Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agama Islam

IMAN

Disusun oleh: Viny Eline Aulia (101610101070)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS JEMBER 2011

A.

Pengertian Iman Dari Segi Bahasa Menurut bahasa Iman berarti pembenaran hati. Secara bahasa al-iman

adalah at-tashdiiq yaitu pembenaran. Pengertian iman secara bahasa menurut Syaikh Ibnu Utsaimin adalah pengakuan yang melahirkan sikap menerima dan tunduk. Kata al-aqiidah, al-ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama. Menurut bahasa, al-yaqiin bermakna al-ilmu. [Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743] Makna iman adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib, disebutkan bahwa iman berasal dari kata amana - yu'minu- mnan, yang artinya membenarkan. Ahli bahasa sepakat bahwa iman berarti tashdiq (pembenaran).

B.

Pengertian Iman Dari Segi Istilah Sedangkan menurut istilah, Iman adalah :

, , Artinya : Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan (Sumber : At-Taudhiih wal Bayaan li Syaratil Iimaan, karya Imam Abdurrahman bin Nashir as-Sadi, At-Tauhid Lish Shaffits Tsani Al-Ali, karya Al-Allamah Shalih Fauzan Al-Fauzan) Sedangkan secara istilah, menurut ahlus sunnah al-iman adalah pembenaran di dalam hati, ikrar dengan lisan, dan beramal dengan anggota tubuh. Pengertian ini adalah madzhabnya Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafii, AlImam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Al-Auzai, Al-Imam Ishaq bin Rohuyah, seluruh imam ahlul hadits, ahlul Madinah, dan jamaah dari ahlul kalam Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli bahasa Azujaj, mendefinisikan iman dengan, Sikap ketundukan, kepatuhan, dan kesediaan untuk menerima syari'at Islm. Sikap ini harus terefleksi pula dalam menerima apaapa yang disampaikan Rasulullah Saw. (sunnah). Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu, dan meyakini bahwa melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi, maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan muslim yang keimanannya

tidak ragu-ragu lagi. Allah Swt.. berfirman, "....dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami..." [Al-Quran, Yusuf:17.]. Imam al-Nasafiy, berpendapat, "man adalah pembenaran hati sampai pada tingkat kepastian dan ketundukan." [Imam al-Nasafiy, Al-'Aqid alNasafiyyah, hal. 27-43] Imam Ibnu Katsir menjelaskan,"man yang telah ditentukan oleh syara' dan diserukan kepada kaum muslimn adalah berupa itiqd (keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah pendapat sebagian besar Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal, dan Abu Ubaidah menyatakan, pengertian ini sudah menjadi suatu ijma'. (kesepakatan)". [Ibnu Katsr, Tafsir Ibnu Katsr, jilid.I, hal. 40] Imam Nawawi, menyatakan, "Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa seseorang dikategorikan muslim apabila orang tersebut tergolong sebagai ahli kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di dalam neraka. Ini tidak akan didapati kecuali setelah orang itu mengimani dienul Islm di dalamnya hatinya, secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat syahadat." [Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49] Imam al-Ghazali, menyatakan,"man adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya." [Imam Al-Ghazali, Iljm al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalm, hal. 112]

C.

Pengertian Iman Dari Segi Istilah Sunnah Keimanan harus ditetapkan dengan dalil yang bersifat qathiy (pasti) baik

tsubut (sumber) maupun dilalah-nya (penunjukkannya). Sebab, keimanan yang dituntut oleh Syaari adalah keimanan yang meyakinkan dan tidak disusupi keraguan. Definisi Iman yaitu Membenarkan dengan hati, mengikrarkan (mengucapkan) dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Definisi ini diambil dari banyak ayat al-Quran dan hadits Nabi Shallallahualaihi wa Sallam, serta dari ijma (kesepakatan ulama), diantara dalilnya itu adalah:

Hadits pertama Hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu dari Nabi Shallallahualaihi

wa Sallam, bahwa beliau bersabda : Iman adalah tujuh puluh lebih cabang atau enam puluh lebih cabang. Cabang iman yang paling utama ialah perkataan tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan cabang iman terendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk salah satu cabang iman. (Hadits ini Shahih, Dikeluarkan atau diriwayatkan oleh Al-Bukhari no 9, Muslim no 35, Ahmad 2/414, Abu Daud no 4676, At-Tirmidzi no 2614, An-Nasai 8/110, Ibnu Majah no 57, Ibnu Hibban no 166, 167, 181, 190, 191.). Pengeluaran dalil dari hadits itu, Cabang iman yang paling utama ialah perkataan tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Ini menunjukkan bahwa ucapan adalah bagian dari Iman. dan cabang iman terendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Ini menunjukkan bahwa perbuatan adalah bagian dari Iman. Malu termasuk salah satu cabang iman. Ini menunjukkan bahwa perbuatan hati, seperti malu, dan lain lain termasuk kedalam keimanan. o

Hadits kedua Hadits dari Abu Said Al-Khudri Radhiyallahuanhu berkata , aku

mendengar Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam bersabda : Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan nya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah iman yang paling lemah. (Hadits ini Shahih, Dikeluarkan atau diriwayatkan oleh Muslim no 49, Ahmad 3/10, 20, 49, 50, Abu Daud no 1140, 4340, At-Tirmidzi no 2172, An-Nasai 8/11, 121 dan Ibnu Majah no 1275, 4013, Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban no 306, 307). Pengeluaran dalil dari hadits itu, Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Ini menujukan bahwa perbuatan itu termasuk kedalam keimanan. Jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya Ini menujukan bahwa perkataan itu termasuk kedalam keimanan. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah iman yang paling

lemah. Ini menujukan bahwa membenci di dalam hati adalah bagian dari keimanan. o Ijma (Kesepakatan) Ulama. Imam Ibnu Rajab mengatakan : Imam Syafii menyebutkan bahwa Ijma para sahabat, tabiin dan orang setelah mereka yang mereka temui mengatakan bahwa Iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. (Jamiul ilmi wal hikam, karya Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab, At-Tauhid Lish Shaffits Tsani Al-Ali, karya Al-Allamah Shalih Fauzan Al-Fauzan). Kesimpulannya adalah Iman adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan (mengucapkan) dengan lisan dan dilakukan dengan perbuatan. Dengan demikian Iman mencakup, Aqidah (keyakinan), Ahlak, dan Amal Perbuatan. Iman adalah : , , Membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan Iman adalah Membenarkan dengan hati maksudnya membenarkan segala apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Taala yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahualaihi wa Sallam, serta menerima dengan ikhlas. Iman adalah Mengikrarkan dengan lisan maksudnya mengucapkan dua kalimat syahadat Laa ilaha illallah wa anna Muhammad Rasulullah (Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah), serta mengamalkan konsekuensinya. Iman adalah Mengamalkan dengan anggota badan maksudnya hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, lisan mengamalkan dalam bentuk perkataan, sedangkan anggota badan mengamalkannya dalam bentuk ibadahibadah sesuai dengan fungsinya. Berikut dalil-dalil yang menjelaskan bahwa iman mencakup keyakinan hati, perkataan, dan perbuatan.

Dalil tentang keyakinan hati : Allah Taala berfirman : karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu (Al Hujurat:14) Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka (Al Mujaadilah:22) Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda : Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya.

Dalil tentang perkataan lisan : Firman Allah Taala : }631{

Katakanlah (hai orang-orang mumin): Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membedabedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya (Al Baqarah:136) Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan, Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah, maka barangsiapa yang mengucapkan, Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah, maka sungguh dia telah menjaga harta dan jiwanya dari (seranganku) kecuali dengan hak Islam, dan hisabnya diserahkan kepada Allah

Dalil tentang amalan anggota badan : Allah Taala berfirman : }341{ dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu (shalatmu) (Al Baqarah:143) Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda : Seorang mukmin tidak disebut mukmin saat ia berzina Dan masih banyak dalil-dalil lain dari al Quran dan hadist yang menunjukkan bahwa iman mencakup keyakinan, perkataan, dan perbuatan.

D.

Rukun Iman Syaikh Ibnu Baaz ketika mengomentari perkataan Imam at Thahawi Iman

adalah satu kesatuan dan pemiliknya memiliki keimanan yang sama mengatakan : Perkataan Imam at Thahawi ini perlu ditinjau lagi, bahkan ini merupakan perkataan yang batil. Orang yang beriman tidaklah sama dalam keimanannya. Justru sebaliknya, mereka memiliki keimanan yang bertingkat-tingkat dengan perbedaan yang mencolok. Iman para rasul tidaklah dapat disamakan dengan iman selain mereka. Demikian pula iman para al khulafaur rasyidin beserta para sahabat yang lain, tidaklah sama dengan yang lainnya. Iman orang-orang yang betul-betul beriman juga tidak sama dengan iman orang yang fasik. Hal ini didasari pada perbedaan yang ada dalam hati, berupa pengenalan terhadap Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan segala yang disyariatkan bagi hamba-Nya. Inilah pendapat Ahlus sunnah wal jamaah, berbeda dengan pendapat murjiah dan yang sepaham dengan mereka.Wallahul mustaan Permasalahan ini sangat jelas jika kita melihat dalil-dalil yang ada dalam al Quran dan as Sunnah serta realita yang terjadi bahwa keimanan itu bertingkattingkat. Allah melebihkan sebagian rasul dibandingkan rasul yang lainnya. Allah Taala berfirman : }352{

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat. (Al Baqarah:253) Pemberian keutamaan sebagian rasul dibandingkan yang lain disebabkan perbedaan tingkat keimanan mereka. Demikian pula di antara para rasul ada yang termasuk ulul azmi. Mereka adalah rasul-rasul yang memiliki kedudukan yang paling agung dan derajat yang paling tinggi. Para rasul tidak sama semua kedudukannya di sisi Allah. Allah Taala berfirman : }53{ Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul (Al Ahqaf:35) Demikian pula keimanan para sahabat. Keimanan mereka berbeda-beda. Keimanan yang paling tinggi adalah keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar radhiyallahu anhu. Rasulullah sahalallhu alaihi wa sallam bersabda : Seandainya keimaanan seluruh umat ditimbang dengan keimanan Abu bakar, maka keimanan Abu Bakar lebih berat. Abu Bakar Subah al Qaari berkata : Tidaklah Abu Bakar mendahului kalian dengan banyaknya sholat dan shodaqoh, namun dengan iman yang menancap di hatinya. Pokok-pokok keimanan terdapat dalam rukun iman yang enam, sebagaimana diterangkan Nabi shalallahu alaihi wa sallam dalam hadist Jibril : Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk. Masing-masing rukun iman memiliki kadar minimal sehingga dikatakan sah keimanan seseorang terhadap rukun tersebut. Secara umum, kadar minimal untuk keenam rukun iman tersebut adalah sebagai berikut : Iman kepada Allah: - Beriman dengan wujud Allah - Beriman dengan rububiyah Allah - Beriman dengan uluhiyah Allah

- Beriman dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah Iman kepada para malaikat Allah: - Beriman dengan keberadaan para malaikat Allah - Mengimani secara rinci nama-nama malaikat yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui. - Mengimani secara rinci sifat-sifat mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui - Mengimani secara rinci tugas-tugas mereka yang kita ketahui, dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui Iman kepada kitab-kitab Allah : - Mengimanai bahwa seluruh kitab berasal dari Allah - Mengimani secara rinci nama-nama kitab Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui - Membenarkan berita-berita yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut - Beramal dengan hukum-hukum yang ada di dalamnya selama belum dihapus Iman kepada para rasul Allah : - Mengimani bahwa seluruh risalah para rasul berasal dari Allah - Mengimani secara rinci nama para nabi dan rasul Allah yang kita ketahui dan mengimani secara global yang tidak kita ketahui - Membenarkan berita yang shahih yang datang dari mereka - Beramal dengan syariat Rasul yang diutus kepada kita (yaitu Muhammad shalallhu alaihi wa sallam) Iman kepada hari akhir : - Beriman dengan hari kebangkitan - Beriman dengan hari perhitungan dan pembalasan (al hisaab wal jazaa) - Beriman dengan surga dan neraka - Beriman dengan segala sesuatu yang terjadi setelah kematian Iman kepada takdir Allah : - Beriman bahwasanya Allah mengetahui segala sesuatu yang terjadi - Beriman bahwasanya Allah telah menetapkan segala sesuatu di Lauh mahfudz - Beriman bahwa segala sesuatu terjadi dengan kehendak Allah

- Beriman bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan makhluk Allah Barangsiapa yang tidak mengimani pokok-pokok yang ada pada kadar minimal rukun iman, maka batal rukun iman tersebut. Dan barangsiapa yang batal salah satu rukun iman, maka batal pula seluruh keimanannya. Di antara keyakinan yang benar tentang iman adalah bahwasanya iman dapat bertambah dan juga dapat berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dalilnya adalah firman Allah Taala : maka perkataan itu menambah keimanan mereka (Ali Imran :173) } ada) (Al Fath:4) Nabi Shalallahu alihi wa sallam bersabda : akan keluar dari neraka, orang yang mengucapkan, Laa Ilaaha Illaahu (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) , dan di dalam hatinya terdapat kebaikan seberat biji sawi Dalam hadist di atas nabi menjelaskan bahwa iman bertingkat-tingkat. Jika sesuatu bisa mengalami penambahan, maka bisa juga berkurang, karena konsekuensi dari penambahan adalah sesuatu yang diberi tambahan itu lebih kurang daripada yang bertambah. Iman dapat bertambah disebabkan karena beberapa hal : 1. Mengenal Allah Taala melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Semakin seseorang mengenal Allah, keimanannya semkain bertambah. 2. Memperhatikan ayat-ayat Allah baik ayat-ayat kauniyah maupun ayat syariyah. 3. Banyak melakukan ketaaatan. 4. Meninggalkan kemakisatan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Adapun ha-hal yang dapat mengurangi keimanan diantaranya : 1. Berpaling dari mengenal Allah dan nama-nama serta sifat-sifat-Nya 2. Tidak mau memperhatikan ayat-ayat kauniyah dan syariyah }4 supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah

10

3. Sedikitnya amal shalih 4. Melakukan kemaksiatan kepada Allah

E. o

Aplikasi Iman dalam Kehidupan Cinta sesama muslim sebagian dari iman .

. : : 67 . .7 .) (. : . : :

Artinya: Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syubah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasai) Penjelasan Singkat Iman dan amal shaleh ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Meskipun konsep iman itu sifatnya abstrak, tapi amal shaleh yang lahir dari seseorang merupakan pantulan dari keimanan tersebut. Itulah sebabnya sehingga sejumlah ayat dalam al-Quran selalu menyandingkan iman dengan amal shaleh. Tingkat keberimanan seseorang akan melahirkan prilaku-prilaku kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hubungan itu, sehingga Rasulullah saw. dalam sejumlah hadis selalu mengaitkan tingkat kesempurnaan iman seseorang dengan prilaku seharihari. Di antara prilaku yang dijadikan Rasulullah saw. sebagai parameter keberimanan seseorang adalah sejauh mana tingkat kepeduliaan seseorang terhadap sesamanya manusia. Hadis di atas menegaskan bahwa diantara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika

11

sesamanya muslim

mendapat

kesulitan dan

musibah

yang ia

sendiri

membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang. Sifat seperti yang disebutkan Rasullah dalam hadis tersebut hanya dapat terwujud jika seseorang terhindar dari sifat dengki dan iri hati. Oleh sebab itu, hadis tersebut dapat dipahami secara terbalik bahwa orang yang menyimpan sikap dendam, dengki dan iri terhadap sesamanya muslim termasuk orang yang tidak sempurna tingkat keimanannya. Hal tersebut mengingat bahwa sifat dengki yang dimiliki seseorang terhadap sesamanya mengandung kebencian terhadap orang yang mengunggulinya dalam hal-hal tertentu. Seorang mukmin yang baik ialah apabila melihat kebaikan pada saudaranya, ia berharap mendapatkan kebaikan yang sama tanpa mengharapkan nikmat itu hilang dari saudaranya. Jika melihat kekurangan pada saudaranya, maka ia berusaha memperbaikinya, sebab orang mukmin dengan orang mukmin ibarat satu anggota tubuh yang saling melengkapi satu sama lain. Hadis di atas tidaklah berarti bahwa seorang mumin yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman sama sekali. Pernyataan pada hadis di atas mengandung makna tidak sempurna keimanan seseorang jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf nafi pada hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan. Di sisi lain, hadis di atas memberikan isyarat betapa besar penghargaan Islam terhadap persaudaaraan. Demikian besarnya arti persaudaraan, maka Islam menjadikannya sebagai salah satu indikator keberimanan seseorang. Saudara yang dimaksudkan dalam hadis di atas bukan hanya saudara yang diikat hubungan nasab, tetapi lebih dari itu, persaudaran yang diikat oleh hubungan agama dan keimanan. Persaudaraan semacam ini adalah persaudaraan suci yang datang dari hati nurani, yang dasarnya keimanan bukan motif-motif lain. Persaudaraan atas dasar keimanan dan keislaman merupakan persaudaraan yang abadi dan tidak akan luntur selama keimanan dan keislaman tetap bersemayam di dalam hati dan diri seseorang.

12

Dalam berbagai riwayat, Rasulullah saw. menjelaskan keutamaan dan keistimewaan yang dimiliki oleh orang yang saling mencintai dan menyayangi atas dasar kecintaan kepada Allah. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut: .) Artinya: Qutaibah bin Said telah menceritakan kepada kami dari Malik bin Anas sebagaimana dibacakan kepadanya dari Abdillah bin Abd al-Rahman bin Mamar dari Abi al-Hubab Said bin Yasar dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. telah bersabda, pada hari kiamat Allah swt. akan berfirman: dimanakah orang yang saling berkasih sayang karena kebesaran-Ku, kini Aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat tiada naungan kecuali naungan-Ku. (H.R. Muslim) Hadis di atas mengisyaratkan bahwa cinta yang mendatangkan kebahagiaan abadi adalah cinta yang dibangun atas dasar keridhaan Allah swt. Orang yang membangun kecintaannya kepada sesamanya manusia karena Allah swt. akan mendapatkan penghormatan istimewa di hari akhirat. Orang seperti ini senantiasa memandang bahwa kehidupan yang bermakna adalah kehidupan yang memberi makna kepada orang lain. Dengan demikian, ia selalu memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat, yang harus membangun suatu tatanan hidup untuk kebahagiaan bersama. Prinsip tersebut mengantarnya untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudaranya, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan. Sikap seperti ini menyebabkan terjadinya keharmonisan hubungan antar individu yang akan memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sehubungan dengan hal ini, Rasulullah saw. bersabda: .) . ( )

Artinya:

13

Khalad bin Yahya telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Sofyan telah menceritakan kepada kami dari Abi Burdah ibn Abdillah ibn Abi Burdah dari kakeknya dari Abi Musa dari Nabi saw. telah bersabda: sesungguhnya antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lain. (H.R. Bukhari dan Muslim.) Tatanan masyarakat yang penuh cinta kasih tidak hanya sebatas konsep dan motivasi dari Rasulullah saw., tapi beliau sudah terlebih dahulu mempraktekkannya dalam masyarakat Madinah pada peristiwa hijrah. Rasulullah mempersaudarakan mereka atas dasar persaudaraan agama, sehingga jiwa mereka terpaut satu sama lain melebihi hubungan persaudaraan sedarah. Kaum Anshar dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan penderitaan yang dialami oleh kaum Muhajirin sebagai penderitaannya. Perasaan seperti itu bukan didasarkan keterkaitan darah atau keluarga, tetapi didasarkan pada keimanan yang teguh. Tak heran kalau mereka memberikan apa saja yang dimilikinya untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada yang menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada saudaranya dari kaum Muhajirin. Persaudaraan seperti itu mencerminkan betapa kokoh dan kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya seiman meskipun tanpa diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala besar di sisi Allah swt. Allah swt. Berfirman, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cinta, dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya (QS. Ali Imran (3): 92). Sebaliknya, orang-orang mukmin yang hanya mementingkan dirinya sendiri, dan tidak memiliki semangat ihsan terhadap sesamanya, orang seperti itulah yang masuk dalam kategori tidak sempurna keimanannya, meskipun mereka taat dalam menjalankan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Kesalehan seseorang tidak hanya diukur dengan parameter ketaatan melaksanakan

14

kewajiban individual terhadap al-Khaliq, tetapi juga harus dibarengi dengan hablum minan nas yang baik. Perlu diingat kembali bahwa perintah untuk mencintai sesama muslim haruslah senantiasa berada dalam semanga ketaatan kepada Allah. Tidaklah benar jika atas alasan menolong sesama manusia sehingga mengabaikan rambu-rambu Tuhan, sebab tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam mendurhakai Allah. Oleh sebab itu, tidaklah dikategorikan berbuat baik kepada sesamanya jika pertolongan yang diberikannya membantu orang tersebut dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, sebab dalam kondisi seperti itu berarti memposisikan makhluk pada posisi Tuhan. o

Ciri seorang muslim tidak mengganggu orang lain ).

. ) Artinya:

Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa Syubah telah mengabarkan kepada kami dari Abdullah bin Abi al-Saffar dan Ismail bin Abi Khalid dari al-Syabiy dari Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: orang muslim adalah orang yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah swt. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasai) Hadis di atas tampak sangat singkat tetapi berisi pesan moral yang sangat sarat dengan makna. Inti pesan dalam hadis tersebut ada dua, yaitu: membangun hubungan antar manusia (hablum minan nas) yang harmonis, dan membina aktivitas dalam bingkai ketaatan kepada Allah (hamblum minallah). Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan

15

tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menjadikannya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Hadis di atas tidaklah bertolak belakang dengan hadis tentang rukun Islam, yang nota benenya jika telah terpenuhi maka seseorang sudah dianggap muslim. Hadis di atas lebih berorientasi moral (moral oriented) bahwa muslim yang sejati tidak hanya memenuhi rukun Islam secara formal, tetapi keislaman yang benar ialah di samping terpenuhinya rukun Islam, juga harus senantiasa tercermin dalam segala tingkah lakunya nilai-nilai moral yang islami. Keislaman seseorang belumlah dianggap sempurna dan sejati jika hanya terpaku pada ibadah ritual sebagai kewajibannya terhadap Allah swt., lalu meremehkan hubungannya dengan sesama manusia. Ajaran Islam tidak sepenuhnya berdimensi Ilahiyah, tetapi juga berdimensi insaniyah, meskipun semuanya bermuara kepada ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, berlaku baik kepada sesama manusia juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang tidak dapat diabaikan. Menyakiti sesama manusia mempunyai bentuk yang bermacam-macam. Namun dalam hadis di atas hanya menyebutkan dua anggota tubuh secara simbolik. Penggunaan tangan untuk gangguan fisik secara metafora karena tanganlah yang paling banyak menyakiti manusia. Selain itu, lidah merupakan bagian dari anggota tubuh yang paling banyak menyakiti hati sesama manusia. Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya. Adapun menyakiti orang lain dengan lisan, misalnya dengan memfitnah, mencaci, mengumpat, menghina, dan lain-lain. Perasaan sakit yang disebabkan oleh lidah lebih sulit dihilangkan daripada sakit akibat pukulan fisik. Tidak jarang terjanya perpecahan, perkelahian, bahkan peperangan di berbagai daerah akibat tidak dapat mengontrol lidah. Salah satu pepatah Arab menyatakan:

16

Artinya: Keselamatan seseorang terletak sejauh mana ia menjaga lisannya. Dengan demikian, seseorang harus berusaha untuk tidak menyakiti saudaranya dengan cara apapun dan kapanpun. Sebaliknya, ia selalu berusaha menolong dan menyayangi saudaranya seiman sesuai dengasn kemampuan yang dimilikinya. Hal itu karena menjaga orang lain, baik fisik maupun perasaan sangat penting dalam Islam. Mengingat bahaya yang ditimbulkan oleh lisan, maka Allah swt. mengancam akan menggugurkan nilai pahala sedekah seseorang yang senantiasa menyakiti hati sesamanya dengan berbagai bentuknya. Sehubungan dengan hal ini. Allah swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 264: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebutnyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima) . . . Setiap muslim hendaknya berhati-hati dalam bertingkah laku. terhadap sesamanya manusia. Allah sangat mencela segala bentuk perbuatan yang tidak proporsional. Segala tindakan dan perbuatan akan dimintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Allah berfirman dalam QS. al-Isra (17): 36: Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. Oleh sebab itu, dalam berbicara harus senantiasa penuh pertimbangan, sebab sejumlah hadis Rasulullah saw. mensinyalir bahwa lidah merupakan anggota tubuh yang sangat potensial memasukkan orang ke dalam neraka. Dalam sebuah riwayat, Nabi saw. bersabda: : ) (

Artinya:

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. ditanya tentang hal yang banyak mengakibatkan orang masuk surga, lalu Nabi menjawab: ketakwaan kepada Allah dan akhlak yang baik. Selanjutnya beliau ditanya tentang hal yang banyak

17

mengakibatkan masuk neraka, beliau menjawab: lidah dan kemaluan. (HR. Turmudzi) o

Realisasi iman dalam menghadapi tamu

.) . ) Artinya : Qutaibah bin Said telah menceritakan kepada kami, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam (H.R. Syaikhani dan Ibnu Majah) Hadis di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ketiga ciri yang dimaksudkan adalah: memuliakan tamu, menghormati tetangga, dan berbicara yang baik atau diam. Meskipun keimanan kepada Allah dan hari akhirat merupakan perbuatan yang bersifat abstrak, namun keimanan tidak berhenti sebatas pengakuan, tetapi harus diaplikasikan dalam bentuk-bentuk nyata. Hadis di atas hanya menyebutkan tiga indikator yang menggambarkan sikap seorang yang beriman, dan tidak berarti bahwa segala indikator keberimanan seseorang sudah tercakup dalam hadis tersebut. Demikian pula, ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas tidaklah berarti bahwa orang yang tidak memenuhi hal itu diklaim sebagai orang yang keluar dari keimanan, sehingga orang yang tidak memuliakan tamu dan tetangga, serta tidak berkata yang baik dianggap tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud hadis di atas bahwa ketiga sifat yang disebutkan dalam hadis termasuk aspek pelengkap keimanan kepada Allah dan hari akhir-Nya.

18

Ketiga sifat tersebut di atas jika diwujudkan dengan baik, mempunyai arti sangat besar dalam kehidupan sosial. Ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan hak-hak Allah swt., yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik, dan adakalanya terkait dengan hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu. a. Memuliakan Tamu Yang dimaksud dengan memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin. Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari tiga hari tersebut termasuk sedekah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah saw.: ( . )

Artinya: Qutaibah bin Said telah menceritakan kepada kami, Laits telah menceritakan kepada kami, dari Said bin Abi Said, dari Abi Syuraih al-Adawiy, berkata, Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, ia harus menghormati tamunya dalam batas kewajibannya. Sahabat bertanya, yang manakah yang masuk batas kewajiban itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, batas kewajiban memuliakan tamu itu tiga hari tiga malam, sedangkan selebihnya adalah shadaqah. (Mutafaq Alaih) Dalam batas kewajiban tersebut, tuan rumah wajib memberikan pelayanan berupa makanan sesuai dengan kemampuannya tanpa ada unsur memaksakan diri. Pelayanan tamu termasuk kategori nafkah wajib, dan tidak wajib kecuali bagi orang yang mempunyai kelebihan nafkah keluarga. Selain itu, termasuk kategori memuliakan tamu ialah memberikan sambutan yang hangat dan senantiasa

19

menampakkan kerelaan dan rasa senang atas pelayanan yang diberikannya. Sikap yang ramah terhadap tamu jauh lebih berkesan di hati mereka dari pada dijamu dengan makanan dan minuman yang mahal-mahal tetapi disertai dengan muka masam. Memuliakan tamu di samping merupakan kewajiban, ia juga mengandung aspek kemuliaan akhlak. Sebaliknya, seorang yang bertamu juga harus senantiasa memperlihatkan sikap koperatif dan akhlak yang baik, sehingga orang yang menerimanya merasa senang melayaninya. Adapun etika bertamu yang harus diperhatikan antara lain: 1) Masuk ke rumah orang lain atau tempat perjamuan, harus memberi salam,

dan atau memberi hormat menurut adat dan tata cara masing-masing masyarakat. 2) Masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, dan diperjamuan melalui pintu

gerbang yang sengaja disediakan untuk jalan masuk bagi tamu. 3) Ikut berpartisipasi dalam acara yang diadakan dalam suatu perjamuan, selama

kegiatan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 4) Duduk setelah dipersilahkan, kecuali di rumah sahabat karib atau keluarga

sendiri. 5) Duduk dengan sopan. Jika tamu yang datang bermaksud meminta bantuan atas suatu masalah yang dihadapinya, maka kita harus memberinya bantuan sesuai kemampuan. Bahkan meskipun tamu bersangkutan tidak mengadukan kesulitannya jika hal itu kita ketahui, maka kita berkewajiban memberikan bantuan dalam batas kemampuan yang kita miliki. Jika ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam. Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan masyarakat yang aman dan damai.

b. Memuliakan Tetangga Istilah tetangga mempunyai pengertian yang luas, mencakup tetangga yang dekat maupun jauh. Tetangga merupakan orang-orang yang terdekat yang umumnya merekalah orang pertama yang mengetahui jika kita ditimpa musibah

20

dan paling dekat untuk dimintai pertolongan di kala kita kesulitan. Oleh karena itu, hubungan dengan tetangga harus senantiasa diperbaiki. Saling kunjung mengunjungi antara tetangga merupakan perbuatan terpuji, karena hal itu akan melahirkan kasih sayang antara satu dengan yang lainnya. Berbuat baik kepada tetangga dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan memberikan pertolongan, memberikan pinjaman jika ia membutuhkan, menengok jika ia sakit, melayat jika ada yang meninggal, dan lainlain. Selain itu, sebagai tetangga kita juga harus senantiasa melindungi mereka dari gangguan dan bahaya, memberinya rasa tenang. Dalam hadis sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi saw. menggambarkan pentingnya memuliakan tetangga sebagai berikut: . Artinya: Ismail bin Abi Uways telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik telah menceritakan kepadaku, dari Yahya bin Said, ia berkata Abu Bakr bin Muhammad telah mengabarkan kepadaku dari Amrah, dari Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk memuliakan) tetangga sehingga aku menyangka bahwa Jibril akan memberi kepada tetangga hak waris. Perintah berbuat baik kepada tetangga juga disinyalir dalam berbagai ayat Alquran, antara lain firman Allah dalam QS. An-Nisa (4): 36: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. Di antara akhlak yang terpenting kepada tetangga adalah: 1) Menyampaikan ucapan selamat ketika tetangga sedang bergembira 2) Menjenguknya tatkala sakit

21

3) Bertaziyah ketika ada keluarganya yang meninggal 4) Menolongnya ketika memohon pertolongan 5) Memberikan nasehat dalam berbagai urusan dengan cara yang maruf, dan

lain-lain.

c. Berbicara Baik atau Diam Berbicara merupakan perbuatan yang paling mudah dilakukan tetapi mempunyai kesan yang sangat besar, baik ataupun buruk. Ucapan dapat membuat seseorang bahagia, dan dapat juga menyebabkan orang sengsara, bahkan binasa. Orang yang selalu menggunakan lidahnya untuk mengucapkan yang baik, menganjurkan kebaikan dan melarang perbuatan-perbuatan jelek, membaca alQuran dan buku-buku yang bermanfaat dan sebagainya, akan mendapatkan kebaikan atas apa yang dilakukannya. Sebaliknya, orang yang menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang lain, ia akan mendapat dosa, dan bahkan tidak mustahil akan membawa bahaya dan kebinasaan bagi dirinya. Oleh sebab itulah sehingga Rasulullah memerintahkan untuk berkata baik, dan jika tidak mampu mengucapkan yang baik maka diam merupakan pilihan terbaik. Mengingat besarnya bahaya banyak bicara, Rasulullah saw.

mengemukakan nilai sikap diam. Sehubungan dengan hal ini Rasulullah saw. bersabda: Artinya: Dari Anas, ia berkata, telah bersabda Rasulullah saw., diam itu suatu sikap bijaksana, tetapi sedikit orang yang melakukannya. (H.R. oleh al-Baihaqi, dengan sanad dhaif, dan memang betul bahwa hadis tersebut mauquf sebagai ucapan Luqman Hakim). Orang yang menahan banyak berbicara kecuali dalam hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa dan kejelekan, daripada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang pantas dibicarakan dan yang tidak pantas : : . : ( . )

22

dibicarakan. Bahkan, dinyatakan oleh Rasulullah saw. yang dikutip oleh Imam alGhazali: Artinya: Barangsiapa yang menjaga perut, farji, dan lisannya, maka dia telah menjaga seluruh kejelekan. (H.R. Abu Manshur al-Dailamy dari Anas dengan sanad dhaif). Ketiga hal yang disebutkan di atas merupakan perbuatan paling banyak mengkibatkan orang celaka yang salah satu di antaranya adalah banyak bicara. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa sikap diam itu selamanya baik, sebab hadis di atas bukanlah memerintahkan untuk diam, tetapi hanya menyarankan untuk memilih diam jika ucapan yang benar sudah tidak mampu diwujudkan. Yang paling bijaksana adalah menempatkan kedua kondisi tersebut sesuai dengan porsinya dan sejauhmana memberikan kemanfaatan. Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan: Artinya: Tiap-tiap kondisi ada perkataan yang tepat, dan tiap-tiap ucapan ada tempatnya. Demikian pentingnya ucapan yang baik sehingga Allah swt. mensinyalir bahwa ucapan yang baik jauh lebih berharga daripada perbuatan yang tidak didasari oleh keikhlasan. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 163 Allah swt. berfirman: Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. Ayat tersebut memberikan motivasi untuk senantiasa berkata yang baik kepada orang lain, meskipun tidak mampu memberikan sesuatu yang bersifat materil kepada mereka. Ayat itu pula menuntun agar tidak menghardik orang yang meminta bantuan dan pertolongan kepada kita, sebab tidak memenuhi permintaan mereka tetapi dengan kata-kata yang baik, akan lebih menyenangkan hati mereka dari pada permintaannya dipenuhi tetap disertai dengan caci maki. ) . )

23

Anda mungkin juga menyukai