Anda di halaman 1dari 4

5.

Pembaharuan (modernisasi) administrasi: menyambut globalisasi Pada Mei 1995 PERSADI (Perhimpunan Sarjana Administrasi Indonesia) menyelenggarkaan sebuah seminar untuk mengawali konggresnya yang ke-tiga. Organisasi yang para pengurusnya terdiri dari pejabat pemerintah ini, waktu itu diketuai Mustopadidjaja AR, staf senior Bappenas, berusaha untuk merumuskan kembali model administrasi negara RI yang terbaik untuk menghadapi apa yang disebutnya era globalisasi dan informasi. Mengingat karakteristik anggotanya, Persadi membuat butir-butir rekomendasi yang secara "bahasa" lunak, yakni pembaharuan atau modernasisasi. Kedua istilah ini sebenarnya bukan barang baru, karena keduanya telah menjadi inti dari gerakan pembangunan, namun isi rekomendasi itu relatif progresif: mengurangi intervensionisme pemerintah selama era pembangunan sebelumnya. Pengurangan intervensi ini pun bukan barang baru, karena deregulasi dan debirokratisasi telah dimulai oleh pemerintah pada 1983, ketika terjadi krisis penurunan harga minyak. Jadinya ide-ide yang berkembang hanyalah penekanan dari ide sebelumnya, presentasi dengan bahasa yang berbeda, jika bukannya --secara tidak langsung-- berusaha mengevaluasi dan mengritik ketidakberhasilan pemerintah selama masa sebelumnya dalam merealisasi ide-idenya sendiri. Berikut ini pemikiran yang terumuskan dalam seminar. Seminar yang bertema "Modernisasi Administrasi Menghadapi Globalisasi Menyukseskan PJP-II" itu memanfaatkan pidato Presiden empat sebelumnya di Bogor dalam pembukaan penataran P4 bagi para pejabat eselon I sipil maupun militer sebagai rujukannya. (Melihat isinya, pidato ini tampaknya dipersiapkan oleh para pengurus Persadi sendiri.) Pidato di bulan Januari itu diucapkan setelah pada bulan Nopember tahun sebelumnya di kota yang sama berlangsung konferensi APEC (Asia-Pasific Economic Cooperation). Pada penataran P4 yang dilakukan enambelas tahun setelah penataran P4 yang pertama 1978 itu ditegaskan perlunya kesadaran akan munculnya zaman baru: kehidupan akan semakin terbuka karena arus informasi menjadi begitu cepat (sarananya adalah radio dan televisi, belum disebut adanya internet) dan akan terbentuk rezim perdagangan bebas dunia. Dalam zaman baru ini tugas negara yang utama berubah menjadi hanya penyedia sarana-sarana "utama" dan --yang lebih penting-- pemberi arah, pencipta peluang, pemberi dorongan dan pengayom berlangsungnya prakarsa dan kreativitas masyarakat. RI sebagai negara kesatuan hanya akan merasa berkewajiban menjaga kesatuan politik, moneter, diplomasi dan pertahanan-keamanan, sedangkan masyarakat akan dibiarkan mandiri lewat pemberian otonomi dan desentralisasi maupun deregulasi dan debirokratisasi yang telah dilakukan sejak 1983. Indonesia akan memasuki era perdagangan bebas dunia, dimulai dari level AFTA (Asean Free Trade Agreement) sejak 2003, APEC sejak 2010 dan dunia (lewat WTO, World Trade Organisation) sejak 2020. Perdagangan dunia yang bebas ini "mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap" harus kita masuki, dan kita tidak perlu risau, karena "bangsa kita adalah bangsa wiraswasta, yang terbiasa merantau berlayar dan berniaga ke negeri-negeri yang jauh." Hanya saja, karena semua itu bisa mengarah kepada liberalisme, perlu dikembangkan model-model kemitraan antara pengusaha besar, menengah dan sedang sesuai dengan asas kekeluargaan. Selain itu masyarakat harus siap secara teknis dan profesional, disamping secara ideologis, politis, ekonomis dan sosial budaya. Daya saing masyarakat dan Negara harus ditingkatkan, dimana pada pihak Negara harus dilakukan perubahan organisasi, prosedur, tata-kerja dan peraturan perundang-undangan. Merujuk pada pidato Presiden itu, Tjokroamidjojo menyebut perlunya pengalihan sistem ekonomi masyarakat, dari public sector led menjadi private sector led economy, apalagi jika diingat berkurangnya dana dari minyak. Administrasi, baik negara maupun swasta, jadinya

dituntut untuk lebih efisien, produktif dan inovatif. Mereka perlu melakukan moderniasi: pembaharuan administrasi untuk beradaptasi dengan realitas baru di bidang politik, ekonomi dan sosial. Sekalipun terkesan adanya penekanan terhadap perlunya pengurangan peran pemerintah atau empowering rather than serving, Silalahi (Menpan) masih menganggap perlu memperluas pelayanan pemerintah di bidang tertentu selain meningkatkan kualitasnya, dan --sayangnya-- antara perluasan dan peningkatan kualitas itu seringkali dijumpai dilema. Dicontohkannya pelayanan listrik: sebaiknya diperluas ke masyarakat desa yang tidak produktif, atau dikonsentrasikan di daerah industri saja? Administrasi, karenanya, oleh Moerdiono (Mensesneg) dimaknai sebagai "kemampuatn kreatif untuk merakit serta mendayagunakan berbagai sumber daya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan." Menurutnya, selama ini belum pernah ada literatur administrasi yang membahas konsep dan kiat manajemen proses transformasi dalam skala nasional. Terobosan di bidang administrasi seringkali disumbangkan oleh ekonom, usahawan, politisi maupun pemikir militer. Oleh karenanya, disamping perlu belajar dari pengalaman negara lain, khazanah pengalaman bangsa sendiri perlu disistematisir sebagai bahan pelajaran yang berharga. Sedikit berbeda dengan pidato Presiden yang menekankan adanya perubahan kualitas kehidupan sehingga diperlukan adanya perubahan sistem administrasi, Moerdiono justru menyatakan bahwa perubahan sistem administrasi bersesuaian dengan konsep pembangunan yang dicanangkan pada awal 1970-an, dimana setelah berlangsung "akselerasi modernisasi 25 tahun" bangsa Indonesia akan memasuki tahap "tinggal landas" --melanjutkan pembangunan dengan kekuatan sendiri. Inilah yang tampaknya dimaksudkan oleh Moerdiono sebagai latarbelakang dari deregulasi dan debirokratisasi sejak 1983 dan percobaan otonomi kabupaten sejak 1995. (Otonomisasi diartikannya sebagai pelimpahan wewenang, personil, perlengkapan dan dana kepada kabupaten.) Kartasasmita (Ketua Bappenas) melihat perlunya pembaharuan sistem administrasi karena alasan yang lebih pragmatis: mesin perekonomian Indonesia ternyata telah berjalan secara tidak mulus --tidak efisien, sering tersendat-sendat dan boros. Pertumbuhan ekonomi selalu disertai oleh inflasi yang tinggi, dan ini semua mengakibatkan kesenjangan struktural alias ketidakadilan: sedikit pengusaha besar menguasai sangat banyak aset produktif --modal, tenaga terampil, teknologi dan akses pasar. Pada 1992 sejumlah 97,4 persen (yakni 32,6 juta) dari seluruh perusahaan dan usaha rumah tangga memiliki omzet, output atau sisa hasil usaha kurang dari Rp 50 juta. Implikasinya adalah bahwa proses tinggal landas tidak akan mungkin berjalan serempak di seluruh tanah air. Kesenjangan itu harus dihentikan. Dalam waktu dekat ekonomi tradisional harus sudah masuk ke ekonomi modern, ekonomi subsistensi menjadi ekonomi pasar, dan ketergantungan menjadi kemandirian. Dalam konteks itu, "demokrasi ekonomi" mulai diperbincangkan lagi. Pasal 33 UUD 1945 dirujuk, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Konsep "kemitraan" segitiga diperkenalkan, yakni antara pengusaha besar - pengusaha menengah dan kecil - pemerintah, dengan pemerintah sebagai aktor yang memegang peran aktif. Kemitraan atau organized market dirumuskan sebagai hubungan kerja sinergis yang saling menguntungkan (bukan program karitas) antar pelaku ekonomi, baik dalam bidang permodalan, produksi maupun distribusi, juga antar-sektor dan -daerah Ini semua dimaksudkan untuk menghindarkan persaingan yang tidak sehat yang cenderung mengarah ke monopoli, dan memang konsekeunsinya harus dihilangkan orientasi pada economies of scale.

Dengan rumusan yang berbeda, Mustopadidjaja menyebut demokrasi ekonomi sebagai suatu sistem ekonomi yang tidak free figt liberalism di satu pihak dan tidak etatisme di pihak lain, tidak ada monopoli dan monopsoni, yang ada hanyalah keadilan sosial. Intinya: jalan tengah. Liberalisme ternyata telah menghasilkan pemusatan kekuata ekonomi, ketimpangan lokasi investasi, lemahnya posisi tawar pengusaha kecil dan menengah, dan akibatnya ketimpangan distribusi pendapatan. Sementara itu etatisme yang berbentuk penguasaan dan pengendalian langsung oleh pemerintah terhadap sistem produksi dan distribusi terbukti menghasilkan dampak birokratisasi, korupsi, in-efisiensi, inflasi dan degradasi kesejahteraan. Lewat jalan tengah diharapkan terjadi transaksi bisnis yang sehat, terbuka dan efisien, sehingga pemerataan dan pertumbuhan yang berkeadilan dapat terwujud. Dengan kata lain: kita dapat ikut dalam arus liberalisasi perdagangan tanpa harus terjebak pada liberalisme. Demokrasi ekonomi ditandai oleh lima hal: 1. mekanisme pasar dan keterkaitan pasar domestik dengan pasar regional dan internasional, 2. intervensi pemerintah, 3. hak inisiatif dan hak budget DPR, 4. hak milik perorangan dan pemanfaatannya, peran aktif warga negara dalam kegiatan ekonomi, 5. pengawasan legislatif dan sosial. Hal-hal apa yang (masih) perlu dibenahi? Yang terutama adalah rendahnya tingkat efisiensi yang mengakibatkan rendahnya daya saing negara di pasar internasional. Teknologi informasi perlu diadopsi guna memperbaiki manajemen, mengubah administrasi yang konvensional menjadi administrasi modern, dari legalisasi menjadi efisiensi dan pelayanan. Dalam kaitannya dengan pelayanan, sikap dan perilaku pegawai perlu diubah, sehingga tidak "senang dan merasa bangga melihat masyarakat yang dilayani menunggu lama...bahkan untuk kepentingan negara, misalnya (dalam pembayaran) pajak...(dan) langganan listrik". Pegawai negeri harus bersikap pro-aktif, dan sekalipun berada dalam birokrasi harus meninggalkan sikap-sikap yang birokratis. Ini terkait dengan tingkat kesejahteraan mereka. Untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan pegawai, pemerintah tidak perlu menambah pegawai baru dan memusatkan tugasnya "pada hal-hal yang amat strategis saja". Dalam konteks penciptaan demokrasi atau keadilan ekonomi pada umumnya dan kemitraan pada khususnya, pemerintah dituntut untuk berperan sebagai pendidik, pembimbing, memfasilitasi kemitraan itu, menjadi pelopor, memberikan insentif dan disinsentif. Intinya pemerintah harus memotivasi dan tidak memaksa. Kecuali itu pemerintah harus mengurangi barriers to entry serta merangsang tumbuhnya pengusaha kecil (misalnya lewat pengembangan modal ventura dan dana penjamin, juga mengembangkan inkubasi bisnis) di satu pihak dan menjadi bemper penyelamat (misalnya menampung kelebihan produksi) bagi pengusaha kecil di pihak lain. Dengan kata lain, pemerintah memegang fungsi sebagai penjaga kepentingan umum dan persaingan yang sehat, pendorong kemitraan, pengatur distribusi manfaat dan kesempatan ekonomi serta menjalankan bisnis rintisan (yang kurang diminati swasta). Dalam konteks ini disamping secara keseluruhan efisiensi pelayanan birokrasi perlu ditingkatkan, Daerah juga perlu memperoleh wewenang yang lebih besar dalam pemberian ijin investasi. Lebih dari itu, yang secara teknis juga sangat penting bagi demokrasi ekonomi adalah bahwa analisis biaya dari setiap produk harus transparan dan perlu ditingkatkannya etika bisnis.

Bagaimana pembaharuan dapat dilakukan? Pembaharuan sebaiknya dimulai dari top administrators, yakni dari perumusan kebijakan, selanjutnya para tenaga profesional yang berdedikasi tinggi harus dapat menerjemahkan keinginan dan keputusan politik menjadi program-program yang konsisten dan efektif. Kecuali itu proses penyusunan kebijakan harus dilakukan dalam sistem musyawarah-mufakat yang dinamis dan jika perlu dikembangkan pula mekanisme debat publik, agar benar-benar terwujud suatu sistem manajemen yang partisipatif --sehingga sense of belonging masyarakat terhadap kebijakan dan programnya meningkat, sementara pemerintah juga terkondisikan untuk memilih sense of responsibility dan accountability yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai