Anda di halaman 1dari 16

Bayu AP PRoject

Belajar dari Swiss

Riset dan Pengembangan jadi Kunci Kesuksesan

Micro-technology adalah salah satu ekspor komoditi terpenting Swiss. Kemajuan industry microtechnology Swiss tidak bisa dilepaskan dari dana yang dialokasikan untuk riset dan pengembangannya. Tahun 2008 pada saat Swiss dalam resesesi ekonomi, perusahaan-perusahaan Swiss menyisihkan anggaran riset dan pengembangan sebesar US$20.9 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri Swiss sangat menyadari pentingnya investasi terhadap inovasi untuk mendukung keberhasilan perusahaan dalam jangka panjang. Hal tersebut dijelaskan oleh Dubes Djoko Susilo dalam pertemuan dengan delegasi Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) di KBRI Bern (Rabu, 27/04). Lebih lanjut dijelaskan oleh Dubes Djoko Susilo bahwa keberhasilan perekonomian Swiss juga berkat dukungan pemerintah yang besar di sektor pendidikan. Salah satu kunci keberhasilan Swiss dalam sektor high-tech dan inovasi ini adalah berkat dukungan pemerintah Swiss yang sangat memprioritaskan penataan sistem pendidikannya, sehingga generasi mudanya telah dipersiapkan sejak sedini mungkin untuk menjadi tenaga kerja ahli. Dalam pertemuan ini juga dibahas mengenai hubungan perekonomian Indonesia-Swiss dan upaya peningkatan nilai ekspor Indonesia ke Swiss serta investasi Swiss di Indonesia. Dubes Djoko Susilo berpendapat bahwa masuknya investasi asing ke Indonesia seringkali terkendala berbagai faktor di dalam negeri seperti sulitnya perijinan untuk mendirikan pabrik dan memasukkan mesin-mesin berat ke Indonesia. Untuk itu, pemerintah Indonesia harus berani mendobrak kendala-kendala ini agar arus investasi asing dapat mengalir lancar ke Indonesia, tukas Dubes Djoko Susilo. Pertemuan antara delegasi BSBI yang diketuai oleh Umar Juoro dengan Duta Besar RI untuk Swiss dan Liechtenstein dilakukan usai kunjungan kerja mereka di Zurich dengan Swiss National Bank. Fokus pertemuan tersebut adalah untuk menggali informasi terkait fungsi pengawasan terhadap bank sentral guna meningkatkan kualitas tata kelola institusi publik. Badan Supervisi Bank Indonesia merupakan badan yang dibentuk oleh DPR pada tahun 2005 untuk membantu Komisi XI DPR RI dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Bank Indonesia.

-------------------------------------------

LAPORAN KUNJUNGAN DELEGASI PANJA RUU TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG KE BERN DAN BASEL, SWISS TANGGAL 6 11 JUNI 2009

I.

PENDAHULUAN

Pada tanggal 6-11 Juni 2009, Panja RUU tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang Komisi III DPR RI (Komisi III) telah melaksanakan kunjungan kerja ke Swiss dalam rangka studi banding mengenai kebijakan, praktek, dan pengalaman Swiss dalam menanggulangi tindak pidana pencucian uang. Studi banding tersebut bertujuan untuk mendapatkan informasi dan masukan terkait dengan pembahasan RUU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang saat ini sedang dalam tahap pembahasan di Komisi III. Delegasi terdiri dari 9 (sembilan) anggota dan 2 (dua) staf sekretariat Komisi III di bawah pimpinan Bapak Pataniari Siahaan. Selama kunjungan dimaksud, delegasi didampingi oleh Sekretaris I Politik dan Sekretaris II Protokol/Konsuler KBRI Bern. Selama berada di Swiss, delegasi Komisi III telah melaksanakan pertemuan dengan para pejabat dari instansi yang tugas dan fungsinya berkaitan dengan masalah pencucian uang, yaitu Departemen Luar Negeri, Departemen Keuangan, dan Kantor Kejaksaan Federal. Selain itu, delegasi juga mengadakan pertemuan dengan the International Centre for Asset Recovery (ICAR) yang berkedudukan di Basel. Sehari sebelum pelaksanaan pertemuan, delegasi Komisi III terlebih dahulu melakukan courtesy call kepada Ibu Duta Besar sekaligus acara temu muka dengan KBRI dan unsur masyarakat Indonesia bertempat di Wisma Duta pada tanggal 7 Juni 2009.

Pertemuan menghasilkan hal-hal pokok sebagai berikut: a. Swiss dan pencucian uang

Munculnya kasus mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos menjadi tonggak penting bagi Swiss dalam hal penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan kebijakan keuangan secara keseluruhan. Kasus Marcos mengemuka ketika Swiss belum memiliki kerangka hukum khusus untuk mengatasi permasalahan pencucian uang. Setelah 11 tahun, Swiss memiliki AMLA sebagai UU yang sangat penting bagi upaya memerangi tindak pidana pencucian uang.

Swiss menerapkan 3 pendekatan holistik untuk menangani kejahatan pencucian uang, yaitu (i) pencegahan, melalui kerjasama internasional seperti StaR atau UNCAC, (ii) identifikasi/pemblokiran, melalui koordinasi lembaga pengawas, lembaga pelapor dan penuntut untuk mencegah agar aset dapat dicairkan pelaku, dan (iii) restitusi, yaitu proses pengembalian aset melalui MLA. Melalui MLA, Swiss berhasil mengembalikan sekitar US$1,8 milyar kepada Negara peminta bantuan. Prinsip kerjasama MLA bagi Swiss harus berdasarkan prinsip criminality (sudah ada proses hukum atau penuntutan atas kasus yang dmintakan bantuan MLA)

b. Federal Act on Combating Money Laundering and Terrorist Financing in the Financial Sector (AMLA) 1997 sebagai dasar hukum penanggulangan tindak pidana pencucian uang di Swiss

AMLA merupakan UU penting di sektor keuangan yang mengatur upaya memerangi pencucian uang di sektor keuangan. AMLA berlaku bagi bank, fund manager, lembaga asuransi, lembaga sekuritas, pengelola casino, pengacara, konsultan investasi, independent aset manager, fiduciaries, dan/atau individu dalam kapasitas profesinya sebagai penerima atau penyimpan aset milik orang lain, atau membantu investasi atau pengalihan aset yang bukan miliknya.

AMLA menetapkan kewajiban bagi instansi keuangan untuk melakukan terkait verifikasi atas identitas klien/calon klien dan/atau identitas beneficial owner, kewajiban klarifikasi data dan informasi klien, kewajiban menyimpan dokumen terkait dengan aset dan identitas klien, kewajiban institusi keuangan untuk melakukan pengawasan internal, dan kewajiban untuk melaporkan indikasi pencucian uang kepada pihak berwenang. Pemerintah melakukan amandemen AMLA tanggal 1 Februari 2009. Adapun perubahan-perubahan penting dalam AMLA antara lain:Penambahan kata Terrorist Financing dalam judul sehingga menjadi Federal Act on Combating Money Laundering and Terrorist Financing in the Financial Sector; Kewajiban untuk melakukan klarifikasi; Larangan memberikan informasi kepada klien; Perlindungan lembaga keuangan pelapor; dan pembentukan FINMA sebagai badan pengawas bidang keuangan.

c. Pemisahan kewenangan dalam pengawasan (supervisory) dan pelaporan (reporting-FIU) terhadap tindak pidana pencucian uang

Swiss memisahkan kewenangan badan pengawas dan FIU secara tersendiri untuk menjaga independensi dan mencegah terciptanya suatu super body dengan kewenangan yang terlalu luas. Sebelum 1 januari 2009, terdapat 4 (empat) Badan Federal di Swiss sebagai pengawas dengan masing-masing kewenangan, yaitu the Swiss Banking Commission (SBC); the Swiss Federal Office of Private Insurance (FOPI); the Swiss Federal Gaming Board (SFGB), dan the Money Laundering Control Authority (MLCA). Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009, fungsi Pengawasan badan di atas menjadi satu fungsi dalam suatu badan baru yaitu the Swiss Financial Market Supervisory Authority (FINMA) yang dibentuk berdasarkan the Federal Act on the Swiss Financial Market Supervisory Authority (FINMASA) tanggal 22 Juni 2007 (kecuali untuk Federal Gaming Board).

FINMA merupakan lembaga pengawas pasar keuangan yang didirikan untuk melindungi para kreditor, penanam modal, orang yang terasuransi, dan untuk menjamin kelangsungan fungsi pasar keuangan. FINMA memiliki struktur fungsional, institusional dan keuangan tersendiri, disamping juga struktur pelaksanaan yang modern dengan Dewan Direktur, Dewan Eksekutif dan Swiss Federal Audit Office menjalankan fungsi pengawasan external. FINMA bertanggung-jawab kepada dan merupakan subyek pengawasan Pemerintah Federal. FINMA memberikan sanksi terhadapi setiap pelanggaran ketentuan di bidang keuangan dimana FINMA memiliki kewenangan. Money Laundering Reporting Office (MROS) merupakan Financial Intelligence Unit (FIU) Swiss sekaligus pengubung antara lembaga-lembaga keuangan dan badan penegak hukum. Walaupun menjadi unit khusus dalam struktur Fedpol, MROS adalah lebih berfungsi sebagai unit administratif dengan tugas khusus. MROS bertugas antara lain (i) membantu badan penegak hukum Swiss dalam memerangi pencucian uang, organized crime dan terorist financing; (ii) berfungsi

sebagai pusat pelaporan pencucian uang, organized crime dan terrorist financing; (iii) memperkuat kesadaran lembaga keuangan terhadap indikasi pencucian keuangan, organized crime dan terrorist financing; dan (iv) menyampaikan kepada publik statistik tahunan mengenai perkembangan upaya penanggulangan pencucian uang, organized crime, dan terrorist financing. d. Peran kantor Kejaksaan Federal (OAG) sebagai lembaga penegak hukum dalam menangani pencucian uang

OAG adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan sebagaimana diatur dalam UU Acara Pidana Swiss (SPC). Jurisdiksi OAG meliputi kejahatan yang mengancam keamanan nasional, dan kejahatan yang terjadi di luar wilayah Swiss serta terjadi di lebih dari satu Kanton. Sejak tahun 2002, kewenangan OAG meliputi tindak kejahatan organisasi kriminal, terrorist financing, korupsi, dan kejahatan kerah putih lainnya yang keseluruhannya memiliki karakter internasional. Dalam melaksanakan fungsinya, OAG menerima laporan dari MROS atas laporan lembaga keuangan terkait hasil due diligence yang dilakukan terhadap transaksi yang mengarah pada tindak kejahatan pencucian uang. Apabila laporan diterima, OAG akan meneruskan dengan melakukan penyelidikan sementara aset dibekukan oleh lembaga keuangan. Apabila bukti dan laporan dinilai kuat, maka akan diteruskan hingga proses kepengadilan.

e. RUU Anti Pencucian Uang RI

Komisi III saat ini tengah menyusun RUU Anti Pencucian uang yang diharapkan dapat rampung tahun ini. RUU tersebut merupakan revisi dari UU Pencucian Uang tahun 2002 dan dinilai memiliki cakupan dan jangkauan hukum yang jauh lebih luas dibandingkan dengan UU yang saat ini berlaku. Selain itu, Kategorisasi predicated offences dalam RUU telah sesuai dengan standard internasional. Pengacara dan notaris juga sudah masuk sebagai subyek RUU. Selain itu, RUU juga menambahkan elemen transnational organized crime dan non conviction powers yang akan memberikan kewenangan yang lebih luas dan tegas kepada PPATK dan penegak hukum terhadap setiap tindak kejahatan pencucian uang. Namun demikian, masih terdapat ruang yang perlu diperhatikan untuk perbaikan ke depan seperti perlunya melihat perbedaan sistem hukum antar Negara agar tindak pidana dalam RUU bisa diterima oleh sistem hukum pidana Negara lain, dan memperhatikan fungsi tradisional profesi pengacara agar tidak terlalu dibatasi ruang geraknya.

Beberapa Catatan :

Kunjungan kerja delegasi Komisi III dengan para pejabat dari instansi terkait sebagaimana tersebut di atas telah berlangsung dengan baik dan konstruktif. Kunjungan kerja ke Swiss memberi arti bahwa Swiss dinilai sebagai model yang tepat bagi Parlemen Indonesia untuk dapat mempelajari praktek, legislasi dan kebijakan yang telah dilakukan Swiss selama ini untuk mencegah agar uang/aset yang disimpan bukan berasal dari hasil tindak kejahatan. Walaupun terdapat perbedaan dari berbagai sisi, pertemuan yang telah dilaksanakan merupakan kesempatan yang baik untuk mendapatkan banyak masukan berharga dalam rangka pembahasan lebih lanjut UU anti pencucian RI. Sementara bagi Swiss, pertemuan ini juga dimanfaatkan untuk memberikan informasi mengenai upaya-upaya Swiss dalam menanggulangi praktek pencucian uang sekaligus menjaga reputasinya sebagai salah satu pusat keuangan. Pertemuan tersebut sangat penting bagi kedua pihak untuk membentuk dan menambah jejaring (networking) bagi kerjasama hukum ke depan, utamanya dalam penanganan pencucian uang dan MLA, dimana kerjasama kedua Negara dalam upaya pengembalian aset beberapa tersangka korupsi yang disimpan di Swiss mengalami kemajuan. PERTEMUAN DENGAN KANTOR DIVISI II POLITIK ASIA-OCEANIA DAN DIVISI V POLITIK SEKTOR KOORDINASI KEBIJAKAN (SECTOR POLICY COORDINATION) PADA DEPARTEMEN LUAR NEGERI SWISS (DEPLU) a. Pembukaan oleh Dubes Pierre Combernous (Kepala Divisi II Politik Asia Oseania)

II.

Pada pertemuan tersebut, pihak Deplu Swiss dipimpin oleh Dubes Pierre Combernous (Kepala Kantor Divisi II Politik Asia-Oseania) didampingi oleh Mr. Nicolas Descoeudres (Divisi V) dan Ms. Maja Messmer (Divisi II). Dalam pembukaannya, Dubes Combernous menyampaikan rasa gembiranya atas kedatangan delegasi Komisi III ke Swiss, mengingat maksud kunjungan untuk memperoleh masukan dan bertukar pandangan mengenai topik yang sangat penting bagi Swiss dan Indonesia, yaitu upaya dalam memerangi tindak pidana pencucian uang. Dubes Combernous lebih lanjut menyampaikan bahwa bagi Swiss, munculnya kasus mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos tahun 1986 merupakan titik tolak bagi dimulainya penanganan hukum secara serius terhadap tindak kejahatan di bidang keuangan. Kasus Marcos memberikan pelajaran berharga bagi Swiss, antara lain bahwa pencucian uang dapat membahayakan ekonomi dan keamanan negara, perlunya membentuk ketentuan hukum yang kuat, dan kerjasama hukum dengan negara korban tidak hanya dalam hal penyitaan tapi juga pengembalian aset hasil pencucian uang.

Dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Swiss, Dubes Combernous menyampaikan bahwa Indonesia saat ini telah menjadi salah satu negara Asia yang penting bagi Swiss baik secara politik, ekonomi maupun budaya. Sejak kunjungan Presiden Swiss Micheline Calmy-Rey ke Indonesia pada bulan Februari 2007, kerjasama kedua negara dirasakan semakin kuat di berbagai bidang, khususnya ekonomi, perdagangan dan investasi. Namun demikian, banyak peluang kerjasama ekonomi yang dapat dikembangkan dan diperkuat, salah satunya melalui kerjasama Indonesia-EFTA yang diharapkan dapat terealisasi.

b. Presentasi mengenai kebijakan keuangan Swiss dalam menangani tindak kejahatan pencucian uang oleh Mr. Pierre Descoeudres (Divisi V Politik).

Dalam paparannya, Mr. Descoeudres menyampaikan bahwa dengan dukungan 340 bank, 259 perusahaan asuransi, dan 2530 perusahaan dana pensiun, Swiss telah mengukuhkan dirinya sebagai salah satu pusat keuangan terdepan dunia. Sektor keuangan merupakan tulang punggung ekonomi yang penting bagi Swiss karena mampu menyerap 5,8% tenaga kerja, menyumbang 11,8% dari total GDP, dan memberikan kontribusi sebesar 13,3 % dari pendapatan pajak negara. Lebih lanjut dijelaskan faktor-faktor pendorong keberhasilan Swiss sebagai pusat keuangan, antara lain; faktor sejarah, kondisi politik yang stabil, perlindungan kerahasiaan nasabah (kerahasiaan bank), mata uang Swiss Franc yang kuat, sektor keuangan yang terbuka, dan pelayanan berkualitas.

Dari beberapa faktor tersebut, prinsip kerahasiaan bank (bank secrecy) merupakan alah satu faktor yang sangat penting bagi Swiss. Prinsip yang diatur dalam UU Perbankan tahun 1934 telah menimbulkan image Swiss sebagai surga penyimpanan uang. Kesan tersebut tidaklah benar mengingat berdasarkan UU Perbankan 1934, kerahasiaan bank dapat dibuka apabila terdapat indikasi tindak pidana, termasuk pencucian uang dan penipuan pajak. Walaupun demikian, Swiss tidak dapat lepas dari resiko penyimpanan aset-aset hasil tindak pidana dari luar negeri, khususnya oleh politically exposed persons (PEPs). Dalam menangani aset-aset yang hasil tindak kejahatan tersebut, Swiss melaksanakan 3 pendekatan holistik, yaitu (i) pencegahan, melalui kerjasama internasional seperti StaR atau UNCAC, (ii) identifikasi/pemblokiran, melalui koordinasi lembaga pengawas, lembaga pelapor dan penuntut untuk mencegah agar aset dapat dicairkan pelaku, dan (iii) restitusi, yaitu proses pengembalian aset melalui MLA. Mr. Descoeudres menyampaikan bahwa hingga saat ini, Swiss telah berhasil mengembalikan aset senilai total US$ 1,8 milyar kepada Negara peminta. Beberapa contoh kasus besar dimana aset-aset hasil tindak kejahatan berhasil direpatriasi adalah Marcos (Filipina), Montesinos (Peru sebesar US$77,5 juta), dan Sani Abacha (Nigeria sebesar US$ 700 juta). Dalam kaitan ini, Swiss Federal Act on Anti Money Laundering (AMLA) tahun 1997 sangat penting dalam memerangi tindak pidana pencucian uang tersebut. Dalam sesi diskusi, anggota Komisi menanyakan fungsi pencegahan dari AMLA. Dalam kaitan ini, Mr. Descoeudres menjelaskan bahwa AMLA secara ketat

menetapkan kewajiban bagi setiap lembaga keuangan yang menjadi subyek AMLA untuk melakukan due diligence secara teliti terhadap calon klien mereka (Know Your Customer). Untuk calon nasabah yang dikategorikan sebagi PEPs, verifikasi wajib dilakukan oleh senior manajer lembaga keuangan tersebut. c. Pertemuan dengan Unit Kebijakan terhadap Kejahatan Keuangan (Policy against Financial Crime Section Section) pada Departemen Keuangan Federal Swiss (Depkeu) Pada sesi berikutnya, Dr. Riccardo Sansonetti dari Unit Kebijakan terhadap Kejahatan Keuangan Depkeu Swiss memberikan penjelasan teknis mengenai perubahan-perubahan terkini AMLA 1997, tugas dan fungsi FINMA (Swiss Financial Market Authority) sebagai badan pengawas, dan Money Laundering Reporting Office (MROS) sebagai unit pelaporan tindak kejahatan pencucian uang. Terkait AMLA, disampaikan bahwa AMLA merupakan ketentuan khusus yang mengatur aspek-aspek pencegahan dalam upaya memerangi pencucian uang di sektor keuangan. AMLA mengatur beberapa aspek penting, antara lain: (i) AMLA berlaku bagi seluruh bentuk institusi keuangan di Swiss yang menerima atau menyimpan aset milik pihak ketiga, atau yang membantu kegiatan investasi pihak ketiga, atau melakukan transfer aset-aset dimaksud secara profesional. Dalam kaitan ini, AMLA tidak hanya berlaku bagi bank, namun juga mencakup fund manager, lembaga asuransi, lembaga sekuritas, pengelola casino, pengacara, konsultan investasi, independent asset manager, fiduciaries, dan/atau individu dalam kapasitas profesinya sebagai penerima atau penyimpan aset milik orang lain, atau membantu investasi atau pengalihan aset yang bukan miliknya.

(ii) AMLA menetapkan kewajiban bagi instansi keuangan untuk melakukan Due diligence yang meliputi antara lain; verifikasi atas identitas klien/calon klien dan/atau identitas beneficial owner, kewajiban klarifikasi data dan informasi klien, kewajiban menyimpan dokumen terkait dengan aset dan identitas klien, kewajiban institusi yang menjadi subyek due diligence untuk melakukan pengawasan internal, dan kewajiban untuk melaporkan indikasi pencucian uang kepada pihak berwenang berdasarkan alasan yang kuat. Selain itu, AMLA juga mengatur kewajiban bagi setiap lembaga keuangan untuk menyimpan catatan yang berkaitan dengan setiap transaksi keuangan selama 10 tahun setelah berakhirnya kerjasama kontrak atau setelah berakhirnya transaksi. (iii) Berdasarkan AMLA, terdapat 4 (empat) Badan Federal di Swiss sebagai pengawas yang berwenang, yaitu the Swiss Banking Commission (SBC); the Swiss Federal Office of Private Insurance (FOPI); the Swiss Federal Gaming Board (SFGB), dan the Money Laundering Control Authority (MLCA),

pengawasan subyek hukum yang diatur dalam AMLA. Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009, fungsi Pengawasan keempat badan di atas menjadi satu fungsi dalam suatu badan baru yaitu the Swiss Financial Market Supervisory Authority (FINMA) yang dibentuk berdasarkan the Federal Act on the Swiss Financial Market Supervisory Authority (FINMASA) tanggal 22 Juni 2007. Pemerintah melakukan amandemen terakhir AMLA yang mulai berlaku tanggal 1 Februari 2009. Latar belakang perubahan tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi bidang kejahatan pencucian uang, dan melaksanakan evaluasi dan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) untuk diterjemahkan ke dalam ketentuan AMLA. Perubahan-perubahan penting dalam AMLA antara lain: (i) Penambahan kata Terrorist Financing dalam judul sehingga menjadi Federal Act on Combating Money Laundering and Terrorist Financing in the Financial Sector; Kewajiban untuk melakukan klarifikasi (pasal 6); lembaga keuangan wajib untuk melakukan mengetahui latar belakang ekonomis atau tujuan transaksi atau hubungan bisnis apabila terdapat keraguan atau kecurigaan atas calon klien, atau terdapat indikasi bahwa aset berasal dari tindak kejahatan bukan hanya individu tetapi juga organisasi criminal. Penanganan aset dengan nilai rendah (pasal 7a; lembaga keuangan tidak perlu melakuklan due diligence apabila transaksi hanya melibatkan aset dengan nilai rendah dan tidak terdapat indikasi pencucian uang atau pendanaan teroris. Larangan memberikan informasi kepada klien (Pasal 10a); lembaga keuangan yang melakukan penahanan aset sementara berdasarkan pelaporan yang dilakukannya kepada MROS, dilarang untuk memberikan informasi penahanan tersebut kepada pemilik aset atau pihak ketiga. Perlindungan lembaga keuangan pelapor (pasal 11); lembaga keuangan yang menyampaikan laporan kepada MROS atau melakukan pembekuan aset sementara berdasarkan AMLA atau pasal 305 UU Pidana Swiss dibebaskan dari tuntutan pidana atau perdata. FINMA sebagai badan pengawas bidang keuangan, dan Federal Gaming Board untuk kasino.

(ii)

(iii)

(iv)

(v)

(vi)

Paparan mengenai FINMA: Mr. Sansonetti pada kesempatan tersebut memberikan penjelasan mengenai FINMA, dimana Parlemen menyetujui Undang-Undang Negara mengenai Swiss Financial Market Supervisory Authority (Financvial Market Supervision Act-FINMASA) pada 22 Juni 2007, dan mulai berlaku pada 1 Januari 2009. Pembentukan FINMA, yang merupakan hasil merger dari badan pengawas yang ada sebelumnya yaitu SBC, SOPI, dan AMLCA (kecuali Federal Gaming Board), diyakini akan menciptakan harmonisasi ketentuan hukum dalam upaya pencegahan pencucian uang, termasuk dalam hal sanksi dan penegakannya.

Tujuan pembentukan FINMA ialah untuk melindungi para kreditor, penanam modal, orang yang terasuransi, dan untuk menjamin kelangsungan fungsi pasar keuangan agar sesuai dengan Financial Market Act (UU Pasar Keuangan Federal-FMA). Sehingga diharapkan hal ini akan memperkuat citra dan daya saing Swss sebagai pusat keuangan. FINMA disusun sebagai lembaga di bawah hukum publik. Lembaga ini memiliki struktur fungsional, institusional dan financial tersendiri, disamping juga struktur pelaksanaan yang modern dengan Dewan Direktur, Dewan Eksekutif dan Swiss Federal Audit Office menjalankan fungsi pengawasan external. FINMA bertanggung-jawab kepada dan merupakan subyek pengawasan Pemerintah Federal. FINMA memberikan laporan setiap tahun kepada Depkeu. Penjelasan mengenai MROS: MROS yang berada di bawah kendali Kantor Kepolisian Federal Swiss (Fedpol) merupakan Financial Intelligence Unit (FIU) Swiss sekaligus pengubung antara lembagalembaga keuangan dan badan penegak hukum. Walaupun menjadi unit khusus dalam struktur Fedpol, MROS adalah lebih berfungsi sebagai unit administratif dengan tugas khusus. Sejak berdiri pada tahun 1998, pejabat MROS saat ini telah berjumklah 8 personil (4 pejabat hukum, 4 berasal dari bank, keuangan, aset manager dan jaksa hkm pidana). Berdasarkan Ordinance on the Money Laundering Reporting Office (MLO) tahun 2004, MROS bertugas antara lain (i) membantu badan penegak hukum Swiss dalam memerangi pencucian uang, organized crime dan terorist financing; (ii) berfungsi sebagai pusat pelaporan pencucian uang, organized crime dan terrorist financing; (iii) memperkuat kesadaran lembaga keuangan terhadap indikasi pencucian keuangan, organized crime dan terrorist financing; dan (iv) menyampaikan kepada publik statistik tahunan mengenai perkembangan upaya penanggulangan pencucian uang, organized crime, dan terrorist financing. Mr. Sansonetti lebih lanjut menjelaskan bahwa sebagai bagian dari tugas dan fungsinya tersebut, MROS mempublikasikan data indikasi pencucian uang tahunan dalam bentuk the Suspicious Activity Reports (SARs). Berdasarkan SARs yang dikeluarkan pada tanggal 31 Maret 2009, laporan atas kegiatan mencurigakan pencucian uang yang diterima MROS sebanyak 851 dengan total aset senilai I,87 milyar Swiss Francs. MROS tidak memiliki kewajiban untuk memberikan laporan kepada Parlemen atau Dewan Federal. Pada sesi diskusi, anggota komisi III menanyakan mengenai masuknya pengacara (lawyer) dan notaris sebagai subyek AMLA yang wajib melakukan pelaporan, efektifitas koordinasi diantara lembaga pengawas dan MROS, dan pengawasan Swiss National Bank (SNB). Dalam tanggapannya, Mr. Sansonetti menjelaskan sebagai berikut:

(i) Pengacara dan notaris dikenakan kewajiban-kewajiban sebagaimana lembaga keuangan lainnya apabila terlibat dan ikut aktif dalam transaksi keuangan mewakili kliennya. Dengan demikian, pengacara/notaries pada saat melakukan transaksi tersebut sudah masuk dalam ranah lembaga keuangan dan tidak dalam profesi tradisionalnya sehingga menjadi subyek AMLA. (ii) Dalam hal koordinasi, MROS melakukan pertemuan koordinasi rutin setiap tiga bulan dengan badan pengawas, dan Kejaksaan Federal. MROS memiliki akses langsung atas sumber informasi antara lain; catatan hukum, Interpol, bantuan hukum internasional, Schengen Information System (SIS), Fedpol, Polisi Kantonal, dan jaringan Egmont (the Egmont Group, yaitu sebuah organisasi Financial Intelligence Unit (FIU) internasional. The Egmont Group dibentuk untuk memperkuat kerjasama pertukaran informasi yang lebih aman, cepat dan legal dalam rangka memerangi tindak pidana pencucian uang dan terorisme). (iii) Peran SNB berbeda dengan FINMA. SNB sebagai bank sentral bukan merupakan subyek AMLA dan berfungsi menentukan kebijakan makroekonomi/stabilitas ekonomi makro.

d. Pertemuan dengan Unit Kejahatan Ekonomi (Unit for Economic crime) pada Kantor Kejaksaan Federal Swiss (the Attorney General Office of the Swiss Federal Department of Justice-OAG) Pada sesi terakhir hari pertama, Dr, Claire A. Daams dari OAG menjelaskan mengenai tugas dan fungsi OAG dalam penanganan tindak pidana pencucian uang, serta rantai koordinasi antar lembaga terkait mulai dari pelaporan hingga pengembalian aset hasil pencucian uang berdasarkan putusan pengadilan. Dalam kaitan ini djelaskan bahwa OAG adalah satu-satunya lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan berdasarkan pasal 29 UU Acara Pidana Swiss (SPC). Jurisdiksi OAG sebagaimana diatur dalam pasal 336 dan 337 SPC meliputi kejahatan yang mengancam keamanan nasional, dan kejahatan yang terjadi di luar wilayah Swiss serta terjadi di lebih dari satu Kanton. Dr. Daams lebih jauh menjelaskan bahwa sejak tahun 2002, kewenangan OAG diperluas dengan meliputi tindak kejahatan organisasi kriminal, terrorist financing, korupsi, dan kejahatan kerah putih lainnya yang keseluruhannya memiliki karakter internasional. Pada kesempatan tersebut, dijelaskan bahwa untuk

menanggulangi pencucian uang, diperlukan perbaikan dan penyesuaian ketentuan hukum yang kuat dan unifikasi standard hukum internasional. Bagi Swiss, mekanisme dan koordinasi penanganan pencucian uang didasarkan pada 3 hal pokok, yaitu: (i) Dasar Hukum: AMLA dan pasal 305 UU Pidana Swiss; (ii) Peran lembaga pengawas (FINMA) dan FIU (MORS); (iii) Peran OAG Hal yang sangat penting dalam upaya memerangi pencucian uang di Swiss adalah terjalinnya rantai koordinasi yang kuat dan efektif mulai dari lembaga keuangan sebagai pelapor, MROS sebagai FIU, FINMA sebagai pengawas, OAG sebagai lembaga penyelidik hingga sampai ke tangan Pengadilan (bagan rantai koordinasi terlampir dalam lampiran 3). Pada sesi diskusi terdapat dan sejauh mana peluang untuk repatriasi aset secara penuh kepada Negara peminta bantuan MLA dan apakah koordinasi diantara para pihak dan lembaga berwenang diatur dalam peraturan perundangundangan. Dalam tanggapannya, Dr. Daams menjelaskan bahwa: (i) Swiss memiliki sharing act yang mengatur dan menetapkan presentase bagi hasil dari aset yang dikembalikan sesuai kesepakatan kedua pihak. Presentase ini biasanya dikalkulasikan berdasarkan pengeluaranpengeluaran dan besarnya bantuan pemerintah Swiss dalam proses MLA. Namun demikian, full repatriation dapat dilakukan.

(ii) Rantai koordinasi dilaksanakan secara praktis dan tidak diatur dalam suatu ketentuan khusus untuk menjaga tugas dan fungsi lembaga terkait tetap terjamin dan tidak meluas.

III.

PERTEMUAN DENGAN THE RECOVERY (ICAR) DI BASEL

INTERNATIONAL

CENTRE

FOR

ASSET

Delegasi Komisi III melaksanakan pertemuan dengan Mr. Daniel Theleskaf (Executive Director ICAR). Pertemuan difokuskan pada pembahasan draft UU Anti Pencucian Uang Indonesia dan upaya-upaya ke depan bagi penguatan isi dan impelentasi UU tersebut. Sebelum pembahasan, Mr. Thelesklaf menjelaskan sekilas mengenai ICAR. ICAR merupakan salah satu dari 2 (dua) Unit Khusus dari the Basel Institute on Governance (selain Centre for Governance and Anti Corruption). The Basel Institute on Governance sendiri merupakan sebuah lembaga nirlaba dan independen yang berdiri sejak tahun 2003, dan berfungsi sebagai lembaga think tank yang memberikan konsultasi kebijakan dan pengembangan kapasitas di bidang good governance baik kepada public maupun korporasi.

Secara umum, ICAR menyediakan bantuan pelatihan dan pembangunan kapasitas, khususnya bagi Negara berkembang, dalam bidang asset tracing and recovery. serta MLA. Selain itu, ICAR juga membantu meningkatkan kemampuan badan penegak hukum dalam menangani perkara asset recovery, serta membantu implementasi dan /atau rmenyusun draft ketentuan/ sistem hukum dan institusi terkait Anti Money Laundering dan terrorist Financing. ICAR banyak bekerjasama dengan FIU di Negara berkembang termasuk PPATK, khususnya dalam memodernisasi perangkat piranti lunak (software) untuk pengembangan kapasitas FIU. Dalam pembahasan mengenai Draft UU Anti Pencucian Uang Indonesia, terdapat beberapa hal pokok, antara lain: (i) Substansi dalam RUU Anti Pencucian Uang RI merupakan langkah maju dibandingkan dengan UU yang ada saat ini. Namun demikian, masih terdapat ruang untuk perbaikan dan diperkuat lagi; (ii) Kategorisasi predicated offences dalam RUU telah sesuai dengan standard internasional yang ditetapkan oleh UNCAC 2003. Ketua delegasi Komisi III dalam hal ini menanyakan kemungkinan illegal logging dimasukkan dalam predicated offences. Dalam pandangan Mr. Thelesklaf, illegal logging bisa dimasukan dalam draft UU, namun yang perlu diperhatikan adalah perbedaan sistem hukum antar Negara dimana tidak semua Negara memasukan illegal logging sebagai tindak pidana. (iii) Pengacara dan notaris sudah masuk sebagai subyek RUU. Mr. Thelesklaf menyampaikan agar kewajiban melakukan due diligence dalam draft UU tersebut tidak terlalu jauh membatasi profesi pengacara/notaries namun cukup diatur apabila terlibat dalam transaksi keuangan yang bukan profesinya.

Dalam diskusi, Ketua delegasi menanyakan mengenai langkah ke depan bagi perbaikan RUU apabila diperlukan. Dalam kaitan ini, Mr. Thelesklaf menyampaikan bahwa peran PPATK akan sangat krusial dalam upaya penanggulangan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Dalam kaitan ini disampaikan bahwa di Swiss terdapat pemisahan kewenangan antara lembaga pengawas yang diemban oleh FINMA dengan reporting unit (FIU)yang dilaksanakan oleh MROS mengingat bagi Swiss pemisahan tersebut akan meningkatkan independensi. Namun demikian tidak terdapat standar tertentu yang mengatur fungsi pengawasan dan peran FIU dimana di beberapa negara terdapat satu badan yang berfungsi sebagai pengawas sekaligus FIU. Dalam kaitan ini, PPATK dapat menjadi FIU dan fungsi pengawasan diemban oleh badan yang independen. Mr. Thelesklaf berjanji untuk menyampaikan masukan tertulis atas RUU anti pencucian uang untuk menjadi bahan pertimbangan Komisi III ke depan.

Catatan : MROS yang merupakan bagian dari Kepolisian Swiss melakukan pengawasan dan menerima pelaporan, dan yang berhak melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan adalah Kejaksaan.

IV.

MATERI YANG BERSIFAT "SUBSTANSI" YANG BERJUMLAH 99, TERDAPAT 9 PERMASALAHAN YANG CUKUP KRUSIAL, DENGAN RINCIAN SBB :

1. DIM No. 1 mengenai nama RUU

Menanggapi usulan (F-PAN) untuk menghapus kata "Pencegahan" pada nama RUU, maka dijelaskan oleh Pemerintah bahwa nama RUU yakni Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebaiknya tidak diubah. Di mana kata "Pencegahan" masih sangat diperlukan dalam mempertegas maksud dan tujuan dari Undang-Undang ini, yakni untuk menjaga stabilitas perekonomian dan itegritas sistem keuangan, tidak semata-mata hanya penegakan hukum, memotong mata rantai kejahatan, menghilangkan motivasi untuk melakukan kejahatan; dan mengeliminir tindak pidana jasa.
2. DIM No. 62 {Pasal 2 ayat (3)} mengenai harta kekayaan yang digunakan untuk kegiatan terorisme.

Mengenai usulan (F-PDIP) untuk menghapus pasal 2 ayat (3), Pemerintah belum dapat mempertimbangkannya, kecuali usulan ini dimasukkan dalam ayat (1) huruf n yang berbunyi sebagai berikut :"terorisme dan/atau pendanaan terorisme" (DIM No. 46) Mengenai pertanyaan (F-PDS) tentang "bagaimana dengan harta kekayaan yang belum digunakan untuk kegiatan terorisme", Pemerintah menjelaskan bahwa perumusan ketentuan ini konkordan dengan UU No. 15 Thn 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Thn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
3. DIM No. 82 {Pasal 7 ayat (2) huruf f} mengenai penjatuhan pidana tambahan terhadap korporasi.

Mengenai usul (F-PG) untuk menghapus pasal 7 ayat (2) huruf f, Pemerintah mempertimbangkan untuk membahas lebih lanjut.
4. DIM No. 119 {Pasal 15 ayat (1) huruf b} mengenai pihak pelapor dalam kelompok profesi.

Menanggapi usul (F-PG) untuk menghapus frasa "advokat, notaris, curator, kepailitan, pejabat pembuat akta tanah" dalam pasal 15 ayat (1) huruf b, Pemerintah belum dapat mempertimbangkan dengan alasan, bahwa ketentuan tersebut sesuai dengan rekomendasi Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), sudah dilakukan sosialisasi kepada advokat, notaris, dan curator, bahkan mereka sudah menerima dan mendukung, dan sebagai pihak pelapor mereka dilindungi oleh ketentuan perlindungan terhadap saksi dan

pelapor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Mengenai usul (F-PDIP) untuk mengubah redaksi pasal 15 ayat (1) huruf b dengan rumusan : "Dokter, akuntan publik, Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan konsultan di bidang keuangan pada saat mempersiapkan atau melakukan Transaksi untuk dan/atau atas nama kliennya". Pemerintah belum dapat mempertimbangkan dengan alasan bahwa tidak sesuai dengan rekomendasi FATF dan kepada dokter belum pernah dilakukan sosialisasi.
5. DIM No. 145 {Pasal 19 ayat (2)} mengenai jangka waktu kewajiban pelapor menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas pelaku Transaksi.

Menanggapi usul (F-PPP) untuk mengganti angka 5 (lima) tahun dengan angka 10 (sepuluh) tahun, Pemerintah belum dapat mempertimbangkan karena angka 5 (lima) tahun tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi FATF Nomor 10.
6. DIM No. 245 (Pasal 43 huruf d) mengenai kewenangan PPATK melakukan penyadapan komunikasi.

Mengenai usul (F-PG) untuk menghapus Pasal 43 huruf d dan usul (F-PD) untuk menambah frasa "dengan tidak mengabaikan kode etik dan aturan-aturan yang berlaku", Pemerintah mengusulkan agar dibahas lebih lanjut guna mendapatkan rumusan yang terbaik. Namun dalam hal penyadapan tetap diperlukan, Pemerintah sepakat menerima usulan F-PD.
7. DIM No. 252 (Pasal 44) mengenai hak imunitas PPATK dalam hal melaksanakan kewenangannya.

Menanggapi usulan (F-PG) untuk menghapus Pasal 44, Pemerintah belum dapat mempertimbangkan karena Undang-Undang ini merupakan ketentuan khusus untuk menerobos kerahasiaan bank yang dalam praktek telah dilaksanakan oleh PPATK dan sesuai dengan rekomendasi FATF Nomor 4.
8. DIM No. 272 (Pasal 51 huruf e) mengenai syarat pengangkatan sebagai Kepala atau Wakil Kepala PPATK

Menanggapi usul (F-PPP, F-KB, F-BPD) untuk menambah frasa "salah satu" setelah kata "memiliki", Pemerintah belum dapat mempertimbangkan karena sudah ditentukan secara alternatif dengan perumusan kata "atau" dalam ketentuan tersebut.
V. PENUTUP

Demikian laporan ini dibuat untuk dapat dipergunakan lebih lanjut bagi Komisi III DPR RI

dalam menjalankan tugasnya kedepan.

Jakarta,

Juni 2009

KETUA DELEGASI,

PATANIARI SIAHAAN

Anda mungkin juga menyukai