlah dari permintaan yang ada, bahkan telah jauh diatasnya. Hingga akhirnya produksi barang jauh lebih besar dibanding dengan kemampuan pasar untuk membeli barang-barang ini. Akhirnya si kapitalis kini bukan saja harus memikirkan bagaimana mendapatkan untung dari penjualan barang produksinya melainkan juga bagaimana dapat menjual barang dagangannya yang berlimpah (diatas permintaan pasar) yang juga harus bersaing dengan kapitalis lain, menyebabkan kebangkrutan dari beberapa kapitalis. Kebangkrutan jelas juga membawa akibat terphknya buruh di perusahaan yang kalah bersaing ini. Rakyat pekerja dilempar ke jalan-jalan menjadi pengangguran. Sementara itu, barang-barang produksi melimpah di pasar, sementara masyarakat tidak memiliki daya beli untuk mengkonsumsi barangbarang ini. Ini juga menyebabkan kebangkrutan kembali dari perusahaan-perusahaan yang ada. Inilah cara kerja kapitalisme, dimana didalam keteraturannya (ketertibannya) terkandung ketidaktertibannya, liar, anarki produksi.

III. NEGARA Klas kapitalis, melalui penghisapannya terhadap klas pekerja, telah mendapatkan kenyamanan, kekayaan dan martabat. Sementara klas buruh justru mendapatkan kemiskinan, dan kesengsaraan. Mengapa kelas yang sebenarnya minoritas dalam jumlah populasi di bumi ini (kapitalis) justru lebih diuntungkan dibandingkan dengan kelas mayoritas penduduk dunia (buruh). Kondisi terus bertahan hingga saat ini karena terdapat sistem kekuasaan sosial ekonomi oleh kelas minoritas yang kaya terhadap mayoritas kelas buruh. Alat untuk mempertahankan penindasan satu kelas terhadap kelas lain adalah negara. Dalam pertentangan kelas kapitalis dan kelas buruh kelas kapitalis menggunakan negara sebagai sebuah senjata yang sangat diperlukan melawan pihak yang tidak memiliki. Kita sering didengungkan oleh kampanye pemerintahan kapitalis bahwa mereka mewakili semua orang, yang kaya dan miskin. Tetapi sebenarnya, sejak masyarakat kapitalis yang didasarkan atas kepemilikan pribadi atas alat produksi serangan apapun terhadap kepemilikan kapitalis akan dihadapi dengan kekerasan dari pemeritnahan kapitalis. Melalui kekuatan tentara, UU, hukum, pengadilan dan penjara negara telah berfungsi menjadi anjing penjaga dari keberlangsungan sistem kepemilikan pribadi yang menguntungkan kelasminoritas. Klas yang berkuasa secara ekonomi yang memiliki alat-alat produksi juga berkuasa secara politik. Sejak negara sebagai alat melalui salah satu klas yang menentukan dan mempertahankan dominasinya/kekuasannya terhadap klas yang lain, kebebasan sejati bagi sebagian besar yang tertindas tak dapat terwujud. Negara terwujud untuk menjalankan keputusan-keputusan dari klas yang mengontrol pemerintah. Dalam masyarakat kapitalis negara menjalankan keputusan-keputusan dari klas kapitalis. Keputusan-keputusn tersebut dipola untuk mempertahankan sistem kapitalis dimana klas pekerja harus bekerja melayani pemilik alat-alat produksi. * MONOPOLI Persaingan, sesuai teori, adalah sesuatu yang baik, Tetapi pemodal menemukan bahwa praktek

tidak sesuai dengan teori. Mereka menemukan bahwa persaingan mengurangi keuntungan sedangkan penggabungan meningkatkan keuntungan. Bila semua kapitalis tertarik pada keuntungan jadi mengapa bersaing? Lebih baik bergabung. Melalui penggabungan modal industri dan keuangan berkemampuan untuk berkembang hingga ke tingkat yang begitu besar dimana dalam beberapa industri saat ini sedikit dari perusahaan, secara nyata, menghasilkan lebih dari setengah jumlah keseluruhan produksi atau mendekati jumlah seluruhnya. Misalnya perusahaan sofware komputer Microsoft atau yang lain (kawan-kawan bisa sebutkan contohnya di Indonesia). Tidak sulit untuk melihat bahwa dengan dominasi yang luas seperti itu, monopoli kapitalis berada di posisi sebagai penentu harga-harga. Dan mereka memang melakukan hal itu. Mereka menetapkannya pada titik dimana mereka dapat membuat keuntungan tertinggi. Mereka menentukannya melalui persetujuan diantara mereka sendiri, atau melalui pengumuman harga perusahaan terkuat dan perusahaan sisanya memainkan peran sebagai pengikut, atau, seperti seringkali terjadi, mereka mengontrol paten dasar dan memberikan surat ijin untuk memproduksi hanya sebatas persetujuan yang telah ditentukan. Monopoli membuat kemungkinan bagi para pemegang monopoli untuk mengerjakan tujuannya membuat keuntungan yang besar. Industri yang bersifat bersaing menghasilkan keuntungan pada saat-saat yang baik dan memperlihatkan defisit di saat-saat buruk. Tetapi bagi industri yang bersifat monopoli, polanya berbeda mereka menghasilkan keuntungan yang besar di saat-saat yang baik, dan beberapa keuntungan di saat buruk.

IMPERIALISME DAN PERANG Pada akhir abad ke 19 dan permulaan abad ke-20, pertukaran komoditi telah menciptakan internasionalisasi hubungan ekonomi dan internasionalisasi kapital, bersamaan dengan peningkatan produksi sekala besar, sehingga kompetisi digantikan dengan monopoli. Dengan kata lain, dalam persaingan bebas, kenaikan produksi berskala luas akan diambil alih oleh monopoli. Ciri dominan bisnis kapitalis adalah perusahaan-perusahaan yang tidak bisa lagi berkompetisi baik di dalam negerinya sendiri maupun ketika berhubungan dengan negeri-negeri lain, berubah menjadi monopoli persekutuan pengusaha, semacam perserikatan pengusaha (trust), membagibagi pasar dunia bagi kepentingan akumulasi kapitalnya masing-masing. Ciri khas penguasa berubah menjadi pemilik kapital keuangan, kekuatan yang secara khas bergerak dan luwes secara khas jalin menjalin baik di dalam negerinya sendiri maupun secara internasional yang menghindari individualitas dan dipisahkan dari proses produksi langsung yang secara khas mudah dikonsentrasikan atau suatu kekuatan yang secara khas memang sudah memiliki langkah panjang di jalanan yang menuju pusat konsentrasi, sehingga tangan beberapa ratus milyuner saja dan jutawan saja bisa menggenggam dunia. Kemampuan produksi sebuah barang telah melampaui jumlah penduduk dalam suatu negeri yang mengkonsumsi barang-barang dagangan ini. Tetapi tuntutan kapitalisme bahwa barang-barang ini harus tetap dijual ke pasar untuk mendapatkan keuntungan. Ini berarti bahwa kaum kapitalis harus menjual barang-barang tersebut keluar negeri. Mereka harus menemukan pasar luar negeri yang akan menyerap kelebihan penjualan pabrik mereka. Inilah kemudian yang menyebabkan terjadinya penjajahan (kolonialisme) dari suatu bangsa atas bangsa lain. Kepentingan untuk melakukan penjajahan ke negeri lain bukan saja untuk menjual barang-barang dagangan mereka, melainkan juga kebutuhan akan persediaan bahan-bahan mentah yang sangat besar bagi kegiatan produksi mereka seperti karet, minyak, timah, tembaga, nikel. Mereka menginginkan untuk mengontrol sendiri sumber-sumber bahan-bahan mentah yang penting tersebut. Kedua faktor inilah yang kemudian menimbulkan imperialisme, membangkitkan peperangan antar satu negeri dengan negeri lain. Perebutan pasar di negeri-negeri jajahan akhirnya menimbulkan perang. Semua perang-perang yang terjadi baik perang dunia I, II maupun perang dikomandoi oleh AS saat ini tidak terlepas dari kerangka untuk mendapatkan pasar-pasar baru.

Zaman imperilisme, ditandai oleh kendali setiap oligarki keuangan negeri-negeri kapitalis maju, yang menggunakan kekuasaaan paksaan dan kekerasan terorganisir (mesin-mesin negara yang mereka pimpin) untuk mempertahankan dominasi imperialnya terhadap kehidupan ekonomi dan politik negeri-negeri terbelakang, serta untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dengan mengorbankan kelas pekerja di negerinya sendiri dan negeri-negeri lain.

Kapitalisme Neoliberal Perang dunia II telah berhasil membangkitkan kembali perkembangan modal di negerinegeri dunia I. Perkembangan ini telah memacu ekspansi modal dari negeri-negeri imperialis dunia pertama bergerak ke negeri-negeri miskin di dunia III. Sejak tahun 1960-an munculnya perusahaan-perusahaan transnasional dunia I di negeri-negeri dunia III terjadi cukup masif. Namun tuntutan perluasan pasar atas tuntutan dari perkembangan modal di negeri-negeri dunia I dirasakan dihambat akibat sejumlah proteksi dari negara-negara dunia III. Oleh karena itu kemudian pemerintah negara-negara imperialis yang tergabung dalam kelompok G7 melihat kebutuhan untuk melakukan sejumlah reformasi strukturural di negara-negara dunia III. Dalam pertemuan tahunan mereka pada tahun 1976 dihasilkan sebuah kesepkatan untuk melakukan reformasi neoliberal yang pada intinya berisi: pencabutan berbagai subsidi negara, kemudahan masuknya investasi asing, privatisasi, liberalisasi perdagangan. Kekuasaan negara-negara imperialis dalam mengontrol lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia ia telah berhasil mendorong kebijakan neoliberal ini untuk menjadi kebijakan global di seluruh negeri. Lembaga-lembaga keuangan interanasional ini berfungsi tidak lebih sebagai agen pemerintaha negeri-negeri imperialis untuk menjalankan kebijakan ekonomi neoliberal. Ekspor modal melalui hutang luar negeri dari IMF dan Bank dunia menjadi senjata untuk menekan pemerintah negeri-negeri dunia III untuk menjalakan kapitalisme neoliberal. Walaupun demikian kebijakan ekonomi neoliberal telah terbukti gagal dipraktekkan di sejumlah negara. Paket reformasi neoliberal telah menyebabkan negara miskin dunia ketiga menjadi lebih miskin lagi. Kaum kapitalis bersama pemerintahan negeri-negeri imperialis mencoba mempertahankan kebijakan ini dengan cara memunculkan sebuah propaganda (ideologi) tentang globalisasi. Dalam pandangan ini, perkembangan ekonomi telah menjadi global. Aturan-aturan sebuah negara tidak lagi relevan dalam situasi perekonomian dunia saat ini. Oleh karena itu globalisasi dunia dalam makna globalisasi neoliberal tidak dapat dilawan oleh siapapun karena merupakan tuntutan dari perkembangan ekonomi dunia. Kenyataannya justru menunjukkan berlainan. Misalnya saja arus investasi dan jumlah barang dunia justru terkonsentrasi di negeri-negeri imperialis. Yang menjadi kenyataan dalam kebijakan ekonomi neoliberal saat ini adalah GLOBALISASI KEMISKINAN dan krisis global sistem kapitalisme.

Kapitalisme telah terbukti tidak mampu mensejahterahkan rakyat pekerja, dan rakyat miskin bukan saja di negeri-negeri miskin dunia III melainkan juga kini di negri-negeri dunia I. Tingkat kesejahteraan rakyat pekerja di negeri-negeri dunia I telah merosot. Wajar kemudian bila kemudian mulai bangkitnya perlawanan baik dari kaum buruh, pemuda, mahasiswa, perempuan, aktivitis lingkungan menentang keberadaan kapitalisme. Begitu pula halnya di negeri-negeri miskin dunia III, mulai menyadari bahwa perjuangan kaum buruh tidak dapat dilakukan hanya sebatas perjuangan menuntut perbaikan upah semata tanpa menghapuskan akar dari penghisapand dan kemiskinan serta ketidakadilan yaitu sistem kapitalisme. Perjuangan harus ditujukan untuk melakukan perjuangan politik yaitu untuk demokrasi rakyat miskin dan perjuangan untuk sebuah sistem masyarakat yang adil yaitu SOSIALISME********

Ilmu ekonomi politik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Belum Diperiksa

Korupsi merupakan salah satu contoh kasus yang dapat dianalisis dengan pendekatan ekonomi politik Ilmu Ekonomi Politik adalah bagian dari ilmu sosial yang berbasis pada dua subdisiplin ilmu, yakni politik dan ekonomi.[1]. Pembelajaran Ilmu Ekonomi Politik merupakan pembelajaran ilmu yang bersifat interdisiplin,yakni terdiri atas gabungan dua disiplin ilmu dan dapat digunakan untuk menganalisis ilmu sosial lainnya dengan isu-isu yang relevan dengan isu ekonomi politik. [1]

Ilmu ini mengkaji dua jenis ilmu yakni ilmu politik dan ilmu ekonomi yang digabungkan menjadi satu kajian ilmu ekonomi politik. [1] Dalam penggunaannya secara tradisional, istilah ekonomi politik dipakai sebagai sinonim atau nama lain dari istilah ilmu ekonomi (Rothschild, 1989). [1] Fokus dari studi ekonomi politik adalah fenomena-fenomena ekonomi secara umum, yang bergulir serta dikaji menjadi lebih spesifik ; yakni menyoroti interaksi antara faktor-faktor ekonomi dan faktorfaktor politik. [1] Namun, dalam perkembangan yang berikutnya, istilah ekonomi politik selalu mengacu pada adanya interaksi antara aspek ekonomi dan aspek politik. [1] Adanya kelemahan instrumental ini menyebabkan banyak kalangan ilmuwan dari kedua belah pihak berusaha untuk mempertemukan titik temunya, sehingga para ilmuwan ini berusaha untuk mencoba mengkaji hal ini dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dalam ekonomi politik.[2] Dalam upaya memaksimalkan studi mengenai ekonomi politik, juga tidak boleh terlepas dari sistem ekonomi di negara yang bersangkutan.[3] Terkait dengan hal tersebut, setidaknya dalam berbagai jenis yang ada, terdapat dua sistem ekonomi besar dunia yang dibagi menjadi dua kategori pokok, yakni sistem ekonomi yang berorentasi pasar (ekonomi liberal)dengan sistem ekonomi terencana atau yang lebih dikenal sebagai sistem ekonomi terpusat (sosialis).[3] Sehingga dalam studi ekonomi politik akan ditemui masalah atau pertanyaan yang sama peliknya mengenai bagaimana faktor-faktor politik itu memengaruhi kondisi-kondisi sosial ekonomi suatu negara. [3]

[sunting] Pendekatan dalam Ekonomi Politik


Pendekatan Pilihan Publik Pilihan publik adalah suatu sikap individu dalam menentukan pilihan mereka secara rasional. [3] Dalam ekonomi politik, analisisnya tertuju pada aktor. [3] Aktor dianggap sebagai pelaku dari kegiatan ekonomi dan politik dan berlandaskan pada asumsi dasar individualisme metodologis, yang menempatkan sikap rasional idividu di dalam institusi non-pasar. [1] Namun karena sifatnya yang longitudinal[4], maka hasil yang dimunculkan oleh model-model pilihan publik berbeda-beda pada satu negara ke negara lainnya. [3] Pendekatan Neo-Marxis Pendekatan neo-marxis dalam ekononomi politik, menekankan pada sifat holistik yakni analisis secara menyeluruh, mengenai pentingnya aspek-aspek ekonomi makro dari sistem ekonomi dan sistem politik. [3]. Selain itu, pendekatan ini memiliki model yang memiliki aspek komparatif, yakni berusaha membandingkan secara eksplisit.[3]. Pendekatan ini juga menyoroti dan memodelkan berbagai perbedaan antar-negara di bidang kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi dan ketergantungan kelas sosial di masyarakat. Politik

ekonomi harus jadi panglima


Oleh: Wimar Witoelar

Di jaman Sukarno politik adalah panglima, jaman Suharto ekonomi menjadi panglima. Keduanya sukses dalam satu hal, gagal dalam hal lain. Akhirnya keduanya jatuh karena hal lain itu. Presiden Sukarno berhasil menggunakan politik untuk memasang dirinya di puncak kekuasaan tanpa batas konstitusi dan membawa Indonesia ke panggung politik internasional yang dikagumi walaupun kurang dihargai. Tapi pemerintahannya sama sekali tidak ada usaha untuk mengurus ekonomi, karena perhatian Sukarno hanya pada gengsi. Akhirnya gengsinya jatuh dengan dipermalukan oleh Jendral Suharto dalam pengambil alihan kekuasaan yang mengabaikan

peran politik pendahulunya. Orde Baru dimulai dengan proklamasi bahwa kita tidak lagi berpolitik, karena panglima kita adalah pembangunan ekonomi. Kita kemudian sadar bahwa ucapan Suharto itu adalah ucapan politis yang paling mencekam, karena orang tidak diizinkan punya pendapat lain yang bisa mengganggu monopoli politik Suharto. Ekonomi adalah panglima, katanya. Tapi dalam kenyataannya, baik Sukarno maupun Suharto sama saja, menjadikan dirinya sebagai panglima, bukan dalam batasan undang-undang dan akal sehat, tapi panglima seluruh kehidupan bangsa, politik-ekonomi-sosialbudaya, bergantian selama dua dan tiga dekade

masing-masing. Jadi, apa yang harusnya menjadi panglima? Jawabnya mudah, yaitu bahwa kita tidak perlu slogan yang membodohkan masyarakat. Negara sebaiknya berjalan menurut konstitusi, sesuai kebutuhan masyarakat dan panggilan sejarah. Tapi kalau masih mau main slogan, boleh kita katakan bahwa panglima kita sekarang harusnya politik ekonomi. Sistem politik yang mempermudah pembangunan ekonomi, dan sistem ekonomi yang menghormati kedaulatan warga dalam seluruh arti politik. Presiden kita tidak bisa memerintah tanpa keseimbangan antara keduanya. Politik

menjaga kepentingan hak azasi warga, ekonomi menjaga harapan warga akan kehidupan yang lebih baik. Contoh tindakan ekonomi yang melupakan pertimbangan politik terlihat justru di negara lain, Amerika Serikat di tahun 2008. Paket bailout yang direncanakan oleh Menteri Keuangan Paulson pada bulan Oktober 2008 ternyata tidak mampu mengatasi krisis ekonomi di AS. Kini Presiden Obama sedang menyiapkan paket yang mungkin mencapai US$ 2 trilyun di tahap pertama, dan mungkin US$ 4 trilyun seluruhnya. Mengapa? Karena paket Paulson hanya menyangkut lembaga keuangan, yang malah semakin parah dengan makin parahnya pengangguran dan sektor riil. Paket Paulson

(pemerintahan George W. Bush) pada Oktober 2008 malah makin memperparah krisis bank, seperti terjadi di Citigroup dan Bank of Amerika yang rugi hebat di akhir 2008. Pengobatan lembaga keuangan tidak mengobati akar persoalan yang ada pada nasabah dan sektor riil. Jadi, Obama menggunakan perspektif 'big picture' menyiapkan paket yang lebih besar. Kemungkinan membuka 'big picture' terjadi karena bulan November 2008 rakyat AS telah memutuskan untuk memilih Barack Obama, yang berarti menyetujui perspektif yang dipakainya. Perdebatan kemudian berlangsung di House for Representatives, membahas

rancangan yang dikembangkan di Senate. Proses politik yang berlangsung untuk mempertajam konsep ekonomi, dan membuatnya matang untuk disepakati. Jika berhasil, konsolidasi masyarakat menjadi produk bersama dengan penyelamatan ekonomi. Pada saat tulisan ini dikirimkan, mungkin sekali Senate sudah menyetujui paket stimulus Obama. Lain halnya proses yang dijalani Indonesia menghadapi krisis ekonomi dunia. Pemerintahan SBY kini telah menyiapkan Rp 71 triliun. Apa bakal ada pengaruhnya mengatasi krisis? Secara ekonomis, ada berbagai pendapat, diantaranya yang menganggap stimulus fiskal tahun 2009 ini tidak

akan berpengaruh signifikan bagi pemulihan ekonomi nasional. Hal itu karena 80% dari paket Rp 71 triliun itu berupa potongan pajak, sehingga dampak berantainya kecil. Padahal paket stimulus yang efektif harus berupa pengeluaran langsung (direct spending) yang punya efek ganda lebih besar. Mungkin lebih signifikan lagi adalah proses mengumpulkan konsensus mengenai stimulus ekonomi 2009. Hampir tidak terdengar ada perdebatan politik mengenai hal ini. Para politisi bicara soal politik, ekonom bicara soal ekonomi. Ada perbedaan. Politisi harus bisa bicara soal ekonomi juga. Sedangkan ekonom tidak perlu bicara politik, kalau ingin fokus

pada penelitian ekonomi. Bisa jadi penyebab gejala ini adalah kesenjangan dalam pendidikan ekonomi dalam pertumbuhan kesadaran orang Indonesia. Sedangkan pendidikan politik bisa terjadi secara alamiah dari pengalaman. Keadaan ini berlarut-larut karena kepemimpinan nasional tidak menerapkan kekuasaan untuk merancang politik ekonomi yang bermanfaat bagi orang banyak. Kepentingan orang banyak dinyatakan dalam slogan populer saja. Jika ada komunikasi publik, isinya lebih pada populisme daripada rasionalisme. Inilah isu utama dalam pemilihan presiden kita di tahun 2009 ini. Bagus sekali kalau kampanye

para calon presiden memberikan bahan bagi penghayatan masalah nasional. Sayang sekali, diantara calon presiden yang sekarang muncul secara tidak resmi, tidak ada yang merasakan pentingnya isu ekonomi sebagai bagian diskursus nasional. Masih ada jalan keluar menghadapi problem demokrasi kita. Jika calon legislatif dan calon eksekutif tidak bicara, diskursus bisa dibangkitkan dari pihak pemilih, baik secara langsung maupun melalui media termasuk blog. Tanpa mengurangi hormat kita kepada acara televisi yang menampilkan caleg dalam acara bincang-bincang dan forum debat, alangkah baiknya bila diskusi politik diberi substansi ekonomi yang jernih.

Tidak perlu dituntut pengetahuan yang mendalam mengenai seluk-beluk kebijaksanaan ekonomi. Tapi perlu diusahakan pengertian dasar atau sekurangnya intuisi terhadap bedanya tsunami finansial dan krisis ekonomi, misalnya. Lalu bicarakan bedanya stimulus ekonomi yang bertitik berat pada lembaga keuangan dengan yang mengarah pada penciptaan pekerjaan dan pendapatan. Tanyakan, apa perbedaan insentif pajak dengan pembukaan pasar? Apa hubungan suku bunga dengan investasi riil, cadangan devisa dengan nilai Rupiah? Paling tidak, buka pengertian mengenai jumlah uang Rp 71 Trilyun dibandingkan dengan

pendapatan nasional Indonesia, US$ 4 Trilyun dibandingkan dengan GDP Amerika Serikat. Selain itu, politisi harus mengerti dan menyampaikan pengertian mengenai tingkat kemajuan Pasar Modal kita dan bagaimana ia memposisikan Indonesia dalam kepekaan terhadap krisis ekonomi dunia. Kampanye Presiden Amerika Serikat 2008 menempatkan dua calon dalam warna politik ekonomi yang jelas terlihat bedanya. Yang satu ingin memberikan insentif pada perusahaan besar, yang satunya lagi ingin mengurangi perlindungan pajak pada lampiran ekonomi atas. Yang satu menginginkan perdagangan bebas, yang satunya lagi menganjurkan proteksi

ekonomi. Yang satu ingin menjaga kebebasan perusahaan publik dari restriksi gaji dan bonus, yang satunya lagi meminta tanggung jawab sosial. Yang satu ingin mengurangi pengeluaran dana pemerintah, yang satunya lagi ingin menciptakan lapangan kerja melalui proyek pembangunan infrastruktur. Pilihan tajam lain ada juga di bidang non-ekonomi seperti kebijaksanaan perang di Irak dan Afghanistan, sikap negara terhadap aborsi, dan paling penting lagi sikap negara terhadap masalah lingkungan dan pemanasan global. Tapi akhirnya yang menentukan pilihan rakyat untuk jabatan presiden di tahun 2008 adalah masalah ekonomi.

Apakah pemilihan presiden 2009 di Indonesia akan mengacu pada masalah ekonomi? Sampai sekarang tidak kelihatan perbedaan kebijaksanaan ekonomi antara SBY, Megawati, Sri Sultan dan calon lainnya. Mungkin ada satu pengecualian yaitu bakal calon Rizal Ramli yang berlatar belakang ilmu ekonomi. Tinggal kita lihat, apakah platform ekonomi calon ini disambut oleh Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga[1]
Sumber: Jurnal Kiri, Volume 3, Oktober 2000 Penerbit: Neuron Versi Online: Situs Indo-Marxist (http://come.to/indomarxist), Januari 2002

Yang mulya,

Para delegasi dan tamu-tamu yang terhormat, Dalam kehidupan manusia, baru sekarang ini lah bisa dicapai potensi ilmu-pengetahuan dan teknologi yang begitu mengagumkan, hingga mencapai kemampuan yang luarbiasa untuk menghasilkan kekayaan, kelimpahan dan kesejahteraan; namun demikian, pada saat yang sama, tak pernah terjadi sebelumnya juga, semakin mempertajam kesenjangan dan ketidakadilan di dunia.

Kehebatan teknologi yang walaupun, dalam hal komunikasi dan jarak, bisa menautkan seluruh planet ini, namun nyatanya semakin memperlebar kesejangan antara yang makmur dengan yang miskin, antara yang maju dengan yang terbelakang. Globalisasi adalah suatu realitas obyektif yang bisa lebih memperjelas fakta bahwa kita sebenarnya merupakan penumpang dalam satu kapal yang sama, yakni, bumi tempat kita hidup. Tapi, para penumpang kapal tersebut mengadakan perjalanannya dengan kondisi-kondisi yang sangat berbeda. Minoritas-kecil mengadakan perjalanan di kabin yang sangat mewah, dilengkapi fasilitas internet, telepon selular, dan memiliki akses ke jaringan-jaringan komunikasi golabal. Mereka bisa menikmati makanan yang bergizi, sehat, dan berlimpah, serta bisa mendapatkan pasokan air bersih. Mereka memperoleh pelayanan atau perawatan kesehatan yang canggih dan bisa menikmati kebudayaan. Sementara, mayoritas-berlimpah yang sengsara mengadakan perjalanan dalam kondisi seperti pada zaman perdagangan budak (yang mengenaskan) dari Afrika ke Amerika di zaman kolonial pada masa yang lalu. Sebagain besar penumpang kapal tersebut, yakni sekitar 85 %, berada dalam kabin yang penuh sesak dan kotor, kelaparan, penyakitan dan tak ada yang menolong. Jelas sekali, bahwa kapal yang sarat dengan ketidakadilan, yang sedang mengarungi jalur irasional dan tak masuk akal mustahil bisa tetap mengapung dan bisa selamat ke pelabuhan yang dituju. Pelayaran seperti itu ditakdirkan akan menabrak gunung es, dan karam. Dan bila itu terjadi, kita semua akan tenggelam bersama kapal karam tersebut. Pimpinan negara dan pimpinan pemerintahan yang hadir di sini, yang mewakili mayoritas-melimpah yang sengsara tersebut, bukan saja berhak tapi juga berkewajiban menyelamatkan mereka dan mengarahkan jalur kapal yang membahayakan tersebut ke arah yang benar. Adalah tugas kita bersama untuk memperoleh tempat yang aman, agar semua penumpang bisa mengadakan perjalanan dalam suasana solidaritas, persamaan dan keadilan. Selama dua dekade terakhir ini, Dunia Ketiga berulang-ulang dicekoki, harus selalu mendengarkan, hanya satu wacana simplistik, yang hanya menghasilkan satu kebijakan. Selalu, kita diceritai bahwa deregulasi pasar, swastanisasi maksimum dan melepaskan campurtangan

negara dalam aktivitas ekonomi merupakan prinsip-prinsip menguntungkan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial. Degan Garis kebijakan seperti itu, negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaanperusahaan transnasional akan lebih diuntungkan dan IMF, yang selama dua dekade terakhir ini telah merancang tatanan ekonomi dunia, sangat menentang kemajuan negeri-negeri kita dan kemampuan kita untuk tetap bertahandalam melidungi masyarakat dan menyelamatkan lingkungan. Globalisasi telah ditautkan, diidentikan, dengan neoliberalisme; dengan demikian, bukan kemajuan atau kesejahteraan yang disebarluaskan secara global tapi kemiskinan; bukan kedaulatan bangsa yang dihargai tapi dominasi; bukan solidaritas di antara rakyat kita tapi sauve qui peut (sebisa-bisanya menyelamatkan diri mereka sendiri) dalam kompetisi tak seimbang di pasar bebas. Dua dekade pelaksanaan apa yang mereka namakan penyesuaian struktural hanya lah mewariskan kegagalan pembangunan ekonomi dan kerusakan sosial. Tugas para politisi yang bertanggung jawab dalam menghadapi persoalan tersebut adalah mengambil keputusan yang sanggup memberikan landasan yang kondusif bagi Dunia Ketiga agar bisa keluar dari lorong yang gelap. Kegagalan pembangunan ekonomi merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Di bawah kebijakankebijakan neoliberalisme, ekonomi Dunia mengalami pertumbuhan global antara tahun 1975 hingga tahun 1988, tidak sampai setengahnya dari pertumbuhan yang dicapai antara tahun 1945 hingga 1975 saat menjalankan kebijakan-kebijakan Keynesian dan negara berpartisipasi aktif dalam kehidupan ekonomi. Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan sebagai lampiran doktrin, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan pada tahap/masa neoliberal tidak lah lebih tinggi ketimbang yang dicapai oleh kebijakan pembangunan (negara) sebelumnya. Setelah PD II, Amerika Latin tak memiliki hutang sama sekali, tapi sekarang berhutang sebesar 1 trilyun dolar. Itu merupakan hutang per kapita tertinggi di dunia. Kesenjangan pendapatan antara si kaya dan si miskin juga yang terbesar di dunia. Saat ini, Amerika Latin, mengalami saat yang paling berat sepanjang sejarahnya karena semakin banyak orang miskin, pengangguran, dan yang kelaparan,. Sebenar-benarnya, di bawah kebijakan neoliberalisme, ekonomi dunia ternyata tidak mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat; tapi, malahan lebih sering tidak stabil, lebih banyak spekulasi, peningkatan hutang luar negeri dan pertukaran/perdagangan yang tak setara. Demikian juga, terdapat kecenderungan lebih besar semakin seringnya terjadi krisis keuangan, sementara kemiskinan, ketidakadilan dan kesenjangan antara negeri-negeri Utara (yang makmur) dengan negeri-negeri Selatan (yang dimiskinkan) malah semakin melebar. Dalam dua tahun terakhir ini, krisis, instabilitas, kekacauan dan ketidakpastian merupakan kalimat yang biasa digunakan untuk menjelaskan tatanan ekonomi dunia. Deregulasiyang melekat dalam neoliberalismedan liberalisasi nilai kapital telah memberikan dampak negatif sangat mendalam terhadap ekonomi dunia karena mengakibatkan ledakan spekulasi mata uang dan pasar-pasar yang terkena dampaknya, yang transaksi hariannya (sebagian besar spekulatif) bernilai tidak kurang dari 3 trilyun dolar.

Negeri kita diharuskan lebih transparan dalam memberikan informasinya dan lebih efektif dalam pengawasan bank, sedangkan lembaga-lembaga keuangan seperti penyandang dana, yang tak memberikan informasi tentang kegiatan-kegiatannya, benar-benar, absolut, tak bisa dibatasi aturan dan malahan mengatur semua kegiatankegiatan yang dibiayai oleh cadangan devisa yang tersimpan di bank-bank negeri-negeri Selatan.

Dalam atmosfir spekulasi yang tak terbatas, gerakan-gerakan kapital jangka-pendek akan menyebabkan negeri-negeri-negeri Selatan rentan terhadap ketidakpastian yang datang dari luar. Dunia Ketiga dipaksa menghentikan mobilisasi sumber keuangannya sendiri agar cadangan devisanya merupakan hutang luar negeri yang, katanya, dapat digunakan untuk mempertahankan serangan dari para spekulator. Dalam beberapa tahun terakhir ini, lebih 20 % dari pendapatan kapital yang diperoleh dihentikan mobilisasinya, dijadikan sekadar cadangan devisa, namun tak juga cukup untuk menahan serangan para spekulatorterbukti bila dilihat dari krisis finansial yang terjadi di Asia Tenggara. Sekarang ini, sejumlah 727 milyar dolar yang berasal dari bank-bank pusat cadangan devisa dunia tersimpan di Amerika Serikat. Hal tersebut akan mengarah pada paradok: negeri-negeri miskin, dengan cadangan devisanya, akan menawarkan pinjaman jangka-panjang yang murah untuk membiayai negerinegeri makmur dan paling berkuasa di dunia, padahal cadangan tersebut sebenarnya bisa (lebih baik) digunakan untuk membiayai pembangunan ekonomi dan sosial mereka. Alasan mengapa Kuba bisa berhasil menjalankan program-program pendidikannya, pelayanan kesehatannya, kebudayaannya, ilmu-pengetahuannya, olah raganya dan program-program lainnya yang tak seorang pun di dunia ini menyangsikannya, walau diblokade secara ekonomi dalam empat dekadedan, dalam lima tahun terakhir ini, kami berhasil meningkatkan nilai mata uang kami (terhadap dolar) sebanyak tujuh kali, itu karena posisi terhormat kami sebagai bukan anggota IMF terima kasih atas perlakuan tersebut. Sistim finansial yang secara paksa menahan mobilisasi sumber keuangan yang begitu besaryang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh negeri-negeri Dunia Ketiga untuk melindungi dirinya dari instabilitas yang disebabkan oleh sistim yang diarahkan agar si miskin membiayai si kayaharus dienyahkan. IMF merupakan simbul organisasi sistem moneter yang ada sekarang, dan Amerika Serikat memiliki hak veto terhadap segala keputusannya.
Sepanjang berbicara mengenai krisis keuangan yang baru saja terjadi, IMF menunjukkan kelemahannya dalam memprediksi dan tak memiliki kemampuan untuk menangani situasi tersebut. IMF mendesakkan aturanaturan pengkondisian yang melumpuhkan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial pemerintah, sehingga menciptakan ancaman domestik yang serius dan menghambat akses terhadap sumberdaya-sumberdaya penting ketika sangat dibutuhkan.

Sudah saatnya Dunia Ketiga menuntut dengan keras agar lembaga tersebutyang tak bisa memberikan jaminan stabilitas bagi ekonomi Dunia Ketiga, yang juga tak bisa memasok dana pada negeri-negeri

debitor agar bisa mengatasi krisis likuiditasnyadibubarkan; lembaga tersebut hanya lah diarahkan untuk melindungi dan menyelamatkan negeri-negeri kreditor. Dimana kah letak kerasionalan dan etika tatanan moneter internasional bila hanya memberikan kesempatan pada para teknokratyang posisinya tergantung pada dukungan Amerika Serikatuntuk merancang program-program penyesuaian ekonomi, yang identik dengan Washington, guna diterapkan di berbagai negeri demi mengatasi problem-problem khusus Dunia Ketiga? Siapakah yang harus bertanggung jawab bila program-program penyesuaian tersebut menimbulkan kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan medestabilisasi bangsa-bangsa yang memiliki sumberdaya alam dan manusia yang besar seperti terjadi di Indonesia dan Ekuador? Ini lah saat yang penting bagi Dunia Ketiga untuk bekerja membubarkan lembaga yang jahat tersebut, dan selain itu juga melenyapkan dasar filsafatnya yang masih bertahan, menggantikannya dengan badan pengatur keuangan internasional yang akan beroperasi di landasan demokratik dan tak seorang pun punya hak veto. Suatu Lembaga yang tak akan sekadar membela kepentingan para kreditor kaya dan tak akan memaksakan kondisi-kondisi penuh campur tangan, akan tetapi mengizinkan aturanaturan dalam pasar finasial sehingga bisa menahan spekulasi yang tak terkendali. Cara yang tepat dalam menjalankannya adalah dengan mengenakan pajak yang tidak cuma 0,1% seperti yang dianjurkan oleh si cerdas Tuan Tobintapi sebesar minimal sebesar 1 %, yang tak disangsikan lagi bisa mengumpulkan dana yang sedemikian besarnyamelebih nilai normal, yakni sebesar 1 trilyun dolar setiap tahunnyaguna mengembangkan pembangunan Dunia Ketiga yang nyata, berkelanjutan dan konprehensif. Hutang luar negeri bangsa-bangsa berkembang sangat lah mencengangkan, tidak saja karena hutang tersebut begitu besarnya tapi juga karena mekanismenya yang kejimendominasi dan mengeksploitasi serta formula yang ditawarkan negeri-negeri maju untuk mengatasinya tak masuk akal, absur. Hutang luar negeri bangsa-bangsa berkembang jumlahnya sudah tak normal lagi, telah mencapai 2,5 trilyun dolar dan, dekade sekarang ini, lebih membahayakan ketimbang pada tahun 1970-an. Sebagian besar Hutang baru tersebut dengan mudahnya bisa berpindah tangan di pasar sekunder dan; kini, hutang tersebut lebih berserakan dan lebih sulit untuk dijadwalkan kembali. Sekali lagi aku harus mengulangi apa yang telah kami katakan sejak tahun 1985: hutang tersebut sebenarnya sudah bisa kita bayar jika nilai tukarnya dolarnya sama dengan nilai kontraknya, tak terganggu oleh perubahan dan kenaikan serampangan nilai mata uang dolar dalam beberapa dekade yang lalu, dan tak terganggu oleh penurunan harga komoditi pokoksumber pendapatan utama bagi negeri-negeri berkembang. Hutang terus menerus digunakan untuk membayar hutang (to feed on itself), dalam lingkaran setan gali lubang tutup lubang, hutang digunakan untuk membayar bunga hutang. Sekarang, jadi lebih jelas dari sebelumnya, bahwa hutang bukan sekadar issue ekonomi tapi juga issue politik, karenanya, harus diselesaikan secara politik. Tak mungkin terus menerus memanipulasi fakta bahwa jalan keluar bagi problem tersebut harus secara mendasar diatasi oleh negeri-negeri yang seolaholah memiliki sumberdaya dan kekuatan, yakni, negeri-negeri makmur. Apa yang disebut sebagai Inisiatif Pengurangan Hutang Negeri-negeri Miskin yang Terbelit Hutang hanya lah gagah namanya saja tapi jelek hasilnya. Tak lain dan tak bukan: upaya goblok yang cuma mengurangi 8,3% total hutang negeri-negeri Selatan; tapi, selama hampir empat tahun setelah pelaksanaan program tersebut hanya empat negeri sajadi antara 33 negeri termiskinyang sanggup melewati proses yang rumit untuk mengurangi hutangnya sekadar sebesar 2, 7 milyar dolar, atau hanya sebesar 33 % dari pembelanjaan Amerika Serikat yang digunakan untuk mempermanis citra dirinya.

Sekarang ini, hutang eksternal merupakan salah satu hambatan terbesar dalam pembangunan dan merupakan bom yang, pada saat krisis ekonomi, setiap saat bisa meledakkan fondasi ekonomi dunia. Sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengatasi akar persoalan tersebut tidak lah besar jika dibandingkan dengan kesejahteraan dan biaya-biaya yang dinikmati dan dikeluarkan oleh negeri kreditor. Setiap tahunnya dibutuhkan dana sebesar 800 milyar dollar untuk membiayai persenjataan dan tentara, bahkan melebih jumlah pendanaan Perang Dingin dan, sementara itu, tak kurang dari 400 milyar dolar digunakan untuk membeli narkotik serta tambahan 1 milyar milyar lagi digunakan untuk mendanai publikasi komersilyang tak beda fungsinya seperti narkotik, tidak produktif, teralineasi dari nilai-guna komoditi; itu baru menyebut tiga contoh saja. Seperti yang telah kami katakan sebelumnya, secara jujur dan realistik harus diakui bahwa hutang eksternal negeri-negeri Dunia Ketiga sudah tak bisa dibayar dan tak bisa dipungut kembali. Di tangan negeri-negeri kaya, perdagangan dunia dijadikan sebagai alat dominasi yang, di bawah globalisasi neoliberal, akan menjadi elemen yang semakin berguna untuk melanjutkan dan mempertajam ketidakadilan, serta juga merupakan teater yang mewadahi perselisihan sengit di kalangan negeri-negeri maju saat berebutan hendak menguasai pasar yang ada sekarang dan pasar di kemudian hari. Wacana neoliberal menyarankan bahwa liberalisasi komersial merupakan cara terbaik dan formula satu-satunya bagi efesiensi dan pembangunan. Menurut wacana tersebut, seluruh bangsa harus menghapuskan segala instrumen proteksi terhadap pasar domestiknya tak perduli sebesar apapun perbedaan derajat pembangunan mereka, merupakan jalan keluarsatu-satunya jalan keluaryang ditawarkan, yang tak boleh dibatasi oleh keabsyahan perbedaan apapun, walaupun tak bisa menawarkan kemungkinan jalan keluar lainnya. Setelah melalui perdebatan sengit dalam sidang WTO, negeri-negeri termiskin hanya diberikan perbedaan jedah-waktu sedikit saja untuk sepenuhnya bisa memahami sistem yang jahat tersebut. Sementara neoliberalism terus menerus mengulang-ulang wacananyakarena memperoleh kesempatan menguntungkan dengan adanya perdagangan bebasparisipasi negeri-negeri terbelakang dalam dunia ekspor, pada tahun 1998, mengalami penurunan ketimbang pada tahun 1953, atau, 45 tahun yang lalu. Dengan luas area 8, 5 juta kilometer persegi, dengan jumlah penduduk sebanyak 168 juta orang, dan dengan nilai ekspor sebesar 51, 1 milyar dolar selama tahun 1998, nilai ekspor Brazil lebih kecil ketimbang nilai ekspor Belanda pada tahun yang sama, 198, 7 milyar dolarpadahal luas wilayahnya hanya sebesar 41.803 kilometer persegi, dan jumlah penduduknya hanya sebanyak 15, 7 juta orang. Pada intinya, liberalisasi perdagangan berisi instrumen-instrumen untuk, secara sepihak, menghapuskan proteksi oleh negeri-negeri Selatan. Sementara, di sisi lain, bangsa-bangsa maju tidak melakukan hal yang sama: mempersulit ekspor Dunia Ketiga ke pasar-pasar mereka. Bangsa-bangsa maju telah mendorong terjadinya liberalisasi dalam sektor-sektor strategis terutama yang bertalian dengan teknologi maju sehingga, dengan semakin bebasnya pasar, mereka bisa menikmati keuntungan yang sedemikian besar. Lihat saja kasus-kasus klasik: sektor jasa, teknologi informasi, bioteknologi dan telekomunikasi telah lama dideregulasikan. Di sisi lain, sektor pertanian dan tekstildua sektor khusus yang sangat penting bagi negeri kita

masih belum sanggup menghapuskan pembatasan-pembatasan tersebut dalam pertemuan Uruguay Round karena sektor-sektor tersebut tidak menjadi kepentingan negeri-negeri maju. Dalam (kebijaksanaan) OECDklub negeri-negeri kayarata-rata tarif yang diterapkan pada ekspor barang-barang manufaktur dari negeri-negeri berkembang empat kali lebih tinggi ketimbang yang diterapkan pada ekspor negeri-negeri anggota OECD. Jadi, tembok-nyata hambatan non-tarif terletak di negeri-negeri Selatan itu sendiri. Sementara itu, dalam perdagangan internasional, wacana hipokrit ultra-liberal memperoleh pembenarannya karena sesuai dengan proteksionisme selektif yang diterapkan oleh negeri-negeri Utara.
Komoditi-komoditi pokok masih merupakan rantai yang paling lemah dalam perdagangan dunia. Dalam kasus yang terjadi di 67 negeri-negeri Selatan, komoditi-komoditi tersebut nilainya belum sampai 50% dari nilai total pendapatan eskpor mereka.

Gelombang neoliberal telah melibas skema-skema pertahanan-diri yang sebenarnya terdapat pada komoditi-komoditi pokok. Diktum tertinggi ruang-pasar tidak bisa mentelorir distorsi apapun, karenanya, Kesepakatan Komoditi-komoditi Pokok dan formula pertahanan-diri lainnyayang sebenarnya dirancang untuk menghadapi pertukaran yang tidak adildilanggar atau diabaikan begitu saja. Itu lah alasan mengapa sekarang daya beli komoditi-komoditi tersebut, seperti gula, coklat, kopi, dan lain-lainnya, hanya bernilai 20% dibandingkan dengan nilai pada tahun 1960; konsekuensinya, negeri-negeri tersebut tak bisa lagi menutup (bahkan) biaya-biaya produksinya. Perlakuan istimewa dan perlakuan berbeda terhadap negeri-negeri miskin diberikan bukan atas dasar pertimbangan (tindakan mendasar) keadilan dan merupakan suatu keharusan yang tak boleh diabaikan, tapi atas dasar pertimbangan (tindakan temporer) karitas, belas-kasih. Sebenarnya, perlakuan berbeda tersebut bukan saja merupakan pengakuan atas banyaknya perbedaan dalam pembangunanyang membutuhkan ukuran yang berbeda pula dalam menangani pembangunan di negeri-negeri kaya dan di negeri-negeri miskintapi seharusnya juga merupakan pengakuan bahwa (secara historis) kolonialisme negeri-negeri kaya terhadap negeri-negeri miskin di masa lalu dituntut memberikan konpensasi. Kegagalan pertemuan Seattle membuktikan bahwa oposisi sudah bosan terhadap kebijakan-kebijakan neoliberalbila dilihat dari opini umum yang semakin meluas ke berbagai sektor, baik di negeri-negeri Selatan maupun negeri-negeri Utara sendiri.

Amerika Serikat menyelenggarakan pertemuan kesepakatan perdagangan, yang seharusnya dimulai di Seattle, sebagai langkah yang lebih jauh lagi untuk meliberalisasikan perdagangan tak peduli, atau mungkin melupakan, bahwa Undang-undang Perdagangan Luar Negeri mereka, yang agresif dan diskriminatif, masih berlaku. Undang-undang tersebut memiliki aturan pelengkapnyaSuper-3101yang memberikan gambaran nyata tentang diskriminasi dan tindakan untuk menerapkan sanksi terhadap negeri-negeri lain dengan alasan untuk menindak mereka yang diasumsikan menentang/melanggar benteng-benteng yang melindungi produkproduk orang-orang Amerika, padahal asumsi-asumsinya didasari kualifikasi yang sewenang-wenang, sudah ditentukan sebelumnya, dan sering sinisbahwa pemerintah memutuskan memberikan keistimewaan pada negeri-negeri lainnya atas dasar pertimbangan hak-hak azasi manusia. Di Seattle, ada pemberontakan terhadap neoliberalisme. Contoh yang paling baru dalam menolak pemaksaan diberlakukannya Kesepakatan Multilateral dalam Investasi. Hal itu membuktikan bahwa fundamentalisme pasar yang agresif, yang menyebabkan kerusakan parah di negeri-negeri kita, sudah dilawan dengan keras dan gigih di dunia. Sebagai tambahan bagi data bencana ekonomi yang telah disebutkan di atas: walau harga minyak meningkat secara signifikan, namun kenaikannya tersebut justru memberikan sumbangan terhadap memburuknya kondisi di negeri-negeri Selatan sebagai impotir-bersih sumberdaya alam yang sangat vital tersebut. Dunia Ketiga menghasilkan minyak sekitar 80 % dari total perdagangan dunia, dan sekitar 80 % dari jumlah tersebut diekspor ke negeri-negeri maju.

Bangsa-bangsa makmur mampu membayar seberapapun tingginya harga komoditi energi tersebut yang mereka boroskan untuk mempertahankan tingkat konsumsi mewah mereka dan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. Konsumsi minyak Amerika Serikat sekitar 8,1 ton per kapita, sementara Dunia Ketiga mengkonsumsi sekitar 0,8 ton per kapita, dan negeri termiskin Dunia Ketiga mengkonsumsi cuma sekitar 0,3 ton.
Dan harga minyak yang tiba-tiba melonjak, dari US $12 menjadi US $ 30 per barel, atau lebih, justru memiliki dampak yang sangat merusak bangsa-bangsa Dunia Ketigadan ini merupakan tambahan masalah terhadap masalah-masalah yang sudah ada, seperti masalah hutang eksternal, rendahnya harga komoditikomoditi pokok, krisis finansial dan ketidakadilan dalam menanggung beban dampak negatif krisis. Sekarang, kita mengalami sebuah situasi buruk yang sama, yang merupakan tambahan masalah baru di kalangan bangsabangsa Selatan.

Minyak merupakan komoditi vital yang, secara universal, sangat dibutuhkan, yang bisa lari dari hukum-hukum pasar. Dengan satu atau lain cara, perusahaan-perusahaan transnasional dengan negerinegeri Dunia Ketiga pengekspor minyak berupaya menghimpun dirinya agar bisa sama-sama mempertahankan kepentingan dirinya dalam bentuk menentukan harga minyak. Rendahnya harga minyak lebih banyak menguntungkan negeri-negeri kaya yang sangat boros dalam penggunaan energi minyak, sehingga mereka terus menerus melakukan penelitian untuk mendapatkan

deposit-deposit minyak baru yang dapat diekploitasi, demikian pula mereka berupaya mengembangkan teknologi yang dapat mengurangi konsumsi dan dapat melindungi lingkungan; dan itu mempengaruhi ekportir-eksportir Dunia Ketiga. Di sisi lain, tingginya harga minyak, yang menguntungkan para eksportir, dengan mudah bisa ditanggung oleh negeri-negeri kaya namun sangat membahayakan karena bisa menghancurkan sebagian besar ekonomi dunia kita. Itu lah contoh yang baik untuk menunjukkan bahwa perlakuan yang berbeda terhadap negeri-negeri yang memiliki tahap pembangunan berlainan harus lah menjadi prinsip keadilan yang tak dapat dipisahkan dalam perdagangan dunia. Sangat lah tak adil bila negeri Dunia Ketiga seperti Mozambique, yang hanya memiliki US$ 84 per kapita GDP, harus mengeluarkan dana yang sama untuk membeli komoditi vital tersebutdengan negeri Switzerland, yang memiliki US$ 43.400 per kapita GDP, 516 kali (lebih tinggi) per kapita GDP negeri Mozambique. Perjanjian San Jos, yang ditandatangani 20 tahun yang lalu oleh Venezuela dan Mozambique bersama sekelompok kecil negeri-negeri pengimpor minyak dalam regional tersebut, memberikan contoh yang baik tentang apa yang bisa dan harus ada dalam benak kita, benak setiap bangsa Dunia Ketiga, yang memiliki situasi yang samanamun, walaupun demikian, pada saat ini kita harus menghindari kondisikondisi apapun sehubungan dengan perbedaan perlakuan yang mungkin akan mereka terima. Beberapa negeri berada dalam keadaan tak mampu membeli lebih dari US$ 10 per barelnya, yang lainnya tak mampu membeli lebih dari US$ 15 per barelnya, dan tak satu pun negeri yang mampu membeli lebih dari US$ 20 per barelnya. Bagaimanapun juga, negeri-negeri dunia kaya, yang cenderung membelanjakan uangnya dalam jumlah besar dan memiliki tingkat konsumerisme yang tinggi, mampu membeli lebih dari US$ 30 per barelnya tanpa mengakibatkan kehancuran pada negeri mereka. Karena mereka mengkonsumsi 80% ekspor negeri-negeri Dunia Ketiga, maka kelebihan harga dan keuntungan dari penjualan ke negeri-negeri kaya tersebut bisa menutupi kerugian akibat harga penjualan yang lebih rendah ke sebagian besar bangsa miskin lainnya, yang memang seharusnya hanya membeli US$ 20 per barelnya. Itu lah jalan kongkrit dan ampuh yang bisa merubah kerjasama Selatan-Selatan menjadi instrumen yang memiki kekuatan besar bagi pembangunan Dunia Ketiga. Mengambil jalan yang lain berarti menghancurkan diri sendiri. Dalam tingkatan dunia global, dimana pengetahuan merupakan kunci bagi pembangunan, kesenjangan teknologi antara Utara dan Selatan cenderung semakin melebar dengan meningkatnya swastanisasi penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya. Negeri-negeri maju, dengan populasi penduduk sekitar 15 % total penduduk dunia, sekarang ini mengkonsentrasikan 88% pengguna internet. Hanya di Amerika Serikat saja, terdapat lebih banyak komputer ketimbang di belahan bumi lainnya. Negeri-negeri tersebut menguasai 97% hak paten dunia dan menerima 90% hak lisensi internasional sementara, bagi sebagian besar negeri Selatan, penerapan hak pemilikan intelektual (intellectual property rights) belum ada atau sangat sulit dilakukan. Dalam penelitian swasta, faktor keuntungan lebih didahulukan ketimbang faktor kebutuhan; adanya hak pemilikan intelektual mengakibatkan negeri-negeri terbelakang tak bisa memiliki akses terhadap pengetahuan, dan aturan hak paten tidak mengakui transformasi pengetahuan serta sistem-sistim kepemilikan tradisional, padahal sangat penting bagi negeri-negeri Selatan.

Penelitan swasta hanya mengabdi pada kebutuhan para konsumen-konsumen kaya.

Vaksin telah menjadi teknologi yang sangat efisien dan sangat murah untuk menjaga kesehatan karena bisa mencegah penyakit hanya dengan sekali dosis. Namun demikian, karena keuntungan yang diperoleh melalui pemakaian vaksinasi seperti itu akan semakin rendah, maka mereka membuat vaksin yang membutuhkan pemakaian berkali-kali, lebih dari sekali dosis. Pengobatan baru, benih terbaik dan, secara umum, teknologi terbaik sudah dijadikan barang dagangan yang harganya hanya mampu ditanggung oleh negeri-negeri kaya. Dampak buruk sosial perlombaan neoliberal tersebut sangat kasat mata. Di lebih 100 negeri, pendapatan per kapita lebih rendah ketimbang 15 tahun yang lalu. Sekarang ini, 1, 6 milyar orang hidup sangat mengenaskan ketimbang awal 1980-an. Lebih dari 820 juta orang menderita kekurangan gizi, yang 790 jutanya hidup di Dunia Ketiga. Diperkirakan 507 juta orang yang hidup di Selatan sekarang ini tak akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke-40, mati. Di negeri-negeri Dunia Ketigayang perwakilannya hadir saat ini2 dari setiap 5 anak menderita gangguan pertumbuhan, dan 1 dari setiap 3 anak kekuarangan berat badan; 30.000 sekarat setiap harinya, walaupun bisa disematkan; 2 juta anak-anak perempuan terpaksa terjerumus ke pelacuran; 130 juta anak-anak tak memiliki akses pada pendidikan dasar; dan 250 juta anak di bawah umur 15 tahun terpaksa harus bekerja.
Tatanan ekonomi dunia hanya mengabdi pada 20 % dari penduduk yang ada, dengan mengabaikan, merendahkan, dan menyingkirkan 80 % sisanya.

Kita tak bisa gampang-gampangan menerima begitu saja masuk ke abad berikutnya sebagai negeri yang terbelakang, miskin dan terhisap; korban kejahatan rasisme dan senopobia bisa menghambat akses terhadap pengetahuan dan menderita alienasi akibat kabar-kabar (yang sangat beorientasi pada konsumen) yang disampaikan orang-orang asing dan diglobalkan oleh media. Sebagai anggota kelompok G 77, sudah tak saatnya lagi mengemis dari negeri-negeri maju, tunduk, menyerah, menghiba-hiba pada mereka, atau terpecah belah saling menghancurkan. Saatnya lah sekarang untuk memulihkan kembali semangat juang kita, kesatuan kita dan bersatu padu mempertahankan tuntutan-tuntutan kita Lima puluh tahun yang lalu, kita dijanjikan bahwa suatu hari kelak tak akan ada lagi kesenjangan antara negeri-negeri maju dan negeri terbelakang. Kita dijanjikan dengan roti (kesejahteraan) dan keadilan; tapi, hingga saat ini, kita, negeri-negeri berkembang, hanya mendapatkan penderitaan, kelaparan dan semakin banyak ketidakadilan. Dunia bisa saja diglobalkan di bawah kekuasaan neoliberal, tapi tak mungkin menguasai milyaran orang yang lapar kesejahteraan dan keadilan. Gambaran ibu-ibu dan anak-anak yang mengalami ketakutan akan musim kemarau dan penderitaan lainnya di seluruh regional Afrika mengingatkan kita pada kamp konsentrasi Nazi Jerman; kondisi tersebut membangkitkan kembali ingatan kita pada tumpukan mayat laki-laki, perempuan-perempuan dan anak-anak yang sekarat.

Dibutuhkan perjanjian Nuremberg lainnya untuk mengadili kejahatan tatanan ekonomi yang dipaksakan pada kita, sebagaimana mereka memerintahkan pembunuhan orang-orang yang lapar dan tak mendapatkan perlidungan dari penyakit, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak, setiap tiga tahunnya, lebih banyak ketimbang pembunuhan enam tahun Perang Dunia II. Di sini, kita harus mendiskusikan apa yang harus kita lakukan untuk mengatasinya. Kami, di Kuba, biasanya mengatakan: Tanah air atau Mati! Dalam pertemuan Pimpinan-pimpinan puncak negeri-negeri Dunia Ketiga, kita harus mengatakan: Bersatu dan pererat lah kerjasama, atau mati! Terimakasih banyak pemilih, dan ada yang bisa membedakannya dari platform ekonomi calon lain?

Anda mungkin juga menyukai