Anda di halaman 1dari 21

KEDUDUKAN AL-QURAN Al-Quran dan Nabi dengan sunnahnya merupakan dua hal pokok dalam ajaran Islam.

Keduanya merupakan hal sentral yang menjadi jantung umat Islam. Karena seluruh bangunan doktrin dan sumber keilmuan Islam terinspirasi dari dua hal pokok tersebut. Oleh karena sangat wajar dan logis bila perhatian dan apresiasi terhadap keduanya melebihi perhatian dan apresiasi terhadap bidang yang lain. Seperti kita ketahui bahwa al-Quran merupakan buku petunjuk (kitab hidayah) khususnya bagi umat Islam serta umat manusia pada umumnya. Al-Quran juga menjadi Manhajul hayah (Kurikulum kehidupan) bagi manusia di dalam meniti hidup di gelanggang kehidupan ini. Satu hal yang juga disepakati oleh seluruh ummat Islam ialah kedudukan al-Quran sebagai sumber utama hukum Islam, pembahasan berikut akan menjelaskan berbagai alasan (hujjah) yang menguatkan kesepakatan umat tersebut. 1. Pengertian Al-Quran Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar pengertian alQuran baik dari bahasa maupun istilah. As-Syafii misalnya mengatakan bahwa Al-Quran bukan berasal dari kata apa pun, dan bukan pula ditulis dengan hamzah. Lafadz tersebut sudah lazim dipergunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sementara Al-Farra berpendapat bahwa lafadz al-Quran berasal dari kata qarain jamak dari kata qarinah yang berarti kaitan ; karena dilihat dari segi makna dan kandungannya ayat-ayat al-Quran itu satu sama lain saling berkaitan. Selanjutnya Al-Asyari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafadz al-Quran diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan sesuatu atas yang lain; karena surah-surah dan ayat-ayat al-Quran satu dan lainnya saling bergabung dan berkaitan. Pengertian-pengertian kebahasaan yang berkaitan dengan al-Quran tersebut sungguh pun berbeda tetapi masih dapat ditampung oleh sifat dan karakteristik al-Quran itu sendiri, yang antara lain ayat-ayatnya saling berkaitan satu dan lainnya. Oleh karena itu penulis mencoba pula untuk memaparkan pengertian al-Quran secara etimologis dan terminologis berdasarkan pendapat beberapa ahli. Secara etimologis, al-Quran merupakan Masdar dari kata kerja Qoroa yang berarti bacaan atauyang ditulis, sedang menurut Quraish Shihab berarti bacaan yang sempurna.

Secara terminologis para ulama mengemukakan berbagai definisi sebagai berikut : Safi Hasan Abu Thalib menyebutkan : Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dengan lafal Bahasa Arab dan maknanya dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, Ia merupakan dasar dan sumber utama bagi syariat. Dalam hubungan ini Allah sendiri menegaskan dalam firman-Nya : Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS. Yusuf : 2) Sedangkan menurut Zakaria al-Birri, yang dimaksud al-Quran adalah : Al-Kitab yang disebut al-Quran dalah kalam Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW dengan lafal Bahasa Arab dinukil secara mutawatir dan tertulis pada lembaran-lembaran mushaf. Sementara Al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustasfa menjelaskan bahwa yang dimaksud al-Quran adalah : Al-Quran yaitu merupakan firman Allah SWT. Dari ketiga definisi di atas, pada dasarnya mengacu pada maksud yang sama. Definisi pertama dan kedua sama-sama menyebutkan bahwa al-Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa Arab. Adapun bedanya definisi kedua lebih menegaskan bahwa al-Quran dinukil secara mutawatir. Adapun definisi ketiga, yang dikemukakan oleh Al-Ghazali ternyata hanya menyebutkan bahwa alQuran merupakan firman Allah SWT, akan tetapi , Al-Ghazali dalam uraian selanjutnya menyebutkan bahwa al-Quran bukanlah perkataan Rasulullah, beliau hanya berfungsi sebagai orang yang menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT.

Nabi hanya berfungsi pembawa atau penyampai apa-apa yang diterima dari Allah, bahwa Allah menetapkan hukum-hukum. Untuk lebih memperjelas definisi al-Quran ini penulis juga nukilkan pula pendapat Dawud al-Attar. Di mana beliau menyebutkan bahwa, Al-Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara lafaz (lisan), makna serta gaya bahasa (uslub)-nya, yang termaktub dalam mushaf yang dinukil secara mutawatir. Definisi di atas mengandung beberapa kekhususan sebagai berikut : a. b. c. Al-Quran sebagai wahyu Allah, yaitu seluruh ayat Al-Quran adalah wahyu Allah; tidak ada satu kata pun yang datang dari perkataan atau pikiran Nabi. Al-Quran diturunkan dalam bentuk lisan dengan makna dan gaya bahasanya. Artinya isi maupun redaksi Al-Quran datang dari Allah sendiri. Al-Quran terhimpun dalam mushaf, artinya Al-Quran tidak mencakup wahyu Allah kepada Nabi Muhammad dalam bentuk hukum-hukum yang kemudian disampaikan dalam bahasa Nabi sendiri. d. Al-Quran dinukil secara mutawatir, artinya Al-Quran disampaikan kepada orang lain secara terus-menerus oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta karena banyaknya jumlah orang dan berbeda-bedanya tempat tinggal mereka. Sebetulnya masih terdapat sejumlah definisi lain yang dirumuskan oleh para Ulama, tetapi kelihatannya mengandung maksud yang sama meskipun secara redaksional berbeda. Dalam kaitannya dengan sumber dalil, al-Quran oleh ulama ushul sering disebut dengan al-Kitab. Umumnya di dalam kitab-kitab ushul, para ulama ushul dalam sistematika dalil yang mereka susun menyebut al-Quran dengan al-Kitab.

Hal ini tentu saja bisa dipahami, sebab di dalam al-Quran sendiri sering disebut al-Kitab yang dimaksud adalah al-Quran. Seperti firman Allah :

Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 1 ). Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Al-Quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dengan menggunakan bahasa Arab, yang penukilannya disampaikan secara mutawatir, dari generasi ke generasi, hingga sampai sekarang ini, Penukilan al-Quran dilakukan oleh para sahabat dengan menghafalnya dan menyampaikan ke generasi setelah mereka melalui sanad yang mutawatir. Dengan demikian otentisitas dan keabsahan alQuran dan terpelihara sepanjang masa serta tidak akan pernah berubah. Hal dibenarkan oleh Allah dalam firman-Nya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr : 9) 2. Kehujjahan Al-Quran Sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khallaf, bahwa kehujjahan Al-Quran itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya. Dengan kata lain Al-Quran itu betul-betul datang dari Allah dan dinukil secara qatiy (pasti). Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Quran merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang masa. Sementara M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa al-Quran sebagai wahyu , merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Quran diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar. Keberadaan al-Quran sangat dibutuhkan manusia. Di kalangan Mutazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Quran bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya. Bagi Mutazilah al-Quran berfungsi sebagai konfirmasi, yakni memperkuat pendapat-pendapat akal pikiran, dan sebagai informasi terhadap hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh akal. Di dalam al-Quran terkandung petunjuk hidup tentang berbagai hal walaupun petunjuk tersebut terkadang bersifat umum yang menghendaki penjabaran dan perincian oleh ayat lain atau oleh hadis. Petunjuk al-Quran terkadang memang bersifat global sehingga menerapkannnya perlu ada pengolahan dan penalaran akal manusia, dan karena itu pula

al-Quran diturunkan untuk manusia berakal. Kita misalnya disuruh spuasa, haji dan sebagainya. Tetapi cara-cara mengerjakan ibadah tersebut tidak kita jumpai dalam al-Quran, melainkan dalam hadis Nabi yang selanjutnya dijabarkan oleh para ulama sebagaimana kita jumpai dalam kitab-kitab fiqih. Dengan demikian jelas bahwa kehujjahan (argumentasi) Al-Quran sebagai wahyu tidak seorangpun mampu membantahnya di samping semua kandungan isinya tak satupun yang bertentangan dengan akal manusia sejak awal diturunkan hingga sekarang dan seterusnya. Lebihlebih di abad modern ini, di mana perkembangan sains modern sudah sampai pada puncaknya dan kebenaran Al-Quran semakin terungkap serta dapat dibuktikan secara ilmiah. 3. Al-Quran Sebagai Sumber Hukum Seluruh mazhab dalam Islam sepakat bahwa al-Quran adalah sumber hukum yang paling utama, dengan kata lain, al-Quran menempati posisi awal dari tertib sumber hukum dalam berhujjah. al-Quran dipandang sebagai sumber hukum yang utama dari sumber-sumber yang ada. Safi Hasan Abi Thalib menegaskan : Al-Quran dipandang sebagai sumber utama bagi h kum-hukum syariat. Adapun sumber-sumber lainnya adalah sumber yang menyertai dan bahkan cabang dari al-Quran. Dan dari sini, jelas bahwa al-Quran menempati posisi utama dalam berargumentasi, tidak boleh pindah kepada yang lain kecuali apabila tidak ditemukan di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, jelaslah bahwa al-Quran adalah sumber hukum utama dalam ajaran Islam. Adapun sumber-sumber lainnya merupakan pelengkap dan cabang dari alQuran, karena pada dasarnya sumber-sumber lain itu akan kembali kepada al-Quran. AlGhazali bahkan mengatakan , pada hakikatnya sumber hukum itu satu, yaitu firman Allah SWT. Sebab sabda Rasulullah bukanlah hukum, tetapi sabda beliau merupakan pemberitaan tentang bermacam-macam hukum Allah SWT.

Dari uraian di atas jelas bahwa al-Quran adalah wahyu Allah, menjadi sumber utama dalam melakukan istinbath hukum. Tidak seorang pun ulama dan umat Islam yang membantahnya. 4. Dalalah Al-Quran Yang dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian dari nash ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nash dapat dipahami. Menurut istilah Muhammad al-Jurjani dalam kitab alTarifat disebut dengan Kaifiyah dalalah al-lafdz ala al-mana. Dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qatiy dan zanniy. Terma ini digunakan untuk nashnash yang lafalnya menunjukkan kepada pengertian atau makna yang sudah jelas dan tegas serta tidak mungkin diragukan. Tentang terma qatiy dan hubungannya dengan nash, maka ulama ushul membaginya kepada dua macam yaitu :
1. Qatiy al-Wurud yaitu Nash-nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat

diragukan lagi karena diterima secara mutawatir.


2. Qatiy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang menunjukkan kepada pengertian yang jelas,

tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut. Sedangkan terma Zanniy dan hubungannya dengan nash, terbagi dua macam pula yaitu : 1. 2. Zanniy al-Wurud yaitu Nash-nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir Zanniy al-Dalalah yaitu Nash-nash yang pengertiannya tidak tegas yang masih mungkin untuk ditakwilkan atau mengandung pengertian lain dari arti literalnya. Dalam hubungan ini, bila dihubungkan dengan al-Quran dari segi keberadaannya adalah qatiy al-Wurud karena al-Quran itu sampai kepada kita dengan cara mutawatir yang tidak diragukan kebenarannya. Bila al-Quran dilihat dari segi dalalahnya, maka ada yang qatiy dalalah dan zanniy dalalah.

Umumnya nash-nash al-Quran yang dikategorikan qatiy al-dalalah ini, lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat nama dan jenis. Salah satu contoh ayat yang qatiy al-dalalah : ... Dan bagi kamu (suami-suami) mendapat seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu, jika mereka tidak mempunyai anak (QS. Al-Nisa : 12) Ayat ini berbicara tentang pembagian harta pusaka/warisan. Ayat ini dalalahnya qatiy, jelas dan tegas, karena terdapat kata nisfun (seperdua) yang tidak ada pengertian lain kecuali menunjukkan kepada maksud yang dikehendaki oleh kata itu sendiri, yaitu jumlah tertentu. Kemudian , nash al-Quran di samping qatiy al-dalalah ada juga yang zanniy al-dalalah. Nash-nash al-Quran yang dikategorikan pada kelompok yang disebutkan terakhir ini adalah bila lafal-lafalnya diungkapkan dalam bentuk am, musytarak, dan mutlaq. Ketiga bentuk lafal ini dalam kaidah ushuliyah mengandung makna atau pengertian yang banyak dan tidak tegas. Dalam penelitian ulama ushul ternyata banyak nash-nash al-Quran yang dikategorikan zanniy aldalalah ini, dan pada bagian ini banyak menimbulkan perdebatan di kalangan ulama ushul. Contoh berikut ini dapat dilihat secara jelas : ... Wanita-wanita yang ditalak (diceraikan) hendaklah mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru. (QS. Al-Baqarah : 228) Yang menjadi persoalan di sini adalah pengertian kata quru yang musytarak yaitu mengandung arti lebih dari satu. Kadang dalam bahasa Arab diartikan al-Tohr (suci) dan kadang-kadang diartikan pulaal-Haydoh (haid). Masing-masing dari arti dari lafadz quru ini menghasilkan deduksi hukum yang berbeda. Artinya jika quru diartikan dengan suci dan tentu masa iddahnya lebih lama atau lebih panjang daripada artihaid. Hal ini karena penghitungannya ditekankan setelah suci (bersih) dari haid secara berturut-turut tiga kali. Berbeda halnya jika lafal quru diartikan dengan haid, artinya jika wanita yang ditalak oleh suaminya telah nya dan terbukti haid berturut-turut tiga kali, maka habislah masa iddahnya dan tidak mesti menunggu sampai ia suci (bersih). Pada prakteknya kalangan mazhab Hanafi berpegang bahwa lafal quru berarti haid, karena berdasarkan qarinah bahwa sasaran iddah tersebut adalah terkait dengan wanita apakah

rahimnya bersih dari benih-benih kehamilan atau tidak dan hal ini hanya bisa dibuktikan dengan haid bukan suci. Sementara itu kalangan mazhab Syafii berpendapatr bahwa lafal quru berarti suci, karena qarinahnya menunjukkan kata bilangan muannas (jenis perempuan) sedangkan yang terbilang (al-madud) adalah muzakar yaitu al-tohr. Demikian penjelasan Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya. Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa dalil nash yang dikelompokkan kepada zanniy al- dalalah memberi peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mujtahid di dalam mengambil istinbat hukum, sehingga tidak bisa dihindari terjadinya produk hukum yang berbeda. Fungsi Al-Quran 1. Pengganti kedudukan kitab suci sebelumnya yang pernah diturunkan Allah SWT 2. Tuntunan serta hukum untuk menempuh kehidupan 3. Menjelaskan masalah-masalah yang pernah diperselisihkan oleh umat terdahulu 4. Sebagai Obat

Dan Kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan (Alquran itu) tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Al-Isra' (17): 82). Petunjuk pada jalan yang lurus Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberi petunjuk pada jalan yang amat lurus. (Al-Isr (17) ayat 9.

Kedudukan Al Quran 1. Kitabul Naba wal akhbar (Berita dan Kabar), QS. An Naba (7 : 1-2) 2. Kitabul Hukmi wa syariat (Kitab Hukum Syariah), QS. Al Maidah (5) : 49-50 3. Kitabul Jihad, QS. Al Ankabut (29) : 69 4. Kitabul Tarbiyah, QS. Ali Imran (3) : 79 5. Minhajul Hayah (Pedoman Hidup), 6. Kitabul Ilmi, QS. Al Alaq (96) : 1-5 5.Al-Quran Sebagai Minhajul Hayah (Pedoman Hidup) Konsepsi inilah yang pada akhirnya dapat mengeluarkan umat manusia dari kejahiliyahan menuju cahaya Islam. Dari kondisi tidak bermoral menjadi memiliki moral yang sangat mulia. Dan sejarah telah membuktikan hal ini terjadi pada sahabat Rasulullah SAW. Sayid Qutub mengemukakan (1993 : 14) : Bahwa sebuah generasi telah terlahir dari dawah yaitu generasi sahabat yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah umat Islam, bahkan dalam sejarah umat manusia secara keseluruhan. Generasi seperti ini tidak muncul kedua kalinya ke atas dunia ini sebagaimana mereka Meskipun tidak disangkal adanya beberapa individu yang dapat menyamai mereka, namun tidak sama sekali sejumlah besar sebagaimana sahabat dalam satu kurun waktu tertentu, sebagaiamana yang terjadi pada periode awal dari kehidupan dawah ini Cukuplah kesaksian Rasulullah SAW menjadi bukti kemulyaan mereka, manakala beliau mengatakan dalam sebuah haditsnya:


Dari Imran bin Hushain ra, Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik kalian adalah generasi yang ada pada masaku (para sahabat) , kemudian generasi yang berikutnya (tabiin), kemudian generasi yang berikutnya lagi (atbaut tabiin). (HR. Bukhari)

Imam Nawawi secara jelas mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan generasi pada masaku adalah sahabat Rasulullah SAW. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga mengemukakan mengenai keutamaan sahabat:

Dari Abu Said al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda, Janganlah kalian mencela sahabatsahabatku.Karena sekiranya salah seorang diantara kalian menginfakkan emas sebesar gunung uhud, niscaya ia tidak akan dapat menyamai keimanan mereka, bahkan menyamai setengahnya pun tidak. (HR. Bukhari). Sayid Qutub mengemukakan (1993 : 14 23) , terdapat tiga hal yang melatar belakangi para sahabat sehingga mereka dapat menjadi khairul qurun, yang tiada duanya di dunia ini. Secara ringkasnya adalah sebagai berikut: pertama, karena mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai satu-satunya sumber petunjuk jalan, guna menjadi pegangan hidup mereka, dan mereka membuang jauh-jauh berbagai sumber lainnya. Kedua, ketika mereka membacanya, mereka tidak memiliki tujuan untuk tsaqofah, pengetahuan, menikmati keindahannya dan lain sebainya. Namun mereka membacanya hanya untuk mengimplementaikan apa yang diinginkan oleh Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran maupun budaya. Dengan ketiga hal inilah, generasi sahabat muncul sebagai generasi terindah yang pernah terlahir ke dunia ini. Di sebabkan karena ketotalitasan mereka ketika berinteraksi dengan AlQuran, yang dilandasi sebuah keyakinan yang sangat mengakar dalam lubuk sanubari mereka yang teramat dalam, bahwa hanya Al-Quran lah satu-satunya pedoman hidup yang mampu mengantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat.

KEDUDUKAN SUNNAH Dan kata-kata al-Sunnah telah digunakan oleh Nabi dan para ulama salaf untuk menunjuk kepada makna-makna berikut: Sunnah berarti hadits, yaitu wahyu Allah selain al-Qur`an. Rasulullah bersabda: Aku tinggalkan ditengah-tengah kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu: kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya. (HR. Malik dan Hakim dishasihkan al-Albani) Sunnah berarti agama yang ada pada Nabi e yang meliputi ilmu, amal dan petunjuk yang dibawa oleh Nabi . Sunnah disini berarti al-Qur`an dan al-hadits. Rasulullah bersabda: (( )) Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan golonganku. (HR. Bukhari) (( )) ... Sesungguhnya barangsiapa diantara kamu hidup sesudahku maka ia akan menyaksikan perselisihan yang banyak, maka kamu wajib berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa` Rasyidun sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham. (Hr. Ahmad,Ibn Abi Ashim, Baihaqi, Shahih) Imam Makhul (w. 113 H) berkata; Sunnah itu ada dua; yang satu mengambilnya adalah fardhu dan meninggalkannya adalah kufur. Yang kedua adalah sunnah yang apabila diambil itu adalah fadhilah dan bila ditinggalkan dan diganti dengan lainnya adalah dosa.(Riwayat adDarimi) Sunnah adalah ajaran Rasul, berhadap-hadapan dengan bidah. Nabi bersabda: (( )) Tidak ada suatu kaum yang menciptakan bidah melainkan diangkatlah sunnah yang sepertinya. (HR. Ahmad, dihasankan oleh ibn Hajar dan didhaifkan oleh al-Albani). Telah diriwayatkan seperti hadits diatas atsar dari Ibn Abbas, Hassan Ibn Athiyyah (120 H) dan Abu Idris al-Khaulani (8-80 H) (Abu Hamzah al-Sanuwi, al-Bidah wa Atsaruha al-Sayyi fi alUmmah, hal 137)

Ibn masud, Abu Darda dan Ubay Ibn Kaab berkata: (( )) Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada serius dalam bidah. (Darimi dan lain-lain, lihat Ilmu Ushhul al-Bida: 55) Sunnah berarti hukum sunnah (mandub, mustahab, nafilah) yaitu lawan dari hukum wajib, rasulullah bersabda: (( )) Sesungguhnya Allah U telah mewajibkan atas kamu puasa Ramadhan sedangkan aku telah mensunnahkan untukmu qiyamullailnya.(HR. Ahmad) Sunnah digunakan untuk menunjukkan kondisi generasi salaf yang mengikuti (ittiba) ilmu dan amal Nabi , karena itu mereka menyebut orang-orang berpegang teguh dengan sunnah Nabi dengan sebutan Ahlu Sunnah Wa Al-Jamaah. Sunnah berarti akidah yang haqq, istilah ini terkenal penggunaannya pada abad ke-3 H. Pada masa para imam yang empat terutama pada masa Imam Ahmad. SUNNAH ADALAH WAHYU Didalam al-Qur`an sunnah itu disebut dengan hikmah, Allah berfirman: Dan Allah menurunkn kepadamu al-kitab (al-Qur`an) dan al-Hikmah (al-Sunnah). (al-Nisa; 113) Allah berfirman: Dan tidaklah dia berbicara dari kemauannya sendiri melainkan itu adalah wahyu yang diwahyukan. (al-najm: 3-4) Orang-orang Quraisy pernah menegur Abd Allahbn Amr yang mencatat semua perkataan nabi mereka mengatakan: Apakah kamu menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah ? Padahal beliau berbicara pada waktu ridha dan pada waktu marah? Setelah Ibn Amr melaporkan hal itu kepada nabi , beliau memberi isyarat dengan jari telunjukknya kepada mulutnya dan bersabda: Tulislah demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya tidak ada yang keluar dari mulut ini kecuali haq (benar) (HR. Ahmad, Abu Daud, Hakim dan Ibn Abd al-Barr)

Hasan al-Athiyah (w. 120 H) berkata; Jibril u turun kepada Nabi Muhammad dengan membawa sunnah sebagaimana ia turun membawa al-Qur`an. (Syarhu Al-Ibanah: 128; Majmu Fatawa 3/366) KEDUDUKAN SUNNAH DALAM ISLAM Sunnah adalah syarah bagi al-Qur`an. Tugas Rasulullah adalah: Menyampaikan wahyu al-Qur`an: 67 : ] Menjelaskan dan menerangkan wahyu al-Qur`an: 44 : ] Nabi menjelaskan al-Qur`an itu dengan tiga cara: 1. dengan ucapan 2. dengan perbuatan 3. dengan ketetapannya Karena itu al-Qur`an lebih membutuhkan kepada al-Sunnah daripada al-Sunnah kepada alQur`an, al-Sunnah itu sama kedudukannya dengan al-Qur`an dalam hal menghalalkan dan mengharamkan. Rasulullah bersabda: (( )) Ingatlah aku ini diberi al-Qur`an dan yang semisalnya bersamanya. (HR. Ahmad, hakim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah dan Darimi, Shahih)

FUNGSI HADITS DALAM AL-QURAN Sebenarnya banyak kalangan orientalis yang menghendaki umat Islam itu menjauhi hadits. Mereka beranggapan bahwa penentuan hukum harus langsung kepada AlQuran. Karena hadits-hadits itu banyak yang palsu. Bahkan hadits shahih Bukhoriy dianggap bukan asli tulisan Bukhoriy, namun itu tulisan ulama-ulama yang tidak bertanggungjawab. Point utama yang mereka harapkan adalah jauhnya umat Islam dari hukum-hukum Islam, karena ketika umat tidak menerima hadits, maka sama saja umat tidak mau menjalankan sebagian besar hukum-hukum Islam. Hal itu disebabkan karena AlQuran itu masih bersifat global dan haditslah yang memerincinya. Para ulama telah meneliti bahwa antara Al-Quran dan hadits memiliki hubungan yang sangat erat dan saling memiliki keterkaitan. Di sini penulis berusaha memaparkan sedikit tentang fungsi hadits terhadap Al-Quran sebagai berikut : Memperkuat posisi hukum yang ada dalam Al-Quran, misalnya hadits Rasulullah Saw :"Sesungguhnya Allah menguburkan kedloliman pada orang dlolim. Ketika ia mengadzabnya, maka Ia tidak melepaskannya". Hadits ini bersesuaian dengan firman Allah Q.S. Hud : 102 : "Dan begitulah adzab Tuhanmu apabila dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat dlolim " Menjelaskan hal-hal yang dimaksudkan dalam Al-Quran. Pada point ini ada beberapa macam : Penjelasan pada hal-hal yang global dalam Al-Quran, seperti penjelasan tata cara sholat, waktuwaktu sholat, syarat-syarat sahnya, dan sebagainya. Dimana dalam Al-Quran tidak dijelaskan secara terperinci Memberikan batasan yang bersifat mutlak, seperti hadits yang menjelaskan kalimat Alyad (tangan) pada Al-Quran Q.S. Al-Maidah ayat 38 : " maka potonglah tangan keduanya" dijelaskan bahwa pemotongan sampai pergelangan tangan, bukan sampai siku Mengkhususkan ayat-ayat yang masih bersifat umum, seperti hadits yang menjelaskan maksud kedloliman pada ayat Q.S. Al-Anam : 82 : "Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan keimanannya pada hal yang bersifat dlolim " dengan kesyirikan. Menjelaskan hal-hal yang masih musykil, seperti kalimat Al-Khoith : benang pada Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 187. Hadits menjelaskan bahwa yang dimaksud Al-Khoith itu adalah siang hari dan malam hari Bisa jadi hadits menjelaskan hal-hal tidak dijelaskan dalam Al-Quran. Dalam persoalan ini DR. Taufiq Sidqi membantah bahwa Al-Quran sangat terperinci dan tidak perlu lagi dijelaskan oleh hadits. Dan penulis menganggap hal itu tidak benar, karena meskipun Al-Quran sendiri mengatakan bahwa ia telah memerinci dan menjelaskan segala persoalan (Q.S. Al-Anam : 38

dan Q.S. An-Nahl : 89) namun ketika Allah mengutus Rasul-Nya tetap ia diberi wewenang untuk menjelaskannya. Dan penjelasan Nabi bagi Allah adalah sebagai penjelasan Allah juga. Lihat Q.S. An-Nahl : 44 dan 89. Istilah Al-Bayan (Tibyan) pada ayat-ayat di atas juga bisa bermakna menjelaskan apa yang tidak dinashkan dalam Al-Quran. Contoh : hadits-hadits yang menjelaskan tentang haramnya menikahi sekaligus dengan bibinya dan haramnya makan hewan / daging khimar yang liar dan keduanya tidak dinashkan dalam AlQuran. Demikian penjelasan singkat yang menegaskan bahwa posisi hadits sangat penting dalam pengejawantahan Al-Quran pada hukum-hukum Islam. Dan hal itu terangkum dalam firman Allah Q.S. An-Nahl : 44 : "Dan Kami telah turunkan kepadamu tuntunan agar engkau menjelaskan kepada orang-orang tentang apa yang diturunkan kepada mereka KEDUDUKAN HADITS AHAD DALAM AKIDAH Para ulama ahlu sunnah dari generasi salaf hingga sesudahnya (termasuk imam yang empat) telah sepakat bahwa hadits ahad juga menjadi hujjah dalam masalah akidah, berbeda dengan ahli bidah dari kalangan Mutazilah yang menolaknya. Yang menjadi ukuran adalah shahihnya sanad kepada Rasulullah , bukan banyaknya sanad. Itulah yang berlaku semenjak nabi , hingga para sahabat dan para pengikut setianya. Nabi bersabda: (( )) Hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir. (Bukhari Musllim) (( )) Semoga Allah berbuat berseri-seri orang yang mendengar satu kata hadits dariku kemudian menyampaikannya sebagaimana ia mendengar. (Syafi'i, Ahmad, Trmidzi, Abu Daud dan lainlain) ALLAH MEMELIHARA SUNNAH Allah telah menyempurnakan nikmat dan agama dan ridha Islam sebagai agama umat manusia hingga hari kiamat. Diantara kesempurnaan nikmat Allah adalah jaminan Allah untuk menjaga summer asli agama ini Allah berfirman: ] 9 : ] Ayat ini mencakup pemeliharaan Allah terhadap sunnah Nabi-Nya, maka Allah

mengamanahkan pewarisan sunnah ini kepada para sahabat y, manusia yang paling bersih

hatinya, paling jernih akalnya, paling fasih lisannya dan paling lurus manhajnya, mereka mengemban amanah dengan biak diteruskan oleh para ulama yang terpercaya sesudahnya. Sunnah Nabi mendapatkan perhatian dari para pengikutnya dengan suatu perhatian yang tidak pernah diterima oleh sumber agama manapun. Sejak zaman Nabi sunnah itu telah ditulis. Generasi demi generasi telah menjaga sunnah dengan baik sehingga tidak hilang dan tidak berkurang tetap orsinil dan bisa dipisahkan dari kepalsuan-kepalsuan. MUSUH-MUSUH SUNNAH Nabi mengabarkan bahwa nanti akan muncul orang-orang yang ingkar kepada sunnah dan hanya berseru kepada al-Qur`an (hadits sahahih dari Abu Rafi diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi dan lain-lain) Pada zaman sahabat y tida ada orang yang menragukan hujjah sunnah dalan tasyri atau hanya mengajak kepada al-Qur`an tanpa panduan sunnah kecuali individu dan karena bodoh. Pada akhir abad kedua muncullah kelompk ingkar sunnah di kota Bashrah Iraq, maka muncullah Imam Syafii sebagai pendekar sunnah. Pada abad ketiga dan seterusnya hampir tidak disebut pengingkar sunnah secara mutlak melainkan pengingkar sunnah ahad saja yang dipelopori oleh Mutazilah dan Khawarij. Adapun pemalsuan hadits maka telah terjadi sejak terbunuhnya Utsman , dan kemudian semakin menjadi-menjadi lewat tangan orang-orang Syiah dan orang-orang yang berhati jahat lainnya. Tetapi para ulama telah berhasil mengungkap kebohongan mereka. Sebelas abad kemudian tepatnya abad 14 H muncul orang-orang yang meragukan sunnah. Sayyid Ahmad Khan 91817-1890) tokoh liberal dari India dalam taraf tertentu dapat dipastikan sebagai pemuka skeptisisme terhadap hadits pada periode modern islam. Ahmad khan beranggapan bahwa banyak matan hadits yang berisi hal-hal yang meragukan dan tidak lazim. Pandangan Ahmad Khan dikembangkan oleh Chiraq Ali dan Muhsin Al-Muluk dengan tesis bahwa hadits sering disampaikan hanya maknanya bukan kata-kata aktual Nabi . Bahkan Ghulam Ahmad Parwez (Pakistan) sampai berani mengatakan bahwa hadits shahih pun tidak mengikat umat Islam dewasa ini sebab pernyataan-pernyatan dan tindakan Nabi ekstra Qur`ani (diluar petunjuk al-Qur`an) tidak luput dari kesalahan, lagipula tafsir Nabi hanya berlaku pada masanya. Ironisnya ingkar sunnah pada saat sekarang ini sanadnya malah berakhir pada

orang kafir asli yaitu prof. Dr. Ignaz Goldziher (1850-191) Yahudi tulen dari Honggaria yang biasa disebut sebagai bapak ingkar sunnah modern. Dan juga seorang orientalis lain yaitu Joseph Schact (1902-1969) Yahudi dari Jerman. HUKUM INKAR SUNNAH Secara umum, inkar sunnah atau Qur`aniyyun adalah bagian dari aqlaniyyun, yaitu orang yang mengandalkan kekuatan akalnya dalam beragama, mereka adalah termasuk ahli kalam yang hukum menurut imam SyafiI dipukuli dengan pelapah kurma dan sandal sambil dinaikkan onta lalu diarak keliling kota dan desa sambil dikata-katai: Inilah balasan orang yang meninggalkan al-Qur`an dan a-Sunnah dan mengambil akal sebagai gantinya. (Dawud al-Ushusy. 1996. Ilam al-Qashi wa ad-Dhani bi naqhdhi al-Fikr al-Aqlani. Majalah Furqan. Kuwait. Edisi 69 hal 51). Seluruh generasi salaf telah berijma bahwa sunnah Nabi adalah wahyu yang maksum, ia adalah sumber Islam kedua setelah al-Qur`an dan kedudukannya sama dengan al-Qur`an, wajib diterima dan diimani maka siapa yang menolak sunnah secara total ia adalah sesat dan kafir, karena ia telah memusuhi Rasul dan menginkari Ijma orang-orang mukmin (QS. An-Nisa: 115) Karena itu pula, majelis Ulama Indonesia telah memutuskan pada tanggal 16 Ramadhan 1403 H (27 Juni 1983) sebagai berikut: Aliran yang tidak mempercayai hadits Nabi sebagai sumber hukum syariat Islam adalah sesat menyesatkan dan berada diluar agama Islam. Kepada mereka yang secara sadar atau tidak, telah mengikuti aliran tersebut agar segera bertaubat.Menyerukan kepada ummat Islam untuk tidak terpengaruh dengan aliran yang sesat itu. Mengharapkan kepada para ulama untuk memberikan bimbingan dan petunjuk bagi mereka yang ingin bertaubat. Meminta dengan sangat kepada pemerintah agar mengambil tindakan tegas berupa larangan terhadap aliran yang tidak mempercayai hadits Nabi Muhammad e sebagai sumber syariat Islam. (Amin Jamaluddin, 2000, op.cit hal. 12-13) Dr. Mutawalli al-Syarawi menulis bahwa inkar sunnah adalah bidah. Inkar sunnah berarti meragukan al-Qur`an karena sunnah adalah bayan bagi al-Quran. (QS. An-Nahl: 44) Maka secara ringkas bisa kita kemukakan sebagai berikut:

Barangsiapa mengingkari sunnah secara keseluruhan, maka ia kafir keluar dari Islam sebab ia telah mendustakan Rasul. Barangsiapa yang menolak satu hadits mutawatir atau yang dia yakini bahwa itu dari itu dari Rasulullah kemudian ia menginkarinya, maka ia juga kafir karena telah mendustakan atau menentang Rasulullah . Barangsiapa yang menignkari hadits ahad secara total maka ia juga kafir. Barangsiapa mengingkari hadits ahad dalam bidang akidah secara total, maka ia adalah bidah, akidahnya tidak sama dengan akidah kaum muslimin dan akidahnya dibangun diatas zhan dan khayal. Barangsiapa mengingkari satu hadits ahad karena satu illat yang disangkanya, maka ia tidak kafir karena ini adalah maslah ijtihad bagi orang yang memang sudah ahlinya. (Abu Hamzah al-Sanuwi, Khabar al-Ahad Inda al-Ushuliyyin hidup. 105-108; Shalahuddin Maqbul, Zawabi fi Wajhi al-Sunnah, h. 123) Ulama salaf mengatakan, Semoga Allah merahmati orang yang mengerti kapasitas kemampuannya.

KEDUDUKAN IJTIHAD Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut : a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif. b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain. c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah. d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.

e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam. Cara ber-Ijtihad Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut : a. Qiyas = reasoning by analogy. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh : Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ? Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu. b. Ijma' = konsensus = ijtihad kolektif. Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : " Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah ". Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya. c. Istihsan = preference. Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh

para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18. d. Mashalihul Mursalah = utility, yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari'at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur'an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an / al-Hadits.

Kesimpulan Wajib atas semua muslim untuk tidak membedakan antara al Quran dan as Sunnah, dari sisi kewajiban mengambilnya dan berpegang dengan keduanya serta menegakkan syariat di atas keduanya. Karena keduanya adalah penjamin mereka agar tidak berpaling kekiri dan kekanan dan agar mereka tidak mundur dengan kesesatan. Rasulullah menjelaskan (Artinya): "Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara yang kalian tidak tersesat selama berpegang dengan keduanya yaitu kitabullah dan sunnahku. Keduanya tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di telaga (Al Haudh, red)" (HR Malik dan Hakim). Ijtihad merupakan cara untuk mengambil keputusan hukum apabila tidak didapatkan dalam AlQuran dan Sunnah.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.dar-alkayyis.com/arsip-kajian/82-hadits-dan-hubungannya-dengan-alquran.html http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/101?&show_interstitial=1&u= %2Fjournal%2Fitem http://jawaposting.blogspot.com/2011/01/kedudukan-al-quran-dan-al-sunnah.html http://aziz1303.abatasa.com/post/detail/9480/kedudukan-al-qur%E2%80%99andisisi-rasulullah-saw-dan-para-sahabat-bag1 http://id.wikipedia.org/wiki/Pembicaraan:Ijtihad http://www.masbied.com/2011/03/31/kedudukan-ijtihad-kontemporer-danperanannya-dalam-menjawab-tantangan-modernisasi/ http://kafeilmu.com/tema/pengertian-fungsi-dan-kedudukan-ijtihad.html

Anda mungkin juga menyukai