Nama : Herwanti
NIM :
Peristiwa Bom di Solo, Gereja Bethel Injil Sepenuh Kepunton (GBIS Kepunton), Solo, Jawa Tengah, Minggu (25/9/2011) mengakibatkan kurang lebih 22 orang menjadi korban. Berikut data-data korban: Nama korban yang dirawat di RS Dr Oen adalah: 1. Noviati (27) 2. Septi Roidik (22) 3. Restiono (35) 4. Yulianti (78) 5. Haryoko (78) 6. Gon Sin Huan (52) 7. Stefanus Suritno (73) 8. Febriana (44) 9. Olivia Putri Yustini (16) 10. Delviana (18) 11. Febi Pilang (57) Delapan orang rawat jalan di RS Oen, yaitu: 1. Ferdianta (19) 2. Belarmin Boris (18) 3. Sugiyanto (48) 4. Agus Susanto (23) 5. Evi (40) 6. Yohana (15) 7. Beni Tri S (32) 8. Anggraeni Risti (15)
Korban dirawat di RS Brayat Minolyo Solo, yaitu: 1. Soni Kusworo (32) 2. Kardiana Deni Santoso 3. Gresiana (18), warga Jalan Ahmad Yani 27, Gondang, Solo. Terus terang saya sendiri sangat prihatin mendengar kabar ini. Secara saya sendiri sebagai salah satu warga Solo. Semoga saja peristiwa Bom di Solo ini tidak menjalar ke daerah lain. Berharap pemerintah segera menuntaskan kasus Bom di Solo ini.
Ilustrasi/polisi menghadang aksi massa JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto membantah jika Badan Intelijen Negara (BIN) dan aparat kepolisian kecolongan dengan aksi bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa Tengah. Namun sebagian orang berbeda pendapat. Kinerja BIN dinilai kurang efektif dalam mendeteksi sejumlah peristiwa kekerasan dan teror yang terjadi. Kami tidak bilang BIN kecolongan, namun hanya kerjanya kurang efektif dan kurang maksimal, kata Ketua GP Ansor Nusron Wahid di Jakarta, Minggu (25/9/2011) malam. Nusron menambahkan, seharusnya aparat intelijen tidak hanya mengandalkan informasi dari sumber yang resmi. Namun intelijen bisa mengumpulkan data dari pihak sekunder sebagai data pembanding. Agar intelijen jangan hanya terpaku pada sumber pasokan yang resmi, tapi juga yang bukan resmi juga dapat diperoleh, imbuhnya.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR Jeffrie Geovanie mengingatkan peran pemerintah untuk menangkal aksi terorisme. Meski skalanya berkurang, potensi konsolidasi kelompok teroris masih besar. "Pemerintah hendaknya tidak hanya terpaku pada upaya mencari kelompok yang terkait langsung dengan pembom, tapi juga harus meluas ke jaringan yang lebih besar," ujarnya. Jeffrie mengingatkan peristiwa bom bunuh diri tidak berarti membenarkan aksi represif aparat keamanan. Setiap penanganan aksi teror, menurutnya harus dilakukan sesuai ketentuan hukum yang ada. "Jangan sampai kejadian ini digunakan untuk kembali menggunakan cara-cara represif tanpa sasaran yang jelas. Perang melawan teror juga harus tetap di tangan polisi," kata dia.