Anda di halaman 1dari 9

Reformasi Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara di Indonesia1

1. Pengantar Perbaikan transparansi dan akuntabilitas fiskal merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan perombakan sistem sosial yang kita lakukan selama era reformasi, sejak krisis ekonomi tahun 1997-1998. Di sektor ekonomi kita ingin beralih dari sistem perencanaan terpusat kepada sistem yang lebih banyak menggunakan mekanisme pasar. Perencanaan terpusat dan kredit program pada masa Orde Baru telah menciptakan KKN. Privatisasi dan deregulasi masa itu juga digunakan untuk memindahkan hak milik negara kepada kroni penguasa politik. Akibatnya, efisiensi perekonomian nasional kita menjadi semakin menurun dan berakhir pada krisis tahun 1997-1998. Dalam bidang politik, reformasi itu ingin menggantikan sistem politik otoriter masa lalu dengan sistem demokrasi. Sistem politik yang demokratris itu memberikan jaminan kebebasan berserikat dan bersuara termasuk mendirikan partai politik. TNI dan Polri tidak lagi memiliki wakil di DPR dan menduduki jabatan sipil. Presiden dan wakil presiden serta kepala-kepala daerah kini dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan platform atau janji politiknya dan tidak lagi dipilih oleh MPR atau DPRD. Di masa lalu, MPR sekaligus menyusun GBHN. Dalam siste politik yang demokratis rakyat sekaligus menuntut pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel. Dalam sistem pemerintahan, kita ingin merombak sistem pemerintahan sentralistis masa lalu diganti dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Transparansi dan akuntabilitas fiskal mengurangi sumber konflik antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah daerah sehingga dapat dipelihara keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. The founding fathers kita yang menyusun UUD 1945 sadar akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas fiskal untuk mewujudkan bhinneka tunggal ika. Bab VIIIA,
1

Makalah untuk luncheon discussion Musyawarah Nasional Ketiga Asosiasi Pemerintah Provinsi Indonesia, Surabaya, Senin, 22 Oktober 2007.

Pasal 23 E sampai dengan Pasal 23 G, UUD 1945 menciptakan BPK sebagai satu-satunya badan pemeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara pada ketiga lapis pemerintahan Republik Indonesia, yakni: pusat, provinsi dan kabupaten/kota2. Berbeda dengan di negara lain, UUD 1945 menciptakan BPK sebagai suatu lembaga negara sendiri yang sejajar dengan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif. Di negara lain, lembaga sebagai BPK merupakan aparat DPR sebagai pemegang hak bujet ataupun merupakan bagian dari cabang eksekutif. Pada gilirannya, sistem ekonomi pasar hanya dapat berjalan secara efektif dan efisien jika ada perlindungan hak milik individu serta transformasi informasi pasar yang simetris. Yang terakhir ini termasuk transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Sistem politik yang demokratis dan sistem pemerintahan yang didasarkan pada otonomi daerah juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. Tanpa itu, rakyat tidak akan mau membayar pajak dan investor enggan membeli Surat Utang Negara. Konflik antar daerah dapat dipicu oleh perasaan curiga karena tidak transparan dan tidak akuntabelnya keuangan negara. Untuk selanjutnya makalah ini dibagi dalam lima bagian. Bagian kedua membahas berbagai elemen perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara untuk menjadikannya transparan dan akuntabel sesuai dengan tuntutan era reformasi. Bagian ketiga membahas temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2004, 2005 dan 2006. Bagian keempat membahas kelemahan insitusional pemerintah daerah untuk dapat mewujudkan otonomi. Bagian kelima membahas peranan yang dapat dilakukan oleh DPR dan DPRD untuk menindaklanjuti temuan BPK.

2. Upaya perbaikan sistem pengelolaan keuangan negara Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, pemerintah dalam era reformasi telah melakukan koreksi secara menyeluruh atas sistem keuangan negara yang dipergunakan pada masa Pemerintahan Orde Baru. Koreksi
Penjabaran lebih lanjut ketentuan UUD 1945 mengenai BPK dituangkan dalam Paket Tiga UndangUndang Keuangan Negara tahun 2003-2004 dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang BPK. Ketiga UU Keuangan Negara itu adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
2

pertama adalah degan mengintegrasikan anggaran negara dengan meniadakan pembedaan antara anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Kontrol atas APBN kini sepenuhnya berada ditangan Menteri Keuangan. Sementara itu, peranan anggaran nonbujeter semakin dikurangi. Administrasi dan pertanggungjawaban keuangan negara dirubah secara mendasar. Jenis dan format laporan keuangan negara kini memberlakukan sistem pembukuan berpasangan, menggunakan sistem akuntansi terpadu yang dikomputerisasi serta menerapkan desentralisasi pelaksanaan akuntansi secara berjenjang oleh unit-unit akuntansi baik di kantor pusat maupun di daerah. Perubahan mendasar atas struktur APBN dan jenis, format serta cara pelaporannya dimuat dalam ketiga Undang-Undang di bidang Keuangan Negara tahun 2003-2004. Koreksi yang kedua adalah dengan mengintrodusi Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) pada tanggal 13 Juni 20053. SAP ini merupakan yang pertama dikeluarkan oleh pemerintah setelah 60 tahun Republik Indonesia berdiri. Koreksi yang ketiga adalah dengan menerbitkan UU No. 15 Tahun 20064 yang memulihkan kebebasan dan kemandirian BPK dan sekaligus memperluas objek pemeriksaannya. Setelah 60 tahun kita berbangsa dan bernegara, pertanggungjawaban keuangan negara yang transparan dan akuntabel baru dimulai dalam LKPP Tahun 2004. Walaupun masih jauh dari sempurna LKPP itu memuat rangkaian perubahan sistem fiskal yang disajikan dalam bentuk neraca, lebih rinci dan lebih sistematis sehingga lebih mudah dipahami dan dicerna oleh masyarakat luas. Penyajian keuangan negara dalam bentuk neraca dan format baru, yang telah diaudit oleh BPK-RI tersebut, merupakan suatu tonggak sejarah kemajuan dan bagian dari perwujudan demokrasi politik yang juga menuntut adanya transparansi serta akuntabilitas keuangan negara. LKPP yang merupakan pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk baru seperti sekarang ini adalah diatur dalam Pasal 30 ayat (2) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Ketentuan peralihan Pasal 36 ayat (2) UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara itu menyatakan bahwa ketentuan mengenai LKPP dalam bentuk sekarang ini akan berlaku mulai APBN Tahun 2006. Namun demikian, UU
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan tanggal 3 Juni 2005. Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menggantikan UU No. 5 Tahun 1973.
4 3

No. 28 Tahun 2003 tentang APBN Tahun 2004 telah memajukan awal mulai berlakunya penerapan LKPP format baru dimaksud. Undang-undang APBN Tahun 2004 tersebut menyebutkan bahwa laporan pertanggungjawaban APBN oleh presiden sudah berupa LKPP format baru. LKPP format baru sekarang ini adalah berbeda dengan laporan keuangan Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Sistem Akuntansi Pemerintah dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)5. LKPP yang berlaku sekarang ini adalah terdiri dari Laporan Realisasi APBN (LRA) Pemerintah Pusat yang disusun berdasarkan LRA Kementerian Negara/Lembaga, Neraca, Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan Negara dan badan lainnya. Bagian-bagian LKPP yang lebih rinci, tertib dan sistematis tersebut merupakan hal yang sangat penting bagi transparansi fiskal dan peningkatan akuntabilitas publik.

3. Temuan pemeriksaan dan opini pemeriksaan BPK Pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN pada tingkat kementerian negara/lembaga dan APBD di daerah belum seluruhnya direviu oleh aparat pengawasan internal, sebagaimana diharapkan oleh undang-undang. Padahal, dewasa ini, pengawasan internal pemerintah di Indonesia merupakan yang terumit didunia dan terdiri dari empat lapis, yakni BPKP, Irjen/SPI, Bawasda Tingkat I dan Bawasda Tingkat II6. Keempat pengawas internal pemerintah itu, terutama BPKP, memiliki jumlah sumber daya manusia, jaringan kantor, peralatan maupun anggaran yang jauh lebih besar daripada BPK-RI. Seharusnya BPKP itu dapat digunakan oleh pemerintah untuk membangun sistem akuntansi dan pertanggungjawaban keuangan negara serta mengatasi kelangkaan tenaga akuntan pada instansi teknis agar dapat mengimplementasikan Paket Ketiga UU tentang Keuangan Negara Tahun 2003-2004.

Surat Keputusan tersebut adalah SK Menteri Keuangan No.337/KMK/0.12/2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dan Peraturan Menteri Keuangan No. 59/KMK.06/2005 tentang hal yang sama. Kedua SK ini menggantikan Surat Keputusan No. 476/KMK.01/191 tentang Sistem Akuntansi Pemerintah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 295/KMK.012/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembukuan dan Pelaporan Keuangan pada Departemen/Lembaga. Pada masa Orde Baru, ada Irjenbang (Inspektur Jenderal Pembangunan) yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
6

Dari segi teknis, setidaknya ada tujuh kelemahan sistem pengendalian internal keuangan negara yang ditemukan oleh pemeriksaan BPK atas LKPP pada tahun anggaran 2004, 2005 dan 2006. Kelemahan tersebut adalah, pertama, masih perlunya perbaikan mendasar sistem akuntansi keuangan negara agar dapat diseragamkan sesuai dengan sistem yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan pada tahun 2003 dan 2005. Kedua, perlunya sinkronisasi sistem komputer instansi pemerintah agar menjadi terintegrasi dan kompatible antara satu dengan lainnya. Sebagaimana telah disebut dimuka, dewasa ini, sistem komputer pemerintah belum dapat menyamai sistem komputer perbankan. Ketiga, perlunya mengimplementasikan sistem perbendaharaan tunggal agar uang negara tidak lagi tersebar diberbagai rekening yang tidak terpadu dan dikonsolidasikan. Termasuk di dalamnya adalah rekening individu pejabat negara yang sudah lama meninggal dunia. Karena tidak dikonsolidasikan, dana-dana yang tersebar itu tidak segera dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengatasi kesulitan likuiditasnya. Agar dapat mengetahui posisi keuangannya setiap saat, pemerintah perlu segera menerapkan sistem perbendaharaan tunggal. Keempat, perlunya inventarisasi aset negara baik di tingkat pusat dan daerah. Dalam kaitan ini, perlu ada perbaikan administrasi penempatan modal pemerintah pada BUMN dan BUMD. Setidaknya alokasi sebagian dari Rekening Dana Investasi (RDI), yang merupakan bagian dari modal pemerintah itu, merupakan praktik KKN. RDI menjadi alternatif bagi kredit bank dan diberikan kepada badan usaha yang sebenarnya mampu meminjam dari industri perbankan (bankable). Alokasi RDI, yang berbunga rendah dan risiko yang hampir tidak ada, dibuat oleh pejabat Depkeu dengan cara yang kurang transparan dan penagihannya kembali pun hampir tidak pernah dilakukan secara serius. Kelima, perlunya penyediaan tenaga administrasi pembukuan pada setiap unit instansi pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Keenam, perlunya pembangunan jaringan sistem komputer pemerintah yang kompatibel antara satu dengan lainnya Ketujuh, perlunya transparansi dan akuntabilitas penerimaan negara baik yang bersumber dari pajak, migas dan penambangan sumber daya alam lainnya maupun dari PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan telah mengelimir kewenangan konstitusional BPK untuk memeriksa penerimaan pajak. Sistem menghitung pajak sendiri (self asessment) yang digunakan sejak tahun 1983, tanpa audit internal, telah membuka peluang bagi penyelewengan, baik oleh wajib pajak maupun oleh petugas pajak. Akibatnya, rasio perpajakan (tax ratio) tidak dapat ditingkatkan dari 13,5 dari PDB dewasa ini. Penetapan cost recovery oleh BP Migas yang tidak rasional sangat menganggu penerimaan negara di tingkat pusat maupun daerah penghasilnya. Sampai dengan bulan September 2007, Mahkamah Agung menolak pemeriksaan BPK atas biaya perkara yang dipungutnya Ketujuh temuan pemeriksaan di atas telah menyebabkan BPK memberikan opini disclaimer pada LKPP selama tiga tahun berturut-turut, yakni pada tahun 2004, 2005 dan 2006. Pemberian pendapat BPK atas pemeriksaan LKPP ketiga tahun anggaran itu adalah didasarkan pada ketentuan Pasal 16, Ayat (1), UU No. 15 Tahun 2004 BPK. Opini pemeriksaan BPK diberikannya berdasarkan tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan negara berdasarkan kesesuaiannya dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, efektifitas sistem pengendalian internal dan kepatuhan kepada perundang-undangan yang berlaku. Pemeriksaan terhadap LKPP selama tiga terakhir ini belum ditujukan untuk menilai kinerja pemerintahan yang meliputi aspek ekonomi, efisiensi dan efektifitas. Salah satu alasannya adalah karena Pemerintah sendiri belum menetapkan tolok ukur sasaran kegiatannya. Karena disusun berbasis kas, LKPP tidak memperhitungkan kewajiban kontijensi Pemerintah. LKPP juga tidak mengungkapkan strategi pemerintah untuk menunda pembayaran kepada kreditur maupun kontraktornya sebagai cara untuk mengurangi defisit anggaran berbasis kas itu. Perbaikan ketujuh kelemahan mendasar administrasi pengelolaan dan

pertanggungjawaban keuangan di atas merupakan upaya preventif bagi penanggulangan KKN. Hanya orang yang tidak mengerti tata negara dan tidak memahami ilmu akuntansi serta keuangan negara yang mengatakan bahwa temuan pemeriksaan BPK itu bernuansa politik. Dengan opini LKPP seperti ini, sulit kiranya bagi pemerintah untuk meningkatkan peringkat SUN (Surat Utang Negara) yang dijualnya di pasar dunia sehingga mencapai investment grade agar dapat menurunkan kupon atau tingkat suku bunganya.

4. Kelemahan institusional pemerintah daerah untuk mewujudkan otonomi Karena lemahnya institusi Pemda, berbagai kelemahan internal dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban yang terjadi pada Pemerintah Pusat semakin menonjol pada Pemerintah Daerah. Hampir semua daerah melanggar UU karena menggunakan APBD untuk membantu instansi vertikal. Instansi vertikal yang dibantu pada umumnya adalah yang punya kekuasaan, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan TNI dan bukan guru-guru agama. Bentuk bantuan Pemda itu juga bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, misalnya, membangun pos polisi dipersimpangan jalan untuk mengatur lalu lintas. Bantuan itu biasanya diberikan sebagai uang lelah pada saat pejabat pindah. Selain dari penggunaan anggaran yang tidak tepat, sebagaimana disebut di atas, ketidak tertiban pengelolaan keuangan di berbagai daerah juga tercermin pada berbagai faktor lainnya. Pertama, pertanggungjawaban keuangan tidak disertai dengan bukti-bukti pengeluaran yang lengkap, benar dan sah. Kedua, penggunaan anggaran yang tidak hemat. Ketiga, penyelesaian uang muka/UUDP yang berlarut-larut. Keempat, adanya pembebanan kegiatan di luar mekanisme APBD. Kelemahan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan semakin terasa pada provinsi dan kabupaten/kota yang baru dimekarkan. Berbagai daerah itu dimekarkan bukan berdasarkan pertimbangan kebutuhan dan kelayakan ekonomi yang rasional, tapi karena ambisi elit politik lokal untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan. Pemekaran di berbagai daerah justru dipicu oleh konflik horisontal berdasarkan suku dan agama yang justru menimbulkan kesengsaraan rakyat. Sejak reformasi, jumlah provinsi telah bertambah sebanyak tujuh dan kabupaten/kota sebanyak 141. Dengan demikian jumlah provinsi telah bertambah dari 27 pada tahun 1988 menjadi 33 pada tahun 2007. Dalam periode yang sama, jumlah kabupaten/kota telah meningkat dari 292 menjadi 483. Provinsi Timor Timur memisahkan diri dari RI pada tahun 2000 untuk menjadi negara sendiri. Ada dua faktor penyebab ketidak siapan Pemda untuk untuk melaksanakan otonomi daerah. Penyebab pertama adalah karena, berbeda dengan di negara-negara lain,

otonomi daerah di Indonesia diberikan langsung kepada kabupaten/kota. Di lain pihak, kabupaten/kota belum memiliki lembaga atau personil yang mampu menjalankan tugas otonomi itu. Ini berbeda dengan di berbagai negara lain yang memberikan otonomi kepada provinsi yang sudah memiliki perangkat kelembagaan dan personil. Penyebab kedua adalah karena Pemda sendiri yang menciptakan kebijakan yang distortif sehingga memperburuk iklim usaha dan menimbulkan high cost di daerahnya sendiri yang menyebabkan perekonomian daerah tidak mampu bersaing di pasar dunia. Ini berbeda dengan Pemda di RRC yang justru berlomba menarik sebanyak mungkin investor asing untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan merangsang alih teknologi. Lemahnya institusi Pemda tercermin dalam berbagai hal. Pertama, lemahnya kemampuan aparat daerah untuk merumuskan kebijakan untuk dapat memanfaatkan potensi daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat di daerahnya. Kedua, lemahnya kemampuan aparat daerah untuk mengimplementasikan kebijakan yang diperlukan bagi peningkatan kemakmuran ekonomi dan kesejahteraan rakyat tersebut. Ketiga, kurang tersedianya sumber daya manusia untuk melaksanakan tugas otonomi. Diperlukan ahli teknik untuk dapat memelihara dan membangun prasartana ekonomi. Diperlukan perawat dan dokter untuk dapat mengelola Puskesmas dan Rumah Sakit dan guru yang bermutu untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Berbagai Pemda memboroskan APBD untuk mendapatkan gelar akademis, termasuk doktor dan professor, bagi pejabat daerah tanpa adanya tambahan ilmu yang bermanfaat bagi pembangunan ekonomi daerahnya. Dalam kesempatan ini, saya beritahukan bahwa untuk pertama sekali dalam sejarah Republik Indonesia, dewasa ini BPK tengah melakukan pemeriksaan atas danadana yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat kepada setiap Pemda. Hasil pemeriksaan itu akan dapat menjawab kesuaian jumlah yang ditransfer dari pusat dengan yang diterima oleh daerah, penempatan serta penggunaan dana-dana tersebut.

5. Peranan DPR dan DPRD untuk menindaklajuti temuan BPK Peranan DPR dan DPRD masih perlu ditingkatkan untuk dapat mewujudkan

transparansi dan akuntabilitas keuangan negara. Peranan DPR itu, disatu pihak, dapat dilakukan dengan melakukan sinkronisasi undang-undang agar jangan bertentangan antara satu dengan lainnya. Contoh pertentangan antara undang-undang itu adalah UU Perpajakan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Paket tiga UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004. Di lain pihak, peranan DPR dan DPRD untuk meningkatkan

transparansi dan akuntabilitas fiskal juga dapat diwujudkan melalui tindak lanjut temuan BPK untuk menyempurnakan sistem pengendalian internal keuangan negara, Untuk dapat menindak lanjuti perbaikan kelemahan mendasar administrasi keuangan negara tersebut, BPK telah menyarakan kepada DPR untuk dapat membentuk suatu Panitia Akuntabilitas Publik (PAP). Di Parlemen negara asing PAP itu disebut sebagai PAC-Public Account Committee. Dinegara lain itu, PAP diketuai oleh anggota DPR dari partai oposisi untuk menjaga check and balance. PAP merupakan perwujudan dari kekuasaan DPR dan DPRD sebagai pemegang hak bujet. DPR dan DPRD di Indonesia sudah memiliki Panitia Anggaran untuk membahas rencana anggaran negara tingkat Pusat dan Daerah. DPR dan DPRD juga sudah memiliki komisi-komisi yang mengawasi penggunaan anggaran dan kinerja sektoral Departemen teknis. Namun, DPR dan DPRD kita belum memiliki PAP yang memantau pelaksanaan RAPBN dan RAPBD secara keseluruhan. Misalnya, tidak pernah dilakukan pengecekan oleh DPR dan DPRD bagaimana suatu instansi negara membelanjai dirinya, berapa dari sumber APBN/APBD dan berapa dari sumber lainnya. Contoh dari anggaran nonbujeter yang tidak masuk dalam APBN adalah dana nonbujeter yang tidak dilaporkan DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan). Contoh lainnya adalah pungutan Mahkamah Agung atas biaya perkara yang dipungutnya dari pihak yang berperkara atas dasar aturan yang dibuat oleh MA sendiri. Aturan internal MA itu tidak mengacu kepada UU PNBP dan penerbitannya tidak memperoleh ijin dari Depkeu sebagai bendaharawan negara. Otonomi daerah yang menyerahkan pengurusan sekolah dasar dan menengah, rumah sakit dan sebagian dari infrastruktur kepada daerah menuntut cara pengorganisasian dan pembelanjaan yang berbeda daripada pada masa pemerintahan yang sentralistis di masa lalu.

Anda mungkin juga menyukai