Anda di halaman 1dari 1

Hari ini, langit mayapada begitu berduka.

Hanya terdengar rintihan pepohonan tua yang tinggal menunggu waktu, pun dengan matahari, tak terik seperti biasanya, bahkan hujan pun akan segera turun. Entah apa yang membuat hari ini terasa amat berbeda. Sayup-sayup suara gemuruh mulai mendebarkan hati. Gadis itu masih berdiri terpaku, bersandar pada tiang kayu yang berdiri kokoh di teras rumahnya. Ia tak bergeming sedikitpun, meski riak hujan perlahan-lahan bergemericik membasahi rok panjangnya. Laila, masuklah, Nak! Tak baik berdiri di luar sana. Seorang wanita paruh baya memegang lembut bahu laila. Gadis itu mengangguk, sambil menjajari langkah ibunya ke dalam rumah papan itu. Mereka ibu dan anak gadis yang hanya tinggal berdua setelah kematian sang ayah akhir tahun kemarin. Udara malam ini terasa amat menusuk, terlebih hujan yang mengguyur sepanjang hari, membuat aroma kedinginan semakin menjadi-jadi. Laila menghampiri ibunya yang tengah mengatur foto-foto mereka di ruang tengah. Ada foto-foto mereka saat di Bromo, foto di depan Monas saat liburan semester kemarin, serta foto-foto keluarga di pernikahan sepupu Laila. Di setiap momen itu, hampir dipastikan ayah Laila turut serta, Laila ingat semua hal terbaik yang pernah dialuinya dengan sang ayah, semua katakata dan nasihat ayahnya adalah penyemangat baginya. Seperti suatu hari, saat beliau meminta Laila mengenakan hijab. Laila, menjadi perempuan itu tidak mudah, Nak. Bukan sebab fitrahmu yang suatu saat akan melahirkan putra, tapi lebih kepada pertanggung jawabanmu saat kau mengajari anak-anakmu kelak. Allah akan menilai semua hal yang kamu ajarkan pada anak-anakmu, menyaksikan apakah kamu telah menjaga amanahNya dengan segala rezeki yang baik, atau apakah kamu telah memberikan teladan yang mulia pada anakanakmu,

Anda mungkin juga menyukai