Anda di halaman 1dari 4

Nama : Erni Angraini NIM : 08081004051

Tugas Ekologi Lahan Basah

Potensi Lahan Basah di Sumatera Selatan

Pertanian Lahan Basah Berpotensi Tinggi Rabu, 17 Desember 2008 18:25 WIB Palembang, pertanian lahan basah yang terdiri dari sawah pasang surut dan sawah lebak mampu berproduksi dalam jumlah lebih besar dari sawah irigasi jika diolah dengan tepat. Pertanian lahan basah di Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan mampu menghasilkan 8 ton gabah per hektar. Hal itu dikatakan pakar lingkungan Universitas Sriwijaya Robiyanto Hendro Susanto, Rabu (17/12) di sela pertemuan ilmiah tahunan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) di Palembang, Sumatera Selatan. Robiyanto mengatakan, pertanian lahan basah di Indonesia seluas 1,4 juta hektar produktivitasnya rendah, hanya 1-2 ton per hektar. Penyebabnya karena sistem pengairan belum bagus, tanah terlalu asam, terlalu lama tergenang air, kurang pemupukan, dan hama. Meskipun demikian, kata Robiyanto, di Telang, Kabupaten Banyuasin terdapat sekitar 45.000 hektar pertanian lahan basah dengan produktivas 8 ton per hektar. Panen bisa dilakukan 2-3 kali setahun. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan sawah irigasi di Jawa yang hanya menghasilkan 7 ton per hektar. Menurut Robiyanto, keberhasilan

pertanian lahan basah di Telang karena perbaikan sistem pengairan, tanah dibajak, menggunakan benih unggul, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, serta penanganan pasca panen. Namun, dari beberapa faktor tersebut yang paling utama adalah perbaikan sistem pengairan.

http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/17/18252088/pertanian.lahan.basah. berpotensi.tinggi

Lahan Gambut Dataran Rendah dan Pesisir Berbak-Sembilang

Dataran rendah dan pesisir timur Sumatera merupakan daerah penyebaran lahan basah yang luas. Lahan basah alami di kawasan ini sebagian terdiri dari hutan rawa air tawar dan hutan rawa gambut, di samping hutan rawa mangrove. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan laju pembangunan di Sumatera, lahan basah alami tersebut sebagian telah mengalami perubahan menjadi areal pembangunan. Kegiatan pembangunan terluas di dataran rendah yang sebagian mencakup daerah rawa, terdapat di provinsi Sumatera Selatan dan Riau. Sebagian besar hutan rawa gambut di provinsi ini telah banyak dibuka dan dikonversi menjadi lahan budidaya, seperti kebun dan lahan pertanian. Sebagian besar hutan rawa gambut yang tersisa di propinsi Jambi dan Sumatera Selatan terdapat di dalam dan sekitar kawasan konservasi Taman Nasional Berbak (TNB)-Jambi, dan Hutan Suaka Alam (HSA) Sembilang yang saat ini dicalonkan menjadi Taman Nasional Sembilang (TNS) di Sumatera Selatan. Kedua kawasan konservasi tersebut terletak berdampingan dan dibatasi oleh Sungai Benu, yang juga menjadi batas antara provinsi Jambi dan Sumatera Selatan.

Areal Pembangunan di Dataran Rendah Sumatera (Bappeda Sumsel, 2001)

Provinsi Luas (Ha) Nangroe Aceh Darussalam 4.600 Sumatera Utara 82.510 Sumatera Barat 19.540 Riau 162.720

Jambi 86.740 Sumatera Selatan 471.450 Bengkulu 9.260 Lampung 57.550 TOTAL 894.730

Sebagai ekosistem, hutan rawa gambut di dalam dan sekitar kawasan TNB-CTNS saat ini masih berfungsi sebagai habitat bagi sejumlah satwa liar yang dilindungi, antara lain Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Beruang Madu

(Helarctos malayanus), Macan, Dahan (Neofelis nebulosa), Buaya Sinyulong (Tomistoma schlegelii), Mentok Rimba (Cairina scutulata), dan Wilwo

(Mycteria cinerea), serta beberapa spesies primata seperti Lutung (Presbytis cristatus), Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis), Beruk (M. nemestrina), dan Ungko (Hylobates agilis). Beberapa laporan (contoh: Danielsen & Verheugt, 1990) mencatat adanya kelompok Gajah Asia (Elephas maximus) di hutan rawa gambut

Merang/Kepahiang. Hutan rawa gambut Berbak-Sembilang juga merupakan koridor satwa diantara kedua kawasan konservasi tersebut. Sistem hidrologi di kedua kawasan konservasi lebih banyak dipengaruhi oleh keberadaan hutan rawa gambut. Taman Nasional Berbak, yang juga merupakan Situs Ramsar pertama di Indonesia, dengan luas 162,700 ha sebagian besar terdiri dari hutan rawa gambut dengan beberapa sungai yang mengalir di dalamnya, seperti Sungai Air Hitam Dalam dan Sungai Air Hitam Laut; sementara itu, daerah tangkapan air sungai-sungai yang mengalir ke dalam kawasan calon Taman Nasional Sembilang ( 205.750 ha) yang sebagian besar hutan alaminya berupa hutan mangrove ( 80.000 ha), berasal dari hutan rawa gambut yang saat ini berada di luar kawasan Hutan Suaka Alam Sembilang. Disamping mempengaruhi sistem hidrologi, hutan rawa gambut diyakini juga berfungsi sebagai penyimpan karbon di alam, mengingat banyaknya kandungan organik yang tersimpan di dalam lahan dan juga hutan yang ada di atasnya. Hutan rawa gambut Berbak-Sembilang telah banyak mengalami tekanan, baik kebakaran hutan dan lahan (terutama di tahun 1997), kegiatan penebangan hutan baik legal maupun ilegal, serta konversi lahan menjadi lahan pertanian, hutan tanaman industri, dan perkebunan.

Kebakaran hutan tahun 1997 telah banyak mempengaruhi kondisi hutan rawa gambut Berbak-Sembilang. Di propinsi Sumatera Selatan sendiri, sekitar 500.000 ha rawa gambut telah mengalami kebakaran (FFPCP-EU, 1999). Kebakaran ini juga telah melanda bagian dalam kawasan TNB (sekitar S. Air Hitam Laut), sebelah selatan S. Benu, daerah sekitar S. Merang, S. Kepahiang, Karang Agung dan Semenanjung Banyuasin. Keberadaan hutan rawa gambut di sekitar kawasan TNB dan TNS sebagian besar berstatus Hutan Produksi. Sejumlah Perusahaan HPH telah lama tercatat memanfaatan hasil hutan kayu di areal ini. Meskipun beberapa HPH telah selesai masa konsesinya (contoh: PT. SST di sekitar TNS) dan areal hutan yang ada telah banyak terbuka, berbagai bentuk izin pemanfaatan hutan dan kayu masih diusahakan untuk di dapat di areal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA : Wibowo P. 2011. Pemantauan Hutan Rawa Gambut di Kawasan Berbak-Sembilang. Koordinator Proyek Konservasi Terpadu Lahan Basah Pesisir Berbak-Sembilang Wetlands International-Indonesia Programme. Palembang : 12 hlm.

Anda mungkin juga menyukai