Pada tanggal 31 Juli 1947 India dan Australia mengajukan masalah Indonesia- Belanda ini kepada Dewan Keamanan PBB. Dalam Sidang Dewan Keamanan pada tanggal 1 Agustus 1947 dikeluarkan resolusi yang mengajak kedua belah pihak untuk menghentikan tembak menembak, menyelesaikan pertikaian melalui perwasitan (arbitrase) atau dengan cara damai yang lain. Menindaklanjuti ajakan PBB untuk penyelesaian dengan cara damai, maka Republik Indonesia menugaskan Sutan Syahrir dan H. Agus Salim sebagai duta yang berbicara dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Sutan Syahrir menyatakan bahwa untuk mengakhiri konflik antara Indonesia dengan Belanda jalan satu-satunya adalah pembentukan Komisi Pengawas dalam pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan. Ditambahkan pula agar Dewan Keamanan menerima usul Australia secara keseluruhan dan penarikan pasukan Belanda ke tempat kedudukan sebelum agresi militer. Usul ini didukung oleh Rusia dan Polandia. Di samping itu Rusia juga mengusulkan pembentukan Komisi Pengawas gencatan senjata. Usul di atas didukung oleh Amerika Serikat, Australia, Brazilia, Columbia, Polandia, dan Suriah tetapi diveto Perancis, sebab dianggap terlalu menguntungkan Indonesia. Pertikaian diselesaikan oleh bantuan dunia internasional, salah satunya oleh PBB
-PBB
Peran PBB : 25 Agustus 1947 Amerika Serikat mengusulkan membentuk Komisi Jasa-jasa Baik (Comitte of Good Offices) dikenal dengan KTN (Komisi Tiga Negara) yang terdiri atas : Australia : diwakili Richard C. Kirby (atas pilihan Indonesia) Belgia : diwakili Paul Van Zeeland (atas pilihan Belanda) Amerika Serikat: Dr. Frank Porter Graham (atas pilihan Belgia dan Australia) Tanggal 27 Oktober 1947 anggota KTN tiba di Jakarta untuk bertugas, tapi Indonesia dan Belanda tidak ingin bertemu di wilayah yang dikuasai salah satu pihak. Akhirnya 8 Desember 1947 Indonesia dan Belanda melakukan perjanjian diatas kapal Amerika yang bernama Renville yang sedang berlabuh di teluk Jakarta. Akhirnya perjanjian tersebut dinamakan perjanjian Renville. Perjanjian Renville mengakibatkan kerugian RI karena kehilangan daerah-daerah kaya karena telah diduduki oleh belanda.
Pada waktu Belanda melakukan aksi militernya yang kedua yakni pada tanggal 19 Desember 1948, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Birma (Myanmar) U Aung San memprakarsai Konferensi Asia. Konferensi ini diselanggarakan di New Delhi dari tanggal 20 - 23 Januari 1949 yang dihadiri oleh utusan dari negara-negara Afganistan, Australia, Burma (Myanmar), Sri Langka, Ethiopia, India, Iran, Iraq, Libanon, Pakistan, Philipina, Saudi Arabia, Suriah dan Yaman. Hadir sebagai peninjau adalah wakil dari negara-negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai. Wakil-wakil dari Indonesia yang hadir antara lain Mr. A.A. Maramis, Mr. Utojo, Dr. Surdarsono, H. Rasjidi, dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo 1
Konferensi Asia tersebut menghasilkan resolusi yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB. Isi resolusinya antara lain sebagai berikut: a. Pengembalian Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta. b. Pembentukan perintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949; c. Penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia d. Penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia Serikat paling lambat pada tanggal 1 Januari 1950.
Maka pada tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang disampaikan kepada Indonesia dan Belanda sebagai berikut: a. Mendesak Belanda untuk segera dan sungguh-sungguh menghentikan seluruh operasi militernya dan mendesak pemerintah RI untuk memerintahkan kesatuan-kesatuan gerilya supaya segera menghentikan aksi gerilya mereka. b. Mendesak Belanda untuk membebaskan dengan segera tanpa syarat Presiden dan Wakil Presiden beserta tawanan politik yang ditahan sejak 17 Desember 1948 di wilayah RI; pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dan membantu pengembalian pegawaipegawai RI ke Yogyakarta agar mereka dapat menjalankan tugasnya dalam suasana yang benar-benar bebas. c. Menganjurkan agar RI dan Belanda membuka kembali perundingan atas dasar persetujuan Linggar jati dan Renville, dan terutama berdasarkan pembentukan suatu pemerintah ad interim federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949, Pemilihan untuk Dewan Pembuatan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambatIambatnya pada tanggal l Juli 1949. d. Sebagai tambahan dari putusan Dewan Keamanan, Komisi Tiga Negara diubah menjadi UNCI (United Nations Commission for Indonesia = Komisi PBB untuk Indonesia dengan kekuasaan yang lebih besar dan dengan hak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar mayoritas. Tugas UNCI adalah membantu melancarkan perundingan-perundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah Republik; untuk mengamati pemilihan dan berhak memajukan usul-usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu tercapainya penyelesaian.
Aktivitas Diplomasi
Salah satu bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah perjuangan diplomasi, yakni perjuangan melalui meja perundingan. Ketika Belanda ingin menanamkan kembali kekuasaannya di Indonesia ternyata selalu mendapat perlawanan dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu pemimpin Sekutu berusaha mempertemukan antara pemimpin Indonesia dengan Belanda melalui perundingan-perundingan sebagai berikut : 1. Pertemuan Soekarno-Van Mook Pertemuan antara wakil-wakil Belanda dengan para pemimpin Indonesia diprakarsai oleh Pang lima AFNEI Letnan Jenderal Sir Philip Christison pada tanggal 25 Oktober 1945. Dalam pertemuan tersebut pihak Indonesia diwakili oleh Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Sobardjo, dan H. Agus Salim, sedangkan pihak Belanda diwakili Van Mook dan Van Der Plas. Pertemuan ini merupakan pertemuan untuk menjajagi kesepakatan kedua belah pihak yang berselisih. Presiden Soekamo mengemukakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk berunding atas dasar pengakuan hak rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sedangkan Van Mook mengemukakan pandangannya mengenai masalah Indonesia di masa depan bahwa Belanda ingin menjalankan untuk Indonesia menjadi negara persemakmuran berbentuk federal yang memiliki pemerintah sendiri di lingkungan kerajaan Belanda. Yang terpenting menurut Van Mook bahwa pemerintah Belanda akan memasukkan Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tindakan Van Mook tersebut disalahkan oleh Pemerintah Belanda terutama oleh Parlemen, bahkan Van Mook akan dipecat dari jabatan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Indonesia). 2. Perundingan Sjahrir - Van Mook Untuk mempertemukan kembali pihak Indonesia dengan pihak Belanda, pemerintah Inggris mengirimkan seorang diplomat ke Indonesia yakni Sir Archibald Clark Kerr sebagai penengah. Pada tanggal 10 Februari 1946 perundingan Indonesia-Belanda dimulai. Van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda antara lain sebagai berikut: 1. Indonesia akan dijadikan negara Commonwealth berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan kerajaan Belanda. 2. Urusan dalam negeri dijalankan Indonesia sedangkan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya pada tanggal 12 Maret 1946 Sjahrir menyampaikan usul balasan yang berisi antara lain sebagai berikut. 1. Republik Indonesia harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda. 2. Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu dan urusan luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orangorang Indonesia dan Belanda. Usul dari pihak Indonesia di atas tidak diterima oleh pihak Belanda dan selanjutnya Van Mook secara pribadi mengusulkan untuk mengakui Republik Indonesia sebagai wakil Jawa untuk mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federal dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Pada tanggal 27 Maret 1946 Sutan Sjahrir mengajukan usul baru kepada Van Mook antara lain sebagai berikut:
1. Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto Rl atas Jawa dan Sumatera. 2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). 3. RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, Curacao, menjadi peserta dalam ikatan negara Belanda. 3. Perundingan di Hooge Veluwe Perundingan ini dilaksanakan pada tanggal 14 - 25 April 1946 di Hooge Veluwe (Negeri Belanda), yang merupakan kelanjutan dari pembicaraan-pembicaraan yang telah disepakati Sjahrir dan Van Mook. Para delegasi dalam perundingan ini adalah: 1. Mr. Suwandi, dr. Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo yang mewakili pihak pemerintah RI 2. Dr. Van Mook, Prof. Logemann, Dr. Idenburgh, Dr. Van Royen, Prof. Van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Surio Santosa yang mewakili Belanda 3. Sir Archibald Clark Kerr mewakili Sekutu sebagai penengah. Perundingan yang berlangsung di Hooge Veluwe ini tidak membawa hasil sebab Belanda menolak konsep hasil pertemuan Sjahrir-Van Mook-Clark Kerr di Jakarta. Pihak Belanda tidak bersedia memberikan pengakuan de facto kedaulatan RI atas Jawa dan Sumatra tetapi hanya Jawa dan Madura serta dikurangi daerah-daerah yang diduduki oleh Pasukan Sekutu. Dengan demikian untuk sementara waktu hubungan Indonesia-Belanda terputus, akan tetapi Van Mook masih berupaya mengajukan usul bagi pemerintahannya kepada pihak RI.
Perjanjian Linggarjati Pada tanggal 2 Oktober 1946, Sjahrir berhasil membentuk kabinetnya. Kabinet Sjahrir II, yang diberi mandat untuk berunding atas dasar merdeka 100 %. Kabinet membentuk delegasi untuk berunding dengan pihak Belanda yang terdiri atas Sutan Sjahrir (Perdana Menteri), A.K. Gani (Menteri Perekonomian), Amir Sjarifoeddin (Menteri Pertahanan), Soesanto Tirtoprodjo (Menteri Dalam Negeri) dan Moehammad Roem. Sedangkan Ali Boediardjo berfungsi sebagai sekretaris. Sementara ini Negeri Belanda pada bulan Juli terjadi pergantian cabinet. Perdana Menteri Schermerhorn (Partai Buruh) diganti oleh I.J.M Beel (Partai Rakyat Katolik). Untuk menyelesaikan persoalan Indonesia, diangkat suatu komisi dengan Undang Undang yang dinamakan Komisi Jenderal (Commisie Generaal) yang terdiri atas Schermerhorn (mantan Menteri), Van Poll, De Boer dan F Sanders sebagai sekjennya, Komisi Jenderal diberi wewenang bertindak sebagai wakil khusus tertinggi dan tugas mempersiapkan pembentukan orde politik baru di Hindia - Belanda Persetujuan Linggarjati kemudian diparaf oleh Schermerhorn dan Sjahrir di rumah kediaman Sjahrir di Jakarta pada tanggal 15 November 1946. KNIP sendiri kemudian meratifikasi perjanjian tersebut pada bulan Februari 1947, setelah memperbanyak jumlah anggotanya dari 200 menjadi 514 orang, karena sebagian besar anggota KNIP yang lama menolak isi persetujuan tersebut. Ditambah atas campur tangan Soekarno-Hatta yang akan meletakan jabatan jika persetujuan Linggarjati tidak disetujui. Dan akhirnya Persetujuan Linggarjati ditandatangani dengan khidmat di Istana Rijswijk (kini Istana Negara) pada tanggal 25 Maret 1947. Dan di kemudian hari Pemerintah Belanda mengingkari Persetujuan Linggarjati ini dengan mengadakan aksi militer pada tanggal 20 Juli 1947. Van Mook yang didukung oleh Jenderal Spoor mengirim telegram kepada Menteri Urusan Daerah Seberang, Jonkman, meminta agar diperkenankan untuk melanjutkan aksi militer hingga Yogyakarta dan menduduki ibukota Republik itu dengan segala konsekuensinya. Schermerhorn sendiri sebagai ketua Komisi Jenderal menolak aksi militer ini. 4
Komando tertinggi Belanda pada agresi ini adalah Letnan Jenderal Simon H. Spoor. Pihak Belanda tidak menganggap serangannya ke wilayah republik khususnya Jawa dan Sumatera adalah agresi militer tetapi sebatas aksi polisionil pada sasaran-sasaran yang sifatnya ekonomis, sehingga mereka menamakan operasinya sebagai Operasi Produk. Tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB bersidang dan menerima mosi bahwa Belanda dan Republik Indonesia diperingatkan untuk menghentikan tembak-menembak. Sidang cabinet Belanda berkumpul pada tanggal 4 Agustus 1947 di rumah Menteri Seberang Lautan, Jonkman (karena sedang menderita penyakit erysipelas), dengan mempertimbangankan bahwa sasaran yang diinginkan terutama perkebunan-perkebunan telah tercapai dan sikap berniat baik Belanda pada saat ini lebih penting daripada memenangkan wilayah di Jawa dan Sumatera. Hari itu juga melalui telepon diperintahkan kepada Gubernur Jenderal van Mook untuk menghentikan agresi militer.
Perjanjian Renville
Setelah selesai perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-pokok isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut : (1) Pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Hindia Belanda sampai pada waktu yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda untuk mengakui Negara Indonesia Serikat (NIS). (2) Akan diadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah berbagai penduduk di daerahdaerah Jawa, Madura, dan Sumatera menginginkan daerahnya bergabung dengan RI atau negara bagian lain dari Negara Indonesia Serikat. (3) Tiap negara (bagian) berhak tinggal di luar NIS atau menyelenggarakan hubungan khusus dengan NIS atau dengan Nederland. (4) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk. (5) Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda. (6) Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS (7) Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintahan federal sementara. (8) Pasukan republic Indonesia yang berda di derah kantong harus ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki Belanda.
Perundingan Roem-Royen
Sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Batavia. Hasil pertemuan ini adalah: 1. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya 2. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar 3. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta 4. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan: 1. Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948 2. Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak 3. Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke ibukota Yogyakarta. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen.