Menetapkan Indikator Kinerja

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 8

Menetapkan Indikator Kinerja dan Menghitung Biaya Pelayanan (Melihat Potret ABK Pemkot Semarang)

Oleh: H. Soemarmo HS (Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah/ Bappeda Kota Semarang)

Perubahan. Itulah kata yang punya makna strategis. Apapun yang kita alami di dunia ini, pasti akan menemui apa yang disebut perubahan. Jadi, bersiaplah untuk berubah setiap saat.

Hal itulah yang sekarang sedang terjadi dalam pola penganggaran pemerintah Indonesia. Penguasa republik ini telah menggelorakan nuansa baru dalam mengelola anggaran negara. Setelah melalui kajian yang mendalam ternyata sistem penganggaran yang lama dianggap kurang sempurna. Salah satunya adalah tidak dapat mengukur prestasi kerja dari suatu unit organisasi. Kesuksesan penggunaan anggaran negara hanya dilihat dari produk yang dihasilkan oleh suatu kegiatan/proyek, belum menyentuh kepada manfaat yang didapat. Oleh karena itu, pemerintah mencoba mencari bentuk model penganggaran yang dapat digunakan sebagai alat untuk menilai prestasi kerja dari suatu unit organisasi. Dipilihlah performance based budgeting atau anggaran berbasis kinerja (ABK). Dengan ABK ini diharapkan penggunaan anggaran negara akan lebih terarah, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Ketentuan dan peraturan perundang-undangan tentang pelaksanaan ABK telah dikeluarkan pemerintah sebagai pedoman bagi semua instansi/lembaga pemerintah. Sistem ABK ini sendiri mulai diterapkan secara bertahap mulai tahun anggaran 2005. Dengan demikian, suka tidak suka semua instansi/lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah harus sudah mulai menerapkannya.

Anggaran berbasis prestasi kerja merupakan sistem perencanaan anggaran yang mengaitkan antara anggaran dengan hasil yang ingin dicapai. Penerapannya dimulai dari perencanaan kinerja pada tingkat instansi (pusat dan daerah). Di sini pentingnya instansi perencana yang mengkoordinasikan penyusunan program dan kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai dasar penyusunan kebutuhan anggaran instansi/lembaga pemerintah. Keberhasilan penggunaan anggaran dimulai dari perencanaannya.

Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Semarang, Drs. H. Soemarmo HS, M. Si, anggaran berbasis kinerja merupakan pola penganggaran pemerintah yang mengutamakan keterkaitan antara anggaran yang diperlukan dengan hasil yang diinginkan. Penerapannya dimulai dengan perencanaan kinerja di tingkat departemen/lembaga, baik pusat maupun daerah. Perencanaan kinerja mencerminkan komitmen unit organisasi mengenai kinerja yang akan dihasilkan dan selanjutnya dijabarkan kedalam program dan kegiatan, tambah Soemarmo.

Perencanaan Anggaran dengan Sistem ABK

Perencanaan pembangunan di Kota Semarang merupakan perpaduan antara model bottom up dan top down, artinya kegiatan yang akan dilaksanakan merupakan usulan dari bawah yang dipadukan dengan kebijakan dari atas. Diawali usulan musyawarah pembangunan (musbang) tingkat kelurahan, kecamatan, kemudian dilanjutkan ke tingkat kota, usulan masyarakat ditampung di forum musbang tingkat kota. Musbang Tingkat Kota yang melibatkan unit kerja dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD), menghasilkan usulan kebutuhan kegiatan. Hasil itu selanjutnya dibahas lagi dalam musbang dengan stakeholder untuk mengevaluasi apakah usulan tersebut memang merupakan kegiatan yang benar-benar diperlukan di Kota Semarang. Stakeholder yang terlibat antara lain LSM, perguruan tinggi, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi profesi, kelompok/forum informasi masyarakat, dan sebagainya. Dalam rangka penerapan sistem ABK, maka 2

usulan-usulan yang dibuat harus sudah memuat input, output, manfaat, atau pun dampak dari suatu kegiatan, ungkap Soemarmo.

Bagi sebagian besar masyarakat, perumusan input, output, dan outcome, merupakan hal yang baru. Untuk membina masyarakat agar dapat merumuskan input, output dan outcome, Bappeda melakukan sosialisasi petunjuk penyusunan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah (SPPD) di tingkat kelurahan, kecamatan, dan dinas/instansi. Dalam SPPD dipaparkan cara-cara mengusulkan kegiatan, jalur-jalur yang harus ditempuh, cara merumuskan dan mengisi input, output, dan seterusnya, tambah Soemarmo.

Usulan-usulan yang telah dibuat harus ada kaitannya dengan perencanaan strategis (Renstra) dan perencanaan kinerja (Renja), kata Kepala Bappeda Kota Semarang. Lebih lanjut ia menambahkan, sistem perencanaan pembangunan secara makro dimulai dengan disusunnya RPJP (rencana pembangunan jangka panjang, biasanya dalam kurun waktu sepuluh tahun), kemudian RPJM (rencana pembangunan jangka menengah/lima tahunan), dan rencana tahunan. Dinas/instansi menyusun Renstra (lima tahunan) dan Renja (rencana tahunan) dan di-breakdown kedalam buku APBD. Jadi, dalam mengajukan usulan kegiatan tidak boleh menyimpang dari dokumendokumen tersebut. Jika menyimpang, dilihat dulu tingkat urgensinya. Misalnya ada kegiatan yang harus segera dikerjakan karena terjadi bencana alam, maka hal ini bisa ditolerir, imbuh Soemarmo.

Usulan-usulan kegiatan dari masyarakat dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang sudah dibahas tadi, oleh Bappeda disusun menjadi Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Di dalam RKPD sudah memuat targettarget kinerja yang ingin dicapai. Apa yang diungkap dalam RKPD dibahas lagi dalam forum antara eksekutif dan legislatif. Hasil kesepakatannya dituangkan dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) Pemda Kota Semarang. Pada dokumen KUA belum ada rupiahnya. Target-target kinerja yang tercantum dalam KUA sifatnya masih umum. Jika KUA sudah dibahas dalam rapat pembahasan anggaran dengan pihak legislatif dan dituangkan dalam 3

APBD, masing-masing dinas/instansi membuat indikator kinerja yang spesifik untuk instansinya.

Misalnya pada tahun 2007 Pemda Kota Semarang mempunyai target di bidang ekonomi yaitu meningkatnya pertumbuhan ekonomi sebesar 5%, ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan bidang ekonomi di Kota Semarang. Masing-masing sektor pendukung pertumbuhan ekonomi (sektor perdagangan, jasa, koperasi, dan sebagainya) mempunyai indikator sendiri-sendiri. Inilah beda Sistem ABK dengan sistem anggaran yang lama. Kalau dulu, anggaran tersedia dulu baru dirinci dalam kegiatan. Tapi sekarang kinerjanya ditetapkan dulu, baru dananya dituangkan, demikian tambah Soemarmo.

Menyaring Kewajaran Output

ABK adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat dan aparat yang ikut terlibat di dalamnya. Bappeda sebagai salah satu instansi yang terlibat secara langsung dalam menangani ABK tentunya dapat melihat bahwa ABK ini merupakan salah satu alat untuk meningkatkan prestasi kerja, bukan sekedar menampung aspirasi masyarakat kemudian dituangkan dalam dokumendokumen anggaran. Menurut Soemarmo, ABK dapat dijadikan alat untuk peningkatan kinerja organisasi, karena dalam sistem ABK ini setiap anggaran yang dimintakan oleh dinas/instansi harus dapat dipertanggungjawabkan baik dari sisi anggaran maupun pelaksanaannya. Hasilnya pun harus jelas dan terukur. Terkait dengan hal itu, Bappeda sebagai instansi perencana pembangunan, meneliti usulan-usulan kegiatan yang diajukan oleh

masyarakat dan dinas/instansi, kemudian kinerja kegiatan tersebut dipertajam dalam pembahasan rencana anggaran satuan kerja (RASK).

Pembahasannya dititikberatkan pada manfaat kegiatan bagi masyarakat.

Sebagai contoh jika ada dua kegiatan membuat jembatan dan membuat jalan, maka dilihat dulu manfaat dan dampak yang paling utama bagi masyarakat di daerah sekitarnya. Kalau dengan membuat jembatan akan dapat membuka 4

akses perekonomian masyarakat, maka jembatan dibuat dulu, baru kemudian perbaikan jalan, kata Soemarmo memberi contoh.

Selain itu, pada saat penetapan kinerja secara mikro pada saat menyusun program dan kegiatan dalam RASK, Bappeda turut mengamati indikatorindikator kinerjanya terutama menyangkut indikator kinerja output. Tujuannya adalah untuk mengetahui kewajaran output yang dihasilkan dari suatu kegiatan ataupun program.

Misalnya, ada kegiatan pembangunan gedung di dinas A dan B yang samasama membutuhkan anggaran sebesar Rp250 juta. Dengan dana tersebut dinas A dapat membangun gedung seluas 300 m2, sementara dinas B hanya dapat membangun gedung seluas 200 m2. Di sini terjadi ketidakwajaran output di dinas B. Jika terjadi hal yang demikian maka Bappeda dapat memanggil dinas yang bersangkutan untuk dimintai klarifikasinya. Di sinilah dalam rangka penerapan anggaran berbasis kinerja, Bappeda ikut berperan menyaring kewajaran output yang dihasilkan oleh unit organisasi, demikian ungkap Soemarmo mengakhiri uraiannya.

Perubahan Aturan

Pemerintah Kota Semarang telah melaksanakan Anggaran Berbasis Kinerja sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003. Dalam penyusunan anggaran, Pemerintah Kota Semarang telah memperhatikan setiap cost yang dikeluarkan dengan kejelasan output, dan dampaknya. Semua cost sudah terukur, sesuai dengan indikator kinerja yang dibuat. Hal ini dikatakan oleh Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah, Pemerintah Kota Semarang, Agustin Lusin Dwimayati, SH, MM.

Kaitannya dengan indikator kinerja, Lusin, demikian panggilan akrabnya menambahkan, bahwa Pemerintah Kota Semarang, telah menyusun Standar Analisa Belanja dan Standar Pelayanan sebagai suatu ukuran. Misal biaya pemeliharaan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah dapat diukur. 5

Kami sudah bisa menghitung berapa biaya pemeliharaan gedung SD untuk masing-masing siswa SD di wilayah Kota Semarang, dengan menggunakan Standar Analisa Belanja dan Standar Pelayanan, kata Lusin yang lulusan Pasca Sarjana Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta ini. Walau diakuinya masih banyak kendala yang dihadapi, namun upaya ke arah pembentukan indikator kinerja tersebut sudah dilaksanakan.

Kendala yang dihadapi Pemerintah Kota Semarang ini, merupakan kendala yang dihadapi oleh seluruh pemerintah daerah dalam menyusun anggaran daerahnya. Hal ini disebabkan adanya perubahan yang mendasar dari sistem penganggaran. SDM yang ada di SKPD kebanyakan belum menguasai perubah-an system tersebut. Kendala SDM itu dapat kami eliminir, dengan mengikut-sertakan mereka dalam bimbingan-bim-bingan teknis penyusunan anggaran maupun pelaporannya. Setiap tahun kami mengirimkan ke diklatdiklat yang diselenggarakan oleh Provinsi Jawa Tengah. Bahkan, ketika ada program peningkatan kapasitas SDM Departe-men Dalam Negeri, Pemerintah Kota Semarang pernah mengirim pegawainya untuk mengikuti kuliah Pascasarjana di UGM," demikian tambah Agustin Lusin Dwimayati, SH, M.M.

Cara lain mengeliminir kendala yang ada dalam mengimplementasikan Anggaran Berbasis Kinerja di Pemda Kota Semarang adalah dengan membuat software penerapan ABK, bekerja sama dengan tim dari UGM untuk masing-masing SKPD. Software tersebut, sangat membantu SKPD dalam menyusun anggaran dan membuat laporannya. Selain pengadaan software tersebut, dukungan dari sarana hardware juga disediakan oleh Pemda Kota Semarang.

Kendala lain dalam penerapan ABK di Pemda Kota Semarang, menurut lulusan Fakultas Hukum Undip tahun 1985 ini, adalah menetapan tolok ukur. Penetapan tolok ukur kinerja kegiatan fisik lebih mudah daripada kegiatan non fisik. Untuk kegiatan fisik apabila pekerjaan sudah selesai 100% maka dapat dikatakan kinerja telah tercapai. Namun bila pekerjaan tersebut non 6

fisik, belum tentu capaian kinerjanya 100%. Kami mengambil kebijakan untuk kegiatan non fisik, capaian kinerja adalah 80% dan sudah dapat dikatakan optimal, imbuhnya.

Lusin mencontohkan adanya kegiatan simulasi bimbingan teknis aplikasi ABK untuk 60 SKPD di Kota Semarang. Ternyata yang dapat menyerap bimbingan teknis itu hanya 80%. Ada 20% yang belum dapat memahami bimbingan teknik tersebut, terlihat dari masih ditemuinya kesulitan dalam penerapan aplikasi penyusunan laporan. Masih belum sempurnanya penyusunan laporan. Ini merupakan salah satu indikator kekurangan mereka dalam menyerap bimbingan teknik tersebut. Namun, kegiatan ini dapat dikatakan telah optimal, karena telah mencapai capaian kinerja 80%, imbuh Lusin yang mantan Kepala Sub Dinas Pembiayaan DPKD Kota Semarang ini.

Penetapan tolok ukur SKPD, dirumuskan oleh masing-masing SKPD, di samping membuat Standar Pelayanan Minimal. Dengan demikian diharapkan capaian kinerja yang ingin mereka capai benar-benar realistis, karena sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Perumusan tolok ukur SKPD ini mengacu kepada ketentuan yang dibuat oleh BPKP. Sedangkan Standar Analisa Belanja dibuat oleh Dinas Pengelola Keuangan Daerah.

Diakui Lusin, bila Standar Analisa Belanja ini diterapkan di masing-masing SKPD masih sangat sulit, karena kemampuan pemahaman SDM dalam menganalisa belanja SKPD masing-masing.

Menurut Lusin, yang pernah melakukan studi banding ke Shanghai, Hongkong dan Macau ini, ada perubahan yang signifikan dalam sistem penganggaran yang baru ini. Kalau dahulu, ada anggapan bahwa setiap anggaran yang tidak dihabiskan merupakan nilai yang tidak baik dari unit kerja yang bersangkutan. Namun, sekarang tidak. Perencanaan dari awal, betul-betul diperlukan sekali, karena merupakan dasar kebutuhan riil yang akan dicapai SKPD nantinya, imbuh Lusin.

"Sebetulnya dengan sistem ABK ini sudah baik sekali. Transparansi dalam penganggaran, mulai dari perencanaan sampai pelaporan sudah rinci dan jelas. Sudah ada input, output, dan impact dari suatu kegiatan sudah jelas. Hanya yang jadi kendala adalah banyaknya aturan keuangan, dan cepat sekali berubahnya. Yang satu baru diterbitkan namun belum dikuasai sepenuhnya, sudah ada lagi perubahan aturan lagi. Padahal implementasi ABK ini mengacunya pada aturan-aturan keuangan. Tunduk pada undangundang, peraturan pelaksanaan sampai dengan keputusan departemennya, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Ini merupakan kendala kami di daerah," imbuh Lusin.

Ia mencontohkan adanya UU 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara, serta PP 105/2000 kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah, yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29/2002. Terbit lagi PP 58/2005. Padahal Kepmendagri 29/2002 banyak yang sudah tidak sesuai dengan PP Nomor 58. Banyaknya perubahan aturan ini yang menjadi kendala kami di daerah dalam penerapan ABK," tambah Lusin.

"Sebetulnya dengan aturan yang baru tersebut daerah juga akan menyesuaikan. Namun, banyak pula terdapat tumpang tindih, atau ketidaksinkronan PP atau Kepmendagri dengan undang-undangnya. Hal ini membuat rancu dan salah pengertian pemda dalam menerapkannya. (Dch/Ard/Tgr)

Diposting dari: http://www.bpkp.go.id/warta/index.php?view=705

Anda mungkin juga menyukai