Anda di halaman 1dari 13

Reaksi Hipersensitivitas

Respon imun, naik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya menguntungkan bagi tubuh, berfungsi protektif teradap infeksi atau pertumbuhan kanker, etapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yag disebut reaksi hipersensitivitas. Komponen-komponen system imun yang bekerja pada proteksi adalah sama dengan yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas. Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersentivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara. Reaksi hipersensitivitas oleh Robert Coombs dan Philip HH Gell dibagi dalam 4 tipe reaksi

Tipe I Reaksi alergi Ikatan silang antara antigen dang E yang diikat sel mast dan basofil melepas mediator vasoaktif

Tipe II Reaksi sitotoksik (IgG atau IgM) Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan bantuan komplemen atau ADCC

Tipe III Reaksi kompleks imun

Tipe IV Reaksi selular

Manifestasi khas : anafilaksis sistemik, dan local seperti rhinitis, asma, urtikaria, alergi makanan dan ekzem.

Manifestasi khas : reaksi transfuse, eritriblastosis fetalis, anemia hemolitik autoimu

Kompleks Ag-Ab Sel Th1 yang disensitasi mengaktifkan komplemen melepas sitokin (terlihat dan respons inflamasi pd gambar) yang melalui infiltrasi massif mengaktifkan makrofag neutrofil atau sel Tc yang berperan dalam kerusakan jaringan. Sel Th2 dan Tc menimbulkan respons yang sama Manifestasi khas : reaksi Manifestasi khas : local seperti Arthus dan dermatitis kontak, lesi sistemik seperti serum tuberculosis dan sickness, vaskulitis dengan penolakan tandur nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES.

Pembagian Gell dan Coombs seperti terlihat atas dibuat sebelum analisis yang mendetail mengenai subset dan fungsi sel T diketahui. Berdasarkan penemuan-penemuan dalam penelitian imunologi, telah dikembangkan beberapa modifikasi klasifikasi Gel dan Coombs yang membagi lagi Tipe IV dalam beberapa subtype reaksi. Meskipun reaksi Tipe I, II, dan III dianggap sebagai reaksi humoral, sebetulnya reaksi-reaksi tersebut masih memerlukan bantuan sel T atau peran seluler.

TIPE 1. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE SEGERA ( Reaksi Alergi ) Reaksi Tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan allergen. Pada reaksi Tipe I, allergen yang masuk kedalam tubuh menimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut : 1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik ( Fce- R ) pada permukaan sel mast/ basofil. 2. Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast / basofil melepas isinyayang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE. Gambar. Ikatan silang antara antigen dan IgE yang mengaktifkan sel mast melalui FceRI. Interaksi ikatan silang antara Fce-RI dan IgE pada permukaan sel mast memacu aktivasi Syk. Sinyal dari Syk dengan cepat ditransduksi yang menimbulkan degranulasi, produksi LT dan transkripsi gen sitokin / kemokin. Penglepasan mesiator inflamasi tersbeut berperan dalam gejala akut dan kronis penyakit alergi

3. Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks ( anafilaksis ) sebagai efek mediatormediator yang dilepas sel mast/ basofil dengan ativitas farmakologik.

Gambar. Pajanan dengan antigen mengaktifkan sel Th2 yang meragsang sel B berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang dilepas diikat oleh FceR1 pada sel mast dan basofil ( banyak molekul IgE dengan berbagai spesifitas dapat diikat FceR1). Pajanan kedua dengan allergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat se mast, memacu penglepasan mediator farmakologis aktif (amin vasoaktif) dari sel mast dan basofil. Mediator-mediator tersebut menimbulkan kontraksi otot polos, meningkatkan permeabilitas vascular dan vasodilatasi, kerusakan jaringan dan anafilaksis.

1. Sel mast dan mediator pada Reaksi Tipe I Sel mast mengandung banyak mediator primer atau performed antara lain histamine yang disimpan dalam granul. Sel mast juga yang diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti LT dan PG

a. Histamin Pucak reaksi Tipe I terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi terjadi perubahan dalam membrane sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influx Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini energy dilepas akibat glikolisis dan beberapa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah, sedang peningkatan cGMP memacu degranulasi. Pelepasan granul ini adalah fisiologik dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi sel mast dapat pula terjadi atas pengaruh anafilatoksin, C3a dan C5a. Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul. Histamin yang merupakan mediator primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya. Ada 4 reseptor histamine ( H1. H2, H3, H4 ) dengan distribusi yang berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamine, menunjukkan berbagai efek. Mediator utama antara lain.

b. PG dan LT Di samping histamine, mediator lain seperti PG dan LT (dulu SRS-A) yang dihasilkan dari metabolism asam arakidonat serta berbagai sitokin berperan pada fase lambat reaksi Tipe I. Fase lambat sering timbul setelah fase cepat hilang yaitu antara 6-8 jam. PG dan LT merupakan mediator sekunder yang kemudian dibentuk dari metabolism asam arakidonatatas pengaruh fosfolipase A2. Efek biologisnya timbul lebih lambat, namun lebih menonjol dan berlangsung lebih lama disbanding dengan histamine. LT berperan pada bronkokonstriksi, peningkatan permeabilitas vaskuler dan produksi mucus. PGE2 menimbulkan bronkokontriksi.

c. Sitokin Berbagai sitokin dilepas sel mast dan basofil seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IL-13, GMCSF, dan TNF-alpha. Beberapa diantaranya berperan dalam manifestasi klinis rekasi Tipe I. Sitokin-sitokin tersebut mengubah lingkungan mikro dan dapat mengerahkan sel inflamasi seperti neutrofil dan eosinofil. IL-4 dan IL-3 meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL-5 berperan dalam pengerahan dan aktivasi eosinofil. Kadar TNF-alpha yang tinggi dan dilepas sel mast berperan dalam renjatan anafilaksis.

2. Manifestasi Reaksi Tipe I Manifestasi reaksi Tipe I dapat bervariasi dari local. Ringan sampai berat dan keadaan yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat.

Jenis Alergi Anafilaksis

Urtikaria akut

Rinitis alergi Asma

Makanan Ekzem atopi

Alergen Umum Gambaran Obat, serum, bisa (serangga), Edema dengan peningkatan kacang-kacangan permeabilitas vascular, berkembang menjadi oklusi trakea, kolaps sirkulasi dan kemungkinan meninggal Sengatan serangga Bentol dan merah di daerah sengatan. Sengatan serangga dapat pula menimbulkan reaksi Tipe IV Poleh (hay fever), tungau debu Edema dan iritasi mukosa nasal rumah (rhinitis perennial) Polen, tungau debu rumah Konstriksi bronchial, peningkatan produksi mucus, inflamasi saluran napas. Kerang, susu, telur, ikan, Urtikaria yang gatal dan potensial bahan asal gandum menjadi anafilaksis Polen, tungau debu rumah, Inflamasi kulit yang terasa gatal, beberapa makanan biasanya merah dan vesicular.

a. Reaksi local Rekasi hipersensitivitas Tipe I local terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat allergen masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe I adalah diturunan dan disebut atropi. Sekitar 50%- 70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lender hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20% masyarakat yag menderita asma bronchial. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh se mast/ basofil. IgE yang sudah ada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum ( darah ) orang yang alergi dmasukkan ke dalam kulit/ sikulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung, dan saluran napas.

b. Reaksi sistemik- anafilaksis Anafilaksis adalah reaki Tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit saja. Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs Tipe I atau reaksi alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu berbagai allergen seperti makanan ( asal laut, kacang-kacangan ), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan bahan diagnostic lainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.

c. Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik imun yag melibatkan penglepasan mediator oleh sel mast yang terjadi tidak melalui IgE.

Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme jalur efektor nonimun. Obat Hormon Darah/ produk darah Enzim Makanan Venom (bisa) Lain Pemicu reaksi anafilaksis / anafilaktoid Antibiotic, aspirin dan AINS lain, vaksin, obat peroperasi, antisera, opiate Insulin, progesterone Imunoglobulin IV Streptokinase Susu, telur, terigu, soya, kacang tanah, tree nuts, shelfish Lebah, semut api Lateks, kontras, membrane dialisa, ektrak imunoterapi, protamin, cairan seminal manusia

Secara klinis reaksi ini menyerupai reaksi Tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus, tetapi tidak berdasarkan atas reaksi imun. Manifestasi klinisnya sering serupa, sehingga sulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras dnegan yodium, AINS, etilenoksid, taksol, penisilin dan muscle relaxan.

d. Perbedaan anafilaksis dan anafilaktoid Kriteria serta mekanisme untuk membedakan reaksi anafilaksis dari reaksi anafilaktoid terlihat pada table dibawah.

Alergi Perlu sensitisasi Reaksi setelah pajanan berulang Jarang ( <5% ) Gejala klinis khas Dosis pemicu kecil Ada kemungkinan riwayat keluarga Pengaruh fisiologi sedang

Pseudoalergi (anafilaktoid) Tidak perlu sensitisasi Reaksi pada pajanan pertama Sering ( >5% ) Gejala tidak khas Tergantung dosis ( tergantung kecepatan pemberian infuse Tidak ada riwayat keluarga ( kecuali defek enzim ) Pengaruh fisiologi kuat

TIPE 2. REAKSI SITOTOKSIK atau SITOLITIK Rekasi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibody jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel penjamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibody dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membrane sel tergantung apakah komplemen atau molekul asesori dan metabolism sel dilibatkan.

Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antbodi tersbeut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc gamma- R dan juga sel NK yang daoat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.

1. Reaksi transfusi Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membrane sel darah merah disandi oleh berbagai gen. Bila darah individu golongan A mendapat transfuse golongan B terjadi reaksi transfuse, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah oleh hemolisis massif intravascular. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya

disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam olasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi dapat bersifat toksik. Gejala khas nya berupa demam, nausea, berkuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang dan hemoglobinuria. Reaksi transfuse darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfuse berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfuse. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG.

2. Penyakit hemolitik bayi yang baru lahir Penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir ditimbulkan oleh inkompatibilitas Rh dalam kehamilan, yaitu pada ibu dengan golongan darah Rhesus negative dan janin dengan Rhesus positif.

3. Anemia hemolitik Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorbsi nonspesifik pada protein membrane sel darah merah yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibody yang selanjutnya mengikat obat pada sel darah merah dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.

TIPE 3. REAKSI TIPE III atau KOMPLEKS IMUN Dalam keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan disana dimusnahkan oleh sel fagosit mononuclear, terutama di hati, limpa, dan paru tanpa bantuan dari komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh makrofag dalam hati. Kompleks yang kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fugsi fagosit merupakan saah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.

1. Kompleks imun mengendap di dinding pembuluh darah Antigen dapat berasal dari infeksi kuman atogen yang persisten ( malaria ), bahan yang terhirup ( spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik ) atau dari jaringan sendiri ( penyakit autoimun ). Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibody yang efektif. Makrofag yang diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan

kompleks imun sehingga makrofag dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak jaringan. Kompleks imun yang terdiri dari antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG3 ( dapat juga IgA ) diendapkan di membrane basal vascular dan membrane basal ginjal yang menimbulkan reaksi inflamasi local dan luas. Kompleks yang terjadi dapat menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas vaskuler, aktivasi sel mast, produksi dan penglepasan mediator inflamasi dan bahan kemotaktik serta influx neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat menimbulkan kerusakan jaringan setempat.

2. Kompleks imun mengendap di jaringan Hal yang memungkinkan terjadinya pengendapan kompleks imun di jaringan ialah ukuran kompleks imun yang keci dan permeabilitas vascular yang meningkat, antara lain karena histamine yang dilepaskan oleh sel mast. 3. Bentuk reaksi Reaksi Tipe III mempunyai dua bentuk reaksi, local dan sistemik a. Reaksi local atau Fenomena Arthus Arthus yang menyuntikkan serum kuda kedalam kelinci intradermal berulang kali di tempat yang sama menemukan reaksi yang makin menghebat di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi ertem ringan adan edem dalam 2- 4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya. Suntikan tersebut kemudian menimbulkan edem yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6 menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut disbeut fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi kompleks imun.

Antibodi yang ditemukan adalah jenis presipitin. Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vascular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan local dan vasklar akibat akumulasi cairan ( edem ) dan sel darah merah ( eritema ) sampai nekrosis. Reaksi tipe Arthus dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi oleh kuman, spora jamur atau protein fekal kering yang dapat menimbulkan pneumonitis atau alveolitis atau Farmers lung. C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem. C3a dan C5a berfungsi juga sebagai factor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos, dan leukosit perifer yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas vascular dan respons tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan meamakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai bahan protease, kolagenase dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat. Reaksi atrhtus di dalam klinik dapat dikenali sebagai vaskulitis. Suntikan obat dapat memacu pembentukan kompleks imun (1) yag mengaktifkan komplemen jalur klasik (2) Komplemen diikat sel mast (3) dan menimbulkan degranulasi dan oleh neutrofil yang memacu kemotaksis (4) dan melepas enzim litik (5)

b. Reaksi tipe III serum sickness Antigen dalam jumlah besar yang masuk kedalam sirkulasi darah dapat membentuk kompleks imun. Bila antigen jauh berlebihan disbanding antibody, kompleks yang dibentuk adalah lebih kecil yang tidak mudah untuk dibersihkan fagosit sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan Tipe III di berbagai tempat. Dahulu reaksi Tipe III sistemik demikian sering terihat pada pemberian antitoksin yang mengandung serum asing seperti antitetanus atau antidifetri asal kuda.

Gambar. Hubungan antara pembentukan kompleks imun dan timbulnya gejala pada serum sickness. Antigen dalam jumlah besar disuntikkan kedalam kelinci pada hari 0. Bila antibody yang diproduksi membentuk kompleks dengan antigen yang diendapkan di ginjal, sendi dan kapiler. Gejala serum sickness (daerah biru muda) berhubungan dengan puncak pembentukan kompleks imun. Bila kompleks imun dibersihkan, antibody bebas ditemukan dalam sirkulasi (garis putusputus) dan gejala serum sickness berkurang. Gejala serum sickness berupa demam, lemah, vaskulitis sistemik (ruam) degan edema dan eritema, limfadenopati, arthritis dan kadag glomerulonefritis. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a, C5a) yang memacu sel mast dan basofil melepas histamine. Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid, korpus silier di mata. Pada penyakit SLE, ginjal merupakan tempat endapan kompleks imun, pada arthritis rheumatoid, sel plasma dan sinovium membentuk kompleks imun di sendi.

Komplemen yang menimbulkan agrgasi trombosit yang membentuk mikrotrombi dan melepas amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel mast dan trombosit menimbulkan vasodilatasi , peningkatan permeabilitas vascular dan inflamasi. Neutrofil dikerahkan dan menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil yang terkepung di jaringan akan sulit untuk menangkap dan makan kompleks, tetapi akan melepas granulnya ( angry cell ). Kejadian ini menimbulkan lebih banyak kerusakan jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai mediator antara lain enzim yang dapat merusak jaringan. Dalam beberapa hari minggu terliat manifestasi panas, gatal, bengkak-bengkak, kemerahan dan rasa sakit di beberapa bagian tubuh, sendi dan KGB yang dapat beruba vaskulitis sistemik (artritis), glomeruolonefritis, dan astritis. Reaksi ini disebut reaksi Pirquet dan Schick. Reaksi Herxheimer adalah serum sickness (Tipe III) yang terjadi sesudah pemberian pengobatan terhadap penyakit infeksi kronis (sifilis, tripanosomiasis dan bruselosis). Bila mikroorganisme dihancurkan dalam jumlah besar juga melepas sejumlah antigen yang cenderung bereaksi dengan antibody yang sudah ada dalam sirkulasi.

TIPE 4. REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV Baik CD4+ maupun CD8+ berperan dalam reaksi Tipe IV. Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respon inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas tipe lambat. Cotohnya dermatitik kontak yang diinduksi oleh etiendiamine, neomisin, anestesi topical, antihistmin topical dan steroid topical. Manifestasi klinis reaksi Tipe IV a. Dermatitis Kontak Dermatitis kontak adalah penyakit CD4+ yang dapat terjadi akibat kontak dengan bahan tidak berbahaya, merupakan contih reaksi DTH. Kontak dengan bahan seperti fomaldehid, nikel, dan yang terpenting berbagai bahan aktif dalam cat rambut terjadi melalui sel Th1.
Gambar. Sensitivitas kontak. Perkembangan reaksi DTH mengubah akibay pajanan ulang terhadap allergen kontak. 80-90 % masyarakat Amerika menunjukkan reaksi terhadap urushiol dalam poison ivy yang menembus kulit (1) dan berikatan dengan self protein yang selanjutnya ditelan sel Langerhans (SL). SL mempresentasikan hapten-urushiol ke sel DTH yang melepas berbagai sitokin (2). Sekitar 48-72 jam setelah pajanan, makrofag terkumpul di tempat kontak dan melepas enzim litik dan menimbulkan ruam dan pustule spesifik (3). Setelah kontak dengan antigen, sel Th disensitasi, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH. Bila sel DTH yang disensitasi terpajan ulang dengan antigen yg sama, akan melepas sitokin, menarik dan mengaktifkan makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitivitas.

b. Hipersensitivitas tuberkulin Hipersensitivitas tuberculin adalah bentuk alergi bacterial spesifik terhadap produk filtrate biakan M. tuberculosis yang bila disuntikkan ke kulit, akan menimbulkan reaksi hipersensitivitas lambat Tipe IV. Yang berperan dalam reaksi ini adalah sel limfosit CD4+ T. Setelah suntikan intrakutan ekstrak tuberculin atau derivate protein yang dimurnikan (PPD), daerah kemerahan dan indurasi timbul di tempat suntikan dalam 12-24 jam. Pada individu yang pernah kontak dengan M. Tuberkulosis, kulit bengkak terjadi pada 7-10 pasca induksi. Reaksi dapat dipndahkan melalui sel T. c. Reaksi Jones Mote Reaksi Jones Mote adalah reaksi hipersensitivtas tipe IV terhadap antigen protein yang berhubungan dengan infiltrasi basofil mencolok di kulit dibawah dermis. Reaksi juga disebut hipersensitivitas basofil kutan. Dibanding dengan hipersensitivitas Tipe IV lainnya, reaksi ini adalah lemah dan nampak beberapa hari setelah pajanan dengan protein dalam jumlah kecil. Tidak terjadi nekrosis dan reaksi dapat diinduksi dengan suntkan antigen larut seperti ovalbumin dengan ajuvan Freund. d. T Cell Mediated Cytolisis ( Penyakit CD8+) Dalam T Cell Mediated Cytolisis, kerusakan terjadi melalui sel CD8+ / CTL / Tc yang langsung membunuh sel sasaran. Penyakit yang ditimbulkan hipersensitivitas selular cenderung terbatas kepada beberapa organ saja dan biasanya tidak sistemik. Pada penyakit virus hepatitis, virus sendiri tidak sitopatik, tetapi kerusakan ditimbulkan oleh respons CTL terhadap hepatosit yang terinfeksi. Sel CD8+ yang spesifik untuk antigen atau sel autologus dapat membunuh sel dengan langsung. Pada banyak penyakit autoimun yang terjadi melalui mekanisme selular, biasanya ditemukan baik sel CD4+ maupun CD8+ spesifik untuk self-antigen dan kedua jenis sel tersbeut dapat menimbulkan kerusakan.

a. reaksi DTG, sel CD4+ memebrkan respon terhadap antigen jaringan dengan melepas sitokin yang merangsang inflamasi dan mengaktifkan fagosit, sehingga timbul kerusakan jaringan. b. CD8+ dapat langsung membunuh sel jaringan dan menimbulkan penyakit.

Anda mungkin juga menyukai