Anda di halaman 1dari 8

2.

Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :

a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif. b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain. c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah. d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah. e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.

Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam. Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi jantung umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain. Seperti kita ketahui bahwa al-Quran merupakan buku petunjuk (kitab hidayah) khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya.[1] Al-Quran juga menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam ialah kedudukan al-Quran sebagai sumber utama hukum Islam, pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang menguatkan kesepakatan umat tersebut. 1. Pengertian Al-Quran Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian alQuran baik dari bahasa maupun istilah. As-Syafii misalnya mengatakan bahwa Al-Quran bukan berasal dari kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim dipergunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara Al-Farra berpendapat bahwa lafadz al-Quran berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan ; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat al-Quran itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya Al-Asyari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz al-Quran diambil dari akar kata qarn yang

berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain; karena surah-surah dan ayat-ayat al-Quran satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan.[2] Pengertian-pengertian kebahasaan yang berkaitan dengan al-Quran tersebut sungguh pun berbeda tetapi masih dapat ditampung oleh sifat dan karakteristik al-Quran itu sendiri, yang antara lain ayat-ayatnya saling berkaitan satu dan lainnya. Oleh karena itu penulis mencoba pula untuk memaparkan pengertian al-Quran secara etimologis dan terminologis berdasarkan pendapat beberapa ahli. Secara etimologis, al-Quran merupakan Masdar dari kata kerja Qoroa yang berarti bacaan atauyang ditulis[3], sedang menurut Quraish Shihab berarti bacaan yang sempurna[4]. Secara terminologis para ulama mengemukakan berbagai definisi sebagai berikut : Safi Hasan Abu Thalib[5] menyebutkan :


Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal Bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, Ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syariat. Dalam hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya :


Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2)[6] Sedangkan menurut Zakaria al-Birri[7], yang dimaksud al-Quran adalah :


Al-Kitab yang disebut al-Quran dalah kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan lafal Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran mushaf. Sementara Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Quran adalah [8] :


Al-Quran yaitu merupakan firman Allah SWT. Dari ketiga definisi di atas, pada dasarnya mengacu pada maksud yang sama. Definisi pertama dan kedua sama-sama menyebutkan bahwa al-Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun bedanya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Quran dinukil secara mutawatir. Adapun definisi ketiga, yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ternyata hanya menyebutkan bahwa alQuran merupakan firman Allah SWT, akan tetapi , Al-Ghazali dalam uraian selanjutnya menyebutkan bahwa al-Quran bukanlah perkataan Rasulullah, beliau hanya berfungsi sebagai orang yang menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT.[9]

Nabi hanya berfungsi pembawa atau penyampai apa-apa yang diterima dari Allah, bahwa Allah menetapkan hukum-hukum. Untuk lebih memperjelas definisi al-Quran ini penulis juga nukilkan pula pendapat Dawud al-Attar. Di mana beliau menyebutkan bahwa, Al-Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukil secara mutawatir.[10] Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut : a. Al-Quran sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Quran adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi. b. Al-Quran diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran datang dari Allah sendiri. c. Al-Quran terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Quran tidak mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri. d. Al-Quran dinukil secara mutawatir, artinya Al-Quran disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka. [11] Sebetulnya masih terdapat sejumlah definisi lain yang dirumuskan oleh para Ulama, tetapi kelihatannya mengandung maksud yang sama meskipun secara redaksional berbeda. Dalam kaitannya dengan sumber dalil, al-Quran oleh ulama ushul sering disebut dengan al-Kitab. Umumnya di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebut al-Quran dengan al-Kitab.[12] Hal ini tentu saja bisa dipahami, sebab di dalam al-Quran sendiri sering disebut al-Kitab yang dimaksud adalah al-Quran. Seperti firman Allah :


Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 1 ).[13] Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini, Penukilan al-Quran dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan alQuran dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah. Hal dibenarkan oleh Allah dalam firman-Nya :


Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9)[14] 2. Kehujjahan Al-Quran Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf[15], bahwa kehujjahan Al-Quran itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Quran itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qatiy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Quran merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab[16] menjelaskan

bahwa al-Quran sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Quran diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Quran sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mutazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Quran bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya.[17] Bagi Mutazilah al-Quran berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Quran terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Quran terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula al-Quran diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Quran, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih. Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Quran sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebihlebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Quran semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah. 3. Al-Quran Sebagai Sumber Hukum Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Quran adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Quran menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Quran dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi Hasan Abi Thalib[18]menegaskan :


Al-Quran dipandang sebagai sumber utama bagi h kum-hukum syariat. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Quran. Dan dari sini, jelas bahwa al-Quran menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Quran adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari alQuran, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Quran. AlGhazali[19] bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.


Dari uraian di atas jelas bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya. 4. Dalalah Al-Quran Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab alTarifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ala al-mana. [20] Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qatiy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nashnash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan.[21] Tentang terma qatiy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu : 1. Qatiy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir. 2. Qatiy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut. Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu : 1. Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir 2. Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya. Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Quran dari segi keberadaannya adalah qatiy al-Wurud karena al-Quran itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Quran dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qatiy dalalah dan zanniy dalalah. Umumnya nash-nash al-Quran yang dikategorikan qatiy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis. Salah satu contoh ayat yang qatiy al-dalalah :

...
Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak (QS. Al-Nisa : 12)[22] Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qatiy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu. Kemudian , nash al-Quran di samping qatiy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash al-Quran yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila

lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Quran yang dikategorikan zanniy aldalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas :

...
Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228)[23] Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata quru yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan al-Tohr (suci) dan kadang-kadang diartikan pulaal-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada artihaid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali. Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih). Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafii berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-madud) adalah muzakar yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya. Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda. 5. Penutup Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa al-Quran memiliki kedudukan yang paling penting di dalam pengistinbatan hukum Islam sehingga sangat logis jika ia menjadi sumber utama hukum Islam.
Dalam buku ini penulis membahas tentang Kedudukan As-Sunnah dalam Syariat Islam, karena adanya orang-orang yang berusaha untuk meragukan kedudukan AsSunnah. Mereka ingin membatalkan Al-Quran dengan cara meragukan As-Sunnah. Karena apabila ummat Islam sudah meninggalkan kedua pedoman hidup ini, niscaya mereka pasti akan sesat. Mereka berusaha untuk memadamkan cahaya Islam, akan tetapi Allah akan tetap menyempurnakan cahaya-nya. Allah Subhanahu wa Taala berfirman: Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci. [Ash-Shaff: 8] Ummat Islam sejak zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meyakini bahwa As-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Quran. Bahkan As-Sunnah adalah wahyu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Quran) dan yang sepertinya bersamanya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Quran dan yang sepertinya bersamanya. [1] Maksud dari kalimat: Dan seperti itu bersamanya adalah As-Sunnah. Al-Imam Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm azh-Zhahiri, yang terkenal dengan Ibnu Hazm (wafat th. 456 H) berkata, Sesungguhnya Allah telah berfirman: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. [Al-Hijr: : 9] Kandungan dari ayat ini adalah bagi orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Taala dan hari Akhir bahwasanya Allah menjamin terpeliharanya Al-Quran dan tidak akan hilang selamanya. Hal ini tidak diragukan sedikit pun oleh seorang muslim dan begitu pula sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, semuanya adalah WAHYU,

berdasarkan firman Allah: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). [An-Najm: 34] Wahyu adalah Adz-Dzikr dengan kesepakatan seluruh ummat Islam, dan Adz-Dzikr terpelihara dengan nash Al-Quran, maka sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam terpelihara dan pasti dijaga Allah Subhanahu wa Taala.[2] Allah Subhanahu wa Taala berfirman: Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Dan supaya mereka memikirkan.[ An-Nahl: 44] Ibnu Hazm rahimahullah berkata: Dengan demikian, benarlah sabda Rasululah Shallallahu alaihi wa sallam yang menyangkut urusan agama merupakan wahyu dari Allah Taala. Para pakar bahasa Arab dan Ahli Fiqih tidak berselisih bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikra (peringatan). Oleh karena itu, setiap wahyu adalah sesuatu yang pasti dipelihara oleh Allah Subhanhu wa Taala dengan yakin. Semua yang dijamin oleh Allah dengan penjagaan-Nya, terjamin pula dari kepunahan dan tidak akan berubah satu pun darinya dan tidak ada yang membatalkannya. Jika wahyu tidak terjaga, niscaya firman Allah Taala dan janji-Nya adalah sesuatu yang dusta dan jaminan-Nya sia-sia. Hal ini (tidak mungkin terjadi) dan tidak sedikit pun terlintas di benak orang yang berakal. Oleh karena itu, meru-pakan suatu kepastian bahwa segala sesuatu yang disam-paikan oleh Rasululah Shallallahu alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah agama adalah terpelihara (terjaga) dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Taala dan disampaikan sebagaimana adanya kepada mereka selama-lamanya sampai hancurnya dunia. Allah Subhanahu wa Taala berfirman: Dan al-Qur-an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Quran (kepada-nya)... [AlAnaam: 19] Jadi kita dapat mengetahui bahwa semua sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah sesuatu yang terjaga sepanjang waktu, tidak mungkin ada sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang hilang dalam masalah agama, dan tidak mungkin pula tersamar (bercampur) antara hadits yang palsu dan yang shahih. Kalau terjadi demikian berarti Adz-Dzikru tersebut tidak terjaga dan firman Allah Taala: "Inna nahnu najjalnaa liddizkra wa innaa lahu lahafidhuun" adalah bohong dan janji palsu. Hal ini tidak mungkin diucapkan oleh seorang muslim. Jika ada seseorang mengatakan bahwa yang dijamin oleh Allah terpelihara adalah Al-Qur-an saja dan bukan semua wahyu yang diturunkan selain Al-Quran, maka kami jawab, Kami mohon taufiq dari Allah Subhanahu wa Taala. Tuduhan itu adalah bohong, tidak ada bukti sama sekali dan peng-khususan bahwa yang dimaksud Adz-Dzikra hanya Al-Quran saja, itupun tidak ada dalilnya. Maka dakwaan mereka itu adalah bathil. ... Katakanlah: Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar. [Al-Baqarah: 111] Oleh karena itu, orang yang tidak punya bukti atas dakwaannya, maka ia tidak benar dan tidak bisa dipercaya. Kalimat Adz-Dzikru mencakup semua yang diturun-kan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu alaihi wa sallam , baik berupa Al-Qur-an maupun As-Sunnah, karena As-Sunnah sebagian wahyu yang telah dijelaskan oleh Al-Qur-an: "Wa anjalnaa ilaika ad-dzikra litubayyina linnaasi maa nunajjila ilaihim wa la'allahum yatafakkaruun". Dalam ayat ini Nabi Shallallahu alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan Al-Quran kepada manusia. Di dalam Al-Quran banyak ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), kalau Sunnah ter-sebut tidak terjaga dan tidak terpelihara, niscaya ayat-ayat Al-Quran tidak bermanfaat, bahkan bisa menjadi batal sebagian besar dari kewajibankewajiban agama yang dibebankan kepada manusia?! Jika demikian, maka kita tidak mampu membedakan antara yang benar dari firman Allah dan yang salah dalam menafsirkannya atau orang yang sengaja berbohong. Semua ini mustahil terjadi pada Allah Subhanahu wa Taala. [3] Di antara dalil lain yang menegaskan keotentikan As-Sunnah sebagai sumber hukum, bahwasanya Allah Taala telah menjadikan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh Nabi dan Rasul dan syariatnya sebagai penutup syariat sebelumnya. Maka Allah Subhanahu wa Taala telah mewajibkan kepada manusia untuk beriman dan mengikuti segala ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. Allah telah menghapus segala syariat yang bertentangan dengan syariat beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Semua ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Taala telah menjadikan syariat yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai syariat yang abadi dan terpelihara. Allah Subhanahu wa Taala telah mewajibkan bagi setiap muslim bila berselisih tentang sesuatu untuk kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah. ... Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [An-Nisaa': 59] Imam Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mihran dan ulama Salaf lainnya ketika menafsirkan ayat ini: Kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada Al-Quran dan kembali kepada Rasul yaitu mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada As-Sunnah.[4] Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah upaya untuk menjelaskan Al-Quran. Tidak ada satu pun yang samar atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah sempurna. Allah Subhanahu wa Taala berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu [Al-Maaidah: 3] Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul Wada ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sendiri meminta mereka memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu alaihi wa sallam sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang beliau tidak sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke Surga sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan pula. Karena itu, hilangnya satu bagian dari Sunnah Rasul sama buruknya dengan hilangnya satu bagian dari Al-Quran. Sehingga ummat Islam sepanjang sejarah telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga dan memelihara As-Sunnah. Upaya-upaya para ulama Ahli Hadits dalam menjaga As-Sunnah dapat diringkas sebagai berikut: Pertama : Para Shahabat yang mulia langsung menerima hadits dari Rasululah Shallallahu alaihi wa sallam bahkan yang tidak sempat hadir, mereka bertanya kepada yang hadir dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat untuk menyampaikan As-Sunnah. Beliau bersabda: Allah akan memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang mendengarkan ucapanku, lalu ia menyam-paikannya sebagaimana yang ia dengar. Maka boleh jadi di antara yang disampaikan kepada mereka itu ada yang lebih mengerti daripada yang mendengarkan (langsung dariku). [5] Kedua : Kesungguhan para Shahabat dalam menyampaikan Sunnah Rasulullah di samping mereka langsung mengamalkan apa-apa yang datang dari al-Quran dan AsSunnah. Ketiga : Ketelitian para Shahabat yang tinggi dalam menerima As-Sunnah, bahkan ada yang diminta untuk menjadi saksi. Keempat : Kesungguhan para ulama sepanjang sejarah dalam mengumpulkan As-Sunnah dan ketelitian mereka dalam menerimanya, serta hafalan mereka yang luar biasa (matan dan sanadnya). Kelima : Pengetahuan mereka yang dalam tentang ihwal para perawi dan sikap kritis yang tinggi dalam menerima riwayat-riwayat mereka.

Keenam : Penyusunan ilmu al-Jarh wat Tadil (kriteria penerimaan dan penolakan hadits berdasarkan perawinya). Seperti al-Jarh wat Tadil oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razy (wafat th. 327 H). Ketujuh : Pengumpulan dan penyusunan illat-illat (cacat) hadits dengan pembahasan yang lengkap. Seperti kitab Ilal Imam ad-Daraquthni dan Imam at-Tirmidzi. Kedelapan : Penyusunan kitab-kitab untuk membe-dakan hadits-hadits maqbul (yang dapat diterima) dengan hadits mardud (ditolak). Kesembilan : Penyusunan kaidah-kaidah yang menjelaskan kriteria penerimaan atau penolakan suatu hadits dari berbagai segi. Kesepuluh : Penyusunan biografi para perawi hadits dengan pembahasan lengkap tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kesamaran atau perbedaan atau persamaan dalam nama dan kun-yah. Seperti kitab: 1). Tahdzibul Kamal fi Asma-ir Rijal oleh al-Hafizh Ja-maluddin Abul Hajjaj Yusuf bin Abdirrahman al-Mizzi (wafat th. 742 H) 2). Tahdziib Tahdzibul Kamal oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi (wafat 748 H) 3). Mizanul Itidaal (4 jilid) oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi. 4). Tahdzibut Tahdzib (12 jilid) oleh al-Hafizh Syihabud-din Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqa-lany (wafat th. 752 H) 5). Taqribut Tahdzib (2 jilid) oleh al-Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalany 6). Al-Kuna wal Asma oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad bin Sad al-Anshary ad-Daulaby (wafat th. 320 H), dan kitab-kitab lain, ratusan jilid kitab yang membahas tentang hal ihwal rawi. Dengan penjelasan di atas, kita tahu bahwa As-Sunnah yang berada di tangan kita telah dikumpulkan, dikodifikasi, disusun dan dipelihara keabsahannya dan keotentikannya oleh para ulama Islam hingga hari Kiamat, sebagaimana pertama kali mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam . Salah satu faktor terkuat yang memelihara keabsahan As-Sunnah adalah metode sanad dan kritik sanad. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi ummat ini yang tidak ditemukan pada ummat-ummat lain. Kata Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) berkata: Sanad itu merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa saja akan berkata me-nurut apa yang dikehendakinya. [6] Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) mengomentari perkataan di atas, bahwa bila sanad hadits itu dapat di-terima, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Di-nyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti an-tara hubungan hewan dengan kakinya.[7] Dalam buku ini, penulis terangkan kedudukan As-Sunnah sebagai pembelaan terhadap As-Sunnah yang selalu dirongrong oleh musuh-musuh Islam dan orang-orang kafir, munafik, ahlul bidah, orientalis, dan para pengekornya. Mudah-mudahan penjelasan dalam buku ini dapat difahami, diamalkan, dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga tulisan ini menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam , keluarga, para Shahabatnya serta para pengikut beliau Shallallahu alaihi wa sallam yang tetap ittiba mengikuti Sunnahnya, hingga akhir zaman. Alhamdulillaahi Rabbil Aalamiin.

Anda mungkin juga menyukai