Anda di halaman 1dari 89

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bentuk-bentuk perbuatan perlakuan penyebab timbulnya korban anak dapat diklasifikasikan kedalam empat jenis yaitu penganiayaan fisik, penganiayaan emosional, penganiayaan seksual dan eksploitasi seksual. Romli Atmasasmita mengatakan bahwa banyak orang tua yang tergelincir dengan memberikan pengaruh negatif dalam perkembangan kehidupan anak-anak1.

Bentuk eksploitasi seksual anak dibagi menjadi dua yakni pelacuran anak dan perdagangan anak dengan tujuan seksual termasuk dalam jenis eksploitasi seksual yang komersial dan saat ini kecanggihan teknologi dalam internet tidak luput menjadi akses oleh pihak-pihak tertentu dalam pemasaran jual beli anak dan tidak sedikit kasus yang ditemui bahwa orang tua mengizinkan anaknya yang masih dibawah umur sebagai pekerja sex komersial dan dipasarkan oleh pihak-pihak tertentu bahkan lintas negara dengan memiliki tujuan untuk mengeksploitasi komersial seksual anak melalui salah satu kecanggihan teknologi antara lain yaitu melalui media internet2.

Pengeksploitasian seksual anak melalui media internet merupakan akibat dari perkembangan teknologi informasi yang dewasa ini berkembang dengan pesat. Teknologi informasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia
1

Romli Atmasasmita,Problema Kenakalan Anak-anak dan Remaja,Bandung;Armico,1986,hlm 11.


2

http://koran.seveners.com, diakses pada tanggal 21 Maret 2009,Pukul 19.00 WIB.

2 secara global. Di samping itu, perkembangan tekhnologi informasi telah

menyebabkan dunia menjadi tanpa batas dan menyebabkan perubahan struktur sosial masyarakat yang secara signifikan berlangsung dengan cepat. Tekhnologi Informasi memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia.3

Kehadiran internet telah membuka cakrawala baru dalam kehidupan manusia. Internet merupakan sebuah ruang informasi dan komunikasi yang menjanjikan menembus batas-batas antar negara, penyebaran dan pertukaran ilmu serta gagasan di kalangan ilmuwan dan cendikiawan diseluruh dunia. Internet membawa kemajuan kepada ruang atau dunia baru yang tercipta yang dinamakan cyberspace yaitu sebuah dunia komunikasi berbasis komputer.

Perkembangan tekhnologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang dan masa yang akan datang. Bentuk-bentuk kejahatan yang ada semakin hari semakin bervariasi seperti pencurian data, pelanggaran hak cipta termasuk pemasaran anak dengan tujuan eksploitasi seksual, seperti kasus eksploitasi seksual anak yang dilakukan oleh Koko Roy (58) tahun yang telah terbukti menggauli delapan anak, lima diantaranya masih dibawah umur, dengan dihargai Rp.1.000.000,00- (satu juta rupiah) per-anak. Tindakan pedofilia Koko Roy yang merekam seratus lebih adegan porno di telepon selulernya tentang aktivitas seksualnya adalah indikasi kejahatan4. Koko Roy (58) dengan sengaja mengedarkan hasil gambar rekaman tersebut ke jaringan pedofilia melalui telepon seluler dan internet di lintas negara. Sehingga para pedofil dari berbagai negara dapat
3

Ahmad M Ramli,cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia ,Bandung:Refika Aditama,2004,hlm 4 4 http://najlah.blogspot.com/2006/11/pedofilia-jaringan-kejahatan.html,diakses pada tanggal 8 Maret
2009,pukul 21:00

3 mengakses dengan mudah gambar porno yang dihasilkan oleh Koko Roy (58) serta dapat memesan salah satu anak yang terdapat pada situs porno eksploitasi komersial seksual anak tersebut untuk tujuan seksual. Pada kasus pedofilia yang dilakukan oleh Koko Roy(58) tahun maka telah memenuhi unsur-unsur dalam kasus eksploitasi seksual terhadap anak dibawah umur.

Unsur-unsur tersebut antara lain : 1) Unsur Penjualan anak Unsur penjualan anak dalam hal ini berarti setiap tindakan atau transaksi dimana seseorang anak ditransfer oleh orang atau pihak atau kelompok apapun kepada pihak lain untuk mendapatkan keuntungan atau karena pertimbangan lain. 2) Unsur Pelacuran anak Unsur pelacuran anak dalam hal ini berarti pemanfaatan seorang anak dalam kegiatan-kegiatan seksual untuk mendapatkan keuntungan atau pertimbangan lain apapun. 3) Unsur Pornografi anak Unsur pornografi anak dalam hal ini adalah berarti tampilan apapun dengan sarana apapun dari seseorang anak yang sedang melakukan kegiatan seksual yang nyata5.

Dengan demikian, maraknya kejahatan seksual yang direkam akan menambah maraknya kejahatan trafficking. Seiring kemajuan zaman dan teknologi jaringan dalam mengembangkan sistem operandi bisnis prostitusi. Sering kali kejahatan dengan mengeksploitasi seksual anak untuk kepentingan ekonomi. Kemajuan teknologi telepon seluler yang dipergunakan untuk menyimpan, menyebarkan gambar-gambar dan video porno merupakan salah satu dari modus operandi kejahatan yang bisa diakses melalui internet.
5

Arif Gosita,Masalah Perlindungan Anak,Jakarta;Akademindo Pressindo,1989,hlm 43

Pedofilia sendiri terdiri dari dua suku kata ;pedo (anak) dan filia (cinta). Pedofilia adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual yang melibatkan anak, pelaku pedofilia usianya di atas 16 (enam belas) tahun baik pria maupun wanita, sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13 (tiga belas) tahun atau lebih muda (anak pre-pubertasi). Seseorang dikatakan sebagai pedofilia apabila seseorang memiliki kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun kelainan seks tersebut sehingga merugikan pihak anak yang menjadi

korban. Penyebab pedofilia tidak diketahui secara pasti, penelitian menunjukkan gejala pedofilia dapat timbul dari gabungan sejumlah faktor baik faktor genetika maupun faktor non genetika, contohnya kerusakan pada otak, kelainan kromosom, masalah psikologis pada saat pubertas atau dapat juga penderita adalah korban tindakan pelecehan seksual. Pedofilia seringkali menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa sehingga pedofilia bisa menjadi kompensasi dari penyaluran nafsu seksual yang tidak dapat disalurkan pada orang dewasa6.

Anak yang sedang tumbuh dan berkembang, pada dasarnya harus dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, bila periode anak mendapat trauma sebagai korban pedofilia maka dapat menimbulkan akibat terganggunya perkembangan moral, jiwa dan mental, bila kejadian tersebut disertai paksaan dan kekerasan maka tingkat trauma yang ditimbulkan lebih berat. Trauma psikis tersebut sampai usia dewasa akan sulit dihilangkan, dalam keadaan tertentu yang cukup berat, bahkan dapat mengakibatkan gangguan jiwa dan berbagai kelainan patologis lainnya yang tidak berat.

http://najlah.blogspot.com/2006/11pedofilia-jaringan-kejahatan.html.,diakses pada tanggal 23 maret 2009 pukul 19.00 WIB

5 Kejahatan pornografi anak yang terjadi akibat dampak negatif dari kemajuan Teknologi Informatika (TI) maupun akibat industri hiburan dan film melalui media cetak dan media internet yang mengenai dunia anak-anak Indonesia ternyata telah membawa anak kepada masa depan yang suram, yang menuju kehancuran generasi penerus bangsa, sedangkan perangkat hukum perlindungan yang ada khususnya pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui fasilitas teknologi masih kurang relevan untuk dipakai sebagai dasar hukum yang tepat dibanding akibat yang terjadi baik terhadap kerusakan mental dan psikis yang dialami korban dan keluarganya, maupun pengrusakan dan penghancuran generasi bangsa.

Hal tersebut tidak jarang menyulitkan aparat kepolisian yang belum mengerti dalam hal teknologi dan bila tertangkap isi delik dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana (KUHP) yang rumit tentu saja akan semakin membuat aparat bingung karena kejahatan yang dilakukan di dunia maya ( Cyberspace ) akan sulit dibuktikan di depan pengadilan. Sebab itu pada kasus yang terjadi pada Koko Roy(58) aparat menjerat pelaku dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disertai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Berbagai kejahatan yang terjadi dalam dunia maya khususnya prostitusi seksual anak melalui media internet yang bermacam-macam bentuknya, salah satunya penyebaran adegan porno oleh Koko Roy(58) terhadap lima anak dibawah umur melalui media internet dengan tujuan eksploitasi komersial seksual anak dengan modus ekonomi. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian prostitusi melalui internet dengan modus eksploitasi komersial seksual terhadap anak dalam bentuk skripsi yang berjudul :

6 TINJAUAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL PADA ANAK MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JUNCTO UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka penulis mengidentifikasikan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana perundang-undangan di negara Indonesia dalam menggambarkan mengenai eksploitasi seksual anak melalui media internet ? 2. Tindakan hukum apa yang dapat dilakukan terhadap pelaku pengeksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet ditinjau dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disertai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Penulis dalam melakukan penelitian mengenai eksploitasi seksual anak melalui media internet memiliki maksud dan tujuan untuk menggambarkan : 1. Pemenuhan rumusan unsur-unsur tindak pidana pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet. 2. Pertanggung jawaban pidana para pihak yang terlibat dalam pegeksploitasian seksual pada anak melalui media internet berdasarkan Undang-Undang Nomor

7 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disertai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 3. Kepastian hukum dalam memberikan perlindungan terhadap anak agar terhindar dari segala bentuk keterlambatan, kekerasan dan jenis eksploitasi anak baik secara ekonomi maupun seksual.

D. Kegunaan Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh manfaat baik dari segi teoritis maupun segi praktis sebagai berikut : 1. Secara teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, pembaharuan ilmu hukum nasional pada umumnya dan dalam perlindungan hukum bagi setiap individu di dalam tata hukum Indonesia sekaligus memberikan referensi bagi kepentingan yang bersifat akademis dan juga sebagai bahan tambahan bagi kepustakaan serta pada perkembangan ilmu hukum pidana pada khususnya. 2. Secara Praktis Penulis berharap hasil penelitian ini secara praktis dapat bermanfaat serta memberikan gambaran yang dapat disumbangkan pada para penegak hukum dan masyarakat luas mengenai penanganan kasus tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet.

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan alinea ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang berbunyi :

8 Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia ...

Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan tentang lima sila dari pancasila. Pancasila secara substansial merupakan konsep luhur dan murni. Luhur karena mencerminkan nilai-nilai bangsa yang diwariskan turun temurun dan abstrak. Murni karena kedalaman substansial yang mencakup beberapa pokok, baik agamis, ekonomis, ketuhanan, sosial dan budaya yang memiliki corak patrikular sehingga pancasila secara konsep dapat disebut sebagai suatu sistem tentang

segala hal, karena secara konseptual seluruh hal yang tertuang dalam sila-sila berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan7. Berdasarkan Pancasila sila ke dua yang berbunyi Kemanusiaan yang adil dan beradab maka setiap perilaku manusia didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan yang memenuhi unsur keadilan serta beradab sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyrakat.

Pada penggalan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di atas merupakan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yang merupakan merupakan tugas bersama bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita tersebut. Cita-cita bangsa Indonesia, terutama cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa membutuhkan suatu landasan kuat yang bersifat sebagai motivator atau pendorong. Motivatornya adalah kemajuan di segala bidang, khususnya di bidang informasi teknologi.

Oleh karena itu, negara wajib memberikan perlindungan kepada warga negara beserta harta bendanya serta mengatur hak dan kewajiban warga negaranya melalui
7

Otje Salman Soemadiningrat, Teori Hukum Mengingat,Mengumpulkan,dan Membuka Kembali, Bandung:Refika Aditama,2004,hlm 158.

9 peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh warga negara Indonesia agar tercipta suasana dan kondisi yang aman,damai, dan tenteram dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Saat ini ketentuan hukum yang mengatur kegiatan pada cyberspice sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sementara itu, sebagian warga negara telah menggunakan internet untuk berbagai keperluan, maka secara moril pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya tersebut. Perlindungan ini tentunya diberikan dengan memanfaatkan atau memberlakukan

perundang-undangan yang ada dengan berbagai cara seperti penafsiran ataupun konstruksi hukum.

Konsep pemikiran utilitarisme nampak melekat dalam pembukaan alinea kedua, terutama pada makna adil dan makmur. Sebagaimana dipahami bahwa tujuan hukum pada dasarnya adalah memberikan kesejahteraan bagi masyarakat, sebagaimana Bentham menjelaskan8 the great happiness for the greathest number (Kebahagiaan terhebat untuk nomor yang terhebat). Makna adil dan makmur harus dipahami sebagai kebutuhan masyarakat Indonesia, baik yang bersifat ruhani ataupun jasmani. Secara yuridis hal ini tentu saja menunjuk kepada seberapa besar kemampuan hukum untuk dapat memberikan kemanfaatan kepada masyarakat. Dengan kata lain, seberapa besar sebenarnya hukum mampu melaksanakan atau mencapai hasil-hasil yang diinginkan, karena hukum dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu9.

Subekti10 mengatakan bahwa hukum itu mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
8

http://Teori Hukum-para ahli.com,Diakses pada tanggal 21 Maret 2009,Pukul 18.30 WIB. Otje Salman Soemadiningrat, Op.cit,hlm 156-157 Subekti,Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan,Jakarta;Soeroengan,1958,hlm 27

9 10

10 Hukum menurut Subekti11 melayani dan tujuan Negara tersebut dengan

menyelenggarakan keadilan

ketertiban syarat-syarat yang pokok untuk

mendatangkan kemakmuran dan kebahagian. Keadilan dapat digambarkan sebagai suatu keadaan keseimbangan yang membawa ketentraman di dalam hati orang, dan jika diusik atau dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan kegoncangan.

Dasar hukum keadilan selalu mengandung unsur penghargaan, penilaian, atau pertimbangan dan karena itu lazim dilambangkan dengan suatu neraca keadilan yaitu keadilan menuntut bahwa dalam keadaan yang sama tiap orang harus menerima bagian yang sama pula. Keadilan menurut Subekti12 berasal dari Tuhan Yang Maha Esa tetapi seorang manusia diberi kecakapan atau kemampuan untuk meraba atau merasakan keadaan yang dinamakan adil, dan segala kejadian di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan dasar-dasar keadilan itu pada manusia, dengan demikian maka hukum tidak saja tentangan satu sama lain, untuk mendapatkan keseimbangan lagi antara tuntutan keadilan tersebut dengan tuntutan kepastian hukum. Berdasarkan hal tersebut negara Republik Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai keadilan dalam sistematis hukum dan pada setiap ketentuan yang berlaku memiliki kepastian hukum sebab Indonesia merupakan negara hukum seperti yang tercantum pada bunyi Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa :

Negara Indonesia adalah Negara Hukum

Berdasarkan hal di atas, segala perbuatan harus diatur oleh hukum termasuk perbuatan yang merugikan dan mengganggu ketertiban umum agar tercipta suasana dan kondisi yang aman, damai dan tenteram dalam kehidupan sosial masyarakat
11 12

Ibid,hlm 18 Ibid,hlm 36

11 Indonesia. Negara hukum ialah suatu negara yang diatur dengan sebaik-baiknya berdasarkan undang-undang, sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahan didasarkan atas hukum.

Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi, dan arah Pembangunan Nasional.

Teori hukum pembangunan menurut Moehctar Kusuma Atmadja13 dalam bukunya yang berjudul Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan bahwa hukum tidak hanya meliputi asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan berlakunya kaidah hukum itu dalam kenyataan. Kata asas dan kaidah ini menggambarkan hukum sebagai suatu gejala normatif sedangkan kata lembaga dan proses menggambarkan hukum sebagai suatu gejala sosial. Berdasarkan hal tersebut di atas maka hukum tidak boleh ketinggalan dalam proses pembangunan, sebab pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum yang mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari tujuan hukum modern, salah satu tujuan hukum yaitu keadilan menurut pancasila yaitu keadilan yang seimbang, artinya adanya keseimbangan diantara kepentingan individu, kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah.

13

Moechtar Kusuma Atmaja,Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan,Bandung;BinaCipta,1986,hlm32.

12 Semakin ramainya orang berkomunikasi melalui internet, menimbulkan

perkembangan kreatifitas manusia dalam memanfaatkan segala macam keuntungan atas keberadaan internet. Perkembangan teknologi komputer menyebabkan

munculnya jenis-jenis kejahatan dalam dunia internet seperti kasus kejahatan eksploitasi komersial seksual terhadap anak melalui media internet

Tindak kejahatan eksploitasi terhadap anak makin marak terjadi melalui media internet dengan modus yang bermacam-macam termasuk eksploitasi seksual pada anak. Pengaturan mengenai tindak pidana pelaku eksploitasi seksual anak melalui media internet terkandung dalam Pasal 27 ayat 1, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi :

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Berdasarkan Pasal 27 ayat 1, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi elektronik, pelaku penyebar gambar porno dengan tujuan eksploitasi seksual anak telah memenuhi unsur dengan sengaja secara melawan hukum mendistribusikan informasi elektronik dan dokumen elektronik yang terbukti telah memiliki unsur-unsur melanggar kesusilaan dengan tujuan agar dapat diakses dengan mudah melaui media internet oleh pihak-pihak tertentu baik dalam negeri maupun luar negeri dengan modus memasarkan anak-anak dalam jaringan eksploitasi seksual (pedofilia).

Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak adalah :

13

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan

Anak-anak merupakan pemegang kendali bangsa indonesia di masa depan, investasi dan aset yang berharga bagi bangsa indonesia. Oleh karena itu anak-anak perlu mendapatkan perlindungan dari segala jenis tindak penganiayaan yaitu penganiayaan fisik, penganiayaan emosional, penganiayaan seksual dan eksploitasi seksual khususnya pada anak. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 59, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan,anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,alkohol,psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran Dari pasal diatas dapat dijabarkan bahwa pemerintah mempunyai peranan penting terhadap perlindungan anak yang menyangkut berbagai macam kejahatan seperti perdagangan anak,penyalahgunaan narkotika,psikotropika dan termasuk didalamnya adalah kejahatan melalui media informasi teknologi, karena media informasi teknologi merupakan salah satu sarana efektif untuk perbuatan melawan hukum oleh karena itu perbuatan yang dilakukan secara elektronik harus diatur dalam undang-undang agar tidak lolos dalam jerat hukum. Kenyataan ini telah menyebabkan negara-negara di dunia memberikan perhatian terhadap pentingnya regulasi dibidang teknologi informasi yang dikenal sebagai cyberlaw.

14 Saat ini di Indonesia keberadaan regulasi yang secara khusus mencakup kegiatan di dunia maya yang dapat dijadikan dasar hukum untuk semua bentuk perbuatan melawan hukum secara komprehensif telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Eletronik.

Berdasarkan kasus kejahatan eksploitasi terhadap anak yang dilakukan melalui media internet maka dapat dikualifikasikan sebagai cybercrime oleh karena itu dalam pertimbangan pemikiran dasar hukum dapat menggunakan isi

Convention on Cybercrime tahun 2001, khususnya yang terkandung pada Pasal 9, yang berbunyi : Offences related to child pornography 1. Each Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally and without right, the following conduct: a. producing child pornography for the purpose of its distribution through a computer system; b. offering or making available child pornography through a computer system; c. distributing or transmitting child pornography through a computer system; d. procuring child pornography through a computer system for oneself or for another person; e. possessing child pornography in a computer system or on a computerdata storage medium. 2. For the purpose of paragraph 1 above, the term child pornography shall include pornographic material that visually depicts: a. a minor engaged in sexually explicit conduct; b. a person appearing to be a minor engaged in sexually explicit conduct; c. realistic images representing a minor engaged in sexually explicit conduct. Pasal 9 : Pelanggaran yang terkait dengan pornografi anak 1.Setiap Partai akan mengadopsi lainnya seperti legislatif dan langkah -langkah sebagai mungkin diperlukan untuk membuat sebagai pelanggaran kriminal di bawah hukum domestik dan komitmen bila sengaja dan tanpa hak melakukan hal-hal berikut: a. menawarkan atau membuat tersedia pornografi anak melalui sistem komputer; b. transmisi atau mendistribusikan pornografi anak melalui sistem komputer; c. memproduksi pornografi anak dengan tujuan distribusinya melalui sistem komputer d. mengadakan pornografi anak melalui sistem komputer untuk diri sendiri atau orang lain; e. memiliki pornografi anak dalam sistem komputer atau pada komputermedia penyimpan data.

15 2. Untuk tujuan ayat 1 di atas "pornografi anak" harus menyertakan materi pornografi visual yang menggambarkan: a. kecil yang terlibat dalam seksual eksplisit melakukan b. orang yang muncul menjadi kecil terlibat dalam melakukan seksual eksplisit; c. realistis gambar mewakili kecil terlibat dalam melakukan seksual eksplisit.

Selain Convention on Cybercrime, isi konvensi yang dapat digunakan dalam kasus eksploitasi terhadap anak adalah Convention on the Rights of the Child tahun 1989. Indonesia sebagai salah satu anggota dari Persatuan Bangsa-Bangsa telah menandatangani isi Convention on the Rights of the Child. Pada isi konvensi tersebut khususnya pada Pasal 34 dapat dijadikan sebagai pertimbangan pemikiran hukum dalam perlindungan anak dari tindak paksaan, eksploitasi dan pornografi anak, yang berbunyi : States Parties undertake to protect the child from all forms of sexual exploitation and sexual abuse. For these purposes, States Parties shall in particular take all appropriate national, bilateral and multilateral measures to prevent: (a) The inducement or coercion of a child to engage in any unlawful sexual activity; (b) The exploitative use of children in prostitution or other unlawful sexual practices; (c) The exploitative use of children in pornographic performances and materials. Pihak melakukan negara untuk melindungi anak dari segala bentuk pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Untuk tujuan ini, NegaraNegara Pihak harus mengambil semua khususnya yang nasional, bilateral dan multilateral untuk mencegah langkah-langkah: (a) dorongan atau paksaan dari seorang anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual haram; (b) eksploitasi penggunaan anak-anak dalam pelacuran atau praktekpraktek seksual lainnya haram; (c) menggunakan eksploitasi anak-anak di performance dan materi pornografi

Apabila dilihat dari isi kedua konvensi tersebut maka dapat dijadikan sebagai pertimbangan pemikiran dasar hukum dalam undang-undang terhadap tindak

16 eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet, meskipun kedua konvensi tersebut belum diratifikasi oleh Indonesia, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi WTO maka isi pasal yang terkait pada konvensi-konvensi tersebut dapat diterapkan dalam pemikiran dasar hukum terhadap tindak kejahatan eksploitasi terhadap anak melalui media internet.

Media informasi teknologi merupakan sarana efektif untuk perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, perbuatan yang dilakukan secara elektronik juga harus diatur dalam undang-undang agar tidak lolos dari jerat hukum. Kenyataan ini telah menyebabkan negara-negara di dunia memberikan perhatian terhadap pentingnya regulasi di bidang teknologi informasi yang dikenal dengan cyberlaw. Saat ini di Indonesia keberadaan regulasi yang secara khusus mencakup kegiatan di dunia maya yang dapat dijadikan dasar hukum untuk semua bentuk perbuatan hukum secara komprehensif sudah ada, namun undang-undang informasi dan transaksi elektronik tidak mengatur secara khusus mengenai kejahatan-kejahatan (cybercrime) di dunia maya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu regulasi khusus yang mengatur mengenai kejahatan yang ada dalam dunia maya.

F. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif analistis yaitu penelitian dengan melukiskan fakta-fakta yang berupa data sekunder seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Penelitian deskriptif analistis untuk memberikan gambaran secara lengkap tentang tindakan eksploitasi seksual terhadap anak melalui media informasi teknologi.

17

2. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan secara yuridis normatif dengan melakukan penafsiran hukum secara gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan terhadap kata-kata atau tata kalimat yang digunakan pembuat undang-undang dalam peraturan perundang-undangan tertentu. Di samping itu dilakukan pula upaya untuk mengkaji dan menguji data dengan menggunakan metode yuridis kualitatif yaitu pendapat para ahli hukum dan data sekunder bahan hukum tersier yaitu berasal dari internet.

3. Tahap Penelitian a. Penelitian kepustakaan, yaitu kegiatan mencari data sekunder bahan hukum primer berupa perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak disertai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan mencari data sekunder bahan hukum sekunder seperti buku-buku dan teks yang berhubungan dengan tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak melalui media informasi teknologi. b. Penelitian Lapangan yaitu dengan searching melalui situs-situs dalam internet yang berhubungan dengan bahasan penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan penulis adalah dengan cara melakukan penelitian terhadap dokumen-dokumen yang erat kaitannya dengan kasus eksploitasi seksual terhadap anak. Dalam penelitian ini juga dilakukan kunjungan ke berbagai situs internet.

18

5. Analisis Data Metode Analisis yang digunakan penulis adalah yuridis kualitatif , agar : a. Perundang-undangan yang satu dengan yang lain tidak boleh saling bertentangan. b. Memperhatikan hirarki bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. c. Kepastian hukum artinya ketentuan yang berlaku betul-betul dilaksanakan oleh penguasa dan penegak hukum

6. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di beberapa tempat yaitu : a. Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM) Jalan Dipati Ukur,Bandung. b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (UNPAD) Jalan Dipati Ukur 21, Bandung. c. Situs-situs dalam internet, yaitu diantaranya : 1) http://www2.kompas.com/ver1/Nusantara/0611/05/220650.htm# 2) http://najlah.blogspot.com/2006/11/pedofilia-jaringan-kejahatan.html. 3) http://hukumonline.com 4) http://koran.seveners.com 5) http://blog.kenz.or.id

G. Sistematika Penulisan

19 Penelitian ini disusun dalam suatu sistematika yang terdiri dari lima bab yang tiap bab dibagi menjadi beberapa sub bab. Adapun gambaran untuk setiap bab adalah sebagai berikut :

BAB I

PENDAHULUAN Merupakan bagian pendahuluan yang memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh serta sistematis menguraikan hal-hal yang terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Kerangka Penelitian dan Sistematika Penulisan dari penelitian ini.

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL TERHADAP ANAK MELALUI MEDIA INTERNET Bab ini berisi landasan teori yaitu ketentuan hukum mengenai tindak pidana eksploitasi seksual anak melaui media internet dan teori-teori yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak.

BAB III TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL TERHADAP ANAK MELALUI MEDIA INTERNET Bab ini berisi pihak-pihak yang terlibat dalam tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak serta akibat yang timbul dari eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet.

BAB IV

ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA EKSPLOITASI ANAK MELALUI MEDIA INTERNET NOMOR 23 DIHUBUNGKAN TAHUN 2002 DENGAN TENTANG

UNDANG-UNDANG

20 PERLINDUNGAN ANAK Jo. UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK Bab ini antara lain berisi tentang perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang pegeksploitasian seksual terhadap anak melalui media internet dan Tindakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pelaku pengeksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet ditinjau dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak disertai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN Merupakan bab terakhir dalam penelitian ini, berisi kesimpulan yang di kemukakan penulis berdasarkan permasalahan yang telah dibahas dan di analisis, dalam bab ini juga di kemukakan berbagai saran dari penulis yang dihasilkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis.

21

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL TERHADAP ANAK MELALUI MEDIA INTERNET

A. Ketentuan Hukum Mengenai Pengertian Anak


Kehadiran seorang anak menjadi suatu dambaan orang tua, dimana orang tua dan anak terhimpun dalam suatu unit terkecil yang dinamakan keluarga. Anak sebagai suatu anugerah dari Tuhan Yang maha Esa merupakan amanat agar orang tua bertanggung jawab memberikan pelajaran dan perlindungan sejak anak dalam kandungan sampai batas usia tertentu. Memaknai pengertian anak perlu perhatian yang khusus tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan ( the body of knowledge ), tetapi dapat ditelaah dari sudut pandang sentralisasi kehidupan seperti agama, hukum dan sosiologi yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial.

Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai subjek hukum. Kedudukan anak dalam artian dimaksud meliputi pengelompokkan ke dalam subsistem dari pengertian sebagai berikut14 :
14

Maulana Hasan Wadong,Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak,Jakarta:PT.Gramedia Widiasarana Indonesia,2000,hlm 17

22 a. Pengertian anak dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pengertian anak atau kedudukan anak yang ditetapkan menurut Undang-Undang Dasar 1945 terdapat dalam Pasal 34. Pasal ini mempunyai makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang politik, karena menjadi dasar kedudukan anak, dalam kedua pengertian ini, yaitu anak adalah subjek hukum dari sistem hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan. Pengertian anak menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan

pengertian politik melahirkan atau mendahulukan hak-hak yang harus diperoleh anak dari masyarakat, bangsa dan negara atau dengan kata yang tepat pemerintah dan masyarakat lebih bertanggungjawab terhadap masalah sosial yuridis dan politik yang ada pada seorang anak. b. Pengertian anak dalam Hukum Pidana Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya

bertanggungjawab terhadap tindak pidana ( strafbaar feit ) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukan sebagai seorang anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk perlakuan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Kedudukan

anak

dalam

pengertian

pidana

dijelaskan

dalam

peraturan

Perundang-undangan dengan menggunakan beberapa batasan pengertian anak. Batasan pengertian anak dalam hukum pidana adalah : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dari Pasal 45 (Tidak berlaku lagi sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak) namun dapat disimpulkan bahwa: anak adalah seseorang yang belum berumur mencapai 16 tahun

23 2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Pasal 1 sub 1 menyatakan bahwa : anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin

3)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Pengertian anak dikenal dengan pengertian : a. Anak Pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun b. Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan di tempatkan di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. c. Anak Sipil adalah anak atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan anak dididik di LAPAS anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Ketiga Undang-Undang tersebut mengatur tindakan-tindakan yang dapat dilakukan apabila seorang anak melakukan tindak pidana. Mengingat salah satu asas hukum adalah Lex Specialis Derogat Lex Generalis sehingga dapat disimpulkan bahwa anak (nakal) menurut hukum pidana adalah seseorang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Pada hakikatnya status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian berikut ini15 : a. Ketidakmampuan anak pertanggungjawaban tindak pidana
15

Ibid,hlm 22

24 b. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubsitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, Tata Negara dengan maksud untuk mensejahterakan anak c. Rehabilitasi yaitu anak berhak untuk mendapatkan proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan oleh anak itu sendiri

d. Hak untuk menerima pelayanan dan asuhan e. Hak anak dalam proses dan perlindungan hukum acara pidana Anak dalam pengertian hukum pidana, lebih diutamakan dilindungi baik sebagai pelaku maupun korban. Ketiga peraturan tersebut yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Tentang Peradilan Anak dan Undang-Undang Tentang Pemasyarakatan mengatur lebih jauh tentang seorang anak melakukan tindak pidana

4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Berdasarkan Pasal 1 ayat(5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang dimaksud anak adalah setiap yang berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Berdasarkan Pasal 1 ayat(1) Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan serta adanya perlindungan terhadap anak untuk menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan, diskriminasi dan segala jenis eksploitasi.

25

6) Pengertian anak dalam Hukum Kebiasaan atau Hukum Adat Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa dan berwenang untuk bertindak menurut hukum. Hasil penelitian R.Soepomo tentang hukum perdata Jawa Barat menjelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang di ukur dari segi16 :

1.

Dapat bekerja sendiri 2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggungjawab.

3. 4. 5.

Dapat mengurus harta kekayaan sendiri Telah menikah Berusia 21 (dua puluh satu) tahun

Selama ditubuhnya berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, seseorang tersebut masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai maka batas umur anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi menjadi dewasa yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 20 (dua puluh) tahun untuk anak laki-laki seperti halnya di negara-negara Eropa.

Dewasa maksudnya adalah cukup umur untuk berketurunan dan muncul tanda laki-laki dewasa pada putera, muncul tanda-tanda wanita dewasa pada puteri. Hal tersebut adalah adalah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak putera berumur 12 (dua belas) tahun dan puteri berumur 9 (sembilan) tahun. Maka bila anak mengatakan dirinya telah dewasa, keterangannya dapat diterima sebab dirinya sendiri
16

Irma Setyowati Sumitro,Aspek Hukum Perlindungan Anak,Jakarta;Bumi Aksara,1990,hlm19

26 yang mengalami. Bila anak sudah melewati usia tersebut di atas tetapi belum nampak tanda-tanda yang menunjukkan bawa anak tersebut telah dewasa maka harus ditunggu hinga anak tersebut berumur 15 (lima belas) tahun17.

Menentukan

batasan

umur

seorang

anak

yakni

umurnya

belum

dewasa

(minderjarigheid) atau sudah dewasa (meerderjarigheid ), apabila anak belum berumur 15 ( lima belas ) tahun kecuali apabila sebelumnya itu sudah memperlihatkan telah matang untuk bersetubuh tetapi tidak boleh kurang dari usia 9 ( sembilan ) tahun. Maka Penulis berkesimpulan bahwa dalam hukum adat ukuran kedewasaan tidak

berdasarkan hitungan usia tetapi pada ciri tertentu yang nyata.

7) Pengertian anak menurut agama Hukum Islam memberikan pengertian anak sesuai dengan konsep-konsep

Al-Quran dan Hadist Nabi Muhammad saw adalah dimuliakan kedudukannya. Kedudukan anak dalam pengertian Islam yaitu anak adalah titipan Allah, kepada kedua orang tua, masyarakat, bangsa dan negara sebagai pewaris dari ajaran Islam. Hak-hak anak yang mutlak dalam dimensi aqidah pandangan kehidupan agama Islam, terdiri dari : 1. Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan atau rahim ibunya ( Q.S Al-Baqoroh, ayat 233 ) 2. 3. Hak untuk disusui selama 2 (dua) tahun ( Q.S Al-Baqoroh, ayat 233 ) Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan , tuntutan dan akhlak yang benar ( Q.S Mujadaadalah, ayat 11 dan hadist nabi ) 4. Hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tuanya ( Q.S Qashash, ayat 12 )

17

Zakaria Ahmad Al-Barry,Hukum Anak-Anak dalam Islam,Jakarta;BulanBintang,1999,hlm114.

27 Demikian pula dalam hukum Islam, batasan dewasa sejak terdapat

tanda-tanda perubahan badaniah, baik laki-laki maupun perempuan atau yang disebut dengan akil baliq, dalam melaksanakan pertanggungjawaban terbatas. Setelah melihat ketentuan yang berlainan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian anak menurut hukum keperdataan tidak terdapat suatu patokan tertentu, penggolongannya didasarkan pada kepentingan masing-masing dan ruang lingkup hukum yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan.

Anak dalam pengertian Hukum Tata Negara memiliki makna yang tidak jauh berbeda dengan makna yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam makna tata negara anak berhak untuk mendapatkan status atas perlindungan dari kewajiban hukum baik untuk dipelihara atau direhabilitasi dari perbuatan tindak pidana atau perbuatan melanggar hukum lainnya.

Pengertian yang diperoleh dari status anak menurut ketentuan hukum tata negara adalah kedudukan sebagaimana untuk ditetapkan dengan undang-undang atau perundang-undangan lain. Kedudukan anak yang demikian sangat bergantungan pada status orang tua, keanggotaan dalam keluarga atau juga disebut kedudukan yang diberikan oleh ketentuan perundang-undangan.

Dalam menciptakan usaha untuk meletakkan status anak dari pengertian hukum tata negara. Pemerintah Indonesia tidak hanya berpatokan pada perundang-undangan yang ada seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tetapi

memperhatikan juga kepentingan hak-hak anak yang terdapat dalam beberapa Konvensi Internasional seperti Convention on the Rights of the Child tahun 1989 atau

28 Deklarasi hak anak pada tahun 1989 yang dikeluarkan oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa ( PBB ).

Meskipun konvensi-konvensi Internasional itu telah mendapat litimigasi dari negara anggota sebagai ketentuan hukum yang positif, namun proses meratifikasi

konvensi-konvesi internasional yang mengatur hak-hak anak Indonesia belum dilakukan, sehingga ketentuan hukum yang berlaku bagi anak Indonesia masih memberlakukan ketentuan hukum nasional yang ada.

Beberapa pengertian batas usia anak pada hakikatnya mempunyai keanekaragaman bentuk dan spesifikasi tertentu. Maksudnya pengelompokkan batas usia maksimum anak ( batas usia atas ) sangat tergantung dari kepentingan hukum anak yang bersangkutan. Seseorang tergolong dalam usia anak dalam batas bawah usia seorang anak yaitu batas penuntutan 8 (delapan) tahun sampai dengan batas atas 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pengelompokkan ini, dimaksud untuk mengenal secara pasti faktor-faktor yang menjadi sebab terjadinya tanggung jawab anak dalam hal-hal berikut ini : 1. 2. 3. 4. 5. Kewenangan bertanggungjawab terhadap anak Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum Pelayanan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana Pengelompokkan proses pemeliharaan Pembinaan Efektif

Pengelompokkan pengertian anak, memiliki aspek yang sangat luas. Berbagai makna terhadap anak dapat diterjemahkan untuk mendekati anak secara benar menurut sistem kepentingan agama, hukum, sosial, dari masing-masing bidang. Pengertian anak dari berbagai cabang ilmu akan berbeda-beda secara substansial fungsi, makna dan tujuan.

29

Negara Indonesia yang memiliki sistem hukum yang berasal dari sendi-sendi hukum adat berbagai suku dan ras, kedudukan anak menjadi bagian utama dalam sendi kehidupan keluarga, agama, bangsa dan negara baik yang menyangkut intelegensia dan pertumbuhan mental spiritual yang berstatus dan berkedudukan sebagai anak dan sekaligus sebagai subjek hukum.

B. Ketentuan Hukum Tentang Perlindungan Anak Terhadap Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Pada Anak Dibawah Umur Melalui Media Internet.

Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi yang melindungi anak untuk dapat melaksanakan hak dan kewajiban. Perlindungan anak dalam arti luas adalah semua usaha yang melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang dan manusiawi. Setiap anak dapat melaksanakan haknya, hal ini berarti anak dilindungi untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup, dan bertumbuh kembang. Setiap anak mempunyai hak untuk melaksanakan kewajibannya untuk memperjuangkan

kelangsungan hidupnya (survival), menumbuh kembangkan dirinya, melindungi dirinya sesuai dengan kemampuan atas usaha sendiri maupun dengan bantuan orang lain.

Makna dan eksploitasi anak adalah suatu tindakan yang memanfaatkan anak untuk kepentingan pribadi, baik secara fisik, non fisik, ekonomi, sosial dan seksual. Terdapat banyak bentuk eksploitasi terhadap anak dari yang mulai pembiaran hingga kekerasan terhadap anak. Faktor pemicu eksploitasi seksual terhadap anak dapat dilihat dari sisi interen dan sisi eksternal. Sisi Internal dapat dilihat dari sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak, antara lain sebagai berikut :

30

1.

terjadi pada sikap dan keinginan orang tua untuk memaksakan anak dengan cara menekan.

2. karena kondisi kemiskinan keluarga, anak dijadikan pekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Akibatnya, banyak terjadi anak putus sekolah. Tingginya angka putus sekolah dan minimnya lapangan kerja, banyak anak terjerumus pada perdagangan anak, terutama terhadap anak perempuan. Eksploitasi seksual terhadap anak melalui perdagangan anak sangat terkait dengan bisnis migrasi dan turisme. Didaerah wisata banyak ditemukan anak-anak sebagai objek eksploitasi seksual bahkan saat ini kemajuan dunia tekhnologi dalam bentuk internet telah menjadi salah satu sarana para pelaku untuk memasarkan anak-anak yang masih dibawah batas usia sebagai objek eksploitasi seksual dalam bisnis perdagangan anak tersebut. Industri seks tersebut lebih cenderung pada

perempuan-perempuan usia muda oleh sebab itu anak perempuan banyak mengalami eksploitasi seksual, terutama pada dunia prostitusi.

Keadaan tersebut berkaitan dengan bentuk pemenuhan hak anak, maka orang tua wajib memperhatikan hal-hal penting dalam memperlakukan anak. Pertama,

pemenuhan kebutuhan anak dalam bentuk materi dan bukan materi. Kedua, orang tua dan lingkungan dapat menerima anak dengan kelebihan dan kekurangannya. Ketiga, orang tua wajib mengetahui keahlian anak untuk bisa mengembangkan keahlian tersebut, dari pada itu lingkungan sekitar wajib memberikan rasa aman terhadap anak, sehingga anak dapat berkembang dengan baik.18

Pihak pemerintah juga harus memperhatikan hak-hak anak, tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah eksploitasi anak khususnya pada eksploitasi seksual
18

http://mitrawacanawrc.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=33&artid=1477, diakses pada tanggal 24 maret 2009, Pukul 08.47 WIB

31 terhadap anak adalah dengan mengeluarkan undang-undang yang mengatur ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan kasus eksploitasi seksual terhadap anak yang juga menggunakan sarana informasi dan transaksi elektronik (ITE) berupa internet. Adapun ketentuan-ketentuan hukum yang dijadikan landasan hukum pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak antara lain adalah sebagai berikut : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pada Pasal 282 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa barangsiapa yang menyiarkan, mempertunjukkan kepada umum menempelkan, atau untuk disiarkan, dipertunjukkan kepada umum atau ditempelkan, membuat, memasukkan ke dalam negeri, mengirim terus di dalam negeri, mengeluarkan dari negeri atau menyimpan atau dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan atau menawarkan tidak atas permintaan orang atau menunjukkan bahwa boleh di dapat tulisan yang diketahui akan isinya atau gambar atau barang yang dikenalnya melanggar kesusilaan ( menyinggung rasa susila ), dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyakbanyaknya empat puluh lima ribu rupiah.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka perbuatan pelaku eksploitasi seksual pada anak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan asusila oleh sebab telah menyiarkan19 dan mempertunjukkan gambar porno antara pelaku dengan anak di bawah umur dengan terang-terangan dengan tujuan untuk menawarkan atau menunjukkan bahwa anak yang terdapat dalam gambar porno tersebut dapat di pesan untuk kegiatan pemuasan seksual dan pelaku mengetahui bahwa isi tulisan pada salah satu website yang memasang gambar pornonya tersebut telah melanggar rasa susila.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia


19

Sugandhi,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Jakarta:Usaha Nasional,1994,hlm295.

32 Pada kasus pengeksploitasian terhadap anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ikut mengatur hak anak dalam mendapatkan perlindungan sesuai harkat dan martabat sebagai manusia khususnya dalam bentuk eksploitasi seperti yang terkandung dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral. Kehidupan sosial, dan mental spiritualnya dan Pasal 65

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari segala bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktip lainnya.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa wajib di jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan, diskriminasi serta dari segala jenis eksploitasi. Maka dalam menghadapi kejahatan terhadap anak, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan

didasarkan Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

33 a. Diskriminasi; b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. Ketidakadilan;dan f. Perlakuan salah lainnya.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka setiap anak berhak untuk mendapatkan kepastian hukum dalam perlindungan anak serta perlindungan khusus dari pemerintah dengan tujuan agar anak jauh dari perlakuan yang salah.

Pengertian perlindungan anak terkandung dalam ketentuan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pada pengertian perlindungan khusus terhadap anak di atur dalam Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun Tentang Perlindungan Anak yaitu perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktip lainnya ( napza ), anak korban peculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.

34 Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juga diatur ketentuan pidana terhadap pelaku kegiatan eksploitasi seksual pada anak di bawah batas usia yang terkandung dalam Pasal 88 yaitu setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.200.000.000.00. ( dua ratus juta rupiah )

4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakkan manusia,

perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat Internasional dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ).

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga meliputi bentuk eksploitasi lain misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakkan, atau praktik serupa perbudakkan tersebut. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan,

penyembunyian atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran

35 atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban20.

Pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, namun ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang perlindungan anak tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang dengan jelas secara hukum.

Pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Pasal 1 ayat 8 mengenai pengertian eksploitasi seksual yaitu segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran serta pencabulan dan berdasarkan isi Pasal 29 huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di atur mengenai alat bukti yaitu alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa : a. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;dan b. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada : 1) Tulisan, suara atau gambar 2) Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
20

Penjelasan Atas Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,2007.

36 3) Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi Kejahatan pornografi anak yang terjadi akibat dampak negatif dari kemajuan Teknologi Informatika maupun akibat industri hiburan dan film melaui media audio visual kian menjamur pada dunia anak. Pelaku tindak kejahatan eksploitasi seksual terhadapi anak di bawah umur melalui media internet dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana pornografi yang berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi bahwa pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukkan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat sedangkan pelaku kejahatan tindak pidana pornografi berdasarkan Pasal 4 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Pornoaksi yaitu setiap orang dilarang memproduksi,membuat,memperbanyak,menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,mengimpor,mengekspor,menawarkan,memperjualbelikan,menyewakan, atau menyediakan pornografi yang memuat :

a. Persenggaman, termasuk persenggaman yang menyimpang; b. Kekerasan seksual; c. Masturbasi atau onani; d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

37 e. Alat kelamin.

Pelaku dalam kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet juga telah memenuhi unsur-unsur dalam jasa pornografi yang terkandung dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi yaitu : a. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. b. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin. c. Mengeksploitasi atau mempertunjukkan aktivitas seksual; atau d. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Eksploitasi seksual terhadap anak dapat diartikan dalam tiga bentuk yaitu sebagai berikut21 : a. Pornogarafi anak adalah tampilan apa pun dengan sarana apapun dari seorang anak yang sedang melakukan kegiatan seksual yang nyata. b. Pelacuran anak adalah pemanfaatan seorang anak dalam kegiatan-kegiatan seksual untuk mendapatkan keuntungan atau pertimbangan lain apa pun. c. Penjualan anak adalah setiap tindakan atau transaksi dimana seseorang anak dikirim oleh orang atau pihak atau kelompok apa pun kepada pihak lain dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan atau karena pertimbangan lain.

Pada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Pornoaksi keberadaan anak sangat dilindungi oleh pemerintah khususnya dalam kegiatan pornografi seperti yang terkandung dalam Pasal 10 yaitu setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukkan atau di muka umum yang
21

http:najlah.blogspot.com/2006/11pedofilia-jaringan-kejahatan.html.,diakses pada tanggal 23 maret 2009 pukul 19.00 WIB

38 menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya. Pasal ini terkait dengan pasal berikutnya dalam perlindungan anak yaitu Pasal 11 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Pornoaksi yang berbunyi bahwa setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9 atau Pasal 10 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dan Pornoaksi.

6. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pandangan manusia tentang berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh aktivitas yang bersifat fisik belaka. Lahirnya internet mengubah bentuk komunikasi manusia dalam bergaul dan berbisnis dengan orang lain yang berada ribuan kilometer dari tempat di mana orang tersebut berada hanya dengan menekan tuts-tuts keyboard dan mouse komputer yang ada di hadapannya.

Menurut segi penulisannya, internet memiliki 2 (dua) arti yaitu22: a. internet ( huruf i kecil sebagai huruf awal ) adalah suatu jaringan komputer yang mana komputer-komputer terhubung dapat berkomunikasi walaupun perangkat keras dan perangkat lunaknya berlainan ( seringkali disebut internet working) b. Internet ( huruf I besar sebagai huruf awal ) adalah jaringan dari sekumpulan jaringan ( networks to networks ) yang terdiri dari jutaan komputer yang dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan suatu aturan komunikasi

22

Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung:Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 60.

39 jaringan komputer ( protocol ) yang sama. Protocol yang digunakan tersebut adalah Transmission Control Protocol atau Internet Protocol ( TCP/IP ).

Kehadiran internet tidak disangkal lagi telah membawa revolusi pada cara manusia melakukan komunikasi. Melalui internet, kendala ruang atau jarak dalam berkomunikasi telah banyak diatasi. Dengan adanya internet, manusia dihadapkan pada sebuah kemungkinan yaitu komunikasi kemana saja dengan biaya murah dapat diselenggarakan. Namun kemudahan tekhnologi dalam informasi yang disajikan melalui media internet tidak jarang disalah pergunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindak pidana dalam dunia cyber seperti kasus eksploitasi seksual melalui media internet yang terjadi pada kasus Koko Roy (58) tahun.

Pada Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak yang mengunakan fasilitas media internet, maka pelaku telah memenuhi unsur subjektif dan unsur objektif yang terkandung dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mendistribusikan gambar porno yang dilakukan antara pelaku kepada anak dengan tujuan untuk dipasarkan pada pihak lain yang menginginkan kepuasan seksual terhadap anak, dan dengan mudah dapat di akses oleh pihak tersebut baik dalam negeri maupun luar negeri melalui media internet dengan tujuan seksual bagi konsumen dan tujuan ekonomi bagi pelaku. Maka hal

40 tersebut telah memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dalam bentuk informasi elektronik yang telah ditransmisikan melalui internet.

Pada Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah ).

Berdasarkan ketentuan pasal diatas maka pelaku eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet telah memenuhi unsur kejahatan yang terkandung dalam Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik oleh sebab itu pelaku dapat dikenakan ketentuan pidana pada Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

7. Konvensi Internasional Convention on the Rights of the Child memberikan perlindungan terhadap hak anak dari eksploitasi ekonomi dengan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang sekiranya membahayakan atau mengganggu kehidupan normal seorang anak. Negara-negara peserta Convention on the Rights of the Child salah satunya adalah Indonesia, oleh karena itu Indonesia meyakini untuk menghapus penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak, dengan menggunakan pendekatan yang holistik yang ditujukan pada faktor pendorong, termasuk kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan sosial, perbedaan struktur sosial ekonomi, disfungsi keluarga, diskriminasi gender, perilaku sosial yang tidak bertanggungjawab, praktik-praktik adat yang merugikan dan perdagangan anak.

41

Pengertian perdagangan anak dapat didefinisikan sebagai berikut : a. Menawarkan, mengantarkan atau menerima anak dengan berbagai cara untuk tujuan berikut : 1) Eksploitasi seksual anak; 2) Mengambil organ tubuh anak untuk suatu keuntungan; 3) Keterlibatan anak dalam kerja paksa; b. Penculikan anak untuk adopsi; c. Memproduksi,mengirimkan,menyebarkan,mengimpor,mengekspor,menawarkan, menjual atau memliki untuk tujuan pornografi anak

Selain Convention on the Rights of the Child, isi pada Pasal 9 Convention on Cybercrime tahun 2001 dapat juga dijadikan sebagai pertimbangan dasar hukum oleh karena pada konvensi tersebut mengatur mengenai kejahatan yang dilakukan melalui media komputer atau informasi teknologi, dalam hal ini khususnya pada kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak dengan menggunakan komputer dan internet sebagai media aksesnya

Negara peserta wajib melarang penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak, oleh karena itu tiap negara yang telah meratifikai konvensi tersebut wajib tunduk terhadap isi konvensi tersebut akan tetapi Indonesia belum meratifikasi isi konvensi tersebut hanya baru menandatangani namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi WTO maka isi konvensi-konvensi tersebut yang terkait, berdasarkan Convention on the Rights of the Child dan Convention on Cybercrime, maka Negara Republik Indonesia sebagai salah satu negara peserta konvensi tersebut dapat menjadikan isi konvensi-konvensi tersebut sebagai salah

42 satu landasan hukum terhadap kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media elektronik khususnya internet yang kian marak terjadi di Indonesia.

C. Teori-Teori Pendapat Ahli Hukum

Meletakkan batasan ruang lingkup hukum perlindungan anak sebagai hukum khusus dari sub bahasan hukum pidana, khusus bagian kejahatan dan atau pelanggaran yang terkelompok dalam delikuensi anak dan atau kindermoor atau anak yang menjadi korban kejahatan. Maka beberapa sarjana memberikan batasan ruang lingkup Hukum Perlindungan Anak, seperti terurai dibawah ini : 1. Menurut Arif Gosita mengatakan bahwa hukum perlindungan anak adalah kegiatan perlindungan anak yang merupakan suatu tindakan hukum yang membawa akibat hukum. Lebih lanjut beliau menyebutkan bahwa perlu adanya jaminan hukum bagi kegiatan perlindungan anak tersebut. Kepastian hukumnya perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.23 2. Menurut Bismar Siregar menyebutkan bahwa hukum perlindungan anak mempunyai aspek yang terpusatkan kepada hak-hak anak yang diatur adalah hukum dan bukan kewajiban, mengingat secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban24. 3. Menurut Irma Setyowati Soemitro yang menyebutkan bahwa ruang lingkup hukum perlindungan anak dikelompokkan dalam pengertian perlindungan anak. Perbedaan pengertian penyebutan ini dikarenakan pengelompokan yang dikemukakan sebagai berikut : Perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian berikut ini25 :
23 24 25

Arif Gosita,Op.Cit.hlm.18 Mulyono W.Kusumah, Op.Cit.hlm.31 Irma Setyowati Soemitro,Op.Cit.hlm.13

43 a) Perlindungan yang bersifat yuridis, meliputi perlindungan dalam : 1) Bidang hukum publik (pidana) 2) Bidang hukum keperdataan (perdata)

b) Perlindungan yang bersifat non yuridis yang meliputi : 1) Bidang sosial 2) Bidang kesehatan 3) Bidang pendidikan 4. Menurut J.E.Doek dan H.M.A Drewers Jeungdrecht (hukum perlindungan anak muda) mempunyai dua pengertian, yaitu pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian luas, hukum (perlindungan) anak muda adalah segala aturan hidup yang memberikan perlindungan kepada mereka yang belum dewasa dan memberi kemungkinan bagi mereka untuk berkembang26. Dalam pengertian sempit, perlindungan hukum terhadap anak terdapat dalam : a.Ketentuan hukum perdata(regels van civil recht) b. Ketentuan hukum pidana(regels van strafrecht)

c.Ketentuan hukum acara(procesrechtlijke regels) 5. Menurut H. De. Bie, merumuskan sebagai Kinderrecht yang diartikan sebagai Aspek Hukum Anak, yang dibatasi pada keseluruhan ketentuan hukum mengenai perlindungan bimbingan dan peradilan anak/remaja, seperti yang diatur dalam BW, Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-Undang hukum Pidana dan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta peraturan pelaksanaannya27.

Perlu dipahami bahwa anak harus dilindungi lebih khusus lagi terhadap ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan, penyakit, pennyalahgunaan kekuasaan, penelantaran,

26

J.E.Doek, Mr.M.M.A Drewers,Jeungdrecht en Jeugd bescherming in Nedherland, Deventer:Van Loghum Slaterus,1984,hlm 113. 27 Irma Setyowati Soemitro, Op.Cit.hlm.13

44 percobaan, lingkungan hidup, pemenjaraan, nilai-nilai, hukum, eksploitasi seksual, kemakmuran, kemajuan, perlindungan yang berlebihan, kekejaman, dan kematian. Dalam kancah dunia Internasional pun isu tentang perlindungan hukum terhadap anak sangat ramai dibicarakan, karena diberbagai dokumen dan pertemuan internasional terlihat sering diadakan bahwa telah menjadi kebutuhan untuk melindungi anak diantaranya mencakup berbagai bidang atau aspek28, yaitu : a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak b. Perlindungan anak dalam proses peradilan c. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan lingkungan sosial) d. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan e. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan perdagangan anak, prostitusi, pornografi, perdagangan atau penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan. f. Perlindungan terhadap anak-anak jalanan

g. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan atau konflik bersenjata h. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan

Berdasarkan penjelasan di atas maka terlihat masalah perlindungan hukum bagi anak tidak hanya perlindungan hukum dalam proses peradilan, tetapi mencakup spektrum yang sangat luas. Oleh sebab tersebut diperlukan cara-cara yang ampuh untuk mengatasi dampak buruknya. Adapun macam-macam bentuk kegiatan perlindungan anak antara lain sebagai berikut29 : a. mengusahakan perlakuan adil terhadap anak b. mencegah pengambilan tindakan yang diskriminatif

28

Barda Nawawi Arif, Masalah Perlindungan Hukum bagi Anak, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung : Mandar Maju,1997),hlm.69 29 Ibid,hlm.114

45 c. mengusahakan kesejahteraan anak di dalam dan di luar lingkungan keluarga dan menganjurkan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu demi kepentingan anak d. memberikan penyuluhan dan pembinaan untuk yang bersangkutan, mengenai perlindungan anak; pengembangan, penyertaan, dan pendampingan dalam melindungi diri sendiri, pengasuhan (asah,asih,dan asuh) anak terutama yang menyandang permasalahan mental, fisik, dan sosial e. mengembangkan pendidikan formal maupun non formal yang bertujuan mendukung perlindungan anak f. mengembangkan komunikasi antar anggota keluarga untuk mencegah

pertentangan yang dapat menimbulkan korban antar anggota keluarga g. membantu menanggulangi permasalahan yang dihadapi anak h. pembinaan anak mempersiapkan kedewasaannya menghadapi tantangan hidup i. penyadaran dan pengembangan hak dan kewajiban anak agar tidak menjadi korban mental, fisik dan sosial dikemudian hari j. memberikan anak melakukan sesuatu dibawah pengawasan agar mendapat pengalaman yang diperlukan di masa yang akan datang juga permasyarakatan serata partisipasi sosial. k. mengikut sertakan anak dalam beberapa kegiatan sosial, pengadaan sesuatu agar anak terlindungi diselamatkan dari sesuatu l. pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan dan mengorbankan anak

m. pengawasan agar anak dapat bertumbuh kembang dengan baik (intern dan ekstern) n. penjagaan terhadap gangguan dari dalam maupun luar dirinya o. memberikan imbalan yang positif, konstruktif atas kegiatan anak p. pengadaan pengaturan dan jaminan hukum yang mengatur dan menjamin pelaksanaan perlindungan anak secara tuntas.

46 Perlindungan terhadap anak dapat berjalan secara sinergis bila peraturan yang ada juga mengakomodasi segala kegiatan anak dengan berpedoman pada batasan umur seorang anak yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Setelah peraturan hukum jelas maka anak di Indonesia akan terjamin perlindungannya, oleh sebab itu hukum pidana dapat mengantisipasi segala bentuk pelanggaran maupun kejahatan terhadap anak.

BAB III TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL TERHADAP ANAK MELALUI MEDIA INTERNET

Kemajuan teknologi telah merubah pandangan dan sikap manusia dalam melakukan kegiatan yang bersifat fisik. Lahirnya internet mengubah jarak waktu dan seolah-olah tidak terbatas. Setiap orang dapat berkomunikasi dengan orang lain yang berjarak ribuan kilometer dari tempat ia berada hanya dengan menggunakan fasilitas komputer yang ada dihadapannya.

Kecanggihan teknologi komputer telah memberikan kemudahan-kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi komputer menyebabkan munculnya jenis kejahatan-kejahatan baru, yaitu dengan

memanfaatkan komputer sebagai modus operandi. Penyalahgunaan komputer dalam perkembangan menimbulkan permasalahan yang sangat rumit, diantaranya

pembuktian atas suatu tindak pidana (faktor yuridis). Terlebih lagi penggunaan komputer untuk tindak pidana ini memiliki karakter tersendiri atau berbeda dengan tindak pidana yang dilakukan tanpa menggunakan komputer (konvensional).

47 Perbuatan atau tindakan, pelaku, alat bukti dalam tindak pidana biasa dapat dengan mudah diidentifikasi, tidak demikian halnya untuk kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan komputer30.

Komputer dapat mempermudah suatu bentuk kejahatan yang konvensional seperti eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet. Eksploitasi anak tersebut dilakukan dengan cara-cara baru sehingga tidak mudah untuk dilakukan penyelidikan ataupun penyidikan seperti dalam tindak pidana biasa karena didalam dunia maya (cyberspace) sulit untuk diketahui secara pasti suatu tindak pidana itu dilakukan. Kendala-kendala tersebut tidak menyebabkan pelaku tindak pidana itu lolos begitu saja dari jeratan hukum.

Semakin banyaknya penyedia internet dan semakin terjangkaunya biaya akses internet membuat semakin banyak orang mulai mengenal internet dan

menggunakannya. Hal tersebut membuat para pelaku tindak kejahatan eksploitasi seksual terhadap anak menjadi lebih mudah dalam melakukan tindak kejahatannya seperti eksploitasi seksual terhadap anak31.

A. Eksploitasi Anak
Pada kenyataannya kehidupan dalam dinamika sosial ekonomi, membawa perubahan apresiasi terhadap anak. Anak yang dulu dianggap manusia kecil yang perlu dilindungi, saat ini justru berada dalam cengkraman eksploitasi secara fisik dan seksual. Hal tersebut terjadi disebabkan posisi anak yang dijadikan objek. Dalam hal ini orang tua yang tidak lagi mampu membiayai kebutuhan dan dengan keterbatasan pendidikan serta keterampilan anak akhirnya mereka bekerja untuk tujuan seksual. Mereka berada pada posisi yang sulit dimana satu sisi harus
30

http://buletin.melsa.net.idjan1001cybercime/html, diakses pada tanggal 23 maret 2009,pukul14.00 31 Majalah birama, edisi 21 Januari 2007, hlm15

48 membantu biaya hidup sedangkan disisi lain anak telah tereksploitasi oleh orang tua yang menjualnya dan pelaku yang mengkomersialisasikan seksual32.

Berdasarkan33 latar belakang tersebut anak yang tidak memiliki daya dan kekuatan sudah diwajibkan untuk dibela, diintervensi, diadvokasi, dan dilindungi dengan usaha terpadu, integratif, interdisipliner, dan intersektoral. Apabila dibandingkan pelaku komersial seksual dengan anak, maka anak berada pada objek yang lemah. Dampak negatif dari pertumbuhan ekonomi dapat mengakibatkan anak harus bekerja dibawah umur.

Keadaan seperti ini dapat menyebabkan orang tua hanya hadir secara fisik, namun tidak hadir secara emosional. Pada sebagian besar kasus penjualan anak disebabkan oleh kemiskinan, walaupun orang tua telah menyadari bahwa tindakan menjual anak adalah tercela. Kedudukan anak yang belum dewasa berpengaruh dalam pengambilan keputusan, oleh sebab itu anak belum mampu memaknai atas perbuatan yang ia lakukan. Ketidakdewasaan ini yang mengakibatkan anak menjadi korban penjualan oleh pihak yang memiliki maksud dan tujuan keuntungan. Selanjutnya anak-anak tersebut ditipu dan kemudian diperdagangkan dengan modus dijanjikan kemewahan bahkan dengan menggunakan ancaman kekerasan34.

Perdagangan anak untuk tujuan seksual adalah bentuk dari eksploitasi seksual tidak komersial diantaranya yaitu pencabulan anak, perkosaan dan kekerasan seksual, sedangkan anak sebagai korban eksploitasi seksual secara komersial, mengalami penderitaan psikologis yang mendalam dan adanya faktor kebutuhan hidup dalam finansial. Penjualan anak atau yang lebih santer sebagai perdagangan anak (child trafficking) dengan tujuan prostitusi, sesungguhnya telah lama
32 33 34

Ibid Ibid ibid

49 mendapatkan perhatian yaitu setelah Komisi HAM PBB mengeluarkan special rapporteur tentang perdagangan anak dan program aksi serta proposal protokol fakultatif tentang Konvensi penjualan pada tahun 1990-an.

Perdagangan anak tidak hanya sebatas prostitusi paksaan atau perdagangan seks melainkan meliputi bentuk eksploitasi, kerja paksa, dan praktek seperti perbudakan di beberapa wilayah dalam sektor formal dan sektor informal. Sejak

diselenggarakan kongres dunia tentang eksploitasi seksual komersial terhadap anak di Stockholm tahun 1996 masalah ini menjadi perhatian utama, berakar dari Convention on the Rights of the Child khususnya pada Pasal 34, bahwa eksploitasi seksual komersial merupakan pelanggaran mendasar atas hak anak.

Bentuk pelanggaran tersebut meliputi penyalahgunaan seksual oleh orang dewasa serta pemberian imbalan berupa finansial kepada anak yang bersangkutan ataupun kepada pihak ke tiga. Anak diperlakukan sebagai objek seks serta objek komersial, dijelaskan bahwa eksploitasi seksual terhadap anak dapat membawa pada bentuk kerja paksa dan bentuk perbudakan modern khususnya pada pornografi anak35.

Perdagangan anak (pedofilia) untuk tujuan prositusi adalah36 perpindahan orang dengan cara rahasia, terlarang dengan melintasi perbatasan wilayah dengan tujuan akhir memaksa anak masuk ke dalam situasi yang secara seksual atau ekonomi bersifat menekan dan eksploitatif yang dilakukan oleh perekrut, dalam resolusi Dewan Umum PBB tentang protokol tambahan Konvensi Hak Anak mengenai37 : a. Perdagangan anak

35 36

http://www.child trafficking.org/memendez/project.zip,diakses tanggal 18 juni 2009 pkl.20.03 WIB Organisasi Internasional End Child Prostitusion in Asia Tourism (ECPAT),1999. 37 ibid

50 Perdagangan anak adalah sebuah tindakan atau transaksi dengan keadaan dipindahkan kepada orang lain oleh siapapun atau keluarga demi keuntungan atau dalam bentuk lain b. Prostitusi anak Prostitusi anak diartikan menggunakan seorang anak untuk aktivitas seksual demi keuntungan atau dalam bentuk lain.

c. Pornografi anak Pornografi anak adalah pertunjukkan dengan cara melibatkan anak didalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan seksual.

Pengertian yang spesifik diatas maka dapat disimpulkan bahwa terdapat lima unsur batasan perdagangan yaitu38 :

a. Unsur rekrutmen Bahwa anak mudah untuk dipengaruhi oleh orang sekitar, karakteristik yang terlihat adalah mereka pada umumnya mengenal korban dan mempunyai hubungan dekat dengan anak tersebut, contohnya ayah, kakek, paman atau lainnya, kedekatan keluarga inilah yang membuat si anak percaya dan ikut saja dengan mereka, sebab mereka beranggapan keluarga tidak akan

mencelakakan mereka. b. Unsur Perpindahan ( transportation )

38

ibid

51 Berawal dari penyerahan anak kepada pencari anak, agen atau perekrut dan kemudian mendapatkan imbalan, pada saat hal tersebut telah dimulai terjadi yang dinamakan perpindahan. c. Unsur lintas batas ( cross border ) Penjualan anak semakin mudah terjadi karena pengawasan untuk lintas batas lokal maupun internasional di wilayah kepulauan sangat terbuka. d. Unsur paksaan ( eksploitation ) Dijelaskan bahwa eksploitasi seksual dengan tujuan untuk diperdagangkan merupakan bentuk paksaan. Dilatar belakangi juga oleh desakan ekonomi atau paksaan fisik dan kekuasaan orang dewasa, serta ada pula karena keinginan secara suka rela, hal tersebut disebabkan runtuhnya kesadaran moral, pengendalian terhadap keinginan seks, dan norma agama yang semakin luntur.

Kasus perdagangan anak yang terjadi di Indonesia diantaranya disebabkan oleh rendahnya pendidikan anak terutama anak perempuan, perkawinan usia dini, serta kekerasan terhadap anak. Bentuk perdagangan anak untuk tujuan eksploitasi seksual komersial terhadap anak memiliki ciri-ciri39 :

1. Tersembunyi; Anak-anak yang terperosok ke dalam jaring prostitusi sebagian besar tersembunyi dari pengawasan publik baik secara fisik (mereka tidak

dipertontonkan seperti halnya pelacur dewasa ). 2. Berpindah-pindah; Ciri tersembunyi dari fenomena yang ada mengharuskan tidak hanya perpindahan dari tempat operasi yang umumnya seperti rumah prostitusi, hotel, club malam dan sejenisnya tetapi juga perpindahan wilayah operasi.
39

Budi lestari, TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSPLOITASI ANAK DIHUBUNGKAN DENGAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK,Bandung,Skripsi Pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran,2002,hlm34.

52 3. Mendunia; Tingkat keseriusan permasalahan bagi anak bisa berfariasi dari daerah ke daerah yang lain atau dari satu negara ke negara lainnya. 4. Mengalami peningkatan; Terdorong oleh ketakutan akan HIV sehingga lebih menyukai anak-anak ketimbang orang dewasa. 5. Bisnis yang sangat menguntungkan; Metode rekrutmen yang sistematis dengan jaringan sindikat yang sangat terorganisir.

Salah satu jenis kejahatan anak yang termasuk dalam kejahatan perdagangan anak adalah pedofilia. Pada hakikatnya sendiri Pedofilia berasal dari bahasa Yunani, yaitu paidophilia dari akar kata pais (anak-anak) dan philia (cinta atau persahabatan) artinya kondisi orang yang mempunyai ketertarikan atau hasrat seksual terhadap anak-anak yang belum memasuki masa remaja. Istilah ini sering ditujukan kepada orang dewasa yang memiliki kondisi ini. Kadang istilah tersebut dapat digunakan untuk merujuk kepada pelaku pelanggaran seksual terhadap anak-anak. Orang-orang yang mempunyai kondisi ini disebut pedofil (pedophile).

Pedofilia dapat diklasifikasikan ke dalam lima tipe, yaitu 40: 1. Pedofilia yang menetap Orang dengan pedofilia tipe ini, menganggap dirinya terjebak pada lingkungan anak. Mereka jarang bergaul dengan sesama usianya, dan memiliki hubungan

40

http://astaqauliyah.com/2006/02/23/kelainan-seksual-pedofilia/, diakses pada tanggal 14 mei 2009,pukul 07.00 WIB

53 yang lebih baik terhadap anak. Mereka digambarkan sebagai lelaki dewasa yang tertarik pada anak laki-laki dan menjalin hubungan layaknya sesama anak laki-laki. 2. Pedofilia yang sifatnya regresi Di lain pihak, orang dengan pedofilia regresi tidak tertarik pada anak lelaki, biasanya bersifat heteroseks dan lebih suka pada anak perempuan berumur 8 atau 13 tahun. Beberapa di antara mereka mengeluhkan adanya kecemasan maupun ketegangan dalam perkawinan mereka dan hal ini yang menyebabkan timbulnya impuls pedofilia. Mereka menganggap anak sebagai pengganti orang dewasa, dan menjalin hubungan layaknya sesama dewasa, dan awalnya bersifat tiba-tiba dan tidak direncanakan. 3. Pedofilia seks lawan jenis Pria dengan pedofilia yang melibatkan anak perempuan, secara tipikal didiagnosa sebagai pedofilia regresi. Pedofilia lawan jenis umumnya mereka menjadi teman anak perempuan tersebut, dan kemudian secara bertahap melibatkan anak tersebut dalam hubungan seksual, dan sifatnya tidak memaksa. Seringkali mereka mencumbu si anak atau meminta anak mencumbunya, bahkan mungkin melakukan stimulasi oral, akan tetapi jarang bersetubuh. 4. Pedofilia sesama jenis. Orang dengan pedofilia jenis ini lebih suka berhubungan seks dengan anak laki-laki ataupun anak perempuan dibanding orang dewasa. Anak-anak tersebut berumur antara 10 sampai dengan 13 tahun. Aktivitas seksnya berupa masturbasi dengan cara stimulasi oral oleh anak-anak tersebut, dan

berhubungan lewat anus.

54 5. Pedofilia wanita Meskipun pedofilia lebih banyak oleh laki-laki, tetapi juga dilakukan oleh wanita, meskipun jarang diketahui khalayak. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya perasaan keibuan pada wanita. dan anak laki-laki tidak menganggap hal ini sebagai sesuatu yang sifatnya negatif, karenanya insidennya kurang diketahui. Biasanya korban melibatkan anak berumur 13 tahun atau lebih muda.

Tindak pidana Phedofilia secara eksplisit tidak di atur dalam hukum Indonesia tetapi hal tersebut harus di pahami tentang arti phedofilia sendiri yang dimana merupakan tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, dan anak itu sendiri di lindungi dari tindakan eksploitasi seksual yang terdapat dalam Pasal 13 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yaitu: (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. Diskriminasi; b. Eksploitas, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. Ketidakadilan f. Perlakuan salah lainnya; (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka perlu dikenakan pemberatan hukuman .

Pelaku tindak pidana Phedofilia dapat dikenai Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang dapat dikaitkan dengan kelima unsur mengenai spesifikasi perdagangan seksual yang telah dijabarkan diatas, maka keempat unsur

55 tersebut dapat di aplikasikan kedalam kasus pengeksploitasian seksual terhadap anak dalam penjualan melalui media internet seperti contoh kasus berikut ini41 : Kasus yang terjadi pada Koko Roy (58) di Surabaya, yang telah melakukan tindak eksploitasi seksual terhadap delapan anak, lima diantaranya masih berumur dua belas (12) sampai dengan enam belas (16) tahun dan tiga (3) diantaranya berumur sembilan belas tahun (19) sampai dengan dua puluh satu (21) tahun, pada kasus tersebut Koko Roy (58) selain melakukan hubungan seksual terhadap anak-anak tersebut, ia juga merekam adegan intim tersebut melalui telepon seluler miliknya untuk kemudian disebarkan melalui media internet pada situs www.pornchild.com sehingga para pedofil yang berasal dari dalam ataupun luar negeri dapat mengakses jasa salah satu dari anak-anak tersebut melalui Koko Roy (58), akibat perbuatan penyebar luasan gambar video tersebut maka Koko Roy (58) dikenakan sanksi hukum berdasarkan Pasal 282 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta Pasal 27 (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga penuntut memberikan tuntutan agar Koko Roy diberikan putusan bersalah oleh pengadilan. Pihak koko Roy menolak segala tuntutan jaksa oleh sebab adegan intim yang ia buat bersama delapan anak tersebut telah mendapatkan izin dari kedua orang tua mereka dan tiga diantara delapan dari korban tersebut berusia sembilan belas (19) sampai dengan dua puluh satu tahun (21) tahun dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah seseorang yang berumur delapan belas (18) tahun, tetapi kegiatan Koko Roy merekam adegan porno dengan muatan asusila dan disebarkan melalui media internet dengan tujuan komersial maka telah

41

http:najlah.blogspot.com/2006/11kasus pedofilia-jaringan-kejahatan.html.,diakses pada tanggal 23 maret 2009 pukul 20.00 WIB

56 memenuhi unsur-unsur kejahatan berdasarkan undang-undang yang didakwakan padanya Pada kasus di atas, jelas terjadi eksploitasi seksual terhadap anak dengan maksud tujuan untuk menguntungkan diri sendiri yang dilakukan oleh Koko Roy, oleh sebab lima di antara delapan korban asusilanya masih berusia di bawah umur berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak

B. Akibat Hukum yang Timbul dari Tindak Pidana Melalui Media Internet

1. Pengertian Tindak Pidana Peristilahan tindak pidana mempunyai terjemahan dari Bahasa Belanda, yaitu Straafbaar feit, selain itu juga digunakan delik yang berasal dari bahasa delictum. Indonesia sendiri memakai istilah delik. Dalam beberapa buku hukum pidana dan beberapa peraturan perundang-undangan hukum pidana tidak sedikit ditemukan istilah lain, yaitu: peristiwa pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, dan pelanggaran pidana. Sedangkan menurut terjemahan resmi tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman memakai istilah tindak pidana dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mempunyai alasan sebagai berikut42: a) Penggunaan Istilah Tindak Pidana digunakan, bila ditinjau dari segi sosiolog-yuridis hampir semua perundang-undangan pidana memakai istilah tindak pidana.
42

Sofjan Sastrawidjaja,HUKUM PIDANA,Bandung:mandar maju,1997 Ibid, hlm111-112

57 b) Semua lembaga penegak hukum dan hampir seluruh penegak hukum menggunakan istilah tindak pidana. c) Para mahasiswa yang mengikuti tradisi tertentu dengan memakai istilah perbuatan pidana, ternyata dalam kenyataannya tidak mampu mengatasi dan menjembatani tantangan kebiasaan penggunaan istilah tindak pidana.

Pengertian tindak pidana tidak begitu saja mudah dijabarkan karena terdapatnya beraneka ragam pengertian tindak pidana yang diciptakan oleh para sarjana hukum pidana, dibawah ini dikemukakan beberapa pengertian tindak pidana:

a) Prof. Mr.D.Simons dan Prof.Mr.G.A.Van Hamel Simons mengartikan bahwa Straafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan, dan yang dilakuakn oleh orang yang mampu bertanggung jawab43. Van Hamel mengartikan straafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan44. b) Prof. Moeljatno, SH Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana sebagai terjemahan dari straafbaar feit dan dapat disamakan dengan istilah bahasa Inggris criminal act dapat diartikan sebagai berikut45 : 1. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar aturan tersebut.
43 44

Ibid ibid 45 Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta:Rineka Cipta,1993,Hlm114

58 2. Terpenuhinya syarat-syarat mutlak diantaranya adalah syarat formal, yaitu sesuai dengan undang-undang serta syarat materil yaitu sifat melawan hukum bahwa perbuatan tersebut harus dirasakan oleh masyarakat sebagai peraturan yang tidak dapat dilakukan. Moeljatno juga menyamakan perbuatan pidana dengan istilah criminal act atau istilah actus reus dimana46 criminal act juga berarti kelakuan dan akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum. Criminal act dapat dipisahkan dari pertanggung jawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau criminal responsibility untuk adanya criminal liability (dapat dipidananya seseorang) selain dari pada melakukan criminal act pihak tersebut harus mempunyai kesalahan (guilty). Hal ini dinyatakan dalam kalimat Latin : Actus hon fecit reum, nisimens sit rea (an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty,ketika seseorang tidak melakukan sesuatu yang bersalah tetapi tidak tertutup kemungkinan memiliki perasaan bersalah).

Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, tetapi disamping itu harus ada kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela, terdapat pula dalam asas hukum yang tidak tertulis atau sama dengan tindak pidana jika tidak ada kesalahan (geen straaf zonder schuld ohne schuld keine straafe)47.

Pengertian perbuatan pidana atau tindak pidana dari Moeljatno dan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dapat disebut pandangan yang dualistis terhadap perbuatan pidana atau tindak pidana sebab dalam pengertian tersebut tidak tercakup pertanggungjawaban pidana sehingga pandangan dualistis ini memisahkan antara pengertian perbuatan pidana atau
46 47

Ibid ibid

59 tindak pidana (criminal act/actus reus) dengan pertangung jawaban pidana (criminal responbility/mens rea)48.

Berbeda dengan Simons dan Van Hamel, pengertian straafbaar feit atau tindak pidana dapat disebut sebagai pandangan yang luas terhadap straafbaar feit atau tindak pidana karena dalam pengertian tersebut mencakup pula pertanggung jawaban pidana. Agar mudah menentukan manakah yang merupakan suatu tindak pidana dan makna yang bukan, maka diperlukan unsur-unsur tindak pidana.

2. Unsur-unsur tindak Pidana Dalam Hukum pidana dikenal unsur objektif dan unsur subjektif, dimana unsur objektif adalah unsur yang terdapat diluar diri pelaku tindak pidana, pendapat Lamintang49 unsur objektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan yaitu di dalam keadaan pada tindakantindakan dari pelaku tersebut harus dilakukan unsur objektif , meliputi : a. Perbuatan atau kelakuan manusia b. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik. c. Unsur melawan hukum d. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana e. Unsur yang memberatkan pidana f. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana.

Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri pelaku tindak pidana, yang meliputi 50: a. Kesengajaan ( dolus )
48 49 50

ibid PAF Lamintang,Delik-Delik Khusus,Bandung,Sinar Baru,1989,hlm142 ibid

60 b. Kealpaan ( Culpa ) c. Niat ( Voor nermen ) d. Maksud ( oogmert )

Moeljatno51 mempunyai pengertian mengenai unsur unsur tindak pidana, yakni : Unsur-unsur formal : Perbuatan manusia Perbuatan tersebut dilarang oleh suatu aturan hukum Larangan itu disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu. Larangan tersebut dilanggar oleh manusia.

Unsur-unsur material52 : perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan.

Simons53 memaknai pengertian straafbaarfeit tersebut adalah sebagai berikut : a. Kelakuan atau perbuatan manusia b. Perbuatan tersebut diancam dengan pidana c. Perbuatan tersebut melawan hukum d. Perbuatan tersebut dilakukan dengan kesalahan e. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Sedangkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,adalah54 :


51 52

Moeljatno,op.cit.hlm48 ibid 53 Sofjan Sastrawidjaja, Ibid, hlm56 54 Catatan pada mata kuliah Delik-Delik khusus oleh Dosen Firman,Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia,2007.

61 Unsur Formal : - Perbuatan sesuatu; - Perbuatan tersebut dilakukan atau tidak dilakukan - Perbuatan tersebut oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang. - Perbuatan tersebut oleh peraturan perundang-undangan diancam pidana.

Unsur Material :

Perbuatan tersebut harus bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan, sehingga meskipun perbuatan tersebut memenuhi perumusan undang-undang tetapi apabila tidak bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum, maka perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana.

3. Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Seseorang yang telah melakukan tindak pidana tidak selalu dapat dipidana. Hal tersebut tergantung pada besarnya kesalahan pada tindak pidana tersebut atau tidak sebab untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang tidak cukup pada tindak pidana yang dilakukan olehnya, tetapi selain daripada hal tersebut harus ada pula kesalahan, hal inilah yang Moeljatno katakan sebagai tiada pidana tanpa kesalahan . Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, asas tiada pidana tanpa kesalahan tidak tercantum juga tidak terdapat dalam perundang-undangan lainnya, melainkan terdapat dalam hukum yang tidak tertulis di Indonesia. Meskipun tidak tertulis asas tersebut berkembang dalam anggapan masyarakat umum dan diterima oleh hukum pidana disamping asas yang tertulis dalam undang-undang.

62

Pada Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana, ditentukan :

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya

Berdasarkan ketentuan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat disimpulkan bahwa sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana adalah sistem pembuktian negatip

( negatief wettelijk). Pengertian negatief wettelijk adalah : Wettelijk artinya macam-macamnya alat bukti sudah ditentukan oleh

undang-undang sedangkan negatief artinya menyatakan bersalah terhadap diri seorang terdakwa dibutuhkan suatu keyakinan atas alat bukti yang diajukan dalam persidangan, maka terdakwa diputus bebas. Dua buah alat bukti disertai keyakinan, seperti yang ditentukan dalam ketentuan yang diatur Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, merupakan ketentuan minimum yang harus dipenuhi oleh suatu pembuktian55.

Pompe mengartikan kesalahan ialah jika perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa verwijtbaar (dapat dicela) dan vermijdbaar (dapat dihindari). Sedangkan Moeljatno sependapat dengan dengan Simons bahwa kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan

55

Hari Sasangka&Lily Rosita, Komentar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,Bandung:Mandar Maju,2003,hlm223.

63 perbuatan yang dilakukan yang sedemikian sehingga pihak tersebut dapat dicela sebab melakukan perbuatan yang dimaksud.

Sehingga dapat penulis tarik garis merah bahwa untuk adanya kesalahan harus ditelaah pada dua hal dalam perbuatan pidana, yaitu : 1. Keadaan psychis (batin) tertentu 2. Hubungan tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sehingga menimbulkan celaan yang dimaksud. Antara keduanya memiliki keterkaitan, bahkan adanya yang pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua atau yang kedua tergantung dari yang pertama. Masing-masing bermakna bahwa seseorang yang melakukan tindak pidana harus dengan keadaan jiwa yang normal serta memahami akan akibatnya di kemudian hari atau dengan kata lain keadaan batin seseorang yang normal atau sehat ketika melakukan perbuatan pidana yang telah dijelaskan di atas tadi adalah ajaran kemampuan bertanggung jawab.

4. Tindak Pidana Eksploitas Anak Melalui Media Internet Kejahatan mayantara ( cyber crime ) merupakan salah satu bentuk kejahatan modern yang muncul seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Kejahatan di dunia maya mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kejahatankejahatan konvensional yang terdapat dalam

Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP).

Kejahatan mayantara (cybercrime) merupakan kejahatan yang mendapatkan perhatian luas dunia internasional. Tidaklah mudah untuk menanggulangi permasalahan cybercrime diantaranya karena kejahatan tersebut dilakukan

64 dalam ruang lingkup elektronik sehingga untuk penanggulangannya diperlukan keahlian khusus, prosedur investigasi dan kekuatan atau dasar hukum.

Adanya kejahatan di dunia maya maka pihak kepolisian sebagai pihak yang akan melakukan penyelidikan dan penyidikan tentang ada atau tidaknya tindak pidana tersebut, dituntut untuk mengetahui lebih jauh bagaimana penanganan yang akan dilakukan apabila terjadi tindak pidana tersebut.

Faktorfaktor penyebab laju perkembangan cyber crime cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun yaitu56

1. 2. 3.

Kesadaran hukum masyarakat. Faktor keamanan Faktor penegak hukum

Kesadaran hukum masyarakat sampai saat ini dalam menanggapi aktivitas cybercrime masih dirasakan kurang. Hal ini disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap jenis kejahatan cybercrime. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan ini menyebabkan upaya penanggulangan cybercrime mengalami kendala, dalam hal ini kendala yang berkenaan dengan penataan hukum dan proses pengawasan masyarakat terhadap setiap aktivitas yang diduga berkaitan dengan cybercrime57.

Rasa aman akan dirasakan oleh pelaku kejahatan pada saat sedang menjalankan aksinya. Hal ini karena internet lazim digunakan di tempat-tempat yang relatif tertutup. Akibatnya pada saat pelaku sedang melakukan kejahatan
56

Didik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Banudung;Refika Aditama,2005, hlm 89-95 57 ibid

65 sangat jarang orang mengetahuinya. Disamping itu, apabila pelaku dapat menghapus semua jejak kejahatan yang telah dilakukan, pada saat pelaku tertangkap sulit bagi aparat penegak hukum untuk menemukan bukti-bukti kejahatan.

Faktor penegak hukum sering menjadi penyebab maraknya kejahatan cyber. Hal ini dilatarbelakangi masih sedikitnya aparat penegak hukum yang memahami seluk beluk teknologi informasi, sehingga pada saat pelaku tindak pidana ditangkap,aparat penegak hukum kesulitan untuk menemukan alat bukti yang dapat dipakai menjerat pelaku terlebih apabila kejahatan yang dilakukan memiliki sistem pengoperasian yang sangat rumit.

Kemajuan teknologi komputer, teknologi informasi dan teknolgi komunikasi menimbulkan suatu tindak pidana baru yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak pidana konvensional. Penyalahgunaan komputer sebagai salah satu dampak dari perkembangan tersebut tidak terlepas dari sifatnya yang khas sehingga membawa persoalan baru yang agak rumit untuk dipecahkan, berkenaan dengan masalah penanggulangannya.

Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak yang negatif. Dampak positif merupakan hal yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kemaslahatan kehidupan manusia di dunia, termasuk di negara Indonesia sebagai negara berkembang, yang mana hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ini dibuat dalam berbagai bentuk dan konsekuensinya sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.

66 Dampak negatif yang timbul dari tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet melahirkan akibat hukum karena hal tersebut mengakibatkan kerusakan pada kehidupan manusia baik secara fisik maupun kehidupan mentalnya58

Tindak pidana eksploitasi seksual pada anak melalui media internet dalam hal ini merugikan masa depan anak sebagai korban dan dengan adanya kejahatan eksploitasi seksual melalui media internet ini maka negara Indonesia menjadi salah satu negara terbesar yang melakukan kejahatan cybercrime .

Sistem pembuktian di era teknologi informasi saat ini menghadapi tantangan besar yang memerlukan penanganan serius, khususnya dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan cybercrime. Hal ini muncul karena bagi sebagian pihak jenis alat bukti yang selama ini dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana tidak mampu lagi dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan dunia maya.

Alat bukti cybercrime biasanya berupa komputer, laptop, atau alat elektronik lain yang dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan cyber. Alat bukti dalam kejahatan cyber eksploitasi seksual terhadap anak menjadi suatu kendala lain, karena pada saat pembuktian pada alat bukti tidak dapat digunakan karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak di atur mengenai alat bukti elektronik. Namun dengan adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka alat bukti telah diatur undang-undang tersebut. Pada Pasal 5 ayat(1)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi


58

http://www.raharja.ac.id/risetpublikasi/edisi6/azizdedy.html/ diakses pada tanggal 18 juni 2009

67 Elektronik dijelaskan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Oleh karena itu apabila terjadi kejahatan dalam dunia maya dapat segera dilakukan proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai alat bukti dalam proses penyelidikan, penyidikan dan dalam sidang pengadilan.

BAB IV

ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA EKSPLOITASI ANAK MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK Jo.UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

A. Pengaturan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak Melalui Media Internet Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jo.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

68 Perkembangan teknologi informasi di Indonesia, terutama dengan kehadiran internet telah melakukan revolusi besar dalam dunia komputer dan komunikasi sebagai informasi, sebab itu internet sebagai sebuah alat penyebaran informasi secara global, sebuah mekanisme penyebaran informasi dan sebuah media untuk berkolaborasi dan berinteraksi antar individu dengan menggunakan komputer tanpa terhalang batas geografis.

Semakin banyaknya penyedia jasa internet dan semakin terjangkaunya biaya akses internet membuat semakin banyak orang mulai mengenal internet dan

menggunakannya. Pada umumnya bagi suatu masyarakat yang mengalami perubahan, khususnya perubahan yang bersumber dari kemajuan teknologi akan lebih mudah menghadapi masalah-masalah sosial. Apabila dipandang dari sudut alat komunikasi, internet memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan alat komunikasi lainnya seperti telepon, surat, atau fax. Melalui internet pertukaran informasi dapat dilakukan secara cepat, tepat serta dengan biaya yang relatif murah. Dengan memperhatikan karakteristik internet yang demikian khusus maka internet dapat menjadi media yang memudahkan seseorang untuk melakukan berbagai jenis tindak pidana yang berbasiskan teknologi informasi ( Cybercrime ) seperti tindak pidana pencemaran nama baik, perjudian, penipuan, pornografi hingga tindak pidana terorisme (cyberterrorism). Berdasarkan modus operandinya, cybercrime terdiri dari dua jenis kejahatan,yaitu : 1. Kejahatan yang sasaran atau targetnya adalah fasilitas serta sistem teknologi komunikasi informasi. Para pelaku cybercrime menggunakan sarana ini untuk menyerang atau merusak sarana teknologi informasi lainnya yang menjadi target. Pada posisi tersebut komputer atau internet adalah alat sekaligus korban kejahatan. Kejahatan ini lebih dikenal dengan istilah hacking atau cracking yang menyerang program-program operasi jaringan komputer.

69 2. Kejahatan umum atau biasa yang difasilitasi oleh teknologi komunikasi informasi. Jenis kejahatan ini telah ada sebelum teknologi informasi bergerak menuju ke arah penyalahgunaanya seperti pengancaman, pencemaran nama baik, pornografi dan sebagainya.

Berdasarkan kedua jenis cybercrime tersebut, penulis berpendapat bahwa kejahatan tersebut mempunyai sifat yang berbeda satu sama lain, jenis kejahatan yang pertama mempunyai sifat sebagai kejahatan baru (new category of crime) sedangkan untuk jenis kejahatan yang kedua bersifat biasa (ordinary crimes) yang pengaturannya telah terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan peraturan hukum lain yang mengatur.

Berdasarkan modus operandi cybercrime, maka tindak eksplotasi seksual terhadap anak melalui media internet dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan umum atau biasa yaitu kejahatan yang difasilitasi oleh teknologi komunikasi informasi. Tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet dengan menyebarkan gambar atau video rekaman adegan seksual antara seorang pria dewasa dengan beberapa anak dibawah umur dengan tujuan komersial agar para pedofil yang ada didalam ataupun luar negeri dapat mengakses melalui media internet untuk menggunakan jasa salah satu anak tersebut, yang menjadi korban atau objek eksploitasi seksual komersial anak.

Pedofilia sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu paidophilia dari akar kata pais (anak-anak) dan philia (cinta atau persahabatan) artinya kondisi orang yang mempunyai ketertarikan atau hasrat seksual terhadap anak-anak yang belum memasuki masa remaja. Istilah ini sering ditujukan kepada orang dewasa yang

70 memiliki kondisi tersebut. Kadang istilah tersebut dapat digunakan untuk merujuk kepada pelaku pelanggaran seksual terhadap anak-anak. Orang-orang yang mempunyai kondisi ini disebut pedofil (pedophile).

Korban para pedofil adalah anak yang berusia masih di bawah umur, Tindak pidana Phedofilia secara eksplisit tidak diatur dalam hukum Indonesia tetapi hal tersebut harus dipahami tentang arti phedofilia sendiri yang merupakan tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, dan anak itu sendiri mempunyai hak untuk dilindungi dari tindakan eksploitasi seksual yang terdapat dalam Pasal 13 Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berbumyi :

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. Diskriminasi; b. Eksploitas, baik ekonomi maupun seksual; c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan; e. Ketidakadilan f. Perlakuan salah lainnya; (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka perlu dikenakan pemberatan hukuman .

Pada pasal tersebut apabila dihubungkan pada kasus tindak eksploitasi seksual terhadap anak mengandung arti bahwa anak selama dalam tanggung jawab orang tua berhak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan ekploitas baik ekonomi maupun seksual sebab pada hakikatnya anak adalah titipan Tuhan Yang Maha Esa dan kewajiban orang tua untuk menjaga serta melindungi anak.

Pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18

71 (delapan belas) tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut maka penulis berpendapat bahwa kasus tindak eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet yang dilakukan oleh Koko Roy (58) terhadap delapan anak perempuan, tiga diantaranya berumur sembilan belas(19) dan dua puluh satu(21) tahun serta lima(5) anak perempuan lainnya yang masih berumur tiga belas(13) sampai dengan enam belas(16) tahun, oleh karena itu pelaku dapat dikualifikasikan sebagai pedofil terhadap lima(5) anak di bawah umur di dasarkan pada batasan umur anak dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

Maraknya kasus eksploitasi seksual terhadap anak, melatar belakangi kewajiban negara dan pemerintah untuk memberikan pertanggungjawaban perlindungan terhadap anak, seperti yang telah tercantum dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak Perlindungan khusus terhadap anak memiliki pengertian dalam ketentuan hukum yang terkandung dalam Pasal 1 ayat 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban

72 kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran

Adanya perlindungan khusus terhadap anak pada undang-undang perlindungan anak memberikan kepastian hukum terhadap pemerintah dan lembaga negara lainnya untuk berkewajiban dan bertanggungjawab dalam memberikan

perlindungan khusus kepada anak yang tereksploitasi secara umur, ekonomi dan atau seksual, seperti yang terkandung pada Pasal 59 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi :

Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat,dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran

Pelaku pada kasus tindak eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet yang melibatkan Koko Roy (58) tahun sebagai seorang pedofil juga dapat disebut sebagai germo atau mucikari sebab pelaku tidak saja melakukan hubungan seksual terhadap lima anak dibawah umur tetapi juga memasarkan ke lima anak dibawah umur tersebut melalui media internet kepada para pedofil yang berdomisili dalam negeri maupun luar negeri dengan tujuan komersial atau memberikan keuntungan bagi diri sendiri. Pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak diatur juga tentang perlindungan anak terhadap jenis kejahatan pornografi anak seperti yang tercantum dalam Pasal 66 yang berbunyi :

73 Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan atau seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah dan masyarakat

Tindak

eksploitasi

seksual

terhadap

anak

melalui

media

internet

dapat

dikualifikasikan sebagai kejahatan pornografi anak, maka dari perbuatan tersebut pelaku dikenakan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi : Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) Pornografi sendiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi memiliki pengertian sebagai suatu gambar, sketsa, ilustrasi, foto,

tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Sedangkan kejahatan pornografi anak memiliki pengertian sebagai suatu tindak asusila terhadap anak sebagai korban dan objek dalam bentuk berupa suatu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual terhadap anak sebagai korban, yang menimbulkan akibat suatu pelanggaran norma kesusilaan dalam masyarakat.

74 Apabila dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet dapat ditinjau pada kandungan Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi, diatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang, antara lain sebagai berikut :

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan

Pada Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengandung unsur-unsur, baik unsur subjektif maupun unsur objektif, yaitu : Unsur subjektif : 1. setiap orang 2. tanpa hak

Unsur Objektif :

1. mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik 2. memiliki muatan yang melanggar kesusilaan 3. dengan sengaja

Penulis berpendapat pada Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat diterapkan pada kasus tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet sebab pelaku

75 dengan sengaja telah merekam adegan seksual pelaku terhadap lima anak dibawah umur melalui telepon selulernya untuk kemudian disebarkan melalui media internet pada alamat situs www.pornchild.com yang bermuatan melanggar kesusilaan dengan tujuan mempermudah akses pemasaran terhadap para pedofil dalam negeri maupun luar negeri yang berniat menggunakan jasa pelayanannya.

Berdasarkan rumusan unsur-unsur diatas serta peraturan-peraturan hukum yang mengatur, maka perbuatan yang dilakukan oleh Koko Roy pada kasus tindak eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet telah memenuhi unsur subjektif dan unsur objektif sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak serta Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Indonesia sebagai masyarakat dunia yang tergabung dalam WTO ( World Trate Organization) berhak menggunakan Konvensi Uni Eropa sebab konvensi tersebut tunduk pada ratifikasi WTO (World Trate Organization) akan tetapi Indonesia hanya baru menandatangani belum meratifikasi isi konvensi tersebut, namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 Tentang Ratifikasi WTO maka isi konvensi-konvensi yang terkait dapat diterapkan dalam dasar pertimbangan hukum seperti Convention on the Rights of the Child pada Pasal 34 yang berbunyi :

States Parties undertake to protect the child from all forms of sexual exploitation and sexual abuse. For these purposes, States Parties shall in particular take all appropriate national, bilateral and multilateral measures to prevent: (a) The inducement or coercion of a child to engage in any unlawful sexual activity; (b) The exploitative use of children in prostitution or other unlawful sexual practices; (c) The exploitative use of children in pornographic performances and materials.

76 Pihak melakukan negara untuk melindungi anak dari segala bentuk pelecehan seksual dan eksploitasi seksual. Untuk tujuan ini, NegaraNegara Pihak harus mengambil semua khususnya yang nasional, bilateral dan multilateral untuk mencegah langkah-langkah: (a) dorongan atau paksaan dari seorang anak untuk terlibat dalam aktivitas seksual haram; (b) eksploitasi penggunaan anak-anak dalam pelacuran atau praktekpraktek seksual lainnya haram; (c) menggunakan eksploitasi anak-anak di performance dan materi pornografi

Serta konvensi yang mengatur tentang kejahatan melalui komputer yang tertuang pada Convetion on Cybercrime Tahun 2001 khususnya pada pornografi melalui sistem komputer yang tertuang pada Pasal 9, yang berbunyi :

Offences related to child pornography 1. Each Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences under its domestic law, when committed intentionally and without right, the following conduct: a. producing child pornography for the purpose of its distribution through a computer system;offering or making available child pornography through a computer system; b. distributing or transmitting child pornography through a computer system; c. procuring child pornography through a computer system for oneself or for another person; d. possessing child pornography in a computer system or on a computerdata storage medium. 2. For the purpose of paragraph 1 above, the term child pornography shall include pornographic material that visually depicts: a. a minor engaged in sexually explicit conduct; b. a person appearing to be a minor engaged in sexually explicit conduct; c. realistic images representing a minor engaged in sexually explicit conduct.

Pada Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

77

Maka hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam menghadapi kasus eksploitasi seksual terhadap anak khususnya melalui media internet yang terjadi, hakim dapat menggunakan penafsiran hukum terhadap peraturan perundangundangan yang relevan dengan kasus eksploitasi seksual terhadap anak khususnya melalui media internet, dalam hal ini adalah Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

B. Tindakan Hukum yang dapat dilakukan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Terhadap Anak Melalui Media internet.

Teknologi komputer berkembang terus menerus, disamping hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi dan kehematan (ekonomis) bagi kehidupan, juga sering menimbulkan ide-ide negatif. Masalah yang muncul saat ini, yang dihadapi oleh aparat penegak hukum adalah bagaimana menjaring pelaku cybercrime dikaitkan dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku. Aparat penegak hukum dihadapkan pada kesulitan untuk menentukan kualifikasi kejahatan mengingat sulitnya menemukan alat bukti.

Masalah yang dihadapi oleh penyidik dalam melakukan penyelidikan dan pengumpulan barang bukti terhadap kasus kejahatan cyber :

78 1. Kesulitan mendeteksi kejahatan komputer. Hal ini disebabkan karena : a. Sistem keamanan dari komputer itu sendiri belum memadai b. Adanya keengganan dari pemilik komputer untuk melaporkan setiap timbulnya peristiwa penyalahgunaan komputer. c. Masyarakat belum begitu berperan di dalam upaya mendeteksi kejahatan komputer. 2. Barang bukti mudah dihilangkan atau dimusnahkan atau dirusak atau dihapus. 3. Penyidikan dapat terputus atau tertunda oleh sistem yang macet 4. Rekaman pada sistem dapat dimodifikasi sehingga barang bukti dapat dirubah. 5. Komputer dapat melaksanakan perintah siapa saja, sehingga sulit dilacak siapa pelaku sebenarnya.

Sistem pembuktian di era teknologi informasi saat ini menghadapi tantangan besar yang memerlukan penanganan serius, khususnya dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan cybercrime. Hal ini muncul karena bagi sebagian pihak jenis-jenis alat bukti yang selama ini dipakai untuk menjerat pelaku kejahatan di dunia maya.

Masalah pembuktian dalam tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet berkaitan erat dengan kondisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang belum direvisi. Sistem peradilan pidana memandang keempat aparatur penegak hukum yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang

79 berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari sistem penegak hukum.

Salah satu tugas dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan kebenaran materil yaitu kebenaran yang sesungguh-sungguhnya. Tugas tersebut tidaklah mudah bagi penyidik, penuntut umum dan hakim sehingga antara aparatur penegak hukum ini harus bekerja satu sama lainnya. Hukum acara pidana hanya dapat menunjukkan jalan untuk mencari sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dengan kehadiran alat bukti dan barang bukti.

Pembuktian

merupakan

masalah

yang

memegang

peranan

dalam

proses

pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, teliti dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Hakim harus meneliti sampai sejauh mana batas minimal kekuatan pembuktian dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Mengenai alat bukti di pengadilan diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu terdiri dari : 1. Keterangan saksi, dalam Pasal 185 ayat 1 KUHAP disebutkan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan dalam persidangan. Berdasarkan penjelasan KUHAP dinyatakan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain. Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia

80 lihat sendiri dan dialami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 2. Keterangan ahli, Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Selanjutnya penjelasan Pasal 186 KUHAP menyatakan bahwa keterangan ahli ini dapat juga telah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Menurut teori hukum pidana yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan seseorang berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya. 3. Surat, sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 KUHAP menurut komentar KUHAP yang disusun oleh M.Karjadi dan R.Soesilo, Pasal 187 membedakan atas empat macam surat, yaitu : a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut peraturan undang-undang atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tangung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;dan d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain;

81 4. Petunjuk, Pasal 188 ayat 1 KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Selanjutnya Pasal 188 ayat 3 KUHAP dinyatakan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nurani. 5. Keterangan terdakwa, menurut Pasal 189 ayat 1 KUHAP adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri dan alami sendiri. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat, yaitu : a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan; dan b. Mengaku ia bersalah

Kesulitan yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dapat diatasi dengan menambahkan data elektronik dalam Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti yang sah. Perbaikan pada Pasal 184 KUHAP merupakan salah satu cara untuk menghadapi cybercrime. Sebagaimana yang dikemukakan oleh pakar teknologi Onno W Purbo yaitu : sudah saatnya pemerintah memperbaiki Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan menempatkan data elektronik sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus mengakui data elektronik sebagai alat bukti yang sah untuk mengungkap kasus kejahatan cyber

82 Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah diatur mengenai alat bukti dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang berbunyi : alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut : a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan;dan b. Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1) , ayat (2), ayat (3).

Dengan diaturnya alat bukti dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka pembuktian bukan lagi menjadi suatu kendala dalam menangani kejahatan-kejahatan dalam dunia maya sebab pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dijelaskan bahwa informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Menurut Ahmad M Ramli terdapat 3 pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace yaitu : 1. Pendekatan Teknologi 2. Pendekatan Sosial, Budaya-Etika 3. Pendekatan Hukum

Berbicara mengenai kejahatan (crime), tidak dapat dilepaskan dari 5 (lima) faktor yang saling berkaitan erat yaitu pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan dan hukum. Hukum menjadi instrumen penting dalam pencegahan dan penanggulangan kejahatan.

83 Kejahatan yang kompleks seperti saat ini terlambat diantisipasi oleh penyidik sehingga ketika terjadi kasus pidana yang bermediakan internet, membutuhkan

penanganan secara khusus dan waktu yang panjang sehingga terkesan alot. Untuk itu, pencegahan kejahatan tidak selalu harus menggunakan hukum pidana, agar penanggulangan cybercrime khususnya pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet dapat dilakukan secara menyeluruh maka tidak hanya pendekatan yuridis atau penal yang dilakukan, tetapi dapat juga dilakukan dengan non penal. Dalam konteks cybercrime khususnya pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet erat hubungannya dengan teknologi, khususnya teknologi komputer dan telekomunikasi sehingga pencegahan kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet dapat dilakukan melalui saluran teknologi atau disebut juga techno-prevention. Pendekatan teknologi ini merupakan subsistem dalam sebuah sistem yang lebih besar, yaitu pendekatan budaya, karena teknologi merupakan hasil dari kebudayaan atau merupakan kebudayaan itu sendiri. Pendekatan budaya atau kultural ini perlu dilakukan untuk membangun atau membangkitkan kepekaan warga masyarakat dan aparat penegak hukum terhadap masalah cybercrime khususnya kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet dan meyebarluaskan atau mengajarkan etika penggunaan komputer melalui pendidikan. Pentingnya pendekatan budaya ini, khususnya upaya

mengembangkan kode etik dan perilaku.

Pada saat ini kesiapan hukum dan POLRI dalam menangani cybercrime, khususnya pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet telah terwujud dalam peraturan hukum yang mengatur mengenai cybercrime meskipun pada peraturan tersebut tidak mengatur secara khusus tentang kejahatan cyber, yang

84 terumuskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya dalam Pasal 27 ayat 1 dan perlindungan terhadap

anak yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak khususnya pada Pasal 66 yang mengatur mengenai

perlindungan khusus terhadap anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan seksual serta sanksi hukuman pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak untuk sanksi terhadap pelaku eksploitasi anak. Pada upaya penanggulangan kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet, tidak hanya pendekatan penal dan non penal yang diperlukan, mengingat sifat cybercrime yang dapat dilakukan oleh orang dengan melalui lintas batas negara maka perlu dilakukan kerjasama dengan negara lain. Bentuk kerjasama ini dapat berupa kerjasama ekstradisi maupun harmonisasi hukum pidana substantif. Salah satu cara lain agar penanggulangan cybercrime khususnya pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet dapat dilakukan dengan baik maka perlu dilakukan kerja sama dengan Internet Service Provider (ISP) atau penyedia jasa internet. Meskipun Internet Service Provider (ISP) hanya berkaitan dengan layanan sambungan atau akses internet, tetapi Internet Service Provider (ISP) memiliki catatan mengenai keluar atau masuknya seorang pengakses, sehingga dapat diidentifikasi siapa yang melakukan kejahatan dengan melihat log file yang ada. Pada kasus eksploitasi anak oleh Koko Roy didasarkan pada perspektif

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ,penulis berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pada kasus eksploitasi seksual terhadap anak oleh Koko Roy melalui media internet jelas telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 27 ayat 1, sedangkan dalam pembuktian kejahatan pada barang bukti didasari oleh Pasal 44 yaitu berupa rekaman gambar video adegan intim Koko Roy terhadap para korban

85 serta diperlukannya keterangan ahli untuk membuktikan bahwa rekaman gambar video tersebut adalah benar berdasarkan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Adapun tindakan hukum pidana yang dapat diberikan pada pelaku ekploitasi seksual terhadap anak melalui media internet, yaitu : 1. Berdasarkan ketentuan pidana pada Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa : Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.200.000.000 (dus ratus juta rupiah) 2. Berdasarkan ketentuan pidana pada Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menyatakan bahwa : Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),ayat (2), ayat (3),atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah )

Berlandaskan

pada

pemikiran

adanya

tarik

menarik

antara

hukum

dan

perkembangan teknologi yang berimbas kepada perubahan masyarakat dengan munculnya cybercrime , maka sepantasnya hukum menjadi landasan atau dasar

86 dalam mengarahkan perkembangan teknologi. Hal ini semata-mata untuk

membangun struktur dan perilaku masyarakat yang lebih baik lagi

87

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
Berdasarkan analisis yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya maka penulis mengambil simpulan sebagai berikut : 1. Perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tindak eksploitasi seksual terhadap anak

melalui media internet pada tindak pidana eksploitasi seksualnya terhadap anak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pedofilia serta pelaku dapat didakwa dengan dakwaan sebagai seorang germo atau mucikari berdasarkan tindak pidana yang telah dilakukan pelaku tersebut, maka pelaku juga telah memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak sedangkan tindak penyebaran gambar video adegan seksual antara pelaku terhadap 5 (lima) anak dibawah umur berdasarkan batasan usia anak pada Pasal 1 ayat(1) melalui media internet melalui alamat situs www.pornchild.com dengan maksud menguntungkan diri pelaku, maka pelaku dapat dikenakan sanksi hukuman pada Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi.

2. Berdasarkan kasus eksploitasi seksual terhadap anak maka pelaku dapat dibuktikan bersalah dengan menggunakan ketentuan hukum mengenai alat bukti yaitu selain Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana juga dapat digunakan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik bahwa pembuktian gambar video porno yang tersebar pada situs

88 www.pornchild.com dapat dijadikan sebagai alat bukti elektronik yang sah dalam menjerat pelaku tindak eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet.

B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian pada masalah tindak pidana eksploitasi seksual pada anak melalui media internet yang dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka penulis menyarankan beberapa hal yang dianggap masih memiliki kekurangan dalam penegakkan hukum di bidang eksploitasi anak melalui media internet, diantaranya : 1. Perlu adanya perhatian khusus pada batasan umur anak sehingga anak-anak yang belum cukup umur terlindungi dari tindakan eksploitasi orang dewasa maupun orang tuanya sendiri baik secara ekonomi dan seksual sehingga penegakkan hukum terhadap perlindungan anak mulai dari penyidikan, penuntutan benar-benar profesional dari penegak hukum dengan cara kebijakan yang berdasarkan pada hak anak dalam peraturan hukum yang melindunginya khususnya pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak .

2. Perlu adanya revisi ulang terhadap isi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana khususnya pada Pasal 184 mengenai alat bukti khususnya pada alat bukti elektronik mengingat semakin berkembangnya kejahatan cybercrime di

89 Indonesia serta pentingnya ratifikasi Convention on Cybercrime yang menjadi dasar pemikiran hukum terhadap kejahatan melalui sistem komputer serta Convention on the Rights of the Child sehingga hak anak dapat terlindungi dengan dasar hukum yang kuat secara internasional agar Indonesia sebagai salah satu anggota PBB tunduk pada isi konvensi internasional tersebut meskipun sudah adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Ratifikasi World Trade Organization (WTO).

3.

Perlunya adanya peningkatan kualitas penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) dalam menangani cybercrime khususnya pada tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak melalui media internet mengingat modus operandi dalam cybercrime ini sangat berbeda dengan kejahatan konvensional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan upaya-upaya pelatihan (training) bagi para penegak hukum mengenai kejahatan yang berkaitan dengan cybercrime. Karena hal ini tentu saja membutuhkan kecermatan para penegak hukum dalam upaya penjeratan terhadap pelaku kejahatan cybercrime.

Anda mungkin juga menyukai