Anda di halaman 1dari 65

2004

http://www.kalbe.co.id/cdk

ISSN : 0125-913X

144. THT

2004
http. www.kalbe.co.id/cdk
International Standard Serial Number: 0125 913X

144. THT
Daftar isi :
2. Editorial 4. English Summary

Artikel
5. Rinitis Atrofi Rizalina Arwinati Asnir 8. Papiloma Laring pada Anak Bambang Supriyatno, Lia Amalia 11. Kista Duktus Tiroglosus Hafni 13. Rinoskleroma Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah 16. Kanker Nasofaring - Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir R. Susworo 20. Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilofaringitis Akut terhadap Beberapa Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat Retno Gitawati, Ani Isnawati 24. Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja Novi Arifiani 29. Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja Ambar W. Roestam 35. Perawatan Mandiri Pasca Trakeostomi HR Krisnabudhi 41. Vertigo: Aspek Neurologi Budi Riyanto Wreksoatmodjo 47. Terapi Akupunktur untuk Vertigo Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe 52. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)] sebagai Salah satu Sumber Antioksidan Sulistyowati Tuminah 55. Hasil Pemeriksaan Uji Hemaglutinasi pada Penderita Tersangka Demam Berdarah Dengue di Jakarta Tahun 2001 Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Hutauruk 57. Produk Baru 58. Kapsul 59. Informatika Kedokteran 60. Kegiatan Ilmiah 62. Abstrak 64. RPPIK

Keterangan Gambar Sampul : Jaras sistim pendengaran manusia


sumber: http://ivertigo.net 13

EDITORIAL
Cermin Dunia Kedokteran kali ini terbit dengan topik bahasan masalah telinga, hidung dan tenggorokan. Beberapa penyakit seperti rinitis atrofi dan papiloma laring dapat anda jumpai; selain masalah pengaruh lingkungan dalam hal ini kebisingan terhadap fungsi pendengaran khususnya. Tidak ketinggalan pula artikel mengenai kanker nasofaring dan perawatan trakeostomi yang perlu diperhatikan, baik oleh tenaga medis maupun keluarga pasien. Artikel mengenai vertigo juga ikut melengkapi edisi ini Selamat membaca, komentar dan kritik sejawat sekalian tetap kami nantikan

Redaksi

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

2004

International Standard Serial Number: 0125 - 913X KETUA PENGARAH


Prof. Dr. Oen L.H. MSc

REDAKSI KEHORMATAN

PEMIMPIN UMUM
Dr. Erik Tapan

- Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo


Staf Ahli Menteri Kesehatan Departemen Kesehatan RI Jakarta

- Prof. Dr. R Budhi Darmojo


Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang

KETUA PENYUNTING
Dr. Budi Riyanto W.

PELAKSANA
Sriwidodo WS.

- Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, - Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt. Laboratorium Ortodonti MScD, PhD.
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

TATA USAHA
- Dodi Sumarna - Djuni Pristiyanto

ALAMAT REDAKSI
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : cdk@kalbe.co.id http: //www.kalbe.co.id/cdk

- DR. Arini Setiawati


Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

NOMOR IJIN
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

DEWAN REDAKSI

PENERBIT
Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

- Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D

- Prof. Dr. Sjahbanar Zahir MSc.

Soebianto

PENCETAK
PT. Temprint

http://www.kalbe.co.id/cdk PETUNJUK UNTUK PENULIS

Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72. 3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : cdk@kalbe.co.id Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

English Summary
LARYNGEAL PAPILLOMA IN CHILDREN Bambang Supriyatno, Lia Amalia
Dept of Child Health, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, Indonesia

RHINOSCLEROMA Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah


Dept. of ENT, Adam Malik General Hospital, Medan, North Sumatra, Indonesia

ACUPUNCTURE FOR VERTIGO Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe


Dept. of Acupuncture Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta, Indonesia

Laryngeal papilloma is a benign tumor frequently found in children. It is caused by strains of human papilloma virus (HPV) family. Practically all patients with laryngeal papilloma present with hoarseness or a weak voice; chronic cough, paroxysms of chocking; recurrent respiratory infections also may occur. Partial airway obstruction may manifest as stridor or chest retractions. Diagnosis can be confirmed using a flexible fiberoptic laryngoscope to visualize the larynx. Papillomata have a characteristic wart-like appearance, and tend to be concentrated on the free margins of true vocal folds, particularly at the anterior commissure. The mainstay of treatment is surgical ablation. The role of medications such as alphainterferon, acyclovir, ribavirin, and retinoic acid are still debatable.
Cermin Dunia Kedokt.2004: 144; 8-10

Rhinoscleroma is an endemic disease; in Indonesia it is found in North Sulawesi, North Sumatera and Bali. There is still no accurate and successful management method for this problem .
Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 13-15

dmr,raa,fih

Vertigo is a common complaint, referred to dizziness or a sense of imbalance, can be due to vestibular system disorder. The symptoms may cause anxiety and disturb the patients social life. Conventional treatment is still not satisfactory. This is a report of a 50 yearold female with vertigo, treated with acupuncture and showed good improvement.
Cermin Dunia Kedokt.2004; 144; 47-51

ppi,lys

bso, laa

Fate is distinghished but an expensive tutor (Goethe)

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

Artikel
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Rinitis Atrofi
Rizalina Arwinati Asnir
Bagian/SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

ABSTRAK
Rinitis atrofi sering ditemukan pada masyarakat dengan sosial ekonomi rendah, lingkungan yang buruk dan di negara yang sedang berkembang. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai saat ini belum dapat diterangkan secara jelas, sehingga pengobatannya belum ada yang baku. Kata kunci : rinitis atrofi, sosial ekonomi rendah.

PENDAHULUAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta.1-11 Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.1-9 Penyakit ini lebih sering mengenai wanita,1-5,7,11-15 terutama pada usia pubertas.14,7,11,13

Sering ditemukan pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan di lingkungan yang buruk1-3,11-14 dan di negara sedang berkembang.12,16 Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.1-5,7,9,10,14-16 Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.1,2,4,11,17 Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak menolong, dilakukan operasi .1-5,11-15 SINONIM : Ozaena, rinitis fetida, rinitis krustosa.20 KEKERAPAN Beberapa kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai wanita,1-5,7,11-15 terutama pada usia pubertas.1-4,7,11,13 Baser dkk mendapatkan 10 wanita dan 5 pria,8 dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria.9 Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria.20

Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun,8 Jiang dkk berkisar 13-68 tahun9, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun.20 Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk1-3,11-14 dan di negara sedang berkembang.12,16 Di RS H Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37 tahun. ETIOLOGI Etiologi rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan.1-5,7,9,10,14-16 Beberapa teori yang dikemukakan antara lain : 1) Infeksi kronik spesifik 1-4, 7,9,11,12,17 Terutama kuman Klebsiella ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada mukosa hidung manusia. Kuman lain adalah Stafilokokus, Streptokokus dan Pseudomonas aeruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus foetidus ozaena 2) Defisiensi Fe1-4,7,12, vitamin A1,2,5,7,11 3) Sinusitis kronik1,2,5,12,16,18 5) Ketidakseimbangan hormon estrogen1-5,7,11 6) Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun1-4,7,5,7 7) Teori mekanik dari Zaufal4,5 8) Ketidakseimbangan otonom 4,7,12,17

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

9) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS)4,5,17 10) Herediter5,7,17 11) Supurasi di hidung dan sinus paranasal5,16 12) Golongan darah. Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas : rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui4,10 dan rinitis atrofi sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi) dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline granuloma, rinoskleroma dan tbc. PATOLOGI DAN PATOGENESIS Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi epitel skuamous atau atrofik,3,4,5,9,11,12,15,16,19 dan fibrosis dari tunika propria.3,4,12, terdapat pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran3,4,11 dan adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal.3,13 ;oleh karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua:3,4,21 Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen. Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan terapi estrogen. Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel berreaksi positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif.3,4 Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang melekat.10,11 Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang.10,11 Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.7 GEJALA KLINIS DAN PEMERIKSAAN Keluhan biasanya berupa : hidung tersumbat, gangguan penciuman (anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering.1-5,10-12 Pada pemeriksaan ditemui : rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka, sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. Bisa juga ditemui ulat/telur larva (karena bau busuk yang

timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat21 : a. Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir, krusta sedikit. b. Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas. c. Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan : anamnesis, pemeriksaan darah rutin, rontgen foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, Mantoux test, pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.1,2,9,11 Diagnosis Banding Rinitis kronik tbc, rinitis kronik lepra, rinitis kronik sifilis dan rinitis sika.21 KOMPLIKASI4,8,11 Dapat berupa: perforasi septum, faringitis, sinusitis, miasis hidung, hidung pelana. PENATALAKSANAAN Tujuan pengobatan adalah: menghilangkan faktor etiologi dan menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong dilakukan operasi.1,2 Konservatif 1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat sampai tanda-tanda infeksi hilang.1,2 Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12 minggu.3 2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret dan menghilangkan bau. Antara lain : a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau b. Campuran : NaCl NH4Cl NaHCO3 aaa 9 Aqua ad 300 c 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat c. Larutan garam dapur d. Campuran : Na bikarbonat 28,4 g Na diborat 28,4 g NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes. 4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu 5) Preparat Fe 6) Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas1-5,11-14 Sinha, Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan jaringan kelenjar.3 Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3 x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3 bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7 penderita.21 OPERASI Tujuan operasi antara lain untuk: menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya regenerasi. Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 1) Young's operation Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga tahun. 2) Modified Young's operation Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka. 3) Lautenschlager operation Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung. 4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue. 5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation) dengan tujuan membasahi mukosa hidung.4,5,10-14,23 Mewengkang N melaporkan operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak berhasil dengan memuaskan.22 PROGNOSIS Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya.5 KESIMPULAN Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif mukosa dan tulang konka disertai pembentukan krusta.

Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau operatif.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Hidung . Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok . Edisi ke 3. Jakarta : FKUI, 1997; 91-3, 113-4. Mangunkusumo E. Rinitis Atrofi. Dalam : Penatalaksanaan Penyakit dan Kelainan Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta : FKUI, 1992; 90-2. Weir N, Wood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. Dalam : ScottBrown's Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 4/8/26-7. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A Short Practice of Otolaryngology. Madras : All India Publisher, 1993; 202-5. Kumar S. Fundamental of Ear,Nose & Throat Diseases and Head - Neck Surgery. Calcutta : The New Book Stall, 1996; 218-21. Lobo CJ, Hartley C, Farrington WT. Closure of the Nasal Vestibule in Atrophic Rhinitis-A new non surgical technique. J Laryngol Otol 1998; 112 : 543-6. Sayed RH, Elhamd KA, Kader MA. Study of Surfactant Level in Cases of Primary Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 2000; 114 : 254-9. Baser B, Grewal DS, Hiranandani NL. Management of Saddle Nose Deformity in Atrophic Rhinitis. J Laryngol Otol 1990 ; 104 : 404-7. Jiang R,Hsu C,Chen C. Endoscopic Sinus Surgery and Postoperative Intravenous Aminoglycoside in the Atrophic Rhinitis. Am J Rhinol 1998 ; 12 : 325-33. Groves J,Gray RF.A Synopsis of Otolaryngology. 4th Bristol:Wright, 1985; 193-411. Maqbool M. Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 6th ed New Delhi : Jaypee Brothers, 1993; 264-7. Massegur H.Atrophic Rhinitis-Pathology, Etiology and Management. Dalam : XVI Congress of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Sydney, 1997; 1403-6. Maran AGD. Disease of the Nose, Throat and Ear. Singapore : PG Publishing, 1992; 40-1. Colman BH. Disease of the Nose, Throat and Ear and Head and Neck. 14th ed Singapore : ELBS, 1987; 26-7. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, Nose and Throat Diseases. A Pocket Reference. 2nd ed. New York : Georg Thieme Verlag, 1994; 218-9. Hagrass, Gamea AM, Sherief SG.Radiological and Endoscopic Study of the Sinus Maxilla in Primary Atrophic Rhinitis.J Laryngol Otol 1992 ;106: 702-3. Bertrand B, Doyen A, Elloy P. Triosite Implants and Fibrin Glue in the Treatment of Atrophic Rhinitis:Technique and Results. Laryngoscope 1996; 106 : 652-7. Ballenger JJ. Penyakit Telinga ,Hidung, Tenggorok , Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Ahli Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 1-4, 10-5, 229. Hilger PA. Hidung : Anatomi dan Fisiologi Terapan. Dalam : Boies (ed), Buku Ajar Penyakit THT.Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya, C. Jakarta: EGC, 1996; 173-82, 221-2. Samiadi D. Laporan Penanggulangan Beberapa Kasus Rinitis Atrofi. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VII Perhati. Ujung Pandang, 1986; 549-55. Mewengkang N, Samsudin, Sutomo. Penutupan Koana dengan Flap Faring pada Penderita Ozaena Anak. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Konas VII Perhati. Ujung Pandang: 1986; 576-80. Naumann HH. Head and Neck Surgery. Indication, Technique, Pitfalls. Vol.1. New York : Georg Thieme Publishers, 1980; 349-51, 381-2. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 3rd Baltimore : Williams & Wilkins, 1996; 492, 499.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Papiloma Laring pada Anak


Bambang Supriyatno, Lia Amalia
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai di saluran nafas anak; dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas yang dapat mengakibatkan kematian. Etiologi pasti papiloma laring tidak diketahui; diduga berhubungan dengan infeksi human papiloma virus (HPV) tipe 6 dan 11. Beberapa keadaan diduga berperan sebagai faktor predisposisi seperti keadaan ekonomi rendah, higiene yang buruk, infeksi saluran nafas kronik, kelainan imunologis, dan terdapatnya kondiloma akuminata pada ibu. Manifestasi klinis awal biasanya berupa suara serak sampai afonia serta suara tangisan yang abnormal. Papiloma laring pada anak dapat menyebar ke trakea dan bahkan sampai ke paru-paru. Diagnosis papiloma laring ditegakkan berdasarkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laringoskopi langsung. Pada laringoskopi langsung dapat terlihat gambaran tumor menyerupai kembang kol, berwarna kemerahan, rapuh, mudah berdarah, dan pertumbuhannya eksofilik. Tatalaksananya berupa tindakan bedah dikombinasikan dengan fotodinamik; obat-obatan (medikamentosa) kurang berperan. Komplikasi yang mungkin timbul adalah sumbatan jalan nafas serta penyebaran ke paru-paru. Prognosis kurang baik dalam hal rekurensi; pada anak angka rekurensi (kekambuhan) masih cukup tinggi. Kata kunci : papiloma laring, anak, rekurensi

PENDAHULUAN Papiloma laring merupakan tumor jinak proliferatif yang sering dijumpai pada saluran napas anak. Papiloma laring pertama kali dikenal sebagai kutil di tenggorok (warts in the throat) oleh Donalus pada abad ke-17. Mc Kenzie memperkenalkan nama papiloma laring pada abad ke-19.1 Papiloma merupakan neoplasma laring jinak pada anak tetapi dapat juga terjadi pada dewasa. Papiloma laring pada anak dapat menjadi masalah jika menyumbat jalan napas. Selain itu papiloma laring mempunyai kemampuan untuk tumbuh kembali setelah pengangkatan dan meluas ke struktur trakeobronkial.

Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada saluran napas merupakan penyebab potensial papiloma laring. Mc Kenzie membedakan penyakit ini dari tumor lain secara klinis dan menggunakan istilah papiloma.2,3 Papiloma merupakan jenis tumor yang berkembang dengan cepat, walaupun tidak ganas. Tumor ini dapat menyebar ke rongga mulut, hidung, trakea dan paru, tetapi lokasi tersering adalah laring.4,5 Terdapat dua jenis papiloma laring; salah satu adalah papiloma laring juvenilis yang biasanya multipel dan cenderung agresif. Yang lain adalah papiloma laring senilis yang soliter dan kurang agresif tetapi dapat berkembang menjadi ganas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

INSIDENS Papiloma laring lebih sering dijumpai pada anak, 80% pada kelompok usia di bawah 7 tahun.6 Agung7 melaporkan 7 kasus antara 1970-1976, 6 di antaranya di bawah 12 tahun. Sedangkan di Bagian THT RSCM ditemukan 14 kasus antara 1993-1997 dengan usia antara 2,5-18 tahun. ETIOLOGI Etiologi papiloma laring tidak diketahui dengan pasti. Diduga Human Papilloma Virus (HPV) tipe 6 dan 11 berperan terhadap terjadinya papiloma laring. Diduga ada hubungan antara infeksi HPV genital pada ibu hamil dan papiloma laring pada anak.8,9 Hal ini terbukti dengan adanya HPV tipe 6 dan 11 pada kondiloma genital. Walaupun penemuan di atas menunjukkan peran infeksi virus pada papiloma laring, tetapi ada faktor lain yang berperan., mengingat papiloma laring dapat menghilang spontan saat pubertas. Teori yang melibatkan faktor hormonal sebagai salah satu penyebab pertama kali dikemukakan oleh Holinger.10 Terdapat beberapa faktor predisposisi papiloma laring yaitu sosial ekonomi rendah dan higiene yang buruk, infeksi saluran napas kronik, dan kelainan imunologis.3,11-13 HISTOPATOLOGI Gambaran makroskopik papiloma laring berupa lesi eksofitik, seperti kembang kol, berwarna abu-abu atau kemerahan dan mudah berdarah. Tipe lesi ini bersifat agresif dan mudah kambuh, tetapi dapat hilang sama sekali secara spontan. 10 Gambaran mikroskopik menunjukkan kelompok stroma jaringan ikat dan pembuluh darah seperti jari-jari yang dilapisi lapisan sel epitel skuamosa dengan permukaan keratotik atau parakeratotik. Kadang-kadang muncul gambaran sel yang bermitosis.10 MANIFESTASI KLINIS Pada awalnya adalah gangguan fonasi berupa suara serak sampai afonia dan suara tangisan abnormal pada anak. Bila papiloma cukup besar dapat menyebabkan gangguan pernapasan berupa batuk, sesak, dan stridor inspirasi. Penyebaran ke trakea dan bronkus jarang ditemukan, tetapi dapat terjadi pada pasien dengan riwayat ekstirpasi papiloma atau riwayat trakeostomi sebelumnya, yang menimbulkan sumbatan saluran napas atau penyakit parenkim paru. 14-16 Sumbatan saluran napas atas dapat dibagi menjadi 4 derajat berdasarkan kriteria Jackson. Jackson I ditandai dengan sesak, stridor inspirasi ringan, retraksi suprasternal, tanpa sianosis. Jackson II adalah gejala sesuai Jackson I tetapi lebih berat yaitu disertai retraksi supra dan infraklavikula, sianosis ringan, dan pasien tampak mulai gelisah. Jackson III adalah Jackson II yang bertambah berat disertai retraksi interkostal, epigastrium, dan sianosis lebih jelas, sedangkan Jackson IV ditandai dengan gejala Jackson III disertai wajah yang tampak tegang, dan terkadang gagal napas.7,11 DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis yang teliti,

pemeriksaan fisis, dengan laringoskopi langsung atau tak langsung serta dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Pada anamnesis jika terdapat suara serak dan suara tangisan yang abnormal pada anak dengan atau tanpa riwayat infeksi yang telah diobati tetapi tidak ada perubahan, maka perlu dicurigai suatu papiloma laring. Biasanya terdapat stridor inspirasi dan pada pemeriksaan laringoskopi langsung tampak gambaran tumor yang menyerupai kembang kol, kemerahan, rapuh, dan mudah berdarah, serta pertumbuhannya eksofilik. Penyebaran ke trakea dan paru dapat diidentifikasi melalui foto toraks dan CT Scan. Pada foto toraks dapat terlihat gambaran kavitas.17 Diagnosis banding Diagnosis sulit terutama pada fase awal. Sering disalah diagnosis dengan laringo-trakeo-bronkitis, asma bronkial, laringomalasea, paralisis pita suara, nodul pita suara atau kista laring kongenital. Diagnosis harus dikonfirmasi dengan laringoskopi langsung dan biopsi.15 PENATALAKSANAAN Ada beberapa perangkat dalam tatalaksana papiloma laring, semuanya mempunyai prinsip sama yaitu mengangkat papiloma dan menghindari rekurensi. Umumnya terapi dapat dikategorikan sebagai berikut : a. Bedah Terapi bedah harus berdasarkan prinsip pemeliharaan jaringan normal untuk mencegah penyulit seperti stenosis laring. Prosedur bedah ditujukan untuk menghilangkan papiloma dan/atau memperbaiki dan mempertahankan jalan napas. Beberapa teknik yang digunakan antara lain: trakeostomi, laringofissure, mikrolaringoskopi langsung, mikrolaringoskopi dan ekstirpasi dengan forseps, mikrokauter, mikrolaringoskopi dengan diatermi, mikrolaringoskopi dengan ultrasonografi, kriosurgeri, carbondioxide laser surgery.17,18 Pada kasus papiloma laring yang berulang, terapi bedah pilihan adalah pengangkatan tumor dengan laser CO2. b. Medikamentosa Pemberian obat (medikamentosa) pernah dilaporkan baik digunakan secara sendiri maupun bersama-sama dengan tindakan bedah. Obat yang digunakan antara lain antivirus, hormon (dietilstilbestrol), steroid, dan podofilin topikal. Terapi medikamentosa ini tidak terlalu bermanfaat.18-20 c. Imunologis Terapi imunologi untuk papiloma laring umumnya hanya suportif menggunakan interferon.18 d. Terapi fotodinamik Terapi ini merupakan satu dari perangkat terbaru dalam tatalaksana papilomatosis laring rekuren.14 Terapi ini menggunakan dihematoporphyrin ether (DHE) yang tadinya dikembangkan untuk terapi kanker. Jika diaktivasi dengan cahaya dengan panjang gelombang yang sesuai (630 nm), DHE menghasilkan agen sitotoksik yang secara selektif menghancurkan sel-sel yang mengandung substansi tersebut. Basheda dkk. melaporkan bahwa terapi fotodinamik efektif menghilangkan lesi endobronkial, tetapi tidak untuk lesi parenkim.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

KOMPLIKASI Pada umumnya papiloma laring pada anak dapat sembuh spontan ketika pubertas; tetapi dapat meluas ke trakea, bronkus, dan paru, diduga akibat tindakan trakeostomi, ekstirpasi yang tidak sempurna.13 Meskipun jarang, radiasi diduga menjadi faktor yang mengubah papiloma laring menjadi ganas. PROGNOSIS Prognosis papiloma laring umumnya baik. Angka rekurensi (berulang) dapat mencapai 40%. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi pada papiloma.16 Diagnosis dini dan penanganan yang tepat diduga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap rekurensi. Penyebab kematian biasanya karena penyebaran ke paru.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. Harley C, Hamilton, Birzgalis AR. Recurrent respiratory papillomatosis. The Manchester experience 1974-1992. Laryngol and Otol 1994; 108:226-9. Kohlmoos HW. Papilloma of the larynx in children. Arch Otolaryngol 1995; 11:242-52. Elo J, Hidvigi J, Bajtai A. Papova viruses and recurrent laryngeal papillomata. Arch Otolaryngol 1995; 115:322-5. Erisen L, Fagan JJ, Myers EN. Late recurrences of laryngeal papillomatosis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1996; 122:942-4. Kashima H, Mounts P, Leventhal B. Sites of predilection in recurrent respiratory papillomatosis. Ann Otol Rhinol Laryngol 1993; 102:580-3. Steinberg BM, Topp WC, Schneider PS, et al. Laryngeal papillomavirus infection during clinical remission, N Engl J Med 1983; 308:1261-4.

7. 8.

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

Agung IB, Losin. Pengelolaan papiloma laring di Bagian THT FK-UGM. Laporan pendahuluan KONAS PERHATI V Semarang, 1977; .h.669-75. Smith EM, Pignatari SSN, Gray SD. Human papillomavirus infection in papillomas and nondisease respiratory sites of patients with recurrent respiratory papillomatosis using the polymerase chain reaction. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1993; 119:554-7. Derkay CS. Task force on recurrent respiratory papillomas. A preliminary study. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1995; 121:1386-91. Abramson AL, Steinberg BM, Winkler B. Laryngeal papillomatosis: clinical histopathologic and molecular studies. Laryngoscope 1987; 97:678-85. Yasin AR. Penelitian pendahuluan pada papiloma laring. Skripsi. THT FKUI, 1982. Mulloly VM, Abramson AL, Steinberg BM. Clinical effect of alpha interferon dose variation on laryngeal papillomas. Laryngoscope 1998; 98:1324-9. Bashida SG, Mehta AC, de Boer G, Orlowski JP. Endobronchial and parenchymal juvenile laryngotracheobronchial papillomatosis effect of photodynamic therapy. Chest 1991; 100:1458-64. Shikowitz MJ. Comparison of pulsed and continuous wave light in photodynamic therapy of papillomas: An experimental study. Laryngoscope 1992; 102:300-10. Ossof RH, Werkheven JA, Dere H. Soft tissue complication of laser surgery for reccurent papillomatosis. Laryngoscope 1991; 101:1162-6. Rimell EM, Shoemaker DL, Pou AM. Pediatric respiratory papillomatosis. Prognostic role of viral typing and cofactors. Laryngoscope 1997; 107:915-47. White A, Haliwell M, Fairman DH. Ultrasonic treatment of laryngeal papillomata. Bristol General Hospital. h.249-60. Haglund S, Lundwuist P, Cantell K. Interferon therapy in juvenile laryngeal papillomatosis. Arch Otolaryngol 1981; 107:327-32 Green GE, Bauman NM, Smith RJH. Pathogenesis and treatment of juvenile onset recurrent respiratory papillomatosis. Otolaryngol Clin N Am 2000; 33:187-207. Derkay CS, Darrow DH. Recurrent respiratory papillomatosis of the larynx. Current Diagnosis and Treatment. Otolaryngol Clin N Am 2000; 33:1-12.

10

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Kista Duktus Tiroglosus


Hafni
Bagian/ SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

ABSTRAK Kista duktus tiroglosus merupakan 70 % dari kasus kista yang ada di leher. Kista ini lebih sering terjadi pada anak. Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan yaitu dengan mengangkat kista beserta duktusnya. Kata kunci : Kista duktus tiroglosus, kekambuhan

PENDAHULUAN Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang menetap sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid, yaitu dari foramen sekum sampai kelenjar tiroid bagian superior di depan trakea.1-11 Kista ini merupakan 70% dari kasus kista yang ada di leher.4,5 Kista ini biasanya terletak di garis median leher, dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar tiroid.4-10,12 Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus yang banyak dilakukan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan, yaitu dengan mengangkat kista beserta duktusnya, bagian tengah korpus hiod, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen saekum serta mengangkat otot lidah di sekitarnya, seperti yang dilakukan Sistrunk pada tahun 1920.1,3,4,5,9,10,13 KEKERAPAN Beberapa penulis menyatakan bahwa kasus ini merupakan kasus terbanyak dari massa non neoplastik di leher, merupakan 40% dari tumor primer di leher.1,13,14 Ada penulis yang menyatakan hampir 70% dari seluruh kista di leher adalah kista duktus tiroglosus.5,6 Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak,10,14 walaupun dapat ditemukan di semua usia.4,9,10,12 Predileksi umur terbanyak antara umur 0 20 tahun yaitu 52%, umur sampai 5 tahun terdapat 38%.4,11 Sistrunk (1920) melaporkan 31 kasus dari + 86.000 pasien anak.3 Tidak terdapat perbedaan risiko terjadinya kista berdasarkan jenis kelamin dan umur yang bisa didapat dari lahir sampai 70 tahun, rata-rata pada usia 5,5 tahun.3,5

Penulis lain mengatakan predileksi usia kurang dari 10 tahun sebesar 31,5%, pada dekade ke dua 20,4%, dekade ke tiga 13,5% dan usia lebih dari 30 tahun sebesar 34,6%.1,5 Waddell mendapatkan 28 kasus kista duktus tiroglosus secara histologik dari 61 pasien yang diduga menderita kista tersebut.12 Tri D dkk melaporkan 8 kasus kista duktus tiroglosus dari 1983-1985 di RS Kariadi Semarang.11 PATOGENESIS Terdapat dua teori yang dapat menyebabkan terjadinya kista duktus tiroglosus : 1) infeksi tenggorok berulang akan merangsang sisa epitel traktus, sehingga mengalami degenerasi kistik. 2) sumbatan duktus tiroglosus akan mengakibatkan terjadinya penumpukan sekret sehingga membentuk kista. Teori lain mengatakan mengingat duktus tiroglosus terletak di antara beberapa kelenjar limfe di leher, jika sering terjadi peradangan, maka epitel duktus juga ikut meradang, sehingga terbentuklah kista.1 LOKASI Kista duktus tiroglosus dapat tumbuh di mana saja di garis tengah leher, sepanjang jalur bebas duktus tiroglosus mulai dari dasar lidah sampai ismus tiroid.11 Lokasi yang sering adalah1,5 : - intra lingual : 2,1% - suprahioid : 24,1% - tirohioid : 60,9% - suprasternal : 12,9% Sedangkan Ward4 mendapatkan dari 72 pasien dengan kista duktus tiroglosus, lokasinya terdapat di:

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

11

- submental : 2 - suprahioid : 18 - transhioid : 2 - infrahioid : 43 - suprasternal : 3 Hanlon mendapatkan 1 kasus kista duktus tiroglosus yang lokasinya jauh ke lateral.8 GEJALA KLINIK Keluhan yang sering terjadi adalah adanya benjolan di garis tengah leher, dapat di atas atau di bawah tulang hioid. Benjolan membesar dan tidak menimbulkan rasa tertekan di tempat timbulnya kista. Konsistensi massa teraba kistik, berbatas tegas, bulat, mudah digerakkan, tidak nyeri, warna sama dengan kulit sekitarnya dan bergerak saat menelan atau menjulurkan lidah.1,6,7,10 Diameter kista berkisar antara 2-4 cm, kadangkadang lebih besar.9 Bila terinfeksi, benjolan akan terasa nyeri. Pasien mengeluh nyeri saat menelan dan kulit di atasnya berwarna merah. DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik; yang harus dipikirkan pada setiap benjolan di garis tengah leher. Untuk fistula, diagnosis dapat ditegakkan menggunakan suntikan cairan radioopak ke dalam saluran yang dicurigai dan dilakukan foto Rontgen.2,6,11 Diagnosis Banding 1. Lingual tiroid 2. Kista dermoid 3. 4. Kista brankial Lipoma1,11

4) Kista dipisahkan dari jaringan sekitarnya, sampai tulang hioid. Korpus hioid dipotong satu sentimeter. 5) Pemisahan diteruskan mengikuti jalannya duktus ke foramen sekum. Duktus beserta otot berpenampang setengah sentimeter diangkat. Foramen sekum dijahit, otot lidah yang longgar dijahit, dipasang drain dan irisan kulit ditutup kembali.5,11 KOMPLIKASI Fistel duktus tiroglosus dapat timbul spontan atau sekunder akibat trauma, infeksi atau operasi yang tidak adekuat. Kejadian fistel ini antara 15-34%.5 KESIMPULAN Kista duktus tiroglosus merupakan kista yang terbentuk dari duktus tiroglosus yang tetap ada sepanjang alur penurunan kelenjar tiroid. Kista ini merupakan 70% dari kasus kista yang ada di leher. Biasanya terletak di garis median leher yang dapat ditemukan di mana saja antara pangkal lidah dan batas atas kelenjar tiroid. Kasus ini lebih sering terjadi pada anak-anak, walaupun dapat ditemukan pada semua usia. Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus dengan cara Sistrunk yang sudah banyak dilakukan saat ini bertujuan untuk memperkecil angka kekambuhan.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Maran AGD. Benign diseases of the neck. Dalam : Scott-Browns Otolaryngology. 6th ed. Oxford : Butterworth - Heinemann, 1997; 5/16/14. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi 13. Jilid 1. Alih Bahasa : Staf Pengajar Bag. THT FKUI. Jakarta : Bina Rupa Aksara, 1994; 295-6, 381-2. Cohen JI. Massa Jinak Leher. Dalam Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6, Alih Bahasa : Wijaya C. Jakarta : EGC, 1996; 415-21. Karmody CS. Developmental Anomalies of the Neck. Dalam: Pediatric Otolaryngology. 2nd ed. Bluestone CD, Stool SE, Scheetz MD (eds.). Philadelphia : WB Saunders Co, 1990; 1313-14. Sobol M. Benign Tumors. Dalam : Comprehensive Management of Head and Neck Tumors. Vol. 2. Thawley S, Panje WR (eds.). Philadelphia : WB Saunders Co, 1987; 1362-69. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. 2nd ed. Vol. II. Philadelphia : Lea & Febiger, 1989; 88. Colman BH. Disease of Nose, Throat and Ear and Head and Neck, A Handbook for Students and Practitioners. 14th ed. Singapore : ELBS, 1987; 183. OHanlon DM, Walsh N, Corry J et al. Aberrant thyroglossal cyst. J. Laryngol. Otol. 1994; 108 : 1105-7. Pincu RL. Congenital Neck Masses and Cysts. Dalam : Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Vol. 1. Bailey JB, Johnson JT, Kohut RI et al. Philadelphia : JB Lippincott Co, 19; 755. Ellis PDM. Branchial cleft anomalies, thyroglossal cysts and fistulae. Dalam : Scott-Browns Otolaryngology. 6th ed. Oxford: Butterworth Heinemann, 1997; 6/30/8-12. Damijanti T, Suparjadi S, Samsudin. Tata Laksana Kiste Duktus Tiroglosus di UPF THT RSDK Semarang Th. 1983 - 1985. Dalam : Kumpulan Naskah Konas VI Perhati. Ujung Pandang. 1986; 760-7. Waddell A, Saleh H, Robertson N et al. Thyroglossal duct remnants. J. Laryngol. Otol. 2000; 114: 128-9. Urben SL, Ransom ER. Fusion of the thyroid interval in a patient with a thyroglossal duct cyst. Otolaryngol. Head and Neck Surg. 120 (5): 757-9. Greinwald JH, Leichtman LG, Simko MEJ. Hereditary Thyroglossal Duct Cyst. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1996; 122: 1094-6.

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kista duktus tiroglosus bervariasi dan banyak macamnya, antara lain insisi dan drainase, aspirasi perkutan, eksisi sederhana, reseksi dan injeksi dengan bahan sklerotik. Dengan cara-cara tersebut angka kekambuhan dilaporkan antara 60-100%. Schlange (1893) melakukan eksisi dengan mengambil korpus hioid dan kista beserta duktusduktusnya;dengan cara ini angka kekambuhan menjadi 20%.11 Sistrunk (1920) memperkenalkan teknik baru berdasarkan embriologi, yaitu kista beserta duktusnya, korpus hioid, traktus yang menghubungkan kista dengan foramen sekum serta otot lidah sekitarnya kurang lebih 1 cm diangkat. Cara ini dapat menurunkan angka kekambuhan menjadi 2-4 %.5,11 Cara Sistrunk : 1) Penderita dengan anestesi umum dengan tube endotrakea terpasang, posisi terlentang, kepala dan leher hiperekstensi. 2) Dibuat irisan melintang antara tulang hioid dan kartilago tiroid sepanjang empat sentimeter. Bila ada fistula, irisan berbentuk elips megelilingi lubang fistula. 3) Irisan diperdalam melewati jaringan lemak dan fasia; fasia yang lebih dalam digenggam dengan klem, dibuat irisan memanjang di garis media. Otot sternohioid ditarik ke lateral untuk melihat kista di bawahnya.

12

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Rinoskleroma
Delfitri Munir, Rizalina A Asnir, Firmansyah
Bagian/ SMF Telinga Hidung dan Tenggorokan-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

ABSTRAK Rinoskleroma merupakan penyakit endemik, di Indonesia terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali. Belum ada cara penanggulangan yang tepat dan memuaskan untuk penyakit ini sampai sekarang.

PENDAHULUAN Rinoskleroma adalah penyakit yang jarang di Amerika Serikat dan Inggris, tapi endemik di beberapa negara di Asia, Amerika, Eropa dan Afrika.1-7 Di Indonesia, rinoskleroma telah dilaporkan sejak sebelum perang dunia ke dua. Kasus pertama ditemukan oleh Snigders dan Stoll (1918) di Sumatera Utara.2 Dilaporkan banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.1,8 Pengobatan meliputi medikamentosa, radiasi dan pembedahan, namun sampai sekarang belum ada cara tepat yang memberikan hasil memuaskan.6,8 Rinoskleroma adalah penyakit menahun granulomatosa yang bersifat progresif, mengenai traktus respiratorius bagian atas terutama hidung. Penyakit ini ditandai dengan penyempitan rongga hidung sampai penyumbatan oleh suatu jaringan granulomatosa yang keras serta dapat meluas ke nasofaring, orofaring, subglotis, trakea dan bronkus. Rinoskleroma disebabkan oleh bacilus gram negatif (Klebsiella rhinoscleromatis).1,8-10 Penyakit ini pertama kali digambarkan oleh Von Hebra (1870). Mikulitz menemukan sel-sel yang dianggap khas untuk penyakit ini dan Von Frisch menemukan basil jenis Klebsiella yang dianggap sebagai penyebab penyakit ini.2,8,9 Infeksi biasanya dimulai dari bagian anterior hidung sebagai plak submukosa yang lembut, meluas secara bertahap menjadi nodul padat yang tidak sensitif, dan dalam beberapa tahun akan mengisi dan menyumbat hidung. Bila tidak diterapi akan meluas ke bibir atas dan hidung bawah sehingga me-

nimbulkan deformitas yang luas.8,10 Diagnosis berdasarkan perjalanan klinis dan pemeriksaan patologi spesimen yang memperlihatkan sel-sel Mikulicz yang khas dan bakteri berbentuk batang dalam sitoplasma.5,7 INSIDEN Rinoskleroma dapat mengenai semua usia, tetapi sering pada dewasa muda.1,2,9 Kebanyakan penderita ditemukan pada dekade dua dan tiga. Penyakit ini sering dijumpai pada sosial ekonomi yang rendah, lingkungan hidup yang tidak sehat dan gizi yang jelek.1,2 Belinoff melaporkan 94,5 % terdapat pada golongan pekerja kasar seperti petani.8 Fisher menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan.8,9,11 Penyakit ini merupakan penyakit endemik di Polandia, Cekoslovakia, Rumania, Rusia, Ukraina, Guatemala, Salvador, Kolumbia, Mesir, Uganda, Nigeria, India, Philipina dan Indonesia.2-4,7,9,11,13-16 Di Indonesia banyak terdapat di Sulawesi Utara, Sumatera Utara dan Bali.1,8 ETIOLOGI Rinoskleroma disebabkan oleh Klebsiela rhinoskleromatis yang merupakan basil Gram negatif.1-16 Penyakit ini juga dihubungkan dengan AIDS dan defisiensi sel T.2,7 HISTOPATOLOGI Penyakit rinoskleroma adalah penyakit radang menahun granulomatosa dari submukosa dengan gambaran histo-

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

13

patologis yang khas, berupa hiperplasi dan hipertrofi epitel permukaan, jaringan ikat di bawah epitel berbentuk trabekula dan di infiltrasi oleh sel-sel besar dengan vakuola pada sitoplasma. Sel-sel ini mempunyai inti di tepi dan di dalam vakuola terdapat banyak basil berbentuk batang yang kemudian dikenal sebagai basil dari Von Frisch. Di samping itu terdapat pula sebukan sel-sel plasma, limfosit dan histiosit. Sel-sel besar dengan vakuola dan basil-basil tersebut kemudian dikenal dengan sel-sel dari Mikulicz. Sel-sel ini menurut Fischer dan Hoffman penting dalam menegakkan diagnosis penyakit rinoskleroma. Toppozada mengemukakan bahwa sel ini berasal dari sel-sel plasma yang banyak terdapat pada penyakit ini.9 Secara histopatologis penyakit ini terdiri dari tiga stadia; yang menunjukkan gambaran khas adalah stadium granulomatosa2,9,12 1. Stadium kataral/ atropik Metaplasi skuamosa dan infiltrasi subepitel nonspesifik dari sel PMN dengan jaringan granulasi. 2. Stadium granulomatosa Gambaran diagnostik ditemukan pada stadium ini berupa sel radang kronik, Russel body, hiperplasi pseudo epiteliomatosa, histiosit besar bervakuola yang mengandung Klebsiella rhinoskleromatis (Mikulicz sel). 3. Stadium sklerotik Fibrosis yang luas, yang menyebabkan stenosis dan kelainan bentuk. GEJALA KLINIS Gejala tergantung pada area, perluasan dan lamanya penyakit.1 Di hidung dapat dibedakan menjadi tiga stadium 1,2,8-11,14: - Stadium I (Kataralis, Atrofi, Eksudasi) Ditemukan pada usia sekolah. Gambaran penyakit pada stadium ini tidak khas, sering seperti rinitis biasa. Dimulai dengan cairan hidung encer, sakit kepala, sumbatan hidung yang berkepanjangan, kemudian diikuti cairan mukopurulen berbau busuk; dapat terjadi gangguan penciuman. - Stadium II (Granulomatous, Infiltratif, Noduler) Ditandai dengan hilangnya gejala rinitis. Terjadi pertumbuhan yang disebut nodular submucous infiltration di mukosa hidung yang tampak sebagai tuberkel di permukaan hidung. Lama-lama tuberkel ini bergabung menjadi satu massa noduler yang sangat besar, mudah berdarah, kemerahan, tertutup mukosa dengan konsistensi padat seperti tulang rawan. Kemudian terjadi invasi, dapat ke arah posterior (nasofaring) maupun ke depan (nares anterior). - Stadium III (Skleromatous, Stenosis, Sikatrik) Massa secara perlahan-lahan menjadi avaskuler dan terjadi fibronisasi yang diikuti oleh adhesi struktur jaringan lunak, kontraksi jaringan yang akhirnya membentuk jaringan parut dan penyempitan jalan nafas. Pada stadium ini sel-sel Mikulicz sulit ditemukan. Proses yang sama dapat terjadi pada mulut, faring, laring, trakea dan bronkus.

Keluhan penderita sesuai dengan stadiumnya. Pada stadium I, hanya pilek yang tidak mau sembuh dengan pengobatan biasa. Lebih lanjut rongga hidung mulai dipenuhi krusta yang menyebabkan hidung tersumbat dan berbau busuk serta mukosa hidung menjadi kemerahan. Pada stadium II, di samping keluhan hidung tersumbat juga sering terjadi perdarahan dari hidung. Pada stadium ini biasanya penyakit mudah dikenali. Dari pemeriksaan, kavum nasi dipenuhi oleh jaringan yang mudah berdarah, kemerahan, konsistensi padat, permukaan licin tanpa ulkus. Pada stadium ini penyakit mudah meluas sampai ke traktus respiratorius bagian bawah. Stadium III adalah stadium yang sudah tenang dengan keluhan dan gejala dari sisa kelainan yang menetap akibat proses sikatrisasi dan kontraksi konsentrik jaringan granulomatosa yang mengeras.1,6,8,11 DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik yang meliputi : rinoskopi anterior/posterior, laringoskopi indirek/direk dan bronkoskopi, ditambah dengan pemeriksaan penunjang seperti radiologi, bakteriologi, histopatologi, serologi (test komplemen fiksasi, test aglutinasi) dan imunokimia.1,2,7,810,14,15 Diagnosis Banding2,7,13,15 1. Proses infeksi granulomatosa a. Bakteri : Tuberkulosis, Sifilis, Lepra b. Jamur : Histoplasmosis, Blastomikosis, Sporotrikosis, Koksidioidomikosis c. Parasit : Leismaniasis mukokutaneus 2. Sarkoidosis 3. Wegener granulomatosis PENATALAKSANAAN Meliputi : medikamentosa, radiasi dan tindakan bedah; namun sampai sekarang belum ada cara yang tepat dan memuaskan.6,8 1. Medikamentosa Antibiotik sangat berguna jika hasil kultur positif, tetapi kurang berharga pada stadium sklerotik. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain: - Streptomisin : 0,5-1 g/ hari - Tetrasiklin : 1-2 g/ hari - Rifampisin 450 mg/ hari - Khloramphenikol, Siprofloksasin, Klofazimin1,2,710,11,13-15

Terapi antibiotik diberikan selama 4-6 minggu dan dilanjutkan sampai dua kali hasil pemeriksaan kultur negatif.8 Rolland menggunakan kombinasi Streptomisin dan Tetrasiklin dengan hasil yang memuaskan.9 Steroid dapat diberikan untuk mencegah sikatrik pada stadium granulomatosa.3,10 2. Radiasi Terapi radiasi pernah diberikan oleh Massod, tetapi hasilnya belum memuaskan.8,11

14

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

Dilatasi Cara dilatasi dapat dicoba untuk melebarkan kavum nasi dan nasofaring terutama bila belum terjadi sumbatan total.1,9 4. Pembedahan Tindakan ini dilakukan pada jaringan skleroma yang terbatas di dalam rongga hidung, sehingga pengangkatan dapat dikerjakan dengan mudah secara intranasal. Jika terjadi sumbatan jalan nafas (seperti pada skleroma laring) harus dilakukan trakeostomi.1,4,7,9,10,13,14,16 KOMPLIKASI Komplikasi dapat timbul akibat perluasan penyakit ke : 1. Organ sekitar hidung : - Sinus paranasal - Saluran lakrimal (dakrioskleroma) - Orbita : proptosis, kebutaan - Telinga bagian tengah (otoskleroma) - Palatum mole, uvula, orofaring 2. Laring, sering timbul di daerah subglotik yang mengakibatkan kesukaran bernafas, asfiksia dan kematian. 3. Saluran nafas bawah: sumbatan trakeobronkial, atelektasis paru. 4. Intrakranial Di samping akibat perluasan penyakit, komplikasi dapat juga timbul berupa perdarahan (pada stadium granulomatosa) dan berdegenerasi maligna.1
KEPUSTAKAAN 1. Pranowo S, Ahmad M, Wiratno dkk. Rinoskleroma di RS. Dr. Kariadi Semarang. Dalam Kumpulan naskah lengkap ilmiah KONAS VII PERHATI. Surabaya, Agustus. 1983; h 457-66.

3.

2. 3. 4.

5. 6. 7. 8.

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

http//www.atlases.muni.ce/atl-en/sect-sect-58/html. Hilger PA. Penyakit hidung. Dalam Boies (ed). Buku Ajar penyakit THT. Ed VI. EGC. Jakarta, 1997. h 210. Yigla M, Ben-izhak O, Oren I et al. Laryngotracheobronchial involvement in a patient with nonendemic rhinoscleroma. Chest. June 2000. http//www.afip.org/departements/endocrine/case/dec00/december2 htm. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious disease of the paranasal sinuses. In: Otolaringology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; p. 1851-52. Balenger JJ. Granuloma kronis pada muka, hidung, faring dan telinga. Dalam: Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Jilid I. ed 13. Binarupa Aksara. Jakarta, 1994; h 368-70. Groves C. Department of pathology. Vol 17. No 4. January. 1998. http//www.162.129.103.32/micro/v17n04.htm. Suardana W, Masna PW, Tjekeg M dkk. Beberapa aspek penyakit rinoskleroma di bagian THT FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar. Dalam : Kumpulan Naskah KONAS VI PERHATI. Medan, Juli. 1980; h 128-34. Desasouza S, Chitale A. Scleroma. In XVI World Congress of Otorhinolaringology head and neck surgery. Vol 1. Monduzzi. Sydney: March. 1997; p. 603-7. Ramalingam KK, Sreemamoorthy B. Infections of the nose. In A Short Practice of Otolaryngology. ed I India: All India Publishers. 1993; p. 2089. Wein N. Infective rhinitis and sinusitis. In Scott-Browns Otolaryngology. Vol IV. Ed VI. Butterworth-Heinemann. Great Britain: 1997; h 4/8/34-35 Rhinoscleroma http//www.thedoctorsdoctor.com/diseases/rhinoscleroma. htm Colman BH. Diseases of the nasal cavity. In: Diseases of the nose, throat and ear and head and neck. ed IV. Longman Singapore Publ. 1990; p. 40. Fried MP, Shapiro J. Acute and chronic laryngeal infections. In Otolaryngology. Vol III. Ed III. USA: WB Saunders Co. 1991; h 224556. Becker W, Nauman HH, Pfaltz CR. Ear, nose and throat diseases. Ed II. New York: Thieme medical publishers inc. 1993; p. 206-7. Maran AGD. Benign Tumours and Granulomas in Nose, Throat and Ear. Ed X. PG Publishing. 1990; p. 61.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

15

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Kanker Nasofaring
Epidemiologi dan Pengobatan Mutakhir
R. Susworo
Guru Besar dan Spesialis Radiologi (Konsultan) Radioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Telah diketahui sejauh ini bahwa proses terjadinya penyakit kanker berlangsung dalam tahapan tahapan yang disebut sebagai mekanisme karsinogenesis. Bermula dari terjadinya defek atau kesalahan letak susunan DNA dalam sel manusia yang mengakibatkan tidak terkontrolnya mekanisme pertumbuhan sel. Sel akan tumbuh tidak normal dan berlebihan. Berbagai faktor telah diketahui atau dicurigai sebagai penyebab terjadinya kekacauan struktur ini. Antara lain disebutkan faktor makanan, seperti konsumsi lemak yang terlalu tinggi, pola hidup, seperti perokok berat, faktor eksternal seperti sinar ultraviolet dan sinar radioaktif, pajanan pada bahan kimia atau oleh virus. Berbagai kekacauan struktur ini telah dapat diidentifikasi oleh para pakar, misalnya kelainan pada struktur gen BRCA1 dan BRCA2 selalu diasosiasikan dengan kanker payudara atau indung telur (ovarium), atau gen HLA A2B46 pada pasien kanker nasofaring. Perubahan genetik ini mengakibatkan proliferasi sel sel kanker secara tidak terkontrol. Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom (chromosome breaks) dan delesi pada sel sel somatik. Sebagian lagi bersifat diturunkan Adakalanya manifestasi kanker ini memerlukan pula pemicu, terutama pada kelainan struktur gen yang diturunkan. KANKER NASOFARING (KNF) Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior dari kavum nasi dan di atas bagian bebas dari langit langit lunak. Yang disebut KNF adalah kanker yang terjadi di selaput lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya saluran Eustachii yang menghubungkan liang telinga tengah dengan ruang faring. Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per tahun per 100.000 penduduk1. Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan KNF pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Dijumpai 16 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

lebih banyak pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1 wanita. Apabila kita melihat distribusi penyakit ini di seluruh dunia, maka KNF paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping Mediteranian, dan beberapa ras di Afrika bagian utara. Di Hongkong tercatat sebanyak 24 pasien KNF per tahun per 100.000 penduduk, sedangkan angka rata rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000.2 Bandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun.3 Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian KNF pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat. Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya KNF antara para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, dimana kelompok Tionghoa menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya KNF pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih mengandung gen yang memudahkan untuk terjadinya KNF, tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.

Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu (boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari negaranya. Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura. Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per 100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000). 4 Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), (yang dinamai sesuai dengan penemunya, Epstein dan Barr pada limfoma Burkitt pada 1960), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan. Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, KNF tidak pernah dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.5 Peneliti lainnya mencoba menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam lainnya seperti udang asin, telur asin. Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine= CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB6. GEJALA KLINIS KNF Karena tidak ada gejala spesifik yang dijumpai pada penderita KNF, terlebih pada stadium dini, banyak kasus yang terlambat didiagnosis. Berbeda halnya dengan kanker leher rahim dan kanker payudara yang masing-masing dapat terdeteksi dengan metode pemeriksaan sitopatologik Papanicolaou dan mamografi; sampai saat ini belum ada metode penyaring yang paling efektif untuk deteksi dini KNF. Pemeriksaan titer antibodi IgA terhadap antigen yang diproduksi oleh virus Epstein Barr ternyata hanya bernilai untuk mengevaluasi respons dan kemungkinan terjadinya kekambuhan.

Pada awalnya pasien mengeluh pilek pilek biasa, kadang kadang disertai dengan rasa tidak nyaman di telinga, pendengaran sedikit menurun serta mendesing. Lendir dari hidung dapat disertai dengan perdarahan yang berulang. Pada keadaan lanjut hidung akan menjadi mampet sebelah atau keduanya. Penjalaran tumor ke selaput lendir hidung dapat mencederai dinding pembuluh darah daerah ini dan tentunya akan terjadi perdarahan dari hidung (mimisan). Keluhan telinga dapat diterangkan sebagai akibat penyumbatan muara saluran Eustachii yang berfungsi menyeimbangkan tekanan dalam ruang telinga tengah dan udara luar. Pembesaran kelenjar leher merupakan pertanda penyebaran KNF ke daerah ini yang tidak jarang didiagnosis sebagai tuberkulosis kelenjar. Pemberian pengobatan terhadap pembesaran kelenjar yang dianggap tbc tanpa pemeriksaan yang benar tentunya akan sangat merugikan penderita secara moril maupun materiil mengingat pengobatan tbc memerlukan waktu yang lama. Manakala pasien merasa bahwa kelenjar leher menjadi makin besar, maka dapat dipastikan bahwa penyakitnya telah menjadi kian lanjut. Keterlambatan diagnosis lain yang pernah terjadi adalah karena kegagalan mencari penyebab keluhan sakit kepala yang terus menerus. Kegagalan tersebut terjadi antara lain karena pemeriksaan CT scan / MRI dilakukan hanya pada jaringan otak saja, padahal nyeri kepala yang timbul dapat merupakan akibat desakan tulang dasar tengkorak oleh tumor. Yang selanjutnya terjadi biasanya pasien ini akan memperoleh pengobatan nyeri kepala dalam jangka panjang dan pemeriksaan berulang ulang terhadap otaknya sampai akhirnya muncul salah satu gejala akibat KNF. Selain mendesak dasar tengkorak KNF juga seringkali menyerang saraf pusat yang keluar dari otak. Saraf yang paling sering dikenai adalah saraf penggerak bola mata, akibatnya terjadi kelumpuhan bola mata yang mengakibatkan pasien mengeluh penglihatan ganda (diplopia) dan pada pemeriksaan tampak bola mata yang juling. Selain gangguan motorik, keluhan sensorik yang sering timbul adalah rasa baal di wajah. Untuk menegakkan diagnosis, selain gambaran keluhan dan gejala seperti yang diuraikan di atas juga diperlukan pemeriksaan klinis dengan melihat secara langsung dinding nasofaring dengan alat endoskopi, CT scan atau MRI nasofaring dan sekitarnya serta pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti adalah pemeriksaan histopatologik jaringan nasofaring. Sedangkan pemeriksaan lain, seperti foto paru, USG hati, pemindaian tulang dengan radioisotop (bone scanning) dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya metastasis di organ-organ tersebut. Adanya metastasis dimanapun akan mengubah stadium penyakit dan mempunyai konskuensi terhadap tujuan pengobatan. PENGOBATAN Sampai dengan saat ini dasar pengobatan KNF yang masih terbatas pada daerah kepala dan leher adalah terapi radiasi. Kombinasi pengobatan dengan khemoterapi diperlukan apabila kanker sudah tumbuh sedemikian besarnya sehingga menyulitkan tindakan radioterapi. Di samping itu pemberian khemoterapi diharapkan dapat meningkatkan kepekaan jaringan tumor terhadap radiasi serta membunuh sel sel kanker

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

17

yang sudah berada di luar jangkauan radioterapi. Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobalt (Co60) atau dengan akselerator linier (Linear Accelerator atau Linac). Radiasi ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi ke dalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat di sekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus kasus yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal. Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT (Intensified Modulated Radiation Therapy) telah digunakan di beberapa negara maju. Bahkan saat ini Malaysia dan Filipina telah memilikinya. Penatalaksanaan pembedahan tidak mempunyai peranan pada KNF mengingat lokasi tumor yang melekat erat pada mukosa dasar tengkorak. EFEK SAMPING PENGOBATAN Radiasi pada daerah kepala dan leher khususnya nasofaring mau tidak mau akan mengikutsertakan sebagian besar mukosa mulut dan kelenjar parotis. Akibatnya dalam keadaan akut akan terjadi efek samping pada mukosa mulut berupa mukositis yang dirasa pasien sebagai nyeri telan, mulut kering dan hilangnya cita rasa (taste). Keadaan ini seringkali diperparah oleh timbulnya infeksi jamur pada mukosa lidah serta palatum. Setelah radiasi selesai maka efek samping akut di atas akan menghilang dengan pengobatan simptomatik. Akibat kelenjar parotis terkena radiasi dosis tinggi terjadilah disfungsi berupa menurunnya alir saliva yang akan diikuti

dengan kekeringan pada mukosa mulut (xerostomia). Bila saliva yang mempunyai fungsi antara lain mempertahankan pH mulut di angka netral dan ikut serta dalam membersihkan sisa sisa makanan ini berkurang, karies gigi akan lebih mudah terjadi. Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. PENUTUP Sekalipun KNF tidak selalu memberikan gejala yang spesifik, dianjurkan untuk tidak meremehkan gejala gejala seperti yang diutarakan di atas. Berkonsultasi ke dokter keluarga atau langsung ke dokter spesialis THT merupakan tindakan yang tepat. Pengobatan radiasi, terutama pada kasus dini, pada umumnya akan memberikan hasil pengobatan yang memuaskan. Namun radiasi pada kasus lanjutpun dapat memberikan hasil pengobatan paliatif yang cukup baik sehingga diperoleh kualitas hidup pasien yang baik pula. (Lihat lampiran/ halaman 19).
KEPUSTAKAAN 1. Soetjipto D, Fachrudin D, Syafril A. Nasopharyngeal carcinoma in Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. In : Tjokronagoro A, Himawan S, Yusuf A, Azis MF, Susworo, Djakaria M. (Eds). Cancer in Asia and Pacfic. YKI. Jakarta Indonesia 1988; p. 47186. Yu MC, Henderson BE. Nasopharyngeal cancer. In: Schottenfeld D and Fraumeni JF (eds). Cancer epidemiology and prevention. 2nd. ed. N. York: Oxford University Press, 1996; p. 603 18. Parkin DM, Pisani P, Ferlay J. Estimates of the world-wide incidence of 25 major cancers in 1990. Int J Cancer; 1990; 80: 82741. Parkin DM, Whelan SL, Ferlay J, Raymond L, Young J. Cancer Incidence in Five Continents. Vol. 7, Lyon, France : IARC Scient. Publ. No. 143. IARC Press, 1997. Yu MC, Ho JHC, Ross RK, Henderson BE. NPC in Chinese Salted fish or inhaled smoke? Prev Med. 1981; 10: 15-24. Hildesheim A et al. Herbal medicine use, Epstein Barr virus, and risk of nasopharyngeal carcinoma. Cancer Res. 1992; 52: 3048 51.

2. 3. 4. 5. 6.

The flame of glory is the torch of the mind

18

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

LAMPIRAN :

Gambar 1. Pasien dengan pembesaran kelenjar getah bening leher yang ternyata merupakan metastasis dari KNF

Gambar 2. Alat Radiasi Eksterna (Linear Accelerator)

Gambar 3. Masker yang digunakan oleh setiap pasien kanker kepala-leher yang sedang memperoleh radiasi. Alat bantu ini berguna untuk fiksasi kepala.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

19

HASIL PENELITIAN

Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilofaringitis Akut terhadap Beberapa Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat
Retno Gitawati, Ani Isnawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di Indonesia, terutama infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) baik infeksi saluran pernafasan atas maupun infeksi saluran pernafasan bawah. Terapi antimikroba digunakan bila infeksi disebabkan oleh bakteri (kuman); salah satu mikroba terpilih adalah antimikroba golongan betalaktam. Untuk mengetahui sensitivitas kuman isolat usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam, dilakukan penelitian Pola sensitivitas kuman hasil usap tenggorok penderita tonsilo-faringitis akut terhadap Antimikroba Betalaktam di Puskesmas Jakarta Pusat. Metoda penelitian cross-sectional, dilakukan terhadap 83 pasien tonsilo-faringitis akut pengunjung dua puskesmas di Jakarta Pusat pada bulan September 1999 sampai bulan Nopember 1999. Pemeriksaan isolat dan sensitivitas kuman terhadap antimikroba dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK-UI. Ditemukan 132 kuman yang terdiri dari 12 spesies. Lima spesies terbanyak adalah: Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus 3,82%. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus viridans, Branhamella catarrhalis, Streptococcus -hemolyticus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus nonhemolyticus terutama terhadap antimikroba Cephradin berturutturut adalah 73,3 %; 53,52%; 87,5%; 40% dan 80%. Penurunan sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Antimikroba Penisilin G adalah 30%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 20%. Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04%. Kata kunci : Tonsilo-faringitis, Betalaktam, Streptococcus sp, B.catarrhalis PENDAHULUAN Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia; terutama infeksi pernapasan akut (ISPA), baik infeksi saluran per20 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 napasan atas maupun bagian bawah. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun 47,1 %, usia 5-15 tahun 29,5 % dan dewasa 23,8 %. serta lebih dari 50% penyebabnya

adalah virus(1). Infeksi sekunder bakterial pada ISPA dapat terjadi akibat komplikasi terutama pada anak dan usia lanjut, dan memerlukan terapi antimikroba. Beberapa kuman penyebab komplikasi infeksi ISPA yang pernah diisolasi dari usap tenggorok antara lain Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Branhamella, Pseudomonas, Escherichia, Proteus, dan Haemophillus(2), dan untuk mengatasinya seringkali digunakan antimikroba golongan betalaktam, makrolida, dan kotrimoksazol(4). Antimikroba golongan betalaktam, yakni golongan penisilin dan sefalosporin, termasuk jenis antimikroba yang diduga paling banyak diberikan untuk infeksi saluran napas, dan sejauh ini belum banyak diketahui status sensitivitasnya, khususnya terhadap kuman penyebab ISPA. Untuk maksud tersebut telah dilakukan uji sensitivitas kuman yang diisolasi dari usap tenggorok penderita ISPA, terhadap antimikroba golongan betalaktam. BAHAN DAN CARA Desain uji adalah studi kasus cross sectional, dengan sampel usap tenggorok penderita infeksi tonsilofaringitis yang berobat di dua puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, yang memiliki angka kesakitan ISPA tertinggi di wilayah tersebut pada triwulan pertama tahun 1999. Jumlah subyek sebanyak 83 penderita, dengan rentang usia antara 5 65 tahun, dan memenuhi kriteria inklusi sebagai penderita tonsilofaringitis akut dengan gejala klinik: demam tinggi sampai 400C, sakit menelan, tonsil membesar dan merah dengan tanda-tanda detritus, batuk, hiperemis, kadang-kadang disertai folikel bereksudat. Semua subyek telah menyatakan kesediaannya mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed consent, dan belum pernah mendapatkan antibiotika selama sakit. Spesimen usap tenggorok dikumpulkan dalam media transport dan dilakukan uji sensitivitas di Laboratorium Mikrobiologi FK-UI. Kultur dan isolasi kuman dilakukan dengan menggunakan media perbenihan agar darah dan agar coklat pada suhu 370C selama 24 jam. Identifikasi dilakukan berdasarkan morfologi koloni, sifat hemolisis agar darah, fermentasi karbohidrat, dan uji-uji khusus lainnya. Kuman hasil isolasi diuji sensitivitasnya dengan metoda cakram Kirby-Bauer pada media Mueller-Hinton, terhadap beberapa antimikroba golongan betalaktam, yakni dengan mengukur zona hambatan. HASIL Sejumlah 132 kuman yang terdiri atas 12 spesies Gram positif dan Gram negatif berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari 83 sampel usap tenggorok penderita tonsilofaringistis, (Tabel 1). Enam jenis kuman terbanyak yang berhasil diisolasi dari spesimen usap tenggorok berturut-turut adalah: Streptococcus viridans (54.2%), Branhamella catarrhalis (22.9%), Streptococcus -haemolyticus (6.11%), Streptococcus pneumoniae (3.82%), Streptococcus non-haemolyticus (3.82%) dan Klebsiella pneumoniae (3.05%). Isolat-isolat kuman yang didapat tersebut kemudian diuji sensitivitasnya

terhadap antimikroba betalaktam, dan hasilnya menunjukkan profil resistensi (Tabel 2).
Tabel 1. Frekuensi distribusi jenis kuman dari 83 spesimen tenggorok No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Jenis (spesies) kuman Streptococcus viridans Branhamella catarrhalis Streptococcus -haemolyticus Streptococcus pneumoniae Streptococcus non-haemolyticus Klebsiella pneumoniae Acinobacter spp. Yeast (ragi) Staphylococcus aureus Alkaligenes dispar Pseudomonas aeruginosa Staphylococcus epidermidis Jumlah Jumlah (%) 71 (54.2) 30 (22.9) 8 (6.11) 5 (3.82) 5 (3.82) 4 (3.05) 2 (1.53) 2 (1.53) 2 (1.53) 1 (0.76) 1 (0.76) 1 (0.76) 132 (100) usap

Terhadap hasil uji sensitivitas berbagai spesies kuman terhadap antimikroba betalaktam di atas dapat dilakukan penghitungan total resistensi antimikroba (Soebandrio 2000), dengan cara atau rumus sebagai berikut: % R total antimikroba A = (% kuman X x % R antimikroba A terhadap kuman X)/100 + (% kuman Y x % R antimikroba A terhadap kuman Y)/100 + (% kuman Z x % R antimikroba A terhadap kuman Z)/100.
(R = resistensi)

Hasil penghitungan total resistensi berbagai kuman tersebut di atas terhadap antimikroba betalaktam (Tabel 3). Tabel 3 menunjukkan total resistensi tertinggi kumankuman usap tenggorok adalah terhadap antimikroba Cefradin, yakni sebesar 68.04%, sedangkan terhadap Penisilin-G dan amoksisilin total resistensi kuman relatif rendah, berturut-turut 9.93% dan 5.35%. Sebagian besar kuman Gram positif dan negatif dari isolat usap tenggorok tersebut masih cukup sensitif terhadap antimikroba betalaktam, kecuali terhadap Cefradin. DISKUSI Hasil usap tenggorok mendapatkan 12 jenis kuman yang mencakup kuman gram negatif dan kuman gram positif. Kuman yang terbanyak ditemukan adalah S. viridans sebanyak 54.2 %; berbeda dengan yang dilaporkan Sugito(8) yaitu sebanyak 25 % dan Hartono(9) mendapatkan kuman tersebut 31,43 % pada penderita infeksi saluran pernafasan atas. Untuk kuman S. B hemolyticus diperoleh 6,4 % , hampir sama dengan yang ditemukan Suprihati dkk(6) sebanyak 4,46 %, tetapi berbeda dengan yang ditemukan oleh Sugito(8) sebanyak 25 % dan mirip dengan yang ditemukan Hartono(9) 25,71 %. Kuman ini merupakan kuman yang dicurigai sebagai penyebab endokarditis. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 21

Tabel 2. Profil resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam % Isolat kuman 54.2 22.9 6.11 3.82 3.82 3.05 1.53 1.53 1.53 0.76 0.76 0.76 % resistensi antimikroba Cefoti Ceftri Cefota 1.41 4.23 4.23 0 3.33 3.33 0 0 0 0 20.0 20.0 0 0 0 0 20 0 0 50 0 100 100 100 0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0 0

Isolat kuman S. viridans B. catarrhalis S. -haemolyticus S. pneumoniae S. non-haemolyticus K. pneumoniae Acinobacter spp. Yeast (ragi) S. aureus Alkaligenes spp. P. aeruginosa S. epidermidis

PeG 2.82 30.0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0

Amx 2.82 0 0 0 0 0 0 100 50 100 100 0

Sulb 0 0 0 0 0 0 0 100 0 100 0 0

Cefpi 0 3.33 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0

Cefep 0 0 0 0 0 0 0 100 0 0 0 0

Cefrad 73.33 53.52 87.5 40.0 80.0 100 0 100 0 100 100 0

Keterangan: PeG= Penisilin-G; Amx = Amoksisilin; ; Sulb = Sulbenislin; Cefoti = Cefotiam; Ceftri = Ceftriakson; Cefota = Cefotaksim; Cefpi = Cefpirome; Cefep = Cefepime; Cefrad = Cefradin. Tabel 3. Total resistensi isolat antimikroba betalaktam No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Antimikroba Cefradin Penisilin-G Ceftriakson Cefotaksim Amoksisilin Cefotiam Cefpirome Sulbenisilin Cefepime kuman usap tenggorok terhadap

% total resistensi 68.04 9.93 6.87 5.57 5.35 3.05 2.52 2.29 1.53

Total resistensi tertinggi kuman isolat tenggorok adalah terhadap Cefradin sebesar 68,04 %, diikuti oleh Penicillin G dan Ceftriakson. Antimikroba Cefradin merupakan antimikroba golongan sefalosporin generasi I dan banyak digunakan secara oral untuk penderita infeksi saluran pernafasan sehingga mungkin sudah banyak terjadi resistensi. Penulisan resep oleh dokter umum di United Kingdom (UK) tahun 1998(10) untuk infeksi saluran pernafasan adalah antimikroba penisilin spektrum luas sebanyak 53,2 %, makrolid 15 %, penisilin spektrum sedang dan sempit 13,0 %, sefalosporin 7,7 %. Tahun 1997 pasar dunia antibiotik mencapai US $ 12 miliar dengan jumlah peresepan 818 juta untuk infeksi saluran pernafasan akut dan sebagian besar antibiotik yang digunakan di rumah sakit berturut - turut adalah Golongan B Laktam, Makrolid dan Fluorokuinolon. Di Indonesia untuk infeksi pernafasan akut (tonsilitis dan faringitis) sebagai standar pengobatan di puskesmas penisilin G masih merupakan pilihan ke empat setelah eritromisin, amoksisilin dan ampisilin(2). Resistensi kuman S.viridans dan S. aureus terhadap Penisilin G dari hasil penelitian Josodiwondo (1996) sebesar 3,7 % dan 96,8 % sedangkan dari penelitian Trihendrokesowo dkk (1986) sebesar 3,2 % dan 66,7 %; tidak jauh berbeda dengan resistensi kuman S.viridans yang diperoleh penelitian ini yaitu 2,82 %, namun berbeda dengan hasil resistensi kuman S. aureus 0 %. Golongan penisilin masih cukup ampuh untuk mengatasi bakteri gram positif, tetapi akhir-akhir ini banyak dilaporkan bakteri yang resisten terhadap antimikroba golongan penisilin bahkan juga terhadap golongan sefalosporin, karena mampu 22 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

menghasilkan enzim betalaktamase. Untuk mengatasi bakteri gram negatif tampaknya penisilin, bahkan sefalosporin sudah berkurang kemampuannya, kecuali sefalosporin generasi ke tiga (11,12). .Penggunaan yang tidak rasional misalnya pemakaian berlebihan akan mempercepat resistensi, selain itu dapat terjadi resistensi silang antar golongan maupun dalam satu golongan. Test kepekaan tidak selalu akurat untuk memprediksi kesembuhan; sering tidak ada korelasi antara konsentrasi ham-bat minimum (MIC) kuman dan kesembuhan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa 81 % penderita sembuh jika terinfeksi bakteri yang sensitif, akan tetapi 9 % penderita meninggal dunia; sedangkan bila terinfeksi bakteri yang resisten dapat menaikkan rata-rata kematian sebesar 17 % (p< 0,05 )(10). KESIMPULAN Ditemukan 132 kuman terdiri dari 12 spesies, lima kuman terbanyak adalah : Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus -hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus 3,82%. Penurunan sensitivitas kuman-kuman Streptococcus terjadi terhadap antimikroba Cephradin berturut turut adalah 46,48%; 26,67%; 12,5%; 60% dan 20%. Penurunan sensitivitas kuman Branhamella catarrhalis terhadap Penisilin G adalah 70%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae terhadap antimikroba Ceftriaxone 80%. Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04%.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. Abdoerachman H, Fachrudin D., Infeksi Campuran Aerob dan Anaerob di Bidang THT. MKI 4 (2/3): 56-60. Dirjen Binkesmas. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas Berdasarkan Gejala, Departemen Kesehatan R I. 1996. Josodiwondo S. Perkembangan Kepekaan Kuman terhadap Antimikroba Saat Ini. MKI 1996; 46(9): 467-76. Dwiprahasta I. Inappropriate use of antibiotics in treatment of acute respiratory infections for the under five children among general practitioners. Berkala Ilmu Kedokteran 1997 . Trihendrokesowo dkk. Macam Kuman (dari pelbagai bahan pemeriksaan di Yogyakarta) dan Pola Kepekaannya terhadap Beberapa Antibiotik. MKI 1987; 2 (1): 6-12.

6.

7. 8. 9.

Suprihati. Faktor Resiko Streptococcus hemolitikus Beta Grup A pada Penderita Saluran Nafas Atas di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Bag Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UNDIP. Laporan penelitian 1998. Herman MJ. Antibiotik Beta Laktam. Jakarta, Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, 1994. Sugito, Tarigan HMM, Nukman R. Epidemiologi dan Etiologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Dalam Buku Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V IDPI, Surakarta,1988. Hartono TE, Wibisono MY, Rai IB, Idajadi A. Pola bakteriologi Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Orang Dewasa. Dalam Buku

Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Konperensi Kerja Nasional V IDPI , Surakarta , 1988. 10. Jones A. Antimicrobial Pharmacodynamics in Respiratory Tract Infection: New Approach in Determining Patient Response to Antibiotic Therapy, Med Progr January 2003, 11. Sirot S, Sirot J, Saulnier P. Resistance to Betalactams in Enterobacteriaceae, distribution of phenotypes related to beta lactamase production. J Internat Med Res 1986; 14:193-9. 12. Slombe B. Beta Lactamase, Occurrence and Classsification. In : Rolinson GN, Watson A, (eds). Augmentin Clavulanate Pontetiated Amoxycillin. Amsterdam : Excerpta Medica 1980; 6-17.

KALENDER KEGIATAN ILMIAH PERIODE JULI-SEPTEMBER 2004


Bulan Tanggal 10 Kegiatan Telemedicine Network in Indonesia, How is the Benefit for Family Doctors The First Indonesian Symposium on Interventional Pediatric Cardiology Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Kedokteran Anak IDAI PIT XIV POGI : " Meningkatkan Profesionalisme Berlandaskan Etika Melalui Kerjasama Antar Pusat Pendidikan Obstetri dan Ginekologi dalam Era Pasar Bebas " Mekanisme Molekuler Patogenesis Virus RNA dan Perannya Dalam Perkembangan Bioteknologi Simposium Pendekatan Holistik Penyakit Kardiovaskular III & KARIMUN III Konker PGI-PEGI-PPHI PIT IX Ilmu Penyakit Dalam 6-8 11-13 Agustus 13-15 28 Pelatihan Asuhan Nutrisi pada Diabetes 11th International Symposium on Shock and Critical Care : New Insight in Diagnosis, Management and Therapy in Critical Care Medicine Seminar Sehari Kedokteran Kesehatan Kerja: Peran K3 dalam Meningkatkan Perlindungan Pekerja dan Produktivitas Kerja The 6th Int. Meeting on Respiratory Care Ind. (Respina V) 5 Tahun Pertemuan Ilmiah Berkala Ilmu Penyakit Dalam (PIB V IPD) FK Unand Recent Advances and Challenges in Endoscopic Surgery in Asia Pacific 26-29 Tempat dan Sekretariat Lt. 5, Gedung AR Fachruddin, Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah, Ringroad Selatan Yogyakarta Telp. : 0274-37430, Faks. : 0274-37430 Website: http://telmed.fkumy.net Hotel Planet Holiday, Batam Telp. : 0778-7024522, Fax : 0778-421352 E-mail : pitika2@idai.or.id Hotel Planet Holiday, Batam Telp. : (021)-3148610, Fax : (021)-3913982 Website : www.idai.or.id Hotel Horison, Bandung Telp. : 022-2039086 / 2035042, Fax : 022-2035042 E-mail : pitpogi14@obgyn-bandung.org website : www.obgyn-bandung.org KPP Bioteknologi ITB, Bandung Telp. : 022-2534115, Fax : 022-2511612 E-mail : roga@scientist.com, roga@biotech.itb.ac.id Hotel Sahid Jaya, Jakarta Telp. : 021-31934636, Fax : 021-3161467 Hotel Sheraton Mustika, Yogyakarta Telp. : 0274-587555, Fax : 0274-565639 E-mail: pututby@email.com Hotel Sahid Jaya, Jakarta Telp. : 021-330956, Fax : 021-3914830 Website : www.interna.or.id Jakarta, Telp. : 021-3928658,3907703, Fax : 021-3928659 E-mail : endocrin@rad.net.id Bali International Convention Center Telp. : 021-5684085 ext. 1242, Fax : 021-56961530 E-mail: iqbalicu@idola.net.id Karawaci, Tangerang Telp.: 021-79184052 Website: http://www.idki.or.id Jakarta Convention Centre Telp. : 021-4786 4646, Fax : 021-4786 6543 Email : info@respina.com Web-site : www.respina.com/index.php Hotel Bumi Minang, Padang Telp. : 0751-37771, Fax : 0751-37771 Email: pibipd@yahoo.com Website : www.internafkunand.or.id Hotel Grand Hyatt, Bali Telp. : 021-4532202, 6685070, 6685006 Fax : 021-4535833, 6684878 Email : elsabali2004@globalmedicaonline.com, rs.pluit@rad.net.id Website : www.pluit-hospital.co.id Bali, Telp. : 021-3919653, Fax : 021-3919653 Email: iisic2@pharma-pro.com

10-11 12-14 Juli 13-15

16 16-18 31-1/8

17-18

25-26 September

30-3/10

2nd Indonesia - International Symposium on Infection Control

Informasi terkini, detail dan lengkap (jadwal acara/pembicara) bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/calendar>>Complete

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 23

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Pengaruh Kebisingan terhadap Kesehatan Tenaga Kerja


Novi Arifiani
Subdepartemen Kedokteran Okupasi, Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN Suara yang dihasilkan oleh suatu sumber bunyi bagi seseorang atau sebagian orang merupakan suara yang disenangi, namun bagi beberapa orang lainnya justru dianggap sangat mengganggu. Secara definisi, suara yang tidak dikehendaki itu dapat dikatakan sebagai bising.Bising yang di dengar sehari-hari berasal dari banyak sumber baik dekat maupun jauh. Kemajuan peradaban telah menggeser perkembangan industri ke arah penggunaan mesin-mesin, alat-alat transportasi berat, dan lain sebagainya. Akibatnya kebisingan makin dirasakan mengganggu dan dapat memberikan dampak pada kesehatan. Biaya yang harus ditanggung akibat kebisingan ini sangat besar. Misalnya, bila terjadi di tempat-tempat bisnis dan pendidikan, maka bising dapat mengganggu komunikasi yang berakibat menurunnya kualitas bisnis dan pendidikan. Trauma akustik ataupun gangguan pendengaran lain yang timbul akibat bising di tempat kerja, gangguan sistemik yang timbul akibat kebisingan, penurunan kemampuan kerja, bila dihitung kerugiannya secara nominal dapat mencapai milyaran rupiah. Untuk itu, tenaga kesehatan perlu mengenali pengaruh bising terhadap kesehatan tenaga kerja, melakukan deteksi dini dan pengendalian bising di tempat kerja. Pembahasan pada tulisan ini hanya akan dibatasi pada efek kebisingan terhadap kesehatan terutama kemampuan pendengaran, cara mendeteksi gangguan pendengaran akibat kebisingan, serta tatalaksana gangguan pendengaran akibat kebisingan. ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN Sebelumnya akan dibahas secara singkat anatomi dan fisiologi pendengaran. Anatomi Telinga Secara anatomi, telinga dapat dibagi menjadi tiga yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Telinga luar berfungsi 24 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

mengumpulkan suara dan mengubahnya menjadi energi getaran sampai ke gendang telinga. Telinga tengah menghubungkan gendang telinga sampai ke kanalis semisirkularis yang berisi cairan. Di telinga tengah ini, gelombang getaran yang dihasilkan tadi diteruskan melewati tulang-tulang pendengaran sampai ke cairan di kanalis semisirkularis; adanya ligamen antar tulang mengamplifikasi getaran yang dihasilkan dari gendang telinga. Telinga dalam merupakan tempat ujung-ujung saraf pendengaran yang akan menghantarkan rangsangan suara tersebut ke pusat pendengaran di otak manusia. Konduksi Tulang Konduksi tulang adalah konduksi energi akustik oleh tulang-tulang tengkorak ke dalam telinga tengah, sehingga getaran yang terjadi di tulang tengkorak dapat dikenali oleh telinga manusia sebagai suatu gelombang suara. Jadi segala sesuatu yang menggetarkan tubuh dan tulang-tulang tengkorak dapat menimbulkan konduksi tulang ini. Secara umum tekanan suara di udara harus mencapai lebih dari 60 dB untuk menimbulkan efek konduksi tulang ini. Hal ini perlu diketahui, karena pemakaian sumbat telinga tidak menghilangkan sumber suara yang berasal dari jalur ini. Respon auditorik Jangkauan tekanan dan frekuensi suara yang dapat diterima oleh telinga manusia sebagai suatu informasi yang berguna, sangat luas. Suara yang nyaman diterima oleh telinga kita bervariasi tekanannya sesuai dengan frekuensi suara yang digunakan, namun suara yang tidak menyenangkan atau yang bahkan menimbulkan nyeri adalah suara-suara dengan tekanan tinggi, biasanya di atas 120 dB. Ambang pendengaran untuk suara tertentu adalah tekanan suara minimum yang masih dapat membangkitkan sensasi auditorik. Nilai ambang tersebut tergantung pada karakteristik suara (dalam hal ini frekuensi), cara yang digunakan untuk

mendengar suara tersebut ( melalui earphone, pengeras suara, dsb), dan pada titik mana suara itu diukur ( saat mau masuk ke liang telinga, di udara terbuka, dsb). Ambang pendengaran minimum (APM) merupakan nilai ambang tekanan suara yang masih dapat didengar oleh seorang yang masih muda dan memiliki pendengaran normal, diukur di udara terbuka setinggi kepala pendengar tanpa adanya pendengar. Nilai ini penting dalam pengukuran di lapangan, karena bising akan mempengaruhi banyak orang dengan banyak variasi. Pendengaran dengan kedua telinga lebih rendah 2 sampai 3 dB. Jika seseorang terpajan pada suara di atas nilai kritis tertentu kemudian dipindahkan dari sumber suara tersebut, maka nilai ambang pendengaran orang tersebut akan meningkat; dengan kata lain, pendengaran orang tersebut berkurang. Jika pendengaran kembali normal dalam waktu singkat, maka pergeseran nilai ambang ini terjadi sementara. Fenomena ini dinamakan kelelahan auditorik. Kekuatan suara Kekuatan suara adalah suatu perasaan subjektif yang dirasakan seseorang sehingga dia dapat mengatakan kuat atau lemahnya suara yang didengar. Kekuatan suara sangat dipengaruhi oleh tingkat tekanan suara yang keluar dari stimulus suara, dan juga sedikit dipengaruhi oleh frekuensi dan bentuk gelombang suara. Pengukuran kekuatan suara secara umum dapat dilakukan dengan cara : 1) pengukuran subyektif dengan menanyakan suara yang didengar oleh sekelompok orang yang memiliki pendengaran normal dan yang dijadikan patokan adalah suara dengan frekuensi murni 1000 Hz, 2). Dengan menghitung menggunakan pita suara 2 atau 3 band, 3). Mengukur dengan alat yang dapat menggambarkan respon telinga terhadap suara yang didengar. Masking Karakteristik lain yang cukup penting dalam menilai intensitas suara adalah masking. Masking adalah suatu proses di mana ambang pendengaran seseorang meningkat dengan adanya suara lain. Suatu suara masking dapat didengar bila nilai ambang suara utama melampaui juga nilai ambang untuk suara masking tersebut. Sensitivitas Pendengaran Kemampuan telinga untuk mengolah informasi akustik sangat tergantung pada kemampuan untuk mengenali perbedaan yang terjadi pada stimulus akustik. Pemahaman percakapan dan identifikasi suara-suara tertentu, atau suatu alunan musik tertentu merupakan suatu proses harmonis di dalam otak manusia yang mengolah informasi auditorik berdasarkan frekuensi, amplitudo, dan waktu yang didengar untuk masing-masing rangsangan auditorik tersebut. Pebedaan kecil tekanan suara akan didengar oleh telinga sebagai kuat atau lemahnya suara. Makin tinggi tekanan udara, makin kecil perbedaan yang dapat dideteksi oleh telinga manusia. Perbedaan minimum yang dapat dibedakan pada frekuensi suara yang sama tergantung pada frekuensi suara tersebut, nilai ambang di atasnya, dan durasi.

Lokalisasi Sumber Bunyi Telinga mampu melokalisasi sumber suara/bunyi. Kemampuan ini merupakan kerja sama kedua telinga karena didasarkan atas perbedaan tekanan suara yang diterima oleh masing-masing telinga, serta perbedaan saat diterimanya gelombang suara di kedua telinga. Kemampuan telinga untuk membedakan sumber suara yang berjalan horizontal lebih baik daripada kemampuannya untuk membedakan sumber suara yang vertikal. Kemampuan ini penting untuk memilih suara yang ingin didengarkan dengan mengacuhkan suara yang tidak ingin didengarkan. GANGGUAN PENDENGARAN AKIBAT BISING Dasar menentukan suatu gangguan pendengaran akibat kebisingan adalah adanya pergeseran ambang pendengaran, yaitu selisih antara ambang pendengaran pada pengukuran sebelumnya dengan ambang pendengaran setelah adanya pajanan bising (satuan yang dipakai adalah desibel (dB)). Pegeseran ambang pendengaran ini dapat berlangsung sementara namun dapat juga menetap. Efek bising terhadap pendengaran dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu trauma akustik, perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung sementara (noiseinduced temporary threshold shift) dan perubahan ambang pendengaran akibat bising yang berlangsung permanen (noiseinduced permanent threshold shift). Pajanan bising intensitas tinggi secara berulang dapat menimbulkan kerusakan sel-sel rambut organ Corti di telinga dalam. Kerusakan dapat terlokalisasi di beberapa tempat di cochlea atau di seluruh sel rambut di cochlea. Pada trauma akustik, cedera cochlea terjadi akibat rangsangan fisik berlebihan berupa getaran yang sangat besar sehingga merusak sel-sel rambut. Namun pada pajanan berulang kerusakan bukan hanya semata-mata akibat proses fisika semata, namun juga proses kimiawi berupa rangsang metabolik yang secara berlebihan merangsang sel-sel tersebut. Akibat rangsangan ini dapat terjadi disfungsi sel-sel rambut yang mengakibatkan gangguan ambang pendengaran sementara atau justru kerusakan sel-sel rambut yang mengakibatkan gangguan ambang pendengaran yang permanen. Trauma Akustik Pada trauma akustik terjadi kerusakan organik telinga akibat adanya energi suara yang sangat besar. Efek ini terjadi akibat dilampauinya kemampuan fisiologis telinga dalam sehingga terjadi gangguan kemampuan meneruskan getaran ke organ Corti. Kerusakan dapat berupa pecahnya gendang telinga, kerusakan tulang-tulang pendengaran, atau kerusakan langsung organ Corti. Penderita biasanya tidak sulit untuk menentukan saat terjadinya trauma yang menyebabkan kehilangan pendengaran. Noise-Induced Temporary Threshold Shift Pada keadaan ini terjadi kenaikan nilai ambang pendengaran secara sementara setelah adanya pajanan terhadap suara dan bersifat reversibel. Untuk menghindari kelelahan auditorik, maka ambang pendengaran diukur kembali 2 menit Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 25

setelah pajanan suara. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran nilai ambang pendengaran ini adalah level suara, durasi pajanan, frekuensi yang diuji, spektrum suara, dan pola pajanan temporal, serta faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin, status kesehatan, obat-obatan (beberapa obat dapat bersifat ototoksik sehingga menimbulkan kerusakan permanen), dan keadaan pendengaran sebelum pajanan. Noise-Induced Permanent Threshold Shift Data yang mendukung adanya pergeseran nilai ambang pendengaran permanen didapatkan dari laporan-laporan dari pekerja di industri karena tidak mungkin melakukan eksperimen pada manusia. Dari data observasi di lingkungan industri, faktor-faktor yang mempengaruhi respon pendengaran terhadap bising di lingkungan kerja adalah tekanan suara di udara, durasi total pajanan, spektrum bising, alat transmisi ke telinga, serta kerentanan individu terhadap kehilangan pendengaran akibat bising. Memeriksa pendengaran Gangguan pendengaran yang terjadi akibat bising ini berupa tuli saraf koklea dan biasanya mengenai kedua telinga. Pada anamnesis biasanya mula-mula pekerja mengalami kesulitan berbicara di lingkungan yang bising, jika berbicara biasanya mendekatkan telinga ke orang yang berbicara, berbicara dengan suara menggumam, biasanya marah atau merasa keberatan jika orang berbicara tidak jelas, dan sering timbul tinitus. Biasanya pada proses yang berlangsung perlahan-lahan ini, kesulitan komunikasi kurang dirasakan oleh pekerja bersangkutan; untuk itu informasi mengenai kendala komunikasi perlu juga ditanyakan pada pekerja lain atau pada pihak keluarga. Pada pemeriksaan fisik, tidak tampak kelainan anatomis telinga luar sampai gendang telinga. Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan perlu dilakukan secara lengkap dan seksama untuk menyingkirkan penyebab kelainan organik yang menimbulkan gangguan pendengaran seperti infeksi telinga, trauma telinga karena agen fisik lainnya, gangguan telinga karena agen toksik dan alergi. Selain itu pemeriksaan saraf pusat perlu dilakukan untuk menyingkirkan adanya masalah di susunan saraf pusat yang (dapat) menggangggu pendengaran. Pemeriksaan dengan garpu tala (Rinne, Weber, dan Schwabach) akan menunjukkan suatu keadaan tuli saraf: Tes Rinne menunjukkan hasil positif, pemeriksaan Weber menunjukkan adanya lateralisasi ke arah telinga dengan pendengaran yang lebih baik, sedangkan pemeriksaan Schwabach memendek. Untuk menilai ambang pendengaran, dilakukan pemeriksaan audiometri. Pemeriksaan ini terdiri atas 2 grafik yaitu frekuensi (pada axis horizontal) dan intensitas (pada axis vertikal). Pada skala frekuensi, untuk program pemeliharaan pendengaran (hearing conservation program) pada umumnya diwajibkan memeriksa nilai ambang pendengaran untuk frekuensi 500, 1000, 2000, 3000, 4000, dan 6000 Hz. Bila sudah terjadi kerusakan, untuk masalah kompensasi maka dilakukan pengukuran pada frekuensi 8000 Hz karena ini 26 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

merupakan frekuensi kritis yang menunjukkan adanya kemungkinan hubungan gangguan pendengaran dengan pekerjaan; tanpa memeriksa frekuensi 8000 Hz ini, sulit sekali membedakan apakah gangguan pendengaran yang terjadi akibat kebisingan atau karena sebab yang lain. Pemeriksaan audiometri ini tidak secara akurat menentukan derajat sebenarnya dari gangguan pendengaran yang terjadi. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti lingkungan tempat dilakukannya pemeriksaan, tingkat pergeseran ambang pendengaran sementara setelah pajanan terhadap bising di luar pekerjaan, serta dapat pula permasalahan kompensasi membuat pekerja seolah-olah menderita gangguan pendengaran permanen. Prosedur pemeriksaan lain untuk menilai gangguan pendengaran adalah speech audiometry, pengukuran impedance, tes rekruitmen, bahkan perlu juga dilakukan pemeriksaan gangguan pendengaran fungsional bila dicurigai adanya faktor psikogenik. Untuk itu pemeriksaan gangguan pendengaran pada pekerja perlu dilakukan dengan cara seksama dan hati-hati untuk menghindari kesalahan dalam memberikan kompoensasi. EFEK FISIOLOGIS KEBISINGAN Efek fisiologis kebisingan terhadap kesehatan manusia dapat dibedakan dalam efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Namun perlu diingat, bahwa keadaan bising di lingkungan seringkali disertai dengan faktor lainnya, seperti faktor fisika lain berupa panas, getaran, dan sebagainya; tidak jarang disertai juga dengan adanya faktor kimia dan biologis; mustahil untuk mengisolasi kebisingan sebagai satu-satunya faktor risiko. Efek jangka pendek berlangsung sampai beberapa menit setelah pajanan terjadi, sedangkan efek jangka panjang terjadi sampai beberapa jam, hari ataupun lebih lama. Efek jangka panjang dapat terjadi akibat efek kumulatif dari stimulus yang berulang. Efek jangka pendek Efek jangka pendek yang terjadi dapat berupa refleks otototot berupa kontraksi otot-otot, refleks pernapasan berupa takipneu, dan respon sistim kardiovaskuler berupa takikardia, meningkatnya tekanan darah, dan sebagainya. Namun dapat pula terjadi respon pupil mata berupa miosis, respon gastrointestinal yang dapat berupa gangguan dismotilitas sampai timbulnya keluhan dispepsia, serta dapat terjadi pecahnya organ-organ tubuh selain gendang telinga (yang paling rentan adalah paru-paru). Efek jangka panjang Efek jangka panjang terjadi akibat adanya pengaruh hormonal. Efek ini dapat berupa gangguan homeostasis tubuh karena hilangnya keseimbangan simpatis dan parasimpatis yang secara klinis dapat berupa keluhan psikosomatik akibat gangguan saraf otonom, serta aktivasi hormon kelenjar adrenal seperti hipertensi, disritmia jantung, dan sebagainya. Secara sederhana, berikut ini respon tubuh terhadap adanya kebisingan (Gambar 1).

Bising

Reaksi Stres Umum akibat Kenaikan Adrenalin dan Noradrenalin

Kenaikan Tekanan Darah

Respon Vegetatif

Peningkatan Kebutuhan Oksigen

Peningkatan Agregasi Trombosit

Kerusakan Dinding Arteri

Trombosis

Arteriosklerotik

Oklusi A. Koroner

Oklusi Arteri Lainnya

terjadi; pemeriksaan audiometri berkala juga merupakan upaya deteksi dini pula. Penggunaan alat pelindung telinga, pengawasan dan pengendalian administrasi merupakan upaya penatalaksanaan lain yang dapat dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan di lingkungan kerja. Hearing conservation program tidak akan dibicarakan secara mendalam pada tulisan ini. Bila sudah terjadi gangguan pendengaran yang mengakibatkan gangguan komunikasi maka dapat dipikirkan penggunaan alat bentu dengar. Jika pendengaran sudah sedemikian buruknya sehingga komunikasi sangat sulit maka perlu dilakukan psikoterapi lebih intensif agar pekerja dapat menerima keadaannya. Jika dipergunakan alat bantu dengar, perlu dilakukan latihan pendengaran agar pekerja dapat menggunakan sisa pendengaran dengan alat bantu dengar secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir, mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Selain itu, penderita tuli akibat bising ini juga sulit mendengar suaranya sendiri sehingga diperlukan rehabilitasi suara agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama percakapan. Pada penderita yang mengalami tuli total bilateral dapat dipertimbangkan pemasangan implan koklea. KOMPENSASI TERHADAP KETULIAN PEKERJA AKIBAT BISING Faktor akustik, kondisi medis, dan permasalahan hukum harus diperhatikan dalam menetapkan hubungan kausal antara pajanan bising dan terjadinya gangguan pendengaran. Perlu ketelitian dan kehati-hatian dalam melakukan pemeriksaan ganggguan pendengaran pada pekerja untuk menghindari permasalahan kompensasi yang timbul di kemudian hari. Hal yang perlu diingat dalam menentukan kemungkinan adanya hubungan kausatif antara gangguan pendengaran dan bising di tempat kerja adalah 1). Benar telah terjadi kehilangan atau gangguan pendengaran dan 2). Dan gangguan pendengaran tersebut memang berasal dari pajanan bising di tempat kerja yang berlebihan. Tanda-tanda gangguan pendengaran harus dikenali secara dini. Pemeriksaan audiometri dilakukan untuk menilai derajat dan tipe gangguan pendengaran yang terjadi. Pemeriksaan ini bersifat subyektif, untuk itu perlu dilakukan oleh teknisi yang terlatih dan dokter harus melakukan supervisi terhadap pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan audiometri pra kerja merupakan suatu keharusan untuk mendapatkan data awal kondisi pendengaran tenaga kerja. Diagnosis banding lainnya disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan fisik yang seksama. Dalam laporan pemeriksaan fisik harus tercantum identitas yang jelas (termasuk saat pemeriksaan dan dokter yang melakukan pemeriksaan), keluhan utama, gangguan pendengaran yang saat ini terjadi, riwayat pekerjaan, riwayat pelatihan militer, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga. Riwayat pekerjaan dilakukan dengan menanyakan nama pekerjaan, jenis pekerjaan yang dilakukan (beserta tanggal atau waktu bekerja), durasi masing-masing pekerjaan, tanggal bekerja dan umur saat itu, kondisi geografis dan lokasi fisik pekerjaan, barang atau jasa yang dihasilkan, Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 27

Iskemaia Jantung

Infark Miokard

Stroke

Gambar 1. Ikhtisar Reaksi Tubuh terhadap Bising

KEBISINGAN DAN KEMAMPUAN KERJA Gangguan terhadap kemampuan kerja pada umumnya terjadi karena meningkatnya kewaspadaan umum akibat rangsangan terus menerus pada susunan saraf pusat. Pada awalnya sulit dibedakan dengan gangguan emosional yang timbul akibat bising; namun pada pemeriksaan efisiensi kerja terlihat pengaruh yang cukup bermakna. Namun tetap perlu hati-hati untuk melakukan interpretasi penelitian tentang kemampuan atau performa kerja. Suara yang asing, interupsi suara berulang, suara di atas 95 dB adalah beberapa keadaan kebisingan yang dapat mempengaruhi kemampuan bekerja. Namun penelitian efek kebisingan terhadap kemampuan kerja masih perlu dilakukan dengan seksama, terutama pada lingkungan industri. PENATALAKSANAAN TULI AKIBAT BISING Pencegahan merupakan penatalaksanaan pertama dan utama pada kebisingan di lingkungan pekerja. Pelaksanaan program pemeliharaan pendengaran (hearing program conservation) merupakan upaya pencegahan primer yang dapat dilakukan di tempat kerja. Survei kebisingan di tempat kerja harus memperhatikan teknik sampling agar pemeriksaan tingkat kebisingan dapat memberikan gambaran keadaan yang

penggunaan alat pelindung diri, sumber suara atau kebisingan yang ada di pekerjaan (baik yang dahulu maupun saat ini). Pemeriksaan fisik mendalam yang harus dilakukan adalah: 1. Pemeriksaan luar terhadap tanda-tanda jejas atau jaringan sikatrik yang menggambarkan adanya malfungsi. 2. Pemeriksaan otoskop untuk menilai gendang telinga, adakah tanda-tanda abnormalitas 3. Pemeriksaan refleks kedua mata 4. Menilai ada atau tidaknya nistagmus 5. Pemeriksaan dengan garpu tala 6. Pemeriksaan audiometri nada murni untuk memeriksa hantaran udara dan hantaran tulang 7. Uji kemampuan menangkap pembicaraan dan diskriminasi suara 8. Tes rekrutmen Sesudah dilakukan pemeriksaan terhadap pekerja dan lingkungan kerja maka dapat ditentukan apakah gangguan pendengaran akibat pekerjaan ataukah sebab yang lain. Bila terjadi akibat pajanan bising berlebihan di tempat kerja, harus dilakukan perhitungan formulasi gangguan pendengaran untuk memberikan kompensasi yang sesuai dengan kondisi pekerja tersebut. Setiap pekerja harus dievaluasi secara individual. Kompensasi diberikan sesuai dengan ketentuan hukum yang berbeda di masing-masing negara. Pada tulisan ini tidak akan dibahas mengenai perhitungan kompensasi.

KESIMPULAN Kebisingan di tempat kerja dapat menimbulkan gangguan pendengaran dan gangguan sistemik yang dalam jangka waktu panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan penurunan produktivitas tenaga kerja. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan dan deteksi dini untuk pencegahan karena kerugian yang harus dibayarkan akibat kebisingan ini cukup besar. Pemeriksaan gangguan pendengaran harus dilakukan secara teliti, cermat, dan hati-hati untuk menghindari kesalahan prosedur dalam memberikan kompensasi kepada tenaga kerja.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. Harris CM (ed). Handbook of Noise Control. 2nd ed. McGraw-Hill Book Comp. New York : 1979. Nilland J. Zenz C. Occupational Hearing Loss, Noise, dan Hearing Conservation. In : Zenz C. (chief ed). Dickerson OB. Horvarth EP. Occupational Medicine. 3rd ed. Mosby. St. Louis : 1994 Soepardi ES. Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2001 Department for Environment, Food and Rural Affair. Noise and Nuisance Policy : Health Effect Based Noise Assasment Methods : A review and Feasibility Study September 1998. In ; http://www.defra.gov.uk/ environment/noise/health/page05.htm. February 6th, 2004.

28

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Program Konservasi Pendengaran di Tempat Kerja


Ambar W. Roestam
Subbagian Kedokteran Kerja, Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PENDAHULUAN Di negara-negara industri, bising merupakan masalah utama kesehatan kerja. Menurut WHO (1995), diperkirakan hampir 14% dari total tenaga kerja negara industri terpapar bising melebihi 90dB di tempat kerjanya. Diperkirakan lebih dari 20 juta orang di Amerika terpapar bising 85 dB atau lebih. Waugh dan Forcier mendapat data bahwa perusahaan kecil sekitar Sydney mempunyai tingkat kebisingan 87 dB. Di Quebec-Canada, Frechet mendapatkan data bahwa 55% daerah industri mempunyai tingkat kebisingan di atas 85 dB dan menurut survei prevalensi NIHL (Noise Induced Hearing Loss) atau TAB (Tuli Akibat Bising) bervariasi antara 40 50%. Di Indonesia, di pabrik peleburan besi baja prevalensi NIHL 31,55% pada tingkat paparan kebisingan 85 - 105 dB (Sundari,1997). Di perusahaan plywood di Tangerang, prevalensi NIHL 31,81% dengan paparan kebisingan 86.1 108.2 dB (Lusianawaty). Penelitian Zuldidzaan (1995) pada awak pesawat helikopter TNI AU dan AD mendapatkan paparan bising antara 86 117 dB dengan prevalensi NIHL 27,16 %. Penelitian pada pengemudi bajaj (Kertadikara, 1997) mendapatkan bahwa mereka terpapar bising antara 97 101 dB dengan 50% NIHL. Ini diperkuat dengan penelitian Yenni Basiruddin yang mendapatkan tingkat kebisingan dan getar pada pengemudi bajaj melebihi nilai ambang batas. Pada pengukuran bising didapatkan rerata intensitas bising bajaj 91 dB (64 dB - 96 dB), rerata akselerasi getar 4.2m/dt2. Pada kelompok ini pengemudi yang mengalami gangguan keseimbangan dan pendengaran sebesar 27,43%, gangguan pendengaran saja 17,14% dan gangguan keseimbangan saja 27,71%; jumlah seluruh gangguan mencapai 72,28% dari 350 pengemudi bajaj yang diperiksa. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa paparan di atas 85 dB dapat menimbulkan NIHL atau ketulian. Selain itu kebisingan juga dapat menimbulkan keluhan non-pendengaran seperti susah tidur, mudah emosi, dan gangguan konsentrasi yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja.

Pencegahan dampak buruk kebisingan memerlukan perhatian dan dukungan semua jajaran di tempat kerja, dari jajaran tertinggi sampai tenaga kerja pelaksana. Penerapan program konservasi pendengaran di tempat kerja bermanfaat untuk mencegah gangguan pendengaran akibat paparan bising. Apa yang disebut kebisingan Frekuensi suara bising biasanya terdiri dari campuran sejumlah gelombang suara dengan berbagai frekuensi atau disebut juga spektrum frekuensi suara. Nada kebisingan dengan demikian sangat ditentukan oleh jenis-jenis frekuensi yang ada. Berdasarkan sifatnya bising dapat dibedakan menjadi : 1. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas amplitudo kurang lebih 5dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut. Contoh: dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji sirkuler, suara katup mesin gas, kipas angin, suara dapur pijar, dsb. 2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (misal 5000, 1000 atau 4000 Hz), misalnya suara gergaji sirkuler, suara katup gas. 3. Bising terputus-putus Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu kebisingan tidak berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Contoh kebisingan ini adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang dll 4. Bising impulsif Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu sangat cepat dan biasanya mengejutkan pendengarnya. Contoh bising impulsif misalnya suara ledakan mercon, tembakan, meriam dll.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

29

Bising impulsif berulang-ulang Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pada mesin tempa. Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah bising yang bersifat kontinu, terutama yang memilikis pektrum frekuensi lebar dan intensitas yang tinggi. Untuk melindungi pendengaran manusia (pekerja) dari pengaruh buruk kebisingan, Organisasi Pekerja Internasional /ILO (International Labour Organization) telah mengeluarkan ketentuan jam kerja yang diperkenankan, yang dikaitkan dengan tingkat intensitas kebisingan lingkungan kerja sebagai berikut (Tabel 1).
Tabel 1. Batasan waktu dan Pajanan kebisingan Intensitas suara (dB) OSHA Indonesia 90 85 92 95 88 100 91 105 94 110 97 115 100 Jam kerja terpapar 8 6 4 2 1 0.5 0.25 atau kurang

5.

keselamatan tenaga kerja. 4. Gangguan keseimbangan Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala pusing (vertigo) atau mual-mual. 5. Efek pada pendengaran Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari sumber bising; namun bila terus menerus bekerja di tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan tidak akan pulih kembali. Ketulian akibat pengaruh bising ini dikelompokkan sbb: Temporary Threshold Shift = Noise-induced Temporary Threshold Shift = auditory fatigue = TTS - non-patologis - bersifat sementara - waktu pemulihan bervariasi - reversible/bisa kembali normal Penderita TTS ini bila diberi cukup istirahat, daya dengarnya akan pulih sempurna. Untuk suara yang lebih besar dari 85 dB dibutuhkan waktu bebas paparan atau istirahat 3-7 hari. Bila waktu istirahat tidak cukup dan tenaga kerja kembali terpapar bising semula, dan keadaan ini berlangsung terus menerus maka ketulian sementara akan bertambah setiap harikemudian menjadi ketulian menetap. Untuk mendiagnosis TTS perlu dilakukan dua kali audiometri yaitu sebelum dan sesudah tenaga kerja terpapar bising. Sebelumnya tenaga kerja dijauhkan dari tempat bising sekurangnya 14 jam. Permanent Threshold Shift (PTS) = Tuli menetap - patologis - menetap PTS terjadi karena paparan yang lama dan terus menerus. Ketulian ini disebut tuli perseptif atau tuli sensorineural. Penurunan daya dengar terjadi perlahan dan bertahap sebagai berikut : a. Tahap 1 : timbul setelah 10-20 hari terpapar bising, tenaga kerja mengeluh telinganya berbunyi pada setiap akhir waktu kerja. b. Tahap 2 : keluhan telinga berbunyi secara intermiten, sedangkan keluhan subjektif lainnya menghilang. Tahap ini berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. c. Tahap 3 : tenaga kerja sudah mulai merasa terjadi gangguan pendengaran seperti tidak mendengar detak jam, tidak mendengar percakapan terutama bila ada suara lain. d. Tahap 4 : gangguan pendengaran bertambah jelas dan mulai sulit berkomunikasi. Pada tahap ini nilai ambang pendengaran menurun dan tidak akan kembali ke nilai ambang semula meskipun diberi istirahat yang cukup. Tuli karena Trauma akustik Perubahan pendengaran terjadi secara tiba-tiba, karena suara impulsif dengan intensitas tinggi, seperti letusan, ledakan dan

Di Indonesia, intensitas bising di tempat kerja yang diperkenankan adalah 85 dB untuk waktu kerja 8 jam perhari, seperti yang diatur dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja no SE.01/Men/1978 tentang Nilai Ambang Batas (NAB) untuk kebisingan di tempat kerja. PENGARUH BISING TERHADAP KESEHATAN TENAGA KERJA Bising menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja, seperti gangguan fisiologis, gangguan psikologis, gangguan komunikasi dan ketulian. 1. Gangguan fisiologis Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa peningkatan tekanan darah ( 10 mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. 2. Gangguan psikologis Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, susah tidur, cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, stres, kelelahan, dan lain-lain. 3. Gangguan komunikasi Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya; gangguan komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan

30 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

lainnya. Diagnosis mudah dibuat karena penderita dapat mengatakan dengan tepat terjadinya ketulian. Tuli ini biasanya bersifat akut, tinitus, cepat sembuh secara parsial atau komplit.

AKIBAT KETULIAN TERHADAP AKTIVITAS SEBAGAI TENAGA KERJA Akibat ketulian terhadap aktivitas sebagai tenaga kerja dibedakan atas : 1. Hearing Impairment Didefinisikan sebagai kerusakan fisik telinga baik yang irreversible (NIHL/PTS) maupun yang reversible (TTS) 2. Hearing Disability Didefinisikan sebagai kesulitan mendengarkan akibat hearing impairment, misalnya : a. Problem komunikasi di tempat kerja b. Problem dalam mendengarkan musik c. Problem mencari arah/asal suara d. Problem membedakan suara Secara ringkas dapat dikatakan efek hearing impairment terhadap disability berbeda pada setiap individu, tergantung fungsi psikologis dan aktivitas sosial yang bersangkutan. 3. Handicap Ketidakmampuan atau keterbatasan seseorang untuk melakukan suatu tugas yang normal dan berguna baginya. Menurut WHO diklasifikasikan sebagai berikut : a. Orientation handicap (ketidakmampuan/keterbatasan dalam mengikuti pembicaraan) b. Physical independence handicap (ketidakmampuan/ keterbatasan untuk mandiri) c. Occupational handicap (ketidakmampuan/keterbatasan dalam bekerja dan memilih karir) d. Economic self-sufficiency handicap e. Social integration handicap (ketidakmampuan/ keterbatasan dalam melakukan aktivitas normal harian, seperti respons terhadap alarm atau pesan lisan f. Inability to cope with occupational requirement (ketidakmampuan/keterbatasan yang mengakibatkan berkurangnya penghasilan) Kebisingan sangat merugikan tenaga kerja, terutama bila sampai NIHL dan juga merugikan perusahaan karena performance tenaga kerja yang menurun, biaya kesehatan yang membengkak serta kompensasi bila NIHL karena pekerjaan; oleh karena itu pencegahan terhadap gangguan pendengaran ini perlu diprioritaskan. Program pencegahan ini dikenal dengan istilah Program Konservasi Pendengaran. PROGRAM PENCEGAHAN/ PROGRAM KONSERVASI PENDENGARAN Program pencegahan yang dapat dilakukan meliputi halhal berikut (NIOSH, 1996): 1. Monitoring paparan bising 2. Kontrol engineering dan administrasi 3. Evaluasi audiometer

Penggunaan Alat Pelindung Diri (PPE) Pendidikan dan Motivasi Evaluasi Program Audit Program Manfaat utama program ini adalah mencegah kehilangan pendengaran akibat kerja; kehilangan pendengaran akan mengurangi kualitas hidup seseorang dalam pekerjaannya. Hubungan antara tenaga kerja dengan pengusaha akan lebih baik, angka turn-over karena lingkungan kerja akan rendah. 1. Bagi pengusaha Taat hukum, hubungan baik dengan karyawan, menunjukkan itikad baik, meningkatkan produktivitas, mengurangi angka kecelakaan, mengurangi angka kesakitan, mengurangi lost day dan menaikkan kepuasan karyawan. 2. Bagi karyawan Mencegah ketulian; ketulian akibat bising tidak terasa (tanpa sakit), bersifat menetap (irreversible). Serta bisa mengurangi stres. Untuk melaksanakan program ini diperlukan hal-hal sebagai berikut : 1. Dukungan manajemen 2. Berupa policy statement 3. Integrated dengan program K3 4. Ada penanggung jawab program yang ditunjuk resmi Penanggung jawab bekerja sama dengan manajemen dan karyawan membuat Hearing Lost Prevention Plan and Policy. Manajemen dan karyawan konsisten melaksanakan program. 5. SOP dari setiap langkah dalam plan & policy harus jelas 6. Kontraktor dan vendor harus taat pada plan & policy tersebut. Dalam menyusun program konservasi pendengaran ini perlu diperhatikan beberapa hal, antara lain: 1. Berpedoman bahwa pekerja tetap sehat dalam lingkungan bising. 2. Dilaksanakan oleh semua jajaran, dari pimpinan tertinggi sampai pekerja pelaksana. Komitmen pimpinan dan pekerja sangat penting. 3. Mengurangi dosis paparan kebisingan dengan memperhatikan tiga unsur : a. Sumber: mengurangi intensitas kebisingan (disain akustik, menggunakan mesin/alat yang kurang bising dan mengubah metode proses). b. Media: mengurangi transmisi kebisingan (menjauhkan sumber bising dari pekerja, mengaborsi dan me-ngurangi pantulan kebisingan secara akustik pada dinding, langit-langit dan lantai, menutup sumber kebisingan dengan barrier. c. Tenaga kerja: mengurangi penerimaan bising (penggunaan alat pelindung diri, ruang isolasi. rotasi kerja, jadwal kerja , dan lain-lain). 4. Mempertimbangkan kelayakan teknis dan ekonomis. 5. Utamakan pencegahan bukan pengobatan, proaktif bukan reaktif, kesejahteraan bukan santunan. 6. NAB bukanlah garis pemisah antara sakit dan sehat, namun merupakan pedoman. Penilaian dilakukan dengan memantau kebisingan lingkungan dan kesehatan pendengaran tenaga kerja (IDKI, 1994). Program selengkapnya adalah sebagai berikut :

4. 5. 6. 7.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

31

I. MONITORING PAPARAN BISING Tujuan monitoring paparan bising, yang sering juga disebut survei bising, bertujuan untuk : 1. Memperoleh informasi spesifik tentang tingkat kebisingan yang ada pada setiap tempat kerja. 2. Menetapkan tempat-tempat yang akan diharuskan menggunakan APD. 3. Menetapkan pekerja yang harus (compulsory) menjalani pemeriksaan audiometri secara periodik. 4. Menetapkan kontrol bising (baik administratif maupun teknis). 5. Menilai apakah perusahaan telah memenuhi persyaratan UU yang berlaku. Prinsip monitoring paparan bising : Pengukuran dilakukan oleh pegawai yang mempunyai kualifikasi sebagai berikut : 1. SOP pengukuran harus ada dan jelas. 2. Hasil dikomunikasikan pada manajemen dan pegawai, - paling lama dalam waktu 2 minggu - untuk Jamsostek di Indonesia : 2 x 24 jam Ada 2 macam monitoring paparan bising : 1. Monitoring pendahuluan Pengukuran bising pendahuluan untuk menentukan masalah yang potensial berbahaya untuk pendengaran, berdasarkan lokasi tempat kerja. Survei ini dilaksanakan jika terdapat kesulitan dalam berkomunikasi, adanya keluhan pekerja bahwa telinga berdengung setelah bekerja. 2. Monitoring bising terperinci Dilakukan berdasarkan hasil monitoring bising pendahuluan, dengan menetapkan lokasi khusus yang memerlukan penelitian lebih lanjut. Pemeriksaan dilakukan secara terperinci di setiap lokasi. Monitoring bising terperinci dilakukan dalam tiga tahap : a. Pengukuran lingkungan kerja slow response dengan skala A (dB). Buat gambar peta bising (luas < = 93 meter). Bila hasil lebih dari 80 dB maka lingkungan tersebut cukup aman untuk bekerja, sedangkan bila antara 80 92 dB perlu pengukuran dan tindakan lebih lanjut (skala b). b. Pengukuran di tempat kerja (<85 dB) Dilakukan dengan skala B (intensitas bunyi) , pengukuran dengan peta, ukur tempat dan ruang kerja, ukur maximun dan minimumnya., bila lebih dari 85 dB, lakukan tahap selanjutnya c. Lamanya paparan (jumlah jam terpapar) Buat logbook untuk setiap orang berdasarkan job classification, catat lamanya terpapar (sekarang digunakan audiometer).

tenaga mesin, kecepatan putaran atau isolasi. 4. Mengubah proses kerja misal kompresi diganti dengan pukulan. 5. Mengurangi transmisi bising yang dihasilkan benda padat dengan menggunakan lantai berpegas, menyerap suara pada dinding dan langit-langit kerja. 6. Mengurangi turbulensi udara dan mengurangi tekanan udara. 7. Melakukan isolasi operator dalam ruang yang relatif kedap suara. Pengendalian administratif dilakukan dengan cara : 1. Mengatur jadual produksi 2. Rotasi tenaga kerja 3. Penjadualan pengoperasian mesin 4. Transfer pekerja dengan keluhan pendengaran 5. Mengikuti peraturan III. EVALUASI AUDIOMETRI Pengukuran audiometrik sebaiknya dilakukan pada : 1. Pre-employment 2. Penempatan ke tempat bising 3. Setiap tahun, bila bising > 85 dB 4. Saat pindah tugas keluar dari tempat bising 5. Saat pensiun/purna tugas Tipe audiogram : 1. Pre-employment/preplacement/Baseline 2. Annual monitoring 3. Exit Policy mengenai audiogram : 1. Base line atau data dasar : - dalam 6 bulan mulai bekerja di tempat bising (85 dA) - untuk baseline 14 jam bebas bising, atau menggunakan APD 2. Annual audiogram Bagi yang TWA > 85 dBA 3. Evaluasi : - setiap tahun dibandingkan dengan base-line - bila STS (Significant Threshold Shift) > 10 dB (rata-rata pada 2000-3000-4000 Hz), maka disebut + (positif) Bila STS (+) maka yang dilakukan adalah : - periksa dokter - periksa tempat kerja - periksa data kalibrasi alat - komunikasikan dengan karyawan tersebut - jika karena penyakit, konsulkan ke dokter THT - periksa ulang dalam waktu 1 (satu) tahun Bila STS (+) karena pekerjaannya : - Bila belum menggunakan APD, diharuskan memakai - Bila sudah memakai, beri petunjuk ulang - Komunikasikan dengan pegawai dan atasan secara tertulis - Bila perlu, konsul THT Lakukan revisi baseline, bila STS persisten atau membaik IV. PENGGUNAAN APD Beberapa faktor yang mempengaruhi penggunaan alat pelindung telinga : 1. Kecocokan; alat pelindung telinga tidak akan memberikan

II. KONTROL - engineering dan administratif Kontrol engineering ditujukan pada sumber bising dan sebaran bising; contohnya : 1. Pemeliharaan mesin (maintenance) yaitu mengganti, mengencangkan bagian mesin yang longgar, memberi pelumas secara teratur, dan lain-lain. 2. Mengganti mesin bising tinggi ke yang bisingnya kurang. 3. Mengurangi vibrasi atau getaran dengan cara mengurangi

32 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

perlindungan bila tidak dapat menutupi liang telinga rapatrapat. 2. Nyaman dipakai; tenaga kerja tidak akan menggunakan APD ini bila tidak nyaman dipakai. 3. Penyuluhan khusus, terutama tentang cara memakai dan merawat APD tersebut. Jenis-jenis alat pelindung telinga : 1. Sumbat telinga (earplugs/insert device/aural insert protector) Dimasukkan ke dalam liang telinga sampai menutup rapat sehingga suara tidak mencapai membran timpani. Beberapa tipe sumbat telinga : a. formable type b. custom-molded type c. premolded type Sumbat telinga bisa mengurangi bising s/d 30 dB lebih. 2. Tutup telinga (earmuff/protective caps/circumaural protectors) Menutupi seluruh telinga eksternal dan dipergunakan untuk mengurangi bising s/d 40- 50 dB frekuensi 100 8000 Hz. 3. Helmet/ enclosure Menutupi seluruh kepala dan digunakan untuk mengurangi maksimum 35 dBA pada 250 Hz sampai 50 d pada frekuensi tinggi Pemilihan alat pelindung telinga : 1. Earplug bila bising antara 85 200 dBA 2. Earmuff bila di atas 100 dBA 3. Kemudahan pemakaian, biaya, kemudahan membersihkan dan kenyamanan Pedoman yang sering digunakan adalah sebagai berikut :
TWA/dBA < 85 85 89 90 94 95 99 > 100 Pemakaian APD Tidak wajib/perlu Optional Wajib Wajib Wajib Pemilihan APD Bebas memilih Bebas memilih Bebas memilih Pilihan terbatas Pilihan sangat terbatas

APD ini harus tersedia di tempat kerja tanpa harus membebani pekerja dari segi biaya, perusahaan harus menyediakan APD ini. Cara terbaik sebenarnya bukan penggunaan APD tetapi pengendalian secara teknis pada sumber suara.

VI. EVALUASI PROGRAM Evaluasi program ditujukan untuk mengevaluasi hasil program-program konservasi, dengan sasaran : 1. Review program dari sisi pelaksanaan serta kualitasnya, misalnya pelatihan dan penyuluhan, kesertaan supervisor dalam program, pemeriksaan masing-masing area untuk meyakinkan apakah semua komponen program telah dilaksanakan. 2. Hasil pengukuran kebisingan, identifikasikan apakah ada daerah lain yang perlu dikontrol lebih lanjut. 3. Kontrol engineering dan administratif. 4. Hasil pemantauan audiometrik dan pencatatannya; bandingkan data audiogram dengan baseline untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan program. 5. APD yang digunakan. VII. PROGRAM AUDIT 1. Audit Eksternal, dapat dilakukan program audit oleh pihak luar untuk mengetahui cost-effectiveness dan cost-benefit dari program konservasi pendengaran. 2. QQ program (Quality Qontrol Program) dilakukan secara internal, terus menerus untuk menilai efektivitas program konservasi pendengaran. PENUTUP Mengingat kebisingan dan tuli akibat bising bisa dicegah dengan program konservasi pendengaran, perusahaan sangat dianjurkan untuk menerapkan program konservasi. Tidak saja untuk melindungi pekerja, keuntungan utama perusahaan adalah mendapatkan karyawan yang produktif dan sehat.

V. PENDIDIKAN DAN MOTIVASI Program pendidikan dan motivasi menekankan bahwa program konservasi pendengaran sangat bermanfaat untuk melindungi pendengaran tenaga kerja, dan mendeteksi perubahan ambang pendengaran akibat paparan bising. Tujuan pendidikan adalah untuk menekankan keuntungan tenaga kerja jika mereka memelihara pendengaran dan kualitas hidupnya. Lebih lanjut penyuluhan tentang hasil audiogram mereka, sehingga tenaga kerja termotivasi untuk berpartisipasi melindungi pendengarannya sendiri. Juga melalui penyuluhan diharapkan tenaga kerja mengetahui alasan melindungi telinga serta cara penggunaan alat pelindung telinga.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

33

Redaksi Mengucapkan Selamat atas diselenggarakannya : Telemedicine Network in Indonesia di Yogyakarta, 10 Juli 2004 Website : http://telmed.fkumy.net
Redaksi CDK

34 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

PRAKTIS

Perawatan Mandiri Pasca Trakeostomi


HR Krisnabudhi
]

Rumah Sakit Bina Husada Cibinong, Bogor, Jawa Barat

PENDAHULUAN Trakeostomi ialah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke trakea untuk mengatasi asfiksi apabila ada gangguan lalulintas udara pernapasan. Trakeostomi diindikasikan untuk membebaskan obstruksi jalan napas bagian atas, melindungi trakea serta cabang-cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya discharge bronkus, serta pengobatan terhadap penyakit (keadaan) yang mengakibatkan insufisiensi respirasi. Perawatan pasca trakeostomi besar pengaruhnya terhadap kesuksesan tindakan dan tujuan akhir trakeostomi. Perawatan pasca trakeostomi yang baik meliputi pengisapan discharge, pemeriksaan periodik kanul dalam, humidifikasi buatan, perawatan luka operasi di stoma, pencegahan infeksi sekunder dan jika memakai kanul dengan balon (cuff) yang high volumelow pressure cuff. Perawatan kanul trakea di rumah sakit dilakukan oleh paramedis yang terlatih dan mengetahui komplikasi trakeostomi(1), yang dapat disebabkan oleh alatnya sendiri maupun akibat perubahan anatomis dan fisiologis jalan napas pasca trakeostomi. Pasca trakeostomi kadang-kadang penderita pulang dengan kanul trakea masih terpasang. Selama di rumah penderita harus dapat memeliharanya agar jalan napas tetap lancar dan tidak terjadi komplikasi akibat kanul trakea. Untuk itu penderita harus mengetahui cara mengganti dan membersihkan kanul trakea serta tersedianya alat-alat yang diperlukan(2). Berdasarkan permasalahan tersebut, akan diuraikan cara perawatan mandiri pasca trakeostomi oleh penderita(3), petunjuk dokter atau paramedis yang perlu diberikan kepada penderita, cara membersihkan kanul dalam, mengganti kanul trakeostomi dan membersihkan discharge yang terjadi. Mudahmudahan informasi yang didapat dari kepustakaan ini berguna untuk mengelola pasien pasca trakeostomi di rumah. TRAKEOSTOMI Istilah trakeotomi dan trakeostomi dengan maksud membuat hubungan antara leher bagian anterior dengan lumen

trakea, sering saling tertukar. Definisi yang tepat untuk trakeotomi ialah membuat insisi pada trakea, sedang trakeostomi ialah membuat stoma pada trakea. PERUBAHAN-PERUBAHAN FISIOLOGIS AKIBAT TRAKEOSTOMI Di samping efek pada laring yang menyebabkan penderita tidak dapat berbicara, trakeostomi juga meniadakan proses pemanasan dan pelembaban udara inspirasi. Perubahan ini menyebabkan gagalnya silia mukosa bronkus mengeluarkan partikel-partikel tertentu dari paru. Discharge trakea berkurang dan menjadi kental, akhirnya terjadi metaplasia skuamosa pada epitel trakea. Trakeostomi memintas laring dan saluran napas bagian atas, karena itu mengurangi tahanan terhadap aliran udara, terutama bila telah terjadi proses patologik yang menyebabkan penyempitan di daerah glotis. Trakeostomi mengurangi ruang mati (dead space) anatomik sampai 100 ml. Hal ini sangat penting bagi penderita dengan tidal volume yang sangat terbatas. Trakeostomi dapat mengganggu gerakan pengangkatan laring pada waktu menelan. Keadaan ini menyebabkan penderita enggan menelan dan sering tersedak karena aspirasi ludah ke dalam laring dan trakea. Trakeostomi meniadakan mekanisme filtrasi saluran napas bagian superior, mengurangi efektifitas refleks batuk, dan mengganggu gerakan penutupan glotis hingga sering terjadi aspirasi ludah. Bila digunakan kanul trakea yang memakai balon, tekanan balon pada dinding lateral trakea dapat menyebabkan hipoksi epitel mukosa trakea. Epitel ini mudah terinfeksi hingga terjadi erosi mukosa trakea. Bartlett dkk menyatakan dari hasil penyelidikannya bahwa pada trakea yang normal tidak terdapat bakteri. Pada discharge trakea penderita dengan trakeostomi sering ditemukan berbagai koloni bakteri, yang sering ialah Pseudomonas aeruginosa dan kokus gram positif(4). Selanjutnya dikatakan, tidak ada korelasi antara bakteri dan flora saluran napas bagian atas dengan bakteri dan flora trakea penderita; bakteri dan flora di dalam trakea penderita berasal dari sumber-sumber lain, bukan dari saluran napas bagian atas.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

35

PERAWATAN PASCA TRAKEOSTOMI Adanya kanul di dalam trakea yang merupakan benda asing akan merangsang pengeluaran discharge. Discharge ini akan keluar bila penderita batuk, pada saat dilakukan pengisapan atau pada saat penggantian kanul. Pengeluaran discharge dengan jalan membatukkan pada penderita dengan trakeostomi tidak seefektif pada orang normal, karena penderita tidak dapat menutup glotis untuk menghimpun tekanan yang tinggi(5), sehingga perlu dilakukan pengisapan. Beberapa jam pertama pasca bedah, dilakukan pengisapan discharge tiap 15 menit, selanjutnya tergantung pada banyaknya discharge dan keadaan penderita. Pengisapan discharge dilakukan dengan kateter pengisap yang steril dan disposable. Pada saat pengisap dimasukkan ke dalam trakea, jangan diberi tekanan negatif, begitu pula antara pengisapan harus diberi periode istirahat agar udara paru tidak terlalu banyak terisap, dengan demikian residual volume tidak banyak berkurang. Setelah ujung pengisap sampai di bronkus, dilakukan pengisapan perlahan-lahan sambil memutar kanul pengisap. Jika kanul trakea mempunyai kanul dalam, kanul dalamnya dikeluarkan terlebih dahulu. Kanul dalam ini harus sering diangkat dan dibersihkan. Lore (1973) menganjurkan memakai pengisap terkecil yang dapat melakukan pengisapan dengan adekuat, sedang Feldman dan Crawley (1971) memakai kateter pengisap steril dan non traumatik yang penampangnya kurang dari separuh penampang trakea. Sebelum melakukan pengisapan, sebaiknya penderita diberi oksigen selama 2-3 menit. Bila didapatkan sekret yang kental, teteskan larutan garam fisiologis terlebih dahulu. Dengan adanya trakeostomi, fungsi humidifikasi yang sebelumnya dilakukan oleh saluran napas bagian atas menghilang. Untuk itu menggantikannya perlu dilakukan humidifikasi buatan. Cara-cara untuk humidifikasi udara inspirasi di antaranya ialah: a). Condensor humidifier. Alat ini dipasang pada kanul trakea. Pada waktu ekspirasi, uap air mengembun pada lempeng-lempeng metal dari kondensor. Kekurangan alat ini ialah jika terjadi penimbunan discharge pada alat tersebut fungsinya akan berkurang. Alat ini harus diganti setiap 3 jam. b). Dengan melewatkan udara inspirasi melalui reservoir berisi air yang secara teratur dipanaskan dengan termostat. Alat ini relatif lebih efisien. Bila penderita bernafas spontan, campuran gas ditiupkan melalui suatu T-piece atau melalui kotak plastik yang dilubangi. c). Dengan menambahkan tetesan-tetesan air yang halus pada udara inspirasi. Efektifitas tetesan ini tergantung pada jumlah tetesan dan kelembaban relatif udara inspirasi. d). Secara sederhana humidifikasi dapat dikerjakan dengan menaruh lembaran kasa yang telah dibasahi di depan mulut kanul. Kasa tersebut diikatkan pada leher dan harus diganti sesering mungkin. Bila kanul terbuat dari polivinil klorida atau dari silikon, kanul ini diganti setiap 7 hari atau lebih cepat, karena lumennya akan mengecil oleh timbunan krusta dan discharge. Sebelum mengangkat kanul, trakea dan daerah faring

diisap terlebih dahulu, setelah itu balon dikempiskan kemudian kanul diangkat dan stoma dibersihkan dengan cepat. Kanul baru dipasang dengan mengarahkan ujungnya ke arah posterior lebih dahulu kemudian ke arah kaudal. Kesalahan memasang kanul dapat berakibat kanul terletak di dalam mediastinum. Bila diduga akan terjadi kesulitan pada pemasangan kanul kembali, siapkan alat-alat untuk resusitasi, laringoskop dan PET (pipa endo trakeal). Setelah penggantian kanul dilakukan auskultasi paru untuk menyakini bahwa kedua paru sama mengembang. Bila digunakan kanul memakai balon (cuff), sebaiknya dipilih balon yang bervolume besar dan bertekanan rendah. Balon diisi dengan udara secukupnya agar menempel rapat pada dinding trakea, dan jumlah udara yang dimasukkan dicatat. Jika balon terlalu banyak diisi udara akan terjadi hal-hal sebagai berikut: a). Iskemia dan nekrosis mukosa trakea. b). Nekrosis cincin-cincin tulang rawan trakea. c). Herniasi balon pada ujung kanul akan menyumbat jalan napas. d). Akan timbul gangguan saat menelan. Luka operasi pada stoma bila bersih cukup ditutup dengan kasa steril, tetapi luka terinfeksi perlu dikultur dan uji kepekaan dan diberikan antibiotika yang sesuai. Akhirnya penderita diajari untuk merawat diri sendiri. PERAWATAN MANDIRI PASCA TRAKEOSTOMI Pasca trakeostomi penderita akan diberi petunjuk oleh dokter atau paramedis perihal perawatan kanul trakeostomi. Petunjuk untuk penderita ini tergantung pada keadaan penderita saat dari rumah sakit. Petunjuk umum Belajarlah merawat sendiri kanul trakeostomi atas tanggung jawab sendiri. Jika tergantung pada seseorang saat melakukan hal itu, mungkin akan bermasalah. Peralatan hendaknya tersedia setiap saat melakukan perawatan kanul; lakukan setiap hari seperti menyikat gigi atau menyisir rambut. Kulit sekitar kanul dipelihara kebersihannya dengan air sabun, menggunakan lap atau kasa perban. Krusta diangkat dengan kapas aplikator yang dimasukkan ke dalam perhidrol. Pastikan tidak ada air memasuki stoma, dan hati-hati membersihkan kulit di sekitar kanul. Jika mengalami kesulitan bernapas atau pernapasan menjadi berbunyi, mungkin telah terdapat krusta atau mukus di dalam kanul. Angkatlah kanul dalam dan bersihkan. Jika ditemukan krusta dari mukus tebal yang sering terbentuk di dalam kanul, paling baik membersihkannya dengan memakai kasa basah di atas kanul. Jika udara rumah kering, mungkin diperlukan pelembab (bukan vaporizer). Membersihkan kanul dalam Alat yang perlu disediakan ialah botol kecil, kasa perban, penjepit, panci bergagang, saringan, dan cairan penggosok perak. Cara membersihkan kanul dalam, sebagai berikut: 1). Buatlah larutan sabun di dalam botol. 2). Angkat kanul dalam dengan cara pertama-tama putar kait kecil pengunci kanul

36 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

dalam dan kemudian tarik kanul dalam ke luar. 3). Cuci kanul dalam dengan air dingin dan kemudian rendam untuk beberapa menit di dalam cairan sabun. 4). Bersihkan bagian dalam kanul dalam dengan kasa yang salah satu ujungnya diikatkan pada suatu tempat (Gb. 1). Gunakan penjepit untuk membantu menarik kasa melalui kanul. Tarik kanul dalam ke belakang, ke depan dan seterusnya sekeliling kasa yang diikatkan sampai bagian dalam kanul dalam bersih. 5). Setelah kanul dalam bersih, cuci dengan baik memakai air dingin yang mengalir. 6). Jika kanul dari perak telah memudar, rendam di dalam cairan pembersih perak untuk beberapa menit, kemudian bersihkan dan cuci. 7). Goyangkan kanul dalam untuk mengangkat tetesan air. Masukkan kanul dalam ke tempatnya dan putar kait kecil pengunci untuk mengunci pada tempatnya. 8). Minimal sekali sehari didihkan kanul dalam setelah dibersihkan.

Gambar 2. Cara sterilisasi kanul dalam

Logam bahan pada kanul perak sangat lunak, oleh karena itu dapat tergores atau bengkok dengan mudah, oleh karena itu tidak boleh dicoba untuk digores; krusta dapat diangkat dengan merendamnya. Tidak boleh digunakan penggosok kasar untuk membersihkan kanul dalam. Biasanya, kanul dalam dan luar dibuat secara spesifik agar cocok satu dengan yang lain, bahkan kanul dalam tidak akan saling tertukar dengan yang lain. Kanul plastik dapat dibersihkan dan dididihkan dengan cara yang sama seperti halnya kanul perak. Cara mengganti kanul trakeostomi Petunjuk khusus dari dokter dan perawat diperlukan sebelum penderita mengganti kanul trakeostominya. Adanya lubang pada anterior leher yang secara langsung berhubungan dengan trakea, menyebabkan kanul trakeostomi dapat dimasukkan dengan mudah. Untuk mengangkat kanul trakeostomi, pita trakeostomi dibuka lebih dahulu, pelindung atau permukaan lempeng kanul trakeostomi dipegang dengan ibu jari dan jari telunjuk, kemudian ditarik ke arah anterior dan posterior. Kanul harus bersih dengan pita trakeostomi telah terpasang, dan siap untuk dimasukkan sebelum pengangkatan kanul trakeostomi. Salep dioleskan sangat tipis pada permukaan luar kanul trakeostomi untuk mempermudah memasukkannya. Pita trakeostomi yang digunakan pada kanul dapat satu atau dua untai (Gb. 3).

Gambar 1. Pembersihan kanul dalam

Merebus kanul dalam Tahapan untuk merebus kanul dalam ialah : 1). Tempatkan kanul dalam bersih pada saringan dan tempatkan saringan pada panci bergagang (Gb.2a). 2). Isi panci dengan air secukupnya untuk merendam kanul dalam (Gb. 2b). 3). Setelah air mendidih, didihkan kanul dalam selama 5 menit. 4). Angkat saringan dari panci bergagang, tuangkan air dari panci, dan tempatkan kembali saringan dalam panci. 5). Biarkan kanul dalam dingin untuk beberapa menit sebelum dimasukkan ke dalam kanul luar (Gb. 2).

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

37

Cara melakukan : 1). Siapkan alat-alat. 2). Pegang kateter dengan salah satu tangan dan balon karet pada semprit dengan tangan yang lain. 3). Tekan balon karet sebelum kateter dimasukkan ke dalam kanul trakeostomi, untuk mengeluarkan udara di dalamnya. 4). Lepaskan balon karet, mukus akan terhisap ke dalam kateter dan semprit. 5). Bersihkan alat-alat dengan air sabun. Peralatan tersebut sering dididihkan untuk memelihara kebersihannya (Gb.4).

4 X 4 gauze pad

Gambar 3. Cara penggantian kanul trakeostomi

Pada saat memasukkan kanul trakeostomi, penderita melihatnya melalui cermin dan pegang tiap sisi lempeng permukaan kanul dengan ibu jari dan jari telunjuk. Kanul trakeostomi akan meluncur ke dalam dengan tekanan ke arah dalam secara halus. Di samping itu, hal yang penting ialah bahwa kanul dimasukkan segera setelah kotoran yang melekat pada kanul dibersihkan. Setelah kanul trakeostomi terpasang di tempatnya dan pita trakeostomi diikat, tempatkan kasa di atas kanul. Cara menghisap Banyaknya discharge mukus bervariasi. Mukus ini akan meningkat jumlahnya jika penderita dingin, jika udara dalam rumah kering, atau jika kanul teriritasi. Penghisapan mungkin diperlukan untuk mengontrol mukus. Mesin penghisap yang mudah dibawa dapat dipinjam dari rumah sakit dengan petunjuk penggunaannya. Kateter karet tidak boleh dimasukkan sampai melewati ujung dalam kanul trakeostomi, kecuali jika ada instruksi khusus untuk melakukannya dari dokter. Jika mesin penghisap tidak didapat, semprit steril atau kateter yang dapat dibeli di toko obat atau apotik bisa digunakan sebagai penghisap.

Gambar 4. Cara penghisapan discharge

Cara membuat kain alas di dada Penderita mungkin perlu memakai kain kasa alas di dada di bawah kanul trakeostomi, khususnya bila terdapat drainase sekitar kanul. Gb. 5 dan 6 menunjukkan cara membuat dan menggunakan alas di dada. Alas dada dari kasa trakeostomi steril mungkin tersedia dari pusat sterilisasi rumah sakit. Cara membuat alas dada untuk dipakai di bawah kanul trakeostomi ialah sebagai berikut : 1). Potong satu lembar kasa membentuk segi empat dengan ukuran 16 x 17 inci. 2). Lipat 1 inci pada tepi atas dan bawah. 3). Lipat 4 inci kasa pada tiap sisi. 4). Lipat 2 kali untuk mengurangi lebar menjadi 4 inci. Tempatkan 2 buah pita yang panjangnya 5 inci atau kasa yang

38 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

dipotong tepi lipatan pada bagian tepi atas separuh lipatan kasa dan setik silang bagian atas untuk mengkokohkan pita pada tempatnya. 5). Pakaikan kasa trakeostomi alas dada, masukkan pita atau tali pengikat pada tepi bagian atas dari bawah pita trakeostomi alas dada tiap sisi kanul trakeostomi. 6). Lipat tali pengikat atau pita dari alas dada di atas pita trakeostomi dan lipat kasa ke atas. Pastikan tali pengikat pada permukaan depan alas dada dengan peniti kecil yang aman (Gb.5).

Gambar 6. Cara lain membuat alas dada dipakai di bawah kanul trakeostomi

Gambar 5. Cara membuat alas trakeostomi

Cara lain untuk membuat alas dada trakeostomi lebih mudah tetapi sedikit lebih mahal. Sebuah kasa 4 x 4 atau dua buah kasa 2 x 2 diperlukan untuk tiap alas dada. 1). kasa 4 x 4 inci. 2). kasa 4 x 4 inci yang tidak terlipat. 3). kasa 2 x 2 inci telah dibuat dengan melipat kasa dua kali. Jika kasa tidak terlipat, panjangnya 6 inci. Dua kasa tidak terlipat 2 x 2 inci dipakaikan. Satu tiap tepi dari kasa terbuka 4x 4 inci. 4). Kasa 2x2 inci telah disetik pada tempat dan dimasukkan di bawah pita trakeostomi pada tiap sisi kanul trakeostomi. Kasa 2 x 2 inci kemudian dilipat ke bawah di atas pita trakeostomi. 5). Kasa 4 x 4 inci telah dilipat ke atas. Kasa 2 x 2 inci dapat dipeniti di bagian dalam (Gb. 6).

RINGKASAN Trakeostomi ialah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke trakea untuk mengatasi afiksi jika ada gangguan lalulintas udara pernafasan. Perawatan pasca trakeostomi besar pengaruhnya terhadap keberhasilan tujuan akhir trakeostomi. Pasca trakeostomi kadang-kadang penderita pulang dari rumah sakit dengan kanul trakea masih terpasang. Selama di rumah penderita harus dapat memelihara kanul trakea. Dokter atau paramedis perawatan harus memberikan petunjuk perihal perawatan kanul trakea. Petunjuk ini tergantung pada keadaan penderita saat pulang dari rumah sakit. Perawatan trakeostomi mandiri meliputi petunjuk umum, cara membersihkan kanul trakea, merebus kanul dalam, mengganti kanul, menghisap discharge, dan cara membuat kain alas dada untuk trakeostomi.

KEPUSTAKAAN 1. Adams GL, Boies LR, Paparella MM. Tracheostomy. In :Boies's Fundamentals of Otolaryngology. A Textbook of ear, nose and throat diseases, 5th ed. Tokyo : Igaku Shoin Ltd., 1978 ; 705-17. Bireell JF, Me Dowall GD, Me Klay K, Me Kailum JR, Maran AGD. Tracheostomy. In : Logan Turner's Diseases of the nose, throat and ear. 5th ed. Bristol : John Wright and Sons Ltd, 1977 ; 1567-73.

2.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

39

3.

4.

5. 6.

7. 8. 9. 10. 11.

Conway WA, Victor LD, Magilligon DJ, Fujita S, Zorick FJ, Roth T. Adverse effects of tracheostomy for sleep apnea. JAMA 1981; 246 : 34750. Davies J. Embriology and anatomy of the larynx, respiratory apparatus, diaphragma and esophagus. In: Paparella, Shumrick (eds). Otolaryngology. Vol. 1. Basic sciences and related disciplines. Philadelphia : WB Saunders Co, 1973. Evans JNG, Tood GB. Laryngo-tracheoplasty. J Laryngol Otol 1974 ; 88 : 589-97. Feldman SA, Crawley BE. Tracheostomy and artificial ventilation in the treatment of respiratory failure, 2nd ed. London : Edward Arnold Ltd, 1971 : 31-61. Galood HD, Toledo PS. Comparison of five type of tracheostomy tubes in the intubated trachea. Ann Otol 1978 ; 87 : 99-108. Lee KJ. The Otolaryngology board. A preparation guide. New York : Medical Examination Publ. Co. Inc, 1973 : 170-96. Lore JM. An atlas of head and neck surgery. Vol II, 2nd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 1973 ; 688-708. Lulenski GC. Long term tracheal dimensions after flap tracheostomy. Arch Otolaryng 1981 ; 107 : 114-6. Lulenski GC, Batsakis JC. Tracheal incision as a contributing factor to tracheal stenosis. An experimental study, Ann Otol 1975 ; 84 : 781-6.

12. 13. 14.

15. 16. 17. 18.

19.

20.

Montgomery WW. Silicone tracheal canula. Ann Otol 1980; 89 : 521-8. Montgomery WW. Manual for care of Montgomery silicone tracheal Ttube. Ann Otol 1980; 89 (suppl 73): 1-7. Natvig K, Olving JH. Tracheal changes in relation to different tracheostomy technique (An experimental study on rabbits). J Laryngol Otol 1981; 95: 61-8. Paparella MM, Shumrick DA, (eds). Otolaryngology, vol I. Basic sciences and related disciplines. Philadelphia: WB Saunders, 1973. Putney FJ. Complications and postoperative care after tracheostomy. Arch Otolaryngol. 1955; 62 : 272-6. Shapiro RS, Martin WM. Long custom made plastic tracheostomy tube in severe tracheomalacia. Laryngoscope 1981; 91: 355-61. Steel PM, Evans CC. Physiology of the larynx and tracheobronchial tree. In : Ballantyne, Grooves, (eds). Scott-Brown's diseases of the ear, nose and throat.. 4th ed. Vol I. Basic sciences. London : Butterworths, 1979 ; 433-75. Wright D. Tracheostomy and laryngotomy. In: Ballantyne J, (ed). Operative Surgery. Fundamental international techniques. Nose and throat. 3rd ed. London : Butterworths, 1976 ; 242-8. Siregar Z. Krikotirotomi. Skripsi di Bagian THT/RSCM. 19 September 1981.

Redaksi Mengucapkan Selamat atas diselenggarakannya : PIT XIV POGI Meningkatkan Profesionalisme Berlandaskan Etika Melalui Kerjasama Antar Pusat Pendidikan Obstetri dan Ginekologi dalam Era Pasar Bebas, Bandung, 13 15 Juli 2004 Website : http://www.obgyn-bandung.org
Redaksi CDK

40 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Vertigo: Aspek Neurologi


Budi Riyanto Wreksoatmodjo
Rumah Sakit Marzuki Mahdi, Bogor, Indonesia

PENDAHULUAN Vertigo merupakan keluhan yang sering dijumpai dalam praktek; yang sering digambarkan sebagai rasa berputar, rasa oleng, tak stabil (giddiness, unsteadiness) atau rasa pusing (dizziness); deskripsi keluhan tersebut penting diketahui agar tidak dikacaukan dengan nyeri kepala atau sefalgi, terutama karena di kalangan awam kedua istilah tersebut (pusing dan nyeri kepala) sering digunakan secara bergantian. Vertigo berasal dari bahasa Latin vertere yang artinya memutar merujuk pada sensasi berputar sehingga mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim keseimbangan. SISTIM KESEIMBANGAN Manusia, karena berjalan dengan kedua tungkainya, relatif

kurang stabil dibandingkan dengan makhluk lain yang berjalan dengan empat kaki, sehingga lebih memerlukan informasi posisi tubuh relatif terhadap lingkungan, selain itu diperlukan juga informasi gerakan agar dapat terus beradaptasi dengan perubahan sekelilingnya. Informasi tersebut diperoleh dari sistim keseimbangan tubuh yang melibatkan kanalis semisirkularis sebagai reseptor, serta sistim vestibuler dan serebelum sebagai pengolah informasinya; selain itu fungsi penglihatan dan proprioseptif juga berperan dalam memberikan informasi rasa sikap dan gerak anggota tubuh. Sistim tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi untuk selanjutnya diolah di susunan saraf pusat (Gb.1) .

Gambar 1. Bagan Sistim Keseimbangan Manusia

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

41

PATOFISIOLOGI Rasa pusing atau vertigo disebabkan oleh gangguan alat keseimbangan tubuh yang mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh yang sebenarnya dengan apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Ada beberapa teori yang berusaha menerangkan kejadian tersebut : 1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation) Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis sehingga fungsinya terganggu; akibatnya akan timbul vertigo, nistagmus, mual dan muntah. 2. Teori konflik sensorik Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer yaitu antara mata/visus, vestibulum dan proprioseptik, atau ketidakseimbangan/asimetri masukan sensorik dari sisi kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus (usaha koreksi bola mata), ataksia atau sulit berjalan (gangguan vestibuler, serebelum) atau rasa melayang, berputar (yang berasal dari sensasi kortikal). Berbeda dengan teori rangsang berlebihan, teori ini lebih menekankan gangguan proses pengolahan sentral sebagai penyebab. 3. Teori neural mismatch Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik; menurut teori ini otak mempunyai memori/ingatan tentang pola gerakan tertentu; sehingga jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang aneh/tidak sesuai dengan pola gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom.(Gb.2) Jika pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulangulang akan terjadi mekanisme adaptasi sehingga berangsurangsur tidak lagi timbul gejala.
Neural Store Sensory input (Rangsangan gerakan)

pengaruhi sistim saraf otonom yang menyebabkan timbulnya gejala vertigo.


Normal Motion Sickness Adapted

PAR PAR SYM

SYM

SYM

PAR

Gambar 3. Keseimbangan Sistim Simpatis dan Parasimpatis Keterangan : SYM : Sympathic Nervous System, PAR : Parasympathic Nervous System

Teori sinap Merupakan pengembangan teori sebelumnya yang meninjau peranan neurotransmisi dan perubahan-perubahan biomolekuler yang terjadi pada proses adaptasi, belajar dan daya ingat. Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF (corticotropin releasing factor); peningkatan kadar CRF selanjutnya akan mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas simpatis, yang berkembang menjadi gejala mual, muntah dan hipersalivasi setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis. TATALAKSANA PENDERITA VERTIGO Seperti diuraikan di atas vertigo bukan suatu penyakit tersendiri, melainkan gejala dari penyakit yang letak lesi dan penyebabnya berbeda-beda. (Skema) Oleh karena itu, pada setiap penderita vertigo harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan yang cermat dan terarah untuk menentukan bentuk vertigo, letak lesi dan penyebabnya.
Skema Klasifikasi Vertigo

6.

Comparator Unit

Psikogenik Mismatch Signal

Sindrom Fobia

Gambar 2. Skema teori Neural Mismatch

Sentral Vertigo Patologik BPPH Perifer Meniere Infeksi Trauma Iskemi Fisiologik Ketinggian, Mabuk Udara

4.

Teori otonomik Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebaga usaha adaptasi gerakan/perubahan posisi; gejala klinis timbul jika sistim simpatis terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistim parasimpatis mulai berperan (Gb. 3). 5. Teori neurohumoral Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl) dan terori serotonin (Lucat) yang masing-masing menekankan peranan neurotransmiter tertentu dalam mem42 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

ANAMNESIS Pertama-tama ditanyakan bentuk vertigonya: melayang, goyang, berputar, tujuh keliling, rasa naik perahu dan sebagainya. Perlu diketahui juga keadaan yang memprovokasi timbulnya vertigo: perubahan posisi kepala dan tubuh, keletihan, ketegangan. Profil waktu: apakah timbulnya akut atau perlahan-lahan, hilang timbul, paroksimal, kronik, progresif atau membaik. Beberapa penyakit tertentu mempunyai profil waktu yang karakteristik (Gambar 4)(6, 7). Apakah juga ada gangguan pendengaran yang biasanya menyertai/ditemukan pada lesi alat vestibuler atau n. vestibularis. Penggunaan obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, salisilat, antimalaria dan lain-lain yang diketahui ototoksik/vestibulotoksik dan adanya penyakit sistemik seperti anemi, penyakit jantung, hipertensi, hipotensi, penyakit paru juga perlu ditanyakan. Juga kemungkinan trauma akustik.

kongestif, anemi, hipoglikemi. Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai. Pemeriksaan Fisik Umum Pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan penyebab sistemik; tekanan darah diukur dalam posisi berbaring,duduk dan berdiri; bising karotis, irama (denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada: 1. Fungsi vestibuler/serebeler a. Uji Romberg (Gb. 5) : penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.

Gambar 4. Profil waktu serangan Vertigo pada beberapa penyakit Gambar 5. Uji Romberg

PEMERIKSAAN FISIK Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik, otologik atau neurologik vestibuler atau serebeler; dapat berupa pemeriksaan fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi serebelum. Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk menentukan penyebab; apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan kelainan susunan saraf pusat korteks serebri, serebelum,batang otak, atau berkaitan dengan sistim vestibuler/otologik; selain itu harus dipertimbangkan pula faktor psikologik/psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo tersebut. Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan/dicari antara lain aritmi jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung

b. Tandem Gait: penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh. c. Uji Unterberger. Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 43

1. a.

Fungsi Vestibuler Uji Dix Hallpike (Gb. 9)

Perhatikan adanya nistagmus; lakukan uji ini ke kanan dan kiri

Gambar 6. Uji Unterberger

Kepala putar ke samping

d.

Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)(Gb. 7) Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.

Secara cepat gerakkan pasien ke belakang (dari posisi duduk ke posisi terlentang)

Gambar 7. Uji Tunjuk Barany

e. Uji Babinsky-Weil (Gb. 8) Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah ke belakang seama setengah menit; jika ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang.
Kepala harus menggantung ke bawah dari meja periksa

Gambar 8. Uji Babinsky Weil

Pemeriksaan Khusus Oto-Neurologis(8,9) Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau perifer.

Gambar 9. Uji Dix-Hallpike

44 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaringkan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya menggantung 45 di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45 ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral. Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue). Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue). b. Tes Kalori Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30C) dan air hangat (44C) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik). Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan.Canal paresis ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga. Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII, sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral. c. Elektronistagmogram Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif. 2. a. Fungsi Pendengaran Tes garpu tala Tes ini digunakan untuk membedakan tuli konduktif dan tuli perseptif, dengan tes-tes Rinne, Weber dan Schwabach. Pada tuli konduktif tes Rinne negatif, Weber lateralisasi ke sisi yang tuli, dan Schwabach memendek. b. Audiometri Ada beberapa macam pemeriksaan audiometri seperti Loudness Balance Test, SISI, Bekesy Audiometry, Tone Decay. Pemeriksaan saraf-saraf otak lain meliputi: acies visus, kampus visus, okulomotor, sensorik wajah, otot wajah, pendengaran, dan fungsi menelan. Juga fungsi motorik (kelumpuhan ekstremitas),fungsi sensorik (hipestesi, parestesi) dan serebeler (tremor, gangguan cara berjalan). Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium rutin atas darah dan urin, dan pemeriksaan lain sesuai indikasi. 2. Foto Rontgen tengkorak, leher, Stenvers (pada neurinoma akustik). 3. Neurofisiologi:Elektroensefalografi(EEG),Elektromiografi (EMG), Brainstem Auditory Evoked Pontential (BAEP).

4. Pencitraan: CT Scan, Arteriografi, Magnetic Resonance Imaging (MRI). TERAPI Tujuan pengobatan vertigo, selain kausal (jika ditemukan penyebabnya), ialah untuk memperbaiki ketidak seimbangan vestibuler melalui modulasi transmisi saraf; umumnya digunakan obat yang bersifat antikolinergik. (Tabel 3).
Tabel 3. Obat-obatan yang digunakan pada terapi simptomatik vertigo (sedatif vestibuler)
Nama Dagang Marezine Dramamine Benadryl Bonine, Antivert Phenergan, Avopreg Transderm Scop Holopon Iterax, Bestalin Stugeron Sibelium Buscopan Hyscopan Merislon 6 mg Betaserc 8 mg Lama Kerja (jam) 4-6 4-6 4-6 12-24 4-6 72 4-6 46 Dosisi Dewasa Tingkat Sedasi + ++ ++ + ++ + + ++ 0 + + 0 0 0 Rute Lain im im,iv,rec

Nama Generik

Cyclizine Dimenhydrinate Diphenhydramine Meclizine Promethazine Scopolamine

50 mg 4 dd 25-50 mg 4 dd 25-50 mg 4 dd 12,5-25 mg 2-3 dd 25 mg 4 dd 0,5 mg 1 dd 0,5 mg 3 dd 25-100 mg 3 dd 25 mg 4 dd 25-50 mg 3 dd 5 mg 2 dd 10-20 mg 3-4 dd 6-12 mg 3 dd 8-16 mg 3 dd

im, iv im,iv,rec

Hydroxyzine Ephedrine Cinnarizine Flunarizine Hyoscine Betahistin

sc, iv

im im -

Selain itu dapat dicoba metode Brandt-Daroff sebagai upaya desensitisasi reseptor semisirkularis (Gambar 9).

Gambar 9.

Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung; lalu tutup kedua mata dan berbaring dengan cepat ke salah satu sisi tubuh, tahan selama 30 detik, kemudian duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan tubuh dengan cara yang sama ke sisi lain, tahan selama 30 detik, kemudian duduk tegak kembali. Latihan ini dilakukan berulang (lima kali berturut-turut) pada pagi dan petang hari sampai tidak timbul vertigo lagi. Latihan lain yang dapat dicoba ialah latihan visual-vestibular; berupa gerakan mata melirik ke atas, bawah, kiri dan kanan me Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 45

ngikuti gerak obyek yang makin lama makin cepat; kemudian diikuti dengan gerakan fleksiekstensi kepala berulang dengan mata tertutup, yang makin lama makin cepat. Terapi kausal tergantung pada penyebab yang (mungkin) ditemukan. Beberapa penyebab vertigo yang sering ditemukan antara lain: Benign paroxysmal positional vertigo Dianggap merupakan penyebab tersering vertigo; umumnya hilang sendiri (self limiting) dalam 4 sampai 6 minggu. Saat ini dikaitkan dengan kondisi otoconia (butir kalsium di dalam kanalis semisirkularis) yang tidak stabil. Terapi fisik dan manuver Brandt-Daroff dianggap lebih efektif daripada medikamentosa. Penyakit Meniere Dianggap disebabkan oleh pelebaran dan ruptur periodik kompartemen endolimfatik di telinga dalam; selain vertigo, biasanya disertai juga dengan tinitus dan gangguan pendengaran. Belum ada pengobatan yang terbukti efektif; terapi profilaktik juga belum memuaskan; tetapi 60-80 % akan remisi spontan. Dapat dicoba pengggunaan vasodilator, diuretik ringan bersama diet rendah garam; kadang-kadang dilakukan tindakan operatif berupa dekompresi ruangan endolimfatik dan pemotongan n.vestibularis. Pada kasus berat atau jika sudah tuli berat, dapat dilakukan labirintektomi atau merusak saraf dengan instilasi aminoglikosid ke telinga dalam (ototoksik lokal). Pencegahan antara lain dapat dicoba dengan menghindari kafein, berhenti merokok, membatasi asupan garam. Obat diuretik ringan atau antagonis kalsium dapat meringankan gejala. Simtomatik dapat diberi obat supresan vestibluer. Neuritis vestibularis Merupakan penyakit yang self limiting, diduga disebabkan oleh infeksi virus; jika disertai gangguan pendengaran disebut labirintitis. Sekitar 50% pasien akan sembuh dalam dua bulan. Di awal sakit, pasien dianjurkan istirahat di tempat tidur, diberi obat supresan vestibuler dan anti emetik. Mobilisasi dini dianjurkan untuk merangsang mekanisme kompensasi sentral.

Vertigo akibat obat Beberapa obat ototoksik dapat menyebabkan vertigo yang disertai tinitus dan hilangnya pendengaran.Obat-obat itu antara lain aminoglikosid, diuretik loop, antiinflamasi nonsteroid, derivat kina atau antineoplasitik yang mengandung platina.. Streptomisin lebih bersifat vestibulotoksik, demikian juga gentamisin; sedangkan kanamisin, amikasin dan netilmisin lebih bersifat ototoksik. Antimikroba lain yang dikaitkan dengan gejala vestibuler antara lain sulfonamid, asam nalidiksat, metronidaziol dan minosiklin. Terapi berupa penghentian obat bersangkutan dan terapi fisik; penggunaan obat supresan vestibuler tidak dianjurkan karena jusrtru menghambat pemulihan fungsi vestibluer. Obat penyekat alfa adrenergik, vasodilator dan antiparkinson dapat menimbulkan keluhan rasa melayang yang dapat dikacaukan dengan vertigo.

RINGKASAN Vertigo merupakan keluhan yang dapat dijumpai dalam praktek, umumnya disebabkan oleh kelainan /gangguan fungsi alat-alat keseimbangan, bisa alat dan saraf vestibuler, koordinasi gerak bola mata (di batang otak) atau serebeler. Penatalaksanaan berupa anamnesis yang teliti untuk mengungkapkan jenis vertigo dan kemungkinan penyebabnya; terapi dapat menggunakan obat dan/atau manuver-manuver tertentu untuk melatih alat vestibuler dan/atau menyingkirkan otoconia ke tempat yang stabil; selain pengobatan kausal jika penyebabnya dapat ditemukan dan diobati.

KEPUSTAKAAN

1. 2. 3.

4. 5. 6.

7.

Andradi S. Aspek Neurologi dari Vertigo. Monograf. tanpa tahun, Harahap TP, Syeban ZS. Vertigo ditinjau dari segi neurologik. Monograf, tanpa tahun. Joesoef AA. Tinjauan umum mengenai vertigo. Dalam: Joesoef AA, Kusumastuti K.(eds.). Neurootologi klinis:Vertigo. Kelompok Studi Vertigo Perdossi, 2002. hal.xiii-xxviii. Makalah lengkap Simposium dan Pelatihan Neurotologi. 24 Juli 2001 Mengenal Pusing dalam Praktek Umum. Seri edukasi, Duphar, tanpa tahun. Sedjawidada R. Patofisiologi Tinitus dan Vertigo. Dalam: Simposium Tinitus dan Vertigo. Perhimpunan Ahli Telinga Hidung dan Tenggorok Indonesia cabang DKI Jakarta, 14 Desember 1991. Vertigo. Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi. Kelompok Studi Vertigo, Perdossi,1999.

Every true genius must be natural or it is none (Schiller)

46 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

PRESENTASI KASUS

Terapi Akupunktur untuk Vertigo


Prasti Pirawati, L. Yvonne Siboe
Departemen Akupunktur Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

ABSTRAK Vertigo merupakan kasus yang sering terjadi, tergolong sebagai salah satu bentuk gangguan keseimbangan atau gangguan orientasi ruangan. Gejalanya menyebabkan pasien takut dan cemas, dan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengobatan vertigo secara konvensional dengan obat-obatan kadang-kadang kurang berhasil. Berikut dilaporkan kasus vertigo pada seorang wanita 50 tahun, diterapi dengan akupunktur dan menunjukkan hasil memuaskan.

PENDAHULUAN Vertigo dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk gangguan keseimbangan atau gangguan orientasi di ruangan (1) Istilah yang sering digunakan oleh awam adalah: puyeng, sempoyongan, mumet, pusing, pening, tujuh keliling, rasa mengambang, kepala terasa enteng, rasa melayang (1). Vertigo perlu dipahami karena merupakan keluhan nomer tiga paling sering dikemukakan oleh penderita yang datang ke praktek umum, bahkan orang tua usia sekitar 75 tahun, 50 % datang ke dokter dengan keluhan vertigo(2) . DEFINISI Perkataan vertigo berasal dari bahasa Yunani vertere yang artinya memutar (2). Pengertian vertigo adalah : sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitarnya, dapat disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan alat keseimbangan tubuh (2). Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu gejala pusing saja, melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik (nistagmus, unstable), otonomik (pucat, peluh dingin, mual, muntah) dan pusing (2). KLASIFIKASI Berdasarkan gejala klinisnya, vertigo dapat dibagi atas beberapa kelompok (2): 1. Vertigo paroksismal

2. 3.

Vertigo kronis Vertigo yang serangannya mendadak/akut, kemudian berangsur-angsur mengurang.

Vertigo paroksismal Yaitu vertigo yang serangannya datang mendadak, berlangsung beberapa menit atau hari, kemudian menghilang sempurna; tetapi suatu ketika serangan tersebut dapat muncul lagi. Di antara serangan, penderita sama sekali bebas keluhan. Vertigo jenis ini dibedakan menjadi : 1. Yang disertai keluhan telinga : Termasuk kelompok ini adalah : Morbus Meniere, Arakhnoiditis pontoserebelaris, Sindrom Lermoyes, Sindrom Cogan, tumor fossa cranii posterior, kelainan gigi/ odontogen. 2. Yang tanpa disertai keluhan telinga; termasuk di sini adalah : Serangan iskemi sepintas arteria vertebrobasilaris, Epilepsi, Migren ekuivalen, Vertigo pada anak (Vertigo de Lenfance), Labirin picu (trigger labyrinth). 3. Yang timbulnya dipengaruhi oleh perubahan posisi, termasuk di sini adalah : - Vertigo posisional paroksismal laten, - Vertigo posisional paroksismal benigna. Vertigo kronis Yaitu vertigo yang menetap, keluhannya konstan tanpa

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 47

serangan akut, dibedakan menjadi: 1. Yang disertai keluhan telinga : Otitis media kronika, meningitis Tb, labirintitis kronis, Lues serebri, lesi labirin akibat bahan ototoksik, tumor serebelopontin. 2. Tanpa keluhan telinga : Kontusio serebri, ensefalitis pontis, sindrom pasca komosio, pelagra, siringobulbi, hipoglikemi, sklerosis multipel, kelainan okuler, intoksikasi obat, kelainan psikis, kelainan kardiovaskuler, kelainan endokrin. 3. Vertigo yang dipengaruhi posisi : - Hipotensi ortostatik - Vertigo servikalis. Vertigo yang serangannya mendadak/akut, berangsurangsur mereda, dibedakan menjadi : 1. Disertai keluhan telinga : Trauma labirin, herpes zoster otikus, labirintitis akuta, perdarahan labirin, neuritis n.VIII, cedera pada auditiva interna/arteria vestibulokoklearis. 2. Tanpa keluhan telinga : Neuronitis vestibularis, sindrom arteria vestibularis anterior, ensefalitis vestibularis, vertigo epidemika, sklerosis multipleks, hematobulbi, sumbatan arteria serebeli inferior posterior. Ada pula yang membagi vertigo menjadi(3) : 1. Vertigo Vestibuler: akibat kelainan sistem vestibuler. 2. Vertigo Non Vestibuler: akibat kelainan sistem somatosensorik dan visual. ETIOLOGI 1. Penyakit Sistem Vestibuler Perifer : a. Telinga bagian luar : serumen, benda asing. b. Telinga bagian tengah: retraksi membran timpani, otitis media purulenta akuta, otitis media dengan efusi, labirintitis, kolesteatoma, rudapaksa dengan perdarahan. c. Telinga bagian dalam: labirintitis akuta toksika, trauma, serangan vaskular, alergi, hidrops labirin (morbus Meniere ), mabuk gerakan, vertigo postural. d. Nervus VIII. : infeksi, trauma, tumor. e. Inti Vestibularis: infeksi, trauma, perdarahan, trombosis arteria serebeli posterior inferior, tumor, sklerosis multipleks. 2. Penyakit SSP : a. Hipoksia Iskemia otak. : Hipertensi kronis, arteriosklerosis, anemia, hipertensi kardiovaskular, fibrilasi atrium paroksismal, stenosis dan insufisiensi aorta, sindrom sinus karotis, sinkop, hipotensi ortostatik, blok jantung. b. Infeksi : meningitis, ensefalitis, abses, lues. c. Trauma kepala/ labirin. d. Tumor. e. Migren. f. Epilepsi. 3. Kelainan endokrin: hipotiroid, hipoglikemi, hipoparatiroid, tumor medula adrenal, keadaan menstruasi-hamilmenopause. 48 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

4. 5. 6.

Kelainan psikiatrik: depresi, neurosa cemas, sindrom hiperventilasi, fobia. Kelainan mata: kelainan proprioseptik. Intoksikasi.

PATOFISIOLOGI Vertigo timbul jika terdapat ketidakcocokan informasi aferen yang disampaikan ke pusat kesadaran. Susunan aferen yang terpenting dalam sistem ini adalah susunan vestibuler atau keseimbangan, yang secara terus menerus menyampaikan impulsnya ke pusat keseimbangan. Susunan lain yang berperan ialah sistem optik dan proprioseptik, jaras-jaras yang menghubungkan nuklei vestibularis dengan nuklei N. III, IV dan VI, susunan vestibuloretikularis, dan vestibulospinalis. Informasi yang berguna untuk keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan proprioseptik; reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil kontribusinya adalah proprioseptik.(2). Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan gejala otonom; di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness, ataksia saat berdiri/ berjalan dan gejala lainnya. DIAGNOSIS 1. Anamnesis. 2. Pemeriksaan fisik : - Pemeriksaan mata - Pemeriksaan alat keseimbangan tubuh - Pemeriksaan neurologik - Pemeriksaan otologik - Pemeriksaan fisik umum. 3. Pemeriksaan khusus : - ENG - Audiometri dan BAEP - Psikiatrik 4. Pemeriksaan tambahan : - Laboratorium - Radiologik dan Imaging - EEG, EMG, dan EKG. TERAPI Terdiri dari : 1. Terapi kausal

2. 3.

Terapi simtomatik Terapi rehabilitatif

TINJAUAN MENURUT ILMU AKUPUNKTUR Menurut Ilmu Akupunktur, vertigo termasuk golongan Xuan Yun (pusing = dizziness), disebabkan oleh hiperaktivitas Yang Hati, sehingga mengganggu telinga; atau karena akumulasi reak di Jiaotengah sehingga menyumbat naiknya Qi ke telinga (4). Gejala Klinis(4,5 ) Perasaan berputar yang kadang-kadang disertai gejala sehubungan dengan reak dan lembab yaitu mual, muntah, rasa kepala berat, nafsu makan turun, lelah, lidah pucat dengan selaput putih lengket, nadi lembut atau seperti senar dan halus. Jika disebabkan oleh naiknya Yang Hati dan berkurangnya Yin Ginjal timbul gejala-gejala: puyeng (dizziness), nyeri kepala, penglihatan kabur, tinitus, mulut pahit, mata merah, mudah tersinggung, gelisah, lidah merah dengan selaput tipis, nadi senar dan seperti benang. Etiologi & Patofisiologi ( 6 , 7 , 8 ) 1. Hiperaktifitas Yang Hati Disebabkan oleh stagnasi Qi Hati, sehingga menimbulkan api Hati dan angin Hati berlebihan yang naik mengganggu Qi di dalam kepala, sehingga timbul puyeng (pusing). Hiperaktifitas Yang Hati lama-kelamaan bisa mengakibatkan defisiensi Yin Hati.. 2. Defisiensi Qi dan darah Disebabkan oleh perdarahan kronis atau gangguan pencernaan sehingga Limpa dan Lambung lemah menyebabkan pembentukan Qi dan darah kurang, kulit pucat, pusing dan penglihatan kabur. 3. Defisiensi Cing Ginjal. Akan mengakibatkan gangguan telinga, otak, dan organorgan lain, terutama Hati, Limpa-Lambung, dan Jantung, sehingga timbul gejala vertigo. 4. Stagnasi lembab di Jiao-tengah. Lemahnya Limpa dan Lambung menyebabkan terbentuknya reak dan lembab yang menyumbat di Jiao tengah sehingga Qi terhambat untuk naik/turun, mengakibatkan vertigo. Terapi (4,5,6 ) 1. Jika akibat Hiperaktifitas Yang Hati, prinsip terapinya : Menenangkan Yang Hati, menguatkan Yin Hati, menghilangkan angin dalam, mengurangi kelebihan api Hati, melancarkan Qi Hati. Titik-titiknya : Baihui (GV 20) atau Fengchi (GB 20), Xingjian (LR 2), Qiuxu (GB 40), Taichong (LR 3). 2. Jika karena Defisiensi Qi dan darah, prinsip terapinya : Memelihara Qi dan darah dengan menguatkan Limpa, jika Qi dan darah tidak bisa naik ke kepala, maka Jantung dan Limpa dikuatkan. Titik-titiknya : Hegu (LI 4), Sanyinjiao (SP 6), Shenmen (HT 7). 3. Jika akibat defisiensi Cing Ginjal, prinsip terapinya : Menguatkan Ginjal

Titik-titiknya : Guanyuan ( CV 4 ), Taixi ( KI 3 ), Shenshu ( UB 23 ), Fuliu ( KI 7 ). 4. Jika akibat stagnasi lembab di Jiao-tengah, prinsipnya : Menguatkan Limpa, menyeimbangkan Lambung, menghilangkan lembab dan menghilangkan reak, sehingga melancarkan Qi dalam Limpa-Lambung. Titik-titiknya : Pishu ( UB 20 ), Yinlingquan ( SP 9 ), Fenglong ( ST 40 ). KASUS I. Identitas penderita Nama Umur Jenis kelamin Agama Status perkawinan Pekerjaan Berobat tanggal

: : : : : : :

Ny. YR 50 th perempuan Islam menikah PNS (Fisioterapis) 4 September 2003

II. Anamnesis Keluhan utama : kepala terasa muter sejak 1 bulan Keluhan tambahan : mual . Perjalanan penyakit : - Kira-kira 1 bulan yang lalu pasien merasa leher sebelah kanan sakit; lama-kelamaan menjalar ke lengan kanan. Setelah berobat ke fisioterapi, membaik. - Dua minggu kemudian, pasien tiba-tiba merasa seperti "ada sesuatu" yang naik; kemudian merasa seperti mabuk dan mual. Muntah tidak ada. - Paisen berobat ke IRM; pada R tulang leher, ada penyempitan di C 4-5. - Diberi obat antalgin dan obat untuk vertigo; karena tidak ada perubahan, dirujuk ke bagian Saraf, diberi: Ibuprofen, Betaserc, Clobazam, Neurodex. - Seminggu kemudian kambuh lebih parah; pasien merasa ada "sesuatu" yang naik sampai ke leher, kepala terasa berat, dan berputar; disertai mual dan muntah. Pasien minta dirujuk ke bagian Akupunktur. - Tiga bulan sebelumnya pasien beberapa kali mengalami gejala-gejala awal serupa (ada "sesuatu" yang naik) tapi hanya sebentar dan tidak sampai berputar. - Riwayat trauma kepala pada tahun 2000, tetapi tetap sadar, tidak disertai pusing atau gejala lain. - Riwayat penyakit serupa dalam keluarga (-). - Riwayat infeksi telinga (-). III. Status Presens Keadaan Umum: compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi: 72 X/menit, pernafasan 20 X/menit, afebris. Pemeriksaan fisik dan neurologik dalam batas normal. IV. Pemeriksaan penunjang Ro Cervical (25/8/03): Spondyloarthrosis C 4-5 kanan dan kiri, Intervertebra C 6-7 kanan. Laboratorium (5/9/03): Hb: 12, Leukosit : 5200, diff: -/4//6/28/2, trombosit: 255.000, LED: 20, gula darah N / 2 jam PP: 92 / 103; Kholesterol Total, HDL / LDL: 284 / 49 / 200 mg/dl, Trigliserid: 174 mg/dl, As. Urat: 3 mg/dl Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 49

V. Pemeriksaan Akupunktur 1. Pengamatan ( Wang ) : a. Sen : semangat : baik; ekspresi umum : baik; sinar mata: bersinar; kesadaran : baik. b. Se : warna kulit: tak tampak kelainan; ekspresi wajah : bersinar segar. c. Sing Tay : bentuk tubuh: sedang; jika berjalan pelanpelan, seperti robot karena takut menoleh; posisi tubuh : t.a.k.; kulit tubuh: normal; keringat biasa; mata, telinga, hidung : t.a.k. d. Pemeriksaan Lidah : - otot lidah : merah muda, kebasahan sedang, pergerakan normal. - selaput lidah : putih, tipis, bersih. 2. Pendengaran dan Penciuman (Wen) : a. Pendengaran : suara bicara : biasa, suara nafas: normal; suara batuk, cekutan, bertahak: tak terdengar. b. Penciuman : hawa mulut: tak tercium, bau keringat: tak tercium; bau reak, air seni, tinja: tak diperiksa 3. Anamnesis (Wun) : Keluhan utama dan riwayat perjalanan penyakit sama seperti di atas. Pertanyaan khusus : a. Suka panas / dingin : lebih suka dingin b. Keadaan berkeringat : normal c. Rasa kepala : berputar; tubuh , anggota gerak : tak ada keluhan d. Buang Air Besar: sekali sehari, konsistensi baik Buang Air Kecil : frekuensi 7-10 kali, banyak, jernih e. Kebiasaan makan, minum: nafsu makan baik, kesukaan akan rasa: tak spesifik f. Dada : tak ada keluhan; perut : kadang-kadang mual, perih terutama kalau terlambat makan g. Pendengaran: tak ada keluhan h. Rasa haus: tak ada . i. Penyakit yang pernah diderita: trauma kepala tetapi tetap sadar, Ro kepala t.a.k. j. Keadaan haid : 4 bulan ini mulai tak teratur, lama haid 1 minggu, jumlah darah lebih sedikit dari sebelumnya, dismenorrhea (-), leukorrhea (-). 4. Perabaan (Cie) : a. Perabaan lokal: tidak ada nyeri tekan atau ketegangan otot. b. Suhu tubuh: normal c. Pemeriksaan nadi : kiri kanan dangkal dalam dangkal dalam cun 5 5 5 5 kuan 5 4 5 5 ce 5 5 5 5 5. Pemeriksaan khusus terhadap organ Cang Fu : a. Lambung : jika perut kosong perih, mual. b. Limpa : nafsu makan menurun, perut kembung, bertahak c. Hati : kepala muter, gangguan haid. d. Organ Cang Fu lain : tak ada kelainan. 50 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

VI. Resume Seorang perempuan umur 50 tahun datang dengan keluhan utama kepala terasa berputar disertai mual.. Satu bulan sebelumnya merasa leher sisi kanan sakit, menjalar ke lengan kanan. Setelah fisioterapi, membaik. Dua minggu kemudian pasien merasa seperti mabuk, mual, tidak muntah, didahului oleh rasa seperti ada "sesuatu" yang naik ke atas. Pasien berobat ke IRM, diberi antalgin dan obat vertigo; pada R tulang leher ternyata ada penyempitan di C 4-5. Karena tak ada perubahan, pasien dirujuk ke bagian Saraf, diberi Ibuprofen, Betaserc, Clobazam, Neurodex, tetapi tetap belum ada perbaikan. Satu minggu kemudian kambuh lebih parah, dan pasien minta dirujuk ke bag. Akupunktur. Tiga bulan sebelumnya beberapa kali mengalami gejalagejala seperti ada "sesuatu" yang naik ke atas, tapi hanya sebentar dan tidak sampai berputar. Riwayat trauma kepala pada tahun 2000, tetap sadar, Ro kepala t.a.k. Pada pemeriksaan akupunktur didapatkan : 1. Wang : - Sen : baik - Se : normal, bersinar - Sing Tay : kalau berjalan pelan-pelan, seperti robot, takut menengok. - Lidah : normal. 2. Wen : tak ada kelainan 3. Wun : lebih suka dingin, rasa kepala berputar, perut kalau terlambat makan sering mual, perih. Haid selama 4 bulan ini mulai tak teratur, darah haid lebih sedikit. 4. Cie: kuan kiri dalam Pada pemeriksaan organ Cang Fu ada kelainan pada organ Lambung, Limpa, Hati. VII. Diagnosis Kerja Kedokteran Umum : Vertigo Akupunktur : Kepala terasa berputar karena Yang se hati palsu akibat Si Hati. VIII. Pengobatan 1. Alat : jarum 2. Titik yang dipakai dan alasan pemakaiannya : a. Fengchi ( GB 20) : untuk mengusir angin b. Hegu ( LI 4 ): membuang angin, penenang c. Taichong ( LR 3 ): menormalkan Hati, penenang. d. Zhongwan ( CV 12 ) : menguatkan lambung, melancarkan Qi lambung e. Fenglong ( ST 40 ): menghilangkan lembab f. Sanyinjiao ( SP 6 ): menguatkan Limpa g. Neiguan (PC 6): mengatasi mual 3. Frekwensi : dua kali seminggu, 1 seri 12 kali. 4. Manipulasi: penguatan, selama 15 menit. IX. Prognosis Dubia ad bonam

XI. Anjuran 1. Berobat akupunktur rutin 2. Pemeriksaan : CT, MRI 3. Konsul THT, Mata. XII. Follow up Tanggal 8/9/03 : Muter (+/-), mual (+/-),pasien masih minum obat dari bag. Saraf Tanggal 11/9/03 : Muter (-), mual (+/-), nyeri kepala sebelah kanan (berdenyut ). pasien sudah tidak minum obat-obatan. Ditambah akupunktur titik Zulinqi ( GB 41 ) kanan. Tanggal 15/9/03 : Muter (-), nyeri kepala (-), obat (-). Tanggal 18/9/03 : Tak ada keluhan, pasien merasa sembuh. DISKUSI Pada pasien ini , gejala-gejala vertigo disebabkan karena defisiensi Yin Hati. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala berupa haid tak teratur dalam 4 bulan ini, darah haid lebih sedikit, nadi Hati lemah. Defisiensi Yin Hati ini mengakibatkan muncul gejala-gejala Yang Se Hati palsu yaitu kepala berputar (akibat angin Hati). Hal ini kemudian mengakibatkan gangguan pada Limpa dan Lambung dan terbentuknya lembab/reak sehingga menimbulkan gejala-gejala mual, lambung perih dan perut kembung, sering bertahak. Yin Si Hati ini mungkin disebabkan karena Ginjal yang mulai melemah, mengingat pasien sudah berumur 50 tahun, dan haid tak teratur mungkin merupakan gejala pra-menopause.

Setelah diterapi dua kali dengan prinsip terapi menghilangkan angin, menenangkan pasien, menguatkan Yin Hati, menghilangkan lembab, memperbaiki Limpa dan menyeimbangkan Lambung, serta simtomatis mengurangi mual, pasien merasa ada perbaikan dan pemakaian obat dihentikan. Sampai terapi ke lima pasien sudah merasa sembuh, tak ada keluhan. Karena takut ditusuk dan tak tahan sakit, pasien tidak melanjutkan pengobatan akupunkturnya. Sampai saat laporan dibuat tidak ada keluhan dan tetap melakukan aktivitas seperti biasa.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Lumbantobing S M. Vertigo Tujuh Keliling. Balai Penerbit FKUI. Jakarta; 1996. Nurimaba N, Joesoef A A, Andradi S. Vertigo, Patofisiologi, Diagnosis dan Terapi. Cetakan pertama. Kelompok Studi Vertigo, PERDOSSI. Jakarta; 1999. Andradi S. Diagnosa Klinis & Terapi Vertigo. Bagian Neurologi FKUI/RSCM. Jakarta. Yin G, Liu Z . Advance Modern Chinese Acupuncture Therapy. First ed. Beijing: New World Press. 2000. OConnor J, Bensky D. Acupuncture A Comprehensive Text. Chicago: Eastland Press. 1981. Huaitang S. Acupuncture and Moxibustion Treatment of Vertigo ( 2 ). Internat. J. Clin. Acupunc. 1993 : 4 ( 4 ) : 391 5. Kiswojo, Kusuma A. Teori dan Praktek Ilmu Akupunktur. Jakarta: PT Gramedia., 1978. Kang L S,. Pengobatan Vertigo dengan Akupunktur.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 51

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Teh

[Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)]

sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan


Sulistyowati Tuminah
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departeman Kesahatan RI, Jakarta

ABSTRAK Teh adalah salah satu bahan minuman alami yang sangat populer di masyarakat. Kandungan flavonoid dalam teh merupakan antioksidan yang bersifat antikarsinogenik, kariostatik serta hipokolesterolemik. Beberapa peneliti lain juga menyebutkan bahwa teh dapat bekerja sebagai hipoglikemik dan menghambat aterosklerosis. PENDAHULUAN Transisi nutrisi yang terjadi saat ini, dari makanan yang banyak mengandung serat ke makanan yang banyak mengandung lemak menyebabkan transisi epidemiologi, dari penyakit infeksi dan kurang gizi menjadi penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, kanker. Transisi nutrisi juga dihubungkan dengan prevalensi obesitas, terutama obesitas kanak-kanak serta non-insulin dependent diabetes mellitus.1 Obesitas juga berkaitan dengan angka kematian yang tinggi akibat penyakit jantung koroner dan stroke.2 Di masa sekarang, dengan harga obat-obatan yang mahal, anjuran Departemen Kesehatan untuk back to nature (kembali ke obat tradisional) adalah tepat. Juga karena bahannya mudah didapat, murah (terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat) dan dapat dibuat oleh semua orang. Teh merupakan bahan minuman yang secara universal dikonsumsi di banyak negara serta di berbagai lapisan masyarakat. Teh hitam diproduksi oleh lebih dari 75% negara di dunia, sedangkan teh hijau di produksi kurang lebih di 22% negara di dunia.3 Selain itu di negara-negara Barat, lebih dari setengah asupan flavonoid berasal dari teh hitam.4 KLASIFIKASI Di zaman dahulu, genus Camellia dibedakan menjadi beberapa spesies teh yaitu sinensis, assamica, irrawadiensis. Sejak tahun 1958 semua teh dikenal sebagai suatu spesies tunggal Camellia sinensis dengan beberapa varietas khusus, yaitu sinensis, assamica dan irrawadiensis.3 Menurut Graham HN (1984); Van Steenis CGGJ (1987) dan Tjitrosoepomo G (1989), tanaman teh Camellia sinensis O.K.Var.assamica (Mast) diklasifikasikan sebagai berikut(3,5,6): Divisi Sub divisi Kelas Sub Kelas Ordo (bangsa) Familia (suku) Genus (marga) Spesies (jenis) Varietas : : : : : : : : : Spermatophyta (tumbuhan biji) Angiospermae (tumbuhan biji terbuka) Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah) Dialypetalae Guttiferales (Clusiales) Camelliaceae (Theaceae) Camellia Camellia sinensis Assamica3,5,6

MACAM-MACAM TEH Berdasarkan penanganan pasca panen, teh dibagi menjadi 3 (tiga) macam(3), yaitu : Teh Hijau Teh hijau diperoleh tanpa proses fermentasi; daun teh diperlakukan dengan panas sehingga terjadi inaktivasi enzim. Pemanasan ini dilakukan dengan dua cara yaitu dengan udara kering dan pemanasan basah dengan uap panas (steam). Pada pemanasan dengan suhu 85C selama 3 menit, aktivitas enzim polifenol oksidase tinggal 5,49%. Pemanggangan (pan firing) secara tradisional dilakukan pada suhu 100-200 C sedangkan pemanggangan dengan mesin suhunya sekitar 220-300C. Pemanggangan daun teh akan memberikan aroma dan flavor yang lebih kuat dibandingkan dengan pemberian uap panas. Keuntungan dengan cara pemberian uap panas, adalah warna teh dan seduhannya akan lebih hijau terang.7 2. Teh hitam Teh hitam diperoleh melalui proses fermentasi. Dalam hal ini fermentasi tidak menggunakan mikrobia sebagai sumber 1.

52 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

enzim, melainkan dilakukan oleh enzim polifenol oksidase yang terdapat di dalam daun teh itu sendiri. Pada proses ini, katekin (flavanol) mengalami oksidasi dan akan menghasilkan thearubigin. Caranya adalah sebagai berikut : daun teh segar dilayukan terlebih dahulu pada palung pelayu, kemudian digiling sehingga sel-sel daun rusak. Selanjutnya dilakukan fermentasi pada suhu sekitar 22-28C dengan kelembaban sekitar 90%. Lamanya fermentasi sangat menentukan kualitas hasil akhir; biasanya dilakukan selama 2-4 jam. Apabila proses fermentasi telah selesai, dilakukan pengeringan sampai kadar air teh kering mencapai 4-6%.7 3. Teh oolong Teh oolong diproses secara semi fermentasi dan dibuat dengan bahan baku khusus, yaitu varietas tertentu yang memberikan aroma khusus. Daun teh dilayukan lebih dahulu, kemudian dipanaskan pada suhu 160-240C selama 3-7 menit untuk inaktivasi enzim, selanjutnya digulung dan dikeringkan.7 KOMPONEN THE (3) Komponen dari dua macam teh yang paling banyak digunakan (teh hijau dan teh hitam) adalah sebagai berikut (tabel 1 dan 2) :
Tabel 1. Komposisi teh hijau(3) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Komponen Kafein () Epicatechin () Epicatechin gallat () Epigallocatechin () Epigallocatechin gallat Flavonol Theanin Asam glutamat Asam aspartat Arginin Asam amino lain Gula Bhn yg dpt mengendapkan alkohol Kalium (potassium) % Berat kering 7,43 1,98 5,20 8,42 20,29 2,23 4,70 0,50 0.50 0,74 0,74 6,68 12,13 3,96

percobaan 430 mol/l; setelah 60; 120; 180 menit pemberian teh adalah rata-rata 434; 447 dan 439 mol/l (tidak ada perubahan yang berarti/signifikan). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pemberian teh dengan jumlah besar dalam waktu singkat mempunyai sedikit pengaruh jangka pendek terhadap aktivitas antioksidan serum, berbeda dengan hasil penelitian mengenai pengaruh flavonoid anggur merah. Penelitian ini tidak meneliti kemungkinan pengaruh minum teh kumulatif jangka panjang terhadap status antioksidan.4 Daya antioksidan komponen katekin berbeda-beda. Epikatekin galat mempunyai daya antioksidan sebesar 4,93; epigalo katekin galat sebesar 4,75; epigalo katekin 3,82; epikatekin daya antioksidannya sebesar 2,50 dan untuk katekin daya antioksidannya sebesar 2,40. Daya antioksidan komponen katekin tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan vitamin C ataupun -karoten.7
Tabel 2. Komposisi teh hitam(3) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. Komponen Kafein Theobromin Theofilin () Epicatechin () Epicatechin gallat () Epigallocatechin () Epigallocatechin gallat Glikosida flavonol Bisflavanol Asam Theaflavat Theaflavin Thearubigen Asam gallat Asam klorogenat Gula Pektin Polisakarida Asam oksalat Asam malonat Asam suksinat Asam malat Asam akonitat Asam sitrat Lipid Kalium (potassium) Mineral lain Peptida Theanin Asam amino lain Aroma % Berat kering 7,56 0,69 0,25 1,21 3,86 1,09 4,63 Trace Trace Trace 2,62 35,90 1,15 0,21 6,85 0,16 4,17 1,50 0,02 0,09 0,31 0,01 0,84 4,79 4,83 4.70 5.99 3,57 3,03 0,01

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN Penelitian di Barat dilakukan untuk mengetahui aktivitas antioksidan dari 8 macam produk teh hitam yang populer secara komersial dengan memasukkan 0,5 g daun teh ke dalam 25 ml air mendidih, kemudian diaduk selama 3 menit. Rata-rata aktivitas antioksidan larutan yang dihasilkan adalah 8.477 mol/l (kisaran 4.275-12.110 mol/l); dibandingkan dengan aktivitas antioksidan serum yang berkisar antara 350-550 mol/l, berarti konsentrasi teh yang umum dikonsumsi mempunyai sifat antioksidan yang kuat secara in vitro4. Selanjutnya diteliti pengaruh infus 500 ml teh yang biasa digunakan untuk makan pagi di Inggris (1 g/100 ml) terhadap status antioksidan serum pada 10 sukarelawan yang sehat (5 laki-laki, 5 wanita; usia rata-rata 21,1 tahun; indeks massa tubuh: 24,0). Setelah 4 jam berpuasa, sebuah kanula intravena dipasang pada masing-masing sukarelawan/wati, kemudian diinfuskan teh tanpa susu selama lebih dari 20 menit pada saat makan siang. Aktivitas antioksidan serum rata-rata pada awal

KHASIAT TEH Salah satu zat antioksidan non nutrien yang terkandung dalam teh, yaitu catechin (katekin) dapat menyimpan atau meningkatkan asam askorbat pada beberapa proses metabolisme.3,8 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa konsumsi teh hijau berbanding terbalik dengan kadar serum kolesterol total (TC) dan low density lipoprotein (LDL-C), tetapi tidak terhadap trigliserida (TG) dan high density lipoprotein (HDLC).9,10 Teh efektif mencegah virus influensa A dan B selama masa kontak yang pendek.11 Selain itu diet fluorin yang

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 53

terkandung dalam daun teh (Camellia sinensis) dapat berfungsi kariostatik pada tikus Wistar.12 Penelitian menggunakan mencit dengan ekstrak teh hijau ternyata tidak hanya menurunkan jumlah tumor kulit, tetapi juga secara substansial memperkecil ukuran tumor.13 Beberapa penelitian lain menggunakan teh menunjukkan bahwa senyawa polifenol antioksidan (seperti katekin dan flavonol) yang terkandung dalam teh mempunyai sifat antikarsinogenik pada hewan dan manusia, termasuk pada wanita post menopause.14-18 Diperkirakan, flavonoid sebagai antioksidan berperan dalam mengurangi OH, O2 , dan radikal peroksil.19 Selain itu pada wanita post menopause, flavonoid dapat bersifat estrogenik yang menghambat oksidasi LDL, melindungi endotel dari berbagai luka yang disebabkan oleh radikal bebas serta mencegah aterosklerosis yang dapat menyumbat lumen arteri.20,21 Dirghantara (1994) melakukan penelitian mengenai efek sari seduhan teh hijau terhadap kadar kolesterol dan trigliserida tikus putih yang diberi diet kuning telur serta sukrosa. Ternyata sari seduhan teh hijau 10x dosis manusia (0,54 g /200 g.bb/hari) menghasilkan efek penurunan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida dan berat badan yang bermakna dengan kontrol perlakuan (P < 0,05).22 Sutarmaji (1994) meneliti pengaruh sari seduhan teh hijau terhadap kadar glukosa darah tikus normal yang diberi diet glukosa. Hasilnya diketahui bahwa sari seduhan teh hijau 25x dosis manusia (1,35 g/200 g BB/hari) menunjukkan efek hipoglikemik pada tikus 30 dan 60 menit setelah perlakuan.23Teh juga mencegah luka skorbut dan mengurangi plak aterosklerosis pada hewan yang diberi diet aterogenik. 3 Selain itu sifat menguntungkan dari teh adalah kemampuannya menghambat perkembangan leukemia setelah terpapar radiasi; menghambat mutagen yang disebabkan oleh pembentukan nitrosamin dari metilurea. Teh juga telah diuji teratogenik, hasilnya tidak ditemukan baik teratogen maupun embriotoksik. Pada keadaan yang tidak normal seperti pasien talasemia, teh juga digunakan untuk mengurangi penyerapan besi non-heme dan menghambat hemokromatosis.3 Mengenai kemungkinan hambatan penyerapan besi oleh teh, hal ini dapat dijelaskan, bahwa besi yang diabsorbsi manusia terdiri dari dua jenis, yaitu besi heme (yang terikat pada molekul hemoglobin) dan besi non-heme (yang tidak terikat pada molekul hemoglobin). Tumbuh-tumbuhan diketahui sebagai sumber besi yang baik, tetapi berjenis nonheme yang penyerapannya oleh manusia sangat sedikit, sebaliknya besi heme dari daging merah sangat banyak tersedia dan lebih mudah diserap. Substansi seperti tanin (dari teh), makanan berserat dan mengandung fitat menghambat penyerapan besi non-heme, tetapi manusia masih bisa mendapatkan besi heme dari daging merah. Selain itu, konsumsi vitamin C juga dapat meningkatkan penyerapan besi non-heme.24 PENUTUP Dari uraian di atas tampak banyak sekali khasiat teh, baik teh hitam maupun teh hijau. Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah mengembangkan penelitian-penelitian lebih jauh

mengenai manfaat minuman teh bagi kesehatan, terutama yang berkaitan untuk penyakit degeneratif selain kanker.
KEPUSTAKAAN 1. 2. Drewnowski A, Popkin BM. The Nutrition Transition : New Trends in the Global Diet. Nutr Rev. 1997; 55(2) : 31-43. Weststrate JA, Van Het Hof KH, Van den Berg H, et al. A comparison of effect of free access to reduce fat products or their full fat equivalents on food intake, body weight, blood lipids and fat-soluble antioxidant levels and haemostasis variables. Eur J Clin Nutr. 1998; 52 : 389-95. Graham HN. Tea : The Plant and Its Manufacture : Chemistry and Consumption of the Beverage. In Liss AR. The Methylxanthine Beverages and Foods : Chemistry, Consumption, and Health Effects. Prog Clin Biol Rev. 1984 : 29-74. Maxwell S, Thorpe G. Tea flavonoids have little short term impact on serum antioxidant activity. BMJ (27 July) [Medline] 1996; 313 : 229. Van Steenis CGGJ. Flora untuk Sekolah di Indonesia (terjemahan) PT. Pradnya Paramita. Jakarta. cet ke-4. 1987 ; 1-495. Tjitrosoepomo G. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). UGM Press. Yogyakarta. cet ke-2. 1989 ; 1-477. Astuti M. Potensi Antioksidan pada Teh. Kumpulan makalah : Radikal Bebas dan Antioksidan dalam Kesehatan : Dasar, Aplikasi dan Pemanfaatan Bahan Alam. Bag. Biokimia FKUI. Jakarta. 2001 : 1-15. Langseth L. Oxidants, Antioxidants, and Disease Prevention. ILSI European Monograph Series. Brussel: 1995 ; 1-24. Kono S, Shinchi K, Ikeda N, Yanai F, Imanishi K. Green Tea Consumption and Serum Lipid Profiles : A Cross Sectional Study in Northern Kyushu, Japan. Preventive Medicine 1992; 21 : 526-31. Kono S, Shinchi K, Wakabayashi K, et al. Relation of Green Tea Consumption to Serum Lipids and Lipoprotein in Japanesse Men. J Epidemiol. 1996; 6 (3) : 128-33. Nakayama M, Toda M, Okubo S, Shimamura T. Inhibition of Influenza Virus Infection by Tea. Letters in Applied Microbiology. 1990; 11 : 3840. Gershon-Cohen J, McClendon JF. Fluorine in Tea and Caries in Rats. Nature 1954; 173 : 304-312. Zhi YW, Mou TH, Ferraro T, et al. Inhibitory Effect of Green Tea in the Drinking Water on Tumorigenesis by Ultraviolet Light ang 12-OTetradecanoylphorbol-13-Acetate in the Skin os SKH-1 Mice. Cancer Research 1992; 52 : 1162-70. Imai K, Suga K, Nakachi K. Cancer Prevention Effects of Drinking Green Tea among a Japanesse Population. Preventive Medicine. 1997; 26 (6) : 769-75. Goldbohm RA, Hertog MG, Brants HA, Van-Popel-G, Van-den Brandt PA. Consumption of Black Tea and Cancer Risk : A Prospective Cohort Study. J Natl Cancer Inst. 1996; 88 (2) : 93-100. Zheng W, Doyle TJ, Kushi LH, Sellers TA, Hong CP, Folsom AR. Tea Consumption and Cancer Incidence in a Prospective Cohort Study of Postmenopausal Women. Am J Epidemiol. 1996; 144 (2) : 175-82. Blot WJ, McLaughin JK, Chow WH. Cancer Rates among Drinkers of Black Tea. Crit Rev Food Sci Nutr. 1997; 37 (8) : 739-60. Yang CS, Lee MJ, Chen L, Yang GY. Polyphenols as Inhibitors of Carcinogenesis. Environ Health Perspect. 1997 : 105 suppl 4 : 971-76. Tuminah S. Radikal Bebas dan Antioksidan Kaitannya dengan Nutrisi dan Penyakit Kronis. Cermin Dunia Kedokt. 2000; 128: 49-51. Baraas F, Jufri M. Antologi Rehal Kolesterol dan Aterosklerosis. Prima Kardia Pers. Jakarta. cet ke-1. 1997 : 82-3. Baraas F, Jufri M. Antioksidan dan Penyakit Jantung. Prima Kardia Pers. Jakarta. cet ke-1. 1999 : 11-2. Dirghantara E. Efek sari seduhan daun teh hijau (Camellia sinensis (L) O. Kuntze) terhadap kadar kolesterol dan trigliserida tikus putih yang diberi diet kuning telur dan sukrosa [abstrak]. FMIPA UI. Jakarta. 1994. Sutarmaji A. Pengaruh sari seduhan teh hijau terhadap kadar glukosa darah tikus normal yang diberi diet glukosa [abstrak]. FMIPA UI. Jakarta. 1994. Nair MK. Iron absorption and its implications in the control of iron deficiency anemia. Nutrition News. National Institute of Nutrition. Hyderabad. 1999; 20 (2) : 1-6.

3.

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.

54 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

HASIL PENELITIAN

Hasil Pemeriksaan Uji Hemaglutinasi pada Penderita Tersangka Demam Berdarah Dengue di Jakarta tahun 2001
Enny Muchlastriningsih, Sri Susilowati, Diana Hutauruk
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) mulai berjangkit di Indonesia sejak tahun 1968 dimulai dari Jakarta dan Surabaya, sejak itu penyakit DBD merupakan masalah kesehatan di Indonesia dengan jumlah kasus dan jumlah kematian yang terus meningkat serta wilayah penyebarannya yang makin meluas. Tahun 1968 hanya 2 Daerah Tingkat (Dati) Il yang terkena dengan 58 kasus dan 24 kematian tetapi pada tahun 1999 Dati II yang terkena sebanyak 203 dengan 9.871 kasus dan 1.414 kematian(1). Faktor- faktor yang diduga dapat mempengaruhi peningkatan kasus DBD di Indonesia ialah(2): (a) Pertumbuhan penduduk yang tinggi (b) Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali (c) Tidak adanya kontrol vektor yang efektif di daerah endemis (d) Meningkatnya arus dan sarana transportasi. Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta merupakan salah satu daerah endemis DBD di Indonesia dengan jumlah kasus pada tahun 1997 sebanyak 5190 dengan 49kematian, tahun 1998 15422 kasus dengan 133 kematian, dan tahun 1999 3751 kasus dengan 42 kematian(3). Uji Hemaglutinasi Inhibisi (uji HI) merupakan Gold Standard untuk pemeriksaan serologi pada penderita tersangka DBD (Tatalaksana DBD di Indonesia, 2001) ;pada penelitian ini semua serum responden diperiksa dengan menggunakan uji HI. Tujuan penelitian ini secara umum ialah untuk memberi gambaran penyakit DBD di Jakarta tahun 2000 dari penderita yang dirawat di rumah sakit dan sampel darahnya diperiksa di laboratorium Pusat Pemberantasan Penyakit Balitbangkes. Tujuan khususnya ialah: (a) Mengetahui distribusi penderita tersangka DBD berdasarkan umur dan jenis kelamin (b) Mengetahui hasil uji HI pada penderita tersebut

(c) Mengetahui distribusi penderita dengan kriteria positif hasil uji HI (d) Mengetahui distribusi penderita dengan kriteria positif hasiI uji HI berdasarkan golongan usia (e) Mencari hubungan antara derajat penyakit DBD dengan hasil uji HI positif METODOLOGI Disain penelitian: potong lintang (cross sectional) dengan sampel : penderita tersangka DBD yang dirawat di rumah sakit selama periode Januari - April 2001. Kriteria inklusi : penderita berumur minimal 15 tahun, demam akut 2-7 hari, dirawat di rumah sakit, dan mengisi informed consent. Penderita diambil darahnya untuk pemeriksaan laboratorium di rumah sakit maupun untuk pemeriksaan uji HI. Uji HI dikerjakan menggunakan metode Clarke & Cassals dengan modifikasi mikrotiter(4) dengan menggunakan antigen Dengue-2. Sebelum uji HI sampel terlebih dahulu mendapat Kaolin treatment untuk menghilangkan non specific inhibitor. Konfirmasi hasil uji HI sesuai dengan kriteria WHO. HASIL DAN DISKUSI Responden yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 369 orang tetapi yang dapat diolah datanya hanya 187 orang (50,68%) karena Uji HI memerlukan sampel darah akut (A) dan konvalesen (K) sedangkan 182 orang (49,32%) lainnya tidak dapat diambil sampel darah konvalesennya karena : (a) Penderita tidak mau diambil darahnya lagi dengan alasan sudah banyak diambil darahnya (b) Penderita tidak sempat diambil darahnya oleh petugas karena sudah terlanjur pulang. Responden berumur antara 15 tahun sampai 65 tahun terbanyak di bawah 30 tahun (82,89%) dengan rata-rata umur penderita 25 tahun, (Tabel 1).

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004 55

Tabel 1. Distribusi Penderita tersangka DBD menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin Umur (tahun) 1520253035404550556065Jumlah Laki-laki (N) 25 30 18 11 6 4 2 0 0 1 1 98 Perempuan (N) 25 29 9 8 6 3 4 1 1 1 2 89 Total 50 59 27 19 12 7 6 1 1 2 3 187 % 26,74 31,55 1,44 10,16 6,42 3,74 3,21 0,53 0,53 1,07 1,61 100,00

Pada tabet 4 terlihat penderita infeksi primer dapat ditemukan pada usia lanjut (golongan umur 65 tahun) meskipun pada usia yang lebih muda lebih banyak terjadi; infeksi sekunder terjadi pada golongan umur paling tua 45 tahun, dan untuk presumtif ditemukan paling tua pada golongan umur 55 tahun, ini menunjukkan bahwa penderita DBD memang sudah bergeser ke umur yang lebih tua.
Tabel 4. Distribusi Hasil Uji HI Positif pada Penderita Tersangka DBD berdasarkan Umur. Golongan umur (th) 1520253035404550556065Total Kriteria hasil uji HI positif Positif primer Positif sekunder Presumtif positif 8 18 2 4 17 5 5 12 2 1 8 1 0 3 0 1 2 0 0 4 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 2 0 0 21 64 11 Total 28 26 19 10 3 3 4 0 1 0 2 96

Pada penelitian ini perbandingan penderita laki-laki dan perempuan hampir sama yaitu 98 : 89 (1,1:1); karena jumlah responden laki-laki lebih banyak kelihatannya jumlah penderita laki-laki lebih besar.
Tabel 2. Distribusi Hasil Uji HI pada Penderita Tersangka DBD Hasil Uji HI Positif Negatif Total Jumlah (N) 96 91 187 % 51,3 48,7 100,0

Tabel 2 memperlihatkan penderita dan hasil uji HI nya yaitu 51,3% positif dan 48,7% negatif. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian sebelumnya yang berkisar antara 30% - 50%, yaitu: tahun 1994: 34,5% ; tahun 1995: 50,19%; tahun 1996: 32,82%; tahun 1997: 34,21%; tahun 1998: 36,24%(5). Keadaan tersebut mungkin disebabkan: (a) Kurang cermat mendiagnosis penyakit DBD (b) Tidak mau ambil risiko penderita DBD terlewatkan tanpa pengobatan yang dianjurkan (c) Pengambilan sampel yang kurang tepat baik cara, waktu maupun penyimpanannya (d) Cara pengerjaan uji yang kurang memperhatikan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
Tabel 3. Distribusi Penderita Tersangka DBD dengan Kriteria Uji HI positif Kriteria Uji HI Positif Positif primer Positif sekunder Presumtif positif Total Jumlah (N) 21 64 11 96 % 21,9 66,7 11,4 100,0

Pada penelitian ini penderita DBD derajat (grade) I sebanyak 55,7% dan derajat II sebanyak 44,3%; tidak didapatkan adanya hubungan linier antara derajat penyakit DBD dengan hasil uji HI positif (p = 0,6849). KESIMPULAN Ternyata tidak semua penderita tersangka DBD dapat diperiksa uji HI karena berbagai kendala. Jumlah penderita laki-laki dan perempuan sebanding; hasil uji HI positif sebesar 51,3% dengan kriteria positif sekunder yang terbanyak meskipun ditemukan infeksi primer pada penderita lanjut usia; penderita berada pada derajat I dan II, dan tidak ada hubungan linier antara derajat penyakit DBD dengan hasil uji I-II yang positif.
UCAPAN TERIMA KASIH Ditujukan kepada Kapuslitbang Pemberantasan Penyakit Badan Litbangkes, Pimpinan dan Staf RS Persahabatan, Pimpinan dan Staf RS Pasar Rebo, dan semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini. KEPUSTAKAAN l. 2. 3. 4. 5. Profil Kesehatan Indonesia 1999. Departernen Kesehatan RI 2000. Jakarta. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue. Direktorat Jenderal PPM&PLP Departemen Kesehatan RI. 2001. Data Kasus DBD 1999. Sub.Dit. Surveilans Dit.Jen. PPM&PLP Departemen Kesehatan RI. 2000. Clarke DH, Cassals J. Techniques for Haemagglutinatuon and Haemagglutination Inhibition with Arthropod-borne Viruses. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1958; 7: 561. Muchlastriningsih E et al. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penderita Tersangka DBD di Jakarta tahun 1998. Berita Epidemiologi, Desember 1999.

Penderita terutama dengan infeksi sekunder (tabel 3) ; ini mendukung hipotesis infeksi sekunder pada patogenesis DBD yang banyak dianut, tetapi adanya penderita dengan infeksi primer dan presumtif juga membenarkan hipotesis virulensi virus.

56 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

Produk Baru Hemapo


Erythropoietin Syringe 2000 IU, 3000 IU, 10.000 IU in 1 mL KOMPOSISI Setiap mL larutan berisi: Epoetin alfa (recombinant human erythropoietin) 2000 IU, 3000 IU dan 10.000 IU. INDIKASI Pengobatan anemia yang disebabkan gagal ginjal kronik (renal anemia) pada pasien dengan dialisis dan non dialisis. KONTRA INDIKASI Hipertensi berat yang tidak terkontrol. Hipersensitif terhadap produk yang berasal dari sel mamalia. Hipersensitif terhadap human albumin. INTERAKSI Tidak diketahui adanya interaksi klinis yang signifikan, tetapi efek erythropoietin dapat dipotensiasi oleh agen hematinik, seperti: FeSO4. EFEK SAMPING Hipertensi Peningkatan jumlah platelet Lain-lain yang jarang terjadi yaitu rash, pruritus dan urtikaria; sakit kepala, artralgia, mual, edema, fatigue, diare, muntah ataupun reaksi di tempat injeksi. DOSIS dan CARA PEMBERIAN Pengobatan anemia pada pasien Gagal Ginjal Kronik: Larutan dapat diberikan secara IV atau SC. Fase Koreksi: Dosis awal untuk pasien hemodialisis adalah 100-150 IU/kg/minggu yang terbagi dalam 2-3 kali pemberian. Jika peningkatan hematokrit tidak sesuai dengan yang diharapkan (<0.5%/minggu), dapat dilakukan penyesuaian dosis setelah 4 minggu pengobatan dengan meningkatkan dosis 15-30 IU/ kg/minggu, tetapi tidak lebih dari 30 IU/kg/minggu. Dosis untuk pasien non dialisis: 100 IU/kg/minggu yang terbagi dalam 3 kali pemberian. Fase Pemberian: Untuk mempertahankan kadar hematokrit 30%-35%, sebaiknya diberikan dosis 50-150 IU/kg/minggu yang terbagi dalam 2-3 kali pemberian (dosis dikurangi menjadi 2/3 dosis semula). Sebaiknya kadar hematokrit dipantau setiap 2-4 minggu sehingga penyesuaian dosis dapat dilakukan secara berkala untuk mempertahankan kadar Hematokrit yang optimum dan mencegah erithropoiesis yang terlalu cepat. Pada umumnya terapi Erythropoietin adalah terapi jangka panjang, meskipun dapat dihentikan setiap saat. Dosis untuk pasien gagal ginjal kronis non dialisis sebaiknya dipertimbangkan secara individual. PENYIMPANAN Simpan dalam lemari es, suhu 2-8C. terlindung dari cahaya. Jangan dibekukan dan dikocok. KEMASAN Box isi pre-filled syringe 2000 IU/mL, 3000 IU/mL dan 1000 IU/mL.
Reference: Bei Jing XieHe Hospital, 1998, Clinical Trial III Report of rhEPOInjection

Marketing Office PT. KALBE FARMA Tbk. Gedung Enseval, Jl. Letjend. Suprapto, Jakarta 10510 PO Box 3105 JAK, Jakarta Indonesia Tlp.: (021) 428 73888-89, Fax. : (021) 428 73680 Website : http://www.kalbe.co.id Hotline service (bebas pulsa): 0-800-123-0-123, Senin Jumat (07.00-15.30)

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

57

apsul

Klasifikasi derajat gangguan pendengaran (ASHA, 1990).

Brainstem auditory evoked potential (BAEP) pada dewasa normal. Elektrode diletakkan di vertex dan mastoid ipsilateral. Sumber: http://ivertigo.net./hearing/hrexam.html

58

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

INFORMATIKA KEDOKTERAN
PENGANTAR
Medical informatics is located at the intersection of information technology and the different disciplines of medicine and healthcare. Medical Informatics atau Informatika Kedokteran adalah ilmu yang mempelajari suatu bidang yang terbentuk pada perpotongan ilmu kedokteran/kesehatan dan Teknologi Informatik (Information Technology). Dalam perbincangan penulis dengan pakar Informatika Kedokteran dari Malaysia, dr HM Goh, disebutkan bahwa istilah-istilah seperti Informatika Kedokteran Informatika Kesehatan maupun e-health sebenarnya mempunyai arti yang kurang lebih sama. Secara rinci perkembangan nama / ilmu tersebut bisa dibaca pada ulasan di bawah ini: Berawal pada tahun 1970-an Istilah medical informatics diketahui berasal dari istilah bahasa Perancis informatique mdicale. Sebelum tahun 1970an istilah yang dipergunakan bermacam-macam seperti: medical computer science, medical information science, computer in medicine, health informatics, dan beberapa istilah yang spesifik seperti nursing informatics, dental informatics, dll. Pengistilahan ini sama dengan pemberian istilah di bidangbidang lain di luar kesehatan, seperti: computer science, information processing, dan informatics, dan beberapa area yang lebih spesifik, contohnya: computational physics, computational linguistics, atau artificial intelligence. Jika mengikuti perkembangan bidang informatika, maka secara terperinci masih bisa dibagi lagi atas: ilmu komputer yang fundamental, informatika yang berorientasi pada aplikasi, dan informatika terapan. Demikian pula jika kita ingin membagi bidang-bidang dalam informatika kedokteran. Dua definisi Dari pelbagai penjelasan mengenai Informatika Kedokteran, penulis melihat ada pendapat dua pakar informatika kedokteran yang cukup diakui banyak orang, yakni: Shortlife EH dan Van Bemmel JH. Mereka mendefinisikan sebagai berikut: (1) Ilmu Informatika Kedokteran adalah ilmu yang menggunakan alat-alat sistem analitik untuk membangun prosedur-prosedur (algoritma-algoritma) demi kepentingan management, proses kontrol, pengambilan keputusan dan analisis keilmuan dari Ilmu Kedokteran. (2) Informatika Kedokteran terdiri dari aspek-aspek teori dan praktis dari proses informasi dan komunikasi, berlandaskan pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan pada proses-proses yang terjadi pada pelayanan kedokteran dan kesehatan. Dalam praktek sehari-hari Dalam kehidupan sehari-hari penerapan Informatika Kedokteran bisa dilihat seperti: 1. Proses pengolahan data Data adalah tulang punggung proses informatika selanjutnya. Dalam bidang ini dipelajari bagaimana memperoleh dan mengeluarkan data, merawat data, dll. Kesemuanya dibutuhkan agar pengambilan keputusan manusia bisa dipercepat. Telekomunikasi Masuk dalam bidang ini adalah teleconsultation, teleradiologi, telekardiologi, dan tele-tele yang lain Medical Imaging Yang masuk dalam area ini seperti: ultrasound, radiologi, kedokteran nuklir, dll Sistem Informasi Terdapat dua pembagian besar sistem informasi yaitu (1) yang berfokus pada pasien dan (2) yang berfokus pada keperawatan Web dan internet Perkembangan dunia telekomunikasi begitu cepat. Saat ini aplikasi yang berbasis web sudah mulai digemari karena lebih mudah digunakan dari manapun dan kapan saja. Sebaliknya, sifat website pun sudah mulai berubah. Jika dahulu hanya bersifat satu arah (broadcast), misalnya menginformasikan jam praktek dokter, artikel kesehatan, dll. kemudian berkembang menjadi bersifat interaktif (dua arah), seperti: tanya jawab, dll. Akhir-akhir ini, aktivitas di website bisa dijadikan sebagai salah satu alat untuk proses bisnis, seperti: proses pendaftaran pasien, melihat rekam medik dll.

2.

3.

4.

5.

Aspek-aspek lain yang berperan Aspek-aspek lain yang tidak bisa dianggap enteng adalah: Interaksi manusia dan komputer, Biaya dan keuntungan sistem informasi, aspek keamanan dan legalitas, dll.

(Dr. Erik Tapan MHA)

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

59

Kegiatan Ilmiah

Simposium Awam "Hindari Anemia Saat Cuci Darah", Hotel Acasia, 18 April 2004 Salah satu penyebab makin banyaknya jumlah penderita gagal ginjal adalah pola hidup modern, seperti maraknya mengkonsumsi alkohol, menghisap rokok, dan sebagainya. Di samping itu hal-hal lain yang juga menjadi dasar penyebab penyakit ini adalah adanya penyakit immunologi, batu ginjal, dan infeksi. Demikian dikatakan dr. J.Pudji Rahardjo, Sp.PD-KGH, dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta beberapa waktu lalu. (tampak dalam foto dr. Pudji Rahardjo, SpPD-KGH, narasumber simposium berkenan menyumbangkan suara emasnya)

juga mempunyai hambatan dalam membina hubungannya dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain penyakit ini tidak hanya merugikan diri penderita sendiri tetapi juga orang lain yang berada di sekelilingnya, sehingga dapat dirasakan bahwa hal ini akan menjadi suatu problem yang sangat kompleks di masa yang akan datang. eHealth Asia 2004, Kuala Lumpur, 6 - 8 April 2004 Bertempat di Grand Plaza Park Royal Kuala Lumpur, hari ini Dato' Dr Abdul Gani Che Din, mewakili Mentri Kesehatan Malaysia Tan Sri Datu Dr.Hj. Mohammad Taha bin Arif, membuka acara eHealth Asia 2004. Dalam sambutan tertulisnya, mentri menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan kesehatan bersama hendaknya dipandu oleh prinsip sistem kesehatan yang mantap di masa depan, di samping hasil dari sistem kesehatan yang juga harus terfokus. APAMI Board Meeting, Kuala Lumpur, 6 April 2004 Pada malam hari, 6 April 2004, setelah menyelesaikan acara ilmiah, diadakan APAMI Board Meeting atau acara organisasi dari Asia Pasific Association of Medical Informatics. Wakil dari Indonesia, Erik Tapan, mempresentasikan perkembangan bidang tersebut di Indonesia. Presentasi dimulai dari Medical Record Elektronik RS Pertamina Jaya Jakarta, Tele-education kesehatan via satellite, Studio mini Jakarta Eye Center, Tele-radiologi Pantai Indah Kapuk, dan Portal Kedokteran www.kalbe.co.id, yang di klik rata-rata 2.000 kali per hari. Simposium Awam "Hindari Anemia Saat Cuci Darah", Hotel Acasia, 18 April 2004 Salah satu penyebab makin banyaknya jumlah penderita gagal ginjal adalah pola hidup modern, seperti maraknya mengkonsumsi alkohol, menghisap rokok, dan sebagainya. Di samping itu hal-hal lain yang juga menjadi dasar penyebab penyakit ini adalah adanya penyakit immunologi, batu ginjal, dan infeksi. Demikian dikatakan dr. J.Pudji Rahardjo, Sp.PD-KGH, dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta beberapa waktu lalu.

Laporan lengkap dari simposium, bisa diakses di http://www.kalbe.co.id/seminar. Pada topik yang diberi tanda Breaking News, berarti peserta simposium bisa memperoleh berita dalam bentuk cetak (print) bersamaan dengan acara di Stand Kalbe Farma, dan bisa langsung diakses pada homepage Kalbe Farma
Seminar Mengenal & Mengatasi Demam Berdarah, RSIA HERMINA Daan Mogot - Jakarta, 20 Maret 2004 Sampai dengan tanggal 15 Maret 2004, di DKI terdapat penderita DBD yang masih dirawat di RS sejumlah 2.043 orang. Untuk itu kita jangan sampai lengah. Demikian terungkap dalam Seminar Awam "Mengenal & Mengatasi Demam Berdarah Dengue, Sabtu 20 Maret 2004 di RSIA Hermina Daan Mogot Jakarta. Acara tersebut menampilkan pembicara tunggal Sri Kusumo Amdani, dokter spesialis anak yang berpraktek di rumah sakit ibu dan anak tersebut. Siang Klinik : Demensia dan Penatalaksanaannya, RS Mitra International, 25 Maret 2004 Demensia atau yang orang awam sering sebut 'pikun' ternyata bukan hanya merupakan masalah yang sederhana, hal ini jelas terlihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa penderita demensia, ternyata bukan hanya mengalami penurunan fungsi kognitif saja, melainkan

60 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

5th Jakarta Antimicrobial Update 2004, Hotel Borobudur Jakarta, 8-9 Mei 2004 Nutrisi enteral atau peroral sangat penting untuk saluran cerna, karena dapat mencegah atrofi villi usus, tetap menjaga kelangsungan fungsi usus, enterosit dan kolonosit. Nutrisi enteral lebih unggul dibandingkan parenteral dalam mempertahankan fungsi gastrointestinal, dan berperan sebagai nutrisi pokok atau suplemen dalam memperbaiki status nutrisi pasien yang dirawat di bidang ilmu penyakit dalam atau perawatan intensif National Obesity Symposium III, Hotel Shangri La Jakarta, 15-16 Mei 2004 Hasil riset terbaru dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) yang melibatkan lebih dari enam ribu orang, membuktikan bahwa prevalensi obesitas semakin meningkat. Dibandingkan dengan data WKNPG tahun 1998, angka kejadian penyakit ini pada pria melonjak hingga mencapai 9,16 % (WKNPG : 2,5 %) dan wanita 11,02 % (WKNPG : 5,9 %). Oleh karena itu obesitas menjadi masalah epidemik yang global, tak hanya di Indonesia saja namun di seluruh dunia. ASEAN Pharmaceutical Industry Congress, Jakarta, 23 - 25 Mei 2004 Bertempat di Hotel Gran Melia Jakarta, Minggu 23 Mei 2004 diadakan acara pembukaan eksebisi dari ASEAN Pharmaceutical Industry Congres I. Acara yang dihadiri oleh kurang lebih 400 peserta dari ASEAN ini berlangsung selama 3 hari dan diikuti oleh kurang lebih 40 industri farmasi dari dalam dan luar negeri, termasuk dari Kalbe Group. Seminar Ilmiah Kongres ARSSI I, Jakarta, 24 Mei 2004 Tuntutan terhadap dokter / rumah sakit bukan hal yang luar biasa lagi saat ini. Menurut Budi Sampurna, dokter forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kasus tuntutan di rumah sakit umumnya diartikan sebagai tuntutan hukum yang diakibatkan oleh ketidakpuasan pasien. Hal tersebut dipaparkan dokter ahli hukum tersebut sewaktu menjadi pembicara di sesi ilmiah dalam rangka Kongres Asosiasi RS Swasta Indonesia (ARSSI) yang pertama di Jakarta, 24 Mei 2004. Seminar Integrated Hospital Marketing, Jakarta, 25 - 26 Mei 2004 Sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum mempergunakan Riset Marketing dalam menjalankan usahanya. Demikian dijelaskan Handi Irawan, dalam acara seminar Vi tahun 2004 dengan judul "Integrated Hospital Marketing" yang diselenggarakan Perhimpunan Manager Pelayanan Kesehatan Indonesia (PERMAPKIN), di Jakarta selama 2 hari, 25 - 26 Mei 2004. Simposium Hematologi-Onkologi Medik Berkesinambungan XI, Hotel Mandarin Oriental - Jakarta, 29 Mei 2004 Terapi biologi sebagai bagian dari kemoterapi telah berkembang pesat dari terapi konvensional yang sebelumnya berbasis kemoterapi, radiasi dan operasi, menjadi terapi yang bersifat spesifik. Spesifik yang dimaksud adalah dengan mencegah pertumbuhan dan perkembangan khusus sel kanker, sehingga diharapkan terapi akan lebih tepat sasaran dengan efek samping lebih ringan serta kualitas hidup pasien yang meningkat. Demikian dikatakan Prof. Dr. Zubairi Djorban, Sp.PD, KHOM dalam sambutannya pada acara Simposium Hematologi-Onkologi Medik Berkesinambungan XI beberapa waktu lalu di Jakarta.

Simposium Neurologi Untuk Masyarakat Umum, Balai Kemanunggalan TNI-Rakyat Makassar, 18 Januari 2004 Pada tanggal 18 Januari 2004, Bagian/UP Neurologi FK UNHAS/RS Dr. Wahidin Sudirohusodo bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) cabang Makassar telah menyelenggarakan simpoisum neurologi untuk masyarakat umum dengan topik Pengenalan dini gejala/gangguan saraf. Tujuan dilaksanakannya simposium ini adalah untuk mencegah/menurunkan kecacatan dan kematina akibat penyakit saraf. Acara yang dilaksanakan di Balai Kemanunggalan TNI-Rakyat Makassar dimulai pukul 09.00 WITA diikuti oleh sekitar 1100 orang peserta. Asal peserta sangat beragam dari masyarakat umum sampai masyarakat yang bergerak di bidang kesehatan, mahasiswa baik kedokteran maupun keperawatan.(foto diambil saat Session Mari Tanya Ahli, dari kiri ke kanan: dr. K. Ed. Sie, SpS(K), Prof. dr. Danial Abadi, SPS(K), dr. Amiruddin Aliah, SpS(K), MM dan Prof. dr. Arifin Limoa, SpS(K)). Seminar IT PERMAPKIN, Jakarta, 27 - 28 April 2004 Komputerisasi dalam "bisnis" layanan kesehatan, seharusnya sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan "proses bisnis"nya. Demikian dikatakan dr. Prabowo Soemarto dalam Seminar IT dari PB PERMAPKIN (Perhimpunan Manager Pelayanan Kesehatan) yang berlangsung selama dua hari di Jakarta. Sebabnya, lanjut Konsultan Management dari Layanan Kesehatan Cuma-cuma Dompet Dhuafa Republika tersebut, karena proses bisnis layananan kesehatan termasuk hal yang kompleks, mengingat sangat beragamnya latar belakang profesi yang menjalankannya. 4th Congress of Asian Pasific Society of Atherosclerosis and Vascular Disease (APSAVD) 2004, Bali International Convention Center, 6-9 Mei 2004 Dalam waktu 10 tahun ke depan seorang penderita kencing manis atau diabetes mellitus diperkirakan akan menderita penyakit jantung koroner (CHD/Coronary Heart Disease). Oleh karena itu penyakit DM saat ini telah dimasukan sebagai penyakit kardiovaskular berdasarkan guideline terbaru DM. Demikian salah satu yang ditekankan Prof. Dr. H. Slamet Suyono, SpPD, KE dari Pusat Diabetes dan Lipid FKUI Jakarta pada acara 4th Congress of Asian Pasific Society of Atherosclerosis and Vascular Disease (APSAVD) di Bali International Convention Center beberapa waktu lalu.

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

61

ABSTRAK
KELAINAN KORTEKS PADA ADHD Penelitian menggunakan MRI dan teknik komputasi terhadap korteks serebri 27 anak dan remaja penderita ADHD dibandingkan dengan 46 kontrol, menunjukkan bahwa morfologi abnormal ditemukan di korteks frontal, selain itu didapatkan ukuran yang lebih kecil di daerah inferior dan korteks prefrontal dorsal bilateral; juga di korteks temporal anterior bilateral. Peningkatan nyata substansia grisea sebaliknya didapatkan di sebagian besar korteks temporal superior dan parietal inferior bilateral. Daerah frontal, temporal dan parietal merupakan korteks asosiasi heteromodal yang berkaitan dengan fungsi perhatian (attention) dan inhibisi tingkah laku (behavioral inhibition).
Lancet 2003; 362: 1699-707 brw

0.8) dan bukan perokok (0.7; 0.5 0.9). Penggunaan UVGI juga menurunkan keluhan respirasi (0.4; 0.2 0.9) dan keluhan muskuloskeletal (0.5; 0.3 0.9) di kalangan bukan perokok.
Lancet 2003; 362: 1785-91

PENGUKURAN ULTRASONOGRAFI UNTUK MENILAI RISIKO FRAKTUR Risiko fraktur dicoba dinilai melalui pemeriksaan ultrasonografi terhadap tulang kalkaneus; penelitian ini dilakukan atas 14 824 pria dan wanita 42-82 tahun di Norfolk, sepanjang tahun 1997-2000; mereka di amati selama rata-rata 1.9 0.7 tahun. Selama masa itu terjadi 121 fraktur, 31 di antaranya fraktur femur. Ternyata populasi yang mempunyai distribusi BUA (broadband ultrasound attenuation) kalkaneus di kisaran 10% terendah, risiko frakturnya 4.44 kali (95%CI: 2.24 8.89; p<0.0001) dibandingkan dengan populasi yang di kisaran 30% tertinggi. Pengurangan 1 SD dari BUA (20 db/MHz) dihubungkan dengan risiko fraktur relatif 1.95 (95%CI: 1.50 2.52, p<0.0001) tidak tergantung usia, sex, tinggi badan, berat badan, kebiasaan merokok ataupun riwayat fraktur sebelumnya. Pemeriksaan kuantitatif ultrasonografi terhadap kalkaneus agaknya dapat meramalkan risiko fraktur baik di kalangan pria maupun wanita.
Lancet 2004;363:197-202 brw

brw ALAS TIDUR KERAS UNTUK NYERI PINGGANG BAWAH Kebanyakan dokter menganjurkan tidur di alas yang keras untuk mengatasi keluhan nyeri pinggang bawah. Para peneliti di Spanyol menilai 313 dewasa dengan nyeri pinggang bawah kronis nonspesifik; 158 diminta tidur di alas dengan derajat kekerasan 5.6, sedangkan 155 lainnya tidur di alas dengan derajat kekerasan 2.3; skala kekerasan kasur berkisar dari 1.0 (paling keras) sampai 10.0 (paling empuk). Setelah 90 hari mereka dievaluasi; ternyata mereka yang tidur di alas medium (5.6) lebih banyak yang berkurang rasa nyerinya, baik di tempat tidur (odds ratio 2.36; 95%CI: 1.13 4.93) maupun saat bangkit (1.93; 0.97 3.86) dan lebih rendah disabilitasnya (2.10; 1.24 3.56) dibandingkan dengan yang tidur di alas keras. Selama periode studi, mereka yang tidur di alas medium juga lebih sedikit merasa nyeri di siang hari (p=0.059), nyeri saat berbaring (p=0.064) dan nyeri saat bangkit dari tempat tidur (p=0.008) dibandingkan dengan mereka yang tidur di alas keras. Sayangnya dalam studi ini posisi tidur tidak ikut diperhitungkan, karena ternyata mereka yang tidur di alas medium lebih banyak yang mengambil posisi fetal (56% di awal percobaan, 65% di akhir percobaan) dibandingkan dengan mereka yang tidur di alas keras (54% dan 59%).
Lancet 2003; 362: 1599-604 brw

SICK BUILDING SYNDROME Sick building syndrome (sindrom gedung sakit) merupakan masalah yang belum sepenuhnya dipahami. Sekelompok peneliti di Montreal, Kanada mencoba menyelidikinya pada 771 pekerja kantor; sistem ventilasi ruang kerja mereka disinari dengan UVGI (ultraviolet germicidal irradiation) selama 4 minggu, kemudian dimatikan selama 12 minggu; siklus ini dilakukan sebanyak 3 kali, selama 48 minggu. Pengoperasian UVGI menurunkan konsentrasi mikroba dan endotoksin di permukaan sistim ventilasi sampai 99% (95%CI 67 100). Ternyata penggunaan UVGI dikaitkan dengan penurunan gejala berkait dengan pekerjaan secara umum (OD 0.8; 95%CI 0.7 0.99) juga terhadap keluhan respirasi (0.6; 0.4-0.9) dan keluhan mukosal (0.7; 0.5 0.8). Penurunan keluhan mukosal terutama di kalangan pekerja atopik (0.6; 0.5

METILPRDENISOLON UNTUK SINDROM GUILLAIN BARRE Dutch GBS study group mengadakan penelitian acak butaganda dengan kontrol plasebo untuk menilai manfaat penambahan metilprednisolon terhadap pengobatan imunoglobulin pada sindrom GuillainBarre. Sejumlah 233 pasien mendapat 0.4 g IVIg/kg.bb/hari selama 5 hari; 116 di antaranya juga diberi 500 mg. metilprednisolon/hari iv dalam 48 jam setelah pemberian IVIg pertama, 117

62 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

ABSTRAK
sisanya mendapat plasebo. Analisis atas data dari 225 pasien menunjukkan bahwa skor disabilitas membaik satu tingkat atau lebih pada 68% (76 dari 112) pasien kelompok metilprednisolon dan pada 56% (63 dari 113) pasien kontrol. (OR 1.68; 95%CI: 0.97-2.88; p=0.06). Setelah penyesuaian data terhadap usia dan tingkat penyakit saat masuk, OR=1.89 (95%CI: 1.07-3.35; p=0.003). Efek samping tidak berbeda bermakna di antara dua kelompok tersebut. Ternyata penambahan metilprednisolon tidak memperbaiki hasil pengobatan sindrom Guiilain/Barre.
Lancet 2004;363:192-6 brw

EFEK SAMPING TRIMETOPRIMKOTRIMOKSAZOL Telah dilaporkan satu kasus wanita 63 tahun yang mendapat 20 mg/kg.bb trimetoprim, 100 mg/kg.bb sulfametoksazol iv dan 2 g. seftriakson iv dua kali sehari untuk infeksi Nocardia; setelah 4 hari pengobatan pasien tersebut mengalami gerakan involunter di kepala dan keempat ekstremitasnya, berupa mioklonus multifokal dan asterixis bilateral. Pemeriksaan MRI hasilnya tidak spesifik, dan pasien menolak punksi lumbal. Terapi trimetoprim-sulfametoksazol dihentikan, keesokan harinya gerakan involunter berkurang dan hilang sama sekali setelah 4 hari, Kejadian ini sebelumnya pernah dilaporkan pada 1 kasus anak.
N Engl J Med 2004;350:88-9 brw

ASPIRIN UNTUK POLISITEMIA VERA Aspirin ternyata juga bermanafat untuk mencegah komplikasi trombosis di kalangan pasien polisitemia vera. Para peneliti di Italia memberikan 100 mg aspirin/hari pada 253 pasien polisitemia vera, dibandingkan dengan 265 pasien yang diberi plasebo. Pemantauan dilakukan setelah 12, 24, 36, 48 dan 60 bulan kemudian. Di akhir percobaan, risiko infark miokard non fatal, stroke non fatal atau kematian akibat kardiovaskuler lebih rendah di kelompok aspirin (RR 0.41; 95%CI 0.15 1.15; p=0.09); demikian juga risiko infark miokard non fatal, stroke non fatal, emboli paru, trombosis vena atau kematian akibat kardiovaskuler (RR 0.40; 95%CI 0.18 0.91; p=0.03). Kematian, baik keseluruhan ataupun oleh sebab kardiovaskular lain tidak berbeda bermakna. Efek samping perdarahan tidak berbeda bermakna (RR 1.62; 95%CI 0.27-9.71).
N Engl J Med 2004;350:114-24 brw

Program latihan yang dijalani berupa bersepeda, jalan kaki, aerobik dan kalistenik yang bervariasi di antara percobaan-percobaan tersebut.
BMJ 2004;328:189-92 brw

EFEK LATIHAN TERHDAP KETAHANAN JANTUNG Kelompok peneliti di Inggris melakukan metaanalisis atas 9 percobaan yang seluruhnya melibatkan 801 pasien 395 menjalani latihan, 406 sebagai kontrol. Ternyata selama periode followup rata-rata selama 705 729 hari tercatat 88 (22%) kematian di kelompok latihan dan 105 (16%) di kelompok kontrol. Latihan secara bermakna menurunkan mortalitas (hazard ratio 0.65; 95%CI 0.46 0.92; logrank x2 5.9; p=0.015) Kematian dan perawatan rumahsakit juga lebih sedikit di kalangan latihan (0.72; 0.56-0.93; 6.4; p=0.011).

MENCEGAH EKSASERBASI ASMA Suatu studi dilakukan untuk menilai manfaat penggandaan dosis inhalasi kortikosteroid dalam upaya mencegah peningkatan dosis prednisolon oral. Sejumlah 390 penderita asma pengguna kortikosteroid inhalasi yang berisiko eksaserbasi dipantau gejala asma dan morning peak flownya selama sampai 12 bulan. Saat gejalanya mulai memburuk, 192 menggandakan dosisnya, sedangkan 198 lainnya tidak (kedua kelompok menggunakan inhaler yang serupa) Setelah 12 bulan, data diolah dari 207 (53%) peserta; 110 di kelompok studi dan 97 di kelompok plasebo; ternyata 46 menggunakan prednisolon tambahan - 22 (11%) dari kelompok studi dan 24 (12%) dari kelompok plasebo membutuhkan prednisolon tambahan untuk mengatasi gejala asmanya. Risk ratio penggunaan prednisolon 0.95 (95%CI 0.55-1.64, p=0.8) Para peneliti berkesimpulan bahwa menggandakan dosis inhalasi tidak mencegah perburukan gajala asma (yang diukur dari kebutuhan prednisolon oral)
Lancet 2004;363:271-5 brw

Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

63

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran


Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?
1. Kuman yang dikaitkan dengan rinitis atrofi: a) Streptococcus pneumoniae b) Pneumococcus c) Klebsiella pneumoniae d) Klebsiella ozeanae e) Klebsiella rhinoscleromatis Defisiensi yang dikaitkan dengan rinitis atrofi : a) Defisiensi vitamin B b) Defisiensi vitamin C c) Defisiensi vitamin D d) Defisiensi Zn e) Defisiensi Fe Kista duktus tiroglosus paling sering ditemukan di a) Submental b) Intralingual c) Suprahioid d) Transhioid e) Infrahioid Yang tidak benar mengenai papiloma laring; a) Tumor jinak b) Tidak pernah mematikan c) Berhubungan dengan HIV d) Gejalanya awalnya sesak e) Sering rekuren Rinoskleroma dikaitkan dengan : a) Streptococcus pneumoniae b) Pneumococcus c) Klebsiella pneumoniae d) Klebsiella ozeanae e) Klebsiella rhinoscleromatis Bakteri yang paling sering menginfeksi trakeostomi: a) Streptococcus pneumoniae b) Pneumococcus c) d) e) 7. Klebsiella Pseudomonas Staphylococcus

2.

Kanker nasofaring terutama didapatkan di kalangan: a) Mongoloid b) Kaukasian c) Negroid d) Hispanik e) India Pemakaian sumbat telinga tidak berguna jika intensitas suara di atas: a) 20 dB b) 40 dB c) 60 dB d) 80 dB e) 100 dB Nyeri timbul jika intensitas suara melebihi ; a) 100 dB b) 120 dB c) 140 dB d) 160 dB e) 180 dB

8.

3.

9.

4.

5.

10. Yang termasuk penyebab sentral pada vertigo ; a) Gangguan peredaran darah otak b) Trauma vestibuler c) Penyakit Meniere d) Vertigo posisional benigna e) Neuronitis vestibularis

6.

JAWABAN RPPIK : 1. 6. D D 2. 7. E A 3. 8. E C 4. 9. B B 5. 10. E A

64 Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004

Anda mungkin juga menyukai