Anda di halaman 1dari 152

J. Biol. Indon. Vol 6, No.

1 (2009) ISSN 0854-4425

JURNAL BIOLOGI INDONESIA


Akreditasi: No 816/D/08/2009 Vol. 6, No. 1, Desember 2009
Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi Lingkungan Tercemar Akibat Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kampung Leuwi Bolang, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Bogor Titi Juhaeti, N. Hidayati, F. Syarif & S. Hidayat Occurrence of Idiosepius (Mollusca: Cephalopoda) in Indonesian waters Janek von Byern & Ristiyanti M. Marwoto Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis Anodontia edentula Di Ekosistem Mangrove Yuliana Natan 1

13

25

Bioakumulasi Kadmium Pada Kerang Hijau (Perna viridis) Dengan Aplikasi Perunut 39 Radioaktif Yusni Ikhwan Siregar Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi Larva Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Tjahjo Winanto, Dedi Soedharma, Ridwan Affandi, & Harpasis S. Sanusi Pengaruh Kedalaman Terhadap Proses Pelapisan Inti Bulat Pada Kerang Air Tawar (Anodonta woodiana) Boedi Rachman, Tjahjo Winanto, Maskur, &Yade Sukmajaya Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta, Raja Ampat, Papua Edi Mirmanto 51

71

79

BOGOR, INDONESIA

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 1 (2009)


Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember). Editor Pengelola Dr. Ibnu Maryanto Dr. I Made Sudiana Dr. Anggoro Hadi Prasetyo

Dr. Izu Andry Fijridiyanto


Dewan Editor Ilmiah Dr. Abinawanto, F MIPA UI Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia Dr. Srihadi Agung priyono, F. Kedokteran Hewan IPB Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI Alamat Redaksi

Sekretariat Oscar efendi SSi MSi


d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056 Fax. (021) 8765068 Email : jbi@bogor.net Website : http://biologi.or.id Jurnal ini telah diakreditasi ulang dengan nilai A berdasarkan SK Kepala LIPI 816/ D/2009 tanggal 28 Agustus 2009.

J. Biol. Indon. Vol 6, No.1 (2009)


DAFTAR ISI
Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi Lingkungan Tercemar Akibat Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kampung Leuwi Bolang, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Bogor Titi Juhaeti, N. Hidayati, F. Syarif & S. Hidayat Occurrence of Idiosepius (Mollusca: Cephalopoda) in Indonesian waters Janek von Byern & Ristiyanti M. Marwoto Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis Anodontia edentula Di Ekosistem Mangrove Yuliana Natan Bioakumulasi Kadmium Pada Kerang Hijau (Perna viridis) Dengan Aplikasi Perunut Radioaktif Yusni Ikhwan Siregar Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi Larva Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson) Tjahjo Winanto, Dedi Soedharma, Ridwan Affandi, & Harpasis S. Sanusi Pengaruh Kedalaman Terhadap Proses Pelapisan Inti Bulat Pada Kerang Air Tawar (Anodonta woodiana) Boedi Rachman, Tjahjo Winanto, Maskur, &Yade Sukmajaya Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta, Raja Ampat, Papua Edi Mirmanto Toksisitas Isolat-Isolat Bacillus thuringiensis yang Mengandung Gen cry 1A Terhadap Hama Penggerek Batang Jagung, Ostrinia furnacalis Guenee Bahagiawati, Habib Rizjaani, Agustina K. Sibuea Pengaruh Inokulasi Bakteri Terhadap Pertumbuhan Awal Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Sri Widawati & Maman Rahmansyah Karakteristik Tipe Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar di Daerah Perkotaan: Studi Kasus di Kebun Raya Bogor Sri Soegiharto & Agus P. Kartono Identifikasi Papasan (Coccinia grandis (L.) Voigt) Di Tiga Populasi di Yogyakarta Ridesti Rindyastuti & Budi Setiadi Daryono Biodegradasi Phenantrene oleh Mikroba Laut M5 (Alcanivorax Borkumensis) yang Diisolasi dari Teluk Jakarta Dyah Supriyati 1

13

25

39

51

71

79

97

107

119

131

143

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1):1-11 (2009)

Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi Lingkungan Tercemar Akibat Kegiatan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kampung Leuwi Bolang, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Bogor
Titi Juhaeti 1), N. Hidayati 1), F. Syarif 1) & S. Hidayat2)
1)

Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong Science Centre, Cibinong, Bogor E-mail : tihaeti@yahoo.com 2) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor ABSTRACT

The research were carried out in Hg contaminated paddy field in Kampung Leuwibolang, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. The aim of this research is to study the potency of Salvinia molesta, Oryza sativa, Monocharia vaginalis, Limnoharis flava, Paspalum conjugatum, Cyperus monocephala, Centrosema pubescens, Mikania cordata and Commelina nudiflora to accumulate Hg from contaminated soil. The treatments were fertilizer: no fertilizer (as a control), NPK, manure and compost. The result showed that the growth of each plant was significantly different. The fertilizer treatments were significantly affected plant growth. The S. molesta showed the highest biomass followed by M. vaginalis, O. sativa and C. nudiflora. Meanwhile S. molesta also showed the highest capasity to accumulate Hg/year followed by C. nudiflora, P. conjugatum dan M. vaginalis. Production of biomass and accumulation capasity of contaminant were the characteristic of accumulator plant. Based on characteristic of hyperaccumulator plant, this research suggested that S. molesta, M. vaginalis, P. conjugatum, O. sativa dan C. nudiflora were selected for fitoremediation of Hg contaminated soil. Keywords: Accumulator plant, Hg, biomass, accumulation capacity Katakunci: Tumbuhan akumulator, Hg, biomas, kapasitas akumulasi

PENDAHULUAN Salah satu penyebab terjadinya kontaminasi lahan oleh merkuri adalah kegiatan penambangan emas tanpa izin (PETI). Hal ini terjadi karena para penambang menggunakan merkuri untuk mendapatkan emasnya. Salah satu lokasi kegiatan PETI adalah di daerah Pongkor tepatnya di Kampung Leuwi Bolang, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Kegiatan

PETI di area ini berlangsung di lingkungan rumah penduduk setempat, sedangkan air limbahnya dibuang ke sungai Cikaniki yang letaknya tepat bersebelahan dengan kampung tersebut, ke sawah ataupun ke kolam ikan. Logam termasuk kontaminan yang unik karena tidak dapat mengalami degradasi baik secara biologis maupun kimiawi yang dapat menurunkan kadar racunnya sehingga dampaknya bisa berlangsung sangat lama. Kemungkinan 1

Juhaeti, Hidayati, Syarif & Hidayat

yang terjadi adalah logam akan mengalami transformasi sehingga dapat meningkatkan mobilitas dan sifat racunnya. Hal ini menjadi perhatian karena dapat menjadi potensi polusi pada permukaan tanah maupun air tanah dan dapat menyebar ke daerah sekitarnya melalui air, penyerapan oleh tumbuhan dan bioakumulasi pada rantai makanan. Dewasa ini telah dikembangkan teknologi alternatif pembersihan lahan yang dikenal dengan fitoremediasi. Fitoremediasi adalah pencucian polutan yang dimediasi oleh tumbuhan berfotosintesis, termasuk pohon, rumputrumputan dan tumbuhan air. Teknologi ini telah terbukti lebih mudah diaplikasikan disamping menawarkan biaya lebih rendah dibandingkan metoda seperti pencucian secara kimiawi ataupun pengerukan. Salah satu strategi fitoremediasi yang sudah digunakan secara komersial maupun masih dalam taraf riset yakni yang berlandaskan pada kemampuan tumbuhan dalam mengakumulasi kontaminan (fitoekstraksi). Ada dua pendekatan yang umum dilakukan untuk fitoekstraksi logam berat ini yaitu penggunaan tumbuhan hiperakumulator alami yang memiliki kekecualian dalam kapasitasnya mengakumulasi logam berat dan penggunaan tanamanan budidaya yang memiliki produksi biomasa tinggi seperti jagung, kacang-kacangan, oat, barley, gandum, Indian mustard, dan kubis. Umumnya ketersediaan logam berat untuk akar tanaman merupakan faktor pembatas keberhasilan tehnik remediasi ini (Kabata Pendias and Pendias, 2001; Kayser etal., 2000; Pivetz, 2

2001; Terry and Banuelos, 2000; Chen et al., 2004 Dalam Rodriguez et al, 2007. Hasil penelitian Kelompok Penelitian Fisiologi Stress Bidang Botani-Puslit Biologi LIPI menunjukkan bahwa Paspalum conjugatum, Cyperus monocephala, Centrosema pubescens, Mikania cordata, Commelina nudiflora, Salvinia molesta, Monochoria vaginalis, Limnocharis flava mampu mengakumulasi merkuri dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan jenis lainnya. Potensi ini akan dimanfaatkan lebih lanjut untuk pembersih limbah pada areal yang terkontaminasi melalui teknologi fitoremediasi. Paspalum conjugatum merupakan jenis rumput mampu tumbuh dengan baik di tempat yang miskin hara bahkan di tempat yang banyak mengandung merkuri. Commelina nudiflora merupakan jenis tumbuhan yang tersebar luas baik di daerah tropis maupun sub tropis. Tumbuh di tempat dengan cahaya penuh sampai yang sangat terlindung, di tempat yang agak basah seperti di pinggir sungai juga di sawah. Cyperus monocephala dikenal sebagai teki badot, di daerah Sunda disebut jukut pendul bodas. Tumbuh di tempat yang agak teduh atau tidak terlalu banyak sinar matahari, di tepi jalan, di kebun, di hutan sekunder. Centrosema pubescens Benth, merupakan tumbuhan terna memanjat, dikenal dengan nama sentro. Salvinia molesta (kiambang, mata lele), Limnocharis flava (genjer) dan Monochoria vaginalis (eceng leutik) adalah tumbuhan yang tumbuh di sawahsawah dan potensial sebagai pembersih merkuri karena mampu tumbuh dengan

Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi

baik di sawah yang terdeteksi tercemar merkuri. Di Indonesia penelitian jenis-jenis tumbuhan untuk tujuan fitoremediasi pada umumnya dan untuk fitoremediasi merkuri secara khusus masih sangat terbatas. Sementara itu, Indonesia dengan kekayaan floranya diyakini memiliki banyak jenis yang potensial untuk digunakan dalam fitoremediasi. Untuk mendapatkan jenis-jenis tanaman yang diuji dalam penelitian ini sebelumnya telah dilakukan serangkaian penelitian berupa seleksi jenis tanaman potensial dari areal PETI dan penelitian peningkatan potensi aukmulasinya di rumah kaca melalui berbagai perlakuan agronomi. Dalam prakteknya, fitoremediasi adalah menanam areal terkontaminasi dengan tumbuhan hiperakumulator. Kunci dari keberhasilan adalah pada pemilihan jenis tumbuhan yang sesuai dan penerapan praktek-praktek agronomis serta pemberian perlakuan baik pada tanah maupun pada tumbuhan untuk pengoptimalkan akumulasi logam. Pemanenan dilakukan secara periodik (sesuai dengan umur tanaman untuk tanaman semusim). Biomassa hasil panen yang mengandung kontaminan diabukan dan diisolasi atau diaplikasikan ke lokasi lain yang mengalami kekurangan. Bila setelah pemanenan ternyata kandungan bahan pencemar masih tinggi maka penanaman diulang lagi hingga sebagian besar bahan kontaminan terserap oleh tanaman hingga kontaminan di dalam tanah mencapai tingkat aman. Pemupukan merupakan cara yang umum dilakukan

untuk meningkatkan produksi biomassa tanaman. Meningkatkan potensi tumbuhan dalam fungsinya sebagai hiperakumulator pada dasarnya adalah meningkatkan potensi akumulasi kontaminan yang tinggi dalam tajuknya dan meningkatkan produksi biomassa. Beberapa penelitian membuktikan bahwa manipulasi pH dan kesuburan tanah dapat meningkatkan akumulasi Zn, Ni, dan Cd pada tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan uji jenis tumbuhan potensial secara in-situ untuk membuktikan kemampuan jenis-jenis tumbuhan terpilih dalam mengatasi lingkungan tercemar. Penelitian in-situ dilakukan di Kampung Leuwibolang, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor yang lebih dikenal dengan nama wilayah Pongkor. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilakukan di lahan sawah di Kampung Leuwibolang, Desa Bantar Karet Kec. Nanggung, Kab. Bogor. Selama ini sawah ditanami padi yang hasil panennya untuk konsumsi sendiri. Sawah tersebut terairi oleh air buangan gelundung yang terletak tepat di sebelahnya. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Oktober 2007. Penelitian menggunakan Rancangan Acak kelompok yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah jenis tanaman sedangkan faktor ke dua adalah pemupukan. Jenis tanaman yang diamati ada 9 jenis yang terdiri dari 4 jenis tanaman yang memerlukan air banyak yaitu 1. Salvinia molesta D.S. 3

Juhaeti, Hidayati, Syarif & Hidayat

Mitchell(kayambang); 2. Oryza sativa (padi); 3. Monocharia vaginalis (Burm.f.) Presl (eceng leutik); 4. Limnoharis flava (L.) Buchenau (genjer) dan 5 jenis tanaman darat yaitu 1. Paspalum conjugatum Berg (jukut pahit), 2. Cyperus monocephala sinonim Cyperus kyllingia Endl (jukut pendul bodas); 3. Centrosema pubescens (sentro); 4. Mikania cordata (Burm.f.) B.L.Robins. dan 5. Commelina nudiflora L.(tali korang). Sedangkan perlakuan pemupukannya adalah: 1. Kontrol; 2. NPK 16 g/petak; 3. Pupuk kandang 5 kg/petak dan 4. Kompos sebanyak 3 kg/petak Tanaman ditanam dalam petakpetak berukuran 0.8 X 2 meter dengan 3 ulangan. Dalam pemeliharaannya diupayakan kondisi yang optimal untuk tiap jenis tanaman. Untuk tanaman air, petak penelitian dijaga supaya selalu tergenang, sedangkan untuk tanaman darat, petak penelitian tidak tergenang. Perlakuan pemupukan diberikan pada saat tanam. Pengairan menggunakan air yang tidak terkontaminasi merkuri, sumbernya diusahakan berasal dari tempat penampungan air bersih yang biasa dipergunakan masyarakat setempat. Air limbah dari gelundung PETI diupayakan untuk tidak lagi masuk ke area penelitian. Sesuai dengan prinsip aplikasi fitoremediasi yakni menanam areal yang tercemar dengan tumbuhan akumulator dengan perlakuan agronomis untuk meningkatkan potensinya dalam suatu kurun waktu tertentu untuk kemudian biomassanya dipanen, maka penelitian insitu ini dilakukan selama 1 tahun yang 4

terdiri dari 3 kali penanaman dan 3 kali panen. Pada saat panen, seluruh biomassa tanaman berupa akar dan tajuk diambil, kemudian di tempat yang sama dilakukan penanaman kembali sampai 3 kali tanam dengan jenis tanaman yang sama. Pada periode penanaman ke-1 ditanam 9 jenis tanaman dan panen dilakukan pada umur 1.5 bulan setelah tanam. Setelah itu, ditempat yang sama dilakukan periode penanaman tahap ke2 tetapi panen dilakukan lebih awal yakni pada umur 1 bulan setelah tanam. Hal ini dilakukan karena tanaman sudah tumbuh dengan baik pada umur 1 bulan setelah tanam tersebut. Segera setelah panen tahap 2 tersebut dilakukan penanaman tahap ke-3. Pada tahap ini jenis tanaman yang diuji dikurangi yakni C. pubescens dan M. cordata tidak lagi diuji karena pertumbuhannya yang kurang memuaskan. Perlakuan pemupukan yang diberikan sama dengan pada tahap ke-2 dan panen dilakukan pada umur 1 bulan setelah tanam. Pengamatan yang dilakukan pada tiap kali panen adalah pengukuran produksi biomasa tanaman berupa bobot basah dan bobot kering akar, tajuk dan total tanaman, konsentrasi Hg (ppm) di akar dan tajuk, kandungan Hg (konsentrasi Hg X total bobot kering biomasa tanaman) di akar dan tajuk tanaman. HASIL Pertumbuhan tanaman Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman menunjukkan bahwa S. molesta, O. sativa, M. vaginalis, L. flava, P. conjugatum, C.

Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi

Monocephala, dan C. nudiflora menunjukkan pertumbuhan yang baik pada semua periode penanaman, terlihat dari tingginya produksi biomasa tanaman. Akan tetapi C. pubescens dan M. cordata pertumbuhannya kurang baik pada penanaman ke-1 dan ke-2 sehingga pada penanaman ke-3, C. pubescens dan M .cordata tidak ditanam kembali (Tabel 1). Tabel 2 menunjukkan pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan tanaman. Hasilnya menunjukkan bahwa pemupukan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman berupa bobot basah tanaman pada semua periode

tanam. Akan tetapi, pemupukan tidak menunjukkan pengaruh nyata pada produksi bobot kering biomasa hasil panen dari periode penanaman ke-1. Pemupukan dengan NPK menunjukkan produksi biomasa tertinggi. Konsentrasi dan akumulasi Hg pada tanaman Pengamatan terhadap konsentrasi dan akumulasi Hg pada tanaman dipisahkan antara tajuk dan akar. Hal ini dilakukan karena dalam fitoremediasi, tanaman yang diinginkan adalah yang mampu menyerap logam berat polutan dan melakukan translokasi logam berat

Tabel 1. Produksi total biomasa tanaman (gram) tiap periode penanaman.


Bobot basah total (gram) biomasa tanaman hasil penanaman ke : 1 2 3 6921.2 1779.7 2778.2 1671.3 2850.0 1337.0 223.4 624.9 1523.1 3,1833 3,0500 3,6917 2,2833 1,1917 0,8333 0,3417 0,6167 2,7273 1464.0 425.3 12092 996.6 659.6 252.9 Tdk ditanam Tdk ditanam 693.0 Bobot kering total (gram) biomasa tanaman hasil penanaman ke : 1 2 3 589,65 345,05 144,74 106,74 619,46 241,93 9,51 47,16 212,64 161,69 427,33 187,04 153,23 187,75 95,88 35,71 72,21 332,95 66,867 bc 59,792 bc 70,133 56,617 102,667 34,233 Tdk ditanam Tdk ditanam 77,580

Jenis tanaman S. molesta O. sativa M. vaginalis L. flava P. conjugatum C. onocephala C. pubescens M. cordata C. nudiflora

Tabel 2. Pengaruh pemupukan terhadap pertumbuhan tanaman.


Bobot basah total (gram) biomasa hasil penanaman ke: Pemupukan Kontrol NPK Kandang Kompos 1 1879,6 b 2620,8 a 2028,7 b 2257,5 ab 2 1955,6 ab 2329,6 a 2018,5 a 1619,2 b 3 1050,22 a 1110,03 a 345,53 c 751,69 b Bobot kering total (gram)

biomasa hasil penanaman ke: 1 257,99 a 287,67 a 216,66 a 269,51 a 2 169,93 b 221,34 a 184,69 b 152,37 b 3 78,138 a 87.841 a 37,600 c 63,786 b

Juhaeti, Hidayati, Syarif & Hidayat

tersebut ke bagian tanaman yang dipanen. Hasilnya pengamatan menunjukkan bahwa tanaman yang diuji mampu menyerap Hg yang ada dalam media tumbuhnya tetapi kemampuan penyerapan masing-masing jenis tanaman berbeda-beda (Gambar 1ab). Begitu pula dalam hal translokasi logam berat dari akar ke tajuk, masing-masing jenis tanaman menunjukkan kemampuan yang berbeda, terlihat dari beragamnya nilai ratio konsentrasi Hg tajuk/akar pada setiap jenis tanaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai ratio konsentrasi Hg di tajuk/akar yang lebih dari 1 muncul pada hampir semua jenis tanaman, kecuali pada M. vaginalis
70 60 50 40 30 20 10 0 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9

(Gambar 1c). Sedangkan pada Gambar 2 menunjukkan potensi kandungan (akumulasi) Hg (mg/bobot kering biomasa) pada tanaman. Hasilnya menunjukkan bahwa Hg yang dapat diakumulasi bervariasi antar jenis

tanaman
PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masing-masing jenis tanaman mempunyai kemampuan tumbuh yang berbeda, hal ini berhubungan dengan kemampuan tanaman tersebut dalam mengatasi kondisi lingkungannya yang

140 120 100 80 60 40 20 0 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 Jenis tanaman

Konsentrasi Hg (ppm)

Jenis tanaman
Ratio konsentrasi Hg tajuk/akar
6 5 4 3 2 1 0 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 Panen 1 Panen 2 Panen 3

Jenis tanaman

Gambar 1 : Konsentrasi Hg (ppm) di tajuk tanaman (a), konsentrasi Hg (ppm) akar tanaman (b), dan rasio konsentrasi Hg tajuk/akar tanaman (c)
Keterangan : T1 = S. molesta, T2 = O. Sativa, T3 = M.vaginalis, T4 = L.flava, T5 = P.conjugatum, T 6= C. Monocephala, T7 = C.pubescens, T8 = M.cordata, T9 = C.nudiflora.

konsentrasi Hg (ppm)

Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi

30 Kandungan Hg tanaman 25 20 15 10 5 0 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 Panen 1 Panen 2 Panen 3

Jenis tanaman

Gambar 2. Kandungan Hg (mg/bobot kering biomasa) tanaman pada tiap kali tanam
Keterangan: T1 = S. molesta, T2 = O. Sativa, T3 = M.vaginalis, T4 = L.flava, T5 = P.conjugatum, T6 = C. Monocephala, T7 = C.pubescens, T8 = M.cordata, T9 = C.nudiflora.

marginal. Salvinia molesta, O. sativa, M. vaginalis, L. flava, P. conjugatum, C. monocephala, dan C. nudiflora menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap lingkungannya, sedangkan C. pubescens dan M. cordata toleransinya lebih rendah sehingga pertumbuhannya kurang baik. Pada penelitian ini pemupukan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Perlakuan pemupukan dimaksudkan untuk meningkatkan produksi biomassa tanaman. Diharapkan, dengan meningkatnya produksi biomassa ini maka banyaknya polutan yang diserap akan meningkat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa secara umum pemupukan dapat meningkatkan serapan logam oleh tanaman. Salah satu hasil penelitian melapokan bahwa kandungan

(konsentrasi logam x total berat kering tanaman) Zn dan Cd pada tanaman yang diberi pupuk organik meningkat 3 10 kali dibanding kontrol. Pada penelitian ini, pemupukan NPK memberikan pengaruh yang terbaik terhadap pertumbuhan tanaman. Dalam menentukan apakah suatu tumbuhan berpotensi sebagai akumulator logam berat (dalam hal ini Hg), perlu diperhatikan beberapa kriteria. Kriteria suatu jenis tumbuhan dapat dolongkan sebagai hiperakumulator adalah : (1) Tahan terhadap unsur logam dalam konsentrasi tinggi pada jaringan akar dan tajuk; (2) Tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang tinggi dibanding tanaman lain; (3) Memiliki kemampuan mentranslokasi dan mengakumulasi unsur logam dari akar ke tajuk dengan laju yang tinggi (Brown et al. 1995) dan (4) Secara ideal memiliki potensi produksi biomasa

Juhaeti, Hidayati, Syarif & Hidayat

yang tinggi (Reeves 1992). Gabbrielli et al (1991) menerangkan bahwa sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk pada tumbuhan hiperakumulator lebih efisien dibandingkan tanaman normal, hal ini dibuktikan oleh ratio konsentrasi logam di tajuk/akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih dari satu. Mekanisme biologis dari hiperakumulasi logam pada dasarnya meliputi proses-proses: (1) Interaksi rizosferik, yaitu proses interaksi akar tanaman dengan media tumbuh (tanah dan air). Dalam hal ini tumbuhan hiperakumulator memiliki kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap logam bahkan dari fraksi tanah yang tidak bergerak sehingga menjadikan penyerapan logam oleh tumbuhan hiperakumulator melebihi tumbuhan normal; (2) Proses penyerapan logam oleh akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih cepat dibandingkan tumbuhan normal, terbukti dengan adanya konsentrasi logam yang tinggi pada akar. Akar tumbuhan hiperakumulator memiliki daya selektifitas yang tinggi terhadap unsur logam tertentu, (3) Sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk pada tumbuhan hiperakumulator lebih efisien dibandingkan tanaman normal. Hal ini dibuktikan oleh rasio konsentrasi logam tajuk/akar pada tumbuhan hiperakumulator lebih dari satu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman yang diuji memiliki konsentrasi Hg di akar dan tajuk yang tinggi dan tanaman tersebut tetap dapat tumbuh dengan baik. Hal ini berarti bahwa tanaman-tanaman tersebut dapat memenuhi kriteria tahan terhadap unsur 8

logam yang tinggi pada jaringan akar dan tajuk. Pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga didapatkan data bahwa jenis-jenis tanaman yang diuji pada penelitian ini memiliki tingkat laju penyerapan unsur dari tanah yang tinggi dibanding tanaman lainnya. Selain itu dari Gambar 1c terlihat bahwa tanaman juga memiliki kemampuan untuk mentranslokasi dan mengakumulasi logam dari akar ke tajuk yang ditunjukkan oleh ratio konsentrasi Hg tajuk/akar yang lebih besar dari satu. Kemudian, potensi produksi biomasa tananaman yang diuji pun cukup tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa masing-masing jenis tumbuhan menunjukkan kemampuan yang berbeda dalam mengakumulasi Hg dari media tumbuhnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelusuran pustaka yang menunjukkan bahwa sejumlah tumbuhan dari banyak famili terbukti memiliki sifat hipertoleran, yakni mampu tumbuh dan mengakumulasi logam dengan konsentrasi tinggi pada akar dan tajuknya dan sifat hiperakumulator yakni dapat mengaku-mulasi unsur logam tertentu dengan konsentrasi tinggi pada tajuknya yang dapat digunakan untuk tujuan fitoekstraksi. Gambar 3 menunjukkan kandungan (akumulasi) Hg pada tanaman dari 3 kali periode penanaman. Hasilnya menunjukkan bahwa potensi kandungan Hg total yang dapat diakumulasi masing-masing jenis tanaman dari 3 kali periode tanam berturut-turut dari yang tertinggi adalah O. sativa, C.nudiflora, P.conjugatum, S. molesta, M.vaginalis, C. monocephala, L.flava, M.cordata dan C. pubescens.

Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi

Tabel 3 menunjukkan urutan tanaman dalam memproduksi biomasa dan mengakumulasi Hg pada berbagai perlakuan pemupukan yang diberikan. Hasilnya menunjukkan urutan tanaman yang menghasilkan biomasa tertinggi yakni S. molesta, M. Vaginalis, O. sativa, C. nudiflora dan P. conjugatum, sedangkan urutan 5 tanaman yang menunjukkan kapasitas membersihkan polutan (kemampuan mengakumulasi Hg) tertinggi adalah S. molesta, O. sativa, C. nudiflora, P. conjugatum dan M. vaginalis. Berdasarkan kriteria tumbuhan akumulator maka 5 jenis tanaman yang diuji potensial memenuhi syarat sebagai tanaman akumulator merkuri. Tanamantanaman tersebut adalah S. molesta, O. sativa, C. nudiflora, P. conjugatum, M. vaginalis. Untuk meningkatkan potensi sebagai akumulator masih diperlukan serangkaian penelitian baik
Kandungan Hg total (mg/total bobot kering)

melalui penerapan tehnik budidaya maupun melalui pemuliaan tanaman. KESIMPULAN DAN SARAN Pertumbuhan jenis tanaman yang diuji berbeda nyata. Pemupukan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Berdasarkan karakteristik tumbuhan hiperakumulator maka jenis tanaman yang potensial untuk fitoremediator merkuri adalah S. molesta, M. vaginalis, P. conjugatum, O. sativa dan C. nudiflora. Masih banyak aspek teknik di lapangan yang perlu diperbaiki diantaranya aplikasi pemupukan dengan dosis yang tepat, jarak tanam, umur panen, kondisi bibit/benih serta pengontrolan limbah yang masuk ke areal penelitian.

35 30 25 20 15 10 5 0
T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9

Hg total

Jenis tanaman
Keterangan: T1 = S. molesta, T2 = O. Sativa, T3 = M.vaginalis, T4 = L.flava, T5 = P.conjugatum, T6 = C. Monocephala, T7 = C.pubescens, T8 = M.cordata, T9 = C.nudiflora.

Gambar 3. Kandungan Hg (mg/total bobot kering) tanaman hasil 3 kali tanam

Juhaeti, Hidayati, Syarif & Hidayat

Tabel 3. Urutan jenis tanaman berdasarkan kriteria tumbuhan akmulator


Ranking berdasarkan Kandungan Hg total (mg) Panen 1+2+3 Jenis tanaman Hg Total (mg) 46.558 19.604 18.456 16.848 12.907 12.3 10.587

Perlakuan pemupukan

Biomassa total(gr) panen 1+2+3 Total biomas (gr) S. molesta 10897,5 M. vaginalis 8.049,31 L. flava 4.869,6 O. sativa 4755,4 P. conjugatum 4542,37 C. nudiflora 4504,8 C. monoephala 2476,2 M. cordata 859,97 C. pubescens S. molesta 13303,9 P. conjugatum 5625,5 M. vaginalis 7682,3 O. sativa 6098,55 C. nudiflora 6331,9 C. monoephala L. flava M. cordata C. pubescens S. molesta M. vaginalis L. flava O. sativa C. nudiflora P. conjugatum C. moncephala M. cordata C. pubescens 3216 5259,1 1721,33 10513,9 8046,6 5077,6 3894,2 4644,03 3949,3 2105,13 1164,34 Jenis tanaman

Kontrol

NPK

O. sativa P.conjugtum S. molesta C. nudiflora L. flava M. vaginalis C. monephala M. cordata C. pubescens S. molesta O. sativa M. vaginalis L. flava P. conjgtum

11.849 41.14 8.401 7.104 31.241

Kandang

C. monoephala 10.316 C. pubescens M. cordata C. nudiflora 18.502 S. molesta 55.455 O. sativa M. vaginalis L. flava P.conjgtum C. moncephala C. pubescens M. cordata C. nudiflora S. molesta O. sativa M. vaginalis L. flava P. conjugatum C. monoephala C. pubescens M. cordata C. nudiflora 16.095 19.999 3.946 11.712 12.471

33.263 32.581 24.937 9.643 5.516 16.099 9.605

Kompos

S. molesta M. vaginalis P. conjugatum C. nudiflora O. sativa L. flava C. monoephala M. cordata C. pubescens

12558,9 6936,7 4742,87 5030,9 6488,43 4598,5 1895,7 1254,03

31.37

Kapasitas membersihkan/tahun (mg) Jenis tanaman Kapasitas (mg) O. sativa 159.627 P. conjgam 67.214 S. molesta 63.278 C. nudiflora 57.765 L. flava 44.253 M. vaginalis 42.171 C. monephla 36.298 M. cordata C. pubscens S. molesta 40.625 O. sativa 141.05 M. vaginalis 28.803 L. flava 24.357 P. conjatum 107.11 2 C.mocephal 35.369 C. pubscens M. cordata C. nudiflora 63.435 S. molesta 190.13 1 O. sativa 55.183 M. vaginalis 68.568 L. flava 13.529 P.conjgtum 40.155 C. monephal 42.758 C. pubscens M. cordata C. nudiflora 114.04 5 S. molesta 111.70 6 O. sativa 85.498 M. vaginalis 33.062 L. flava 18.912 P. conjgtum 55.197 C. mocephal 32.931 C. puescens M. cordata C. nudiflora 107.55 4

10

Uji Potensi Tumbuhan Akumulator Merkuri untuk Fitoremediasi

Perlu sosialisasi kepada masyarakat tentang adanya pencemaran di lahan pertanian dan cara pembersihannya secara mudah dan murah (fitoremediasi). DAFTAR PUSTAKA Brown, SL., RL. Chaney, JS. Angle & AJM. Baker. 1995. Zinc and Cadmium Uptake by Hyperaccumulator Thlaspi caerulescens Grown in Nutrient Solution. Soil Sci Soc Am J 59:125-133. Gabbrielli, R., C. Mattioni, & O. Vergnano. 1991. Accumlation Mechanism and Heavy Metal Tolerance of a Nickel Accumulator. J.Plant. Nutr 14 : 1067-1080. Hidayati, N., T. Juhaeti & F. Syarif. 2006. Mercury and Cyanide Contamination in Aquatic Environments Around Two Gold Mine Areas and Possible Solution of Using Green Technology of Phytoremediation. International JSPS Seminar. Bogor, 12-20 Oktober 2006.

Juhaeti, T., N. Hidayati, S. Hidayat, F. Syarif & M. Harapini. 2007. Laporan Akhir Penelitian Kompetitif LIPI. Moreno, FN., CWN. Anderson, RB. Stewart & BH. Robinson. 2004. Phytoremediation of MercuryContaminated Mine Tailings by Induced Plant-Mercury Accumulation. Environ. Practices 6(2): 165-175. Reeves, RD. 1992. The Hyperaccumulation of Nickel by Serpentine Plants. Di dalam: Backer, AJM., J. Proctor, RD. Reeves (ed). The Vegetation of Ultramafic (Serpentine) Soils. Hampshire: Intercept Ltd. Hlm 253-227. Rodriguez, L., J. Rincon, I. Asencio, & CL. Rodriguez. 2007. Capability of Selected Crop Plants for Shoot Mercury Accumulation from Polluted Soils: Phytoremediation Perspectives. Int. J. Phytoremediation 9(1): 1-13.

Memasukkan: November 2008 Diterima: Juli 2009

11

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1):13-23 (2009)

Occurrence of Idiosepius (Mollusca: Cephalopoda) in Indonesian waters


Janek von Byern
1

& Ristiyanti M. Marwoto 2

University of Vienna, Fac. of Life Science, Cell Imaging and Ultrastructure Research, 1090 Vienna, Austria 2 Museum Zoology Bogor, Research Center for Biology LIPI, Cibinong 16911 Indonesia;email: rist001@lipi.go.id ABSTRAK

Jenis Idiosepius (Mollusca: Cephalopoda) di perairan Indonesia. Informasi dan penelitian tentang sotong mini pygmy squid marga Idiosepius yang ada di Indonesia sangat kurang, meskipun pernah dilaporkan setidaknya ada tiga jenis dijumpai di Ambon, Ternate, Banda, Balikpapan, Sibolga dan Lombok. Dalam tulisan ini diuraikan karakter morfologi, habitat dan distribusi empat jenis sotong mini jenis I. picteti, I. pygmaeus, I. biserialis dan I. pygmaeus herbereri. Karena ukurannya yang sangat kecil, jenis sotong ini tidak diminati oleh para nelayan, sehingga hanya sedikit data yang diketahui mengenai pertumbuhan, reproduksi dan siklus hidupnya. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran ringkas tentang sistematik, habitat, siklus hidup dan distribusi Idiosepius. Hasil studi ini mencatat lokasi baru (new record) ditemukannya sotong mini jenis I. biserialis dan I. pygmaeus khusus dari perairan pantai di Lombok. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa beberapa jenis Idiosepius memiliki sebaran yang luas di perairan Indonesia kecuali jenis I. picteti hingga saat ini hanya dijumpai di Ambon. Hasil studi diharapakan menambah khasanah pengetahuan tentang sotong mungil ini sekaligus memacu para peneliti untuk lebih memperhatikan genus ini. Keywords: Cephalopoda, distribution, habitat, Idiosepiidae, Indo-Pacific Kata kunci: Cephalopoda, distribusi, habitat, Idiosepiidae, Indo-Pacific

Introduction The genus Idiosepius has the smallest species within the cephalopods and is also named pygmy squid. The females reach maturity at 3 cm length, whereas the males of some species reach sexual maturity at < 1 cm (Joubin 1902; Norman 2000) with a body weight ranging from 6 mg (Idiosepius biserialis) to 1 g (Idiosepius pygmaeus) (Hylleberg & Nateewathana 1991a; Hylleberg & Nateewathana 1991b).

The animals are dorso-ventrally compressed and cigar-shaped; the fins are small, ovally elongated with the long axis parallel to the body axis (Figure 1). The arms are short and robust and almost equal in length, except for one arm that is always shorter (Hylleberg & Nateewathana 1991b). Both sexes can be distinguished easily by the modified fourth arm pair in males (Yamamoto 1949; Jackson 1988; Nabhitabhata 1998; Norman 2000). One conspicuous morphological character of this genus is the adhesive 13

Byern & Marwoto

Figure 1: Individual of the species Idiosepius pygmaeus. The animals are small in size and live exclusively in mangrove areas in the Indo-Pacific area down to Australia.

organ (also named adhesive gland) located on the posterior part of the dorsal mantle side (von Byern et al. 2008; Cyran et al. 2008). The animals use the glue from the adhesive glands to stick to sea grass leaves or algae for camouflage when threatened by predators (Sasaki 1921). Hiding there, they also lie in wait to capture prey swimming by. Furthermore, in females, secretion of glue serves to stick the eggs on sea grass (Nesis 1982). Collection of Idiosepius in Indonesian waters has long history; more than 115 years ago, Joubin (1894a) collected one male holotype sample of I. picteti at Ambon Island. Unfortunately, up to this day, attempts to re-collect individuals of this species in its original type locations or neighbouring island were unsuccessful. It can be assumed that this species has disappeared or even become extinct. In 1898, Appellf discovered I. pygmaeus Steenstrup, 1881 in Ternate 14

and Banda-Sea. This species was thought to occur only in the Philippines. Later, collections by Grimpe in 1931 in Balikpappan and Sibolga showed that I. pygmaeus has a wide distribution in Indonesia. In 1927, Rensch collected 14 specimens of the genus Idiosepius at Ekas Bay, Lombok, Indonesia. Grimpe (1931) compared the collected material with samples of I. pygmaeus from several institutions and proposed that his specimens differ from I. pygmaeus and the other species mostly in size, contour of the adhesive organ and expression of the hectocotylus (Grimpe 1931). He therefore regarded his specimens as the subspecies Idiosepius pygmaeus hebereri. Examinations by Nesis (1982), however, revealed that the morphological characteristics were insufficiently different to justify the subspecies; Idiosepius pygmaeus hebereri was

Occurrence of Idiosepius (Mollusca: Cephalopoda)

therefore referred to I. pygmaeus. In contrast to I. picteti, individuals of I. pygmaeus could still be located at their type locality (von Byern & Klepal 2007) as well as in new localities (see description of I. pygmaeus below). Apart from I. picteti and I. pygmaeus, a further species, I. biserialis, was recently discovered in Indonesian waters (von Byern et al. 2005). So far, less is known about the geographical distribution and habitat of this species (see section Habitat conditions in Indonesia). Previously, it was thought to occur only in African waters (Mozambique) and Thailand. With the present description and geographical data, we report new collection places for Idiosepius in Indonesia and extend the previous type localities. This will shed light on the ecology and distribution of Idiosepius and yield new insights into the habitat conditions of Indonesian individuals. Nevertheless, many questions about their life cycle, geographical distribution and origin of migration remain. Further collections coupled with ecological and behavioral investigations are necessary to complete our picture of this genus. METHODS Idiosepius specimens were collected along the bay of Lombok in November - December 2007 using a dipnet. The specimens were then preserved with ethanol 95% (partly for DNA) and 70 % (for ordinary preserved collections). The specimens are deposited at the NMW (Naturhistoris-

ches Museum Wien, Austria) and MZB (Museum Zoologicum Bogoriense), Research Center for Biology LIPI, Indonesia. RESULT Description of Indonesian Idiosepius species Idiosepius biserialis Voss, 1962 (Figure 2A) Holotype: deposited at South African Museum, Cape Town, South Africa (SAM A6520) Type locality: Mozambique, San Jose Mission Station, Morrumbene Geographical distribution of the species or /and material examined: Thailand: Bang Rong, Phuket Island (8 02.156N; 98 25.487 E) (von Byern & Klepal 2009) and Ko Pratong, Ranong (Hylleberg & Nateewathana 1991a) Mozambique: Inhaca Island (26 00.215S, 32 54.721E; 26 02.300S, 32 54.166E) (Kalk, 1959; von Byern & Klepal 2009); Inhambane Bay (23 51.184S, 35 22.553E) (von Byern & Klepal 2009); Monque (23 41.331S, 35 22.281E) (Voss 1962; Adam 1986; von Byern & Klepal 2009) Japan: Takasu, Japan. Collector: S. Shigeno (von Byern et al. 2005) Indonesia: Ekas-Bay, Lombok (08 52.020S; 116 27.541E) (von Byern et al. 2005) ; Ekas-Bay, Lombok (08 15

Byern & Marwoto

50. 357S ; 116 27.857 E) (08 50. 714S ; 116 26.781 E) , collected November 2007 (unpubl. data) Morphological characteristics: This species has the smallest specimens of the genus. Animals from Mozambique are small, slender, with a mantle length of 4.5 0.3 mm (males) and 7.38 1.31 mm (females). The fins are semicircular and about of the mantle length. The clubs of this species bear two rows of small suckers, which are nearly constant

in size to the end of the club. Both ventral arms in the male are hectocotylized, bearing 1-5 suckers on the left (ventral view) and 3-8 suckers on the right ventral arm. The left arm also has two small flaps, separated by a deep cleft, at the tip. In the caught male, the hectocotyli arms are almost unequal in length: the left arm is shorter than the right one. The specimens from Thailand are larger (ML to 5.84 0.54 mm males and 7.7 1.1 mm females). The fins are more rounded kidney-shaped and

14.2 mm

7.35 mm

15.3 mm

Figure 2: Schematic drawing of the known Idiosepius species in Indonesian waters: A) I. biserialis (Voss, 1962); B) I. picteti (Joubin, 1894a) and C) dorsal and ventral view of I. pygmaeus (Nesis, 1982).

16

Occurrence of Idiosepius (Mollusca: Cephalopoda)

attached to the body at an angle. The tentacle clubs have two horizontal rows of suckers, sometimes also three or four oblique rows of suckers. The hectocotylized arms also bear 2-4/2-5 suckers on the left/right ventral arm. The animals from Japan are almost twice as long (6.34 0.89 mm males and 9.39 1.1 mm females) with 3 suckers on the left and 5 on the right ventral arm. The specimens from Indonesia have a mantle length of 3 mm (and 4 suckers on each hectocotylized arm) in the one available male, while the two investigated females have a mantle length of 5.25 0.35 mm. Idiosepius picteti Joubin, 1894b (Figure 2B) Synonymy: Loligo picteti Grimpe, 1920 Naefidium picteti Grimpe, 1920 Holotype: deposited at the Musum dHistoire Naturelle, Genve, Switzerland (MHNG M 3/75 747/27) Type locality: Indonesia, Amboina according to Joubin, 1894b (today Ambon Island) Geographical distribution: only known from the type locality Morphological characteristics: So far only the holotype is available; no additional specimens of this species have ever been found. The body is large and elongate (mantle length 14 mm). Idiosepius picteti has a small tentacle club with four rows of suckers. The right

ventral arm in the male is very short and broad. The oral face the arm is transversely plicate. The left ventral arm is more slender, longer and bilobate at the tip. Each ventral arm has a single small sucker near the base. Joubin (1894b) wrote that the examined specimen has no adhesive organ on its dorsal side: Pas dimpression dorsale entre les nageoires. Our examinations of this specimen reveal that Joubin (1894a) erred. Idiosepius picteti has an adhesive organ on the dorsal mantle side and is referred to the genus Idiosepius. Idiosepius pygmaeus Steenstrup, 1881 (Figure 2C). Synonymy: Idiosepion pygmaeum Fischer, 1887 Idiosepius pygmaeus Hoyle, 1886; Joubin 1894b; Appellf 1898 Idiosepius pygmaeus pygmaeus Grimpe, 1931 Holotype: deposited at Kobenhavns Universitet, Zoologisk Museum, Copenhagen, Denmark (ZMUC CEP52) Type locality: Philippines, Zamboanga (4 20N, 107 20E) Geographical distribution of the species or/and material examined: Philippines: Jolo Habor (Adam 1986) Thailand: Klong Mudong (7 48.107N, 98 24.472E) (von Byern a & Klepal 2009), Klong Bang Rong (8 02.945N; 98 25.030E) (Suwanmala

17

Byern & Marwoto

et al. 2006) and Ao Chalong (Hylleberg & Nateewathana 1991b) Singapore: Tempenisi (Adam 1986) Australia: Townsville, North Queensland (19 15S, 146 50E) (Jackson 1988; Lewis 1991; Jackson 1992; Jackson & Choat 1992; Jackson 1993; Semmens et al. 1995; Pecl & Moltschaniwskyj 1997; Pecl & Moltschaniwskyj 1999) Micronesia: Palau (Belau) Islands (Moynihan 1983) Indonesia: Ternate (Appellf 1898); Balikpappan (Grimpe 1931); Sibolga (Grimpe 1931) and Banda-Sea (Appellf 1898) New localities in Indonesia Ekas-Bay, Lombok (08 52.020S; 116 27.541E) (von Byern & Klepal 2007) Gili Sulat (08 19.885 S; 116 43.015 E), collected November 2007 (unpubl. data) Gili Lawang (08 19.637 S; 116 42.709 E), collected December 2007 (unpubl. data) Telong Elong (08 48.730 S; 116 30.012 E), collected December 2007 (unpubl. data) Rinca Island (08 39.244 S; 119 42.937 E), collected December 2007 (unpubl. data) Morphological characteristics: The species has a sepiolid body shape with a mean mantle length of 11.51 1.52 mm in males and 16.26 4.37 mm in females. The fins are small, short, rounded and slightly constricted at their base. The specimens bear 4 rows of suckers at the club of the tentacle. The 18

right ventral arm is stout and thick, while the left arm is thinner and slender, bilobated at the tip. According to the description of Steenstrup (1881), both ventral arms have only one sucker at their base. Later examination of this species revealed more numerous suckers in different variations on the ventral arms (Appellf 1898). The range of sucker combinations varies from 0 to 4 suckers on the hectocotylized arms (Thailand). More than 30% of the specimens bear 2/3 suckers on the left/right or 3 suckers on both ventral arms. Idiosepius pygmaeus from Indonesia is similar in size (11.53 1.28 mm males and 15.5 2.12 mm females) to I. pygmaeus from Thailand and bears 2 or 3 suckers on the left and 3 suckers on the right ventral arm; one individual has 1/1, another 4/4 suckers on the hectocotyli. I. pygmaeus (= Idiosepius pygmaeus hebereri) Grimpe, 1931 Holotype: deposited at the Zoologisches Museum, Museum fr Naturkunde der Humboldt-Universitt, Institut fr Systematische Zoologie, Berlin, Germany (ZMB) Type locality: Indonesia, Ekas-Bay, Lombok Geographical distribution: only known from the type locality Morphological characteristics: Because of the close morphology to Idiosepius pygmaeus, Grimpe (1931)

Occurrence of Idiosepius (Mollusca: Cephalopoda)

subordinated this species as Idiosepius pygmaeus hebereri. The females of this subspecies have a mean mantle length of 14.5 mm, the males of 8.5 mm. The fins are small and have a round to almost oval form. Grimpe (1931) did not describe the number of rows on the club but later re-examination of the holotype material showed that the specimens have four rows of suckers (von Byern, unpubl. data). The left ventral arm is longer and bigger than the right arm, and also has two lobes at its tip. At its base the left arm has 3 suckers, while the right arm is more stocky and broad with 2 suckers at the base. DISCUSSION Systematics The relationships among species within this genus remain unknown. Jereb & Roper (2005) currently place eight species within the genus: Idiosepius biserialis Voss, 1962, I. macrocheir Voss, 1962, I. minimus (DOrbigny, 1845), I. notoides Berry, 1921, I. paradoxus (Ortmann, 1888), I. picteti (Joubin, 1894a), I. pygmaeus Steenstrup, 1881 and I. thailandicus Chotiyaputta et al. 1991. Morphologically the species can be identified by the arrangement of suckers on the club (two or four rows) and the number of suckers on the ventral arms (hectocotyli) (Nesis 1982). The species are mostly distributed in the tropical Indo-Pacific, Japan, southern Australia including Tasmania, and African waters, but individuals were also found in cooler Russian waters

(Nesis et al. 2002). Within the genus, I. biserialis has the widest geographical distribution, ranging from Japan to the Indo-Pacific (Thailand and Indonesia) (Voss 1963; von Byern et al. 2005); it has also been recorded in Mozambique (incorrectly annotated by Voss in 1962 as South Africa). Habitat and life cycle The habitat occurrence varies within the genus: some species occur in mangrove areas (e.g. I. pygmaeus). Others like I. biserialis and I. paradoxus inhabit sea grass and algae areas. All observations on this genus concerning behaviour, spawning, embryonic development and life cycle have only been made with wild-caught specimens in aquarium cultivation (Moynihan 1983; Jackson 1992). Presently, relatively little is known about the biology and life cycles of Idiosepius. For example, no data are available about its postembryonic life, the onset of sexual maturity or postembryonic behaviour. Some authors assume a life cycle lasting 3 months (from egg development until death) (Tracey et al. 2003), but this value needs verification. Moreover, the geographical distributions of all Idiosepius taxa are still only marginally explored. This may be explained by their small size and habitat conditions: observing specimens in their natural habitat is still difficult. Habitat of Idiosepius in Indonesia Idiosepius biserialis was caught in November 2007 at low tide with a dipnet 19

Byern & Marwoto

in two sea grass areas in the northern area of Ekas-Bay, Lombok Island. These observations agree well with other collections of I. biserialis in Africa, Japan and Thailand, indicating that this species is specialised for sea grass areas (von Byern et al. 2005; von Byern & Klepal 2009). We still do not know whether the animals stay there at high tide or move elsewhere. In contrast, I. pygmaeus could only be found in mangrove forests and belts, such as those along the eastern part of Lombok Island at Gili Sulat, Gili Lawang, Telong Elong and Ekas-Bay, but are clearly absent in the northern, western and south-western shores of the Island. So far, no individuals of this species were ever found in sea grass or algal habitats (Suwanmala et al. 2006; von Byern & Klepal 2009). Moreover, individuals of the former I. pygmaeus hebereri were collected in the eastern part of the Ekas-Bay in April 2004 (von Byern & Klepal 2007). During high tide, garbage, leaves and other plant material were transported here by the current. On some days this flotsam covers almost the whole water surface. Interestingly, the garbage in the water apparently does not affect I. pygmaeus: even compact and strongly agitated waste had no influence on their behaviour and movement. Moreover, the animals were also observed to mate within this flotsam and escape under the waste when threatened. Their occurrence between a flotsam of garbage indicates the ability to adapt to new habitats. Additional genetic, ecological and behavioral investigations are necessary to provide a more complete picture of 20

the genus Idiosepius and provide more knowledge about their occurrence and geographical distribution in Indonesian waters. ACKNOWLEDGMENTS We are very grateful to Didik Santoso, Lalu Japa & Karnan from Mataram University, Biology Department and furthermore to Mr. Mady Marcuo and the Staff of Rinca Island for helping collect the samples presented here. Our thanks go in particular to Mrs. Toifl from the ASEA-UNINET of the University of Vienna for promoting the research trip of the first author to and within Indonesia and Dr. Michael Stachowitsch from the University of Vienna for critically reading the manuscript. REFERENCES Adam, W. 1986. La radula et les mandibules de quelques espces dIdiosepius Steenstrup, 1881 (Mollusca Cephalopoda Decapoda). Bull. de LInstitut Royal des Sci. Naturelles de Belgique 56: 149-154. Appellf, A. 1898. Cephalopoden von Ternate. Abhandlungen der Senckenbergischen Naturforschenden Gesellschaft 24 (4): 570637. Berry, SS. 1921. Cephalopods of the genera Sepiolidea, Sepiadarium, and Idiosepius. The Philip. J. Sci. 47 (1): 39-55.

Occurrence of Idiosepius (Mollusca: Cephalopoda)

Chotiyaputta, CH., T. Okutani & S. Chaitiamvong 1991. A new pygmy cuttlefish from the Gulf of Thailand Idiosepius thailandicus n. sp. (Cephalopoda: Idiosepiidae). Venus, The Jap. J. Malacology 50 (3): 165-174. Cyran, N., W. Klepal & J. von Byern 2008. Ultrastructural characterization of the adhesive organ of Idiosepiidae Voss, 1962 (Mollusca, Cephalopoda). 3 rd International Symposium Coleoid cephalopods through time: 97-98. DOrbigny, ACV. 1845. Mollusques vivants et fossiles. Tome Premier. Gide et Cie. Paris. Fischer, P. 1887. Cephalopodes Familie XIII. Idiosepidae. Manuel Conchyliologie et de Paleontologie Conchyiologique ou Histoire Naturelle des Molleusques vivants et fossiles. Libraire F. Savy Paris. 350-351. Grimpe, G. 1920. Teuthologische Mitteilungen IV. Naefidium n.g. pro: Loligo picteti Joubin 1894. Zool. Anzeiger 51: 208-214. Grimpe, G. 1931. Teuthologische Mitteilungen XIII. ber die Cephalopoden der SundaExpedition Rensch. Zool. Anzeiger 95 (5/8): 149-174. Hoyle, WE. 1886. Report on the Cephalopoda collected by H.M.S. Challenger during the years 187376. Report on the Scientific Results of the Voyage of H.M.S.Challenger during the Years 1873-76. Zoology 16: 1245.

Hylleberg, J. & A. Nateewathana 1991a. Morphology, internal anatomy, and biometrics of the cephalopod Idiosepius biserialis Voss, 1962. A new record for the Andaman Sea. Phuket Marine Biol. Center Res. Bull. 56: 1-9. Hylleberg, J. & A. Nateewathana 1991b. Redescription of Idiosepius pygmaeus Steenstrup, 1881 (Cephalopoda: Idiosepiidae), with mention of additional morphological characters. Phuket Marine Biol. Center Res. Bull. 55: 33-42. Jackson, GD. 1988. The use of statolith microstructures to analyse lifehistory events in the small tropical cephalopod Idiosepius pygmaeus. Fish. Bull. 87: 265-272. Jackson, GD. 1992. Seasonal Abundance of the small tropical Sepioid Idiosepius pygmaeus (Cephalopoda: Idiosepiidae) at two Localities off Townsville, North Queensland, Australia. The Veliger 35 (4): 396-401. Jackson, GD. 1993. Seasonal variation in reproductive investment in the tropical loliginid squid Loligo chinesis and the small tropical sepioid Idiosepius pygmaeus. Fishery Bulletin 91: 260-270. Jackson, GD &J H. Choat 1992. Growth in tropical cephalopods: An analysis based on statolith microstructure. Can.J. Fish. Aquat.Sci. 49: 218-228. Jereb, P. & CFE. Roper 2005. Cephalopods of the world - An annotated and illustrated catalogue of cephalopod species 21

Byern & Marwoto

known to date. No. 4, Vol. 1: Chambered nautiluses and sepioids (Nautilidae, Sepiidae, Sepiolidae, Sepiadariidae, Idiosepiidae and Spirulidae). FAO species catalogue for fishery purpose. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Joubin, L. 1894a. Cphalopodes dAmboine. Revue Suisse de Zool. et Ann. du Muse dHistorie Naturelle de Genve 2: 23-64. Joubin, L. 1894b. Note complementaire sur un Cphalopods dAmboine Loligo picteti= Idiosepius picteti. Revue Suisse de Zool. 3: 459-460. Joubin, L. 1902. Revision des Sepiolidae. Mmoires de la Socit Zoologique de France 15: 80-145. Kalk, M. 1959. The zoogeographical composition of the intertidal fauna at Inhaca Island, Mocambique. S. African J. Sci.: 178-180. Lewis, AR. 1991. Reproductive Biology of Idiosepius pygmaeus (Cephalopoda: Idiosepiidae) from waters near Townsville, North Queens-land, Australia. 1-82. Moynihan, M. 1983. Notes on the behavior of Idiosepius pygmaeus (Cephalopoda: Idiosepiidae). Behavior 85: 42-57. Nabhitabhata, J. 1998. Distinctive Behaviour of Thai pygmy Squid, Idiosepius thailandicus Chotiyaputta, Okutani& Chaitiamvong, 1991. Phuket Marine Biological Center Special Publication 18 (1): 25-40.

Nesis, K. 1982. Cephalopods of the World. Translated from Russian by B.S. Levitov. V.A.A.P. Copyright Agency of the UdSSR for Light and Food Industry Publishing House; Moscow, 1987 TFH. Publications, Inc. Ltd., for English Translation. Nesis, K., ON. Katugin & AV. Ratnikov. 2002. Pygmy cuttlefish Idiosepius paradoxus (Ortmann, 1888) (Cephalopoda) - First record of Idiosepiidae in Russian seas. Ruthenica 12 (1): 81-84. Norman, MD. 2000. Tintenfischfuehrer. 1st. Jahr Verlag. Hamburg. Ortmann, A. 1888. Japanische Cephalopoden. Zool. Jahrbcher 3: 639670. Pecl, G. & N A. Moltschaniwskyj 1999. Somatic growth processes: how are they altered in captivity ? Proc. Royal Soc. London.Sci. 266: 1133-1139. Pecl, GT & N A. Moltschaniwskyj 1997. Changes in muscle structure associated with somatic growth in Idiosepius pygmaeus, a small tropical cephalopod. J. Zoo. London. 242: 751-764. Sasaki, M. 1921. On an adhering habit of a pygmy cuttlefish, Idiosepius pygmaeus Steenstrup. Annotationes Zool. Japonenses 10 (21): 209-213. Semmens, J., N A. Moltschaniwskyj & CG. Alexander 1995. Effect of feeding on the structure of the digestive gland of the tropical sepioid Idiosepius pygmaeus.

22

Occurrence of Idiosepius (Mollusca: Cephalopoda)

J.Mar.Biol.Assoc.UK. 75: 885897. Steenstrup, J. 1881. Sepiadarium and Idiosepius two new genera of the family of Sepia. With remarks on the two related forms Sepioloidea dOrb. and Spirula Lmk. K.danske Vidensk.Selsk.Skrifter Raekke 6 (Bd. 1): 211-242. Suwanmala, J., J. von Byern & J. Nabhitabhata. 2006. Observation of Idiosepius pygmaeus (Cephalopoda, Idiosepiidae) at Klong Bangrong, Phuket Island, Thailand. Phuket Mar. Biol.Cent. Res. Bull. 67: 49-51. Tracey, SR., MA. Steer & GT. Pecl. 2003. Life history traits of the temperature mini-maximalist Idiosepius notoides (Cephalopoda:Sepioidea). J. Mar. Biol. Associate.UK. 83: 1297-1300. von Byern, J. & W. Klepal. 2007. Occurrence of Idiosepius pygmaeus (Cephalopoda, Idiosepii-dae) in

Indonesian waters. Ann. Nat. Hist. Mus..Wien 108 B: 137-144. von Byern, J. & W. Klepal. 2009. Reevaluation of systematic characters of Idiosepius (Cephalopoda, Mollusca). Malacologica (in press). von Byern, J., S. Nrnberger & S. Shigeno 2005: Distribution pattern of a minimalist - New records for Idiosepius biserialis (Idiosepiidae, Cephalopoda): 38-43. von Byern, J., L. Rudoll, N. Cyran & W. Klepal 2008. Histochemical characterization of the adhesive organ of three Idiosepius spp. species. Biotech. & Histochemistry 83 (1): 29-46. Voss, GL. 1962. South African cephalopods. Transaction of the Royal Soc. of S. Africa 36 (4): 245-272. Voss, GL. 1963. Cephalopods of the Philippine Islands. U.S.National Mus. Bull. 234: 1-180. Yamamoto, T. 1949. Sexual dimorphism of Loligo bleckeri and Idiosepius paradoxus on their mantle length. Venus, the Japan. J. Malacology 15 (5-8): 94-96.

Memasukkan:Maret 2009 Diterima: Juli 2009

23

Jurnal Biologi Indonesia 6(1): 25-38 (2009)

Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis Anodontia edentula Di Ekosistem Mangrove


Yuliana Natan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura Ambon ABSTRACT Population Parameters of Tropical Mudflat Clam, (Anodontia edentula) in Mangrove Ecosystem. Over a 12 months period (Januari 2005 Desember 2005), population parameters of tropical mudflat clam, (Anodonta edentula) in mangrove ecosystem were determined. The objectives of this research were to study population parameters (growth, recruitment pattern and mortality) of this tropical mudflat clam. The results showed that asymtotic length (L infinity) of males, females, also males and females combined were 65.63 mm, 70.88mm and 70.58 mm, and the size of males was less than females; annual growth coefficient (K) of males, females, also males and females combined were 1.3, 1.5 and 1.5 respectively, which indicated a fast growth of the clams in relatively short period, which were 2.3 years for the males, 2 years for the females, and 2.1 year for males and females combined. Subsequently, total mortality rate (Z) of the males, females, also males and females combined were 4.56 0.31, 4.61 0.65, and 4.95 0.43. These high rates were caused by the extreme life condition, also by the thin and fragile shells of the clams. Recruitment occurred every month in the males, females, and also males and females combined. Overall, there were two unequal pulses. The peaks of males were in June (12.38%) and October (14.77%), while in the females were in April (16.88%) and August (15.12%), and in the males and females combined were in March (12.67%) and May (20.26%). Keywords : Mudflat clam, growth, mortality, recruitment. Kata kunci: Kerang lumpur tropis, pertumbuhan, kematian, rekrutmen

PENDAHULUAN Salah satu ekosistem perairan wilayah pesisir yang produktif adalah ekosistem mangrove yang kaya akan sumberdaya moluska. Berbagai organisme mendiami ekosistem ini, salah satunya adalah kerang lumpur tropis Anodontia edentula dari famili lucinidae yang hidup di daerah tropis. Spesies tersebut menggali lubang pada daerah pantai berlumpur (mudflat) di zona intertidal sampai subtidal dan hidupnya berkelompok (Lim et al. 2001). Selain

itu spesies ini membenamkan diri pada dasar berlumpur sekitar estuari pada daerah hutan mangrove pada kedalaman 20 50 cm (Lebata 2000; 2001), dan dapat hidup pada kondisi anoxic dengan sedimen mengandung banyak sulfida (Lebata & Primavera 2001). Dengan adanya bakteri pengoksidasi sulfur pada insangnya (endosymbiont bacteria), maka spesies ini mampu menyerap sulfida dalam jumlah yang banyak untuk dimanfaatkan sebagai nutrisi. Karena itu kerang ini dapat digunakan sebagai biofilter pada budidaya tambak dalam 25

Yuliana Natan

memperbaiki serta menjaga kualitas air budidaya. Di Philipina kerang Anodontia edentula yang dikenal dengan nama imbao, kini dieksploitasi dan merupakan sumber makanan bagi keluarga (Lebata 2000; 2001; Lebata &Primavera 2001) Demikian pula di Thailand, kerang ini bernilai ekonomis yang dijual dengan harga sekitar 3.00 euro/kg. Di Indonesia kerang ini belum mendapat perhatian, padahal kerang ini merupakan makanan yang mengandung protein tinggi dan mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dikembangkan menjadi konsumsi lokal dan komoditi ekspor yang akan menambah devisa bagi Negara. Di Maluku, kerang ini dimanfaatkan bila terjadi musim paceklik dimana ikan sebagai sumber protein hewani sulit diperoleh, sehingga populasi kerang ini akan mengalami tekanan bila tidak dikelola dengan baik. Aktivitas ekploitasi yang berlebihan, serta penekanan terhadap kondisi habitat alami dari kerang itu sendiri mengakibatkan penurunan populasi yang cukup mengkhawatirkan. Penelitian serta informasi tentang kerang ini di Indonesia terutama di perairan Maluku masih minim. Penelitian yang telah dilakukan seperti oleh Latale (2003) tentang eksplorasi sumberdaya Anodontia edentula dan Natan (2008) tentang studi ekologi dan reproduksi Anodontia edentula. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mengkaji aspek pertumbuhan, mortalitas dan rekrutmen dari populasi kerang Anodontia edentula, sehingga diharapkan dapat menentukan status populasi kerang Anodontia edentula. 26

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di daerah intertidal pada ekosistem mangrove yang terletak di Desa Passo Teluk Ambon Bagian dalam (Gambar 1), Pengambilan contoh kerang lumpur Anodontia edentula, dilakukan sejak Januari 2005Desember 2005 di perairan pantai desa Passo Teluk Ambon Bagian Dalam selama setahun dengan alasan bahwa terdapat dua musim, yaitu musim Barat dan Timur. Pengambilan contoh kerang di kedalaman substrat antara 20 50 cm, dilakukan sebulan sekali selama 12 bulan. Semua individu Anodontia edentula yang didapat dihitung jumlahnya dan diukur panjang cangkang, serta ditimbang berat basahnya menurut jenis kelamin. Analisis data Pola pertumbuhan kerang dapat diketahui melalui hubungan panjang cangkang dengan bobot tubuh kerang (berat basah) yang dianalisis melalui hubungan persamaan regresi kuasa (power regression) sebagai berikut (Ricker 1975): W = aLb atau log W = log a + b log L W = berat basah (g) L = panjang cangkang (mm) a dan b = konstanta Untuk menguji apakah konstanta b sama dengan tiga atau tidak (isometrik atau allometrik) dilakukan uji t. Persamaan di atas dilakukan baik secara jenis kelamin maupun per bulan pengamatan.

Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis

Parameter pertumbuhan K dan L dianalisis dengan metode frekuensi panjang dari kerang dengan (ELEFAN I) dari perangkat lunak FiSAT ver 03.1. Pendugaan umur kerang pada waktu lahir (t0) dimaksudkan untuk medapatkan informasi mengenai kerang yang juga disandingkan dengan informasi puncak pemijahan. Nilai t0 dapat diperoleh melalui nilai-nilai K dan L yang diterapkan dalam persamaan Log10(-to) = -0.39220.2752 log10 L -1.038 log10 K (Pauly 1980), dimana K adalah koefisien pertumbuhan, L adalah panjang asimtot dan t0 (parameter kondisi awal) adalah umur dimana panjang sama dengan nol Rentang hidup alamiah (longetivity) merupakan rentang waktu hidup bagi suatu spesies sebagai rentang waktu hidup yang dicapai oleh suatu spesies dalam suatu kohort hingga 99% dari seluruh anggota kohort mencapai kematian hanya secara alami. Persamaan von Bertalanffy bila dijabarkan lebih lanjut, maka akan diperoleh persamaan t = log10 (1-L t/ L)/K + t o; dan jika

panjang maksimum (L maks) = 0.95(L) dimasukkan ke dalam persamaan diatas, maka didapatkan umur ikan terpanjang (life span) adalah t maks = 2.9957/K + to. Pendugaan mortalitas total (Z) diduga melalui hubungan linear antara logaritma natural dari perubahan jumlah ikan per waktu bertumbuh kelas ke i dengan umur, yang dikenal dengan nama kurva hasil tangkapan yang dikonversi ke panjang, Length Converted Catch Curve (LCCC) dengan formulanya: ln(Ni/ti) = a + b ti N= jumlah ikan pada kelas panjang i, t = waktu yang diperlukan bagi ikan bertumbuh pada kelas panjang ke i, t adalah umur (atau umur relative, dihitung dengan to = 0) berhubungan dengan nilai tengah kelas ke i, dan b adalah sudut/ slope yang merupakan nilai Z. Penambahan individu pertama ke populasi kerang (rekrutmen) dari data frekuensi panjang dibantu dengan suatu metoda pendekatan yang difasilitasi oleh

Gambar 1: . Lokasi penelitian

27

Yuliana Natan

perangkat lunak FiSAT (Sparre &Venema 1992). Program ini merekonnstruksi pulsa rekrutmen dari suatu runutan data frekuensi panjang yang disesuaikan dengan persamaan von Bertalanffy growth (VBGF) untuk mendeterminasi jumlah pulsa per tahun dan kekuatan relatif setiap pulsa. HASIL Hubungan Panjang-Berat Hubungan panjang cangkang dan berat kerang total digambarkan berdasarkan persamaan model hubungan W = 0.0002 L3.3134 (L = panjang dan W = berat), dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9658. Uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukkan bahwa b lebih besar dari 3 (allometrik posif) dengan nilai t = 275.13. Hasil tersebut diperkuat dengan uji hipotesis yang menyatakan bahwa hipotesis nol ditolak (p = 0.00) yang berarti bahwa antara laju pertumbuhan berat dan panjang total kerang di perairan hutan mangrove pantai Passo Teluk

Ambon Bagian Dalam adalah tidak seimbang (Gambar 2). Hasil analisis data panjang dan berat kerang dapat dipisahkan menurut jenis kelamin, diperoleh hubungan panjang berat kerang jantan diekspresikan sebagai: W = 0.0001 L3.288 dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0.9294. Dari hasil uji lanjut dengan uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukan bahwa nilai b lebih besar dari 3 (allometrik positif) dimana t = 123.15. Hal ini diperkuat lagi dengan hasil uji hipotesis (p=0.00) yang menunjukan bahwa hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa antara laju pertumbuhan berat dan panjang kerang jantan adalah tidak seimbang (Gambar 3). Kondisi pola pertumbuhan yang berlaku pada kerang jantan, berlaku juga pada betinanya. Hasil analisis menunjukan bahwa pola pertumbuhannya bersifat allometrik positif seperti yang ditunjukan pada persamaan model hubungan dimana W = 0.00008 L 3.321 dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.9327. Dari hasil uji lanjut dengan uji t (t student) terhadap koefisien b menunjukan bahwa nilai b lebih besar
y = 0.0002x 2 R = 0.9657 n = 2692
3.1343

120 100 B e ra t (g r) 80 60 40 20 0 0 10 20 30 40 Panjang (mm) 50 60 70 80

Gambar 2. Kurva hubungan panjang dan berat cangkang kerang total di perairan ekositem mangrove pantai Passo teluk Ambon Bagian Dalam.

28

Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis

dari 3 (allometrik positif) dimana t = 128.38. Hal ini diperkuat lagi dengan hasil uji hipotesis (p=0.00) yang menunjukan bahwa hipotesis nol ditolak yang berarti bahwa antara laju pertumbuhan berat dan panjang kerang betina adalah tidak seimbang. (Gambar 4). Pertumbuhan Hasil analisis parameter pertumbuhan berdasarkan data frekuensi panjang yang dikoleksi selama 12 bulan, dengan menggunakan program FiSAT, sub program ELEFAN maka diperoleh nilai koefisien pertumbuhan panjang asimtotik atau panjang infinity (L) jantan, betina
90 80 70 60 Berat (gr) 50 40 30 20 10 0 0 10 20 30

dan total (tanpa pemisahan jenis kelamin) masing-masing 65.63 mm, 70.88 mm dan 70.58 mm dengan koefisien pertumbuhan (K) dari jantan, betina dan total masing masing 1.3, 1.5 dan 1.5 per tahun. Analisis distribusi sebaran cangkang selama periode penelitian, memberikan nilai beberapa parameter pertumbuhan yang merupakan dasar dalam pembentukan kurva pertumbuhan von Bertalanffy dari kerang Anadontia edentula. Gambar 5 memperlihatkan kurva pertumbuhan von Bertalanffy kerang jantan, betina serta total (gabungan) berasal dari perairan intertidal sekitar hutan mangrove

Total Jantan

y = 1E-04x3.288 R2 = 0.9294 n = 1154

40

50

60

70

Panjang (mm)

Gambar 3. Kurva hubungan panjang berat cangkang kerang jantan di perairan ekosistem mangrove pantai Passo teluk Ambon Bagian Dalam
120 100 80 Berat (gr) 60 40 20 0 0 10 20 30 40 Panjang (mm) 50 60 70 80 y = 8E-05x 3.3213 R2 = 0.9327 n = 1192

Gambar 4. Kurva hubungan panjang berat cangkang kerang betina di perairan ekosistem mangrove pantai Passo teluk Ambon Bagian Dalam.

29

Yuliana Natan

desa Passo di Teluk Ambon Bagian Dalam. Dari nilai-nilai K dan L yang telah diperoleh di atas, maka selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan to (umur pada saat panjang sama dengan nol), dengan memasukkan formula Log10(-to) = -0.3922-0.2752 log10 L 1.038 log10 K. Dari hasil perhitungan t0 terhadap kerang jantan, betina dan total masingmasing diperoleh t0 = -0.096 tahun atau 1.15 bulan, -0.081 tahun atau 0.97 bulan dan total - 0.087 tahun atau 1.00 bulan. Umur t 0 dinamakan juga sebagai parameter kondisi awal (the initial condition parameter) yang menentukan titik dalam ukuran waktu ketika (ikan/ kerang) memiliki panjang nol. Jika ditinjau dari segi biologi, hal ini tidak berarti karena pertumbuhan dimulai pada saat telur menetas ketika larva memiliki panjang tertentu. Dari hasil analisis parameter pertumbuhan didapatkan persamaan von Bertalanffy sebagai berikut: Jantan : Lt = 65.63 [1 - e-1.3(t+0.096) ] Betina : Lt = 70.88 [1 - e-1.5(t+0.081) ] Total : Lt = 70.58 [1 - e-1.4(t+0.087) ] Dari beberapa parameter yang diperoleh, maka kita dapat menentukan rentang hidup (longevity) untuk kerang jantan, betina dan total Persamaan von Bertalanffy bila dijabarkan lebih lanjut, maka akan diperoleh persamaan t = log10 (1-L t/ L)/K + t o; dan jika panjang maksimum (L maks) = 0.95(L) dimasukkan ke dalam persamaan di atas, maka didapat umur kerang terpanjang (life span) adalah t maks = 2.9957/K + 30

to. Rentan hidup (t max) dari jantan, betina dan total masing masing 2.3 tahun, 2 tahun dan 2.1 tahun, sedangkan untuk panjang maksimun jantan, betina, dan total masing-masing 62.35 mm, 67.34 mm dan 67.70 mm. Dengan memperhatikan umur maksimum, umur to, K dan L, maka dapat dibentuk dugaan kurva pertumbuhan, jantan, betina dan total dari model yang terbentuk, dimana dapat dilihat pada Gambar 6. Mortalitas Mortalitas kerang diduga melalui Length Converted Catch Curve, LCCC yang dibuat dari kehilangan individu setiap kelas ukuran. Ukuran-ukuran kerang dipisahkan kedalam kelompok ukuran dengan interval 5 mm. Dengan mengepas (fit) umur relatif dari contoh (dt) melawan logaritma natural jumlah individu setiap kelas (ln N/dt) dihasilkan suatu persamaan linear dari kerang jantan, adalah Y= 10.41-4.56 X dengan r = -0.99, kerang betina dengan Y= 10.33 4.61 X dengan r = -0.97, dan kerang total dengan Y = 11.194.95 X dengan r = 0.98. Gambar kurva LCCC dari kerang jantan, betina dan total terlihat pada Gambar 7. Nilai mortalitas total didapat dari negatif slope, dengan demikian Z untuk jantan, betina dan total masing-masing adalah 4.560.31, 4.610.65 dan 4.950.43. Kalkulasi laju mortalitas untuk jantan, betina dan total masing-masing 99.7%, 99.0% dan 99.6% per tahun. Penambahan individu baru Hasil analisis menggunakan program FiSAT dangan sub program recruitment

Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis

pattern menunjukkan bahwa selama penelitian berlangsung telah terjadi penambahan individu baru yang turut pula mempengaruhi dinamika populasi kerang di alam. Penambahan individu baru pada suatu populasi merupakan suatu hal yang positif bagi kestabilan populasi itu sendiri. Dalam penelitian ini walaupun

pengamatan secara langsung terhadap kehadiran juvenil kerang di alam jarang ditemukan, tetapi ditemukan dalam tubuh induk kerang. Dengan data hasil analisis menggunakan program FiSAT dihasilkan persentase rekrutmen (Tabel 1) dan ini mengindikasikan bahwa di lokasi penelitian telah terjadi penambahan individu baru pada setiap bulannya.

a)

JANTAN

b)

BETINA

c)

TOTAL

Gambar 5. Kurva pertumbuhan kerang A.edentula hasil analisis menggunakan program FiSAT (ver.0.31)
a).Kurva pertumbuhan kerang jantan: L = 65.63 m m dan K =1.3 b) Kurva pertumbuhan kerang betina: L = 70.88 mm dan K =1.5 c) Kurva pertumbuhan kerang total: L = 71.28 mm dan K =1.4

31

Yuliana Natan

Walaupun secara umum penambahan individu baru yang relatif tidak terlalu besar (Tabel 1), namun hal ini cukup berarti bagi kesinambungan populasi di alam. Selama ini tekanan terhadap populasi kerang di pantai hutan mangrove Passo berasal dari manusia pada musim paceklik, selain itu terdapat interaksi biotik seperti predator, persaingan dan tekanan lingkungan, namun masih memungkinkan keberadaan status populasi kerang ini. Pada kerang jantan, betina maupun gabungan total kerang menunjukkan hampir setiap bulan terjadi rekrutmen, kecuali bulan Desember. Secara
70 60 P anjang (m ) m 50 40 30 20 10 0 0 0.5 1 1.5

keseluruhan telah terjadi dua puncak pulsa yang tidak sama. Puncak rekrutmen pada kerang jantan terjadi pada bulan Juni (12.38%) dan Oktober, yaitu 14.77%; pada betina pada bulan April (16.88%) dan Agustus (15.12%) dan total gabungan pada bulan Maret (12.67%) dan Mei (20.26%). Hasil olahan pola rekrutmen tergambar pada Gambar 8. PEMBAHASAN Hubungan panjang berat dari hewan-hewan akuatik dimaksudkan untuk menduga pola pertumbuhan dari

Jantan : Lt = 65.63 [1 - e-1.3(t+0.096) ]

2.5

Wak tu (tahun)
80 70 Panjang (m ) m 60 50 40 30 20 10 0 0 0.5 1 1.5 Wak tu (tahun)
80 70 60 P n g(m ) a ja m 50 40 30 20 10 0 0 0.5 1 1.5 Wak tu (tahun) 2 2.5 3

Betina: Lt = 70.88 [1 - e-1.5(t+0.081) ]

2.5

Total : Lt = 70.58 [1 - e-1.5(t+0.087) ]

Gambar 6. Dugaan kurva pertumbuhan kerang Adonontia edentula. (a). Kurva pertumbuhan jantan (b) Kurva pertumvbuhan betina (c) Kurva Pertumbuhan gabungan

32

Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis

hewan-hewan tersebut. Hubungan tersebut dapat diestimasi melalui kecenderungan penyebaran data panjang dan berat yang diperoleh dari pengukuran komponen morfometrik. Pendugaan parameter b, koefisien hubungan panjang berat, dianalisis melalui pendekatan hubungan kuasa yang disederhanakan melalui transformasi linear Hubungan antara komponen panjang cangkang dengan berat cangkang mengindikasikan terjadinya pertumbuhan yang allometrik dimana laju pertambahan berat tidak seiring dengan pertambahan panjangnya. Hasil tersebut berarti bahwa pertambahan berat (cangkang ditambah dengan berat daging atau viscera wieght) lebih cepat bertambah dibandingkan panjangnya seiring dengan

waktu. Kondisi tersebut menandakan bahwa ada pengumpulan energi yang didapat lewat makanan dan kondisi lingkungan yang baik. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian bivalvia lainnya, maka ada pertumbuhan yang bersifat allometrik (positif maupun negatif) dan ada pula yang bersifat isometrik dimana laju pertumbuhan panjang cangkang adalah sama dengan laju pertumbuhan beratnya. Penelitian dari Anodontia woodiana (Afanasjev et al. 2001) di Polandia menghasilkan pola pertumbuhan allometrik negatif. Pola pertumbuhan dari jenis yang sama belum tentu menghasilkan nilai yang sama, begitupun jenis yang berbeda bisa mempunyai pola yang sama. Pola pertumbuhan
(b)

(a)

(c)

Gambar 7. Kurva konversi hasil tangkapan panjang (LCCC) kerang A.edentula (a) jantan, (b) betina dan (c) total

33

Yuliana Natan

Tabel 1. Persentase rekrutmen bulanan jantan, betina dan total kerang A.edentula

Bulan Januari 2005 Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

% Rekrutmen Jantan 1.25 6.29 8.83 9.94 10.47 12.38 7.45 12.16 7.47 14.77 8.97 0.00 Betina 1.98 3.95 8.27 16.88 11.35 6.67 10.31 15.12 13.29 2.22 9.95 0.00 Total 2.12 7.47 12.67 8.64 20.26 18.39 15.92 10.52 2.45 0.19 1.39 0.00

(a)

(b)

(c)

Gambar 8. Persentase rekrutmen kerang A.edentula (a) jantan, (b) betina dan (c) total.

34

Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis

tergantung dari ketersediaan makanan, dimana jika makanan berlimpah maka laju penambahan berat semakin cepat dan menghasilkan pertumbuhan yang allometrik positif. Panjang infinity atau panjang asimtot menunjukkan seberapa besar ukuran cangkang yang dapat dicapai oleh suatu individu kerang. Koefisien pertumbuhan (K) merupakan faktor penting untuk mengetahui laju pertumbuhan kerang mencapai ukuran infinity. Nilai (K) berbeda antara satu jenis dengan jenis lainnya, bahkan perbedaan tersebut dapat terjadi pada jenis yang sama dengan lokasi yang sama. Nilai koefisien pertumbuhan K menunjukkan seberapa cepat suatu spesies mencapai panjang atau berat infinity. Literatur serta informasi tentang kerang A.edentula sangat terbatas. Jika menggunakan data/nilai panjang maksimum yang ditemukan oleh Lebata (2000; 2001), sebesar 13 cm, dugaan panjang infinity (L) A. edentula berdasarkan rumus Pauly (1980) yaitu Lmax dibagi 0.95, maka panjang infinity adalah 13.67 cm. Apabila dibandingkan dengan apa yang didapatkan di perairan hutan mangrove desa Passo (L total = 70.58 mm), maka L lebih kecil dari di Philipina. Lebata (komunikasi personal) mengatakan bahwa perbedaan tempat (lokasi), akan membedakan parameter populasinya. Nilai panjang asimtotik (infinity) jantan lebih kecil dari betina pada perairan hutan mangrove Desa Passo menandakan bahwa secara genetis jantan lebih kecil dari betinanya. Berbeda jenis berbeda pula panjang infinity (L), seperti yang terjadi pada

Anodontia woodiana dimana panjang infinity bisa mencapai 23 cm. Jenis lainnya seperti kerang estuari di Philipina, panjang infinity mencapai 93 mm. Jadi berbeda lokasi dan jenis maka berbeda pula panjang infinitynya. Panjang infinity A.edentula di perairan hutan mangrove Desa Passo merupakan suatu informasi awal, dan akan dimonitor ukuran parameter tersebut di masa akan datang yang dijadikan baseline data untuk pemantauan parameter populasi. Koefisien pertumbuhan, K yang ditemukan perairan hutan mangrove desa Passo, menunjukkan kecepatan tumbuh yang cepat. Del Norte-Campos (2004) yang meneliti sunset elongate clam di air tawar dan estuari mendapatkan nilai K=1 dan dia menyimpulkan K dari spesies tersebut merupakan spesies yang cepat tumbuh. Lain lagi jika K yang didapatkan pada spesies kerang mutiara (Pinctada radiata) di perairan Qatar semenanjung Arab (Muhammed & Yassien 2003) dengan panjang 132.18 mm dan K = 0.34 per tahun menunjukkan pertumbuhan yang lama, memerlukan waktu mencapai panjang asimtotik 10 tahun. Salah satu jenis mussel Anodontia woodiana dengan nilai L asimtot 23 cm, K = 0.227 mencapai umur 10 tahun (Afanajev et al. 2001). Begitupun K yang didapatkan dari Anadontia edentula di perairan hutan mangrove Passo (K jantan = 1.3; K betina = 1.5 dan K gabungan = 1.5) dapat dikatakan sangat cepat dimana jantannya sedikit lebih lama mencapai panjang asimtotik. Laju pertumbuhannya memerlukan waktu yang pendek yaitu antara 2 sampai 2.3 tahun mencapai panjang asimtotik 35

Yuliana Natan

Hasil analisis terhadap parameter pertumbuhan memperlihatkan bahwa panjang infinitif (L) kerang jantan relatif lebih kecil dari kerang betina maupun gabungan jenis kelaminnya, begitupun juga parameter koefisien pertumbuhan K kerang jantan lebih kecil dari kerang betina maupun gabungan jenis kelamin. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi alami, untuk mencapai panjang cangkang asimtotik kerang betina ataupun gabungan jenis kelamin memiliki kecepatan tumbuh yang lebih cepat dari kerang jantan, karena satuan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai ukuran infinitif relatif lebih pendek. Hal ini juga dibarengi dengan rentang waktu hidup jantan relatif lebih lama (2.3 tahun) dibandingkan dengan betina, dan gabungan jenis kelamin yaitu 2 tahun. Koefisien pertumbuhan K merupakan parameter penting dalam persamaan von Bertalanffy, karena dapat menggambarkan laju pertumbuhan kerang untuk mencapai ukuran maksimum serta dapat pula dipakai untuk membandingkan laju pertumbuhan dari jenis-jenis yang berbeda ataupun jenis yang sama dan berasal dari lingkungan yang berbeda. Laju mortalitas total yang cukup tinggi, dimana mortalitas terdiri atas laju mortalitas karena alami (M) dan penangkapan/pemanfaatan (F). Mortalitas karena penangkapan/pemanfaatan ini kemungkinan disebabkan oleh pemanfaatan kerang karena musim paceklik dimana ikan sulit didapatkan bahkan tidak ada ikan sedangkan mortalitas alami disebabkan oleh sebabsebab alami seperti penyakit, predator ataupun interaksi biotik (biotik 36

interaction) seperti eutrofikasi (Del Norte-Campos 2004). Jika dilihat dari strategi hidup kerang, maka kerang tersebut hidup pada kondisi yang ekstrim dan cangkang yang cukup tipis mudah diserang predator seperti cangkang yang dibor oleh predator, seperti yang dialami oleh kerang Pinctada radiata (Muhammed & Yassien 2003). Kurangnya penelitian tentang seberapa besar mortalitas yang dipengaruhi oleh penyebab alami (M) Ditemukannya ukuran anakan dalam induk dewasa mengindikasikan bahwa strategi hidup kerang dilindungi dalam tubuh induknya, terutama menghindari perubahan lingkungan yang ekstrim. Diketahui bahwa habitat hewan ini pada kondiisi oksigen yang rendah dan sulfit yang tinggi Setiap bulan terjadi penambahan individu baru, tetapi bulan Desember pada Tabel 1 tidak kelihatan, yang sebenarnya ada penambahan individu baru. Pada Tabel 1 tersebut biasanya perhitungan jatuh pada tanggal 15 setiap bulan. Bulan Desember tersebut tidak dilewati oleh puncak-puncak rekrutmen. Bulan Mei adalah bulan dengan presentase rekruitmen tertinggi dan dindikasikan bahwa bulan tersebut adalah bulan musim penghujan dengan rekrutmen tertinggi.Walaupun secara umum penambahan individu baru yang relatif tidak terlalu besar (Tabel 1), namun hal ini cukup berarti bagi kesinambungan populasi di alam. Selama ini tekanan terhadap populasi kerang di parairan pantai hutan mangrove Passo berasal dari manusia pada musim paceklik, selain itu terdapat interaksi

Parameter Populasi Kerang Lumpur Tropis

biotik seperti predator, persaingan dan tekanan lingkungan, namun masih memungkinkan keberadaan status populasi kerang ini KESIMPULAN

14.77%; pada betina pada bulan April (16.88%) dan Agustus (15.12%) dan total gabungan pada bulan Maret (12.67%) dan Mei (20.26%). Bulan Mei adalah puncak rekrutmen tertinggi. DAFTAR PUSTAKA

Laju pertumbuhan berat dan panjang cangkang kerang, baik secara total ataupun pemisahan kelamin jantan maupun betina di perairan hutan mangrove pantai Passo teluk Ambon Bagian Dalam adalah tidak seimbang (allometrik) Panjang asimtot (L infinity) dicapai oleh kerang jantan, betina dan gabungan masing-masing adalah 65.63 mm, 70.88 mm dan 70.58 mm, dimana ukuran jantan lebih kecil dari betinanya, dengan koefisien pertumbuhan (K) dari jantan, betina dan total masing masing 1.3, 1.5 dan 1.5 per tahun yang mengindikasikan pertumbuhan yang cepat dari kerang ini dengan laju pertumbuhannya memerlukan waktu yang pendek yaitu masingmasing 2.3 tahun, 2. tahun dan 2.1 tahun. Laju mortalitas total Z, untuk jantan, betina dan total masing-masing adalah 4.560.31, 4.610.65 dan 4.950.43. Laju mortalitas total yang cukup tinggi, disebabkan oleh kondisi hidup yang ekstrim dan cangkang yang cukup tipis dan rapuh. Pada kerang jantan, betina maupun gabungan total kerang menunjukkan rekrutmen terjadi setiap bulan,. Secara keseluruhan telah terjadi dua puncak pulsa yang tidak sama. Puncak rekrutmen pada kerang jantan terjadi pada bulan Juni (12.38%) dan Oktober, yaitu

Afanasjev SA, B. Zdanowski & A. Kraszewski. 2001. Growth and population structure of the mussel Anodonta woodiana (Lea 1834) (Bivalvia, Unionidae) in the Heated Konin Lakes System. Archives of Polish Fisheries. 9(1): 123- 131. Del Norte-Campos AG. 2004. Some aspects of the population biology of the subset elongate clam Gari elongate (Lamarck 1818) (Mollusca, Pelecypoda: Psammobiidae) from the Beate Bay area, West Central Philippines. Asian publ.Sci. 17: 299-312. Latale SS. 2003. Studi pendahuluan eksplorasi sumberdaya Anodontia edentula pada perairan pantai desa Passo Teluk Ambon Bagian Dalam (Skripsi). Fakultas Perikanan Universitas Pattimura. Ambon. 58 hal. Lebata MJHL. 2000. Elemental Sulphur in the Gills of the Mangrove Mud Clam. Anodontia edentula (Family Lucinidae). J. Shell Shellfish Res. 19(1), 241-245. Lebata MJHL. 2001. Oxygen, sulphide and nutrient uptake of the mangrove mud clam Anodontia edentula (Family: Lucinidae). Marine Pollution Bull. 11(42), 1133-1138. Elsevier Science Ltd. 37

Yuliana Natan

Lebata MJHL, Primavera. 2001 Gill Structure, Anatomy and Habitat of Anodontia edentula :Evidence of endosymbiosis. J. Shellfish Res. 20(3):1273-1278. Lim KKP, HDH, Murphy, T. Morgani, N. Sivasothi, Ng PKL, BC. Seong, T. Hugh, W. Tan, KS. Tan, TK. Tan. 2001. Animal diversity. In P.K.L.Ng & N.Sivasothi, 2003 (Eds). A Guide to mangrove of Singapore 1. Singapore Science Centre. Muhammed SZ, & HM. Yassien. 2003. Population parameters of the pearl oyster Pinctada radiata (Leach) in Qatari waters Arab gulf. Turkey. J.Zool 27:339-343.

Natan, Y. 2008. Studi ekologi dan reproduksi populasi kerang lumpur Anodontia edentula pada ekosistem mangrove Teluk Ambon Bagian Dalam. (Desertasi). Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor 162 hal. Ricker WE. 1975. Computation and interpretation of bological statistics of fish populations. Bull. Fish. Res. Board Can. 19:191-382. Sparre P. &SC. Venema 1992. Introduction to tropical fish assesment, FAO Fisheries Departement, Rome. 407 p.

Memasukkan: Maret 2009 Diterima: Juli 2009

38

Jurnal Biologi Indonesia 6(1): 39-50 (2009)

Bioakumulasi Kadmium Pada Kerang Hijau (Perna viridis) Dengan Aplikasi Perunut Radioaktif
Yusni Ikhwan Siregar
Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Riau, Pekanbaru, Riau ABSTRACT Bioacumulation of Cadmium on Green Mussel (Perna viridis) Using Radiotracer. A laboratory experiment on the accumulation of Cadmium (Cd) by green mussel (Perna viridis) has been conducted. Radiotracer 109Cd was applied in the study. The research aimed at evaluating the effect of salinity, temperature and size on uptake of radiotracer 109Cd by green mussel (Perna viridis) from dissolved phase. It was found that both salinity and temperature had significant effect ( P< 0.001) on accumulation rate of 109Cd. The highest concentration factor of Cd (31,2354,09) was appeared in water salinity of 29% and of water temperature 30oC. At the steady state condition green mussel accumulated 72,21-107,80 Bq/gr Cd. It revealed that the small Perna viridis (5.2 cm in length) accumulated 109Cd about 107,80 Bq/gr, whereas the bigger size of Perna viridis (6.6 cm in length) had an uptake of about 72,21 Bq/gr. Key words : Bioaccumulation, radiotracer Cd, Perna viridis Kata kunci : Bioakumulasi, Perunut radioaktif, Cd, Perna viridis

PENDAHULUAN Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang luas di ekosistem akuatik. Di alam Cd bersenyawa dengan Belerang (S) sebagai greennocckite (CdS) yang ditemui bersamaan dengan senyawa spalerite (ZnS). Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna putih perak dan mudah teroksidasi oleh udara bebas dan gas Amonia (NH3) (Saeni 1997). Cd akan mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi dalam berbagai tingkatan organisme hidup. Dalam biota perairan jumlah logam berat yang terakumulasi akan terus mengalami peningkatan (biomagnifikasi) karena tidak dapat didegradasi oleh mikroorga-

nisme. Pada gilirannya pada rantai makanan, tertinggi termasuk manusia, Cd terakumulasi pada taraf yang tinggi yang bisa menimbulkan rasa sakit, panas pada bagian dada, penyakit paru-paru akut dan menimbulkan kematian. Perubahan sifat fisika air laut seperti suhu dan salinitas akan mempengaruhi biota laut (kerang hijau) dalam mengakumulasi kadmium dari lingkungannya. Dari berbagai penelitian (Morton 1987, Blackmore & Wang. 2002) dinyatakan bahwa kenaikan suhu, penurunan pH dan salinitas perairan dapat menyebabkan tingkat bioakumulasi logam berat semakin besar. Wright dalam Blackmore & Wang (2002) menambahkan bahwa banyak eksperimen menunjukkan pertambahan pengambilan radiotracer 39

Yusni Ikhwan Siregar

oleh berbagai biota laut terjadi ketika menurunnya salinitas. Pengukuran biokinetik dalam waktu panjang dengan menggunakan biota dalam jumlah terbatas serta mekanisme transfer kontaminan dalam berbagai kompartemen tubuh organisme sangat sulit dilakukan dengan teknik konvensional. Aplikasi teknik nuklir untuk menentukan kemampuan akumulasi polutan pada biota laut telah mulai dikembangkan di Indonesia, bahkan di luar negeri sudah dikembangkan sejak dahulu (Suseno2004a). Menggunakan polutan yang berlabel radioisotop (misal 109 Cd, 210 Pb dan sebagainya), dapat dilakukan percobaan dengan biota dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan teknik konvensional. Penelitian ini bertujuan mempelajari proses pengambilan perunut 109Cd dari fase terlarut oleh kerang hijau yang berbeda ukuran pada salinitas dan temperatur berbeda, sedangkan manfaat yang didapat yaitu informasi mengenai kemampuan akumulasi kerang hijau (Perna viridis) terhadap logam berat akibat fluktuasi salinitas dan suhu. BAHAN DAN CARA KERJA Hewan uji Perna viridis dikumpulkan dari Perairan Teluk Jakarta dengan teknik penyelaman tradisional. Untuk menghilangkan stress, hewan uji diaklimitasikan selama seminggu di laboratorium. dan diberi pakan Chlorella sp. dua kali sehari. Organisme dipisahkan menurut kelompok ukuran (5,2; 5,5 dan 6,6 cm) dan kemudian dibersihkan dari organisme 40

lain yang menempel. Metoda yang digunakan yaitu metoda eksperimen dengan rancangan percobaan faktorial. Kombinasi taraf perlakuan eksperimen terdiri dari S1-T1 (salinitas 29o/oo dengan suhu 28oC), S1T2 (salinitas 29o/oo dengan suhu 30oC), S2T1 (salinitas 31o/oo dengan suhu 28oC) dan S2T 2 (salinitas 31o/oo dengan suhu 30oC). Pengamatan pengambilan 109Cd dari fase terlarut dilakukan dengan meletakan Perna viridis ke dalam empat aquarium, sesuai kombinasi taraf perlakuannya. Konsentrasi 109Cd yang dipakai adalah konsentrasi kecil (1,46 Bq/ml) yaitu dengan meneteskan 7,6 ml ke setiap aquarium. Media uji air laut diganti setiap hari. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi 109Cd dalam air laut. Pemberian kontaminan dihentikan ketika konsentrasi 109Cd masuk pada Perna viridis sama dengan konsentrasi 109 Cd yang keluar (steady state). Secara periodik (dua hari sekali), Perna viridis dicacah menggunakan MCA (Multi Channel Analyser) yang terintegrasi dalam sistem inspektor buatan Kanberra, dan terkoneksi dengan komputer dan dihubungkan dengan spektrometer gamma serta dilengkapi detektor NaT1 yang diameternya 10 cm dan tinggi 40 cm buatan Bicron Corp tipe HQ 490 seri 2M2/2. Pencacahan dilakukan untuk memperoleh data pengambilan 109Cd dari fase terlarut. Pengambilan (uptake) kontaminan yang diamati dan dihitung adalah faktor konsentrasi (FK), konsentrasi tunak atau steady state (Css) dan faktor konsentrasi steady state (FKss), dihitung mengikuti Connell & Miller (1995). Data yang

Bioakumulasi Kadmium Pada Kerang Hijau (Perna viridis)

diperoleh dianalisa dengan ANOVA menggunakan program SPSS v.12.0. HASIL Biokinetika pengambilan 109Cd dari fase terlarut oleh Perna viridis pada salinitas 29o/oo dan 31o/oo di suhu 28oC dan 30oC Hasil percobaan menunjukkan ratarata faktor konsentrasi tertinggi di berbagai ukuran Perna viridis didapat pada salinitas 29o/oo dengan suhu 30oC yaitu berkisar 31,23-54,09 dengan nilai konsentrasi dan faktor konsentrasi dalam steady state yaitu 72,21-107,80 Bq/gr dan 49,46-73,84 (Tabel 1a dan 1b). Pengaruh lamanya waktu kontak terhadap faktor konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2 yang menunjukkan adanya hubungan positif diantara keduanya.

Gambar 1 dan 2 dapat dibuat gambar model proses pengambilan 109Cd oleh kerang hijau dari fase terlarut. Model tersebut merupakan permodelan saturasi, dimana permodelan mengasumsikan masuknya kontaminan ke dalam organisme dan terakumulasi sampai pada kondisi tunak di dalam tubuhnya. Model proses pengambilan 109Cd yang direpresentasikan dalam faktor konsentrasi pada salinitas 29o/oo dan 31o/oo pada suhu 28 o C (Gambar 3) sedangkan pada salinitas 29o/oo dan 31o/oo di suhu 30oC (Gambar 4). Pengaruh salinitas terhadap bioakumulasi 109 Cd pada Perna viridis Pengaruh salinitas dapat diketahui dengan membandingkan faktor konsentrasi rerata kedua salinitas (29 dan

Tabel 1a. Data biokinetika pengambilan 109Cd dari fase terlarut oleh Perna viridis pada salinitas 29o/oo dengan 31o/oo di suhu 30oC.
Durasi (hari) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 MeanS E Css FKss Faktor Konsentrasi 109Cd (Bq/gr) Salinitas 29o/oo Salinitas 31o/oo 5,2 cm 5,5 cm 6,6 cm 5,2 cm 5,5 cm 6,6 cm 30,52 24,29 17,20 27,33 13,61 11,23 40,77 28,64 19,50 28,54 15,74 12,27 44,62 29,36 21,19 36,25 22,33 14,08 47,60 32,65 23,99 37,24 30,87 19,50 51,45 35,94 30,35 41,65 36,65 20,93 59,98 49,90 34,72 45,73 39,14 21,75 70,62 52,48 39,51 52,12 47,41 25,42 70,60 59,07 47,31 53,00 51,77 28,70 70,61 59,08 47,33 53,44 51,78 28,83 54,09 41,27 31,23 41,70 34,37 20,30 4,89 4,60 3,89 3,37 4,91 2,23 107,80 90,16 72,21 80,90 79,02 43,81 73,84 61,75 49,46 55,41 54,12 30,01

Keterangan : Css (konsentrasi steady statei), FKss (faktor konsentrasi steady state)

41

Yusni Ikhwan Siregar

Tabel 1b. Data biokinetika pengambilan 109Cd dari fase terlarut oleh Perna viridis pada salinitas 29o/oo dengan 31o/oo di suhu 28oC. Faktor Konsentrasi 109Cd (Bq/gr) Durasi Salinitas 29o/oo Salinitas 31o/oo (hari) 5,2 cm 5,5 cm 6,6 cm 5,2 cm 5,5 cm 6,6 cm 2 25,45 18,32 10,41 14,98 11,92 7,99 4 35,81 22,33 16,10 23,25 13,41 10,46 6 38,46 30,42 17,09 24,35 14,86 13,08 8 41,54 33,71 19,61 29,97 16,01 15,26 10 44,18 36,88 20,81 33,71 20,55 16,00 12 57,06 42,22 21,64 35,26 21,97 16,74 14 60,82 45,69 24,10 49,47 25,80 17,91 16 60,80 51,68 24,38 49,46 35,76 19,72 18 60,80 51,66 24,44 49,46 36,33 19,67 MeanS 47,21 36,99 19,84 34,43 21,85 15,20 E 4,37 3,99 1,56 4,26 3,06 1,34 92,84 78,89 37,21 75,51 54,58 30,10 Css FKss 63,59 54,03 25,49 51,72 37,38 20,62
Keterangan: Css (konsentrasi steady statei), FKss (faktor konsentrasi steady state)
60 50 40 30 20 10 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Waktu kontak (hari)
y = 0.7137x + 8.0667 R = 0.9423
2

109Cd

Faktor konsentrasi

Faktor konsentrasi

y = 2.2673x + 11.761 R = 0.9462 y = 1.6044x + 5.8014 R2 = 0.9176


2

109Cd

60 50 40 30 20 10 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Waktu kontak (hari)
y = 0.7137x + 8.0667 R2 = 0.9423

y = 2.2673x + 11.761 R2 = 0.9462 y = 1.6044x + 5.8014 R2 = 0.9176

5,2 cm

5,5 cm

6,6 cm

5,2 cm

5,5 cm

6,6 cm

Gambar 1. Faktor konsentrasi perunut 109Cd dalam Perna viridis pada salinitas 29o/oo (A) dan salinitas 31o/oo (B) di suhu 28o C. = 5,5 cm =6,6 cm =5,2 cm

31o/oo) di suhu dan ukuran yang sama (5,2 cm dan 30oC) pada Tabel 1b. Perbedaan salinitas memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap proses bioakumulasi 109Cd oleh kerang hijau (P < 0,01). Hal tersebut berarti bahwa perbedaan salinitas terhadap proses bioakumulasi 109 Cd memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata. 42

Pada saat salinitas 31 o / oo proses bioakumulasi logam berat oleh Perna viridis ukuran 5,2 cm terjadi tidak begitu besar dengan nilai faktor konsentrasi rata-rata 41,70 jika dibandingkan pada kondisi salinitas 29o/oo yang nilai rata-rata faktor konsentrasinya 54,09 (Gambar 5). Pada Gambar 6, nilai koefisien determinasi untuk salinitas 29o/oo (0,9951)

Bioakumulasi Kadmium Pada Kerang Hijau (Perna viridis)

Faktor Konsentrasi 109Cd

Faktor Konsentrasi 109Cd

80 70 60 50 40 30 20 10 0 0

60 50 40 30 20 10 0 0

y = 2.6186x + 27.9 R2 = 0.9539

y = 2.4495x + 16.773 R2 = 0.9433

y = 1.8171x + 23.529 2 R = 0.9668 y = 2.66x + 7.7667 2 R = 0.9764

y = 2.0943x + 10.29 R2 = 0.9685

y = 1.2052x + 8.2494 R2 = 0.9734

8
5,2 cm

10
5,5 cm

12

14

16

18

20

10

12

14

16

18

20

Waktu Kontak (hari)


6,6 cm

Waktu Kontak (hari)


5,2 cm 5,5 cm 6,6 cm

Gambar 2. Faktor konsentrasi perunut 109Cd dalam Perna viridis pada salinitas 29o/oo (A) dan salinitas 31o/oo (B) di suhu 30oC. = 5,5 cm =6,6 cm =5,2 cm
70 60 50 40 30 20 10 0 0 5 10 15 20 Waktu K ontak (hari) 5,2 cm 5,5 cm 6,6 cm

60 50 40 30 20 10 0 0 5 10 15 20 Waktu K ontak (hari) 5,2 cm 5,5 cm 6,6 cm

Gambar 3. Model proses pengambilan konsentrasi 109Cd oleh Perna viridis pada salinitas 29o/ (A) dan salinitas 31o/oo (B) di suhu 28oC. = 5,5 cm =6,6 cm =5,2 cm oo

lebih besar jika dibandingkan dengan salinitas 31o/oo (0,968). Kedua koefisien determinasi tersebut berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar kecilnya nilai bioakumulasi disebabkan oleh salinitas. Pengaruh suhu terhadap bioakumulasi 109Cd pada Perna viridis Pengaruh suhu dapat diketahui dengan melakukan perbandingan ratarata faktor konsentrasi kedua suhu (28 dan 30oC) pada salinitas dan ukuran yang

sama (5,2 cm dan 29o/oo) pada Tabel 1a dan 1b. Pengaruh suhu terhadap tingkat bioakumulasi Perna viridis memberikan pengaruh yang sangat signifikan (P < 0,01), terlihat pada Gambar 7. Selanjutnya nilai koefisien determinasi untuk suhu 28oC (0,9791) lebih kecil jika dibandingkan dengan suhu 30oC yang nilainya sebesar 0,9951. Kedua koefisien determinasi tersebut berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besarkecilnya nilai bioakumulasi disebabkan oleh suhu. (Gambar 8). 43

Yusni Ikhwan Siregar

80 70 60 50 40 30
20 60 50 40 30

20 10 0 0 5 10 15 20 Waktu Kontak (hari)


5,2 cm 5,5 cm 6,6 cm

10 0 0 5

5,2 cm

5,5 cm

6,6 cm

10

15

20

Waktu Kontak (hari)

Gambar 4. Konsentrasi Model proses pengambilan 109Cd oleh Perna viridis pada salinitas 29o/oo (A) dan salinitas 31o/oo (B) di suhu 30oC.
70 60 50 40 30 20 10 0 A S a l in i t a s ( / o o )
o

5 ,2 c m 5 ,5 c m 6 ,6 c m

Gambar 5. Faktor konsentrasi rata-rata bioakumulasi 109Cd pada Perna viridis di salinitas 29o/ (A) dan salinitas 31o/oo (B) pada suhu 30oC. oo
Faktor Konsentrasi rata-rata 60 50 40 Cd
109

y = -11,43x + 65,057 2 R = 0,9951

30 20 10 0 0 1 2 3 4 U kuran K erang H ijau (cm ) y = -10,7x + 53,523 R 2 = 0,968

A B

Gambar 6. Hubungan pengaruh salinitas terhadap proses bioakumulasi perunut 109Cd oleh Perna viridis salinitas 29o/oo (A) dan salinitas 31o/oo (B).

44

Bioakumulasi Kadmium Pada Kerang Hijau (Perna viridis)

70 60 50 40 30 20 10 0 A Suhu ( C)
o

5 ,2 c m 5 ,5 c m 6 ,6 c m

Gambar 7. Faktor konsentrasi rata-rata bioakumulasi 109Cd pada Perna viridis di suhu 28oC (A) dan suhu 30oC (B) pada salinitas 29o/oo.

Pengaruh ukuran perna viridis terhadap bioakumulasi 109Cd Pengaruh perbedaan ukuran Perna viridis terhadap proses pengambilan 109 Cd dari fase terlarut adalah sangat signifikan (P<0,01), dimana masingmasing ukuran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap hasil akumulasi 109Cd. Ukuran kerang hijau mempunyai hubungan yang negatif terhadap proses bioakumulasi perunut 109Cd (Y = 31,23 10,35X) atau semakin kecil ukuran kerang hijau maka tingkat akumulasi logam beratnya semakin besar (Gambar 9). PEMBAHASAN Rata-rata faktor konsentrasi terendahnya didapat pada salinitas 31o/ dengan suhu 28 o C yang kisaran oo nilainya 15,20-34,43 dimana nilai konsentrasi steady statenya berkisar 30,10-75,51 Bq/gr (Tabel 1b). Hal tersebut berarti pada salinitas 29 o/ oo dengan suhu 30oC merupakan kondisi

yang menyebabkan proses akumulasi Cd meningkat karena perubahan salinitas dan suhu dapat merubah laju metabolisme pada organisme laut (Wang, 2000). Pada kondisi tersebut, kerang hijau mampu mengakumulasi 109Cd 31,23 sampai dengan 54,09 kali dalam durasi kontak 14 sampai dengan 16 hari. Pengaruh lamanya waktu kontak terhadap faktor konsentrasi dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2 yang menunjukkan adanya hubungan positif diantara keduanya. Pada salinitas 29o/oo dengan suhu 28oC dan salinitas 31o/oo dengan suhu 30oC didapat rata-rata faktor konsentrasi yang tidak ekstrim seperti di dua kondisi lainnya yaitu dengan kisaran 19,84-47,21 dan 20,30-41,70. konsentrasi steady state Faktor konsentrasi steady state di kondisi salinitas 29o/oo dengan suhu 30oC 1,33 kali lebih besar dibandingkan dengan kondisi salinitas 31o/oo. Sedangkan pada suhu 28oC, faktor konsentrasi steady state di salinitas 29o/oo 1,23 kali lebih besar dibandingkan dengan di salinitas 31o/oo.
109

45

Yusni Ikhwan Siregar

Cd

60 y = 1 1 ,4 3 x + 1 9 ,3 3 7 50 40 30 20 10 0 0 1 2 3 4 y = 1 3 ,6 8 5 x + 7 ,3 1 R 2 = 0 ,9 7 9 1 A B R 2 = 0 ,9 9 5 1

Faktor Konsentrasi rata-rata

109

U k u r a n K e r a n g H ija u (c m )

Gambar 8. Hubungan pengaruh suhu terhadap proses bioakumulasi perunut 109Cd oleh Perna viridis pada suhu 28oC (A) dan suhu 30oC (B).

Dari Gambar 1 dan 2 dapat dibuat gambar model proses pengambilan 109Cd oleh kerang hijau dari fase terlarut. Model tersebut merupakan model saturasi, dimana permodelan mengasumsikan masuknya kontaminan ke dalam organisme dan terakumulasi sampai pada kondisi tunak di dalam tubuhnya. Model proses pengambilan 109Cd yang direpresentasikan dalam faktor konsentrasi pada salinitas 29o/oo dan 31o/oo di suhu 28oC ditunjukkan pada Gambar 3, pada salinitas 29o/oo dan 31o/oo di suhu 30oC ditunjukkan pada Gambar 4. Perbedaan salinitas memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap proses bioakumulasi 109Cd oleh kerang hijau (P<0,01). Hal tersebut berarti bahwa perbedaan salinitas terhadap proses bioakumulasi 109Cd memberikan pengaruh yang sangat berbeda nyata. Pada saat salinitas 31 o / oo proses bioakumulasi logam berat oleh Perna viridis ukuran 5,2 cm terjadi tidak begitu besar dengan nilai faktor konsentrasi rata-rata 41,70 jika dibandingkan pada 46

kondisi salinitas 29o/oo yang nilai rata-rata faktor konsentrasinya 54,09 (Gambar 5). Perlakuan salinitas terhadap proses bioakumulasi yang direpresentasikan oleh faktor konsentrasi 109Cd dalam kerang hijau mempunyai hubungan yang negatif (Y = 31,23 - 5,24X) atau tingkat akumulasi perunut 109Cd oleh kerang hijau akan besar jika nilai salinitas rendah tetapi akumulasi logam berat akan semakin kecil apabila salinitas lebih besar. Hal ini disebabkan perubahan salinitas dapat mempengaruhi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan metabolisme fisiologi dari organisme laut. Hal tersebut diatas sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pertambahan akumulasi logam berat dan toksisitas berhubungan dengan berkurangnya salinitas menambahkan bahwa pengambilan logam berat dari fase terlarut oleh Perna viridis yang berasal dari perairan laut bersalinitas rendah dan bersalinitas tinggi, umumnya mengalami penambahan akumulasi logam berat ketika salinitas rendah.

Bioakumulasi Kadmium Pada Kerang Hijau (Perna viridis)

60 Cd 50 40 5 ,2 c m 30 20 10 0 0 1 2 3 4 5 K o m b in a s i T a r a f P e r la k u a n
y = - 4 ,7 6 3 x + 3 3 ,5 5 R 2 = 0 ,8 1 9 1 y = - 6 ,0 8 8 x + 4 8 ,8 4 R 2 = 0 ,8 8 6 8 y = - 6 ,4 7 9 x + 6 0 ,5 3 2 R = 0 ,9 9 7 2
109

Faktor Konsentrasi rata-rata

5 ,5 c m 6 ,6 c m

Gambar 9. Hubungan pengaruh ukuran terhadap proses bioakumulasi perunut Perna viridis pada S1T2 (1), S1T1 (2), S2T2 (3) dan S2T1 (4).

109

Cd oleh

Mengacu pada Gambar 6, nilai koefisien determinasi untuk salinitas 29o/ (0,9951) lebih besar jika dibandingkan oo dengan salinitas 31o/oo (0,968). Kedua koefisien determinasi tersebut berarti bahwa variasi yang terjadi terhadap besar-kecilnya nilai bioakumulasi disebabkan oleh salinitas. Fluktuasi suhu memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai tingkat bioakumulasi oleh Perna viridis. Kenaikan nilai bioakumulasi terjadi pada saat kondisi suhu berada di 30oC tetapi pada saat suhu media 28 o C nilai bioakumulasi logam perunut 109Cd oleh kerang hijau menjadi turun (Gambar 7). Sehingga dapat disimpulkan bahwa perlakuan suhu mempunyai hubungan yang positif dengan proses bioakumulasi perunut 109Cd (Y = 31,23 + 3,96X). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi suhu media (air laut) maka akan menyebabkan nilai bioakumulasi semakin tinggi. Chatteraji et al (1984) menyatakan pertumbuhan yang signifikan pada kerang hijau dipengaruhi oleh suhu.

Kemudian Sivalingam dalam Coreoli et al (1984) menambahkan bahwa kisaran suhu antara 10-35oC merupakan suhu yang dapat ditoleransi sampai 50% oleh Perna viridis. Pengaruh ukuran Perna viridis dapat digambarkan dengan membandingkan faktor konsentrasi rata-rata ketiga ukuran (5,2; 5,5 dan 6,6 cm) di salah satu taraf kombinasi perlakuan antara salinitas dan suhu (salinitas 29o/oo dengan suhu 30 o C) pada Tabel 1a. Pengaruh perbedaan ukuran Perna viridis terhadap proses pengambilan 109 Cd dari fase terlarut adalah sangat signifikan (P < 0,01), dimana masingmasing ukuran memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap hasil akumulasi 109Cd. Hal ini disebabkan karena Perna viridis berukuran kecil lebih banyak membutuhkan nutrien (per satuan berat) untuk pertumbuhan dan kondisi dimana sistem metabolismenya menuju kesempurnaan (Rajagopal et al 1998).

47

Yusni Ikhwan Siregar

Ukuran kerang hijau mempunyai hubungan yang negatif terhadap proses bioakumulasi perunut 109Cd (Y = 31,23 10,35X) atau semakin kecil ukuran kerang hijau tingkat akumulasi logam beratnya semakin besar (Gambar 9). Hal ini sesuai dengan Suseno (2004b) yang menyatakan bahwa ada korelasi yang signifikan antara konsentrasi kontaminan di lingkungan dengan konsentrasi kontaminan dalam tubuh organisme. Kenaikan konsentrasi 109 Cd pada setiap ukuran Perna viridis terjadi setiap hari selama proses pengamatan walaupun dalam durasi tertentu kenaikannya tidak sebesar pada waktu kontak lainnya. Perna viridis berukuran kecil lebih cepat mencapai kondisi tunak jika dibandingkan dengan yang berukuran besar. Walaupun ukuran tubuh lebih kecil tetapi luas permukaan dan rasio volume dengan konsentrasi enzim memainkan peranan yang sangat penting (Suseno 2004b). Ukuran merupakan faktor biologi yang penting dalam mengontrol akumulasi logam berat pada bivalva laut (Wang & Dei 1999). Pengaruh interaksi antar faktor eksperimen terhadap proses bioakumulasi perunut 109Cd oleh Perna viridis dari fase terlarut tidak signifikan (P>0,01). Hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa interaksi antar faktor eksperimen memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap tingkat akumulasi perunut 109Cd oleh Perna viridis dari fase terlarut. Kondisi tersebut disebabkan karena masing-masing faktor mempunyai pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi proses bioakumulasi perunut 109Cd dari fase terlarut. 48

Berdasarkan nilai faktor konsentrasi tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor salinitas merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi tingkat akumulasi perunut 109Cd oleh kerang hijau dari fase terlarut. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ratarata tertinggi kerang hijau berhubungan dengan salinitas dan kelimpahan Fitoplankton (Chatterji et al. 1984). Kemudian Sivalingam dalam Coeroli et al. (1984), bahwa bivalva seperti kerang hijau dapat mentoleransi salinitas dengan kisaran antara 24-80 ppt. Kerang hijau memanfaatkan turunnya atau berkurangnya salinitas untuk memperpanjang kelangsungan hidupnya sejak mulai berkurangnya salinitas (Morton 1987). Mekanisme akumulasi 109Cd oleh Perna viridis melalui proses passive uptake dan active uptake. Passive uptake terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion di mana ion monovalent dan divalent seperti Na, Mg, dan Ca pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat; dan kedua adalah formasi kompleks antara ion-ion logam berat dengan carbonyl, amino, thiol, hydroxy, phosphate, dan hydroxy-carboxyl yang berada pada dinding sel. Proses bioabsorpsi ini bersifat bolak baik dan cepat. Proses bolak balik ikatan ion logam berat di permukaan sel ini dapat terjadi pada sel mati dan sel hidup dari suatu biomass. Sedangkan active uptake terjadi sejalan dengan konsumsi ion logam untuk pertumbuhan organisme atau/dan akumulasi intraselular ion logam. Logam berat dapat juga diendapkan pada proses metabolisme dan

Bioakumulasi Kadmium Pada Kerang Hijau (Perna viridis)

ekresi pada tingkat ke dua. Proses ini tergantung dari energi yang terkandung dan sensitifitasnya terhadap parameterparameter yang berbeda seperti pH, suhu, salinitas dan lain-lain (Nora et al. 1998). KESIMPULAN Perbedaan ukuran kerang hijau dan salinitas memberikan pengaruh negatif yang sangat signifikan, sedangkan perbedaan suhu memberikan pengaruh positif yang sangat signifikan terhadap tingkat akumulasi 109 Cd dari fase terlarut. Kerang hijau yang berukuran kecil lebih cepat mencapai kondisi tunak, steady state, dibandingkan dengan kerang hijau yang berukuran besar. DAFTAR PUSTAKA Blackmore, G, &WX. Wang. 2002. InterPopulation Differences in Cd, Cr, Se, and Zn Accumulation by the Green Mussel Perna viridis Acclimated at Different Salinities, The Hong Kong University of Science and Technology, Hong Kong. 13pp. Chatterji, A., ZA. Ansari, BS. Ingole, & AH. Parulekar. 1984. Growth of the green mussel, Perna viridis L., in a sea water circulating system. Aquaculture 40:47-55. Coeroli, M., D. Gaillande, JP. Landret. 1984. Recent innovations in cultivation of molluscs in French Polynesia. Aquaculture 39:45-67. Connel, DW, & GJ. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencema-

ran, UI press, Jakarta. 518 hal. Terjemahan Yanti Koestoer. Morton, B. 1987. The functional morphology of the organs of the mantle cavity of Perna viridis (Linnaeus, 1758) (Bivalvia: Mytilacea). Amer. Malac. Bull. 5(2):159-164. Nora FY, YST Wong & CG. Simpson.1998. Removal of Copper by Free and Immobilized Microalgae, Chlorella vulgaris, in: in YukShan & Tam (eds.). Water Treatment with Algae Springer-Verlag and Landes Bioscience, p. 17 Rajagopal, S, VP. Venugopalan, KVK. Nair, V. van der Velde, HA. Jenner, & C. den Harog. 1998. Reproduction, growth rate and culture potential of the green mussel, Perna viridis (L.) in Edaiyur backwaters, east coast of India. Aquaculture 162:187-202. Saeni, MS. 1997. Penentuan Tingkat Pencemaran Logam Berat dengan Analisis Rambut. Orasi Ilmiah, Guru Besar Tetap Ilmu Kimia Lingkungan, Fakultas Matematika dan IPA IPB. Bogor Suseno, H. 2004a, Pendekatan Teknik Nuklir untuk Studi Biokinetik Akumulasi dan Depurasi Kadmium pada Gastropoda Laut Teluk Jakarta, Seminar Nasional Teknologi Limbah, Serpong September 2004, P2PLR BATAN. 2004b. Biokinetics of Cadmium in Indonesias Green Mussel, Perna viridis: Influences of Body Size. Proceeding of one day seminar Development Radioecology and

49

Yusni Ikhwan Siregar

Marine Environment in Indonesia, Hotel Sahid Jaya Jakarta. Wang, WX. 2000. Uptake and Depuration of Cesium in the Green Mussel Perna viridis. Mar. Ecol. Prog. Ser.137:567-575.

Wang, WX. & RCH. Dei . 1999. Factors Affecting Trace Element Uptake in the Black Mussel Septifer virgatus. Mar. Ecol. Prog. Ser. 186:161-172.

Memasukkan: Maret 2009 Diterima: Juli 2009

50

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1): 51-69 (2009)

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi Larva Tiram Mutiara Pinctada maxima (Jameson)
Tjahjo Winanto1, Dedi Soedharma2, Ridwan Affandi3, & Harpasis S. Sanusi2
1 Jur. Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fak. Sain dan Teknik UNSOED, 2 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fak. Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. E-mail: tjwinanto@yahoo.com

ABSTRACT The Effect of Temperature and Salinity to The Physiological Respons on The Larvae of Pinctada maxima (Jameson). Energy budget is one of the most sensitive tools available for individual assessing environmental changes like temperature and salinity, and also prerequisite for individual growth and survival. The aim of this study is to obtained information on energy budget on routine metabolism, in different levels of temperature and salinity, and to know the levels of optimum temperature and salinity. The research was used randomized block design, with three replications. The result showed that optimal temperature and salinity on P. maxima larvae was 28 oC and 32 34 (BE and BF). Energy budget to routine metabolism increased was attributed to increased temperature and salinity due to the optimal, than would be decreased when temperature and salinity increased. The highest of energy budged for routine metabolism at treatment BF. Stage I: energy budged between 6.73 7.35 C g wet weight-1 hour-1 (28.18 30.74 J g wet weight-1 hour-1); Stages II: 5.85 5.95 C g wet weight-1 hour-1 (24.48 24.90 J g wet weight-1 hour-1); Stages III: 4.73 4.80 C g wet weight-1 hour-1 (15.07 19.58 J g wet weight-1 hour-1). The highest survival rate of larvae was by treatment BF, but has not higher significant (P e 0.05) with BE, stage I: survival rate between 87.75 87.92 %; Stage II: 81.91 82.39 % and stage III: 76.72 77.26 %. The best of relative growth length of larvae by treatment BF and not significant (P e 0.05) with BE, at stage I: 29.78 x 17.93 m 30.57 x 18.43 m (AP x DV); stage II: 57.62 x 46.73 m 58.13 x 47.33 m and stage III: 80.32 x 69.29 m 80.88 x 69.62 m. The quickest time of plantigrade stages have found by treatment BF (day 19.50) and hasnt significant (P > 0.05) with BE (day 20.85). Keywords: Pinctada maxima, larvae, response; physiology, metabolism. Kata kunci: Pinctada maxima, larvae, respon, fisiology, metabolisme.

PENDAHULUAN Pinctada maxima adalah spesies akuakultur yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (Taylor et al. 1997). Di pasaran internasional, mutiara yang diproduksi sering kali disebut dengan nama South Sea Pearl. Indonesia termasuk salah satu negara penghasil

mutiara (South Sea Pearl) yang cukup diskenal di pasaran dunia, sebagian besar produksi South Sea Pearl yang dipasarkan berasal dari hasil budidaya (Anna 2006). Produksi mutiara berbasis budidaya merupakan aktivitas usaha yang menguntungkan. Perkembangan usaha budidaya mutiara saat ini sudah mengarah pada kegiatan industri yang terintegrasi (Fassler 1995). 51

Winanto, Soedharma, Affandi & Sanusi

Saat ini, produksi kerang jenis ini dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebab turunnya produksi mutiara karena semakin sulitnya mendapatkan tiram ukuran implantasi dan ketersediaan spat yang dipengaruhi musim. Ketersediaan spat merupakan kendala utama dalam pengembangan budidaya tiram mutiara. Suplai spat merupakan bagian yang krusial dari industri ini, jika semata-mata hanya menggantungkan pengumpulan spat dari alam. Peluang usaha penjualan spat (benih) sangat menja njikan karena setiap tahunnya diperkirakan ada permintaan spat ukuran 5 7 cm sebesar 4.143.000 ekor, dengan harga sekitar Rp 2.000 per cm. Di Australia, harga spat dari hatchery kira-kira $US 0,1 0,14 per mm panjang engsel (R.A. Rose data tidak dipublikasikan, dalam Taylor et al. 1997). Syarat utama untuk kelangsungan hidup berbagai organisme adalah berdasarkan pada pengelolaan keseimbangan energi yang positif, yang mana berkaitan langsung dengan kualitas lingkungan (Smaal & Widdows 1994). Keseimbangan energi dapat diestimasi oleh perbedaan antara energi yang diperoleh dari makanan yang sesuai, dan konsumsi energi oleh metabolisme internal (Crisp 1984; Dame 1996). Jika hasilnya positif, keseimbangan energi ini dapat didefinisikan sebagai skope untuk pertumbuhan, representasi energi yang digunakan untuk tumbuh (jaringan somatik) dan atau untuk reproduksi (Resgalla et al, 2007). Selama pemeliharaan larva di dalam lab, diperlukan kondisi lingkungan yang optimum dan terkendali, karena pada 52

stadia tersebut kondisinya masih sangat rentan dan peka. Oleh sebab itu jika terjadi perubahan lingkungan pemeliharaan dapat mengakibatkan mortalitas, sehingga berbagai kajian yang berkaitan dengan pemeliharaan larva di laboratorium sangat diperlukan. Menurut Gricourth et al. (2006) untuk memproduksi larva dan spat baik secara kualitas maupun kuantitas diperlukan kondisi lingkungan pemeliharaan yang optimal, seperti untuk pertumbuhan, perkembangan dan proses-proses fisiologis yang mengatur organisme tetap dalam kondisi seimbang dan terkontrol. Selama proses produksi spat skala besar di hatchery, sangat diperlukan informasi tentang pengaruh suhu, salinitas, konsumsi oksigen dan pakan terhadap pertumbuhan dan sintasan (Alfaro 2005; Asha & Muthiah 2005; Martinez-Fernandez et al. 2004). Tujuan dari percobaan ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin pada tingkat suhu dan salinitas berbeda, serta dapat diketahui tingkat suhu dan salinitas optimum, sehingga dapat diperoleh sintasan dan pertumbuhan yang tinggi. BAHAN DAN CARA KERJA Kultur Pakan Hidup Pakan hidup dipersiapkan satu bulan sebelum percobaan dimulai. Jenis pakan hidup yang digunakan adalah fitoplankton Isochrysis galbana dan Pavlova lutheri. Inokulum yang digunakan berasal dari biakan murni skala lab, kemudian diperbanyak hingga mencapai kepadatan

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi

sekitar 8 10 juta sel/ml. Media pupuk untuk kultur pakan hidup adalah formula Walne dan Hirata (Balai Budidaya Laut 2001; 2002). Percobaan ini menggunakan disain Rancangan acak kelompok faktorial (RAK-FAKTORIAL 3x3). Pengelompokan dilakukan berdasarkan pada tahap perkembangan stadia larva. Perlakuan yang digunakan terdiri dari 2 faktor, yaitu (I) suhu, (II) salinitas. Faktor I terdiri dari tiga taraf faktor yaitu suhu (A) 26 oC; (B) 28 oC; dan (C) 30 oC. Faktor II terdiri dari tiga taraf faktor yaitu salinitas (D) 30 ; (E) 32 ; (F) 34 . Hewan uji berupa larva P. maxima stadia bentuk-D (D1), dipelihara di dalam wadah percobaan ember plastik volume 20 liter. Larva diperoleh dari hasil pemijahan Induk P. maxima dengan menggunakan kombinasi metode kejut suhu dan fluktuasi suhu (Winanto et al. 2001; Winanto 2004). Larva diberi pakan I. galbana dan P. lutheri dengan jumlah dan waktu pemberian mengacu pada Balai Budidaya Laut (2001). Media air laut yang digunakan untuk memelihara larva telah melalui beberapa tahapan proses penyaringan seperti sand filter, catrage (15, 10 dan 5 mikron), kapas sintetik dan ultra violet. Berdasarkan pada stadia perkembangan larva, maka percobaan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu Stadia I (D1 D6) dengan kepadatan larva 5 ekor/ ml; Stadia II (D7 D14) dengan kepadatan larva 3 ekor/ml dan Stadia III (D15 D20) dengan kepadatan larva 2 ekor/ml (Winanto et al. 2001; Winanto 2004).

Percobaan dila kukan di dalam ruangan dengan alat pendingain (AC), untuk meningkatkan suhu air digunakan alat pemana s. Pengukuran suhu dila kukan dengan menggunakan termometer Hg, sedangkan salinitas diukur dengan refraktometer (Atago, Jepang). Untuk mendapatkan salinitas (S) yang sesuai dengan perlakuan (30 dan 32 ) ditambahkan air tawar, karena salinitas air di lokasi penelitian e 34 . Metode pengenceran air laut merupakan hasil kali dari volume air laut (liter) yang diencerkan (a) dengan tingkat salinitas () yang akan diencerkan (St), dibadingkan dengan hasil kali volume air tawar yang ditambahkan (n) dan volume (liter) air laut yang diencerkan (a). Pengukuran laju konsumsi oksigen dilakukan dengan menempatkan hewan uji di dalam botol plastik gelap dengan volume 200 ml. Disain percobaan untuk mengetahui laju konsumsi oksigen, yaitu berupa satu unit peralatan yang terdiri dari empat botol. Botol A untuk stok air yang dijenuhkan; botol B sebagai wadah hewan uji; botol C untuk mengukur laju konsumsi oksigen; dan botol D sebagai tempat menampung sisa air buangan (Gambar 1). Oksigen terlarut diukur dengan alat DO meter (YSI 550A, tipe 03J0820 AJ). Untuk mengetahui berat larva, sampel disaring dan ditampung menggunakan planktonet, kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitik Dever Instrumen (d = 0,0001 gr). Metabolisme rutine diukur pada kondisi larva tetap diberi pakan dua kali seha ri selama percobaan. Untuk mengetahui laju metabolisme rutine larva 53

Winanto, Soedharma, Affandi & Sanusi

dilakukan dengan mengkonversi jumlah O2 yang dikonsumsi ke dalam satuan energi sebagai berikut; 1 mgO2 = 0,7 mlO2 (Jeong & Cho 2007); 1 mlO2 = 19,9 Joule (Elliot & Davison 1975) dan 1 kalori = 4,184 Joule Untuk mengetahui sintasan dilakukan pengambilan sampel sebanyak 10 ml, selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 4060 kali. Jumlah larva dihitung dengan menggunakan sedgwick rafter sel. Sintasan dihitung berdasarkan pada persentase jumlah spat pada akhir pengamatan dibandingkan dengan jumlah spat pada awal pengamatan. Pengukuran panjang antero-posterior (AP) dan tinggi dorso-ventral (DV) (Taylor et al. 1997) dilakukan dengan menggunakan mikrometer okuler. Pertumbuhan relatif diketahui dengan menghitung persentase selisih antara ukuran individu akhir pengamatan dan ukur an individu awal pengamatan dibandingkan dengan ukuran individu awal pengamatan.

Pengamatan waktu pencapaian stadia hanya dilakukan terhadap waktu pencapaian stadia akhir larva yang masih bersifat pla nktonis yaitu stadia plantigrade. Pengamatan dimulai dari hari ke 18. Pengambilan sampel dilakukan setiap jam sebanyak 10 ml, selanjutnya dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Waktu pertama kali teridentifikasi stadia plantigrade, maka saat itu ditetapkan sebagai waktu pencapaian stadia tersebut. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji Fischer dan dilanjutkan uji rerata Tukey (Steel &Torrie 1993). Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software SPSS 15 PC. Data-data dengan dua variable seperti laju metabolisme dan berat larva, dianalisis dengan regresi sederhana (Y = a + bX) (Sulaiman 2004). Untuk mendapatkan nilai optimum suhu dan salinitas digunakan model regresi polinomial (Neter et al. 1990).

Gambar 1. Disain percobaan untuk pengukuran laju konsumsi oksigen larva tiram mutiara P. maxima.

54

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi

HASIL Konsumsi Oksigen Hasil pengukuran menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen larva P. maxima tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC, salinitas 34 (BF) dan terendah pada perlakuan suhu 26 o C, salinitas 30 (AD). Pada stadia I: laju konsumsi oksigen tertinggi mencapai 2,16 mgO 2 /g berat basah/jam (BF) dan terendah 1,09 mgO2/g berat basah/jam (AD). Hal yang sama juga terjadi pada stadia II dan stadia III (Tabel 1). Hasil analisis varian laju konsumsi oksigen menunjukkan adanya perbedaan nyata (P 0,05) antar perlakuan suhu dan salinitas, sedangkan interaksi antara suhu dan salinitas tidak nyata pengaruhnya (P e 0,05). Uji nilai tengah Tukey menunjukkan bahwa perlakuan salinitas 32 (E) tidak berbeda nyata lebih kecil (P e 0,05) dengan salinitas 34 (F), tetapi E dan F berbeda nyata lebih besar dari perlakuan D salinitas (30 ). Sedangkan perlakuan suhu dan tiap tahap stadia berbeda nyata. Laju Metabolisme Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pembelanjaan energi [C(J)/g/jam] untuk metabolisme rutin larva tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 o C; salinitas 34 (BF) dan terendah pada perlakuan suhu 26 oC; salinitas 30 (AD) (Tabel 2). Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey menunjukkan adanya pola dan hasil sama dengan analisis data laju konsumsi oksigen.

Hubungan laju metabolisme dengan suhu dan salinitas Analisis hubungan antara laju metabolisme rutin larva dengan suhu, menunjukkan adanya korelasi yang kuat, dengan koefisien determinasi (R2) pada stadia I sekitar 0,8227; stadia II: 0, 7963 dan stadia III: 0,8283. Pada stadia I, pengaruh suhu terhadap laju metabolisme mencapai 82,27 %, pada stadia II menurun sampai 79,63 %, dan pada stadia III efek suhu meningkat menjadi 82,83 %. (Gambar 2). Persa-maan hubungan laju metabolisme rutin dengan suhu adalah: Stadia I : Y = -1,9387x2 + 110,02x 1532,80 (R2 = 0,8227). Stadia II : Y = -1,7001x2 + 96,187x 1337,70 (R2 = 0,7963). Stadia III: Y = -1,7946x2 + 102,03x 1431,10 (R2 = 0,8283). Analisis hubungan antara laju metabolisme rutin larva dengan salinitas menunjukkan korelasi yang cukup kuat hanya pada stadia II (R2 = 0,5137). Seda ngkan pa da stadia I dan III korelasinya kurang kuat. Pada stadia I, pengaruh salinitas terhadap laju metabolisme sekitar 48,55 %, pada stadia II meningkat menjadi 51,37 % dan pada stadia III kembali menurun (49,42 %). Hubungan antara salinitas dengan laju metabolisme rutin (Gambar 3) disampaikan dalam persamaan berikut: stadia I : Y= -0,3706x2 + 25,483x 411,64 (R2 = 0,4855). Stadia II : Y = -0,5821x2 + 38,804x 625,18 (R2 = 0,5137). 55

Winanto, Soedharma, Affandi & Sanusi

35

Stadia I
Laju Metabolisme Rutin (J/g/jam)

30 25 20 15 10 5

Stadia II

Laju Metabolisme Rutin (J/g/jam)

30 25 20 15 10 25 26 27 28 29 30 31

y = -1.9387x 2 + 110.02x - 1532.8 R2 = 0.8227

y = -1.7001x 2 + 96.187x - 1337.7 R2 = 0.7963


25 26 27 28 29 30 31

Suhu (oC)
25

Suhu (oC)

Stadia III

Laju Metabolisme Rutin (J/g/jam)

20 15 10 5 0 25 26 27 28 29 30 31

y = -1.7946x 2 + 102.03x - 1431.1 R2 = 0.8283

Suhu (oC)

Gambar 2. Hubungan laju metabolisme rutin (J/g berat basah/jam) dengan suhu pada larva P. maxima stadia I, II, III Tabel 1. Konsumsi oksigen (mgO2/g berat basah/jam) larva P. maxima (rata-rata SD) pada berbagai suhu dan salinitas
Umur Stadia I Faktor II Faktor I Suhu (oC): (A) 26 (B) 28 (C) 30 (A) 26 (B) 28 (C) 30 (A) 26 (B) 28 (C) 30 (D) 30 1,09 0,03a 1,65 0,03c 1,34 0,05e 0,73 0,03a 1,29 0,03c 1,15 0,03e 0,34 0,04a 1,08 0,03c 0,79 0,04e Salinitas () (E) 32 1,29 0,03b 1,98 0,08d 1,75 0,03f 1,10 0,03b 1,72 0,03d 1,30 0,04f 0,74 0,03b 1,39 0,03d 1,14 0,02f (F) 34 1,31 0,03b 2,16 0,03d 1,77 0,04f 1,12 0,03b 1,75 0,03d 1,32 0,03f 0,76 0,03b 1,41 0,03d 1,16 0,03f

Stadia II

Stadia III

Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.

56

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi

35

Stadia I
Laju Metabolisme Rutin (J/g/jam)

30 25 20 15 10 5

Laju Metabolisme Rutin (J/g/jam)

Stadia II

30 25 20 15 10 29 30 31 32 33 34 35

y = -0.3706x 2 + 25.483x - 411.64 R2 = 0.4855

y = -0.5821x + 38.804x - 625.18 2 R = 0.5137


29 30 31 32 33 34 35

Salinitas ()

Salinitas ()

25 Laju Metabolisme Rutin (J/g/jam) 20 15 10 5 0 29 30

Stadia III

y = -0.7394x 2 + 49.023x - 795.17 R2 = 0.4942

31

32 Salinitas ()

33

34

35

Gambar 3. Hubungan laju metabolisme rutin (J/g berat basah/jam) dengan salinitas pada larva P. maxima stadia I, stadia II dan stadia III

Gambar 4. Hubungan laju metabolisme rutin (J/g berat basah/jam) dengan berat basah larva P. maxima.

Stadia III : Y = -0,7394x2 + 49,023x 795,17 (R2 = 0,4942). Hubungan laju metabolisme dengan berat larva Hasil analisis hubungan laju metabolisme rutin dengan berat larva menunjukkan adanya hubungan linear negatif dengan koefisien determinasi (R2) 0,856, jadi berat (85,60 %) berpengaruh terhadap laju metabolisme larva (Gambar 4). Persamaan yang diperoleh adalah Y = -295,25x + 29,243 (R2 = 0,856).

Pola laju metabolisme rutin yang diamati dapat menggambarkan besarnya belanja energi yang dikeluarkan, baik untuk aktivitas maupun perkembangan larva P. maxima. Secara umum belanja energi terbesar terjadi pada berat paling rendah atau larva stadia I dan kebutuhan energi menurun seiring dengan semakin bertambah beratnya larva (stadia II III). Sintasan dan Pertumbuhan Larva Hasil percobaan menunjukkan bahwa sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima dipengaruhi oleh suhu dan 57

Winanto, Soedharma, Affandi & Sanusi

Tabel 2. Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin (C-J/g berat basah/jam) larva P. maxima (rata-rata SD) pada berbagai suhu dan salinitas.
Umur Stadia I Faktor II Faktor I Suhu (oC): (A) 26; C (B) 28; C (C) 30; C (A) 26; J (B) 28; J (C) 30; J Stadia II (A) 26; C (B) 28; C (C) 30; C (A) 26; J (B) 28; J (C) 30; J Stadia III (A) 26; C (B) 28; C (C) 30; C (A) 26; J (B) 28; J (C) 30; J (D) 30 3,62 0,12 5,50 0,12 4,48 0,16 15,15 0,45a 23,03 0,50c 18,75 0,68e 2,41 0,69 4,31 0,09 3,84 0,11 10,09 2,90a 18,02 0,37c 16,07 0,46e 1,12 0,14 3,60 0,08 2,64 0,14 4,70 0,60a 15,07 0,37c 11,04 0,57e Salinitas () (E) 32 4,30 0,10 6,58 0,27 5,83 0,09 18,010,43b 27,531,12d 24,400,39f 3,68 0,11 5,74 0,10 4,32 0,12 15,38 0,45b 24,02 0,43d 18,07 0,51f 2,45 0,09 4,62 0,10 3,80 0,07 10,25 0,36b 19,32 0,40d 15,88 0,29f (F) 34 4,36 0,12 7,20 0,09 5,90 0,14 18,260,45b 30,130,37d 24,690,59f 3,73 0,09 5,83 0,10 4,41 0,09 15,60 0,37b 24,39 0,44d 18,45 0,39f 2,52 0,10 4,67 0,10 3,86 0,10 10,55 0,42b 19,58 0,43d 16,14 0,42f

Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %; C (Calorie); J (Joule).

salinitas. Pada stadia I; sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 o C, salinitas 34 (87,92 %) dan terendah pada suhu 26 oC, salinitas 30 (32,47 %). Pada stadia II dan III, sintasan tertinggi juga terjadi pada perlakuan yang sama (Tabel 3). Hasil analisis varian menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P 0,05) antar perlakuan suhu, salinitas dan tahap stadia, tetapi interaksi antara suhu dan salinitas tidak berbeda nyata (P e 0,05). Hasil uji nilai tengah Tukey menunjukkan perbedaan nyata (P 0,05) antar

perlakuan suhu, namun perla kuan salinitas 34 (F) tidak nyata berbeda (P e 0,05) dengan 32 (E), sedangkan salinitas 30 (D) berbeda nyata lebih kecil (P 0,05) dari E dan F. Pengamatan terhadap pertumbuhan larva menunjukkan pola dan hasil yang sama dengan sintasan, baik pada analisis varian maupun uji Tukey (Gambar 5). Waktu Pencapaian Stadia Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lama waktu pencapaian stadia plantigrade tercepat dicapai pada suhu

58

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi

Tabel 3. Sintasan (%) larva P. maxima (rata-rata SD) (n = 30) pada berbagai tingkat suhu dan salinitas.

Umur Stadia I

Faktor II Faktor I Suhu (oC): (A) 26 (B) 28 (C) 30 (A) 26 (B) 28 (C) 30 (A) 26 (B) 28 (C) 30

(D) 30 22,80 1,17a 61,17 1,04c 54,46 0,81e 21,17 0,82a 59,09 0,62c 48,67 0,76e 10,33 0,91a 64,79 1,19c 48,41 0,83e

Salinitas () (E) 32 43,02 1,29b 87,75 1,09d 71,95 0,91f 32,20 1,27b 81,91 0,64d 69,61 0,60f 22,39 0,88b 76,72 0,86d 60,98 0,77f

(F) 34 43,71 1,03b 87,92 1,28d 72,23 0,75f 32,67 1,73b 82,39 0,71d 70,17 1,04f 22,60 0,80b 77,26 0,75d 61,34 0,85f

Stadia II

Stadia III

Keterangan: Angka yang diikuti huruf berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya berbedaan nyata antar perlakuan pada taraf 5 %.
80 AD BD CD AE BE CE AF BF CF

Pertumbuhan Panjang Relatif (m)

70 60 50 40 30 20 10 0 1

S tadia II

S tadia III S tadia I

Suhu (oC) dan Salinitas ()

Gambar 5. Pertumbuhan panjang relatif larva stadia I (D1D6), stadia II (D7D14) dan stadia III (D15D20) pada berbagai kisaran suhu dan salinitas (A, B & C =suhu 26o ; 28o dan 30o C, D, E, & F= salinitas 30; 32 & 34%o)

28 oC dan salinitas 34 (18,93 hari) (Gambar 6). Analisis varian dan uji nilai tengah Tukey menunjukkan pola dan hasil yang sama dengan hasil analisis sintasan, pertumbuhan, laju konsumsi oksigen dan laju metabolisme.

PEMBAHASAN Konsumsi oksigen larva P. maxima dalam kajian ini berbeda dengan hasil penelitian Pechenik (1980) pada larva veliger (prosobranch) Nassarius obsoletus, nilai laju konsumsi oksigen veliger kecil sampai besar berkisar antara 59

Winanto, Soedharma, Affandi & Sanusi

2,5 sampai 10 mlO2/jam/g berat kering. Pada larva veliger Crepidula formicate laju konsumsi oksigen antara 2,5 5 mlO2/jam/g berat kering. Laju konsumsi oksigen pada larva Mytilus edulis antara 0,753 ml O2/jam/g berat kering (Zeuthen, 1949 dalam Bayne, 1983). Laju konsumsi oksigen larva Ostrea edulis berkisar antara 3 6 mlO2/jam/g berat kering (Gosling, 2004). Crisp (1974) menggunakan nilai rata-rata konsumsi oksigen 5 mlO2/jam/berat kering untuk menduga kelangsungan hidup larva berkaitan dengan waktu di puasakan, tujuannya untuk mengetahui kandungan protein dan lemak sebagai cadangan energi. Diduga, variabel penyebab perbedaan nilai konsumsi oksigen adalah penggunaan spesies dan metode pengukura n yang berbeda. Menurut Chacon et al (2003) perbedaan spesies dan metodologi mungkin dapat dijadikan alasan untuk menjelaskan terjadinya perbedaan hasil penelitian. Dari hasil analisis dapat diinterpretasikan, makin meningkat suhu dan salinitas maka laju konsumsi oksigen akan semakin meningkat, hingga mencapai batas optimum (28 oC; 32 ; 34 ), kemudian konsumsi oksigen akan menurun pada kondisi suhu dan salinitas yang meningkat. Menurut Bayne (1983) pengaruh suhu dan salinitas pada laju konsumsi oksigen bervariasi antar spesies dan dipengaruhi oleh kondisi sebelum perlakuan pada induk, gamet dan larva yang berada pada satu seri penelitian. Perkembangan larva menunjukkan korelasi linear negatif dengan laju konsumsi oksigen (R2 = 0,856). Pola laju konsumsi oksigen selama masa 60

perkembangan larva menunjukkan, semakin berkembang tahapan stadia larva baik panjang maupun berat, maka laju konsumsi oksigen semakin menurun. Nila i koefisien determinasi yang diperoleh sama dengan hasil penelitian Bayne (1983) pada larva prosobranch Nassarius obsoletus, disampaikan nilai eksponen yang berkaitan dengan laju konsumsi oksigen dan berat tubuh hasilnya bervariasi antara 0,70 sampai > 1,00. Studi yang sangat hati-hati telah dilakukan Zeuthen (1947; 1953) dalam Bayne (1983) pada satu individu larva Mytilus edulis, hasil pengukuran hubungan antara konsumsi oksigen dan bera t daging kering menunjukkan koefisien korelasi (R2 ) sebesar 0,80. Eksponen yang berka itan dengan hubungan laju konsumsi oksigen dengan berat daging bervariasi antara 0,7 dan > 1,0. Hasil korelasi menunjukkan kecenderungan linear positif, yaitu semakin bertambah berat maka akan diikuti dengan meningkatnya konsumsi oksigen (Bayne 1983). Lebih lanjut Bayne (1983) menyampaikan, bahwa tidak ada cara sederhana yang dapat digunakan untuk menghitung laju konsumsi oksigen pada kondisi yang berbeda, oleh sebab itu hubungan laju konsumsi oksigen dengan berat kerang pada beberapa spesies bivalvia dan gastropoda diduga tidak ada perbedaan kuantitatif. Laju konsumsi oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk suhu air, berat badan dan tingkat aktivitas. Jika dihitung per unit berat badan, maka

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi

individu kecil lebih banyak menggunakan oksigen dibanding besar (Goddard 1996). Data laju konsumsi oksigen dapat merefleksikan karakteristik kondisi larva tiram mutiara pada berbagai suhu dan salinitas media. Pada P. fucata laju konsumsi oksigen meningkat tinggi selama jam pertama tiram dimasukkan kembali ke dalam air dan laju konsumsi normal dicatat setelah waktu tersebut (Darmaraj 1983). Peningkatan pada cardiac dan aktivitas respirasi bivalvia Arctica islandica mengikuti periode penutupan cangkang yang digunakan sebagai interpretasi representasi pembayaran kembali utang oksigen sela ma masa anaerob (Taylor et al.1997). Opini yang disampaikan Boyden (1972) tentang meningkatnya konsumsi oksigen setelah diekspose, merefleksikan aktivitas hasil ekskretori nitrogen dari jaringan yang meningkat
35

tinggi. Tanda-tanda waktu penyesuaian tiram dari kondisi ekspose yang terpenting adalah waktu membuka cangkang untuk tujuan bernafas. Seba gai salah satu indika tor, peningkatan konsentrasi oksigen dapat dijadikan sebagai indikasi meningkatnya jumlah penempelan larva dan mengurangi mortalitasnya (Alfaro, 2005). Kajian ini juga mencatat hal yang sama yaitu pada laju konsumsi oksigen tertinggi (BF) diikuti oleh sintasan (BF) dan laju perumbuhan (BF) yang tinggi pula (Gambar 2). Diduga pada kondisi laju konsumsi oksigen tinggi, maka laju metabolisme akan meningkat sehingga larva dapat dengan maksimal memanfaatkan pakan yang diberikan, dan ini terefleksi dari laju pertumbuhan serta sintasan yang tinggi. Sebaliknya pada perlakuan AD laju konsumsi oksigen

Waktu Pencapaian Stadia (hari)

30 25 20 15 10 5 0
AD BD
1

CD

AE

BE
2

CE

AF

BF
3

CF

Suhu (oC) dan Salinitas ()

Gambar 7. Lama waktu (hari) pencapaian stadia plantigrade larva P. maxima pada berbagai tingkat suhu dan salinitas.

61

Winanto, Soedharma, Affandi & Sanusi

paling rendah, maka sintasan dan laju pertumbuhan juga rendah. Menurut Goddard (1996) pada kondisi oksigen terlarut rendah organisme menunjukkan tanda-tanda stress. Ini merupakan tanda umum pertama yang direfleksikan dengan menunjukkan berkurangnya nafsu makan, akibatnya pola renang dan distribusinya menjadi tidak normal. Pada hewan air, besarnya energi yang dibutuhkan untuk metabolisme dapat diestimasi melalui pengukuran tingkat konsumsi oksigen. Metabolisme rutin didefinisikan sebagai tingkat pembelanjaan energi pada kondisi normal, untuk mempertahankan struktur dan fungsi jaringan agar organisme tersebut tetap hidup. Pengukuran metabolisme rutin ini dilakukan pada kondisi organisme tetap diberi pakan selama percobaan, atau masih diberi pakan sesuai jadwal sampai sebelum dilakukan pengukuran laju konsumsi oksigen (Affandi dkk. 2005; Gosling 2004; Soria et al. 2007). Hasil analisis laju metabolisme rutin yang diperoleh dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa sintasan dan pertumbuhan tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 oC dan salinitas 34 (BF) dan terendah pada perlakuan suhu 26 oC dan salinitas 30 (AD). Pada suhu 28 oC, salinitas 34 energi yang dibelanjakan larva mencapai 19,58 30,13 J/g/jam (4,67 7,20 C/g/jam), sedangkan pada suhu 26 oC, salinitas 30 pembelanjaan energi lebih rendah yaitu 4,7015,15 J/g/jam (1,123,62 C/g/ jam). Lebih jelas diperoleh gambaran bahwa untuk aktivitas setiap tahap perkembangan stadia larva dialokasikan energi yang berbeda sehingga larva 62

mampu menyesuaikan diri dengan suhu dan salinitas perlakuan. Berdasar hasil percobaan diketahui, bahwa laju metabolisme rutin menurun dengan meningkatnya stadia perkembangan larva. Diduga laju metabolisme tertinggi terjadi pada saat aktivitas larva meningkat paling tinggi. Pada stadia I, larva mempunyai kebiasaan a ktif berenang-renang, jika diamati dengan seksama mulai D3 sampai D6 aktivitasnya sangat tinggi hingga membentuk gerakan massa larva yang berputar-putar dan kebiasaan itu terus berlangsung selama stadia tersebut. Pada stadia II, aktifitas renang larva mulai menurun, diduga pada stadia umbo akhir cangkangnya semakin berkem-bang, bertambah tebal dan berat sehingga menghambat gera kan larva. Disamping ter jadi meta morfose dari sta dia eye-spot menjadi pediveliger. Pada stadia III, laju metabolisme paling rendah selama stadia larva, diduga selain cangkang bertambah berat, pada stadia ini terjadi metamorfose dan mengalami perubahan tingkah laku (masa transisi) dari kehidupan planktonis menjadi bentik, sehingga larva mulai banyak berada di bagian tengah badan air dengan gerakan lambat. Sampai saat ini belum banyak publikasi yang berkaitan dengan laju metabolisme larva, khususnya pada larva tiram mutiara P. maxima. Beberapa hasil penelitian yang dirangkum Bayne (1983) salah satunya tentang konsumsi oksigen pada veliger moluska (prosobranch), hasil pengukuran menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen larva veliger ukuran kecil sampai besar antara 2,5 10,0 ml O2/gram berat kering/jam. Jika dikonversi

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi

menurut Sor ia et al (2007) ya itu diasumsikan 1 ml O2 sama dengan 19,90 Joule, maka dalam bentuk kalori untuk metabolisme rutin setara dengan 49,75 199 J/g berat kering/jam. Konsumsi oksigen larva Metilus edulis berkisar antara 3 6 ml O2/g berat kering/jam (Gosling, 2004) atau setara dengan 59,70 119,40 J/g/jam untuk laju metabolisme rutin. Analisis ya ng lebih mendasar dilakukan untuk melihat pengaruh suhu dan salinitas terhadap laju metabolisme rutin larva P. maxima. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pengaruh suhu (rata-rata 81,58 %) terhadap laju meta bolisme lebih kuat dibanding salinitas (49,78 %). Menurut Gosling (2004) suhu berpengaruh kuat terhadap laju metabolisme dan belanja metabolisme akan mengikat jika suhu meningkat. Dalam percobaan ini, laju metabolisme mulai meningkat dari dari stadia I ke stadia II kemudian menurun kembali pada stadia III. Berdasarkan hasil korelasi tersebut dapat dijelaskan bahwa laju metabolisme meningkat dengan meningkatnya suhu sehingga mencapai batas optimum (28 oC), selanjutnya akan menurun seiring dengan meningkatnya suhu. Diduga, suhu 30 oC terlalu tinggi untuk aktivitas metabolisme larva sehingga metabolisme tidak berlangsung efektif akibatnya laju pertumbuhan lebih rendah dibanding pada suhu 28 o C. Demikian juga pada suhu 26 o C laju pertumbuhan larva lebih rendah dibanding pada suhu 28 oC dan 30 oC, diduga suhu 26oC relatif rendah dan kurang efektif untuk proses metabolisme, sehingga

berimplikasi pada perkembangan dan pertumbuhan larva. Menurut Goddard (1996), salah satu faktor yang mempengaruhi laju konsumsi oksigen adalah suhu air. Suhu akan mempengaruhi mekanisme transport ion yang berimplikasi pada osmoregulasi dengan melibatkan berbagai reaksi kimia. Mediasi transport ion ditimbulkan oleh meningkat dan menurunnya suhu. Oleh sebab itu osmoregulasi fluida ekstraseluler lebih efektif pada suhu tinggi dibanding suhu rendah. Sebagai gambaran, terdapat beberapa spesies yang dapat bertahan lebih baik pada kondisi fluktuasi salinitas dari pada suhu tinggi (Gilles & Jeuniaux 1979). Gastropoda Nassarius reticulates tetap hidup pada salinitas 2030 , suhu 25 o C tetapi itu hanya terjadi pada kisaran salinitas yang luas antara 10 40 dan pada suhu lingkungan hidupnya sekitar 5 o C (Erikson & Tallmark 1974, dalam Gilles & Jeuniaux 1979). Terlepas dari pengaruh salinitas, suhu memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan larva, selisih perlakuan suhu (2 oC) yang digunakan dalam penelitian ini ternyata memberikan efek yang signifikan pada sintasan dan pertumbuhan larva. Menurut Yukihira et al (2000; 2006) perbedaan suhu selama pemeliharaan walaupun kecil atau sekitar 12 o C berpengaruh kuat terhadap laju pertumbuhan. Suhu berpengaruh terhadap proses metabolisme larva, makin rendah suhu maka laju metabolisme semakin menurun, sehingga laju pertumbuhan larva jadi lambat. Sebaliknya semakin tinggi suhu maka laju metabolisme makin meningkat dan akan 63

Winanto, Soedharma, Affandi & Sanusi

diikuti dengan meningkatnya laju pertumbuhan larva. Dikemukakan juga oleh Bayne (1983); Gosling (20004) laju pertumbuhan larva menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya suhu hingga mencapai batas optimum dan kemudian pertumbuhan akan menurun bersamaan dengan meningkatnya suhu. Percobaan ini membatasi perlakuan sampai salinitas 34 , karena selain berdasarkan studi pendahuluan dan rujukan literatur juga mempertimbangkan habitat alami tiram mutiara yang umumnya hidup di perairan yang dipengaruhi oseanik, sehingga diduga perlakuan pada salinitas lebih dari 34 tidak signifikan. Ternyata hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sintasan, laju pertumbuhan, konsumsi oksigen dan pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin pada salinitas 32 secara nyata tidak berbeda (P e 0,05) dengan salinitas 34 . Hasil penelitian yang mendukung dikemukakan Soria et al (2007), konsumsi oksigen juvenil sca llop (Agropecten purpuratus) pada salinitas 34 lebih besar dibandingkan pada salinitas 38 , tetapi konsumsi oksigen pada perlakuan salinitas 38 dan 42 tida k berbeda nyata. Selanjutnya disampaikan, tidak ada perbedaan siknifikan (P > 0,05) laju konsumsi oksigen pada salinitas 34, 38 atau 42 dengan suhu 10 oC dan 22 oC. Sebaliknya perubahan salintas dapat berpengaruh terhadap toleransi suhu organisme akuatik poikiloterm. Misalnya pada ikan Fundulus heterochitus, suhu kematian lebih tinggi pada salinitas 32 dari pada di air tawar. Terjadinya resistensi tinggi karena stres suhu perlu 64

dicermati, oleh sebab itu salinitas dapat menyelaraskan isoosmotisitas antara darah dan media di luar (Vernberg & Silverthorn 1979). Toleransi terhadap suhu maksimum yang ditunjukkan oleh hewan isoosmotik yang berada pada lingkungannya merupakan ciri umum hewan invertebrata. Perlu dicatat, pada sejumlah spesies tidak menunjukkan atau hanya mempunyai kekuatan osmoregulasi ekstraseluler kecil, mekanisme regulasi isoosmotik intraseluler akan membawa sejumlah volume sel regulasi dan itu merupakan strategi adaptasi terbaik dalam medium. Sebagai contoh, kerang spesies M. granosissimus yang berasal dari laut dengan salinitas > 32 , kemudian diadaptasikan ke salinitas 3 , maka akan mengalami stress dan mungkin akan mati jika tidak dikembalikan ke laut. Pada spesies tertentu, media air tidak lebih hanya sebagai penyebab stres salinitas, sehingga variabelnya tergantung pada kemampuan adaptasi masing-masing spesies (Gilles & Jeuniaux 1979). Hasil analisis menunjukkan, bahwa belanja energi untuk metabolisme rutin menurun seiring dengan meningkatnya berat badan larva. Hasil percobaan ini berbeda dengan hasil penelitian Bayne (1983) tentang adanya korelasi linear positif antara laju konsumsi oksigen larva veliger Prosobranch dengan berat, dijelaskan laju konsumsi oksigen meningkat dengan bertambahnya berat. Diduga selain spesies yang diamati berbeda, juga lama wartu pengamatan yang berbeda. Peneliti tersebut dilakukan secara partial, yaitu hanya mengamati stadia veliger (prosobranch) kecil (D1)

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi

sampai veliger besar (D5). Sedangkan dalam percobaan ini dimulai dari larva stadia veliger bentuk-D (D1) sampai stadia plantigrade umur 20 hari (D20). Sumber perbedaan lainya diduga berasal dari pengukuran berat, dalam penelitian ini digunakan sampel berat basah larva, sedangkan mereka menggunakan berat kering. Menurut Chacon et al. (2003) perbedaan spesies-spesifik dan metodologi yang berbeda dapat digunakan untuk menjelaskan hasil penelitian yang bertentangan atau terdapat kontradiksi. Hasil penelitian yang mendukung disampaikan Vernberg (1972) dan Pechenik (1980), keduanya mengamati larva Nassarius obsoletus mengalami penurunan konsumsi oksigen, manakala berkembang atau mengalami metamorfose dari stadia berenang aktif berubah menjadi pediveliger yang mempunyai beha vior ber enang berputar-putar (crawling). Kajian toleransi larva terhadap suhu dan salinitas memberikan hasil yang komparable utamanya pada toleransi larva tiram mutiara P. maxima yang dipelihara di dalam wadah terbatas dan diberi perlakuan berbagai suhu dan salinitas. Menurut Gosling (2004) pada saat ini akan lebih bermanfaat apabila dilakukan pengkajian dengan melihat pengaruh kombinasi suhu dan salinitas terhadap pertumbuhan. Suhu dan salinitas berpengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan pertumbuhan awal larva P. imbricata (OConnor &Lawler 2004). Berdasarkan hasil percobaan ini, sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima dari stadia veliger sampai plantigrade nyata dipengaruhi oleh suhu

dan salinitas. Hal ini terlihat dari hasil analisis varian dan uji lanjut Tukey yang nyata pengaruhnya (P d 0,05) pada setiap perlakuan suhu dan salinitas, tetapi tidak ditemukan pengaruh nyata (P e 0,05) pada interaksi suhu dan salinitas. Sehingga diinterpretasikan tidak ada sinergi antara suhu dan salinitas dalam mempengaruhi sintasan dan pertumbuhan larva P. maxima. Penelitian OConnor & Lawler (2004) juga menemukan tidak ada pengaruh sinergi suhu dan salinitas, walaupun ada pengaruh signifikan suhu dan salinitas terhadap perkembangan lar va P. imbricata. Dalam penelitian ini sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28 o C, salinitas 32 dan 34 . Sintasan terendah terjadi pada perlakuan suhu 26 o C, salinitas 30 . Rendahnya sintasan diduga karena suhu dan salinitas media relatif rendah untuk perkembangan larva P. maxima sehingga proses metabolisme dan osmoregulasi fluida ekstraseluler tidak dapat berlangsung efektif. Pendapat yang dikemukakan didukung oleh data yang menunjukkan adanya pengaruh suhu dan salinitas yang signifikan (P d 0,05) terhadap laju metabolisme rutin. Hasil penelitian yang tidak jauh berbeda disampaikan OConnor & Lawler (2004) yaitu adanya pengaruh suhu serta salinitas pada sintasan larva P. imbricata dan terlepas dari adanya pengaruh suhu, sintasan tertinggi ditemukan pada salinitas 32 dan 35 . Sebaliknya tingkat mortalitas tertinggi terjadi pada salinitas d 23 , umumnya mortalitas terjadi dengan cepat dan sangat tinggi pada percobaan suhu ekstrim 14 dan 26 oC. Larva P. 65

Winanto, Soedharma, Affandi & Sanusi

imbricata mempunyai toleransi yang rendah terhadap salinitas, apalagi jika salinitas turun sampai kurang dari 29 , larva tidak dapat berkembang pada suhu rendah dan ekstrim sekitar 14 oC. Pada kisaran salinitas 2935 , persentase perkembangan embrio sampai stadia Dveliger meningkat signifikan seiring dengan meningkatnya salinitas. Hasil pengamatan terhadap lama waktu pencapaian stadia plantigrade semakin mempertegas bahwa kondisi lingkungan optimum untuk larva P. maxima adalah suhu 28 oC dan salinitas 32 34 (BE; BF). Pada kajian ini ditemukan tidak ada pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas, tetapi keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap lama waktu pencapaian stadia. Pada suhu optimum aktivitas metabolisme berjalan maksimum, sehingga larva berkembang dengan baik. Sedangkan suhu 26 oC diduga relatif rendah untuk perkembangan larva dan sebaliknya suhu 30 oC relatif tinggi untuk perkembangan lava. Hasil penelitian yang hampir sama dikemukakan oleh OConnor and Lawler (2004) bahwa pencapaian stadia Dveliger larva P. imbricata (Roding) dipengaruhi oleh suhu dan salinitas, tetapi tidak ditemukan adanya pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas. Penundaan waktu metamorfosa larva bivalvia biasanya ber asosiasi dengan suhu (Loosanof & Davis 1963; Bayne 1965. dalam Ala garswa mi et al. 1983). Disamping adanya variable lain, diduga suhu dan salinitas rendah merupakan penyebab utama mengapa larva memperpanjang waktu stadia planktonisnya (Alagarswami et al. 1983). Berkaitan 66

dengan kompetensi larva untuk menempel, beberapa peneliti mengamati bahwa planktonis larva bisa dijumpai sampai hari ke tiga jika kondisi lingkungan tidak sesuai dan tidak menemukan substrat yang cocok untuk menempel (Baker 1994). Menurut OConnor, per sonal observasi, dalam OConnor and Lawler (2004) jumlah larva P. imbricata stadia D-veliger menurun seiring dengan meningkatnya salinitas, tetapi pada suhu kurang pengaruhnya. Berkaitan dengan ontogeni atau perkembangan organisme dari sigot sampai dewasa, ternyata pada suhu dan salinitas optimum tidak tampak adanya pengaruh perbedaan yang besar. Oleh sebab itu ukuran larva pada suhu 22 dan 26 oC variasinya kecil. Penelitian Yukihira et al. (2000) di dalam laguna Great Barrier Reef, Quensland Utara, Australia mencatat bahwa kisaran suhu optimum pa da P. maxima dan P. margaritifera antara 2328 oC. KESIMPULAN Suhu dan salinitas optimum untuk larva P. maxima adalah 28 oC dan 32 34 (BE dan BF). Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin tertinggi terdapat pada perlakuan suhu 28 oC, salinitas 34 (BF) dan tidak berbeda nyata dengan suhu 28 oC, salinitas 32 (BE). Pada stadia I pembelanjaan energi mencapai 6,58 7,20 C/g berat basah/jam (27,53 30,13 J/g berat basah/jam); Stadia II antara 5,74 5,83 C/g berat basah/jam (24,02 24,39 J/g berat basah/jam) dan pada stadia III antara 4,62 4,67 C/g

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi

berat basah/jam (19,32 19,58 J/g berat basah/jam). Pengaruh suhu (81,58 %) terhadap pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin lebih besar jika dibanding salinitas (49,78 %). Pembelanjaan energi untuk metabolisme rutin menurun seiring dengan meningkatnya berat badan larva. Sintasan tertinggi terjadi pada perlakuan BF dan tidak berbeda nyata. Pada stadia I sintasan antara 87,75 87,92 %; Stadia II antara 81,91 82,39 % dan stadia III antara 76,72 77,26 %. Pertumbuhan panjang relatif (AP x DV) tertinggi pada perlakuan BF dan tidak berbeda nyata namun lebih besar dengan BE. Pada stadia I pertumbuhan relatif mencapai 33,90 x 20,80 m34,28 x 21,43 m; Stadia II antara 57,62 x 46,73 m 58,13x7,33 m dan stadia III antara 80,32x 69,29 m 80,88 x 69,62 m. Waktu pencapaian stadia akhir larva (plantigrade) tercepat terjadi pada perlakuan suhu 28 oC, salinitas 34 (BF, 18,93 hari) dan tidak berbeda nyata lebih kecil dari suhu 28 oC dan salinitas 32 . (BE, 19,55 hari). UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Pimpinan dan temanteman di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut, serta C.V. Mina Mitra Usaha, atas bantuan yang diberikan selama penelitian. DAFTAR PUSTAKA Affandi R., DS. Sjafei, MF. Rahardjo &, Sulistiono 2005. Fisiologi Ikan.

Pencernaan dan Penyerapan Makanan. Dep. Managemen Sumberdaya Perairan. FPIK, IPB. Bogor Alagarswami K, S. Dharmaraj, TS. Velayudhan, A. Chellam, ACC Victor & AD. Gandhi. 1983. Larva Rearing and Production of Spat of Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould). Aquaculture 3. Elsivier Science Publisher. B. V. Amsterdam. 287-301. Alfaro, AC. 2005. Effect of Water Flow and Oxygen Concentration on Early Settlement of The Zealand Greenlipped Mussel, Perna canaliculus. J. Aquaculture 246: 285-294. Anna , 2006. Mengenal Mutiara, Perhiasan Para Bangsawan. Warta Pasar Ikan. Ditjen. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan.DKP. Ed. Pebruari, No. 29: 4-6. Asha, PS & P. Muthiah. 2005. Effects of Temperature, Salinity and pH on Larval Growth, Survival and Development of Sea cucumber Holothuria spinifera Theel. J. Aquaculture 250: 823-829. Baker, P. 1994. Competency to Settle in Oyster Larva e, Crassostrea virginica. Wild versus hatcheryreared larvae. J. Aquaculture 122: 161-169. Balai Budidaya Laut., 2001. Pembenihan Tiram Mutiara (Pinctada maxima). Balai Budidaya Laut Lampung. Petunjuk Teknis (6): 61 hal. _____ 2002. Kultur Pakan Hidup. Balai Budidaya Laut Lampung. Petunjuk Teknis (VII): 106 hal.

67

Winanto, Soedharma, Affandi & Sanusi

Bayne, BL. 1983. Physiological ecology of marine molluscan larvae. In: Tompa, AS., NH. Verdonk, JAMV. Biggeleer. The Mollusca. Development 3(8): 299-336. Bayne, BL & RC. Newell. 1983. Physiological Energetics of Marine Molluscs. In: A.S.M. Saleuddin and K.M. Wilbur (Editors). The Mollusca IV. Physiology. Part I. Academic Press. New York. Chacon, O., MT. Viana, A. Farias, C. Vazques & Z. Garcia-Esquivel. 2003. Circadian metabolic rate and short-term response of juvenile green abalone (Haliotis fulgens Philippi) ti three anesthetics. J. Shellfish Rese. 22(1): 415-421. Crisp, DJ. 1974. Energy Relation of Marine Invertebra te Larvae. Thallasia Jugosl. 10: 103-120. Crisp, DJ. 1984. Energy flow measurements. In: Holme, N.A., Mcintyre, A.D. (Eds). Methods for the Study of Marine Benthos. Blackwell Sc. Publ, Oxford, 284372. Dame, RF. 1996. Ecology of Marine Bivalves. An Ecosystem Approch. CRC Press. Boca Raton. 254 pp. Dharmaraj. S. 1983. Oxygen Consumtion in Pearl Oyster Pinctada fucata (Gould) and Pinctada sugilata (Reeve). Proc. Symp. Coastal Aquaculture 2: 627-632. Elliot, JM. & W. Davidson. 1975. Energy Equivalent of Oxygen Consumption in Animal Energetics. Oecologia 19: 195-201.

Fassler, CR. 1995. Farming Jewels. New Developments in Pearl Farming. J. World Aquaculture 29 (3): 5-10. Gilles, R. & CH. Jeuniaux. 1979. Osmoregulation and Ecology in Media of Fluctuating Salinity. In: Gilles, R. Mechanism of Osmoregulation in Animals. Maintenance of Cell Volume. John Wiley & Sons. New York. 13: 581-604. Goddard, S. 1996. Feeding, Temperature and Water Quality. In: Feed Mana gement in Intensive Aquaculture. 4: 51-73. Gosling, E., 2004. Bivalve Molluscs. Biology, Ecology and Culture. Fishing News Book. Great Britain. Gricourt, L., M. Mathieu & K. Kellner. 2006. An Insulin-Like System Involved in The Control of Pacific Oyster Crassostrea gigas Reproduction: hrlGF-1 Effect on Germinal Cell Proliferation and Maturation Assosiated with Expression Of an Homologous Insulin Receptorrelated Receptor. Aquaculture 251: 85-98. Loosanof, V & H. Davis. 1963. Rearing of Bivalve Mollusks. US. Beureu of Commercial Fisheries Biological Laboratory. Mildford, Connecticut. 130p. Martinez-Fernandez, E., H. AcostaSalmon, C. Rangel-Davalos, 2004. Ingestion and Digestion of 10 Species of Microalgae by Wing Pearl Oyster Pteria sterna (Gould, 1851) Larvae. Aquaculture 230: 417-423. Neter, J., W. Wesseran, & MH. Kutsner 1990. Applied Linear Statistikcal

68

Pengaruh Suhu dan Salinitas Terhadap Respon Fisiologi

Models. Regression, Analysis of Variance and Experiental Designs. 3 rd Edition. Toppan Copany, LTD. Tokyo, Japan. 1173 p. OConnor, WA & NF. Lawler. 2004. Salinity and Temperature Tolerance of Embryos and Juveniles of The Pearl Oyster, Pinctada imbricata Roding. J. Aquaculture 229: 493506. Pechenik, JA. 1980. Growth and energy balance during the larva lives of three prosobranch gastropods. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 44: 1-28. Resgalla, C.Jr., ES. Brasil, KS. Laitano & RW. Reis F ilho. 2007. Physioecology of the mussel Perna perna (Mytilidae) in Southern Brazil. J. Aquaculture 270: 464474. Smaal, AC & J. Widdows. 1994. The scope for growth of bivalves as an integrated response parameter in biological monitoring. In: Kramer, K.J.M. (Ed)., Biomonitoring of coastal waters and estuaries. CRC Press, Boca Raton, pp. 247-267. Soria, G., G. Merino & E. Von Brand. 2007. Effect of increasing salinity on physiological response in juvenile scallop Agropecten purpuratus at two rearing temperatures. J. Aquaculture 270: 451-463. Steel, RGD & JH. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 748 hal. Sulaiman, W., 2004. Analisis REGRESI Menggunakan SPSS. Contoh

Kasus dan Pemecahannya. Andi Offset, Yogyakarta. 138 hal. Taylor, JJ., RA. Rose, PC. Southgate & CE. Taylor. 1997. Effects of Stocking Density on Growth and Survival of Early Juvenile Silverlip Pearl Oyster Pinctada maxima (Jameson) Held in Suspended Nursery Culture. J. Aquaculture 153: 31-40. Vernberg, WB. 1972. Metabolicenvironmental interaction in the marine plankton. Proceeding European Marine Biology Symposium. 5th, 1970. pp: 189196. Vernberg, WB & SU. Silverthorn. 1979. Temperature and Osmoregulation in Aquatic Species. In. Gilles, R (ed). Mechanism of Osmoregulation in Animals. Maintenance of Cell Volume. John Wiley & Sons. New York. 11:537-554. Wirahadikusumah, M., 1985. Biokimia: Metabolisme Energi, Karbohidrat dan Lipid. ITB, Bandung. Yukihira, H., JS. Lucas & DW. Klumpp. 2000. Comparative effects of temperature on suspension feeding andenergy budgets of the pearl oyster Pinctada maxima and P. Margaritifera. Marine Ecology., Prog. Ser. 195: 179-17 ____ 2006. The pearl oyster, Pinctada maxima and P. Margaritifera, respon in different ways to culture in similar environments. J. Aquaculture. 252: 208-224. Memasukkan: Maret 2009 Diterima: Juli 2009 69

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1): 71-78 (2009)

Pengaruh Kedalaman Terhadap Proses Pelapisan Inti Bulat Pada Kerang Air Tawar (Anodonta woodiana)
Boedi Rachman1, Tjahjo Winanto2, Maskur1, &Yade Sukmajaya1
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Jur. Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fak. Sain dan Teknik, Unsoed, Purwokerto E-Email: bufish68@yahoo.co.id ABSTRACT The Effect of Depth to Deposition Process on Round Nucleus of Fresh Water Mussel (Anodonta woodiana). One of the affecting factors to the quality of pearl culture is the thickness of pearl depositions (nacre). The objective of this study was to obtain information on best level of depth to culture of pearl, to get fast nacre deposition and high quality of pearl. The research was conducted for 9 months, in the freshwater pond, was 300 m2 wide and 1 m deep. Freshwater pearl Anodonta woodiana, sized ranging from 12 15 cm were studied. Completely randomized design was used with levels of deep treatment (A) 30 cm; (B) 60 cm and (C) 90 cm. The result showed that best thickness of pearl deposition by 90 cm deep (1.30 mm) but hasnt biggest significant (P>0.05) to the deep of 60 cm (1.10 mm) and biggest significant (P< 0.05) to the deep of 30 cm (0.70 mm). The result of implantation was followed that 30, 60 and 90 cm deep were 11.9 %; 12.2 %; 12.0 %, whereas survival rate was followed 79.2 %; 79 % and 78.7 %. Keywords: Freshwater mussel; Anodonta woodiana; effect; level of deep Kata kunci: Kerang air tawar, Anodonta, woodiana, kedalaman laut
1.

2.

PENDAHULUAN Mutiara air tawar sudah cukup lama dikenal dan dibudidayakan. Di Jepang, khususnya di Danau Biwa, budidaya mutiara air tawar sudah dilakukan sejak periode Taisho (19111925). Produksi mutiara air tawar berasal dari jenis bivalvia seperti kerang air tawar Oriental Cristaria alicata (Clessin) dan kerang air tawar Schlegels, Hyriopsis schlegeli (Simpson). Produksi mutiara bulat air tawar di Danau Biwa mulai dilakukan secara komersial pada tahun 1930.

Berdasarkan kualitasnya yang tinggi, maka mutiara dari Danau Biwa dipergunakan sebagai standar kualitas mutiara air tawar dunia hingga tahun 1985 (Anonymous 2005). Saat ini mutiara air tawar telah dibudidayakan secara besarbesaran di China. Sedangkan di Thailand mengembangkan jenis endemik kerang mutiara air tawar Hyriopsis (Limnoscapha) myersiana (Lea 1856) (Arrekijseree et al. 2006; Kovitvadhi et al. 2008). Secara umum kualitas mutiara sangat dipengaruhi oleh: bentuk, berat, warna dan kilau (shine) Sonkar (2007).

71

Rachman, dkk

Mutiara berbentuk bulat paling digemari dan banyak dicari, karena luwes untuk perhiasan, sedangkan berat sangat berkaitan dengan nilai karat dari mutiara. Semakin tinggi karatnya maka harganyapun makin mahal. Warna sebenarnya sangat tergantung pada selera konsumen, namun secara umum warna mutiara air tawar yang paling banyak diminati adalah merah, hijau dan biru muda, sehingga membuat harganya paling mahal (Anonymous 2005). Karakteristik mutiara yang berkualitas tinggi salah satunya adalah mampu memantulkan cahaya, sehingga mempunyai nilai tambah sebagai perhiasan. Berdasarkan kualitasnya, produksi mutiara dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor eksternal, internal dan teknis. Faktor eksternal antara lain kualtas air, seperti suhu, alkalinitas, oksigen terlarut, pH, nitrat, kalsium, konduktivitas, kecerahan dan kesuburan perairan (Dan & Ruobo 2000; Oliver 2000; Skinner et al. 2003). Faktor internal meliputi jenis kerang yang digunakan, kualitas lapisan mutiara (nacre), daya tahan kerang setelah operasi dan umur kerang (Dan & Ruobo 2000; Anonymous 2007; Sonkar 2007). Faktor teknis, misalnya keterampilan teknisi dalam proses implantasi, penanganan dan pemeliharaan pasca implantasi. Menurut Pagcatipunan (1986), masa produksi yang diperlukan untuk mutiara air tawar sekitar 2 sampai 3 tahun. Mengingat prosesnya cukup lama maka diperlukan suatu rekayasa pada saat pemeliharaannya, sehingga dapat diperoleh mutiara berkualitas tinggi.

Hingga saat ini belum banyak dilakukan penelitian mengenai pengaruh kedalaman air terhadap ketebalan pelapisan mutiara (nacre), khususnya pada produksi mutiara bulat air tawar. Diduga kedalaman air pemeliharaan pasca implantasi berpengaruh terhadap kecepatan proses pelapisan mutiara dan kualitas mutiara, sehingga kajian mengenai hal tersebut perlu dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang kedalaman pemeliharaan terbaik, sehingga dapat diperoleh pelapisan mutiara yang cepat dan mendapatkan mutiara berkualitas tinggi. BAHAN DAN CARA KERJA Penyediaan Hewan Uji Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerang air tawar jenis Anodonta woodiana (Gambar 1). Kerang diperoleh dari dasar kolam pemeliharaan ikan di daerah Sukabumi. Jumlah sampel 250 ekor, kerang berukuran panjang antero-posterior (AP) 10-15 cm. Selanjutnya kerang dibersihkan dari kotoran dan organisme penempel, kemudian dimasukkan ke dalam keranjang pemeliharaan (koja) dan di gantungkan pada kedalaman 30 cm dari permukaan air. Disain penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan kedalaman pemeliharaan 30, 60 dan 90 cm dan masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Sebelum implantasi kerang-kerang diseleksi dan dikondisikan agar

72

Pengaruh Kedalaman Terhadap Proses Pelapisan Inti Bulat

cangkangnya terbuka secara alami, yaitu dengan menggunakan metode ekspose (Winanto et al.1992). Seleksi berdasarkan pada morfologi cangkang dan tingkat kematangan gonad. Cangkang kerang sebaiknya tidak cacat/rusak dan warnanya cerah. Kondisi gonad pada stadia awal atau kosong sangat baik untuk mengurangi tingkat dimutahkannya inti setelah implantasi (Winanto et. al.1992). Ekspose dilakukan dengan mengeluarkan kerang dari dalam air dan diletakkan di dalam talam plastik (40x30x5 cm) dengan posisi umbo di bawah, posisi demikian dilakukan selama 2 jam. Beberapa saat kemudian cangkang akan terbuka secara alami dan segera masukkan baji (pada bagian ventral) agar cangkang tidak tertutup kembali. Sebelum operasi, terlebih dahulu dipersiapkan potongan mantel dengan ukuran 23 mm 2. Operasi dilakukan dengan menempatkan kerang pada penjepit, bagian ventral kerang menghadap operator. Dengan menggunakan spatula insang disibakkan, sehingga organ dalam terlihat jelas. Selanjutnya dengan menggunakan pisau dibuat sayatan dan saluran dari bagian pangkal kaki ke arah dekat otot adductor. Secara hatihati masukkan potongan mantel dengan menggunakan mantel carrier dan inti ( 4 mm) dengan alat nucleus carrier, keduanya dimasukkan ke dalam satu saluran. Usahakan agar posisi mantel menempel dengan inti (Winanto et al.1992). Pasca implantasi, kerang direndam dalam larutan antibiotik 5 ppm selama 10 menit, agar luka tidak menjadi infeksi (Rachman et al. 2007). Selanjutnya,

untuk menghindari stres yang dapat mengakibatkan kematian dan memudahkan pengamatan, maka kerang dikondisikan selama 2 minggu di dalam bak yang berisi air bersih. Kerang diletakkan dengan posisi mulut cangkang menghadap ke atas (ventral). Kerang yang tidak memutahkan inti dan kondisinya bagus dipersiapkan sebagai bahan penelitian. Jumlah sampel pada setiap perlakuan adalah 75 ekor. Kerang yang berisi inti dimasukan ke dalam wadah (koja) dengan kepadatan 5 ekor/koja. Kerangkerang diaklimatisasikan pada kondisi kolam percobaan selama 30 hari dan dipelihara pada kedalaman 30 cm dari permukaan air. Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA (Gasperz 1991). Pengolahan data dilakukan dengan SPSS ver 15. Parameter yang diamati selama penelitian antara lain : Pelapisan inti Untuk mengetahui pertambahan pelapisan mutiara pada inti, dilakukan dengan cara mengukur diameter inti pada awal dan akhir pengamatan. Pengamatan dilakukan selama 9 bulan (April Desember). Secara matematis, pertambahan pelapisan mutiara (G) dapat diketahui dengan melihat selisih antara hasil pengukuran akhir (mm)(Wt) dan hasil pengukuran awal (mm)(Wo) atau: G = Wt Wo Hasil Implantasi Keberhasilan implantasi inti mutiara dapat dilihat dengan cara membedah kerang, sehingga dapat ditemukan 73

Rachman, dkk

mutiara di dalamnya. Untuk mengetahui jumlah kerang yang berhasil memproduksi mutiara, maka dapat dihitung dari persentase jumlah kerang (ekor) yang berisi mutiara (Mt) dibandingkan dengan jumlah kerang (ekor) awal (Mo) atau diformulasikan dengan persamaan : Hasil Implantasi =

Kualitas air Pemantauan kualitas air dilakukan setiap bulan, parameter yang diukur antara lain Temperatur, pH, DO (oksigen terlarut), CO2 (karbon dioksida), Nitrite, Nitrat, pH, dan kecerahan. HASIL Pelapisan Inti Hasil pengukuran terhadap mutiara yang dipanen menunjukan adanya pertambahan besar ukuran inti atau ketebalan lapisan mutiara. Rerata ketebalan lapisan mutiara yang dipelihara pada kedalaman 60 dan 90 cm, berturut

Mt x 100 Mo

Sintasan Sintasan kerang dapat diketahui dengan menghitung persentase jumlah kerang pada akhir pengamatan dibagi dengan jumlah kerang pada awal pengamatan.

Gambar 1. Kerang air tawar Anodonta woodiana

Gambar 2. Hasil mutiara pada perlakuan kedalaman (1) 30 (2) 60 dan (3) 90 cm.

Gambar 3. Mutiara dengan bentuk tetes air

74

Pengaruh Kedalaman Terhadap Proses Pelapisan Inti Bulat

turut adalah 1,10 dan 1,30 mm atau diameter inti bertambah besar menjadi 5,1 mm dan 5,3 mm. Sedangkan pada kedalaman 30 cm, inti bertambah besar menjadi 4,70 mm (0,70 mm). Hasil analisis varian menunjukkan bahwa ketebalan lapisan mutiara pada kedalaman 60 cm (1,10 mm) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kedalaman 90 cm (1,30 mm), namun keduanya berbeda nyata (P<0,05) dengan kedalaman 30 cm dengan ketebalan lapisan mutiara 0,7 mm (Tabel 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna dan kilau mutiara yang dihasilkan pada kedalaman 90 cm lebih baik jika dibandingkan pada kedalaman 30 dan 60 cm (Gambar 2). Implantasi Hasil implantasi terbaik diperoleh pada perlakuan kedalaman 60 cm (12,2 %), kemudian secara berurutan adalah perlakuan 90 cm (12,0%) dan 30 cm (11,9 %). Tetapi hasil analisis varian dan uji lanjut Tukey menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P< 0,05) antar perlakuan (Tabel 1). Sebagai besar mutiara hasil penelitian (80 %) berbentuk tetes air atau droplet (Gambar 3), diduga hal ini disebabkan oleh ukuran potongan mantel

yang relatif lebar, sehingga proses pelapisan tidak terfokus pada inti. Sintasan Sintasan tertinggi terjadi pada kedalaman 30 cm (79,2 %), menurun pada kedalaman 60 cm (79,0 %) dan terendah pada kedalaman 90 cm (78,7 %) Gambar 5). Hasil analisis varian dan uji nilai tengah Tukey menunjukkan bahwa sintasan pada ke 3 perlakuan kedalaman pemeliharaan yaitu 30, 60 dan 90 cm secara nyata tidak berbeda (P > 0,05) (Tabel 1). Hasil pengamatan mencatat bahwa sebenarnya penunurunan sintasan kerang sudah teramati sejak bulan ke dua penelitian dan mortalitas mulai meningkat pada bulan ke 4 5. Kematian kerang yang dipelihara diduga akibat infeksi setelah operasi. Hal ini dapat dilihat dari bekas luka sayatan yang membusuk. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa ketebalan pelapisan mutiara pada kedalaman 30 cm lebih tipis jika dibandingkan pada kedalaman 60 cm dan 90 cm. Diduga hal ini berkaitan dengan posisi kedalaman (30 cm) yang relatif

Tabel 1. Ketebalan pelapisan mutiara, hasil implantasi dan sintasan kerang Anodonta woodiana (rerata SD) pada berbagai tingkat kedalaman.
Perlakuan (m) Kedalaman : 0,30 m 0,60 m 0,90 m Ketebalan Lapisan Mutiara (mm) 0,71.83 a 1,11.59 b 1,31.24 b Hasil Implantasi (%) 11,92.17 a 12,21.80 a 12,01.65 a Sintasan (%) 79,22.35 a 79,02.19 a 78,72.10 a

75

Rachman, dkk

dekat dengan permukaan air. Seperti diketahui, kondisi lingkungan di dekat permukaan air relatif tidak stabil, dibandingkan dengan lingkungan di dasar kolam yang merupakan habitat alaminya. Apalagi jika dikaitkan dengan kelimpahan pakan alami (plankton), bahan organik maupun parameter kualitas air lainnya. Salah satu parameter lingkungan yang nyata pengaruhnya terhadap proses pelapisan di kedalaman 30 cm adalah suhu (Tabel 2). Menurut Dan & Ruobo (2000) kisaran suhu yang baik untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan antara 15 0C25 0 C. Pada kondisi lingkungan yang tidak sesuai, tiram akan berkonsentrasi mengalokasikan energi tubuh lebih banyak untuk beradaptasi dengan lingkungan daripada aktivitas lain seperti pelapisan inti selama proses pembentukan mutiara, sehingga lapisan mutiara yang terbentuk menjadi lebih tipis (Tun et al. 1988).
120 100

Sebaliknya pada kedalaman 60 cm dan 90 cm, dengan kondisi lingkungan yang sesuai, menyebabkan kompensasi energi yang digunakan untuk beradaptasi lebih rendah. Menurut Mulyanto (1987) setelah kantong (pearl sack) terbentuk konsentrasi energi lebih banyak digunakan untuk menahan stress sebagai akibat penempatan inti di dalam jaringan tubuh. Proses biofisiologis yang tampak adalah kerang akan melapisi inti dengan lendir dan mensekresikan zatzat pembentuk mutiara yang terdiri dari Crystaline calcium carbonat, Crystall hexagonal calsite dan Conchiolin (Cahn 1949). Ditambahkan oleh Pagcatipunan (1996) aktivitas sekresi zatzat pembentuk mutiara ini akan dilakukan oleh permukaan kantong yang bersentuhan dengan inti selama kerang hidup. Persentase hasil implantasi yang rendah diduga disebabkan oleh beberapa faktor tehnis, misalnya potongan mantel
30 cm 60 cm 90 cm

Sintasan (%)

80 60 40 20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Lama Pemeliharaan (bulan)


Gambar 4. Sintasan kerang Anodonta woodiana selama masa penelitian (9 bulan).

76

Pengaruh Kedalaman Terhadap Proses Pelapisan Inti Bulat

Tabel 2. Beberapa parameter kualitas air yang disarankan untuk kegiatan budidaya kerang air tawar
Parameter DO (ppm) pH Temperatur (0C) Nitrat (ppm) Nitrit (ppm) Kalsium (ppm) Alkalinitas (ppm) Kecerahan (cm) Kesuburan Perairan Subtrat 30 cm 2,045,32 7,007,67 24,4025,90 0,360,62 0,030,083 615 64,6090,65 4060 Subur Lumpur berpasir Hasil Penelitian 60 cm 2,014,69 6,507,17 23,8025,10 0,350,82 0,040,093 6,8014,00 68,7699,70 Subur Lumpur berpasir 90 cm 2,153,90 6,206,90 22,9025,00 0,360,40 0,030,09 713 68,7099,60 Subur Lumpur berpasir Kisaran ideal 31 6,58,54 15 251 <1.03 <0,12 <103 1502002 40 -505 Subur (Oligotropik5) Pasir berbatu5

Keterangan: 1Dan and Ruobo (2000). 2Hochheimer (2007). 3Oliver (2000). 4Summerfelt (2007). 5Skinner et al (2003).

tidak menempel pada inti, posisi peletakan inti yang tidak tepat sehingga mutiara tidak terbentuk, seleksi tingkat kematangan gonad yang kurang akurat dan lubang sayatan terlalu lebar sehingga inti mudah dimutahkan. Menurut Dan & Ruobo (2000) dan Anonymous (2007) produksi budidaya mutiara air tawar dengan bentuk bulat sempurna (around) hanya sekitar 2 3%. Secara umum sintasan pada setiap kedalaman mulai meningkat ketika memasuki bulan ke 5. Penurunan sintasan pada bulan tersebut diduga disebabkan oleh kualitas air yang kurang baik, hal ini terjadi karena perubahan musim dari penghujan ke musim kemarau, yang meningkatkan kekeruhan dan menurunnya debit air di kolam pemeliharaan. Sedimen yang menempel pada kerang dan wadah pemeliharaan ternyata juga menyebabkan hadirnya organisme pengganggu seperti cacing (Mystis sp),

yang hidup dan melubangi permukaan cangkang sehingga aktivitas fisiologis kerang terganggu dan dapat mengakibatkan kematian. Kualitas air Menurut Dan & Ruobo (2000) dan Oliver (2000) monitoring kualitas air selama proses pelapisan mutiara pada pemeliharaan kerang air tawar penting dilakukan, karena kualitas air sangat berpengaruh terhadap sintasan dan kualitas mutiara yang dihasilkan. Secara umum kualitas air yang diukur selama masa penelitian masih berada pada kisaran ideal untuk pemeliharaan kerang Anodonta woodiana. Parameter air lainnya yang perlu diperhatikan adalah kecerahan. Kecerahan air di kolam penelitian antara 20 60 cm. Menurut Moorkens (1999) untuk pemeliharaan kerang mutiara air tawar akan lebih baik 77

Rachman, dkk

pada perairan yang bening, berarus dan mengandung cukup kalsium. KESIMPULAN Proses pelapisan mutiara terbaik terjadi pada kedalaman air 90 cm (1,3 mm). Hasil implantasi tertinggi terdapat pada kedalaman air 60 cm (12,2 %). Sintasan terbaik pada kedalaman air 30 cm (79,2 %). DAFTAR PUSTAKA Anonymous 2005. The Pearl Source. Diamon Graphics. sales@ thepearl.source.com .1112008. Anonymous 2007. Imperial Real Question Real Answer. Imperial Leaflet. P.35. Hongkong. Areekijseree, M., A. Engkagul, S. Kovitvadhi, U. Kovitvadhi, A. Thongpan, & K RungruangsakTorrisen. 2006. Development of Digestive Enzymes and In Vitro Digestibility of Different Species of Phytoplankton for Culture of Early Juveniles of The Freshwater Mussel, Hyriopsis (Hyriopsis) bialatus Simpson, 1900. Invertebr. Reprod. Dev. 49: 255-262. Cahn, AR. 1949. Pearl Culture in Japan. Fishing leaflet.357. Washington DC. Dan, H & G. Ruobo. 2000. Freshwater Pearl Culture and Production in China. Chinese Academy of Fisheries Sciences. Jiangsu Province China. Gasperz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung.

Kovitvadhi, S. U. Kovitvadhi, P. Sawangwong &J. Machado. 2008. A Laboratory-scale Resirculating Aquaculture System for Juveniles of Freshwater Pearl Mussel Hyriopsis (Limnoscapha) myersiana (Lea, 1856). Aquaculture 275: 169-177. Moorken, EA. 1999. Conservation Management of The Freshwater Pearl Mussel Margaritifera margaritifera. Part 1: Biology of the species and its present situation in Ireland. Irish Wildlife Manuals, No. 8. United Kingdom. Oliver, G 2000. Conservation objectives for the freshwater pearl mussel (Margaritifera margaritifera) Report to English nature, Peterborough. Pagcatipunan, R. 1986. Manual On Techniques And Methodology For Freshwater Pearl Culture In Bangladesh. FAO. Rome. Rachman, B, T. Yuniarti, Rojali, &D. Juhaman. 2007. Tehnik Implantasi Untuk Menghasilkan Mutiara pada Kerang Air Tawar Margaritifera sp. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Laporan Tahunan. DKP. Jakarta. Sonkar, AK., 2007. Pearl Aquaculture Research Foundation. info@pearl. india.in. 1112008. Winanto.T, S. Pontjoprawiro & M. Murdjani. 1992. Budidaya Mutiara. Balai Budidaya Laut Lampung & FAO/UNDP. INS/81/008. Memasukkan: Maret 2009 Diterima: Juli 2009

78

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1): 79-96 (2009)

Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta, Raja Ampat, Papua


Edi Mirmanto Pusat Penelitian Biologi-LIPI
ABSTRACT Vegetation Analysis of Lowland Forest in Batanta Island, Raja Ampat, Papua. A vegetation analysis of Batanta lowland forest has been made by setting up 17 plots of each 30-m x 30-m distributed in 3 study sites were Yenanas (5 plots), Yensawai (7 plots) and Wailebet (5 plots). All trees (dbh. e10 cm) within all of 17 plots were measured, and determined their positions, and identify their species. In total there were 171 tree species recorded within plots and belonging to 108 genera and 40 families. Pometia pinnata was the most common species followed by Anthocephalus macrophyllus, Pangium edule, Toxotrophis illicifolius, and Koordersiodendron pinnatum. Almost all of common species such as Pometia pinnata, Anthocephalus macrophyllus, Celtis hidebrandii and Intsia bijuga were observed as the emergent and/or canopy trees. According to ordination analysis there were five community types, AporusaPometia, Antocephalus-Toxotrophis, Sterculia-Grewia, Ficus-Antocephalus, and Duabanga-Pterocymbium communities. However floristic compositions varied among plot sites, which might be a characteristic of vegetation of Papua and the nearby small islands. Keywords: Vegetation, lowland forest, Raja Ampat, Papua Kata kunci: Vegetasi, hutan dataran rendah, Raja ampat, Papua

PENDAHULUAN Melanesia diakui sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman flora dan tipe vegetasi yang tertinggi di dunia. Papua merupakan pulau terbesar di dalam kawasan Malesia dan dikenal sebagai wilayah utama hutan hujan tropika alami dengan berbagai tipe vegetasi dan flora terdapat di dalamnya. Secara geografis posisi pulau Papua terletak di antara Asia-Malesia Barat dan AustraliaPasifik yang memungkinkan terjadinya percampuran flora dan fauna dari 2 wilayah tersebut sehingga lebih memper-

kaya keanekaragaman hayati di Papua dan sekitarnya (van Steenis 1948; Balgooy 1976). Pengetahuan dan informasi tentang flora dan vegetasi Papua dan pulau-pulau kecil di sekitarnya masih sangat terbatas. Kepulauan Raja Ampat merupakan kepulauan yang berada di sebelah barat Kepala Burung pulau Papua di provinsi Irian Jaya Barat. Kepulauan ini terdiri atas empat gugusan pulau terbesar yaitu, Pulau Waigeo, Pulau Misool, Pulau Salawati, dan Pulau Batanta. Perairan Kepulauan Raja Ampat diakui memiliki flora dan fauna bawah air yang sangat 79

Edi Mirmanto

beragam pada saat ini, di samping pantaipantai berpasir putih yang indah, gugusan pulau-pulau karst dan flora-fauna daratan yang unik endemik seperti cendrawasih merah, cendrawasih Wilson, maleo waigeo, beraneka burung kakatua dan nuri, kuskus waigeo, beragam jenis anggrek serta jenis-jenis tumbuhan (Anonim 2006). Keberadaan vegetasi hutan di dalam pulau kecil merupakan sesuatu yang perlu dipertahankan, karena sebagian besar hutan di pulau kecil merupakan sisa ekosistem alami daratan dengan biodiversitas yang tinggi. Seiring dengan berjalannya proses isolasi geografis yang lama menyebabkan terbentuknya polapola vegetasi yang khas dan terdapatnya jenis-jenis endemik pada sebagian besar pulau-pulau kecil. Di samping itu fungsi dan potensi vegetasi hutan di pulau kecil yang cukup memegang peranan penting, baik secara ekologis maupun ekonomis bagi masyarakat yang menghuni di dalamnya. Di pulau Batanta keberadaan hutan alami mempunyai arti penting dalam penyediaan air, dimana beberapa sungaisungai kecil yang berhulu di hutan alami merupakan sumber air bersih utama bagi masyarakat. Oleh sebab itu keberadaan hutan alami di pulau Batanta perlu dipertahankan, karena dengan rusaknya hutan akan berpengaruh paling tidak terhadap pasokan air, di samping akan timbulnya dampak negatif yang lain karena ekosistem pulau kecil sangat

Sehubungan dengan itu perjalanan ke pulau Batanta telah dilakukan untuk melakukan penelitian dan eksplorasi flora dan fauna di pulau Batanta. Tulisan berikut ini merupakan sebagian hasil dari penelitian tersebut, yang ditekankan pada analisis vegetasi hutan pamah di pulau Batanta. Adapun tujuan utama analisis vegetasi adalah untuk mempelajari dan mengungkapkan komposisi flora, struktur hutan dan pola komunitas vegetasi hutan pamah di pulau Batanta dan kaitannya dengan kondisi habitanya. BAHAN DAN CARA KERJA Pulau Batanta secara geografis terbentang diantara 130o240"130o55 48"BT dan 0o4612" 0o540" LS, dengan ketinggian yang bervariasi dari 5 sampai sekitar 450 m dpl. Daerah penelitian meliputi tiga desa yaitu daerah-daerah Yenanas, Yensawai dan Wailebet (Gambar 1), yang terbentang antara 130317,2"1305328,4" BT dan 047 27,3"05419,9" LS; dengan ketinggian mulai dari 12 sampai dengan 147 m dpl. (Anonim 2006). Secara umum kondisi medan di tiga daerah penelitian cukup bervariasi, yang meliputi daerah datar sampai berbukit. Pencuplikan data vegetasi di daerah Yenanas telah dilakukan di daerah Iyat dan Kafnain. Medan di daerah tersebut bervariasi dari agak datar sampai berbukit, dengan kondisi vegetasi yang bervariasi pula. Kondisi vegetasi di sebagian tempat menunjukkan adanya bekas gangguan yang terjadi pada masa silam. Namun demikian secara umum kondisi vegetasi masih cukup baik,

rentan terhadap kerusakan dan peka akan gangguan. Dilain pihak pengetahuan
dan informasi tentang biodiversitas di pulau Batanta belum banyak terungkap. 80

Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta

khususnya di daerah perbukitan yang ditandai dengan masih banyaknya pepohonan yang berukuran besar. Pencuplikan data vegetasi di Yensawai telah dilakukan di daerahdaerah Wartandib, Korpak, Waringkabum, dan Warai. Secara umum kondisi habitat di daerah ini bervariasi dari datar sampai berbukit, dengan kondisi vegetasi yang relatif tidak terganggu. Keamanan

hutan di daerah ini nampaknya berkaitan dengan adanya aktivitas yang dilakukan oleh suatu organisasi yang peduli terhadap pelestarian alam. Di daerah Wailebet pencuplikan data vegetasi telah dilakukan di daerah Kaliyakut dan Kalituris. dengan kondisi medan secara umum datar, bergelombang sampai berbukit. Vegetasi di daerah ini pada umumnya belum terganggu,

Gambar 1. Peta pulau dan lokasi penelitian di daerah Yenanas (1=Iyat, 2=Kafnain), Yensawai (3=Waringkabum, 4= Wartandib, 5=Korpak, 6=Warai) dan Wailebet (7=Kaliyakut, 8=Kalituris). (Peta diperoleh dari httw://www.cityseahorse.com/irian-jaya.html; lokasi berdasarkan pengukuran dengan GPS)

Gambar 2. Rata-rata curah hujan dan temperatur udara di daerah penelitian, berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi Sentani dalam kurun waktu 1997 2006 (http://bwspapua.com)

81

Edi Mirmanto

kerapatan pohon yang cukup tinggi dan dengan pohon-pohon berukuran cukup besar. Ketiga lokasi penelitian tersebut merupakan daerah aliran sungai yang cukup penting. Di salah satu DAS telah dibuat bak penampungan air, yang rencananya untuk memasok air minum bagi penduduk di desa Wailebet Curah hujan secara umum cukup tinggi dengan rata-rata bulanan selalu di atas 100 mm (Gambar 2), dengan curah hujan tinggi terjadi pada antara bulan April dan Juni-Juli dan terendah antara September dan dengan suhu udara bulanan yang cukup bervariasi (25 34 C) (http://bwspapua.com). Kondisi semacam ini menurut klasifikasi Schmidt & Ferguson (1951) digolongkan beriklim selalu basah. Sebanyak 17 petak pencuplikan data vegetasi dengan ukuran masing-masing 30-m x 30-m telah dibuat di daerah Yenanas (5 petak), Yensawai (7 petak) dan Wailebet (5 petak), yang tersebar pada medan maupun kondisi vegetasi yang bervariasi. Masing-masing petak dibagi menjadi 9 anak petak (10-m x 10m). Setiap pohon dengan diameter e 10 cm yang terdapat di setiap anak petak, diidentifikasi jenisnya, diukur diameter batang setinggi 1,3 m dari atas tanah, ditaksir tinggi total dan bebas cabang serta ditentukan posisinya. Setiap jenis yang tercatat dibuat spesimen bukti ekologi untuk keperluan identifikasi lebih lanjut di Herbarium Bogoriense. Data yang terkumpul dianalisis mengikuti metode Mueller-Dombois (1983) untuk mendapatkan nilai frekuensi, kerapatan, dominansi, frekuensi relatif kerapatan relatif, 82

dominansi relatif, dan nilai penting. Analisis persebaran horizontal dilakukan dengan mengikuti cara Morishita (1959), sedangkan analisis persebaran vertical (startifikasi hutan) mengikuti cara Ogawa et al. (1965). Jenis dan nilai pentingnya di setiap petak digunakan sebagai matrik dalam analisis ordinasi PCA, dengan menggunakan perangkat lunak MVSP 3.1 (Multi Variate Statistical Packet Berdasarkan analisis ini diperoleh pengelompokan petak-petak berdasarkan kesamaan komposisi jenisnya. HASIL Komposisi jenis pohon Berdasarkan pencacahan dalam 17 petak contoh (30-m x 30-m) tercatat 171 jenis pohon dengan dimeter > 10 cm, yang tergolong ke dalam 108 marga dan 40 suku (Lampiran 1). Dari 40 suku yang tercatat, beberapa diantaranya ditentukan sebagai suku-suku dominan di daerah penelitian berdasarkan nilai kumulatif dari nilai dominansi jenis (Tabel 1). Suku Moraceae tercatat memiliki nilai dominansi yang tertinggi, diikuti oleh Sterculiaceae, Anacardiaceae, Euphorbiaceae, Sapindaceae, Flacourtiaceae, dan Rubiaceae. Secara lokal tercatat ada beberapa suku yang dominan pada tipe komunitas atau habitat tertentu. Beberapa suku diantaranya Lauraceae, Verbenaceae, Sapotaceae, Alangiaceae, Burseraceae dan Tiliaceae meskipun secara umum tidak tercatat sebagai suku dominan tetapi masing-masing mendominasi habitat atau komunitas tertentu

Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta

Tingkat heterogenitas jenis pohon tercatat cukup tinggi, yang tercermin dari banyaknya (83 %) jenis dengan frekuensi rendah (< 20 %) (Gambar 3), yang menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut hanya terdapat di beberapa petak pencuplikan data. Ini memberikan gambaran adanya variasi jenis yang tinggi diantara petak-petak contoh. Dengan kata lain bahwa antar petak mempunyai perbedaan komposisi jenis yang cukup tinggi, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa vegetasi hutan di Batanta merupakan komunitas yang cukup heterogen. Namun demikian tercatat 6 % jenis yang mencapai frekuensi > 40 %, dan 1 jenis diantaranya yaitu Pometia pinnata dengan frekuensi 58,8 %. Keberadaan jenis tersebut di atas sesuai dengan apa yang telah diketahui secara umum bahwa jenis tersebut memang tersebar luas di daerah Papua dan sekitarnya. Pada Tabel

2, terlihat bahwa Pometia pinnata dengan nilai dominansi relatif tertinggi, begitu pula dengan nilai frekuensi dan kerapatan relatifnya. Berdasarkan nilai penting (NP) tertinggi, Pometia pinnata bersama Anthocephalus macrophyllus, Pangium edule, Toxotrophis illicifolius,dan Koordersiodendron pinnatum dapat ditentukan sebagai jenis-jenis utama di daerah penelitian (Tabel 2). Jenis-jenis tersebut umumnya tersebar cukup luas, berukuran besar dengan jumlah individu relatif banyak. Jenis lain seperti Antiaris toxicaria juga tercatat mempunyai persebaran cukup tinggi, tetapi dengan pohon-pohon berukuran relatif kecil. Di lain pihak walaupun Intsia bijuga dan Sterculia cordata cukup domian, tetapi memeiliki kerapatan dan frekuensi yang rendah. Struktur hutan

Tabel 1. Rata-rata nilai dominansi beberapa suku pohon yang tercatat beserta nilai dominannya di setiap petak pencuplikan data vegetasi
Suku Moraceae Sapindaceae Euphorbiaceae Sterculiaceae Rubiaceae Flacourtiaceae Anacardiaceae Lauraceae Burseraceae Fabaceae Apocynaceae Tiliaceae Alangiaceae Ulmaceae Celastraceae Sapotaceae Suku lain (24) Jumlah A 3,1 2,7 7,3 17,1 3,0 7,5 5,3 2,4 4,7 L N O P Q R 14,8 14,8 21,0 18,7 3,8 17,5 12,6 30,9 21,6 5,3 4,6 3,4 14,5 44,3 14,0 1,4 3,1 8,5 1,3 16,7 4,8 41,7 11,6 17,4 10,0 1,8 13,8 7,0 2,9 26,2 2,4 6,2 3,1 5,0 1,5 1,4 3,6 1,1 35,3 1,4 5,3 25,9 17,2 24,2 4,0 1,0 2,4 25,2 19,7 39,9 19,7 23,1 17,8 2,6 24,0 14,7 32,1 31,3 7,9 4,8 3,4 19,3 9,6 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 Petak pencuplikan data B C D E F G H I J K 1,7 41,0 33,1 25,2 36,1 31,1 21,3 37,6 34,1 15,3 2,1 2,6 25,7 11,2 11,8 9,7 13,8 1,7 6,9 10,1 6,4 4,3 13,1 9,3 2,3 17,5 50,4 9,6 21,0 2,9 16,4 1,7 1,3 8,6 3,6 4,5 11,9 7,9 3,0 22,1 6,8 12,1 5,4 17,8 4,1 21,2 3,1 1,1 13,6 1,1 3,0 2,8 5,9 1,0 31,1 13,1 1,2 3,6 16,0 Rata-2 20,7 8,4 8,0 6,7 6,0 8,1 4,6 4,9 0,9 2,6 2,2 2,1 0,6 2,5 1,4 1,2 19,1 100,0

4,2

12,4 30,3 100,0

83

Edi Mirmanto

Secara umum struktur hutan dapat tercermin dari pola penyebaran horisontal dan vertikal. Penyebaran horisontal terlihat dari penyebaran kelas diameter pohon, sedangkan penyebaran vertikal terlihat dari ketinggian pepohonan. Gambar 4, menunjukkan pola persebaran diameter pohon yang cukup menerus, ditandai dengan adanya individu pada semua kelas diameter. Akan tetapi proporsi jumlah individu nampak tidak seimbang, yaitu hampir setengah dari pohon yang tercacah berukuran kecil (< 30 cm). Dilain pihak hanya sekitar 3 % dari pohon yang tercacah mencapai diameter > 60 cm. Disamping itu diperkirakan bahwa setelah mengalami gangguan, pertumbuhan pohon relatif lambat sehingga keberadaan pohon berukuran kecil cukup tinggi. Namun demikian persebaran diameter di daerah

penelitian masih menggambarkan pola umum hutan tropis yang dinamis (Ogawa et al. 1965). Adanya kerusakan hutan juga tercermin pada pola stratifikasi hutan yang tidak menerus, yang menunjukkan adanya rumpang atau daerah terbuka. Stratifikasi hutan secara umum (keseluruhan) menunjukkan bahwa hutan di daerah penelitian terdiri atas tiga lapisan kanopi (Gambar 5). Lapisan-I terdiri atas pohon-pohon dengan tinggi antara 28 dan 34 m; lapisan-II antara 18,5 dan 28 m; dan lapisan-III antara 9,5 dan 18,5 m. Pepohonan dengan tinggi di atas 34 m merupakan jenis-jenis pohon menonjol, sedang pepohonan dengan tinggi di bawah 9,5 m merupakan jenis-jenis ternaungi. Sebanyak 2% pepohonan menempati lapisan I, 6% pohon menempati lapisanII, dan 39% pohon menempati lapisan III.

Gambar 3. Jumlah jenis yang tercatat di daerah penelitian menurut kelas frekuensinya

84

Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta

Pohon yang ternaungi meliputi 52% pohon, sedangkan pohon menonjol hanya mencakup 1% pohon yang terdiri atas jenis-jenis Celtis hidebrandii, Intsia bijuga, Pometia pinnata dan Anthocephalus macrophyllus. Penyebaran spasial beberapa jenis disajikan pada Gambar 6, yang

menunjukkan adanya perbedaan pola persebaran, baik antar jenis maupun antar lokasi. Secara keseluruhan persebaran pohon cukup merata, yaitu dengan nilai Indeks Morishita berkisar angka satu, tetapi analisis beberapa jenis terpilih menunjukkan pola yang bervariasi.

Tabel 2. Nilai frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR) dan kerapatan relatif (KR) serta nilai penting (NP) beberapa jenis yang tercatat di dalam petak-petak pencuplikan data
Species Pometia pinnata Anthocephalus macrophyllus Pangium edule Toxotrophis illicifolius Koordersiodendron pinnatum Ficus variegata Artocarpus altilis Antiaris toxicaria Alstonia scholaris Artocarpus communis Ficus comitis Ficus tinctoria Sterculia cordata Instia bijuga Canarium maluensis Alangium javanicum Duabanga moluccana Grewia paniculata Intsia palembanica Aporusa cf dendroidea Celtis hildebrandii Jenis-jenis lain (81) Total FR 4.33 3.03 3.03 2.60 3.03 1.73 2.16 3.03 2.16 1.73 1.73 1.30 0.43 0.87 1.30 1.73 0.87 0.87 0.87 0.43 0.43 62.34 100.00 DR 7.69 5.66 4.22 3.43 2.98 2.69 2.83 1.84 2.37 2.63 2.35 2.43 3.17 3.42 2.24 1.77 2.45 2.30 2.02 2.02 1.63 37.87 100.00 KR 6.01 4.35 3.63 3.02 3.01 2.58 2.50 2.44 2.27 2.18 2.04 1.86 1.80 1.78 1.77 1.75 1.66 1.58 1.44 1.23 1.03 50.10 100.00 NP 18.03 13.04 10.88 9.05 9.02 7.73 7.49 7.31 6.80 6.54 6.12 5.59 5.40 5.33 5.30 5.25 4.98 4.74 4.33 3.68 3.09 150.31 299.99

85

Edi Mirmanto

Hampir semua jenis yang dianalisis (Pangium edule, Anthocephalus cadamba, Antiaris toxocaria, Toxocarpus illicifolius) tersebar secara mengelompok yang memberikan gambaran bahwa jenis-jenis tersebut cenderung menyukai habitat tertentu (Gambar 6). Dua jenis lain yaitu Alstonia scholaris tersebar secara teratur dan

yang tersisa dan tersebar secara terpencar. Permudaan alami jenis Instia bijuga berjalan kurang baik, ditandai dengan rendahnya individu pada tingkat semai dan belta. Pola komunitas Analisis data vegetasi dengan PCA menunjukkan adanya lima pengelompokan petak-petak contoh berdasarkan kesamaan komposisi jenis pohon (Gambar 7). Kelompok A terdiri atas 2 petak (Q, R) di daerah Wailebet; kelompok B terdiri atas 3 petak (A,B,D) yang terdapat di Yenanas; kelompok C terdiri atas 5 petak yang terdapat di Yensawai (H,K,L) dan Wailebet (O,P); kelompok D terdiri atas 6 petak yang terdapat di Yenanas (C,E) dan Yensawai (F,G,I,J); dan kelompok E terdiri atas 1 petak yaitu

Intsia bijuga tersebar secara acak. Ini menunjukkan bahwa jenis Alstonia scholaris mampu beradaptasi terhadap berbagai kondisi habitat, sedangkan jenis
Instia bijuga kemungkinan berkaitan dengan keberadaannya sudah tidak utuh lagi. Jenis tersebut merupakan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, sehingga kemungkinan sudah banyak ditebang. Keberadaan jenis Intsia bijuga saat penelitian berlangsung diperkirakan merupakan pohon-pohon

Gambar 4. Persebaran kelas diameter pohon yang tercacah dalam petak-petak pencuplikan data.

86

Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta

45

M (1%)

30
Tinggi total (m)

L-I (2%)

L-II (6%)

15
L-III (39%)

N (52%)

0 0 15 30 45
Tinggi bebas cabang (m)

Gambar 5. Stratifikasi hutan secara umum di daerah penelitian. (M=pohon menonjol; L-I=pohon pada lapisan I; L-II=pohon pada lapisan II; L-III=pohon pada lapisan III; N= pohonpohon ternaungi).

Gambar 6. Nilai Indeks Morishita beberapa jenis pohon yang tercacah di daerah penelitian

87

Edi Mirmanto

petak N (Wailebet) yang nampak terpisah dari petak lainnya. Berdasarkan jenis-jenis dominan pada setiap kelompok, dapat ditentukan menjadi lima tipe komunitas, yaitu 1. komunitas AporusaPometia; 2. komunitas Antocephalus-Toxotrophis; 3. komunitas Sterculia-Grewia; 4. komunitas Ficus-Antocephalus; dan 5. komunitas Duabanga-Pterocymbium. Di dalam komunitas AporusaPometia terkandung sebanyak 22 jenis pohon yang didominasi oleh Aporusa cf dendroidea, Pometia pinnata, Alangium javanicum dan Pimeleodendron ambinicum. Ke 4 jenis tersebut mencakup 48,4 % total basal area dalam komunitas ini. Komunitas Antocephalus-Toxotrophis terdiri atas 37 jenis pohon dengan Anthocephalus macrophyllus,
0,4

Toxotrophis illicfolius, Pometia pinnata, Vitex coffasus dan Sterculia morobensii tercatat sebagai jenis-jenis dominan. Ke lima jenis dominan tersebut meliputi sebanyak 34,7 % dari total basal area, lebih kecil dari pada proporsi jenis dominan pada komunitas Aporusa Pometia. Jenis-jenis Sterculia cordata, Grewia paniculata, Artocarpus altilis, Pangium edule dan Pometia pinnata tercatat mendominasi komunitas Sterculia-Grewia, dengan proporsi dominansinya mencapai 61,4%. Dalam komunitas ini hanya tercatat sebanyak 22 jenis pohon, yang lebih rendah dari pada dua komunitas sebelumnya. Indeks kesamaan di antara ketiga komunitas tersebut cukup besar, terutama disebabkan oleh keberadaan jenis-jenis sekunder

F J
S UMBU-Y

I G

P O

K L D

B R

Q -0,4 -0,4

0,0 SUMBU-X

0,4

Gambar 6. Pola pengelompokan petak-petak pencuplikan data berdasarkan analisis PCA dengan parameter nilai penting jenis pada setiap petak

88

Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta

yang merupakan komponen penyusun ke tiga komunitas tersebut. Secara fisiognomi tercermin bahwa ke tiga komunitas tersebut diperkirakan pernah mengalami gangguan, dan saat penelitian dilakukan kondisi hutan dalam masa perkembangan ke arah klimaks. Perbedaan komposisi dan proporsi jenis-jenis primer yang mungkin menyebabkan ketiga komunitas tersebut terpisah dalam analisis PCA. Beberapa jenis komponen hutan primer sudah dijumpai dalam ketiga komunitas tersebut, dan salah satunya adalah Pometia pinnata yang selalu menjadi jenis dominan. Komunitas Ficus-Antocephalus memiliki jumlah jenis terbanyak di antara tipe komunitas yang ada, yaitu sebanyak 56 jenis pohon. Dari jenis-jenis yang tercatat, Ficus variegata, Anthocephalus macrophyllus, Pometia pinnata, Artocarpus communis, Ficus tinctoria, Canarium maluensis, Ficus comitis dan Intsia palembanica merupakan jenis-jenis yang menguasai komunitas ini. Hal yang perlu dicatat dalam komunitas ini adalah banyaknya jenis-jenis Ficus dan beberapa di antaranya termasuk jenis dominan. Di dalam komunitas DuabangaPterocymbium tercatat sebanyak 19 jenis pohon dan merupakan komunitas dengan kekayaan jenis terendah. Jenis-jenis pohon yang mendominasi komunitas ini adalah Duabanga moluccana, Pterocymbium tinctorium , Artocarpus altilis, Koordersiodendron pinnatum dan Cryptocarya multinervis. Hampir semua jenis dominan tersebut, kecuali Koordersiodendron pinnatum, tidak

terdapat dalam komunitas lain, atau terdapat dalam proporsi yang rendah. PEMBAHASAN Secara keseluruhan jumlah jenis yang tercatat dalam penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa pulau kecil di sekitar Papua (Purwaningsih 1995; Simbolon, 1995, 1998), serta dengan komposisi jenis yang berbeda pula. Perbedaan jumlah jenis kemungkinan berkaitan dengan perbedaan dalam jumlah dan/atau luas petak yang dibuat, maupun luas daerah penelitian. Adanya perbedaan komposisi jenis dapat dipahami karena proses pembentukan vegetasi di pulau kecil pada umumnya melalui berbagai bentuk penyesuaian terhadap lingkungan yang cukup bervariasi. Karena itu dalam setiap pulau kecil akan memiliki keragaman yang unik dan spesifik, baik pada tingkat ekosistem (tipe vegetasi) maupun tingkat jenis. Perbedaan dalam komposisi jenis juga nampak nyata jika dibandingkan dengan beberapa pulau kecil yang berjarak jauh, seperti Geser (Mirmanto & Ruskandi 1986), Kari-munawa (Yusuf dkk. 2006), Nusakam-bangan (Partomihardjo dkk. 2001; 2003), Krakatau (Tagawa 1992), dengan demikian diperkirakan bahwa masing-masing pulau kecil mempunyai tipe vegetasi dengan komposisi jenis yang bervariasi. Akan tetapi dibanding-kan dengan pulau kecil yang berdekatan, misalnya Waigeo (Mirmanto, data belum dipublikasikan), tercatat mempunyai kesamaan jenis yang relatif cukup tinggi. Ini menunjukkan bahwa komposisi jenis juga dipengaruhi 89

Edi Mirmanto

oleh jarak antar pulau kecil Selain itu pengaruh gangguan yang menghasilkan vegetasi hutan sekunder, juga mempengaruhi kesamaan komposisi jenis. Pada umumnya pada komunitas hutan sekunder selalu ditemukan jenis-jenis pioner khas daerah tropik seperti Macaranga spp., Ficus spp. dll (Whimore 1964) Komposisi jenis dan struktur hutan dari masing-masing komunitas hutan di daerah penelitian menunjukkan adanya keterkaitan dengan keberadaan vegetasi dan kondisi habitat yang bervariasi pula. Kesamaan komposisi jenis antar komunitas dengan ketinggian berbeda menunjukkan nilai indek kesamaan (IS) yang relatif rendah (IS < 30 %). Begitu pula antara hutan yang terganggu dan hutan tidak terganggu dengan IS < 20 %, yang kemungkinan disebabkan karena rendahnya kekayaan jenis primer pada hutan-hutan terganggu. Beberapa jenis primer yang umum terdapat di daerah Papua seperti Pometia pinnata, Inocarpus fagiferus dan Instia bijuga, hanya terdapat dalam jumlah yang relatif sedikit. Dengan demikian pengaruh gangguan terhadap penurunan kekayaan jenis juga berlaku di daerah penelitian. Penururnan kekayaan jenis primer pada hutan terganggu menunjukkan ketahanan yang rendah dari vegetasi pulau kecil yang dikenal sangat rentan terhadap gangguan. Lebih dari itu pemulihan hutan melalui proses suksesi berjalan dengan lambat karena dominasi jenis-jenis sekunder mampu bertahan cukup lama. Tercatat bahwa komunitas dalam hutan terganggu (ditandai dengan bekas atau sisa penebangan berupa 90

tunggul yang sudah melapuk), meskipun secara struktural sudah mendekati kondisi hutan alami, tetapi masih didominasi oleh jenis-jenis pohon sekunder seperti Macaranga aleuritoides, Mallotus mollisimus, Pimeleodendron ambinicum dan Endospermum moluccanum, yang rata-rata berukuran cukup besar. Jenis-jenis tersebut merupakan jenis nonkomersial yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat secara intensif atau jenisjenis tersebut diperkirakan sebagai jenis yang tumbuh setelah terjadinya gangguan. Persebaran horizontal beberapa jenis menunjukkan pola yang mengelompok, dan hanya 2 jenis yaitu Instia bijuga yang tersebar secara acak dan Alstonia scholaris yang tersebar secara teratur. Hasil sementara analisis kesesuaian habitat menujukkan adanya kecenderungan pengelompokan jenis menurut kondisi habitat. Namun analisis ini masih perlu ditambahkan parameter lingkungan seperti kandungan hara tanah untuk lebih memastikan pola pengelompokan tersebut. Dalam hal pola persebaran Instia bijuga yang tersebar secara acak dapat dipahami sebagai akibat penebangan pohon jenis tersebut pada masa lalu disamping permudaan alamnya yang kurang baik. KESIMPULAN Lima tipe komunitas hutan di daerah penelitian merupakan ciri khas vegetasi Indonesia Timur dan masing-masing tersebar pada kondisi habitat yang bervariasi. Struktur dan komposisi jenis antar ke lima tipe vegetasi cukup berbeda.

Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta

Jenis-jenis Pometia pinnata, Anthocephalus macrophyllus, Pangium edule, Toxotrophis illicifolius, dan Koordersiodendron pinnatum merupakan jenisjenis utama di daerah penelitian. Perbedaan kekayaan dan komposisi jenis terhadap beberapa pulau kecil lain merupakan keunikan dan kekhasan dari vegetasi lahan pamah di pulau Batanta. Berkaitan dengan kekhasan vegetasi hutan, tetapi rentan terhadap gangguan dan lambatnya proses regenerasi alami maka pengelolaan hutan di daerah ini perlu dilakukan dengan hati-hati dan dengan perhitungan yang tepat. Untuk itu segala aktivitas yang menyebabkan terjadinya gangguan terhadap hutan hendaknya ditekan seminimal mungkin, sehingga kelestarian hutan dapat terjaga dalam jangka panjang dan berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Atlas Sumber Daya Pesisir Kabupaten Raja Ampat, Propinsi Irian Jaya Barat. Kerjasama Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dengan Konsorsium Atlas Sumberdaya Pesisir Kabupaten Raja Ampat Balgooy, MMJ. van. 1976. Phytogeography. In: K. Paijmans (ed.). New Guinea Vegetation, 1-22.

Mirmanto, E. & A. Ruskandi. 1986. Analisa vegetasi hutan dataran rendah di pulau Geser, Maluku. Laporan Perjalanan. Doc. HB.

Morishita, M. 1959. Measuring the dispersion of individuals and analysis of distributional patterns. Mem. Fac. Sci. Kyusu Univ., Ser. E. (Biol.), 2: 215-235. Mueller-Dombois, D. & H. Ellenberg. 1972. Aims and methods of vegetation ecology. John Wiley & Sons, New York. Ogawa, H., K. Yoda, K. Ogino, T. Shidei, D. Ratnawongse & C. Apasutaya. 1965. Comperative ecological study on three main types in S.E. Asia of forest vegetation in Thailand. I. Structure and floristic composition. Nat.& Life, 4: 13-48. Partomihardjo, T., EN. Sambas & S. Prawiroatmodjo. 2001. Keanekaragaman jenis tumbuhan dan tipe vegetasi Pulau Nusakambangan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Nusakambangan. 2001: 39-48. Partomihardjo, T., Roemantyo & S. Prawiroatmodjo. 2003. Biological diversity of small islands: Case study on landscape, vegetation and floristic notes of Nusakambangan Island, Cilacap-Indonesia. Global Taxonomy Initiative in Asia. Report and Proc. of first GTI Regional Workshop in Asia. Putrajaya, Malaysia: 106-111. Purwaningsih. 1995. Komposisi jenis dan struktur vegetasi hutan primer dan hutan sekunder pulau Biak, Irian Jaya. Dalam: H. Simbolon (ed.). Laporan Teknik 1995. Puslitbang Biologi-LIPI. hal 34-45. Simbolon, H. 1995. Tipe-tipe vegetasi cagar alam pulau Supiori, Kabupa91

Edi Mirmanto

ten Biak Numfor, Irian Jaya. Dalam: H. Simbolon (ed.). Laporan Teknik 1995. Puslitbang BiologiLIPI. hal 54-72. Simbolon, H. 1998. Perubahan floristik dan keadaan hutan pada beberapa lokasi penelitian di cagar alam pulau Yapen Tengah, Irian Jaya. Ekol. Indonesia, 2 (3): 1-11. Schmidt, FH. & JHA. Ferguson, 1951. Rain fall types based on wet and dry period ratios for Indonesia with weatern New Guinea. Kementrian Perhubungan, Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Verhandelingen, No.42.

Steenis, CGGJ. van. 1948. Flora Malesiana, Series I, vol. IV. Noordhof-Kolff NV, Jakarta. Tagawa, H. 1992. Primary succession and the effect of first arrival on subsequent development of forest types. Geo J. 28 (2): 175-183. Yusuf, R., A. Ruskandi, Wardi & Dirman. 2006. Studi vegetasi P. Karimunjawa dan bebrapa pulau kecil lainnya, di kawasan T.N. Karimunjawa. Dalam: AJ Arief, EB Walujo, Mulyadi & H. Julistiono (ed.). Laporan Teknik 2006. Pusat Penelitian Biologi LIPI. hal. 17-31.

92

Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta

Lampiran 1. Jenis-jenis pohon yang tercatat dalam 18 petak pencuplikan data di pulau Batanta, Raja Ampat, Papua
SUKU / Jenis ALANGIACEAE Alangium javanicum (Bl.) Wang ANACARDIACEAE Dracontomelon dao (Blanco) Merr & Ralf Duabanga moluccana Koordersiodendron pinnatum (Blanco) Merr. Mangifera indica Parishia insignis Hook. Semecarpus australiensis Engl. ANNONACEAE Spondias cytherea Sonnerat. Mitrephora diversifolia Miq. Polyalthia diversifolia Miq. Polyalthia glauca Boerl. Polyalthia laterifolia King Polyalthia subcordata Bl. APOCYNACEAE Popowia beccarii Scheff. Alstonia scholaris R.Br. Lepiniopsis ternatensis Val. Tabernaemontana sphaerocarpa Bl. ARALIACEAE Gastonia papuana Miq. Osmoxyon sessiliflorum (L.) Philipson BURSERACEAE Canarium denticulatum Canarium hirsutum Canarium maluensis Lauterb. CELASTRACEAE Siphonodon celastrinus Griff. CLUSIACEAE Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz

COMBRETTACEAE Terminalia canaliculata Exell Terminalia complonata K.Schum CONVOLVULACEAE Erycibe sp DATICACEAE Octomeles sumatrana Miq. DILLENIACEAE Dillenia ovalifolia Hoogl. EUPHORBIACEAE Aporusa cf dendroidea Schot. Bridelia insulana Claoxylon longifolium (Bl.) Endi Croton argyratus Bl. Drypetes glabridiscus JJS Drypetes longifolia (Bl.) Pax & K.Hofm. Endospermum moluccanum Glochidion zeylanicum A. Jass Macaranga aleuritoides F. Muller. Macaranga tanarius (L.) MA Mallotus mollisimus (Geisebr.) A.S. Mallotus philippinensis (Lam.) MA Mallotus rufidulud (Miq.) MA Pimeleodendron ambinicum Hassk. Suregeda glomerulata (Bl.) Baill. Teysmaniodendron hollrungii (Warb.) Kosterms. FABACEAE Archidendron jiringa (Jack.) Nielson Crudia reticulata Merr. Cynometra ramiflora L. Inocarpus fagiferus Fosb. Instia bijuga Kurtz. Intsia palembanica

93

Edi Mirmanto

Lampiran 1: Lanjutan
Maniltoa brownoides Harm Maniltoa ptylogyne Harms FLACOURTIACEAE Peltophorum pterocarpa (DC) Homalium foetidum (Roxb.) Benth. Pangium edule Trichadenia philippinensis Merr GNETACEAE Gnetum gnemon ICACINACEAE Gomphandra papuana (Becc.)Sleum Gonocarium littorale (Bl.) Sleum Medusanthera laxiflora Rhyticaryum oleaceum LAURACEAE Beilschmedia cf. wieringae Kosterm. Beilschmeidia aruensis Koetermans Beilschmeidia gammiflora(Bl.)Kosterm. Cryptocarya caloneura (Scheff.)Kost. Cryptocarya multinervis Teschn. Cryptocarya palmensis Allen Dehaasia incrassata (Jack) Kosterm. Litsea calophylantha K. Schum. Litsea firma (Bl.) Hk.f. Litsea forstenii (Bl.) Boerl. Litsea glutinosa (Lour.)C.B.Rob. Litsea ladermnniii Tschn. Litsea timoriana Span. LECYTHIDACEAE Planchonia sp. LEEACEAE Leea indica MELIACEAE Aglaia argentea Blume Aglaia elliptica Bl.
Aglaia goebeliana Warb Aglaia korthalsii Miq. Aglaia lawii (Wibht)Saldanha ex Ramamoonthy Aglaia leucoclada Apanamixis polystachya (Wall.) KN Parker Chisocheton ceramicus Miq. Chisocheton lasiocarpus (Miq.)Valeton Dysoxylum arborescens Miq. Dysoxylum densiflorum (Bl.)Miq. Lansium domesticum Correa Sandoricum koetjape (Brom.f.) Merr. MORACEAE Antiaris toxicaria Lesch Artocarpus altilis (Park.) Forsb Artocarpus communis Artocarpus varieseanus Miq. Ficus botrycarpa Miq. Ficus comitis King Ficus complexa Corner Ficus cupiosa Steud. Ficus glaberrima Bl. Ficus lepicarpa Ficus melinocarpa Ficus minahasae Ficus nodosa Teysm. Et Binn. Ficus variegata Bl. Toxotrophis illicfolius Vid. Trophis philippinensis (Bur.) Corner MYRISTICACEAE Gymnacranthera farguhariana (Miq.)Schouten Gymnacranthera panniculata Val. Horsfieldia bivalvis (Hk.f.) Merr. Horsfieldia hellwigii (Warb.)var. Purverulenta (Warb.)Sincl. Horsfieldia irja (Gaertn) Warb.

94

Analisis Vegetasi Hutan Pamah di Pulau Batanta

Lampiran 1: Lanjutan
Myristica sp. Myristica curcullata Mgf. Myristica inutilis R. Br. Myristica lanceifolia Bl. MYRTACEAE Syzygium jamboloides Syzygium leptopodium Merr & Perry Syzygium longipes Merr & Perry Syzygium malaccense (L.) Merr & Perry Syzygium pteropoda Lauterb. Et K. Schum. NYCTAGINACEAE Pisonia longirostris T. Et B. OPILLIACEAE Chaemperia manillana (Bl.)Merr. POLYGALACEAE Xanthophyllum tenuipetalum Meijen RHAMNACEAE Zizyphus angustifolia RHIZOPHORACEAE Carallia brachiata (Lour.)Merr. ROSACEAE Prunus javanica Miq. RUBIACEAE Adina racemosa (Caw.)Tirveng Anthocephalus cadamba Miq. Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil. Morinda citrifolia L. Neonauclea clemensii M.P. Pavetta platiclada K. Schum Pertusandian multiflora (Hw.)Risdl. Psychotria diplococea Landeri Valeton Tarenna barbellata Val. RUTACEAE Evodia latifolia DC Rhodamnia cf pachyloba A.J. Scott.

SAPINDACEAE Gonophyllum filcatum Harpulia capanoides Roxb. Harpulia petiolans Radlk sub. sp.petiolans Pometia pinnata Forst. Xerospermum wallichii King SAPOTACEAE Chrysophyllum lanceolatum DC. Chrysophyllum roxburgii G. Don Madhuka leucodermis H.J.L Palaquium lobbianum Burck Palaquium obovatum Burck. Palaquium sp. Planchonella oxyeda DUB Planchonella ripicola Royen SIMARUBACEAE Picrasma javnica Bl. STERCULIACEAE Ailanthus integrifolia Lamk Kleinhovia hospital L. Melochia umbellate (Houtt) Staff Pterocymbium javanicum R. Br. Pterocymbium tinctorium (Blanco) Merr. Sterculia macrorhylla Sterculia morobensii Tantra Sterculia shillinglawi F.v Muell Sterculia cordata Bl. Sterculia cymosa Wall. TILIACEAE Grewia paniculata Ridl. ULMACEAE Celtis hildebrandii Soepadmo URTICACEAE Dendrochide stimulans (L.f.) Chew Pipturus argenteus Widd.

95

Edi Mirmanto

Lampiran 1: Lanjutan
VERBENACEAE Premna obtusifolia R. Br. Premna sterculifolia King & Gamble Villebrunea rubescens Vitex coffasus Reinw. Vitex glabrata R. Br. Vitex quinata (Lour.) F. v Will.

Memasukkan: April 2009 Diterima: Juli 2009

96

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1): 97-105 (2009)

Toksisitas Isolat Bacillus thuringiensis yang Mengandung Gen cry 1A Terhadap Hama Penggerek Batang Jagung, Ostrinia furnacalis Guenee
1

Bahagiawati1, Habib Rizjaani1, Agustina K. Sibuea2 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, 2 Balai Besar Karantina Ikan Soekarno-Hatta. Email: bahagiawati@indo.net.id
ABSTRACT

Cry genes isolated from Bacillus thuringiensis produce crystal proteins that exhibit a high insecticidal activity against several plant pests. The objectives of this experiment were to detect the presence of cry1A sequences from several local Bacillus thuringiensis isolates multiplied by Lep1A-Lep1B and Lep2A-Lep2B primers using PCR technique and to determine their toxicity against Ostrinia furnacalis, maize stemborer. From 59 tested isolates, 6 of them gave PCR products, two DNA bands, first was 490 bp, the expected size of Lep1A-Lep1B primers, and second was 986 bp, the expected size of Lep2A-Lep2B primers. These isolates were Jtg 2151, 243, Cib 551, Lam 752, Lam 762 and C 522. All of tested isolates showed potentially high toxicity against maize stemborer. Key words: B. thuringiensis, cry1A, Ostrinia furnacalis, PCR. Kata kunci: B. thuringiensis, cry1A, Ostrinia furnacalis, PCR.

PENDAHULUAN Salah satu kendala dalam bidang pertanian yang dihadapi para petani jagung di Indonesia adalah serangan serangga hama Ostrinia furnacalis (Guene) (Pyralidae) (Kalshoven 1981). Kerusakan yang diakibatkan hama tersebut sangat bervariasi, yaitu dari kerusakan tanaman dan penurunan kualitas hingga kuantitas panen (Oka & Bahagiawati 1984). Jika diuangkan kerugian yang disebabkan oleh serangan hama di Amerika Serikat mencapai 7,7 milyar dolar Amerika (Bent & Yu 1999). Di Indonesia kerugian yang disebabkan oleh serangan hama wereng padi pada

tahun 1976/1977 mencapai 100 juta dollar Amerika (Oka & Bahagiawati 1983). Usaha pengendalian serangan hama telah dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya dengan menggunakan insektisida kimia. Penggunaan bahan tersebut memberikan dampak negatif terhadap kelestarian alam, yaitu matinya organisme non-target, timbulnya hama resisten, serta penumpukan residu pada hasil panen dan di dalam tanah (Oka & Soehardjan 1997). Oleh karena itu, diperlukan cara lain selain hanya dengan pestisida; cara tersebut antara lain dengan mempergunakan biopestisida. Biopestisida yang paling popular dan digunakan secara komersil sejak tahun 1950-an adalah Bacillus thuringiensis (Bahagia97

Bahagiawati, Rizjaani, & Sibuea

wati 2002), selanjutnya disebut dengan Bt. Bakteri ini dapat diisolasi dari berbagai bahan, seperti dari tanah, permukaan daun, bubuk biji-bijian, dan berbagai bangkai serangga (Carozzi et al. 1991; Smith et al. 1991). Bt merupakan bakteri yang menghasilkan protein kristal dalam inclusion body saat bersporulasi. Protein kristal yang bersifat insektisida itu disebut -endotoksin. Gen pengkode protein kristal tersebut dikenal sebagai gen cry, kependekan dari kata crystal. Salah satu gen cry ialah gen cry1A yang mengode protein yang bersifat insektisida terhadap serangga hama Lepidoptera dengan bobot molekul 130-140 kilodalton (kDa) (Hofte & Whiteley 1989). Meskipun telah banyak ada produk komersial yang sudah dipakai secara luas, dan telah diidentifikasi berbagai jenis protein Cry, namun penelitian dalam usaha mengisolasi dan menidentifikasi strain-strain B. thuringiensis masih terus dilakukan, karena sejumlah besar serangga hama belum dapat dikendalikan dengan menggunakan toksin yang telah ada. Selain itu, strain-strain baru juga diperlukan untuk menyediakan alternatif bila muncul resistensi serangga hama terhadap strain Bt tertentu (Bahagiawati, 2001). Beberapa metode mutakhir untuk mendeteksi gen cry telah dikembangkan, antara lain analisis Southern blot, penggunaan antibodi monoklonal, dan analisis elektroforesis hasil polymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan primer spesifik (Carozzi et al. 1991; Santoso et al. 2000). Analisis PCR dengan primer spesifik merupakan pilihan terbaik karena hasilnya dapat menen98

tukan secara cepat keberadaan sekuen gen cry, cukup sensitif, relatif cepat, dan mudah digunakan dalam kegiatan rutin (Carozzi et al. 1991). Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi 59 isolat Bt lokal koleksi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian apakah mengandung gen cry 1A dan untuk mengetahui tingkat toksisitas isolat-isolat B. thuringiensis yang tersebut terhadap Ostrinia furnacalis (Pyralidae). BAHAN DAN CARA KERJA Sejumlah 59 isolat Bt berasal dari koleksi Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor digunakan sebagai bahan dalam penelitian ini. Sebagai kontrol positif dipakai isolat yang mengandung bahan aktif B. thuringiensis subsp. kurstaki HD-7 berasal dari produk komersial dengan nama dagang Dipel. Sebagai kontrol negatif dipakai akuades. Dua set primer digunakan dalam penelitian ini yaitu Lep1A (5 CCGGTGCTGGATTTGTGTTA 3) dan Lep1B (5 AATCCCGTATTGTACC AGCG 3) serta Lep2A (5CCGAGA AAGTCAAACATGCG) dan Lep 2B (Lep2B (5TACATGCCCTTTCAG GTTCC) (Carozzi et al. 1991). Deteksi gen cry 1A Deteksi gen cry1A dimulai dengan isolasi DNA plasmid dari masing-masing isolat dan dilakukan berdasarkan metode lisis alkali Birnboim dan Doly (Ausubel et al. 1992) yang dimodifikasi seperti

Toksisitas Isolat Bacillus thuringiensis yang Mengandung Gen cry

tercantum dalam Bahagiawati et al. (2002). Setelah itu dilaksanakan analisis dengan PCR seperti tercantum pada Bahagiawati et al. (2003). Uji toksisitas. Pengujian toksisitas dilaksanakan dengan memakai serangga O. furnacalis yang diperbanyak pada makanan buatan. Pembuatan makanan buatan, dan cara memperbanyak serangganya dapat dilihat pada Bahagiawati et al. (2003). Uji toksisitas isolat B. thuringinesis terhadap larva O. furnacalis mengikuti Bahagiawati et al. (2003) dengan modifikasi sebagai berikut. Sebanyak 1 ml suspensi B. thuringiensis dari masing-masing perlakuan diencerkan dengan 9 ml air suling steril, lalu 1 ml suspensi bakteri yang telah diencerkan tersebut dicampurkan ke dalam 9 ml makanan buatan. Makanan buatan yang telah dicampur suspensi bakteri tersebut dimasukkan ke dalam cawan petri berukuran 50 mm x 9 mm. Setiap cawan petri berisi 2500 l makanan buatan yang terbagi lagi menjadi 5 bagian, masingmasing 500 l. Pembagian menjadi 5 bagian ini hanya untuk memudahkan pengamatan. Setelah makanan buatan tersebut membeku, permukaan makanan dilukai dengan tusuk gigi steril untuk memudahkan larva memakan dan hidup dalam makanan buatan tersebut. Sepuluh ekor larva instar I dimasukkan ke dalam setiap cawan petri, masing-masing bagian makanan diinokulasi 2 ekor larva. Penghitungkan persentase kamatian larva dilakukan pada hari ke-6 setelah inokulasi berdasarkan Abbot (1925). Selain itu, diamati juga berat dan panjang tubuh

larva yang hidup pada hari yang sama. Setiap cawan mewakili satu ulangan, dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 ulangan dan data diolah dengan menggunakan program komputer statistical product and service solutions (SPSS) base 10.0 for windows. Ada tidaknya perbedaan antara data persentase kematian, berat, dan panjang tubuh larva dari setiap perlakuan diuji dengan uji statistika Kruskal-Wallis. Jika terdapat perbedaan antara rerata perlakuan yang diuji, analisis dilanjutkan dengan uji jarak ganda Duncan untuk membandingkan semua pasangan rataan perlakuan. Rerata persentase kematian, berat tubuh dan panjang tubuh larva yang hidup kemudian dianalisis dengan analisis regresi linier. HASIL Penyaringan isolat-isolat mengandung gen cry1A dengan PCR Dari 59 isolat B. thuringiensis lokal yang disaring, hanya 6 isolat yang memperlihatkan reaksi positif dimana menunjukkan dua pita DNA, yang satu berukuran kira-kira 490 pb yaitu produk dari Lep1A-Lep1B dan yang kedua berukuran 986 pb yang merupakan produk Lep2A-Lep2B (Gambar 1). Pada penelitian ini isolat kontrol positf (Dipel) juga memperlihatkan keberadaan kedua pita DNA tersebut, sedangkan kontrol negatif tidak memperlihatkan adanya pita DNA.

99

Bahagiawati, Rizjaani, & Sibuea

Uji toksisitas isolat terhadap O. furnacalis Data uji toksisitas terhadap larva O. furnacalis pada hari ke-6 setelah infestasi pada seluruh perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil uji KriskalWallis terhadap semua parameter me-

nunjukkan beda antara perlakuan. Analisis data persentase kematian, panjang dan berat tubuh larva yang masih hidup diuji dengan jarak ganda Duncan untuk membandingkan semua pasangan perlakuan dan menunjukkan seluruh isolat memiliki toksisitas yang tidak

Gambar 1. Produk PCR dari beberapa isolat Bt lokal Jtg2151(1), Cib243(2), Cib551(3), Lam752(4), Kontrol positip, dipel (+), kontrol negatif akuades (-), Lam762(5) dan C522(6). Tabel 1. Toksisitas beberapa isolat Bt lokal yang mengandung gen cry1A terhadap hama O. furnacalis

Kode isolat Rerata kematian (%) Kontrol negatif (akuades) Kontrol positif (Dipel) Jtg 2151 Cib 243 Cib 551 Lam 752 Lam 762 C 522 0,00a 83,33b 96,30b 96,67b 83,33b 96,67b 96,67b 86,67b

Uji Duncan* Rerata berat Rerata panjang tubuh larva tubuh larva yang hidup yang hidup (mg) (mm) 5,90b (30) 13,49b (30) 0,133a (5) 2,91a (5) a 0,23 (2) 1,07a (2) a 0,03 (1) 0,77a (1) 0,77a (5) 2,613a (5) a 0,003 (1) 1,03a (1) a 0,20 (1) 0,94a (1) a 0,04 (4) 0,78a (4)

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam setiap kolom tidak berbeda nyata dengan uji jarak ganda Duncan pada taraf kepercayaan = 0,05, Angka dalam kurung adalah jumlah total serangga yang hidup per perlakuan

100

Toksisitas Isolat Bacillus thuringiensis yang Mengandung Gen cry

berbeda nyata dengan kontrol positif Dipel, namun berbeda nyata dengan kontrol negatif akuades. Pada pegujian toksisitas ini tidak seekorpun dari larva instar I mati pada perlakuan kontrol negatif, yaitu makanan buatan yang tidak mengandung suspensi Bt. Keseluruh larva yang diinokulasikan yaitu berjumlah 30 larva tetap hidup pada waktu dilakukan pengamatan. Berat tubuh larva-larva tersebut mencapai ratarata 5,9 mg dan panjang tubuh 13,5 mm. Di samping itu juga terlihat aktivitas makan dari larva-larva itu dimana ditandai dengan banyak terdapat kotoran serangga disekitar makanan. Oleh sebab itu larva-larva tersebut mempunyai bobot badan dan panjang tubuh yang sangat berat dan panjang dibandingkan dengan larva-larva yang tetap bertahan hidup pada makanan buatan yang mengandung Bt.

Pada kontrol positif (Dipel), kematian serangga mencapai 83,3%, dari 30 larva yang diinokulasikan hanya 5 larva yang dapat bertahan hidup pada hari ke6 setelah inokulasi. Larva-larva yang masih hidup ini terlihat lemah, dengan berat tubuh yang relatif kecil yaitu 0,13 mg dan panjang tubuh hanya 2,9 mm. Larva-larva yang masih hidup pada makanan yang mengandung isolat uji baik berat tubuh dan panjang tubuh tidak berbeda nyata dengan larva pada kontrol positif dimana berkisar antara 0,04-0,7 mg untuk berat tubuh dan 0,7 mm-2,6 mm untuk panjang tubuh. Analisis regresi linier (Gambar 3) menunjukkan adanya hubungan erat antara persentase kematian dan berat tubuh larva (R2 = 0,97), demikian juga dengan panjang tubuh larva (R2 = 0,98). Kedua analisis di atas menunjukkan hubungan yang terbalik; semakin besar

A
7 6
b erat tu b u h (mg )

B
16 panjang tubuh (m m ) 14 12 10 8 6 4 2 0 y = -0.1311x + 13.409 R2 = 0.9848

5 4 3 2 1 0 -1 0 20 40 60

y = -0.0609x + 5.7726 R = 0.9726


2

80

100

120

20

40

60 kematian (%)

80

100

120

kematian (%)

16 panjang tubuh (mm) 14 12 10 8 6 4 2 0 0 1 2 3 4 5 6 7


berat tubuh (mg)

y = 2.1137x + 1.0133 R2 = 0.9753

Gambar 3. Regresi linier antara: A. persentase kematian dan berat tubuh, B. persentase kematian dan panjang tubuh, C. berat tubuh dan panjang tubuh larva

101

Bahagiawati, Rizjaani, & Sibuea

persentase kematian larva maka semakin kecil berat tubuh larva dan panjang tubuh larva yang masih hidup. Lain halnya regresi linier antara berat tubuh dan panjang tubuh larva yang hidup dimana menunjukkan hubungan yang erat (R2= 0,97) berbanding lurus, semakin berat tubuh larva maka semakin panjang tubuh larva yang masih hidup pada hari ke-6 setelah inokulasi. PEMBAHASAN Seperti yang telah dikemukakan, adanya kekawatiran akan pengaruh negatif tentang pemakaian agrokimia telah meningkatkan perhatian masarakat kepada bioinsektisida sebagai alternatif teknologi untuk menurunkan populasi hama. Salah satu bioinsektisida yang banyak digunakan adalah bioinsektisida yang berbahan aktif Bt. Produksi bioinsektisida Bt ini telah dimulai sejak tahun 1950-an dan sangat berkembang pada tahun-tahun berikutnya, misalnya pada tahun 1980 investasi industri bioinsektisida ini mencapai $24 juta US dolar dan menjadi $107 juta US dolar di tahun 1989. Kenaikan investasi industri Bt ini diperkirakan 11% per tahun, dimana pada tahun 1999 mencapai $300 juta. Bioinsektisida Bt umumnya dikomersilkan dalam bentuk spora berbentuk tepung. Potensi toksisitasnya berlipat dibandingkan dengan pestisida misalnya 300 kali dibandingkan dengan sintetik pyrethroid (Feitelson et al. 1992). Pada awal tahun1995/1996 mulai berkembang bentuk lain dari insektisida Bt ini, yaitu diproduksi dengan sendirinya oleh jaringan tanaman transgenik. Hal ini 102

dimungkinkan oleh berkembangnya teknologi rekayasa genetika dimana gen cry yang terdapat di dalam bakteri Bt kemudian diintroduksi ke jaringan tanaman sehingga tanaman tersebut dapat memproduksi protein yang bersifat mematikan serangga ini. Perkembangan tanaman transgenik ini juga pesat yaitu dimulai hanya meliputi 1,7 ha pada tahun 1996 yang hanya ditanam di 4 negara berkembang menjadi 125 juta ha yang tersebar di 25 negara pada tahun 2007 (James 2008). Beberapa penelitian isolasi bakteri Bt dengan memakai teknik PCR telah dilakukan di Indonesia (Listanto et al 1997; Santoso et al. 2000) namun baru pada tahap penentuan keberadaan gen cry1A saja, belum pada tahap bioasai toksisitasnya terhadap hama target. Penelitian yang lebih lengkap yaitu identifikasi gen cry1A yang diikuti oleh bioasai mulai dilakukan pada tahun 2003 (Bahagiawati et al. 2003) dimana dilakukan bioasai terhadap hama utama jagung yaitu O. furnacalis, namun pada penelitian ini identifikasi gen cry1A dilakukan hanya memakai sepasang primer yaitu Lep 1A-Lep1B. Pada waktu Santoso et al. 2000 melaksanakan penelitian identifikasi gen cry1A pada 33 isolat Bt lokal, mereka memakai 2 pasang primer, masing-masing Lep1A-Lep1B dan Lep2A- Lep2B. Proses PCR dari tiap pasang primer ini dilakukan satu per satu pada PCR running yang berbeda. Pada penelitian kami sekarang ini PCR dilakukan dengan mempergunakan 2 set primer di atas sekaligus dalam satu kali running. Hasil penelitian kami memperlihatkan hasil yang lebih akurat

Toksisitas Isolat Bacillus thuringiensis yang Mengandung Gen cry

dimana ditemukan hanya 2 pita DNA spesifik untuk cry1A. Pada hasil penelitian Santoso et al. (2000) ditemukan banyak pita DNA yang tidak spesifik untuk tiap set primer. Dengan demikian penelitian kami ini lebih memberikan kemajuan dari dahulu karena dapat menghemat waktu dan biaya serta hasilnya lebih akurat karena hanya pita spesifik saja yang didapatkan dari hasil visualisasi hasil PCR dengan gel elektroforesis. Pasangan primer Lep1ALep1B dan Lep2A dan Lep2B mengamplifikasi segmen DNA gen cry1A pada posisi nukleotida yang berlainan, yaitu Lep1A-Lep1B pada posisi 310-800 dan Lep2A-Lep2B pada posisi 2158-3066. Suatu isolat Bt diduga kuat mengandung gen cry1A apabila kedua pasang primer menghasilkan produk PCR sebesar 490 dan 908/986 (Carozzi et al. 1991). Proses isolasi dan identifikasi bakteri Bt masih terus berlanjut sampai kini. Pada penelitian kami didapatkan 6 isolat Bt lokal yang berpotensi membunuh serangga O furnacalis. Toksisitas isolatisolat tersebut disebabkan oleh keberadaan gen cry1A yang mengkode protoksin yang spesifik bagi serangga ordo Lepidoptera (Hfte & Whiteley 1989; Ceron et al. 1994). Larva yang memakan toksin Bt, setelah beberapa hari tampak kecil, gerakannya lambat, dan aktifitas makan menurun. Larva yang mati berwarna hitam/gelap dan tubuhnya mudah hancur. Kematian larva terjadi karena adanya aktivitas protein kristal Cry1A pada usus bagian tengah larva. Protein kristal yang dimakan larva larut bersifat protoksi dan di dalam usus tengah

serangga berubah menjadi toksin. Kemudian toksin tersebut akan berikatan (binding) dengan reseptor spesifik pada sel-sel epitel usus bagian tengah ini dan membentuk pori-pori pada membran sel yang menyebabkan tekanan osmosis yang tinggi di dalam sel dan selanjutnya menyebabkan sel-sel epitelium lisis/pecah dan pada akhirnya kematian larva (Schnepf et al. 1998). Pada penelitian ini ditemukan 6 isolat Bt lokal yang bersifat toksik terhadap O. furnacalis. Empat isolat yaitu Jtg2151, Cib 243, Lam752 dan Lam762 toksisitasnya melebihi toksisitas Dipel, yaitu bioinsektisida Bt yang telah dikomersilkan. Toksin Bt pada isolat yang diuji ini tidak hanya menyebabkan kematian larva, tetapi juga menurunkan berat tubuh dan panjang tubuh larva yang berhasil tetap hidup. Hal ini jelas menunjukkan bahwa toksin Bt tersebut sangat mengganggu metabolisme serangga sehingga mengakibatkan fisik serangga yang tidak sehat pula dan berakhir dengan kematian. KESIMPULAN Dari 59 isolat yang diuji, 6 isolat menunjukkan reaksi positif PCR dengan menghasilkan dua pita DNA yang berukuran masing-msing 490 kb dan 986 kb. Berdasarkan hasil uji toksisitas isolat B. thuringiensis terhadap larva instar I dapat disimpulkan bahwa semua isolat B. thuringiensis yang diuji menunjukkan toksisitas yang tinggi terhadap larva instar I O. furnacalis.

103

Bahagiawati, Rizjaani, & Sibuea

DAFTAR PUSTAKA Abbot, WS. 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. J. Econ Ento.. 18: 265-267. Ausubel, FM., R. Brent, RE. Kingston, DD. Moore, JG. Seidman, J.A. Smith & K. Struhl. 1992. Short protocols in molecular biology: A compendium of methods from current protocols in molecular biology. Second Ed. New York. John Willey. Bahagiawati. 2001. Managemen resistensi serangga hama pada pertanaman tanaman transgenik Bt. Buletin Agrobio: 4 (1): 1-8. Bahagiawati & Amirhusin. 2002. Penggunaan Bacillus thuringiensis sebagai bio- insektisida. Bul. Agrobio 5(1): 21-28 Bahagiawati, D. Setyawan & Sutrisno. 2002. Metode PCR sederhana untuk menapis isolat Bacillus thuringiensis yang membawa gen cry V. J. Mikro Indo.7(2): 35-38. Bahagiawati, H. Rijzaani, & N. Riani Simanjuntak. 2003. Deteksi gen cry 1A Bacillus thuringiensis dengan teknik PCR dan toksisitas-nya terhadap Ostrinia furnacalis Guenee. J. Mikro. Indo. 8(1): 2730. Bent, A F. & IC. Yu, 1999. Applications of Molecular Biology to Plant Disease and Insect Resistance. Advances in Agronomy 66:251298. Carozzi, NB., VC. Kramer, GW. Warren, S. Evola & M.G. Koziei. 1991. Prediction of insecticidal activity of 104

Bacillus thuringiensis strain by Polymerase Chain Reaction product profiles. Appl. Envi. Microbiol. 57(11): 3057-3061. Ceron, J., L. Covarrubias, R. Quintero, A. Ortiz, M. Ortiz, E. Aranda, L. Lina & A. Bravo. 1994. PCR analysis of the cry1 insecticidal crystal family genes from Bacillus thuringiensis. Appl. Envi.. Microbiol. 60: 353-356. Feitelson, JS., J. Payne, & L. Kim. 1992. Bacillus thuringiensis: insects and Beyond. Bio/Technology 10: 271275 Hfte, H. & HR. Whiteley. 1989. Insecticidal crystal protein of Bacillus thuringiensis. Micro. Rev. 53(2): 242-255. James, C. 2008. Global Review of Commercial Transgenic Crops: 2008. ISAAA Briefs. No. 39. ISAAA, Ithaca, N.Y. Kalshoven, LGE. 1981. Pest of crops in Indonesia. Terjemahan dari De plagen van de cultuurgewassen in Indonesie, oleh Van der Laan, P.A. PT Ichtiar Baru-Van Hove, Jakarta. Listanto, E., Sutrisno, S. Brotonegoro, B. Santoso, B. Soegiarto & MS. Sarjono. 1997. Deteksi isolat Bacillus thuringiensis Indonesia yang mengandung gen cry1A(a), cry1A(b), cry 1A(c) dengan PCR. Pros. Sem. Perhim. Biotek. Perta. Indone. Surabaya 12-14 Maret 1997. Oka, IN. & Bahagiawati AH. 1983. Wereng coklat dan pengendaliannya dalam prespektif. Masalah dan

Toksisitas Isolat Bacillus thuringiensis yang Mengandung Gen cry

Hasil penelitian Padi. Risalah lokakarya penelitian padi, Cibogo, Bogor, 22-24 Maret 1983. Oka IN. & Bahagiawati AH. 1984. Pengendalian terpadu hama padi. Padi-Buku III: 653-680. Oka, IN. & Soehardjan. 1997. Tantangan entomologi pada abad XXI. Prosiding seminar nasional Tantangan entomologi pada abad ke XXI. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor. Santoso, TJ., E. Listanto, Rodiyah, D. Damayanti & Sutrisno. 2000.

Identifikasi isolat Bacillus thuringiensis Indonesia yang mengandung gen cry1A menggunakan teknik PCR. Jurnal Bioteknologi Pertanian 5(2): 53-60. Schnepf, E., N. Crickmore, J. van Rie, D. Lereclus, J. Baum, J. Feitelson, D.R. Zeigler & D.H. Dean. 1998. Bacillus thuringiensis and its insecticidal crystal proteins. Mol. Biol. Rev. 63(3):775-806. Smith, RA. & GA. Couche. 1991. The phylloplane as a source of Bacillus thuringiensis variants. Appl. Environ. Microbiol. 57: 311-315.

Memasukkan: April 2009 Diterima : September 2009

105

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1):107-117 (2009)

Pengaruh Inokulasi Bakteri Terhadap Pertumbuhan Awal Jarak Pagar (Jatropha curcas L.)
Sri Widawati & Maman Rahmansyah
Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta-Bogor km 46. E-mail: widadomon@yahoo.com ABSTRACT Bacterial inoculants affect the early growth of Jatropha (Jatropha curcas L). Genera of Azotobacter, Bacillus, Chromobacterium, Citrobacter, Nitrosomonas, Rhizobium, and Spaerotillus natans were soil bacterial isolates. The soil was collected from numerous places around Pontianak, West Kalimantan. Those isolates were used as inoculants, and formulated to single and mixed bacterial inoculants, then used to stimulate the early growth of jatropha seedling in 15 weeks at greenhouse condition. Bacterial inoculations caused better growth performance compared to its control as pure soil garden medium without inoculations, and neither to bare soil dresses with compost. In the presence of inoculants, plant height was accelerated quickly while other inoculants affected to stalk diameter development. Daily growth performance of jatropha peaked in 8 and 11 weeks after inoculation of Citrobacter and Nitrosomonas bacterial component were used as single inoculant, respectively. The increasing of shoot biomass accumulation was three times as caused by single inoculants (Bacillus sp), and the highest one up to four times of biomass weight caused by a mixture inoculants as consortium of Azotobacter, Bacillus, and Nitrosomonas spp. That selective inoculant has opportunity to be used for jatropha farming, and this basic study is meaningful to jatropa cultivation for standing to bio-fuel resources. Keywords: Jatropha curcas L., inoculants, Azotobacter, Bacillus, Chromobacterium, Citrobacter, Nitrosomonas, Rhizobium , Spaerotillus natans. Kata kunci: Jatropha curcas L., inoculants, Azotobacter, Bacillus, Chromobacterium, Citrobacter, Nitrosomonas, Rhizobium , Spaerotillus natans.

PENDAHULUAN Semakin menipisnya deposit bahan bakar fosil di dalam perut bumi mengakibatkan terpicunya penggalian sumber energi alternatif. Pemanfaatan minyak nabati sebagai sumber bahan bakar menjadi salah satu pilihan pengganti. Produksi minyak nabati diawali dengan aktivitas produksi biomassa yang memerlukan dukungan

sistem agronomi yang efisien. Pemanfaatan pupuk hayati (biofertilizer) secara ekologis menguntungkan dalam menekan pencemaran tanah dan air, maupun pencemaran udara akibat emisi nitrogen oksida karena penggunaan pupuk kimia yang tidak tepat takaran. Biji jarak pagar mengandung minyak yang bisa dijadikan bahan baku minyak bakar (bio-diesel) penggerak mesin. Kandungan minyak mencapai 40% 107

Widawati & Rahmansyah

sebagai trigliserida berviskositas sedang, atau setara dengan 1,6 metriks ton minyak jarak hasil produksi tanaman per hektar. Capaian hasil masih berpeluang ditingkatkan melalui pemupukan dengan memanfaatkan mikroba simbion maupun nonsimbion sebagai pelengkap komponen pada pupuk hayati (Elefan 2008), yang secara agronomi cukup menguntungkan baik terhadap segi ekonomi maupun lingkungan (Wani et al. 2006). Bakteri Azotobacter chroococcum selain sebagai bakteri penambat nitrogen yang hidup bebas di tanah (free living microorganism) juga mampu menghasilkan fitohormon serupa asam giberelin dan indol asetat yang bisa meningkatkan pertumbuhan, serapan hara, dan efisiensi fotosintesa pada tanaman sehingga mampu meningkatkan produksi dan kualitas biomassa (Maheswari et al. 1991; Lewis et al. 1995; Kandeel et al. 2002; Badran & Safwat 2004; ElGhadban et al. 2006). Perlakuan bakteri Azotobacter chroococcum, Azospirillum liboferum, dan Bacillus megatherium terhadap tanaman Foeniculum vulgare Mill. yang diinokulasikan secara tunggal maupun gabungan mampu meningkatkan bobot biomassa dan kandungan minyak atsiri (Mahfouz & Sharaf-Eldin 2007). Pemberian inokulan Bacillus megatherium dapat meningkatkan 10,9% biomassa tanaman kacang akibat meningkatnya ketersediaan fosfor di tanah yang dapat diserap tumbuhan (Yousry et al 1978). Inokulan bakteri Bacillus pumilus berpengaruh terhadap pertumbuhan bagian atas tanaman (shoot), sedangkan inokulasi Bacillus polymyxa mempengaruhi pertumbuhan 108

akar jarak pagar sampai umur 42 hari setelah perkecambahan (Desai et al. 2007). Pembuatan pupuk hayati memerlukan ketersediaan isolat mikroba yang dapat direproduksi dan teruji atas fungsi metabolik yang dimilikinya. Pusat koleksi mikroba Bidang Mikrobiologi Puslit Biologi LIPI menyimpan koleksi yang isolatnya diperoleh dari tanah yang berasal dari berbagai daerah di Pontianak, Kalimantan Barat. Bakteri yang berhasil diisolasi adalah Azotobacter, Bacillus, Chromobacterium, Citrobacter, Nitrosomonas, Rhizobium spp. dan Spaerotillus natans. Isolat tersebut digunakan untuk membuat inokulan dan diujikan kepada tanaman jarak pagar. Tujuannya adalah untuk mendapatkan formula isolat terbaik untuk menunjang pertumbuhan jarak pagar. Evaluasi efek pemberian inokulan ditelaah melalui produksi biomassa dan percepatan tumbuh tanaman yang ditumbuhkan secara terkontrol di dalam rumah kaca sampai umur 15 minggu setelah perkecambahan. BAHAN DAN CARA KERJA 1. Penyediaan benih dan isolat untuk bahan inokulan Biji jarak pagar dipilih yang ukurannya seragam untuk digunakan sebagai bibit. Bakteri diperoleh dari koleksi mikroba Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, sebagai isolat bakteri tanah dari beberapa daerah asal Pontianak. Setiap jenis bakteri ditumbuhkan dalam 100 ml media cair di dalam botol yang telah disterilkan

Pengaruh Inokulasi Bakteri TerhadapPertumbuhan

sebelumnya dengan autoklaf 121 OC selama 15 menit. Media tadi mengandung: 1 g glukosa; 0,5 g Ca3PO4; 0,05 g (NH4)2SO4; 0,02 g KCl; 0,01 g MgSO4 7H20; 0,001 g MnSO4 H2O; 0,05 g yeast ekstrak dan 0,001 g FeCl 3 .6H 2 O, kemudian dikondisikan pada pH 7, diinkubasi selama 7 hari, digoyang pada kecepatan 150 rotasi per menit, dan setelah proses inkubasi kemudian dihitung populasinya dengan metode plate count. Populasi bakteri di dalam 100 ml inokulan cair masing-masing terhitung 4x10 7 Azotobacter:5x10 7 Bacillus, 3x10 7 Chromobacterium, 1,5x107 Citrobacter, 1,8x107 Nitrosomonas, 1,2x107 Rhizobium, dan 2,3x107 Spaerotillus natans sebagai BahanInokulan (B-I). Formula inokulan adalah perlakuan yang ditentukan dengan inokulan bakteri-satu-genus (monogenera), atau sebagai inokulancampuran beberapa-genus (multi-genera), yang masing-masing diambilkan 10 ml dari BI, dan kemudian diformulasikan seperti pada Tabel 1. Mempersiapkan inokulan P-1 sebanyak 30 ml sebagai inokulancampuran-beberapa-genus adalah merupakan campuran beberapa B-I, masing-masing sebanyak seperempatnya atau 7,5 ml sediaan dari inokulan Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, dan Nitrosomonas spp. yang diisolasi dari tanah asal Rasau Jaya, Pontianak. Demikian pula untuk penyiapan inokulan campuran yang lainnya yang dicampurkan masing-masing menurut jumlah dan asal tanahnya sehingga diperoleh 30 ml inokulan.

Untuk mempersiapkan inokulanbakteri-satu-genus sebagai inokulan P2 adalah mencampurkan B-I dari Nitrosomonas spp. yang diisolasi dari tanah asal Rasau Jaya, Mandor, Karoho, Sambas, Singkawang, dan Mempawah masing-masing sebanyak 5 ml sehingga jumlahnya mencapai 30 ml inokulan P-2. Demikian pula cara yang dilakukan untuk mempersiapkan inokulan tunggal dari genus Azotobacter, Citrobacter, dan Bacillus spp. sebagai inokulan P-3, P16, dan P-17. Dalam mengevaluasi pengaruh inokulan-bakteri yang diformulasikan menjadi 9 perlakuaan inokulan-campuran, dan 4 macam perlakukan inokulansejenis maka digunakan kontrol pupuk hayati lainnya sebagai pembanding. Kontrol tersebut terdiri dari perlakuan kompos-plus-mikroba (P-6), perlakuan kompos sekam ayam (P-7), perlakuan kompos tanpa mikroba (P-8), dan perlakuan P-9 sebagai media tanah kebun tanpa diberi penambahan inokulan maupun kompos. 2. Penanaman jarak pagar dan pengamatan pertumbuhannya Sebanyak 51 pot plastik (untuk 13 macam perlakuan dan 4 macam kontrolnya, masing-masing 3 ulangan) diisi dengan 3 kg tanah kebun (komposisi seperti pada Tabel 1), kemudian ditempatkan di dalam rumah kaca. Biji dikecambahkan dengan membenamkannya di dalam masing-masing pot sebanyak 3 biji. Setiap biji di dalam pot disiram dengan masing-masing 10 ml inokulan sesuai perlakuan. Satu dari tiga kecambah yang terbaik pada setiap pot 109

Widawati & Rahmansyah

Tabel 1. Inokulan bakteri sejenis dan banyak jenis yang diinokulasikan ke media tumbuh jarak pagar, beserta kontrolnya. Notasi Kode Perlakuan pada tabel ini melengkapi keterangan Gambar 2 (P-1 sampai P-17)

Kode Perlakuan

Bakteri yang digunakan untuk bahan inokulan dan asal isolatnya Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, dan Nitrosomonas spp. (isolat tanah Rasau Jaya) Nitrosomonas sp. Azotobacter sp. Rhizobium sp (isolat tanah Ketapang) Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, Nitrosomonas, dan Rhizobium spp. kontrol 1 (tanpa inokulan) kontrol 2 (tanpa inokulan) kontrol 3 (tanpa inokulan) kontrol 4 (tanpa inokulan) Azotobacter, Bacillus, dan Nitrosomonas spp. (isolat tanah Mandor) Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, dan Nitrosomonas spp. (isolat tanah Pantai Singkawang) Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, Nitrosomonas spp., dan Spaerotillus natans (isolat tanah Mempawah) Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, dan Nitrosomonas spp. (isolat tanah Karoho) Azotobacter, Bacillus, Chromobacterium, dan Nitrosomonas spp. (isolat tanah Sambas) Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, dan Nitrosomonas spp. (isolat tanah Singkawang) Citrobacter sp. Bacillus sp.

Komposisi Media tumbuh jarak pagar (3 kg) 3 kg tanah & 30 ml inokulan banyak jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan satu jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan satu jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan satu jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan banyak jenis Tanah & Kompos Plus (3:1) Tanah & Sekam Ayam (3 : 1) Tanah & Kompos (3 : 1) 3 kg tanah 3 kg tanah & 30 ml inokulan banyak jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan banyak jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan banyak jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan banyak jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan banyak jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan banyak jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan satu jenis 3 kg tanah & 30 ml inokulan satu jenis

Keterangan

P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 P-7 P-8 P-9 P-10 P-11

P-I P-D P-E P-F -

Perlakuan-1 Perlakuan-2 Perlakuan-I Perlakuan-3 Perlakuan-4 Perlakuan-5 Perlakuan-6 Perlakuan-7/ Perlakuan-D Perlakuan-8/ Perlakuan-E Perlakuan-9/ Perlakuan-F Perlakuan-10 Perlakuan-11

P-12 P-13 P-14

P-A P-B

Perlakuan-12 Perlakuan-13/ Perlakuan-A Perlakuan-14/ Perlakuan-B Perlakuan-15/ Perlakuan-C Perlakuan-16/ Perlakuan-G Perlakuan-17/ Perlakuan-H

P-15 P-16 P-17

P-C P-G P-H

110

Pengaruh Inokulasi Bakteri TerhadapPertumbuhan

dibiarkan tumbuh, sementara dua kecambah lainnya dipangkas pada umur 3 minggu setelah tanam (mst). Pengamatan tinggi dan diameter batang dilakukan pada tanaman berumur 5, 8, 11, dan 14 mst (Gambar 1). Pengamatan bobot biomassa dilakukan pada tanaman berumur 15 mst. Data pada tabel dan gambar adalah nilai rata-rata 3 ulangan dan dianalisis dengan StatView SAS Version 5.0.1. HASIL Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan tinggi tanaman terjadi secara cepat (Gambar 2) pada jarak pagar yang mendapat perlakuan P-2, P3, P-4, P-6, P-12, P-13, P-14, P-15, P16, dan P-17, yang umumnya berukuran di atas nilai tengah (center). Pemekaran diameter batang yang terjadi di atas ratarata terjadi pada tanaman yang mendapat

perlakuan P-1, P-2, P-7, P-10, P-12, P13, P-15, P-16, P-14, dan P-17. Perlakuan P-1 sebagai inoulan campuran 4 jenis bakteri lebih menstimulasi pertambahan diameter batang, sedangkan pertumbuhan ke arah panjang batang menjadi kurang berhasil. Efek perlakuan terjadi sebaliknya karena perlakuan P-2 yang menghasilkan pertumbuhan tinggi tanaman menjadi lebih cepat dibanding diameternya. Percepatan pertumbuhan tinggi tanaman pada perlakuan P-2 terjadi karena adanya rangsangan faktor tumbuh, yang pada media tumbuhnya terdapat bakteri Nitrosomonas sp. Keseimbangan pertumbuhan tinggi dan diameter terjadi pada perlakuan P-3, P16, dan P-17 untuk perlakuan inokulan satu jenis, sedangkan pada inokulan banyak jenis terjadi pada perlakuan P12, P-13, dan P-15. Pertumbuhan awal jarak pagar yang terbaik sampai umur tanaman 15 mst

90 80 70 60 50 40 30 24
22 20 18 16 14 12 1 5 13 17 9 10 LCL = 13.377 Center = 17.804

UCL = 79.95

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Center = 65.627

Tinggi tanaman (cm)


LCL = 51.305 1 5 13 17 9
UCL = 22.231

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 1 12 13 14 15 16 17

Diameter (mm)

Gambar 1. Panjang batang dan diameternya digunakan sebagai parameter pertumbuhan jarak pagar sampai 14 mst (foto kiri). Tanaman yang tidak diberi inokulan pada no. 1, 2, dan 3 terbelakang pertumbuhannya dibanding dengan tanaman yang medianya mendapat inokulan bakteri seperti pada tanaman no 4 dan 5 (foto kanan)

111

Widawati & Rahmansyah

akibat pemberian pupuk hayati terjadi karena P-10, P-A, dan P-C (Tabel 2). Penggunaan ketiga formula inokulan tersebut menjadikan bobot biomassa tanaman berbeda sangat nyata sampai empat kali lebih besar dari kontrolnya (P9) yang tumbuh di tanah tanpa pemberian inokulan, kompos, atau bahan organik lainnya. Penggunaan inokulan banyak jenis berpengaruh lebih dominan bila dibandingkan dengan inokulan sejenis. Penggunaan inokulan banyak jenis membuka peluang terjadinya sinergi di antara jenis, sehingga menghasilkan pertumbuhan yang optimal kepada tanaman jarak pagar. Sekalipun pada hasil yang lain, inokulan sejenis juga ada yang mampu mengakumulasi biomassa yang tinggi seperti karena penggunaan inokulan Citrobacter spp. dan Bacillus spp. Hasil akumulasi biomassa tertinggi akibat perlakuan inokulan banyak jenis terjadi pada perlakuan P-A, P-B, dan PC bila dibandingkan terhadap P-E, dan P-F sebagai kontrolnya; sedangkan akibat inokulan bakteri sejenis terjadi pada perlakuan P-G, P-H, dan P-I (Gambar 3). Nilai bobot biomassa segar terhadap bobot biomassa kering mendapatkan angka korelasi yang signifikan (r = 0.95), yang diasumsikan bahwa penyusutan kadar air bernilai sebanding pada masingmasing perlakuan, atau terjadinya penambahan biomasa secara signifikan karena perlakuan pupuk hayati. Perlakuan P-D sebagai media yang mengandung bahan organik dari kompos sekam ayam menghasilkan pertumbuhan yang berefek sama seperti karena perlakuan inokulan bakteri sejenis 112

maupun banyak jenis. Jarak pagar sebagai tanaman yang secara alami sintas di lahan marginal, apabila memperoleh tambahan bahan organik dan ketersediaan nitrogen yang cukup seperti yang terkandung pada kompos sekam ayam, akibatnya dapat memperbaiki serapan air, memperkecil erosi, memperbaiki struktur akar, dan memperlancar serapan hara oleh tanaman (Ogunwole et al. 2008) Percepatan tumbuh tanaman (cm/ hari) akibat pemberian inokulan berbeda nyata terhadap kontrolnya. Pertumbuhan tercepat terjadi ketika tanaman berumur antara 5 sampai 8 mst, baik akibat perlakuan inokulan bakteri sejenis maupun banyak jenis. Percepatan tumbuh semakin menurun pada pertumbuhan 11 sampai 14 mst, bahkan hampir terhenti pertumbuhannya pada tanaman kontrol yang tumbuh pada media tanah tanpa pemberian bahan organik atau kompos. Percepatan tumbuh masih meningkat antara 8 sampai 11 mst karena perlakuan P-G sebagai akibat perlakuan inokulan sejenis Citrobacter sp., namun kemudian menurun pada pertumbuhan 11 sampai 14 mst (Gambar 4). Efek percepatan tumbuh pada diameter batang tidak menghasilkan angka yang signifikan untuk dapat diperbandingkan.

PEMBAHASAN
Memperhatikan telaahan Ranjard dan Richaume (2001), yang menyatakan bahwa persebaran bakteri pada lapisan kompartemen tanah secara kualitas dan kuantitas dipengaruhi oleh keragaman

Pengaruh Inokulasi Bakteri TerhadapPertumbuhan

UCL = 33.103 32

10 UCL = 9.615 9

28 Center = 26.295 24

8 Center = 7.637 7 6

20

LCL = 5.66
LCL = 19.486

5 4

13

17

16

13

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
60 55 50 45 UCL = 56.314

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
15 14 13

17

9 UCL = 14.344 Center = 11.637 LCL = 8.93 UCL = 19.52 Center = 15.647 LCL = 11.774 UCL = 22.231 Center = 17.804 LCL = 13.377

(mm) tanam an

Center = 44.529

12 11 10 9 13 1 5 17 9 9 9 8

(cm) tanaman

40 35 LCL = 32.745 30 1 10 11 12 13 14 15 16 17 2 3 4 5 6 7 8 9 25

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
80

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Diameter

Tinggi

UCL = 73.126 70

20 18 16

60

Center = 59.931

50 LCL = 46.737 40

14 12 10

13

17

30

17

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
90 80 70 Center = 65.627 60 50 40 30 LCL = 51.305 UCL = 79.95

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
24 22 20 18 16 14 12 1 13 17 5 10

13

17

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Per l ak u a n

Per l ak u a n

Gambar 2. Pengaruh perlakuan terhadap tinggi (gambar kiri) dan diameter (gambar kanan) yang diamati pada tanaman umur 5, 8, 11, dan 14 mst. Tinggi dan diameter tanaman yang bernilai di atas rata-rata (center) adalah gambaran pertumbuhan yang pesat. Nilai untuk perlakuan P-8 dan P-9 (kontrol) berada di bawah batas kontrol nilai terendah (lower control limit = LCL). Nilai yang relatif baik terletak di antara batas kontrol nilai tertinggi (upper control limit = UCL) dan di atas nilai rata-rata. Data dianalisis dengan menggunakan StatView SAS berdasar base sigma on subgroup SDs

13

113

Widawati & Rahmansyah

Tabel 2. Perbedaan bobot segar tanaman jarak pagar umur 15 mst akibat perlakuan inokulan bakteri satu jenis dan bakteri banyak jenis dibandingkan dengan kontrolnya
Kode Perlakuan Bakteri bahan inokulan Inokulan sejenis P-2 P-3 P-4 P-16 P-17 P-I P-G P-H Nitrosomonas sp Azotobacter sp Rhizobium sp Citrobacter sp Bacillus sp 152 258 84 172 244 Inokulan banyak jenis P-1 P-5 P-10 P-11 Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, dan Nitrosomonas spp Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, Nitrosomonas, dan Rhizobium spp Azotobacter, Bacillus, dan Nitrosomonas spp Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, dan Nitrosomonas spp. Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, Nitrosomonas spp, dan Spaerotillus natans Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, dan Nitrosomonas spp. Azotobacter, Bacillus, Chromobacterium, dan Nitrosomonas spp Azotobacter, Bacillus, Citrobacter, dan Nitrosomonas spp Kontrol P-6 P-7 P-8 P-9 P-D P-E P-F - kontrol 1 (tanpa inokulan) - kontrol 2 (tanpa inokulan) - kontrol 3 (tanpa inokulan) - kontrol 4 (tanpa inokulan) 162 210 102 86 180 172 64 60 200 194 88 60 181 192 85 57 BCDEFGHIJ ABCDEFG LK L 208 76 184 84 170 74 310 200 187 78 249 143 ABCDEFGH LK A DEFGHIJKL 180 124 144 212 224 218 162 200 238 178 183 181 143 207 215 ABCDEFGHI BCDEFGHIJ DEFGHIJKL ABCDEF ABCDE Bobot segar (g) I II III Rataan (LSD 5%)

108 328 200 30

P-12

190 188

300

226

ABCD

P-13

P-A

272 194

274

247

AB

P-14

P-B

146 125

196

156

CDEFGHIJK

P-15

P-C

206 234

282

241

ABC

114

Pengaruh Inokulasi Bakteri TerhadapPertumbuhan

300 250 200 150

Bobot Basah

y = 1,7 x + 23,7
100 50 0 0 30 60 90 120 Bobot Kering 150 180

r2 = 0,904 Y = 23.649 + 1.722 * X; R^2 = .904

Gambar 3. Pengaruh perlakuan terhadap biomassa tanaman (1 dan 2) menghasilkan bobot yang berbeda nyata dari kontrolnya (P-E dan PF), namun masih sebanding dengan perlakuan P-D (kontrol dengan kompos plus), dan pada sisi parameter lainnya menunjukkan korelasi yang signifikan antara bobot basah terhadap bobot kering

1.20

1.20

Kecepatan tumbuh (cm/hari)

Kecepatan tumbuh (cm/hari)

1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00

1.00 0.80
A C

G H

0.60 0.40 0.20 0.00


E F

5 mst

8 mst

11 mst

14 mst

5 mst

8 mst

11 mst

14 mst

Gambar 4. Kecepatan tumbuh batang hasil pengamatan 5, 8, 11, dan 14 mst pada tanaman yang diberi inokulan satu jenis (P-G dan P-H) dan inokulan banyak jenis (P-A dan PC), yang masing-masing dibandingkan terhadap tanaman pada media tanah tanpa diinokulasi namun diberi kompos (P-E), atau tanpa kompos (P-F).

fraksi atau serpih tanah, serta ada hubungan preferensi dari bakteri terhadap lingkungan edapiknya. Oleh karena itu bakteri yang diintroduksi melalui inokulan dapat menempati kompartemen menurut fungsi ekologis masing-masing jenis bakteri sehingga tidak bergantung kepada banyak jenis, namun lebih kepada dominasi

kompatibilitas dalam mendukung pertumbuhan jarak pagar. Sokongan inokulan bakteri Bacillus pumilus dan Bacillus polymyxa yang diteliti oleh Desai et al. (2007) terhadap tanaman jarak pagar memperlihatkan fungsi yang efektif dari masing-masing inokulan bakteri terhadap pertumbuhan hijauan dan perakaran tanaman.

115

Widawati & Rahmansyah

Deore & Johnson (2008) berhasil memperbanyak tanaman jarak pagar dengan cara kultur jaringan daun, dan Shrivastava & Banerjee (2008) berhasil memperbanyak dengan sistem klonal secara in-vitro dalam memperoleh perbanyakan bibit. Namun untuk menunjang pertumbuhan bibit selanjutnya tetap memerlukan bantuan penambahan pupuk hayati, yang mana keberhasilannya terjadi seperti pada pengujian ini. Bakteri Bacillus spp yang diujikan oleh Desai et al. (2007) sebagai inkulan terhadap media tumbuh jarak pagar berefek nyata terhadap panjang tanaman, biomassa, bobot akar, luas daun, dan klorofil daun bila dibandingkan terhadap kontrolnya. Penambahan variasi bahan organik kitin terhadap inokulan dalam penggunaannya sebagai pupuk hayati memberikan efek lebih baik terhadap biomassa tumbuhan. Isolat bakteri yang diperoleh dari tanah asal Pontianak, Kalimantan Barat, menjadi koleksi referensi yang telah diketahui manfaatnya untuk pembuatan pupuk hayati, karena terbukti berhasil mendukung pertumbuhan awal jarak pagar. Teknik pemeliharaan terhadap koleksi kultur bakteri menjadi langkah lanjut dalam mempertahankan karakter agar sifat dan fungsi yang telah diperoleh menjadi karakter kunci tersebut tidak mengalami perubahan selama penyimpanan. Penelaahan efektifitas inokulan pupuk hayati lebih lanjut pada kondisi lahan marginal dapat memperkaya referensi karakter bakteri yang kompatibel dengan jarak pagar karena tanaman tersebut dikenal sebagai tanaman yang sintas tumbuh di lahan marginal. 116

KESIMPULAN DAN SARAN Penambahan inokulan bakteri pada media tumbuh berpengaruh kuat terhadap pertumbuhan dan biomassa tanaman jarak pagar sampai umur 14-15 mst, apabila dibandingkan dengan kontrolnya yang tidak mendapatkan pasokan inokulan bakteri. Efek perlakuan P-17 (=P-H) hasil inokulan sejenis (Bacillus sp), dan perlakuan P-10 selaku inokulan banyak jenis (Azotobacter, Bacillus, dan Nitrosomonas spp. yang diisolasi dari tanah asal. Perlu adanya pengamatan berlanjut tentang efek inokulan terseleksi. Untuk menunjang produktivitas tanaman secara optimal pada skala besar perlu dipolakan efisiensi pemupukan sebagai perpaduan pupuk hayati dan pupuk kimia secara terkontrol. DAFTAR PUSTAKA Badran, FS. & MS. Safwat. 2004. Response of fennel plants to organic manure and bio-fertilizers in replacement of chemical fertilization. Egyptian J. Agric. Res. 82(2): 247256. Deore, AC. & TS. Johnson. 2008. Highfrequency plant regeneration from leaf-disc cultures of Jatropha curcas L.: an important biodiesel plant. Plant Biotech.. Rep. 2:711 Desai, S., Ch. Narayanaiah, Ch Kumari, M. Reddy, S. Gnanamanickam, GR. Rao & B. Venkateswarlu. 2007. Seed inoculation with Bacillus spp. improves seedling

Pengaruh Inokulasi Bakteri TerhadapPertumbuhan

vigour in oil-seed plant Jatropha curcas L. Biol. Fert. Soils. 44 (1): 229-234. El-Ghadban, EAE., MN. Shalan & TAT. Abdel-Latif. 2006. Influence of biofertilizers on growth, volatile oil yield and constituents of fennel (Foeniculum vulgare Mill.). Egyptian J. Agric. Res. 84(3): 977-992. Elefan, ES. 2008. Biofertilizers for Jatropha curcas L (Euphorbiaceae) grown in different planting media. International Conference on Environmental Research and Technology (ICERT). Environmental Technology & Management. 308-312. Kandeel, AM., SAT. Naglaa & AA. Sadek. 2002. Effect of biofertilizers on the growth, volatile oil yield and chemical composition of Ocimum basilicum L. plant. Annals Agric. Sci., Ain Shams Univ., Cairo. 47(1): 351371. Lewis, AL., LO. Dominguez & OS. Munoz. 1995. Effect of time and method of Azotobacter chroococcum application on the cultivation of garlic (Allium sativum L.) cv. Vietnamita. Int. Am. Soc. Tropical Hort. 39: 27-32. Maheshwari, SK., SK. Gangrade & KC. Trivedi. 1991. Comparative response of palmarosa to Azotobacter and nitrogen under rainfall and irrigated swards. Indian Perfume. 35(2): 308-311. Mahfouz, SA. & MA. Sharaf-Eldin. 2007. Effect of mineral vs. biofertilizer on growth, yield, and essential oil content of fennel (Foeniculum

vulgare Mill.). Int. Agrophysics. 21: 361-366. Mangkoedihardjo, S. & Surahmaida. 2008. Jatropha curcas L. for phytoremediation of lead and cadmium polluted soil. World Appl. Scien. J. 4(4): 519-522. Ogunwole, JO., DR. Chaudhary, A. Ghosh, CK. Daudu, J. Chikara, JS. Patolia. 2008. Contribution of Jatropha curcas to soil quality improvement in a degraded Indian entisol. Plant Soil Sci. 58(3): 245 251. Ranjard, L. & A. Richaume. 2001. Quantitative and qualitative microscale distribution of bacteria in soil. Res. Microbiol. 152: 707716. Shrivastava, S. & M. Banerjee. 2008. In vitro clonal propagation of physic nut (Jatropha curcas L.): influence of additives. Int.J.Inte.Biol. 3(1):7378. Wani, SP., M. Osman, E. DSilva & TK. Sreedevi. 2006. Improve livelihoods and environmental protection through biodiesel plantation in Asia. Asian Biotechnology and Development Review. 8(2):11-29. Yousry, M., OM. Kabesh & MS. Saber. 1978. Manganese availability in a calcareous soil as a result of phosphate fertilization and inoculation with phosphobacterin. African J. Agric. Sci. 5(2): 75-80.

Memasukkan: April 2009 Diterima: September 2009 117

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1): 119-130 (2009)

Karakteristik Tipe Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar di Daerah Perkotaan: Studi Kasus di Kebun Raya Bogor
Sri Soegiharto1) & Agus P. Kartono2)
1

Peneliti Balai Besar Dipterocarpa Samarinda, Email: srisoegiharto@gmail.com 2 Staf Pengajar Mayor KVT IPB Bogor, Email: apkartono@yahoo.co.id ABSTRACT

Food TypeCharacteristic of the Fruit Bats at Urban Area: A Case Study in Bogor Botanical Garden, West Jawa. Bats have important role on seed dispersal and or plant pollinator. The identification of flower and their pollens as the feed resource for bats was conducted in Bogor Botanical Gargen. The resultsof this study showed that Eonycteris spelaea male has interests in with personatus corola type flower, while the female in disk type. Furthermore the male of Macroglossus sobrinus has interested in rotatus, tubulosus, and perferesence, corola types. Where as the female has interest in campanulatus type. The campanulatus and papilionaceus types has a potential to be visitd by Cynopterus minutus male and female of C. sphinx; Urceolatus type has important for female of C. titthaheileus and C. brachyotis. The male of Macroglossus sobrinus and female of Eonycteris spelaea has interests to visit the flower with suboblate and prolate spheroidal pollen types; prolate pollen type has importance for the male of Eonycteris spelaea; oblate type for the male of C. minutus, C. brachyotis and C. titthaheileus; oblate spheroidal for the female of Rousettus amplexicaudatus and male of C. sphinx. The male of C. titthaheileus and female of Macroglossus sobrinus has interests in gigantic type (>200 m), while the female of C. sphinx, C. brachyotis and R. amplexicaudatus like permagnae type (100-200 m). Key words: Fruit bats, pollen identification, urban area Kata kunci: Kelelawar buah, pollen, identifikasi, perkotaan

PENDAHULUAN Kelelawar masih menjadi salah satu satwa yang masih jauh dari perhatian upaya konservasi. Alasan tersebut dikarenakan lemahnya pengetahuan masyarakat akan arti penting kelelawar dalam rangkaian mata rantai ekologi. Dalam upaya konservasi kelelawar terlebih dulu yang harus diketahui adalah jenis makanan apa yang disukai

kelelawar. Kesukaan kelelawar dalam memilih makanannya belum diketahui pasti secara ilmiah, sehingga perlu upaya analisis karakteristik jenis pakan yang disukai. Kelelawar kelompok Megachiroptera mengkonsumsi buah, polen dan nektar (Suyanto 2001). Serat polen mengandung protein lebih dari 60%,

sedangkan pada lapisan terluar dinding polen (exin) mengandung lemak netral,
119

Soegiharto & Kartono

hidrokarbon, terpenoid, pigmen carotenoid, dan sering terdapat karbohidrat lengkap sporo-pollenin. Lapisan dinding dalam polen (intin) terdiri atas selulosa dan pektin serta nutrisi cytoplasmic. Dari uraian tersebut maka perlu melakukan penelitian ini dengan beberapa tujuan, yaitu 1) mengidenti-fikasi jenisjenis tumbuhan pakan yang dimakan kelelawar, 2) menentukan pengaruh faktor tumbuhan pakan (tipe mahkota bunga, tipe polen dan ukuran polen) dalam pemilihan jenis tumbuhan pakan kelelawar. Setelah tujuan diatas tercapai diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1) mengetahui karakteristik jenis tumbuhan pakan kelelawar dalam upaya mendukung konservasi di daerah perkotaan, 2) memberikan informasi kepada masya-rakat akan perlunya upaya konservasi terhadap jenis-jenis kelelawar di daerah perkotaan. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilakukan di Kebun Raya Bogor (KRB) selama 16 bulan, mulai Maret 2008 hingga Juni 2009. Pengambilan sampel kelelawar dilakukan di KRB setiap dua minggu sekali sebanyak 2 ekor setiap spesies tertangkap di 13 lokasi penangkapan. Untuk penempatan misnet (jaring kabut) ditempatkan menggunakan teknik purposive sampling sedangkan pengambilan sampel kelelawar menggunakan teknik random sampling. Jaring kabut yang dipasang pada waktu senja hari pada pukul 17.00-18.00 WIB dan pagi hari pada pukul 06.00 08.00 WIB dilakukan pengecekan jaring kabut dan pengam120

bilan kelelawar. Pengambilan sampel kelelawar dilakukan selama kurun waktu 12 bulan, untuk tiap bulannya dilakukan dengan selang waktu 2 minggu sekali. Jumlah sampel kelelawar yang diambil tiap 2 minggu sekali berjumlah 1-2 ekor untuk tiap masing-masing jenis kelelawar. Pengambilan kelelawar dipilih untuk tiap jenis yang mewakili spesiesnya masing-masing jantan dan betina. Spesies kelelawar yang berhasil diidentikasi ada di Kebun Raya Bogor adalah Cynopterus minutus, C. brachyotis, C. sphinx, C. titthaheileus, Macroglossus sobrinus, Rousettus amplexicaudatus dan Eonycteris spelaea. Pengambilan sampel polen didapat dari isi pencernaan kelelawar. Hasil dari isi pencernaan kemudian dicampur kedalam alkohol 70% dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dilakukan setrifuse dengan putaran 2000 rpm selama 30 menit, langkah selanjutnya dilakukan pembuangan cairan alkohol yang digunakan dan diganti dengan alkohol yang baru, pengulangan dilakukan sebanyak tiga kali. Endapan yang dihasilkan dari proses sentrifuse diletakkan di gelas objek sebanyak satu tetes kemudian ditetesi dengan gliserol dan ditutup dengan cover glass dan pada bagian tepinya direkatkan menggunakan kuteks kuku. Peng-gunaan gliserol pada analisis ini diperuntukkan sebagai bahan pengawet (Yulianto 1992). Polen yang ditemukan di dalam perut kemudian diidentifikasi sampai tingkat famili dan genus menurut kunci determinasi Erdmant (1952), Nayar (1999) dan Paldat (2005).

Karakteristik Jenis Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar

Data yang dihasilkan kemudian ditranformasi sesuai dengan sebaran data. Pada penelitian ini data yang dihasilkan dalam bentuk persentase, sehingga bentuk transformasi yang digunakan adalah transformasi arcsin (Syahid 2009). Penentuan pengaruh karakteristik jenis tumbuhan pakan yang akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis multivariate hiper Canonical Corespondence Analysis (hCCA) menurut ter Braak & Smilauer (1998). Penggunaan metode hCCA ini bertujuan untuk menentukan hubungan dalam bentuk grafik serta mengungkap informasi maksimum dari suatu matriks data dengan faktor lingkungan secara bersamaan. Matriks data tersebut terdiri atas jenis kelelawar sebagai spesies, jenis tumbuhan yang teridentifikasi sebagai sampel dan 3 parameter lingkungan yaitu tipe mahkota bunga, tipe polen dan ukuran polen. Bentuk mahkota bunga terbagi kedalam 8 tipe, yaitu tabung, bintang, disk, kupu, lonceng, mangkuk, kedok, dan bulir. Tipe polen terbagi ke dalam 7 tipe yaitu peroblate, oblate, suboblate, oblate spheroidal, prolate spheroidal, prolate dan perprolate. Untuk ukuran polen terbagi menurut Erdtman (1943) yaitu sangat kecil/ perminute (<10 m), kecil/minute (10 25 m), sedang/mediae (2550 m), besar/ magnae (50100 m), sangat besar/ permagnae (100200 m), dan raksasa/giganteae (>200 m). Analisis pengaruh karakteristik bentuk bunga, tipe dan ukuran polen dengan hCCA menggunakan software Canoco for Windows 4.5 (Leps & Smilauer 1999).

HASIL Hasil analisis polen ditemukan jumlah persentase polen masing-masing spesies kelelawar. Penyajian data dilakukan dalam 3 bentuk, yaitu (1) persentase pakan kelelawar dengan jenis mahkota bunga disajikan pada Tabel 1, (2) persentase pakan kelelawar dengan tipe polen disajikan pada Tabel 2, (3) persentase pakan kelelawar dengan ukuran polen disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis hCCA dari karakteristik mahkota bunga disajikan pada Gambar 1 menunjukkan hubungan yang bisa diterangkan antara spesies dengan karakteristik mahkota bunga adalah untuk axis 1 = 0,466 dengan eigenvalue = 0,753; axis 2 = 0,241 dengan eigenvalue = 0,390; axis 3 = 0,116 dengan eigenvalue = 0,187. Hubungan antara axis 1 dan axis 2 disajikan pada Gambar 1a, dan hubungan antara axis 1 dan axis 3 disajikan pada Gambar 1b. Spesies Eonycteris spelaea jantan dipengaruhi kuat oleh bentuk mahkota bunga kedok, sedangkan betinanya dipengaruhi kuat oleh bentuk disk. Spesies Macroglossus sobrinus jantan dipengaruhi oleh bentuk mahkota bintang, tabung dan bulat, sedangkan betinanya dipengaruhi oleh bentuk mahkota lonceng. Pada gambar 1b untuk hubungan axis 1 dan axis 3 menerangkan lebih lanjut bahwa bentuk mahkota bunga lonceng dan kupu-kupu mempengaruhi kuat pada Cynopterus minutus jantan, C. sphinx betina. Untuk bentuk mahkota lebih kuat mempengaruhi C. titthaheileus betina dan jantan, serta C. brachyotis betina. 121

Soegiharto & Kartono

Hasil analisis hCCA dari karakteristik tipe polen tersaji pada Gambar 2. menunjukkan hubungan yang bisa diterangkan antara spesies dengan karakteristik tipe polen adalah untuk axis 1 = 0,588, dengan eigenvalue = 0,886; axis 2 = 0,091 dengan eigenvalue = 0,462; axis 3 = 0,047 dengan eigenvalue = 0,356. Hubungan antara axis 1 dan axis 2 disajikan pada Gambar 2a, sedangkan hubungan antara axis 1 dan axis 3 disajikan pada Gambar 2b. Spesies Macroglossus sobrinus jantan dan Eonycteris spelaea betina dipengaruhi kuat oleh bentuk polen suboblate dan prolate spheroidal. Spesies Eonycteris spelaea jantan dipengaruhi oleh bentuk polen prolate. Untuk jenis C. minutus jantan, C.
Tabel 1.
Jenis Kelelawar CM CB CS CT M R E

brachyotis jantan dan C. titthaheileus jantan dipengaruhi kuat oleh bentuk polen oblate. Pada Gambar 2b. menjelaskan bahwa Rousettus amplexicaudatus betina dan C. sphinx jantan dipengaruhi oleh bentuk oblate spheroidal. Hasil analisis hCCA dari karakteristik ukuran polen tersaji pada Gambar 3. Hubungan yang bisa diterangkan antara spesies dengan karakteristik ukuran polen adalah untuk axis 1 = 0,427, dengan eigenvalue = 0,285; axis 2 = 0,194, dengan eigenvalue = 0,598. Spesies C. titthaheileus jantan dan Macroglossus sobrinus betina dipengaruhi oleh ukuran polen giganteae, sedangkan spesies C. sphinx betina, C. brachyotis betina dan R. amplexi-

Persentase polen yang dimakan oleh kelelawar berdasarkan bentuk mahkota bunga
Mahkota Bunga Sex TA_B BI_T DI_S KU_P LO_C MA_K KE_D BU_L

1,86 4,15 4,95 18,40 21,47

30,7 27,77 68,88 52,95 44,08 29,58 42,11 68,39 48,74 57,03

7,26

7,26 9,09 7,4

11,03 9,55 9,06 18,1

14,48 12,66 25,24 12,54 7,23

43,74 61,28 14,18 33,84 41,44 50,53 9,61 19,08 11,39 42,97 100

100 85,05 2,97 11,99

Keterangan : CM = Cynopterus minutus , CB = C. brachyotis, CS = C. sphinx, CT = C. titthaheileus, R = Rousettus amplexicaudatus, M = Macroglossus sobrinus, E = Eonycteris spelaea,, TA_B= Tabung, BI_T= Bintang, DI_S= Disk, KU_P= Kupu-kupu, LO_C= Lonceng, MA_K= Mangkuk, KE_D= Kedok, BU_L= Bulir, p = jumlah persentase.

122

Karakteristik Jenis Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar

Tabel 2.
Jenis Kelelawar CM CB CS CT M R E

Persentase tipe polen yang ditemukan pada masing-masing jenis kelelawar.


Tipe Polen Sex Peroblate p Oblate p SubOblate p Oblate Spheroidal p Prolate Spheroidal p Prolate p PerProlate P

36,31 14,94 11,93 64,72 14,48 7,23 43,34 42,67 29,66

56,42 6,5 41,9 85,52 7,23 15,16 35,65

7,26 76,69 39,45 35,28 74,92 37,59 42,17 23,01 57,03 100

1,86 6,72

14,13 11,69

10,61 4,95

42,97

34,21

100 5,01

14,95

39,85

5,97

Keterangan : CM = Cynopterus minutus, CB = C. brachyotis, CS = C. sphinx, CT = C. titthaheileus, R = Rousettus amplexicaudatus, M = Macroglossus sobrinus, E = Eonycteris spelaea, p = jumlah persentase.

Tabel 3. Persentase ukuran polen yang ditemukan pada masing-masing jenis kelelawar.
Jenis Kelelawar CM CB CS CT M R E Ukuran Polen Sex Gigantea p 40,77 46,29 52,24 35,8 14,48 13,92 44,04 25,74 61,04 Permagnae p 43,58 53,71 44,2 64,2 85,52 86,08 41,83 61,78 20,56 100 100 100 92,87 7,13 Magnae p 15,65 3,57 Mediae p Menute p Permenute p

14,13 12,47 18,4

Keterangan : CM = Cynopterus minutus, CB = C. brachyotis, CS = C. sphinx, CT = C. titthaheileus, R = Rousettus amplexicaudatus, M = Macroglossus sobrinus, E = Eonycteris spelaea, p = jumlah persentase

123

Soegiharto & Kartono

0.6

BI_T

TA_B

12
KE_D

Axis 2

BU_L

13
DI_S
-0.4

2 3 6 5

MA_K 4 10 LO_C 7 8 11 1 KU_P

a.

-0.4

Axis 1

1.0

0.8

BU_L

11

Axis 3
BI_T

5
LO_C 6 KU_P 10 7 4 8 MA_K

9
TA_B

2 13 3

KE_D

12

-0.4

b.

DI_S -0.4

Axis 1

1.0

Gambar 1. Grafik pengaruh karakteristik mahkota bunga a) hubungan axis 1 dan axis 2, b) hubungan axis 1 dan axis 3.
Keterangan : 1. = Cynopterus minutus jantan, 2 = C. minutus betina, 3= C. brachyotis jantan, 4= C. brachyotis betina, 5= C. sphinx jantan, 6= C. sphinx betina, 7= C. titthaheileus jantan, 8=C. titthaheileus betina, 9= Macroglossus sobrinus jantan, 10= Macroglossus sobrinus betina, 11= Rousettus amplexicaudatus betina, 12= Eonycteris spelaea jantan, 13= Eonycteris spelaea betina.; TA_B= Tabung, BI_T= Bintang, DI_S= Disk, KU_P= Kupu-kupu, LO_C= Lonceng, MA_K= Mangkuk, KE_D= Kedok, BU_L=Bulat.

124

Karakteristik Jenis Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar

0.6

10 9
PR_SP PR

SB_OB

13
PE_PR PE_OB 2 3 OB 7 1

12 6 8 4
OB_SP

Axis 2

-0.8

a.

11
-0.6

Axis 1
PR_SP

1.0

0.8

7 11 9 SB_OB PE_PR 2 1 PE_OB 8 3 6 12 4 PR 10 OB_SP 5

Axis 3
13

-0.8

b.

OB -0.6 1.0

Axis 1

Gambar 2. Grafik analisis hCCA jenis kelelawar berdasarkan tipe polen. a) hubungan axis 1 dan axis 2, b) hubungan axis 1 dan axis 3.
Keterangan : 1. = Cynopterus minutus jantan, 2 = C. minutus betina, 3= C. brachyotis jantan,4= C. bracyotis betina, 5= C. sphinx jantan, 6= C. sphinx betina, 7= C. titthaheileus jantan, 8=C. titthaheileus betina, 9= Macroglossus sobrinus jantan, 10= Macroglossus sobrinus betina, 11= Rousettus amplexicaudatus betina, 12= Eonycteris spelaea jantan, 13= Eonycteris spelaea betina.; SB_OB= Sub Oblate, OB= Oblate, PR_SP= Prolate Speroidal, PE_PR= Perprolate, PR= Prolate, PE_OB= Peroblate, OB_SP= Oblate spheroidal.

125

Soegiharto & Kartono

caudatus dipengaruhi oleh ukuran polen permagnae.

PEMBAHASAN
Menurut Whitney & Glover (2007) secara alami keberagaman bunga angiospermae beradaptasi terhadap agen penyerbuk (pollinator). Bentuk keberagaman yang ditunjukkan berupa warna, bentuk, bau, dan ukuran. Keberagaman tersebut dijelaskan oleh Graham et al. (2003) dan Glover (2007) pada karakteristik bunga yang disebuki oleh kelelawar. Menurut Graham et al. (2003) karakteristik kelelawar dalam mencari makan pada malam hari, tingkat
1.2

kebutuhan pakan yang tinggi, mata kelelawar yang buta warna dan indera penciumannya yang tajam berpengaruh pada bunga yang dipilih. Dengan demikian hubungan timbal balik antara bunga dan penyerbuk menjadi hubungan yang saling berkaitan. Glover (2007) menyebutkan bahwa karakteristik tumbuhan yang diserbuki kelelawar adalah memiliki bunga yang berwarna putih, ukuran polen besar dan dalam jumlah banyak, bentuk mahkota bunga mangkuk, mengeluarkan bau menyengat (asam butyric), menghasilkan nektar yang berlimpah. Hasil penelitian kami membenarkan pendapat Glover (2007) tentang ukuran polen yang
MA

Axis 2
10 6
-0.4

8
PA

9 12 3 5 7 2
GI

4 11

13
1.0

-1.0

Axis 1
Gambar 3. Grafik analisis hCCA jenis kelelawar berdasarkan ukuran polen.
Keterangan : 1. = Cynopterus minutus jantan, 2 = C. minutus betina, 3= C. brachyotis jantan, 4= C. bracyotis betina, 5= C. sphinx jantan, 6= C. sphinx betina, 7= C. titthaheileus jantan, 8=C. titthaheileus betina, 9= Macroglossus sobrinus jantan, 10= Macroglossus sobrinus betina, 11= Rousettus amplexicaudatus betina, 12= Eonycteris spelaea jantan, 13= Eonycteris spelaea betina.; GI = Giganteae, MA = Magnae, PA = Permagnae

126

Karakteristik Jenis Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar

diserbuki atau dimakan kelelawar dengan ukuran yang besar, ukuran polen tersebut mulai dari magnae, permagnae dan giganteae. Peneliti lain (Graham et al. 2003) menambahkan karakter tumbuhan yang diserbuki kelelawar adalah bunga yang mekar pada malam hari, menghasilkan nektar yang banyak dan polen yang berlebihan, berpendar atau warna kusam, mengeluarkan bau yang tajam dan menyerupai bau kelelawar, bunga terbuka dan mudah diakses, serta bunga terletak pada cabang pohon. Pendapat Graham et al. (2003) juga memperkuat hasil penelitian kami pada tipe bunga yang mekar pada malam hari seperti ditemukan pada sampel polen bunga Durio zibethinus, Durio sp. 1, Ceiba pentandra, Ceiba sp.1, Ceiba sp.2 dan Ceiba sp.3, tetapi tidak menunjang pada beberapa bunga seperti Hisbiscus sp., Bauhinia sp., Baringtonia sp., Syzygium sp., [Euphorbiaceae] sp., [Orchidaceae] sp.2. Stroo (2000) mencoba menganalisis pengaruh ukuran polen, tipe polen, tipe aperture dari 130 spesies tanaman yang diserbuki kelelawar. Kesimpulan akhir yang didapat Stroo adalah ukuran polen menjadi faktor utama pemilihan polen, sedangkan tipe polen, sistem aperture dan ornamen exin secara umum tidak berpengaruh terhadap pemilihan. Hasil penelitian kami membenarkan pendapat Stroo (2000) tentang faktor ukuran polen namun tidak sependapat dengan tipe polen. Hasil penelitian kami yang sependapat dengan Stroo (2000) adalah ukuran polen yang diserbuki atau dimakan kelelawar dengan ukuran yang

besar, ukuran polen tersebut mulai dari magnae, permagnae dan giganteae, namun berbeda kesimpulan tentang sistem aperture. Untuk hasil penelitian kami yang tidak sependapat dari hasil penelitian Stroo (2000) yaitu tipe polen mempengaruhi pemelihan masingmasing jenis kelelawar. Pengaruh tipe polen tersebut adalah spesies Macroglossus sobrinus jantan dan Eonycteris spelaea betina lebih memilih tipe polen suboblate dan prolate spheroidal, spesies Rousettus amplexicaudatus betina dan C. sphinx jantan lebih memilih oblate spheroidal. Menurut Warren & Diaz (2001) kelelawar lebih memilih polen dibandingkan nektar pada tipe bunga sederhana dan kompleks manakala bunga tersebut dapat dengan mudah diakses oleh kelelawar. Pendapat Warren & Diaz (2001) sependapat dengan penelitian kami yang mana menemukan jenis spesifik pemakan buah juga memakan polen yaitu spesies Cynopterus minutus, C. brachyotis, C. sphinx, C. titthaheileus. Pendapat yang bertolak belakang dikemukakan oleh Toelch & Winter (2007) yang menyebutkan bahwa spesies Glossophaga soricina memilih bunga dengan kandungan nektar yang lebih banyak. Pernyataan Toelch & Winter (2007) ini didukung hasil analisis dimana indra penciuman kelelawar lebih tajam dibandingkan dengan lebah, sehingga akan lebih diterima jika alasan kelelawar menyerbuki bunga dikarenakan oleh alasan nektar. Voigt (2004) berpendapat bahwa perilaku kelelawar dalam memakan nektar sangat bergantung pada ukuran 127

Soegiharto & Kartono

kelelawar tersebut. Spesies kelelawar kecil (Glossophaga soricina) yang beratnya 10 gram lebih efektif memakan nektar dengan hinggap (hovering) dibandingkan dengan memanjat ranting. Untuk spesies kelelawar yang lebih besar akan lebih efektif memakan nektar dengan memanjat ranting dibandingkan dengan hinggap. Bumrungsri et al. (2009) mencatat bahwa Eonycteris spelaea menyerbuki Durio zibethinus dan Orchidaceae. Pada penelitian kami ditemukan 3 spesies kelelawar sebagai spesifik pemakan nektar dan polen yaitu spesies Macroglossus sobrinus, Rousettus amplexicaudatus dan Eonycteris spelaea. Dari ketiga spesies tersebut yang memiliki berat kurang lebih 20 gram adalah Macroglossus sobrinus, sedangkan yang memiliki berat kurang lebih 70 gram adalah spesies Rousettus amplexicaudatus dan Eonycteris spelaea. Perbedaan pendapat Warren & Diaz (2001), Toelch & Winter (2007), Voigt (2004) dan Bumrungsri et al. (2009) akan lebih dijelaskan pada hasil penelitian kami. Hasil penelitian kami mencoba mengambil kesimpulan bahwa pembagian kelelawar berdasarkan berat tubuh dan panjang lidah dibedakan kedalam 3 kelompok yaitu; 1) kelelawar lidah panjang (long tongued bats) ukuran kecil yaitu dengan berat 1020 gram, kelelawar ini mempunyai kecenderungan memakan nektar dengan hinggap (hovering). Hal ini dikarenakan kelelawar pada kelompok ini dapat mengakses letak nektar dalam bunga dengan lidahnya yang berukuran kecil dan panjang. Sebagai contoh adalah 128

spesies Glosso-phaga soricina dengan berat kurang lebih 10 gram dan Macroglossus sobrinus dengan berat kurang lebih 20 gram, (2) kelelawar lidah panjang (long tongued bats) ukuran sedang yaitu dengan berat lebih dari 20 gram, kelelawar kelompok ini misalnya Eonycteris spelaea dengan berat kurang lebih 70 gram akan memilih tipe makanan polen dibandingkan nektar. Hal ini dikarenakan alasan lebih mudah mengakses polen dibandingkan nektar. Kelelawar spesies ini jika memilih makanan tipe nektar akan berakibat pada rusaknya bunga yang dikunjungi, misalnya kerusakan bunga Anggrek (Orchidaceae) akibat didatangi oleh Eonycteris spelaea, (3) kelelawar lidah pendek/ pemakan buah, kelelawar kelompok ini memakan polen karena tidak sengaja tertelan akibat ikut termakan pada buah, bunga dan daun. yang menjadi pakannya. Pada bunga yang ukurannya relatif besar seperti Ceiba pentandra, Durio spp., sangat dimungkinkan kelelawar jenis ini dapat mengakses nektar sehingga polen yang ditemukan tertelan bersa-maan nektar. Spesies kelelawar yang masuk dalam kelompok ini misalnya Cynopterus minutus, C. brachyotis, C. sphinx, C. titthaheileus. Untuk kemudahan akses sumber pakan polen pada tipe bunga oleh kelelawar harus dibedakan kedalam 2 kelompok, yaitu: (1) tipe bunga yang mudah diakses nektarnya, seperti tipe bunga bintang dan tabung pada spesies Macroglossus sobrinus jantan, kedok pada spesies Eonycteris spelaea jantan, (2) tipe bunga yang mudah diakses polennya, seperti bentuk bunga disk pada spesies Eonycteris spelaea betina.

Karakteristik Jenis Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar

KESIMPULAN Bentuk bunga mempengaruhi spesies kelelawar dalam mengakses sumber polen dan sumber nektar. Pengaruh tipe polen bervariasi untuk masing-masing jenis kelelawar. Ukuran polen yang dipilih kelelawar adalah berukuran besar mulai dari magnae, permagnae dan giganteae. Ketertarikan spesies kelelawar dalam memilih sumber pakan kemungkinan besar tergantung pada berat tubuh dan ukuran lidah kelelawar serta kemudahan dalam mengakses sumber pakan. Sehingga perlu dikaji lagi kedepan pengaruh berat tubuh dan ukuran lidah kelelawar serta kemudahan akses sumber pakan dalam analisis hCCA yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Bumrungsri S, E. Sripaoraya, T. Chongsiri, K. Sridith & PA. Racey. 2009. The pollination ecology of durian (Durio zibethinus, Bombacaceae) in southern Thailand. J. Trop. Ecol 25:8592. Erdtman, G. 1943. An Introduction to Pollen Analysis. New York: Chronica Botanica. Erdtman, G. 1952. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms: An introduction to the study pollen grains and spores. Copenhagen: Munksgard. Glover, BJ. 2007. Understanding Flowers and Flowering:An Inte-

grated Approach. Oxford: Oxford Univ. Pr. Graham, LE, JM. Graham & LW. Wilcox. 2003. Plant Biology. Pearson and Prentice Hall. Leps, J & P. Smilauer. 1999. Multivariate Analysis of Ecological Data. Faculty of Biological Sciences, University of South Bohemia. Ceske Budejovice. Nayar, TS. 1999. Pollen Flora of Maharashtra State India. International Bioscence Series Volume XIV. New Delhi: Today & Tomorrows.. Paldat. 2005. Illustrated Handbook on Pollen Terminology. Dept. of Palynology Stroo, A. 2000. Pollen morphological evolution in bat pollinated plants. Plant Sys.Evol. 222: 225242. Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI. Bogor. Syahid, A. 2009. Transformasi Data. http: //abdulsyahid-forum.blogspot.com / 2009/04/transformasi-data.html. [20 Juni 2009] ter Braak, CJF. & P. Smilauer. 1998. Canoco Reference Manual and User s Guide to Canoco for Windows. Ithaca: Microcomputer Power Toelch, U.& Y. Winter. 2007. Psychometric function for nectar volume perception of a flower-visiting bat. Component Phy. 193:265269 Voigt, CC. 2004. The power requirements (Glossophaginae: Phyllostomidae) in nectar-feeding bats for clinging to flowers. 129

Soegiharto & Kartono

Component Physiology 174:541 548. Warren, J. & A. Diaz. 2001. A twopollinator model for the evolution of floral complexity. Evolutionary Ecology 15:157166. Whitney, HM. & BJ. Glover. 2007. Morphology and development of floral features recognized by pollinators. Arthropod-Plant Inter. 1:147158.

Yulianto E. 1992. Preparasi dan dasar determinasi palinologi. Laporan studi praktek Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral ITB. Bandung.

Memasukkan: Juli 2009 Diterima: September 2009

130

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1): 131-142 (2009)

Identifikasi Papasan (Coccinia grandis (L.) Voigt) di Tiga Populasi di Yogyakarta


Ridesti Rindyastuti1&Budi Setiadi Daryono2
1. UPT BKT Kebun Raya Purwodadi-LIPI 2. Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada E-mail : ridesti.rindyastuti@yahoo.com ABSTRACT Species Identification of Scarlet gourd (Coccinia grandis (L.) Voigt) in Three Population in Yogyakarta. Papasan is a dioecious plant belongs to the family Cucurbitaceae. This plant is commonly used as vegetable, anti diabetic, anti bacterial, and anti diarrhea. In Daerah Istimewa Yogyakarta, there were two varians of Papasan (Papasan I and II), found in three population (Ngebel, Berbah and Gajah Wong Riverbank). They differ in phenotype, especially in shape and taste of fruit. Genotype observation using squash method on the root tips with modification in the duration of maceration were used in this research indicated that cells devided of Papasan I at about 8-11.30 a.m, while Papasan II at about 08.30-09.30 a.m, 11 a.m-00.30 p.m and 2-2.30 p.m. The chromosome number of both Papasan is 2n=24, contains of 22 autosomes and 2 sex chromosomes. The karyotype formulas of Papasan I and II were 2n=24=20m+2sm+XX(m). Based on the statistic test, significant difference on chromosomes character between Papasan I and II was only in short arm of autosome pair number 5. The difference R value between Papasan I and II was smaller than 0.25. It revealed that the both of Papasan is closely related and belongs to the same species of Coccinia grandis L. Character differences between both of Papasan only revealed physiology adaptation. Keywords: Coccinia grandis L., Papasan, Chromosome, Karyotype. Kata kunci: Coccinia grandis L., Papasan., Cromosom, Kariotype.

PENDAHULUAN Papasan (Coccinia grandis) merupakan salah satu angggota Cucurbitaceae yang diduga berasal dari Asia dan Afrika. Papasan memiliki sulur, batang memanjat, bunga berwarna putih kehijauan, berbentuk lonceng, dan aksiler. Buahnya berbentuk oval dengan panjang 4-6 cm, berwarna hijau pada saat muda dan berwarna merah pada saat tua. Masyarakat India dan Afrika memanfaatkan buah Papasan sebagai sayuran, sedangkan ekstrak daun dan

akarnya sebagai obat diabetes (Ramachandran & Subramaniam 1983; Niedzielski 2002). Papasan dilaporkan mengandung ester dioktil heksadionat dan 1,5-dimetilbisiklo[3,3,1]non-3-ena-2,9dion yang terbukti efektif terhadap Micrococcus luteus dan Escherichia coli (Ciawi 2006). Selain itu, daun Coccinia cordiflora dapat dimanfaatkan sebagai obat diare (Winarno & Sundari 1996). Papasan memiliki beberapa nama ilmiah seperti C. cordiflora, C. grandis dan C. indica. Dalam Flora of Java, 131

Rindyastuti &Daryono

Papasan memiliki satu nama yaitu C. grandis (L.) Voigt (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965) dengan C. cordifolia Auct non. Cogn sebagai nama sinonim. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, dua macam Papasan yang ditemukan di populasi Ngebel, Berbah dan Bantaran Sungai Gajah Wong yaitu Papasan I dan Papasan II juga dijumpai adanya perbedaan karakter morfologi. Populasi Ngebel memiliki bentuk buah oval sampai bulat memanjang dengan rasa manis sedangkan populasi Berbah dan Bantaran Sungai Gajah Wong memiliki karakter buah berbentuk membulat sampai oval dengan rasa pahit. Kedua populasi tersebut berbeda karena perbedaan morfologi, variasi bentuk dan rasa buahnya. Untuk mempertegas status takson kedua varian tersebut masih diperlukan data pendukung lainnya selain data morfologi. Keanekaragaman spesies dapat ditinjau dari keanekaragaman fenetik dan keanekaragaman genetik. Perbedaan karakter morfologi antara dua macam tanaman sering dikuti oleh perbedaan karyotype. Russel (1998) dan Singh (1999) menyatakan bahwa dua organisme yang hubungan kekerabatannya berdekatan dapat memiliki karyotype berbeda karena berbeda pada kategori takson infraspesifik seperti subspesies, varietas atau forma. Di India ditemukan dua varian Papasan (C. grandis) yaitu tipe buah manis dan buah pahit. Keduanya berbeda dalam hal rasa, bentuk, ukuran, warna dan pola garis buahnya (Ramachandran & Subramaniam 1983). Varian buah manis yang umumnya dibudidayakan merupa-kan C. 132

grandis var. grandis dan varian buah pahit C. grandis var. wightiana (Roumer) Grab. Dengan demikian, perbedaan karakter fenotip maupun genotip kedua Papasan dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies Papasan di tiga populasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian tentang perbandingan karakter fenotip dan genotip Papasan yang akan dilakukan meliputi jam pembelahan sel, jumlah dan karyotype kromosom serta nilai R (rasio pasangan kromosom absolut terpanjang dengan terpendek). BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Genetika, Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta selama delapan bulan, yaitu dari bulan Oktober 2007- Juni 2008. Bagian-bagian tanaman Papasan (I dan II) dari populasi Ngebel, Berbah dan Bantaran Sungai Gajah Wong Daerah Istimewa Yogyakarta dikarakterisasi dan dibandingkan masing-masing dengan 3 ulangan. Karakterisasi Papasan mengacu pada karakter morfologi tanaman (Tjitrosoepomo 2003). Metode preparasi kromosom, yang digunakan adalah metode Squash (Jahier et al. 1996). Ujung akar Papasan dipotong 3-4 mm pada saat jam pembelahan sel. Ujung akar difiksasi dengan asam asetat 45% pada suhu 4 C selama 15 menit kemudian dicuci sebanyak 3 kali dengan akuades. Ujung akar dimaserasi dengan HCL 1 N selama 5-8 menit (tergantung keras dan lunaknya ujung akar) pada suhu 55 C

Identifikasi Papasan (Coccinia grandis (L.) Voigt) di Tiga Populasi

kemudian dicuci 3 kali dengan akuades. Ujung akar direndam dalam larutan aceto-orcein 1% selama 24 jam pada suhu kamar. Ujung akar diambil, diletakkan di atas gelas benda kemudian ditekan sampai membentuk lapisan tipis pada gelas benda. Preparat ditutup dengan gelas penutup dan bagian tepi diberi cutex bening agar tidak mengering. Kromosom dihitung secara langsung saat pengamatan preparat maupun secara tidak langsung dari hasil foto. Jumlah kromosom dihitung dari tiga akar dengan masing-masing 2-3 ulangan sel. Kromosom difoto dengan mikrofotografi. Pada setiap pemotretan, obyek mikrometer difoto dengan perbesaran yang sama untuk konversi skala ke ukuran sebenarnya. Cetak foto diubah ke format digital dan disimpan dalam file JPEG/JPG. Pengukuran lengan pendek (p) dan lengan panjang kromosom (q) dilakukan dengan aplikasi Polyline dan Arc pada software AutoCAD Map 2000i. Lengan pendek diukur dari telomer lengan pendek sampai sentromer. Lengan panjang diukur dari telomer lengan panjang sampai sentromer. Ukuran tiap ulangan dirata-rata. Indeks Sentromer (IS) dihitung dengan membandingkan antar lengan pendek kromoson dengan panjang absolut kromosom.

Bentuk kromosom ditentukan dengan mengacu bentuk kromosom yang secara ringkas ditampilkan pada Tabel 1.

Rasio pasangan kromosom absolut terpanjang dengan terpendek (R) masing-masing ulangan dihitung dengan rasio panjang absolut pasangan kromosom terpanjang dan terpendek
Karyogram dan idiogram dibuat dengan aplikasi program Adobe Photoshop 7.0 dan CorelDRAW X3. Untuk menyusun karyogram, gambar kromosom dipotong menggunakan Polligonal lasso tools pada program Adobe Photoshop 7.0. Hasil pemotongan dicopy dalam format Adobe Photoshop 7.0 untuk konversi skala ukuran kromosom. Satu persatu, kromosom disusun dalam format CorelDRAW X3 berdasarkan urutan ukuran panjang absolut kromosom dari yang terbesar sampai terkecil beserta kromosom homolog. Idiogram berupa diagram batang lengan panjang dan pendek kromosom dibuat dalam format CorelDRAW X3. Ukuran kromosom Papasan I dan II diuji dengan uji T pada taraf 5% menggunakan program SPSS (Statistic Package for Social Science) versi 16.0 untuk mengetahui beda nyata ukuran kromosom antara kedua varian.

Tabel 1. Bentuk kromosom berdasarkan Indeks Sentromer (IS).


Posisi sentromer Median Submedian Subterminal Terminal Bentuk kromosom Metasentris Submetasentris Subtelosentris Telosentris Simbol m sm st t IS 37,5-50 25-37,5 12,5-25,49 0-12,49 RLK 1,00-1,67 1,68-3,00 3,01-7,00 >7,00

133

Rindyastuti &Daryono

HASIL Karakter fenotip Karakter morfologi Papasan I dan II yang ditemukan di Daerah Istimewa Yogyakarta secara umum ditampilkan pada Tabel 2. Seperti tampak pada tabel, bentuk daun, tepi daun dan permukaan daun Papasan I dan II relatif tidak ada perbedaan. Perbedaan baru terlihat pada ukuran daun. Papasan II memiliki ukuran daun lebih besar daripada Papasan I.
Tabel 2. Karakter morfologi Papasan I dan II.
Karakter

Dari karakter buah, terdapat sedikit perbedaan bentuk dan ukuran buah Papasan I dan II, sedangkan perbedaan besar terlihat pada warna buah baik pada waktu masih muda maupun pada saat sudah tua, variasi bentuk dan rasa buahnya. Buah Papasan I memiliki garisgaris putih, berasa manis dengan sedikit variasi bentuk buah, sedangkan Papasan II hanya memiliki bercak-bercak putih yang samar, memiliki rasa buah pahit dan variasi bentuk buah yang banyak.

Tanaman Papasan I Papasan II membundar berlekuk licin, tidak berambut 7,6 - 9,3 8,3 - 11,4 memanjang, membulat-oval, banyak variasi Membundar berlekuk licin, tidak berambut 6,6 - 7,4 8 - 9,2 oval-bulat variasi sedikit

1. Daun 1. Bentuk daun 2. Tepi daun 3. Permukaan daun 4. Ukuran daun (cm) a) panjang daun b) lebar daun 2. Buah 1. Bentuk buah 2. Warna buah a) muda b) tua 3. Ukuran buah (cm) a) panjang buah b) lebar buah c) keliling buah 4. Rasa 3. Biji 1. Bentuk biji 2. Ukuran biji (cm) a) panjang b) lebar 3. Viabilitas 4. Bunga 1. Warna 2. Bentuk 5. Jumlah cabang sulur

hijau dengan garis-garis putih memanjang dari pangkal sampai ujung buah merah 4,7 - 5,6 2 - 2,2 6,9 - 7 manis membulat 0,5 - 0,6 0,3 - 0,4 sangat rendah putih lurus satu

hijau dengan bercak-bercak putih memanjang dari pangkal sampai ujung buah merah 4,5 - 5,6 2,3 - 2,4 7,1 - 7,25 pahit oval 0,6 - 0,64 0,3 - 0,33 tinggi putih Melengkung keluar (recurved) satu

134

Identifikasi Papasan (Coccinia grandis (L.) Voigt) di Tiga Populasi

Karakter umum bunga kedua Papasan relatif sama (Tabel 2). Perbedaan karakter terlihat pada daun mahkota; Papasan I lurus, sedangkan daun mahkota Papasan II menggulung keluar (recurved). Secara umum, biji Papasan berbentuk oval dan mampat, memiliki salut biji berair yang tebal serta permukaan kulit biji berbintil-bintil kecil. Namun, biji Papasan I memiliki bentuk membulat, sedangkan biji tanaman Papasan II berbentuk oval. Disamping itu, biji Papasan I tidak dapat berkecambah, sedangkan biji Papasan II sangat mudah berkecambah. Waktu mitosis Papasan I memiliki selang mitosis yang lebih lama daripada Papasan II. Hal ini dapat diketahui dari adanya perbedaan waktu mitosis antara Papasan I dan II. Sel Papasan I aktif membelah antara jam 08.00-11.30 WIB sedangkan sel Papasan II aktif membelah antara jam 08.30-09.30 WIB, 11.00-12.30 dan 14.00-14.30 WIB. Pada Papasan I prometafase banyak ditemukan antara jam 09.50-10.15 WIB, sedangkan prometafase Papasan II banyak ditemukan pada jam 09.50-09.20, 11.00-11.15, 12.10-12.20 dan 14.00-14.30 WIB, dengan frekuensi terbanyak pada jam 11.00-11.15 WIB. Jumlah kromosom Jumlah kromosom Papasan I dan II sama yaitu 2n=24. Jumlah kromosom Papasan yang diteliti sesuai dengan jumlah kromosom C. chepalandra, C. hirtella dan C. indica yaitu 2n=24. Papasan merupakan tanaman dioecious

atau berumah dua (Darlington & Wylie 1955; Agarwal & Roy 1984; Guha et al. 2004) sehingga, dari 24 kromosom Papasan, 22 kromosom merupakan autosom sedangkan dua kromosom lainnya merupakan kromosom kelamin. Karyotype dan ukuran kromosom Karyogram Papasan I dan II dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Sedangkan, ukuran kromosom dan Indeks Sentromer Papasan I dan II ditampilkan pada Tabel 3. Berdasarkan ukuran panjang absolut terpendek dan terpanjang (Tabel 3) dan karyogram (Gambar 1 dan 2), diketahui bahwa kromosom kedua Papasan memiliki ukuran kecil dan pendek. Keduanya tidak menunjukkan adanya ukuran kromosom yang ekstrim yang dapat menandakan kromosom jantan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sampel Papasan I dan II yang diteliti merupakan tanaman betina karena tidak ditemukan kromosom Y yang memiliki ukuran yang jauh lebih besar daripada autosom. Berdasarkan nilai IS (Tabel 3), bentuk autosom Papasan I dan II adalah metasentris dan submetasentris, sedangkan kromosom kelamin berbentuk metasentris. Autosom Papasan I dan II yang berbentuk metasentris adalah pasangan nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11, sedangkan yang berbentuk metasentris ada pada autosom nomor 1. Kromosom Papasan I dan II tidak mempunyai satelit kromosom. Bentuk autosom dan kromosom kelamin Papasan I dan II menunjukkan adanya kesamaan

135

Rindyastuti &Daryono

formula karyotype yaitu 2n=2x=24= 20m+2sm+XX(m) (Tabel 4). Perbandingan ukuran lengan panjang dan panjang kromosom antara Papasan I dan II dapat dilihat pada idiogram yang tersaji pada Gambar 3. Berdasarkan ukuran panjang absolut pasangan kromosom dan idiogram, autosom dan kromosom kelamin Papasan I relatif lebih besar dan panjang daripada kromosom Papasan II. Walaupun terlihat adanya perbedaan ukuran kromosom (Tabel 3), namun hasil uji statistik pada aras 5% terhadap panjang lengan pendek (p), panjang lengan panjang (q) dan

panjang absolut kromosom (p+q), menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada ukuran lengan pendek pasangan kromosom kedua tanaman. Ukuran pasangan kromosom yang tidak berbeda nyata adalah kromosom kelamin dan pasangan autosom nomor 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, dan 11. Pada pasangan nomor 5 ukuran lengan pendek kromosom terdapat beda nyata antara Papasan I dengan Papasan II, sehingga ukuran lengan pendek pasangan autosom nomor 5 dapat menjadi karakter pembeda antara kedua tanaman yang diteliti.

sm

Keterangan : m = metasentris sm = submetasentris

Formula karyotype : 2n=24=20m+2sm+XX(m)

Gambar 1. Karyogram kromosom Papasan I.

sm

Keterangan : m = metasentris sm=submetasentris

Formula karyotype : 2n=24=20m+2sm+XX(m)

Gambar 2. Karyogram kromosom Papasan II.

136

Identifikasi Papasan (Coccinia grandis (L.) Voigt) di Tiga Populasi

Tabel 3. Rata-rata ukuran kromosom dan Indeks Sentromer (IS) Papasan I dan II.
Tanaman No. Pasangan Kromosom 1 2 3 4 5 Papasan I 6 7 8 9 10 11 X 1 2 3 4 5 Papasan II 6 7 8 9 10 11 X Panjang Kromosom (m) Lengan Lengan Panjang Pendek Panjang Absolut 0,790,129 1,440,189 2,250,267 0,870,112 0,860,102 0,820,109 0,760,083 0,730,069 0,730,075 0,700,061 0,700,091 0,660,083 0,580,109 0,510,079 0,800,133 0,860,090 0,800,069 0,730,097 0,730,073 0,750,067 0,670,081 0,700,062 0,670,071 0,600,073 0,540,083 0,500,074 1,130,182 0,990,139 0,940,128 0,940,155 0,890,114 0,860,102 0,820,135 0,770,107 0,740,095 0,690,112 0,590,120 1,330,162 1,030,121 0,960,085 0,960,130 0,910,099 0,840,085 0,860,103 0,780,063 0,740,077 0,690,072 0,620,075 0,560,078 2,020,255 1,860,254 1,780,252 1,720,242 1,660,230 1,620,211 1,550,230 1,480,22 1,420,218 1,290,249 1,160,268 2,130,23 1,890,129 1,760,105 1,700,113 1,640,106 1,580,089 1,530,108 1,480,092 1,420,116 1,290,122 1,170,146 1,060,148 Indeks Sentromer (IS) 35,34532 43,7189 46,63128 46,61615 44,83784 45,26413 46,06673 46,28729 47,77649 47,15998 45,46603 46,27804 36,5394 45,53865 45,77302 43,72844 46,33331 47,34739 44,37865 47,00024 47,26497 46,22531 45,71775 47,03352 Bentuk Kromosom sm m m m m m m m m m m m sm m m m m m m m m m m m

Keterangan : X = Pasangan kromosom kelamin betina

Hasil uji statistik terhadap panjang lengan panjang (q) (Tabel 5) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata ukuran lengan panjang pasangan kromosom Papasan I dan II, baik autosom maupun kromosom kelamin, demikian juga dengan panjang absolut

pasangan autosom maupun kromosom kelamin kedua tanaman. Karakter ukuran lengan panjang dan panjang absolut pasangan kromosom tidak dapat dijadikan karakter pembeda kedua tanaman Papasan.

137

Rindyastuti &Daryono

Tabel 4. Perbandingan karakter kromosom Papasan I dan II.


Karakter Kromosom Formula karyotype Panjang lengan pendek (m) Panjang lengan panjang (m) Panjang absolut (m) Indeks Sentromer (IS) Rasio panjang absolut (R) Papasan I 2n=24=20m+2sm+XX(m) 0,51-0,87 0,59-1,44 1,16-2,25 35,345-47,77649 2,01 Papasan II 2n=24=20m+2sm+XX(m) 0,50-0,86 0,56-1,33 1,06-2,13 36,5394-47,34739 2,00

Papasan I Papasan II

Gambar 3. Perbandingan idiogram kromosom Papasan I dan II.

Berdasarkan hasil uji statistik pada aras 5% (Tabel 5), nilai IS antara autosom maupun kromosom kelamin Papasan I dan II tidak berbeda nyata. Hal ini berarti bahwa nilai IS tidak dapat digunakan sebagai karakter pembeda antara kedua tanaman. Berdasarkan hasil uji statistik ukuran kromosom dan Indeks Sentromer, diduga Papasan I dan II masih tergolong dalam satu spesies. 138

Nilai R Nilai R merupakan rasio panjang absolut kromosom terpanjang dengan panjang absolut kromosom terpendek. Nilai R menunjukkan variasi ukuran kromosom. Semakin besar nilai R, variasi ukuran kromosom juga semakin tinggi. Selisih nilai R dua tanaman mengindikasikan perbedaan karakter kromosom dan hubungan kekera-

Identifikasi Papasan (Coccinia grandis (L.) Voigt) di Tiga Populasi

batannya. Untuk membandingkan nilai R Papasan I dan II, berikut disajikan perbandingan nilai R dengan anggota Cucurbitaceae lain yaitu Melon PI 371795 dan American muskmelon (Winarsih 2007) (Gambar 4). Berdasarkan Gambar 4, nilai R kedua Papasan tergolong kecil, artinya variasi ukuran diantara kromosomkromosom Papasan I dan II relatif rendah. Nilai R antara Papasan I dan II berbeda. Perbedaan nilai R tersebut dinyatakan sebagai selisih nilai R. Berdasarkan Tabel 5, selisih nilai R antara Papasan I dan II lebih kecil dari 0,25. Selisih nilai R Papasan I dan II dengan Melon PI 371795 kurang dari 0,25 sedangkan selisih nilai R Papasan I dan II dengan American muskmelon lebih besar dari 0,25.

PEMBAHASAN Perbedaan karakter morfologi antara Papasan I dan II memunculkan dugaan bahwa kedua Papasan merupakan varian yang berbeda. Namun, karakter morfologi tersebut belum cukup dijadikan dasar untuk memisahkan dua macam Papasan ke dalam spesies yang berbeda. Perbedaan karakter morfologi diduga menunjukkan perbedaan kategori infraspesifik yaitu kultivar. Hal ini disebabkan karena kedua tanaman yang diteliti tumbuh di habitat yang berbeda dan pengukuran karakter morfologi tidak dilakukan secara bersamaan sehingga kemungkinan kedua varian tersebut terjadi akibat adaptasi fisiologis terhadap faktor lingkungan seperti musim, cuaca atau kesuburan tanah.

Tabel 5. Hasil uji statistik (Uji T aras 5%) ukuran pasangan kromosom Papasan I dan Papasan II.
Pasangan kromosom 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 X Lengan Pendek NS NS NS NS S NS NS NS NS NS NS NS Lengan Panjang NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS Panjang absolut NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS Indeks Sentromer NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS

Keterangan : S = Signifikan, NS = Non-signifikan, X = Pasangan kromosom kelamin betina

139

Rindyastuti &Daryono

Perbandingan Nilai R
2.5 2 1.5

Nilai R

Nilai R
1 0.5 0 1 2 3 4 Jenis tanam an

Keterangan : 1 = Papasan 1, 2 = Papasan II, 3 = Melon PI 371795, 4 = American muskmelon

Gambar 4. Perbandingan nilai R Papasan I dan II dengan Melon PI 371795 dan American muskmelon. Tabel 5. Matriks selisih nilai R Papasan I dan II dengan Melon PI 371795 dan American muskmelon.
No. 1 2 3 4 Jenis Tanaman Papasan I Papasan II Melon PI 371795 American muskmelon Papasan I 0,01 0,125 0,575 Papasan II 0,115 0,565 Melon PI 371795 0,45 American muskmelon

Menurut Tamarin (1999), lama fase mitosis secara khusus diatur oleh gen dan bervariasi antara spesies satu dengan yang lain, antara organ yang satu dengan yang lain dalam satu spesies, bahkan antara tipe sel satu dengan tipe sel yang lain. Oleh sebab itu, perbedaan lama fase mitosis antara Papasan I dan II diduga disebabkan oleh perbedaan tempat tumbuh yang mempengaruhi pengaturan gen kedua Papasan. Ukuran pasangan kromosom antara Papasan I dan II tidak berbeda nyata baik autosom maupun kromosom kelaminnya. Perbedaan ukuran kromosom lengan pendek nomor 5 antara Papasan I dan II 140

dapat menjadi karakter pembeda antara kedua tanaman. Perbedaan pada satu karakter panjang lengan pasangan kromosom mengindikasikan bahwa Papasan II masih tergolong satu spesies dengan Papasan I sehingga perbedaan takson antara Papasan I dan II diduga terdapat pada kategori infraspesifik yaitu varietas. Variasi ukuran kromosom Papasan I lebih tinggi daripada Papasan II. Apabila nilai R kedua Papasan dibandingkan dengan nilai R anggota Cucurbitaceae lain yaitu Melon PI 371795 dan American muskmelon diketahui bahwa Papasan I memiliki variasi ukuran kromosom paling

Identifikasi Papasan (Coccinia grandis (L.) Voigt) di Tiga Populasi

tinggi di antara ketiga tanaman yang lain, sedangkan American muskmelon memiliki variasi ukuran kromosom paling rendah (Gambar 4). Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa selisih nilai R lebih besar dari 0,25 dapat digunakan sebagai dasar pemisahan dua tanaman ke dalam spesies yang berbeda (Ferruci 2000; Qi-Xing et al. 2000). Nogueira et al. dalam Ferruci (2000) memisahkan Serjania communis dengan S. gracillis berdasarkan selisih nilai R lebih dari 0,25. Senada dengan hal tersebut, Qi-Xing et al. (2000) menyatakan bahwa Amentotaxis argotaenia dengan rasio 2,71 memiliki kedudukan taksonomi yang sama dengan A. yunnanensis dengan rasio 2,59. Selisih nilai R Papasan I dan II yang lebih kecil dari 0,25 mengindikasikan bahwa kedua Papasan tergolong dalam satu spesies C. grandis L.. Selisih nilai R antara Papasan I dan II dengan Melon PI 371795, mengindikasikan bahwa Papasan I dan II memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan Melon PI 371795. Namun melon tidak tergolong dalam genus Coccinia, tetapi Cucumis. Selisih nilai R antara Papasan I dan II dengan American muskmelon yang tinggi, mengindikasikan bahwa berdasarkan karakter kromosom, American muskmelon memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan Papasan I dan II. Hal ini mungkin disebabkan karena American muskmelon telah banyak dikultivasi melalui program pemuliaan.

KESIMPULAN Berdasarkan perbandingan karakter fenotip, yaitu karakter morfologi daun, buah, bunga dan biji, serta karakter genotip yang meliputi waktu mitosis, jumlah, bentuk, ukuran, karyotype kromosom dan selisih nilai R yang lebih kecil dari 0,25, maka Papasan I dan II diduga masih tergolong dalam satu spesies Coccinia grandis (L.) Voigt. Perbedaan ukuran lengan pendek kromosom pasangan nomor 5 antara Papasan I dan II mengindikasikan perbedaan kategori takson infraspesifik yaitu varietas. Disamping itu, perbedaan karakter fenetik antara Papasan I dan II diduga hanya merupakan adaptasi yang bersifat fisiologis. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada segenap rekan-rekan dan Dosen Laboratorium Genetika Fakultas Biologi UGM, AAG. Raka Swastika, S.Si., Herlianti Anissa, Meastika Dianeta, S. Si. atas bantuannya secara teknis, Dr. Tuty Arisuryanti, M. Sc. atas bantuan konsultasinya, dan Drs. Purnomo, M. S. khususnya atas konsultasi di bidang taksonomi tumbuhan. Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Kisworo atas kontribusinya dalam pengadaan sampel. DAFTAR PUSTAKA Agarwal, PK. & RP. Roy. 1984. Karyotype of Coccinia indica. Indian J.Gen. & Plant Breeding 44(1): 117-120. 141

Rindyastuti &Daryono

Backer, CA. & RC. Bakhuizen van den Brink. 1965. Flora of Java Vol. 1. Walter Noordh off N.V Groningen. The Netherlands. 305. Ciawi, Y. 2006. Uji Bioaktivitas Antibakteri Tumbuhan Obat dari Lontar Usadha Taru Premana, serta Isolasi dan Identifikasi Senyawanya. http://www.lemlit.unud.ac.id/ind/ detailPenelitian.html?id=4138. Diakses tanggal 5 November 2007. Darlington, CD. & AP. Wylie. 1955. Chromosome Atlas of Flowering Plants. George Allens and UNWIN LTD. London. 98-101. Ferruci, MS. 2000. Cytotaxonomy of Sapindaceae with special reference to the tribe Paullinieae. www. stage.jst.go.jp/article/ cytologia/70/1/70_53/article. Guha, A, RK. Sinha & S. Sinha. 2004. Cytological, Cytochemical and Electrophoretic Distinction of a Dioecious Cucurbit, Coccinia indica. www. Jstage.jst.go.jp/ article/cytologia/70/1/70_53/article. Jahier, JM. Cheure, F. Eber, R. Delourne & AM. Tangui. 1996. Techniques of Plant Cytogenetics. Science Publisher, Inc. USA. 3-5. Jones, SB. & AE. Luchsinger. 1979. Plant Systematics. McGraw HillBook Company. New York. 1-77. Niedzielski, K. 2002. Effect of Coccinia indica on Blood Glucose Levels Aloxan-induced Diabetic Mice. w w. h a r t w i c k . e d u / P re b u i l t / BiolJBR3_www. hartwick.edu/ Prebuilt/BiolJBR3_ Niedziels-

ki.pdf+coccinia&hl=id&ct= nk&cd=54&gl=id. Ramachandran, K & B. Subramaniam. 1983. Scarlet Gourd, Coccinia grandis, Little-knownTropical Drug Plant. Econ. Bot. 37 (4) : 380-383. Russel, PJ. 1998. Genetics. Fifth edition.. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. California. 234-325. Smith, JM. 1998. Evolutionary Genetics. Oxford University Press, Inc. New York. 217-222. Singh, H. 1999. Plant Systematics. Science Publisher, Inc. USA. 176182. Tamarin, RH. 1999. Principles of Genetics. Sixth edition. McGraw Hill-Book, Comp. 51-57. Tjitrosoepomo, G. 2003. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Winarno, MW. & D. Sundari. 1996. Pemanfaatan Tumbuhan sebagai Obat Diare di Indonesia.http:// www.kalbe.co.id/files/cdk/files/ 10Pemanfaatan Tumbuhan Obat Diare109.pdf/10Pemanfaatan TumbuhanObatDiare109.html. Winarsih. 2007. Karakterisasi Kromosom Melon (Cucumis melo L.) PI 371795. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. Qi-Xing, Z., G. Zhi-Jiang & Y. ZhongShu. 2000. Karyomorphology and Relationships of Amentotaxus Pilg. Act Phytotaxo. Sin. 38 (6) : 525532. Memasukkan Agustus 2009 Diterima: September 2009

142

Jurnal Biologi Indonesia 6 (1):143-151 (2009)

Biodegradasi Phenantrene oleh Mikroba Laut M5 (Alcanivorax Borkumensis) yang Diisolasi dari Teluk Jakarta
Dyah Supriyati
Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Jl. Raya Cibinong KM 47 Cibinong Bogor ABSTRACT Biodiversity of Phenanthrene by Alcanivorak borkumensis M5 Isolated from Teluk Jakarta. Phenantrene is one of the most persistent organic substances in environment. Alcanivorax Borkumensis M5 was isolated from sea water, and able to degrade phenantrene after 5 hours. About 75 % of phenantrene was degraded after 12 hours. This isolate grew optimum at 300C, pH 7.8 with a doubling time of 14.5 hours and specific growth rate of 0.0476/hour. Polyhydroxybutirate (PHB) was produced during culture growth, but the synthesis was inversely correlated with the cell growth. The relation between PHB synthesis and phenantrene degradation is due required further investigation. Keywords: Phenanthrene, degradation ,bacteria Kata kunci: Phenantren, degradasi, bakteri

PENDAHULUAN Pencemaran lingkungan laut oleh minyak bumi, antara lain bisa disebabkan oleh tercecernya minyak bumi pada proses pengolahan, produksi, distribusi, maupun penggunaannya sehingga komponen-komponen minyak bumi terlepas ke dalam lingkungan..Salah satu komponen tumpahan minyak bumi yang berbahaya bagi ekosistem lingkungan laut adalah senyawa-senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) , yang merupakan salah satu senyawa karsenogenik (Cerniglia, 1984) yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Salah satunya adalah phenanthrene. Phenanthrene adalah senyawa Polycyclic Aromatics Hydrocarbons (PAH. yang tersusun dari gabungan tiga cincin benzena.

Menurut Brodkorb et al. 1992, frase phenanthrene merupakan gabungan dari senyawa alkil phenanthrene dan antrasen yang memiliki empat gugus karbon (tetrametil, dietil, metilpropil). Semua Phenanthrene C4n+2 memiliki tiga cincin benzena dan 1 gugus metil; maka, perlu dilakukan proses pembersihan terhadap tumpahan minyak bumi dengan teknik bioremediasi yaitu; biostimulasi dan bioaugmentasi. Peran bakteri indigenous akan sangat penting dalam proses biostimulasi.. Banyak penelitian ditujukan untuk mengetahui kemampuan mikroba untuk memecah senyawa PAH menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Cycloclasticus pugetti, Pseudomonas spp, telah dilaporkan mampu memecah PAH terutama phenantrene menjadi senyawa karbon dioksida melalui alur degradasi yang sangat komplek, yang

143

Dyah Supriyati

dikontrol oleh novel gen (Johnson & Karlson 2004; Lopez et al. 2006 ). Mikroba laut juga dilaporkan berperan dalam hidrolisis senyawa PAH. karena memiliki metabolisma yang berbeda dengan mikroba teresterial, oleh karenanya mikroba laut banyak dieksplor kemampuannya dalam biokonversi senyawa berbahaya, termasuk pestisida. PAH memiliki sifat mudah berikatan dengan jaringan lipolytic sehingga mudah terakumulasi di dalam tubuh. Distribusi ekologi mikroba laut tergantung dari rentang toleransi pH, salinitas temperatur dan status nutrisi. Parameter lingkungan tersebut menentukan fisiologi dan aktivitas sel di lingkungan, sehingga aktivitas mikroba yang mampu mendegradasi phenantrene juga tergantung dari parameter lingkungan tersebut (Mulder et al. 2001; Uyttebroek et al. 2002). Mikroba laut dari marga Spingomonas umumnya memiliki distribusi ekologi yang sangat luas dari salinitas rendah (0%) sampai dengan salinitas tinggi (10%). Namun marga Salipiger kemungkinan mempunyai rentang distribusi ekologi yang lebih sempit dibandingkan dengan marga Spingomonas karena beberapa anggota dari marga Salipiger tidak dapat tumbuh pada salinitas 0%. Karakteristik ekologi dan fisiologi (terutama penggunaan sumber C yang berbeda dan aktivitas enzimatik) dari mikroba yang mampu mendegradasi PAH perlu diintensifkan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memprediksi distribusi ekologi dari jasad renik yang berpeluang dimanfaatkan sebagai agen bioaugmentasi untuk limbah yang mengandung PAH. 144

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik mikroba laut yang mempunyai potensi sebagai agen bioaugmentasi untuk limbah yang mengandung phenantrene di dalam minyak bumi. BAHAN DAN CARA KERJA Sampel penelitian ini diambil dari Teluk Jakarta. Letak astronomisnya adalah 106,60 BT dan 5,850 LS. Bakteri potensial pendegradasi PAH diisolasi pada medium minimum ONR7a : per liter akuades) 22,79 gr NaCl, 11,18 gr MgCl26H2O, 3,98 gr Na2SO 4, 1,46 gr CaCl22H2O, 1,3 gr TAPSO {3-[N-tris(hydroxymethyl) methylamino]-2-hydroxypropanesulfonic acid}, 0,72 gr KCl, 0,27 gr NH4Cl, 89 mg Na2HPO47H2O, 83 mg NaBr, 31 mg NaHCO 3 , 27 mg H 3 BO 3 , 24 mg SrCl26H2O, 2,6 mg NaF, dan 2,0 mg FeCl24H2O. Untuk mencegah presipitasi selama proses sterilisasi dibuat 3 macam larutan yang terpisah dan dicampurkan setelah proses sterilisasi selesai (larutan mencapai temperatur 50C). Larutan pertama mengandung NaCl, Na2SO 4, KCl, NaBr, NaHCO 4 , H 3BO 3 , NaF, NH 4 Cl, Na 2 HPO 4 dan TAPSO (sesuaikan pH hingga 7.6 dengan NaOH), larutan kedua mengandung MgCl2, CaCl2, dan SrCl2 (divalent cation salts), dan larutan ketiga mengandung FeCl2. Untuk memadatkan media, Noble Agar (Difco) (15.0 gr/L) ditambahkan pada larutan pertama. Penambahan phenantrene di dalam media dilakukan menggunakan teknik sublimasi yaitu temperatur sublimasi 1000C dan waktu sublimasi 10 menit.

Biodegradasi Phenantrene oleh Mikroba Laut M5

Mikroba yang tumbuh pada media ONR7a dan membentuk zona bening disekitar koloni adalah mikroba pengguna phenantrene. Mikroba yang memiliki zona bening selanjutnya di sub kultur pada media marine broth sebanyak 3 kali untuk mendapatkan biakan murni. Setelah menemukan zona bening di sekitar biakan potensial yang telah terisolasi, secara aseptik inokulasikan biakan-biakan potensial tersebut kembali ke medium ONR7a. Inkubasi pada suhu normal selama 24-72 jam. Kemudian pindahkan bakteri potensial tersebut ke media minimum ONR7a kembali. Uji kemurnian biakan dengan menanamnya di medium kaya (contohnya: medium marine agar). Isolat yang sudah murni, disubkultur ke 5 ml medium cair ONR7 yang mengandung 5 mg kristal senyawa Phenanthrene. Uji pertumbuhan biakan murni terseleksi pendegradasi phenantrene yang dilakukan dengan variasi tiga parameter fisik yaitu salinitas, temperatur dan pH. Biakan murni bakteri ditumbuhkan pada media air laut, dengan sumber karbon glukosa 5 gr/l dan yeast extract 0.5 gr/l .Salinitas + 3,3% dan Salinitas 5% , suhu 30oC dan suhu 40oC, dan pH 7.8 dan 5.17. Kecepatan pertumbuhan diikuti dengan menggunakan Spektrofotometer pada panjang gelombang 600 nm, yang diukur setiap 4 jam. Uji biodegradasi PAH Phenantrene dilakukan dengan mengamati perubahan konsentrasi total karbon phenanthrene selama selang waktu tertentu. Karena pengukuran total karbon dilakukan dalam fase cair, maka Phenanthrene harus

dapat dilarutkan ke dalam medium uji air laut. Phenanthrene dilarutkan dengan menggunakan DMSO sebanyak 10 % (V/V). Kecepatan degradasi diukur setiap 4 jam, dengan menggunakan GCMS (Harayama et al. 1999). 1 ml sampel di dalam appendorf, disentrifuge dengan kecepatan 6000 rpm selama 15 menit pada suhu 40C. Buang supernatan, timbang berat kering selnya. Campurkan 1 ml sampel kultur dengan 1 ml pewarna Suddan Black B dengan menggunakan Vortex. Inkubasi selama 1 jam di suhu kamar. Amati dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 595 nm. Campuran tersebut kemudian disentrifuge kembali 5000 rpm selama 10 menit, kemudian ukur kembali supernatannya dengan spektrofotometer pada panjang gel 595nm. PHB yang terbentuk akan terikat di dalam sel, sehingga warna campuran berubah menjadi lebih bening. Selisih absorbansi pada panjang gelombang 595 nm sebelum dan sesudah disentrifuge itu adalah PHB yang terbentuk. Dengan membandingkan selisih absorbansi dengan standar PHB dengan OD 595 nm dapat diketahui besarnya mg PHB/ gr sel. HASIL Diversitas mikroba pendegradasi PAHs dari air laut Panantrene merupakan senyawa PAHs yang persisten di lingkungan. Deteksi mikroba yang mampu mendegrdasi PAHs dilakukan menggunakan metoda sublimasi. 145

Dyah Supriyati

Terbentuknya zona bening pada koloni bakteri yang sedang tumbuh merupakan indikasi mikroba mampu menghidrolisis phenantrene. Diversitas mikroba pendegradasi phenantrene diperlihatkan pada Tabel 1. Tabel 1 memperlihatkan bahwa isolat M5 mampu menghidrolisis phenantrene dengan cepat. Biak tersebut setelah dilakukan uji konfirmasi, ternyata tetap mampu menghidrolisis PAHs dengan cepat, yaitu zona bening terbentuk setelah 6 jam waktu inkubasi. Karena kemampuannya menghidrolisis phenantrene maka isolat tersebut dipilih untuk dipelajari karakter fisiologinya. Kecepatan hidrolisis phenantrene Kemampuan degradasi PAHs diuji pada medium ONR7a. Medium ini mengandung kebutuhan nitrogen dan posfat yang memadai untuk degradasi phenantrene. Isolat M5 mampu menghidrolisis phenantrene setelah 4 jam waktu inkubasi, sekitar 75 % dari Phenantrene terdegradasi dalam waktu 12 jam. Selanjutnya kecepatan degradasi lambat (Gambar 1). Untuk mengetahui kemampuan adaptasi biak M5, selanjutnya dilakukan uji pertumbuhan

pada tingkat salinitas sekitar 3.3% dan-5 %. Identifikasi Tahapan dan hasil identifikasi biak terseleksi potensial pendegradasi PAH phenanthrene M5 dengan 16rDNA menyebutkan bahwa bakteri tersebut adalah : Alcanivorax borkumensis strain PTG49 (98%). Uji pertumbuhan pada rentang salinitas Variasi Salinitas Bakteri M5 mempunyai pola pertumbuhan yang sama ,pada salinitas 3.3% maupun 5 %. Bakteri baru tumbuh setelah 24 jam inkubasi. Pada salinitas 5% fase kematian sudah mulai terlihat setelah 36 jam inkubasi, sedsang pada salinitas 3.3% bakteri masih masih hidup stabil ( Gambar 2) Variasi suhu Bakteri M5 (Alcanivorak berkumensis) yang tumbuh pada media dengan suhu 400C lebih cepat tumbuh (8 jam inkubasi) tetapi pertumbuhannya kurang bagus bila dibandingkan dengan yang tumbuh pada media dengan suhu

Tabel 1. Pengujian degradasi phenantrene terhadap mikroba laut


No. 1 2 3 4 5 Kode Isolat M5 M1 M2 M3 M4 Kemampuan mendegrdasi +++ + Radius zona bening 2 mm 1 mm Karakter koloni Warna kuning, Warna kuning kecoklatan Warna Putih, tumbuh cembung Warna kuning, Warna putih kekuningan

146

Biodegradasi Phenantrene oleh Mikroba Laut M5

300C. Pada suhu 300C, bakteri terlihat tumbuh pada 24 inkubasi, dan pertumbuhannya relative lebih subur (Gambar 2) Variasi pH Pola pertumbuhan bakteri M5 (Alcanivorak berkumensis) pada media dengan pH 7.8 dan 5.17 hampir sama, mulai terlihat tumbuh 24 jam setelah inkubasi, tetapi tumbuh lebih subur pada media dengan pH 7.8 (Gambar 2) Berat sel. Produksi sel diukur pada biak yang tumbuh pada media dengan salinitas 3.3%, 5% dan pH 5.17. Dari ketiga sampel yang diukur berat selnya, produksi sel tertinggi dicapai biak M5 (Alcanivorak berkumensis) yang tumbuh pada media air laut dengan salinitas 3.3%, diikuti pada salinitas 5% dan pH 5.17 (Gambar 3). Produksi PHB Produksi PHB terlihat berbanding terbalik dengan pertumbuhan bakteri.

Pada media dengan salinitas 3.3 % yang terlihat optimal untuk pertumbuhannya, sel membentuk PHB paling sedikit, begitu juga berikutnya produksi PHB oleh biak yang tumbuh pada salinitas 5 % dan yang tertinggi adalah produksi PHB oleh biak yang tumbuh pada pH 5.17 (Gambar 3). PEMBAHASAN Isolasi, Purifikasi, Uji Konfirmasi Biak Pendegradasi PAH dan Identifikasi Zona bening yang kemudian diamati di sekeliling koloni bakteri adalah kondisi dimana telah menghilangnya kandungan PAHs phenantrene dari medium ONR7a, karena telah dihidrolisis oleh bakteri dalam metabolismenya. Pembentukan zona bening di sekeliling koloni bakteri yang tumbuh telah menunjukkan bahwa koloni bakteri tersebut dapat tumbuh dan mampu memanfaatkan senyawa PAHs Phenantrene sebagai sumber karbon dalam metabolismenya.

P5Sand A 120 Phenantren (mg/ 100 80 60 40 20 0 0 5 10 15 20 25 30 35 Waktu inkubasi (jam)

Gambar 1. Degradasi phenantrene oleh biak M5

147

Dyah Supriyati

Tabel 2. Persamaan linear waktu dengan Ln N untuk penentuan nilai dan td dari pH 7.8 dan pH 5.17 pada Alcanivorak borkumensis
pH/Suhu/Salinitas Persamaan Linear R2 Persamaan (jam -1) Linear penentuan pH 7.8 Y= 0.0437 x + 0.2273 R2 = 0.9704 0.0437 pH 5.17 30 C 40 0C Salinitas 3.3% Salinitas 5%
0

Td (jam) 15.79 48.25 18.7 38.33 14.5 25.94

Y= 0.0143x + 0.3958 Y=0.0369 x +0.302 Y=0.018 x +0.3344 Y= 0.0476 x + 0.3887 Y= 0.0266x + 0.501

R2 = 0.9701 R = 0.9459 R 2 = 0.8869 R2 = 0.9685 R2 = 0.9977


2

0.0143 0.0369 0.018 0.0476 0.0266

1.6 1.4 OD 600 nm 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 24 48 Waktu (jam) 72 96 Salin3.3% Salin 5% 1.2

1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 0 24 48 72 Waktu (jam)

OD 600 nm

40 0 C 30 0 C

96

1.6 1.4 OD 600 nm 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 24 48 Waktu (Jam) 72 96 pH 7.8 pH 5.17

Gambar 2. Pertumbuhan bakteri Alcanivorak berkumensis M5 pada media dengan salinitas suhu dan pH yang berbeda

148

Biodegradasi Phenantrene oleh Mikroba Laut M5

Uji Pertumbuhan dengan Variasi Salinitas, pH dan Temperatur Bagi biak M5 (Alcanivorax berkumensis) pertumbuhan pada media dengan salinitas 3,3 % lebih baik dibandingkan dengan 5. Pada media dengan salinitas 3.3%, dengan td 14.5 jam berarti bakteri mempunyai waktu generasi 14.5 jam. Artinya setiap 14.5 jam di salinitas 3.3% terbentuk dua sel baru hasil pembelahan biner dari sel induk bakteri M5. Nilai waktu generasi M5 ini lebih cepat, jika dibandingkan dengan waktu generasi bakteri M5 yang tumbuh pada Salinitas 5% (25.94 jam) Pertumbuhan biak M5 (Alcanivorak berkumensis) pada media dengan suhu 30 oC lebih baik dibandingkan dengan 40oC. Dengan td 18.7 jam ,bakteri mempunyai waktu generasi 18.7 jam.. Nilai waktu generasi M5 pada suhu 30oC ini lebih cepat, jika dibandingkan dengan waktu generasi bakteri M5 yang tumbuh pada Suhu 40oC (38.33 jam) Biak M5 tidak dapat tumbuh baik pada media dengan pH rendah (5.17). Pada media dengan pH 7.8 bakteri M5 mempunyai td 15.79 jam Nilai waktu

generasi M5 ini lebih cepat, jika dibandingkan dengan waktu generasi bakteri M5 yang tumbuh pada pH 5.17 (45.25jam) Produksi sel terbanyak dicapai oleh biak M5 yang tumbuh pada media air laut dengan salinitas 3.3 %. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri ini tumbuh paling optimal pada salinitas 3.3 %. Sedangkan, secara umum bakteri dapat tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas 1%-5%. Di salinitas 5%, pertumbuhan bakteri M5 mulai lemah. Dilihat dari sifatnya terhadap berbagai salinitas lingkungan perairan ini, bakteri ini bisa dikategorikan sebagai bakteri laut tropis. Hal ini menunjukkan bahwa, bakteri M5 adalah salah satu mikroba yang dapat berperan penting dalam proses biostimulasi pada biodegradasi kasus tumpahan minyak di lingkungan laut tropis, seperti misalnya di perairan laut Indonesia. Dilihat dari 3 parameter di atas (waktu generasi, laju pertumbuhan, dan produksi sel), dapat ditarik kesimpulan bahwa bakteri M5 tumbuh baik pada kondisi temperatur, salinitas maupun pH yang serupa dengan asalnya.

2.5

Berat sel (gr/l)

1.5 1 0.5 0 Salin3.3% Salin 5% pH 5.17

PHB mg/g sel

0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0 Salin3.3% Salin 5% pH 5.17

Media

Media

Gambar 3. Produksi sel (kiri) dan PHB (kanan) bakteri Alcanivorak borkumensis M5 pada media air laut

149

Dyah Supriyati

Degradasi Phenanthrene Pada uji degradasi Phenanthrene ini, karena menggunakan rangkaian botol L yang berisi medium air laut steril terfiltrasi dan dilarutkan senyawa phenanthrene sebagai satu-satunya sumber karbon (tidak dilakukan penambahan sumber karbon lain) dengan konsentrasi 100 mg/L.. Media seawater ini dipilih karena menurut Springael, 2006 recovery bakteri laut pada penanaman menggunakan medium seawater ini adalah berkisar 2 60%, dimana lebih tinggi dari yang didapat dengan medium konvensional (kurang dari 0,1%). Dengan tumbuhnya bakteri M5 tersebut, pada media air laut mengandung phenantrene, menunjukkan bahwa bakteri tersebut dapat memanfaatkan sumber karbon hanya dari phenantrene. Produksi PHB PHB (polyhydrxybutirate) merupakan salah satu senyawa penting yang berperan sebagai elektron aseptor (Anderson & dawes, 1990) pada proses anaerobik-aerobik, dan nampaknya senyawa ini juga berperan pada proses degradasi phenenantrene. Pada media yang relatif optimum untuk pertumbuhannya, bakteri M5 justru sel membentuk PHB paling sedikit.Pada media dimana pertumbuhan bakteri M5 terlihat terhambat, sel jusru membentuk PHB lebih banyak. Kemungkinan peran PHB pada degradasi phenantrene perlu penelitian lebih lanjut.

KESIMPULAN Alkanivorax borkumensis M5 merupakan mikroba laut yang berperan dalam degrdasi phenantrene, tumbuh optimum pada salinitas 3,3 % , suhu 30oC dan pH mendekati netral (7.8) Kemungkinan isolat M5 mampu membentuk PHB, yang berperan pada proses degradasi phenantrene, perlu diteliti lebih lanjut. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Made Sudiana,atas bantuan yang diberikan hingga selesainya tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Anderson, A.J. & E A. Dawes. 1990. Occurrence, metabolism, metabolic role, and industrial uses of bacterial polyhydroxyalkanoates. Microbiol. Rev. 54:450472. Brodkorb, TS. &R L. Legge. 1992. Enhanced biodegradation of phenanthrene in oil tar-contaminated soils supplemented with Phanerochaete chrysosporium. Appl. Environ. Microbiol. 58:31173121. Cerniglia, CE. 1984. Microbial degradation of polycyclic aromatic hydrocarbons.Adv. Appl. Microbiol. 30:3171.

150

Biodegradasi Phenantrene oleh Mikroba Laut M5

Harayama, S., H. Kishira, Y. Kasai & K. Shutsubo. 1999. Petroleum biodegradation in marine environments. J. Mol. Microbiol. Biotechnol. 1:6370 Johnsen, AR.&U. Karlson. 2004. Evaluation of bacterial strategies to promote the bioavailability of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs). Appl. Microbiol. Biotechnol. 63:452459. Lopez, Z, J. Vila, C. Minguillon & M. Grifoll. 2006. Metabolism of fluoranthene by Mycobacterium sp. strain AP1. Appl. Microbiol. Biotechnol. 70:747756. Mulder, H., AM. Breure & WH. Rulkens. 2001. Prediction of complete bioremediation periods for PAH soil pollutants in different physical states by mechanistic

models. Chemosphere 43:1085 1094. Springael. 2006. Distribution of the Mycobacterium community and polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) among different size fractions of a longterm PAHcontaminated soil. Environ. Microbiol. 8:836847. Uyttebroek, MP. Breugelmans, M. Janssen, P. Wattiau, B. Joffe, U. Karlson, JJ. Ortega-Calvo, L. Bastiaens, A. Ryngaert, M. Hausner, D. Johnsen, ARK. Bendixen, & U. Karlson. 2002. Detection of microbial growth on polycyclic aromatic hydrocarbons in microtiter plates using the respiration indicator WST-1. Appl. Environ. Microbiol. 68:26832689.

Memasukkan: Agustus 2009 Diterima: September 2009

151

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 1 (2009)


PANDUAN PENULIS

Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan: JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/ Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA. Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masingmasing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halam terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol , , , dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis). Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali. Daftar pustaka ditulis secara abjad menggunakan sistem nama-tahun. Contoh penulisan pustaka acuan sebagai berikut : Jurnal : Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354. Buku : Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge. Bab dalam Buku : Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, & N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277. Abstrak : Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 18 Oktober 1982. 42. Prosiding : Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158. Skripsi, Tesis, Disertasi : Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia.[Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Informasi dari Internet : Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/ lorCp.1.html.

J. Biol. Indon. Vol 6, No.1 (2009)

UCAPAN TERIMA KASIH Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 6, No 1, Desember 2009: Dr. Fredinan Yulianda Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Dr. Hari Sutrisno, Puslit Biologi-LIPI Ir. Heryanto MSc, Puslit Biologi-LIPI Ir. Majariana Krisanti MSi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Dr. Niken Tunjung Murti Pratiwi, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB Dr. Rugayah, Puslit Biologi-LIPI

Edisi ini dibiayai oleh DIPA Puslit Biologi-LIPI 2009

J. Biol. Indon. Vol 6, No. 1 (2009)

Toksisitas Isolat-Isolat Bacillus thuringiensis yang Mengandung Gen cry 1A Terhadap Hama Penggerek Batang Jagung, Ostrinia furnacalis Guenee Bahagiawati, Habib Rizjaani, Agustina K. Sibuea Pengaruh Inokulasi Bakteri Terhadap Pertumbuhan Awal Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Sri Widawati & Maman Rahmansyah Karakteristik Tipe Pakan Kelelawar Pemakan Buah dan Nektar di Daerah Perkotaan: Studi Kasus di Kebun Raya Bogor Sri Soegiharto & Agus P. Kartono Identifikasi Papasan (Coccinia grandis (L.) Voigt) Di Tiga Populasi di Yogyakarta Ridesti Rindyastuti & Budi Setiadi Daryono Biodegradasi Phenantrene oleh Mikroba Laut M5 (Alcanivorax Borkumensis) yang Diisolasi dari Teluk Jakarta Dyah Supriyati

97

107

119

131

143

Anda mungkin juga menyukai