Anda di halaman 1dari 14

TUGAS

Jurnal:

INTERPRETIVE APPROACHES: A PSYCHOLINGUISTIC PERSPECTIVE Oleh Dane L. Harwood. THE COMING OF AGE OF INTERPRETIVE ORGANIZATIONAL RESEARCH Oleh Anshuman Prasad dan Pushkala Prasad

DIAH HARI SURYANINGRUM (107020301111007)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

RISET AKUNTANSI INTERPRETIF


Dosen : Ali Djamhuri, SE, Ak, M.Com, Ph.D

PROGRAM DOKTOR ILMU AKUNTANSI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

Artikel 1 INTERPRETIVE APPROACHES: A PSYCHOLINGUISTIC PERSPECTIVE Oleh Dane L. Harwood. The Journal of Asian Studies, Vol. 44 No. 4, (Aug., 1985), pp. 779-784 Pada dasarnya, artikel yang ditulis oleh Harwood ini membahas tentang artikel lain yang ditulis oleh Ricard McGinn, Jeff Dreyfuss, dan Susan Rodgres. McGinn, Dreyfuss, dan Rodgers menggabungkan perspektif dan metodologi tertentu dalam ilmu antropologi dan linguistic. Rodgers dan McGinn memberi nama perspektif ini sebagai pendekatan interpretif. Harwood focus pada bahasa dan music sebagai fenomena kognitif, yang berdasarkan pendekatan interpretif yang dianjurkan oleh Geertz (1973) dan A.L. Becker (1979), dia dianggap sebagai ahli psycolinguistik dan ahli ethnomusicology. Tuntutan kognitif yang dibuat oleh para peneliti di luar domain psikologi menarik banyak perhatian mereka yang berada pada domain itu. Pada abad terakhir, para ahli telah mulai mencari dasar yang umum (common ground) untuk menganalisa perilaku manusia. Usaha yang telah dilakukan adalah menghubungkan teori dan metode biologi dengan yang dipelajari dalam ilmu perilaku manusia. Sedangkan McGinn, Rodgers, dan Dreyfuss, mencoba mencari konsep dan teknologi yang akan membantu dalam mengungkap (membongkar) arti lapisan-lapisan majemuk dalam tindakan manusia. P.Ricouer (1979) secara mendalam menyebut lapisan tersebut sebagai teks Tahun-tahun revolusi paradigm di bidang linguistic parallel dengan tahun-tahun revolusi di bidang psikologi, antropologi, dan riset individu. Dalam bidang-bidang ini, usaha untuk mengkaitkan pengetahuan manusia umum (tacit knowledge) dengan perilaku tindakan adalah sangat penting. (Tacit knowledge berbeda dengan pengetahuan formal atau eksplisit yang bisa ditulis, dibaca, dipelajari, dan dimengerti. Tacit knowledge lebih sulit untuk ditransferkan. Contoh: kemampuan bersepeda). Secara simultan, kita menjadi lebih sadar tentang bagaimana konteks lingkungan mempengaruhi apa yang kita pikirkan dan apa yang kita lakukan. Pentingnya Konteks (The Importance of Context) Salah satu sumber optimisme berakar dari kesadaran (realisasi) bahwa teori perilaku manusia yang valid harus memperhitungkan konteksnya. Konsep tentang sebuah teks (atau diskursus) tindakan manusia membantu kita untuk melihat bahwa tingkatan penjelasan perilaku manusia tidak sekedar secara hirarki, mereka saling mengkontektualisasi antara satu
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

dengan yang lainnya. Lagi pula, tidak ada satu tingkatan analisis yang cukup mampu menginterpretasikan perilaku secara utuh. Konsep kendala (constraints) adalah dasar atau sebagai pendukung proses konstektualisasi. Kecenderungan saat ini dalam ilmu linguistic berpendapat bahwa organisasi sintaktik harus didasarkan pada diskursus yang berprasyarat (pre-requisites), yaitu adanya budaya dan kendala kognitif. Oleh karena itu teori kognisi yaitu cara bagaimana otak mencatat dan merepresentasikan dunia harus dapat dicapai dalam diskursus. Aktivitas kognitif individual akan menjadi teks atas tindakan umum yang dapat diamati. Riset saat ini oleh ahli psikologi kognitif masih menemukan kendala tingkat-diskursus dalam berfikir dan merepresentasikan mental. Kendala-kendala tersebut bisa muncul selama proses perseptual; proses kategorisasi dan gudang memori; dan proses mengkonstrusikan representasi mental. Kendala semacam itu dapat diterapkan untuk memahami dan menghasilkan diskursus verbal. Para ahli psikologi kognitif saling berargumen mengenai model mana yang paling sukses dalam memperlajari analisis kontekstual cara berfikir. Dalam decade terakhir, topic yang paling diminati oleh para ahli kognitif adalah representasi mental dari pengetahuan, memahami metafora, khayalan mental, dan lingkungan-manusia (ekologi) yang menimbulkan persepsi dan pemikiran (gagasan). Dalam metafora dan analisis secara analogi, ditemukan kendala pada hubungan semantic yang dipaksakan oleh pengetahun linguistic atau non-linguistik para pendengarnya. Pendekatan secara ekologi mempertimbangkan kendala pada pemahaman manusia yang ditarik dari realitas tindakan dalam lingkungannya. Ini adalah isu interpretasi kontekstual, yang relevan dengan pendekatan interpretif yang dikemukakan oleh Rodgers dan McGinn. Psikologi kognitif dapat digunakan untuk membantu ilmuwan social lain dalam mengembangkan model untuk berbagai tingakatan kendala dalam diskursus. Ilmu kognitif akan menjembatani antara public dan privat dari aktivitas manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan menjernihkan proses dengan menetapkan tingkatan kendala teks perilaku manusia yang berbeda yang dikontekstualisasikan bersama. Mengidentifikasi Sebuah Metode (Identifying a Method) Sumber optimisme ke dua muncul dengan adanya gambaran metodologi, prosedur untuk mengimplementasikan diskursus/analisis teks. Ricouer menyebut metodologi ini sebagai interpretasi. Rodgers dan McGinn, menyatakan bahwa metodologi ini meliputi perubahan kontinyu dari analisis structural (tindakan penjelasan) dengan kontekstualisasi dari analisis tersebut (tindakan pemahaman)
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

McGinn menyediakan sekumpulan contoh yang bagus dari prosedur ini, yang diambil dari Bahasa Indonesia. Fokus pada topic kalimat dalam bahasa Indonesia membantu kita untuk melihat prinsip-prinsip koheren yang dapat berfungsi berbeda pada berbagai tingkatan analisis. Contoh-contoh McGinn menunjukkan dengan jelas bahwa korelasi kalimat topic dengan subyek menekankan baik kendala gramatikal dan diskursus.

Pertalian/koherensi budaya penting bagi aktivitas manusia, dan beberapa kendala yang menghasilkan koherensi di Indonesia dan di Inggris dapat diidentifikasi secara hati-hati dengan memeriksa seluk beluk konteks diskursus maupun ungkapan gramatikal yang dipisahkan. Analisis yang kaya oleh Rodgers terhadap ritual adat Angkola Batak juga menerapkan metodologi interpretif ini. Dia bergerak antara kendala yang menuntun struktur urutan tarian, music, dan pidato dan kendala lain yang menuntun hubungan social atas ritual, kekeluargaan, dan bahasa. Pada tingkatan ini, kendala itu berhubungan dengan proses pertukaran dan aliansi orang Batak. Hasil kerja Rodgers, sama seperti McGinn,menanamkan analisis structural dalam penjelasan yang detail/rinci. Sementara rincian menyediakan data nyata untuk diskusi teoritisnya, metodenya juga memperjelas bagaimana cirri-ciri budaya memberi arti untuk memahami aktivitas terstruktur yang tinggi. Apresiasi terhadap kendala structural membantu untuk menjelaskan perilaku dengan rinci. Baik McGinn dan Rodgers mengacu pada prosedur interpretif A.L Becker (1979) dengan Wayang Kulit Jawa. Clifford Geertz telah menganjurkan versi dia sendiri tentang metode interpretif selama beberapa tahun dengan nama deskripsi yang dalam (thick description) (lihat Geertz, 1973), dan ini adalah metode yang bagi Becker sangat sesuai. Pendekatan interpretif bukan terbatas pada proponen awal tetapi merupakan metodelogi yang dapat diterapkan. Konsep Koheren (The Concept of Coherence) Optimisme ke tiga adalah isu koheren. Istilah koheren menjadi lebih bernilai dalam abstraksi teori kognitif, meskipun masih cukup sulit untuk diterapkan. Lackstrom dkk. (1975) mengungkapkan koherensi dalam bahasa. Sedangkan Dreyfuss menyimpulkan bahwa prinsip utama dalam cerita-cerita Bahasa Indonesia adalah kebetulan, dan itu merupakan bukti tambahan bahwa kebetulan atau co-kejadian mendasari banyak jenis teks budaya Jawa, termasuk wayang kulit (AL Becker 1979), perhitungan kalender (Geertz, 1973), dan struktur gamelan musik dan kinerja (J. Becker, 1979). Tampaknya Dreyfuss ingin berargumentasi bahwa kebetulan dan bukan hubungan kausalitas
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

linier yang menghasilkan narasi dari arti kata "Surabaya." Apakah itu juga terjadi dalam literature Barat bahwa kausalitas dan bukan kebetulan yang menghasilkan makna yang koheren, masih diperdebatkan, dan merupakan isu yang menarik. Untuk menunjukkan bahwa kausalitas merupakan prinsip koherensi utama di Barat masih memerlukan analisis interpretative dari teks-teks Barat tambahan di samping yang ada dalam literatur: music, percakapan, ritual, dan sebagainya. Apa yang membuat tindakan social kita koheren adalah "tacit knowledge" (Polanyi, 1966). Pengetahuan bukan bersifat pribadi tetapi social, sehingga secara social pengetahuan tumbuh berdasarkan realitas pengalaman yang dialami individu. Fokus baru pada pemikiran analogis dan metafora adalah salah satu cara ahli psikolinguistic dan kognitif telah mencoba untuk mempelajari bagaimana pengetahuan "diam-diam (tacit)" itu terjadi. Prospek adanya satu set prosedur yang lebih umum apakah bisa disebut sebagai "diskursus interpretasi?" yang dapat membantu menunjukkan prinsip koherensi implicit yang membimbing perilaku manusia dalam konteks budaya. Ahli psikologi kognitif telah melihat mental perilaku pada "script," "protokol," atau "frame" untuk strategi pengorganisasian, dan analisis interpretif akan berkontribusi terhadap upaya-upaya yang dilakukan. Domain pengetahuan tacit, yang kita "tahu" tetapi tidak dapat kita "jelaskan," merupakan target yang menarik untuk penelitian tersebut. Beberapa Catatan yang Perlu Diperhatikan (Some Notes of Caution) Bagi ahli psikolinguistik, tugasnya adalah mengidentifikasi kendala

kognitif, kendala perseptual, dan pembangunan bahasa, sehingga perlu untuk lebih banyak meggunakan deskripsi yang mendalam di bidang ethnolinguistic dan etnografi dibanding di masa lalu. Michael Cole dkk melakukan riset atau pekerjaan lintas-budaya dan menegaskan bahwa semua perilaku budaya manusia muncul dari dasar, proses kognitif yang mendasari, artinya proses tidak terjadi dalam isolasi. Mereka bergabung menjadi representasi berbasis kontekstual dunia untuk menghasilkan perbedaan budaya dalam pikiran dan perilaku umum. Jika demikian, maka ahli bahasa dan antropolog memilki tugas timbale balik untuk menemukan kendala kognitif yang telah diungkap oleh ahli psikologi. Ini berarti membangun model etnografis teori kognitif, dan pada tingkat tertentu mengembangkan analisis interpretif. Ada dua kesulitan yang dihadapi dalam menghubungkan kognisi dengan etnografi apabila menggunakan analisis interpretatif sebagai metodologi. Pertama, Harwood tidak sependapat dengan McGinn dan Rodgers yang menggunakan analogi Ricouer yaitu perbedaan kompetensi-versus-kinerja dianalogikan dengan perbedaan
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

bahasa-versus-diskursus. Harwood berpendapat lebih baik focus pada perbedaan antara "pemahaman" dan "produksi." Alasannya, perbedaan ini tidak menggugah perdebatan mengenai alamiah-versus-pemeliharaan (nature-versus-nurture) yang banyak diperdebatkan dalam linguistic pada tahun 1960-an. Dengan menggunakan analogi perbedaan antara "pemahaman" dan "produksi," dalam lingkungan bahasa tertentu, anak-anak (atau native speaker) tahu lebih banyak daripada yang dapat mereka melakukan, atau sebaliknya, mereka belum mampu memahami apa yang mereka dapat hasilkan. Hal ini menurut Harwood diselesaikan dengan analisis interpretative dari "teks." Dua, masalah yang timbul dari perilaku interpretasi adalah perlunya kehadiran penterjemah (interpreter) sebagai bagian dari metodologi. Kuhn (1970) menekankan pada objektifitas ilmiah dan peneliti merupakan sumber utama interpretasi. Studi Rodgers mengenai ritual Angkola Batak merupakan salah satu contoh yang baik, karena mampu menyesuaikan dengan isu tersebut dengan menggunakan pendekatan interpretif. Dia menyediakan banyak data etnografik, yang mengundang pembaca untuk memahami struktur melalui pemahaman kontekstual atau sebaliknya. Dalam risetnya Rodgers tidak hanya berperan sebagai dirinya sendiri, pengamat, partisipan, dan sponsor. Dengan melakukan hal tersebut, menimbulkan pertanyaan apakah prinsip-prinsip koherensi yang muncul dari analisis berkulaitas jika dalam konteks ini, dia tidak hanya sebagai pengamat, akan tetapi memiliki peran yang lebih mendalam. Rodgers mengakui bahwa bias tidak mungkin tidak dapat dihindari dalam situasi etnografi, bahkan bisa jadi peneliti sengaja memperkenalkan bias, sebagai percobaan. Uji untuk mengetahui bagaimana asumsi-asumsi dan pandangan dunia seseorang memberi kontribusi pada proses interpretasi adalah sulit, dan sering melibatkan banyak pencarian-jiwa. Jika kita ingin menggunakan pendekatan interpretif, pengetahuan-diri akan membantu kita untuk mengidentifikasi kendala utama kita sebagai penerjemah. Lebih penting lagi, pemahaman peran kita sendiri sebagai "instrument pengukuran" dalam situasi ini akan mengarah pada interpretasi yang lebih kaya dan lebih mampu mencerahkan interpretasi perilaku.

Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

Artikel 2 THE COMING OF AGE OF INTERPRETIVE ORGANIZATIONAL RESEARCH Oleh Anshuman Prasad dan Pushkala Prasad Organizational Research Method, Jan 2002; 5, 1, ABI/INFORM Global. Setelah berabad-abad menempati posisi bawah lebih rendah di dalam bayangan riset mainstream (positivistic), saat ini, ahli organisasional interpretif tampaknya yakin untuk muncul dan berbicara dengan suara yang lebih kuat dan independen. Selama bertahun-tahun, pendekatan interpretif dengan mantap menegaskan relevansinya dengan studi-studi manajemen dan organisasi dengan menekankan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh eksperimen tradisional atau metode survey, dan dengan meningkatkan pemahaman terhadap dimensi symbol dalam kehidupan. Berbagai jenis riset interpretif yang alirannya berbeda juga mendemonstrasikan (bahkan yang mengkritik mereka) bahwa mereka sama kuatnya seperti ilmu positif meskipun kekuatan mereka masih perlu dipertimbangkan dengan menggunakan criteria yang berbeda yang umumnya digunakan pada riset konvensional. Riset organisasional interpretif memberi kesempatan dan ruang gerak untuk menilai beberapa fitur dan capaian yang baik, untuk memahami kompleksitas berbagai aliran di bawah label interpretif, dan untuk menaksir signifikansi arah riset yang mungkin diambil. Untuk mencapai tujuan ini, terbitan khusus Organizational Research Methods

menggabungkan lima tulisan ilmiah yang menerangkan kematangan dan kepercayaan-diri riset organisasional interpretif dan yang menekankan metodologi yang signifikan dan kompleks dan pertanyaan-pertanyaan epistemology yang didesain untuk lebih mengenalkan praktek-praktek riset organisasional interpretif (dan juga, riset organisasional). Dalam banyak hal, munculnya riset organisasional interpretif berhubungan dengan munculnya riset yang disebut riset kualitatif selama beberapa tahun terakhir dalam berbagai disiplin ilmu dan studi manajemen dan organisasi. Riset organisasinal kualitatif, yang telah kita kenal, timbul sebagian sebagai respon atau tanggapan terhadap keterbatasan yang sigifikan (bahkan ada yang menyebut fatal) dari riset kuantitatif dan riset organisasional positivistic. Beberapa keterbatasan ini terjadi karena keinginan banyak peneliti organisasional yang meniru metode ilmu alam. Dalam proses ini, sayangnya, para peneliti organisasional kebanyakan kehilangan arah atas beberapa perbedaan penting antara ilmu alam (naturwissenschaften) dengan manusia dan ilmu social (geisteswissenschaften), keduanya sangat berbeda dalam beberapa dimensi kunci/penting (lihat, Bihman 1991; Habermas,

Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

1988), termasuk focus penyelidikannya (objek alam versus manusia, social, dan fenomena budaya) dan tujuan metodologi (menjelaskan dan mengendalikan versus memahami). Sebagai akibat diabaikannya hal tersebut dan perbedaan lain antara ilmu alam dan ilmu social, riset manajemen konvensional secara umum telah mengkonseptualisasikan manusia dan fenomena organisasional ke dalam dunia alam yang berdasar fakta dan telah masuk dalam asumsi-asumsi metodologi yang bermasalah, termasuk realitas atau pengalaman yang tersedia, dan objektifitas peneliti, keterpisahan, dan kenetralan objek yang diteliti (Bohman, 1991; Denzin & Lincoln, 2000). Manuver-manuver metodologi yang dipertanyakan ini tampaknya telah dimotivasi oleh keinginan untuk menghasilkan pengetahuan yang universal dan nomotetik. Sebagian karena hasil dari metodologi yang terbatas itu, riset organisasional kuantitatif yang konvensional ini banyak tergantung pada teknik-teknik statistic yang kompleks, yang sering terbukti terlalu sederhana, tanpa historis, terdekonstektualisasi, terreduksi, tanpa filosofi, dan tidak reflektif. Perubahan ke arah riset kualitatif (yang berbeda dengan kuantitatif) studi di bidang manajemen dan organisasi menunjukkan adanya ketidakpuasan atas keadaan tersebut. Kepopuleran dan pertumbuhan yang pesat dari riset kualitatif dalam riset manajemen akhir-akhir ini, telah diikuti juga oleh kebingungan dalam hal metodologi dan epistemology. Jadi, salah satu tujuan artikel ini adalah untuk secara ringkas menekankan kebingungan ini, sehingga dapat menarik perhatian atas beberapa perbedaan antara riset kualitatif di satu sisi dan riset interpretif di sisi yang lain. Riset interpretif, lebih tepat dipandang sebagai subset dari riset kualitatif. Dengan kata lain, meskipun orang berfikir bahwa semua riset organisasional interpretif termasuk ke dalam domain riset kualitatif, akan tetapi tidak semua riset kualitatif sesuai dengan jiwa riset interpretif. Dalam ilmu organisasional, menyebutkan riset kualitatif tampaknya menimbulkan bayangan atau gambaran perspektif filosofis, teknik riset dan prosedur, gaya presentasi, dan lain-lain yang berbeda. Teori kritis (Alvesson, 1987; Alvesson & Deetz, 1996), dekonstruksi (Derrida, 1976, 1994, 2000), analisis diskursus (Fairclough, 1995; Prasad & Prasad, 2000), dramatisme (Burke, 1969; Czarniawska, 1997), dramaturgy (Goffman, 1959; Hochschild, 1983), etnografi (Clifford & Marcus, 1986; Van Maanen, 1995), etnometodologi (Boje, 1991; Garfinkel, 1976), feminism (Billing & Alvesson, 1994), analisis grounded theory (Glaser & Strauss, 1967; Strauss & Corbin, 1990), hermeniutik (Prasad, 2002), analisis naratif (Czarniawska, 1997), pengamatan partisipan (Kunda, 1992; Thopmson, 1983), fenomenologi (Hussler, 1962; Moustakas, 1994; Schutz, 1967), poskolonialisme (Prasad, di penerbit; Spivak, 1999), posstrukturalisme (Derrida, 1976; Foucault, 1980), interaksionisme simbolik
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

(Blumer, 1969; Prasad, 1993), dan lain-lain, semuanya tampaknya berada di bawah naungan label riset kualitatif. Untuk mengurangi kebingungan yang melingkupi riset kualitatif dan interpretif, penting untuk menguraikan berbagai pendekatan ini satu dengan yang lain. Dimulai dengan perlunya ilmuwan organisasionl untuk mengakui bahwa meskipun pendekatan interpretif yang berbeda mempunyai dasar yang sama, masing-masing pendekatan ini juga didasarkan pada pertimbangan metodologi yang unik yang memandu konseptualisasi, desain, dan implementasi proyek riset individual (Denzin & Lincoln, 2000). Dapat juka dikatakan, berbagai pendekatan individual berbeda satu sama lain berkenaan dengan pertanyaan riset yang diajukan, arah riset yang ingin dicapai, prosedur riset yang diterapkan, dan lain-lain. Membangun apresiasi dan pemahaman atas perbedaan tersebut akan membantu kesadaran akan kebingungan yang timbul bagi peneliti riset kualitatif dan/atau riset interpretif. Beberapa dari kebingunan itu berkaitan dengan fakta bahwa berbagai pendekatan riset atau rerangka yang telah dinyatakan sebelumnya, sering kali telah diidentifikasi sebagai riset interpretif dan kualitatif. Ketidaksesuaian terminology semacam itu sering kali menimbulkan suatu kesan bahwa riset interpretif benar-benar sama dengan riset kualitatif, jika didefinisikan secara luas. Meskipun demikian, kedua istilah tersebut, kualitatif dan interpretif, tidak benarbenar identik. Oleh karena itu penting untuk membedakan keduanya dan mengembangkan apresiasi beberapa kunci perbedaan yang mengkarateristikkan riset organisasional interpretif saat ini. Beberapa kebingungan yang melingkupi riset interpretif dan kualitatif dapat diekspresikan ke dalam pertanyaan-pertanyaan: apakah riset intepretif mengimplikasikan sikap pandang yang relative unik? Orientasi teoritis yang spesifik? Penggunaan metode lapangan yang khusus? Atau pemanfaatan pengumpulan data tertentu dan cara penulisan yang lazim? Istilah umum riset kualitatif secara khas berkenaan dengan pendekatan metodologi yang berdasar pada nonkuantitatif (nonstatistikal) model pengumpulan data dan analisis. Apa yang mungkin tidak dapat dengan segera disadari adalah bahwa riset kualitatif dapat dilakukan dalam tradisi positivistic dan nonpositivistik. Bahkan, organisasi riset dalam ilmu social, khususnya dalam studi manajemen dan organisasional, dapat digambarkan menggunakan bentuk positivisme kualitatif. Positivisme kualitatif menggunakan metode nonkuantitatif dalam asumsi-asumsi tradisional positivistic tentang sifat social atau realitas organisasional dan diproduksinya pengetahuan. Dalam banyak hal, positivisme kualitatif mengadopsi penggunaan akal sehat dan pendekatan realis ke arah masalah ontology dan epistemology. Realitas diasumsikan konkrit, terpisah dengan si peneliti, dan dapat disadari
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

melalui penggunaan, apa yang sering disebut metode objektif dalam pengumpulan data. Oleh karenanya, positivisme kualitatif dapat dipandang mengalami keterbatasan yang sama dengan positivisme kuantitatif. Tidak mengherankan bahwa munculnya riset organisasional interpretif dari masa remaja yang kikuk menjadi kematangan yang penuh percaya diri, dikarakeristikkan oleh perbedaan bentuk-bentuk positivisme kualitatif. Disamping itu, mendewasanya

interpretivisme dalam riset organisasional menekankan juga suatu terobosan terhadap beberapa batasan intelektual yang ditetapkan disekitar skema paradigma interpretivisme oleh Burrel dan Morgan (1979). Riset interpretif kontemporer menolak untuk mematuhi aturan-aturan positivisme, atau untuk dibatasi, ditertibkan, dan didisiplinkan oleh pikiran yang ketinggalan jaman. Dalam praktiknya, hal ini mengimplikasikan beberapa hal. Satu, riset interpretif terikat dengan filosofi konstruksi social yang lebih luas (Berger & Luckmann, 1967), yang memandang realitas social sebagai dunia yang dikonstruksikan dan melalui interpretasi yang berarti. Tujuan peneliti adalah tidak untuk menangkap dunia yang sudah ada atau yang sudah jadi yang diasumsikan sudah ada di luar sana tetapi untuk memahami proses simbolik terciptanya dunia (worldmaking) (Schwandt, 1994) dengan mana dunia social sedang disempurnakan. Komitmen ontology dan epistemology ini adalah inti dari riset interpretif dan menjawab pertanyaan positivistic tentang reliabilitas dan generalibilitas yang tampaknya tanpa makna. Salah satu warisan klasifikasi riset oleh Burel & Morgan (1979) adalah pemisahan yang diperkirakan ada antara interpretivisme dan kritis, dimana interpretivisme

dikarakteristikkan sebagai ketidaktertarikan pada pertanyaa-pertanyaan radikal atau fasilitasi perubahan social. Dengan mendewasanya riset organisasional interpretif, pemisahan semacam itu menjadi tidak berarti (kecuali, mungkin, untuk tujuan kemudahan analitikal), dan garis antara interpertif dan kritis semakin kabur (Denzin, 1994; Prasad & Prasad, diterbitkan). Meskipun masih tepat untuk mengatakan bahwa banyak peneliti organisasional interpretif mungkin dengan sengaja menahan diri untuk membangkitkan pertanyaanpertanyaan yang mengangu status-quo atau membuat kritik, peneliti lainnya, termasuk para pengarang artikel dalam edisi khusus ini, mengadopsi posisi yang secara eksplisit kritikal sementara bekerja dalam berbagai aliran interpretif yang berbeda seperti hermeneutika, analisis bingkai (frame), atau prakseologi Bourdieu. Seperti yang ditunjukkan oleh para pengarang di sini, tindakan untuk menggambarkan pemikiran interpretif secara menyeluruh membutuhkan beberapa bentuk pertanyaan fundamental yang tidak terlalu berbeda dengan orientasi kritikal. Artikel-artikel dalam terbitan ini juga menunjukkan bahwa sejalan dengan
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

periset interpretif yang menjadi semakin nyaman untuk menghapus batasan epistemology yang diteorisasi sebelumnya, mereka semakin dihadapkan pada kesulitan pertanyaan etis dan politis tentang praktik mereka (atau yang lainnya) dari tindakan interpretif itu sendiri. Oleh karenanya, bersatunya interpretasi dan kritik di dalam riset organisasional interpretif kontemporer juga dikarakteristikkan oleh meningkatnya refleksifitas-diri bagi sebagian ilmuwan di area ini. Riset interpretif di dalam studi manajemen dan organisasi juga secara tradisional diidentifikasi dengan erat oleh pemahaman makna-makna local dan dunia simbolik seharihari. Sebagai akibatnya, domainnya sering dipandang sebagai titik pusat dunia mikro dari interkasi individual dan bahasa organisasional, budaya, dan semacamnya, yang jauh dari area makro dari proses institusional berskala luas, struktur-struktur, jejaring, dan lain-lain. Tak terhitung jumlah studi interpretif terhadap fenomena seperti subkultur organisasional local (Gregory, 1983; Young, 1989), cerita local (Boje, 1991), dan praktik-praktik mikro local (Aredal, 1986) yang hanya memperkuat rasa kewalahan bahwa riset interpretif hanya mengenai hal-hal khusus organisasi individu dan bukan tentang institusi dan konteks atau pengaruh organisasional yang lebih luas. Dengan mendewasanya riset organisasional interpretif, para ilmuwannya mulai menjembatani gap antara praktik-praktik mikro dan struktur makro dan bekerja untuk menetapkan hubungan antara dunia subyektif local dan organisasional makro dan proses dan fenomena institusional. Selanjtnya, tuisan ini meringkas lima artikel yang ada pada terbitan khusus ini. Artikel pertama, The Contest Over Meaning: Hermeneutics as an Interpretive Methodology for Understanding Texts oleh Anschuman Prasad, yang focus pada pendekatan interpretif yang mungkin dapat ditelusuri kembali sampai pada jaman Yunani kuno. Meskipun hermeneutika dimulai di jaman dahulu sebagai metode yang dianggap terlalu sempit untuk dipakai menginterpretasikan kesulitan untuk memahami lintasan tekstual, hermeneutika kontemporer merupakan aliran interpretif yang lebih luas yang telah mengembangkan apa yang dimaksud dengan istilah teks. Singkatnya, sekarang ini teks tidak hanya berkenaan dengan dokumen atau semacamnya, akan tetapi juga tentang struktur dan proses social, organisasional, dan institusional; kebudayaan dan barang-barang peninggalan budaya; dan lain-lain. Artikel ini a) menelusuri evolusi hermeneutika kontemporer, memeriksa proses berfikir para pemikir utama seperti Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer, dan Habermas; b) memberikan diskusi mendalam tentang konsep dasar dan perdebatan yang melaporkan hermeneutika kontemporer; c) menawarkan pedoman
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

10

methodology dalam melaksanakan riset hermeneutika di dalam studi manajemen dan organisasi. Artikel ini juga menekankan pada pentingnya menghubungkan mikro (teks local) dengan makro (konteks global), dan signifikansi kritik pemicu-etika refleksitas-diri dalam proses riset hermeneutika. Artikel ke dua, oleh Creed, Langstraat, dan Scully, memperkenalkan analisis frame sebagai metodologi yang berguna bagi para peneliti organisasional yang berminat untuk memahami logika institusional yang melandasi pembentukan kebijakan dan perdebatan lainnya. Meskipun analisis frame (yang terutama dipelopori oleh William Gamson) telah mencapai tempat yang terhormat di dalam literature perubahan social, telah dengan susah payah menimbulkan minat di kalangan ilmuwan organisasional. Credd dkk membuat argumen yang menarik untuk penggunaan analisis frame dalam studi organisasional dengan analisis mereka terhadap dua kutipan dari teks yang diterapkan oleh kelompok yang berbeda dalam perdebatan tentang perusahaan anti-gay dalam komunitas Socially Responsible Investing. Dengan ringkasnya dua kutipan tekstual yang digunakan, apa yang menakjubkan adalah kesempurnaan yang bisa ditawarkan oleh analisis frame dalam mengungkap berbagai polikik, tekanan, dan kontradiksi yang ada dibalik ke dua teks tersebut. Dengan bantuan metodologi ini, Creed et al. merubah teks itu menjadi jendela di mana melalui jendela itu kita dapat memandang dunia yang tersembunyi dari ideology yang saling bertentangan dan menunjukkan suara dalam perdebatan diskriminasi anti-gay dan investasi social yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, artikel mereka merupakan ilustrasi yang luar biasa dalam mengkases domain yang lebih luas (makro) politik kepentingan dan budaya yang dibentuk dari sebuah studi kutipan tekstual yang singkat. Di luar mekanisme apa yang artikel ini lakukan, juga penting bagi pertanyaan eksplisit mengenai responsibilitas etis dan pilihanpilihan polititis peneliti yang melakukan riset interpretif. Artikel ke tiga. Perhatian untuk menggabungkan interpretasi dan kritis, serta menghubungkan local (mikro) dan global (makro), dijabarkan pada dua artikel berikutnya, yang salah satunya ditulis oleh Jeff Everet. Artikelnya memperkenalkan peneliti organisasional kepada metodologi prakseologi social, sebuah alternative pendekatan interpretif yang berasosiasi dengan teoris social Pierre Bourdieu. Prakseologi, seperti yang dinyatakan dalam artikel ini, mensintesiskan objektifitas dari first-order (atau fisik social) dengan objektifitas dari second-order (fenomenologi social) dan, dengan melakukan hal itu, mencari jalan untuk menghindari baik Scylla dari rigid abstracted empiricism dan Charybdis relativistic epistemological laissez faire (Bourdieu & Wacquant, 1992, p. 30,
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

11

disitasi dalam Everett, 2002, terbitan ini, p. 73). Artikel ini memberikan analisis yang canggih dan bernuansa dari arsitektur konseptual prakseologi dan menawarkan diskusi mendalam dalam melaksanakan riset prakseologi dalam studi-studi manajemen dan organisasi. Sebagai tambahan, dengan merefleksikan peneliti refleksifitas-diri dalam interpretivisme

kontemporer, artikel ini secara kritis mendiskusikan peran ilmuwan-penyelidik sebagai subyek yang etis yang menutupi obyek yang diteliti dan kekuasaan dalam masyarakat. Artikel ke empat. Isu-isu dari peneliti sebagai subyek yang etis menjadi pusat utama pada artikel berikutnya, Interpretation Appropriation: (Making) An Example of Labor Process Theory oleh Edward Wray-Bliss. Wray-Bliss focus pada perhatian ilmuwan organisasional yang muncul di Inggris selama beberapa tahun terakhir di bawah rubric Labor Process Theory (LPT). Pengakuan terbuka atas`aliran kritis dari riset organisasional, LPT terkait dengan isu-isu mengenai kekuasaan, dominasi, penindasan, dan penolakan dan dinyatakan dimotivasi oleh ketertarikan yang dalam atas emansipasi pekerja dan kelompok marginal lainnya. Meskipun demikian, analisis Wray-Bliss terhadap riset LPT di Inggris mengungkapkan beberapa kontradiksi yang menjadi inti dari ilmuwan semacamnya (ilmuwan emansipatori). Wray-Bliss menggunakan sampel tulisan oleh para peneliti LPT di Inggris secara kritis dan mengungkap bahwa sekalipun para peneliti itu mendukung kepentingan emansipatori, tulisan mereka menggambarkan dua praktik, yaitu, (a) peredaman dan appropriasi suara perempuan, dan (b) appropriasi subyektifitas para pekerja yang secara etis dan teoritis tidak dapat dipertahankan dan yang ada kalanya bertentangan dengan proyek kritis yang lebih luas. Dengan mengikuti ini, artikel ini merefleksikan lebih jauh isu-isu etika dari riset interpretif dan menawarkan beberapa saran yang berguna. Artikel terakhir, The Organizational Imagination oleh Raza Mir dan Ali Mir, merupakan peringatan bagi peneliti organisasional yang bekerja pada aliran interpretif dan pospositivisme tentang keinginan memeriksa pengaruh tindakan organisasional terhadap masyarakat yang lebih luas yang ada di dalamnya, khususnya kehidupan apa yang disebut orang awam. Pengarang menawarkan hasil kerja ahli sosiologi Amerika, C. Wright Mills, sebagai model keterlibatan ilmuwan yang terinspirasi yang membuat hasil kerja akademisi menjadi relevan, tidak dengan cara membuat bayangan dunia luar (mirroring), tetapi dengan secara sitematis mengkritik dan menantangnya. Dengan membuat bayangan ketidakpuasan sekarang dihubungakan dengan kekagalan akademisi (khususnya secara kritikal atau jalur alternatif) untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan tentang ketidakseimbangan social, marginalisasi budaya, dan krisis ekologi, Mir dan Mir memaksa kita yang bekerja dalam
Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

12

aliran interpretif yang berbeda untuk memperbarui proyek dari ilmuwan oposisi ke dalam dunia kerja kita. Proposal mereka, yang diberi pedoman sebagai model organizational imagination yang sama dengan imaginasi social oleh Mill, merupakan penolakan yang kuat terhadap teladan masa lalu yang tidak dapat dicapai oleh ihktiar akademisi yang tidak memihak untuk memilih tradisi yang menghubungkan ilmuwan dengan perjuangan social dan transformasi. Seperti artikel lain dalam terbitan ini, hasil kerja mereka juga menunjukkan pengikisan batas-batas antara riset interpretif dan kritis yang telah hadir bersama dengan asumsi sebelumnya yaitu maturitas kepercayaan-diri. KESIMPULAN Artikel 1 Dalam perspektif psikolingustik, telah banyak usaha dilakukan untuk mencari dasar yang umum dalam menganalisa perilaku manusia. Pencarian tersebut tampaknya akan berhasil mengingat adanya optimisme yang meliputi optimisme analisis perilaku manusia dengan memperhitungkan konteks, optimisme adanya metode yang digunakan yaitu metode interpretif atau thick description, dan optimisme adanya analisis koherensi antara mikro (local) dan makro (global) dari berbagai teks. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam riset interpretif adalah penggunaan analogi dan peran peneliti yang mungkin bias (perlunya penterjemah). Artikel 2 Riset kualitatif tidak sama dengan riset interpretif, meskipun secara umum keduanya mempunyai karakteristik yang sama. Dapat dikatakan bahwa riset interpetif merupakan subset dari riset kualitatif. Riset organisasional interpretif telah mencapai masa dewasanya yang ditandai dengan: 1) semakin berbeda dengan bentuk positivisme kualitatif sehingga menerobos batasan intelektual yang memandang realitas social dunia yang dikontruksikan melalui interpretasi yang bermakna; 2) semakin kaburnya pemisahan antara interpretif dan kritis (komitmen ontology dan epistemology yang berbeda dengan positivisme yang semakin dekat dengan kritis); 3) mulai dijembataninya pemahaman makna local (mikro) dan struktur global (makro) sehingga dapat ditetapkan hubungan antara dunia subyektif local dan organisasional makro serta proses dan fenomena institusional.

Riset Akuntansi Interpretif Diah Hari Suryaningrum 107020301111007

13

Anda mungkin juga menyukai