Anda di halaman 1dari 5

EKOBIOLOGI MIKROORGANISME ANTAGONIS Sclerotium rolfsii PADA KAPAS

TITIEK YULIANTI, NILDAR IBRAHIM, dan SRI RAHAYUNINGSIH

Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat

RINGKASAN Penelitian dilaksanakan dari bulan April 1996 - Maret 1997 di laboratorium dan rumah kaca Balittas, Malang. dengan tujuan memperoleh medium terbaik bagi pertumbuhan isolat jamur dan bakteri antagonis yang diperoleh tahun 1995/1996, dan untuk mengetahui efektivitas isolatisolat tersebut sebagai agensia pengendali hayati penyakit bibit kapas. Penelitian terdiri atas dua tahap, yaitu (1) mencari medium dan suhu terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan jamur antagonis, (2) menguji efektivitas antagonis dalam menekan perkecambahan sklerosia S. rolfsii pada bibit kapas. Isolat yang diuji adalah empat isolat jamur antagonis yaitu Trichoderma DC 81, DC 105, dan Aspergillus DC 87, serta DC100 (belum diketahui identitasnya) dan enam isolat bakteri antagonis, yaitu Enterobacter DB 18, dan DB 43, serta (1313 49 dan DB 71, belum diketahui identitasnya), Pseudomonas DB 74, dan Bacillus TBR 177. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekam merupakan media terbaik untuk menghasilkan konidia jamur antagonis, pada suhu 20-27 derajat Celsius. Media sukrosa pepton agar dan suhu 27-35 derajat Celsius merupakan kondisi terbaik bagi bakteri antagonis. Trichodernia DC 81 merupakan isolat terbaik dalam menghambat perkecambahan sklerosia dan mencegah terjadinya infeksi oleh S. rolfsii, balk pada media tanah maupun agar. Trichoderma DC 105 meskipun kurang mampu menghambat perkecambahan sklerosia, tetapi dapat menghambat perkembangan S. rolfsii sehingga tidak menginfeksi tanaman.

PENDAHULUAN

Kata kunci : Gossypium hirsutum, antagonis. S. rolfsii, dan ekobiologi

ABSTRACT

Ecobiology of antagonistic microorganisms on Sclerotium rolfsii in cotton


Study on ecobiology of antagonistic microorganism of Sclerotium rolfsii was conducted at the laboratory and glass house of the Research Institute for Tobacco and Fibre Crops from April 1996 to March 1997. The objectives of this study were to find out the best medium for the growth of the antagonists and to evaluate efficacy of them on the germination on the pathogen and disease severity. The study consisted of two stages, (1) to select the best medium and temperature for the growth of the antagonists, (2) to evaluate the antagonistic effect of microorganism on controlling sclerotium germination of S. rolfsii and disease development. The antagonists used in this study were four isolates of antagonists fungi i.e. Trichoderma DC 81 and DC 105, and Aspergillus DC 87 and DC 100, and six isolates i.e. Enterobacter DB 18, DB 43, DB 49 and DB 71, Pseudomonas DB 74. and Bacillus TBR 177. Results showed that rice husk was the best medium for growing antagonists fungi at 20-27 derajat Celsius, whereas sucrose peptone agar was the best medium for growing isolates of bacterial at 27-35 derajat Celsius. Trichoderma DC 81 showed the best antagonistic for S. rolfsii because it was capable of inhibiting the germination of sclerotic of S. rolfsii on agar medium as well as on soil medium. It also reduced severity of diseased seedlings. Although Trichodernia DC 105 did not inhibit the germination of the pathogen, it inhibited the growth of the hyphae, therefore the severity of the disease was reduced. Key words : Gossypium hirsutum, antagonist, S. rolfsii, and ecobiology

Pengendalian penyakit yang selama ini umumnya dilakukan secara kimiawi, ternyata menimbulkan banyak dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat (NELSON, 1991) serta mikroorganisme non target. Oleh sebab itu, perlu alternatif lain yang lebih aman, misalnya konsep pengendalian penyakit secara terpadu, yang salah satu komponennya adalah pengendalian hayati (SEMANGUN, 1993). Pengendalian hayati merupakan alternatif pilihan dalam pengendalian penyakit karena aman bagi lingkungan dan dapat diterima oleh masyarakat. Tahapan untuk memproduksi agensia hayati adalah : (1) penemuan dan indentifikasi agensia hayati, (2) pengujian efikasi (kemanjuran), (3) pengujian keselamatan untuk pemakai, lingkungan, dan mikroorganisme non target, (4) pengujian kestabilan genetik dari agensia hayati untuk menghindari menurunnya sifat virulensi, (5) mempelajari potensi penggunaan secara massal, (6) memformulasi agensia hayati dalam kemasan yang dapat mempertahankan efikasinya, (7) pengujian stabilitas dan ketahanan hidup, (8) pengujian potensi pasar, (9) evaluasi biaya produksi, (10) analisis pengembalian investasi, (11) pengujian lapang, (12) pengurusan hak paten dari produk, (13) komersialisasi dan pengiriman produk kepada pengguna (UPADHAY dan BHARAT RAI, 1988). Khusus untuk penyakit kapas, penelitian pengendalian hayati baru dirintis terhadap penyakit bibit. Pada musim tanam tahun 1995/1996, dilakukan pencarian dan pengumpulan mikroorganisme antagonis untuk diteliti potensinya dalam menekan serangan patogen penyebab penyakit bibit kapas. Mikroorganisme tersebut diisolasi dari daun dan biji kapas serta tanah yang berasal dari pertanaman kapas. Dari kegiatan tersebut diperoleh 57 isolat jamur dan 214 isolat bakteri, namun hanya empat isolat jamur (Trichodernia DC 81, Aspergilhis DC 87, DC 100, dan Trichoderma DC 105) dan enam isolat bakteri (Enterobacter DB 18, DB 43, DB 49, DB 71, Pseudomonas DB 74, dan Bacillus TBR 177) yang bersifat antagonis terhadap Sclerotium rolfsii Sacc. Sclerotium rolfsii merupakan salah satu patogen yang menyebabkan penyakit bibit di beberapa daerah pengembangan kapas di Indonesia. Jamur ini memang banyak terdapat di daerah tropik maupun sub tropik dan menyerang lebih dari 189 species tanaman (WATKINS, 1961). Untuk mendapatkan jumlah inokulurn jamur maupun bakteri antagonis yang cukup dengan kondisi yang memuaskan, diperlukan pengujian beberapa media tumbuh pada

TITIEK YULIANTI

et al., : Ekobiologi mikroorganisme antagonis Sclerotwin rolfsii pada kapas

berbagai suhu. Efektivitas antagonis juga diuji baik secara in vitro (pada media agar) maupun in vivo (dalam tanah yang ditanami kapas) terhadap jamur patogen.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan rumah kaca Balittas, Malang, dari bulan April 1996 sampai Maret 1997, terdiri atas dua tahap, yaitu pengujian medium dan suhu untuk pertumbuhan mikroorganisme antagonis dan pengujian potensi agensia hayati terhadap daya kecambah sklerosia S. rolfsii secara in vitro dan terhadap perkembangan penyakit bibit. 1. Pengujian media dan suhu untuk pertumbuhan mikroorganisme antagonis

Untuk mengetahui daya hambat mikroorganisme antagonis terhadap perkembangan penyakit bibit, konidia jamur antagonis dipanen dan disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Masa konidia yang berhasil dipisahkan dicampur dengan kaolin dengan perbandingan 1:10 (w/w). Benih kapas kemudian dilumuri dengan campuran tersebut dengan tiga dosis 0.05, 0.0 1, dan 0.2 mg/g benih. Benih kemudian ditumbuhkan pada tanah steril dalam polybag, di atas permukaan tanah di sekitar lubang tanam diberi dua buah sklerosia patogen, selanjutnya polybag ditutup dengan penutup plastik agar kelembaban udara tetap tinggi. Setiap perlakuan diulang tiga tali dan setiap unit perlakuan terdiri atas 30 bibit kapas. Sebagai kontrol benih kapas ditanam tanpa diberi isolat antagonis, tetapi diinokulasi dengan sklerosia S. rolfsii. Parameter yang diamati adalah sklerosia yang berkecambah, jumlah bibit yang terserang dan hidup.

Isolat jamur yang diuji adalah Trichoderma DC 81 dan DC 105, dan Aspergillus DC 87 Berta DC 100 yang belum diketahui identitasnya. Sedangkan isolat bakteri yang diuji adalah Enterobacter DB 18 dan DB 43, Pseudomonas DB 74, Bacillus TBR 177, dan dua isolat yang belum diketahui identitasnya (DB 49 dan DB 71). Media yang digunakan untuk menumbuhkan jamur antagonis adalah sekam, serbuk gergaji, serbuk batang jagung, jerami, beras jagung, dan beras. Suhu inkubasi adalah 20 derajat Celsius, 27 derajat Celsius, dan 35 derajat Celsius. Sedangkan untuk bakteri antagonis digunakan media sucrose peptone agar (SPA), nutrient agar (NA), dan potato dextrose agar (PDA), dengan suhu inkubasi sama dengan jamur. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan ulangan tiga tali. Parameter pengamatan adalah jumlah konidia jamur antagonis, dua minggu setelah inkubasi, sedangkan diameter koloni bakteri antagonis diukur 48 jam setelah inkubasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. P e ng uj i a n me di a da n s u hu t e r b a i k pe r t u m buhan mikroorganisme antagonis u nt u k

Media terbaik untuk pertumbuhan jamur antagonis Trichoderma DC 81 adalah jerami dan sekam, untuk Aspergillus DC 87 adalah serbuk jagung dan sekam, untuk DC 100 adalah jerami, serbuk jagung, sekam, dan beras, sedangkan untuk Trichoderma DC 105 adalah sekam. Suhu terbaik untuk pertumbuhan keempat mikroorganisme antagonis tersebut adalah 20-27 derajat Celsius (Tabel 1 dan Tabel 2). Media terbaik untuk bakteri antagonis Enterobacter DB 18, dan isolat DB 49 adalah SPA pada suhu 27 derajat Celsius (Tabel 3)). Untuk isolat Enterobacter DB 43 adalah NA pada suhu 27 derajat Celsius, sedangkan untuk DB 71 suhu 35 derajat Celsius merupakan suhu terbaik untuk pertumbuhan, baik pada media SPA, NA maupun PDA. Pada media SPA pertumbuhan DB 71 tidak berbeda nyata baik pada suhu 27 derajat Celsius maupun 35 derajat Celsius. Untuk Pseudomonas DB 74 media terbaik adalah SPA dengan suhu 27- 35 derajat Celsius. Pertumbuhan Bacillus TBR 177 yang terbaik adalah pada media PDA dan dengan suhu 27 derajat Celsius dan SPA pada suhu 27-35 derajat Celsius. Secara umum SPA merupakan media yang paling cocok untuk pertumbuhan bakteri dengan kisaran suhu 27-35 derajat Celsius

2.

Pengujian potensi agensia hayati terhadap daya kecambah sklerosia S. rolfsii secara in vitro dan terhadap perkembangan penyakit bibit

Isolat jamur dan bakteri antagonis yang digunakan adalah hasil penelitian sebelumnya yang terbukti mampu menghambat pertumbuhan S. rolfsii. Empat isolat jamur dan enam isolat bakteri antagonis diuji potensinya terhadap daya kecambah sklerosia S. rolfsii dengan cara dilumuri konidia jamur atau bakteri antagonis. Setiap perlakuan diulang lima tali menggunakan rancangan acak lengkap. Parameter pengamatan untuk pengujian jamur antagonis adalah jumlah sklerosia S. rolfsii yang berkecambah, dan jumlah skloresia yang terbentuk, pada pengujian bakteri antagonis diamati jumlah sklerosia yang mampu berkecambah, jumlah sklerosia yang dihasilkan dari pertumbuhan miselia S. rolfsii dan zona hambatan yang terbentuk.

2. daya hambat mikroorganisme perkembangan penyakit bibit

antagonis

terhadap

Daya antagonis isolat-isolat bakteri antagonis yang diuji terhadap S. rolfsii, ternyata sangat rendah dan tidak ada yang mampu mengurangi keparahan penyakit pada bibit kapas. Sebaliknya Trichoderma DC 81 dapat mengurangi keparahan penyakit.

JURNAL LITTRI VOL. IV NO. I, MEI 1998

Jumlah konidia Trichoderma DC 81, DC 105, Berta isolat DC 100 yang dihasilkan pada berbagai media dan suhu dua minggu setelah inkubasi Table 1. Numbers of conidia of Trichoderma DC 81. DC 105, and isolate DC 100 produced on several media and temperatures two weeks after incubation

Tabel 1.

Jumlah konidia Aspergillus DC 87 yang dihasilkan pada berbagai media dan suhu dua minggu setelah inkubasi Table 2. Numbers of conidia of Aspergillus DC 87 produced on several media and temperatures two weeks after incubation Perlakuan Treatment Jumlah konidia/g medium (transformasi log10 ) Number of conidia/g medium (transformation log10)

Tabel 2.

Perlakuan
Treatment

Jumlah konidia/g medium (transformasi log )


Number of conidia/g medium (transformation log10) Trich. DC 81 Trich. DC 105 8.89 bc 9.16 b 9.85 a 8.57 c 8.72 c 8.30 d DC 100 8.16 bc 8.65 a 8.26 ab 8.32 ab 7.82 cd 7.68 d

10

Media Medium Jerami Straw Serbukjagung Corndust Sekam Rice husk Beras Rice Beras jagung Cornrice Serbuk gergaji Sawdust Suhu Temperature 200oC 270oC 350oC

9.53 b 9.17 c 10.07 a 8.91 d 8.89 d 8.35 e

Media Medium Jerami Strait, Serbukjagung Corndust Sekam Rice husk Beras Rice Beras jagung Cornrice Serbuk gergaji Sawdust Suhu Temperature 200C 270C 350C KK CV ( persen)

8.43 ab 9.20 ab 9.48 a 8.36 bc 7.27 c 7.96 bc

9.59 a 9.70 a 8.17 b

9.26 a 9.32 a 8.18 b

8.17 a 8.41 a 7.85 b

8.83 a 8.82 a 7.60 b 13.65

KK CV( persen)

1.91

3.94

5.60
Keterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom untuk tiap faktor tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen uji BNT Note Numbers followed by the same letter for each factor are not significantly different by LSD at 5 persen level

Keterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen uji BNT Note Numbers followed by the same letter in each column are not significantly different by LSD at 5 persen level

Tabel 3. Diameter (mm) koloni bakteri antagonis pada berbagai media dan suhu. 48 jam setelah inkubasi
Table 3. Diameter (mm) colony of bacterial antagonist grown on several media and temperature. 48 hours after incubation Media + suhu inkubasi* Medium + temperatures of incubation NA 20 derajat Celsius NA 27 derajat Celsius NA 35 derajat Celsius SPA 20 derajat Celsius SPA 27 derajat Celsius SPA 35 derajat Celsius PDA 20 derajat Celsius PDA 27 derajat Celsius PDA 35 derajat Celsius KK CV ( persen) Keterangan Note Enterobacter DB 18 Enterobacter DB 43 DB 49** DB 71** Pseudomonas DB 74 Bacillus TBR 177

0 1.2 1.07 0 3.07 1.47 0 1.47 3.05 31.06

d c c d a c d c b

0 0.78 0.49 0 0.59 0.43 0 0.5 0.49 12.08

d a c d b c d c c

0 0.90 1.10 0 3.77 1.87 0 2.47 2.77 14.84

e d d e a c e b b

0 2.70 4.02 0 4.58 3.75 0 2.07 4.50 23.01

c b a c a a c b a

0 2.42 2.48 0 4.18 4.07 0 2.23 3.08 23.93

d bc bc d a a d c b

0 0.46 0.73 0 1.27 1.20 0 1.20 0.50 15.52

d c b d a a d a c

Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen uji BNT Numbers followed by the same letter in each column are not significantly different by LSD at 5 persen level * NA = nutrient agar SPA = sucrose peptone agar PDA = potato dextrose agar ** Identitasnya belum diketahui Not identified

Benih kapas yang diperlakukan dengan Trichoderma DC 81, pertumbuhan kecambahnya normal dan baik. Hal ini berarti bahwa Trichoderma DC 81 tidak bersifat patogenik terhadap bibit kapas. Pada dosis 0.1 dan 0.2 mg/g benih, sklerosia S. rolfsii, tidak ada yang tumbuh, sedang dosis 0.05 mg/g benih

sklerosia yang berkecambah 1.11% dengan persentase kecambah yang mati 10%. Hasil ini sesuai dengan pengujian in vitro, yaitu tidak ada sklerosia yang berkecambah. Dengan demikian isolat Trichoderma DC 81 mempunyai adaptasi yang baik.

TITIEK YULIANTi

et al..: Ekobiologi mikroorganisme antagonis Sclerotium rolfsii pada kapas

Aspergillus DC 87 tidak dapat menghambat perkecambahan dan pertumbuhan jamur S. rolfsii, sehingga tingkat serangan S. rolfsii pada benih kapas cukup tinggi (27.8-38.9 persen). Pada pengujian in vitro, Aspergillus DC 87 juga tidak memberikan hasil yang memuaskan. Bakteri isolat DC 100 tidak diuji daya antagonisnya terhadap penyakit bibit, sebab pada pengujian in vitro tidak menghambat perkecambahan dan pertumbuhan jamur patogen. Benih kapas yang diberi Trichoderma DC 105 dan ditumbuhkan di dalam tanah, tumbuh dengan baik dan hampir tidak terserang S. rolfsii, meskipun jamur ini mampu berkecambah. Ketidakmampuan jamur dalam menimbulkan penyakit karena jamur hanya mampu berkecambah, pertumbuhan selanjutnya sangat lambat dengan miselia yang sangat halus. Perkembangan Trichoderma DC 105 yang baik menyebabkan S. rolfsii tidak mampu berkembang. Di antara isolat antagonis yang diuji terlihat bahwa Trichoderma DC 81 dan DC 105 merupakan isolat-isolat jamur antagonis yang mampu menurunkan serangan penyakit bibit. Trichoderma telah diketahui merupakan jamur antagonis bagi kebanyakan patogen tanaman dan mempunyai potensi yang baik sebagai agen pengendali hayati (PAPAVIZAS, 1985). WELLS et al. (1972) juga melaporkan bahwa T harziamim berhasil mengendalikan S. rolfsii di lapang melalui investasi buatan ke dalam tanah. Isolat DC 100 belum berhasil diidentifikasi. Dari keenam isolat bakteri, hanya empat yang berhasil diidentifikasi oleh Balai Penelitian Veteriner Bogor, sedang dua lainnya tidak teridentifikasi. Isolat DB 18 dan DB 43 merupakan Genus Enterobacter, isolat DB 74 merupakan genus Pseudomonas, dan isolat TBR 177 genus Bacillus, sedangkan isolat DB 49 dan DB 71 belum diketahui identitasnya.

Mekanisme kerja Trichoderma DC 81 adalah menghambat perkecambahan sklerosia baik pada medium agar maupun pada medium tanah yang ditanami kapas sehingga tidak mampu menginfeksi tanaman. Selain itu kolonisasi dan pertumbuhan Trichorderma DC 81 pada sklerosia mengakibatkan turunnya viabilitas sklerosia. Hal ini sangat menguntungkan karena jumlah propagul di dalam tanah akan berkurang. Trichoderma DC105 tidak mampu mencegah perkecambahan sklerosia, tetapi mampu menghambat pertumbuhan dan perkembangan miselia S. rolfsii, sehingga tidak dapat menginfeksi bibit kapas. Menurut PAPAVIZAS (1985) Trichoderma spp. memproduksi metabolic yang bersifat racun ataupun bersifat fungistatis dan anti biosis. Selain itu, Trichodermajuga memproduksi enzim B-1.3 glucanase, chitinase dan cellulase yang mengakibatkan dinding sel hifa patogen terdegrasi (JONES dan WATSON, 1969; HADAR. et al., 1979: dan CHET dan BAKER, 1981). Eksistensi antagonis pada periode antara berkecambahnya sklerosia dengan saat akan menginfeksi tanaman merupakan fase yang paling rawan bagi jamur patogen (COOK dan SNYDER, 1965), karena pada saat inilah mikroorganisme antagonis menyerang dan merusak miselia muda yang baru tumbuh. Trichoderma DC 81 memiliki keunggulan dibandingkan Trichoderma DC 105, sebab isolat ini tidak hanya menurunkan keparahan penyakit, tetapi juga menurunkan jumlah propagul di dalam tanah. Trichoderma DC 105 kurang menguntungkan sebagai agensia pengendali hayati, sebab perkecambahan sklerosia merupakan stadium terpenting dalam siklus hidup S rolfsii, karena dari sini infeksi primer berawal (AGRIOS. 1988). Jika kondisi lingkungan menguntungkan dan status nutrisi baik bagi pertumbuhan S. rolfsii, ada kemungkinan isolat Trichoderma DC 105 tidak mampu menghambat pertumbuhan. Sebab umur dan bentuk propagul, status nutrisi dalam tanah, dan keberadaan mikroorganisme antagonis

Tabel 4. Tingkat keparahan penyakit dan persentase perkecambahan sklerosia S. rolfsii yang diberi perlakuan jamur antagonis di tanah steril Table 4. Disease severity and percentage of sclerotial S. rolfsii germination treated by fungal antagonistic in soil sterile

Perlakuan Treatment

Keparahan penyakit Disease severity

Sklerotia berkecambah Germinated sclerotia

Keparahan penyakit Disease severity (%) 10.00 0.00 0.00 38.89 0.00 27.78 20.00 0.00 0.00 100

Sklerotia berkecambah Germinated sclerotia

(trans. Arc sin Vx+0.5) DC 81 DC 81 DC 81 DC 87 DC 87 DC 87 DC 105 DC 105 DC 105 Kontrol 0.05 0.1 0.2 0.05 0.1 0.2 0.05 0.1 0.2 13.87 cd 4.05 d 4.05 d 38.80 b 4.05 d 28.30 be 19.72 bed 4.05 d 4.05 d 90.00 a 28.49 6.45 c 4.05 c 4.05 c 78.35 a 14.55 be 31.55 b 26.56 be 27.62 be 9.97 be 90.00 a 27.89

1.11 0.00 0.00 88.89 11.11 33.33 25.00 21.11 4.44 100

KK CV (persen)

JURNAL LITTRI VOL. IV NO. I, MEI 1998

merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap, kemampuan patogen tular tanah menyerang tanaman dalam kondisi lingkungan yang optimal untuk perkembangan penyakit (DHINGRA dan SINCLAIR, 1985).

KESIMPULAN Media terbaik untuk isolat jamur antagonis adalah sekam pada suhu 20-27 derajat Celsius, dan untuk bakteri adalah SPA dengan kisaran suhu 27-35 derajat Celsius. Di antara antagonis yang diuji jamur Trichoderma DC 81 yang terbaik dalam menghambat perkecambahan sklerosia dan menurunkan jumlah propagul S. rolfsii Berta mengurangi keparahan penyakit bibit kapas. Sedangkan Trichoderma DC 105 kurang mampu menghambat perkecambahan sklerosia, tetapi mampu menurunkan jumlah propagul S. rolfsii dan mengurangi keparahan penyakit bibit kapas.

DAFTAR PUSTAKA AGRIOS, G N. 1988. Plant pathology, 2nd edition. Academic Press New York, 629p. CHET, i and BAKER, R. 1981. Isolation and biocontrol potential of Trichoderma hamamatum from soil naturally suppressive to Rhizoctonia solani. Phytopathology, 71:286-290. COOK, R.J. and SNYDER, W.C. 1965. Influence of host exudates on growth and survival of germlings of Fusarium solani f. phaseoli in soil. Phytopathology, 55:1021-1025.

DHINGRA, O.D and J.B SINCLAIR. 1985. Basic plant pathology methods. CRC Press Inc. Boca Raton, 355p. HADAR. Y.1 CHET and Y.HFNIS. 1979. Biological control of Rhizoctonia solani damping-off with wheat bran culture of Trichoderma harzianum. Phytopathology, 69 (1):64-68. JONES. D. and D. WATSON. 1969. Parasitism and lysis by soil fungi of ScIerotinia sclerotiorum (Lib) de Bary, a phytopathogenic fungus. Nature, 244:287-288. NELSON, E.B. 1991. Current limits to biological control of fungal phytopathogens . In Aroro. DX, Rai,B. Mukerji, K.G dan Kuudsen, G.R (eds). Handbook of applied micology soil and plant (2). Marcel Dekker, Inc. New York, Besel, Hongkong, pp.327-355. PAPAVIZAS,Ci.C. 1985. Trichoderma and Gliocladium biology, economy, and potential for biocontrol Ann. Rev. Phytopathology, 23:23-54. SEMANGUN, H. 1993. Konsep dan azas dasar pengelolaan penyakit tumbuhan terpadu. Makalah Simposium Pendidikan Fitopalogi dan Pengendalian Hayati. Kongres Nasional X11 dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia 69 September 1993di Yogyakarta. UPADHAY, R.S. and BHARAT RAI 1988. Biocontrol agents of plant pathogens; their use and practical constrains. In Mukerji, K.G and K.L Garg(eds). Biocontrol of Plant Diseases. CRC Pres Inc. Boca raton, 1:15-36. WATKINS, G.M. 1961. Physiology of Sclerotium rolfsii with emphasis on parasitism. Phytopathology, 51: 110-113. WELLS. H., DK. BELL. and CA JAWARSKI. 1972. Efficacy of Trichoderma harziamum as a bilogical control for Sclerotium rolfsii. Phytopatology, 62:442-447.

Anda mungkin juga menyukai