Anda di halaman 1dari 2

Penyelesaian Sengketa Pers

Penulis: Juniver Girsang SH, MH Editor: Wawan Tunggul Alam SH Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tahun: 2007 Tebal: vii + 173

Memahami Perkara Pers


Apa yang harus dilakukan seseorang, jika orang itu merasa telah mendapat perlakuan tidak menyenangkan oleh pers, katakanlah dia diberitakan media massa, cetak khususnya, yang intinya orang itu merasa dipojokkan, dihakimi. Bisakah pers itu mendapat hukuman? Bisakah orang itu mencari keadilan dan kepastian hukum atas perlakuan pers terhadap dirinya itu? Pers dan hukum seolah berdiri bagai air dan minyak. Jika terjadi kasus yang melibatkan pers, dalam hal penyelesaikan hukumnya tercermin seperti tidak ada kepastian hukum, terutama mengenai hukum apa yang digunakan, karena terjadi dualisme hukum. Ada yang merujuk pada pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan zaman kolonial Belanda yang masih berlaku hingga sekarang. Namun, pada kasus lain upaya penyelesaiannya menggunakan instrumen Undang-undang Pers, yakni UU No 40 tahun 1999 tentang Pers. Timbul pertanyaan, betulkah UU Pers tergolong lex specialis? Bagaimana hukum lain di luar UU Pers, baik KUHP maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer)? Demikianlah, buku ini mencoba menjawab keraguan itu dengan memberi gambaran dan solusi jika terjadi sengketa pers akibat pemberitaan dengan menggunakan instrumen UU No 40 1999. Buku yang ditulis oleh praktisi hukum sekaligus merupakan pengalaman pribadi penulisnya tatkala menyelesaikan masalah pers ini mampu memberikan gambaran bagaimana sebenarnya hukum pers dimaknai. Dibagi dalam empat bab, buku ini berisi mulai dari pemahaman mengenai dualisme hukum pers, pertanggungjawaban hukum terhadap pers, UU Pers dan kasus penyelesaian sengketa pers akibat pemberitaan, dalam hal ini kasus yang melibatkan Laksamana Sukardi versus pers. Jika kini berkembang kebebebasan pers, bagaimana cara mengeremnya? Menurut penulis buku ini, efek negatif kebebasan pers bisa diatasi dengan penegakan hukum. Kebebasan pers memang akan berhadapan dengan batas toleransi masyarakat. Opini publik akan membatasi sejauh mana pers boleh bebas. Pada sebagian masyarakat

berkembang pendapat yang menilai pers kini telah kebablasan. Maka untuk menyelesaikannya, mereka memilih melalui hukum pidana yang di atur dalam KUHP dan KUHPer (Perdata) Sebaliknya pihak pers yang sebetulnya tidak berkeberatan dengan penyelesaian melalui jalur hukum, menuntut agar mekanisme penyelesaiannya dilakukan sesuai dengan hukum yang mengaturnya, yaitu UU no 40/1999 tentang Pers. Sebab UU Pers ini juga telah menyediakan mekanisme penyelesaiannya, termasuk bagaimana sanksi hukum. Pihak pers berharap setiap kasus pers harus diselesaikan bukan dengan KUHP dan KUHPer, sepanjang menyangkut karya jurnalistik, namun melalui UU Pers. Pada kenyataannya, perbedaan pandangan hukum (dualisme hukum) ini telah muncul dalam sejumlah perkara hukum pers di Indonesia. Pihak yang merasa pers sudah kebablasan, mengedepankan hukum pidana KUHP dengan mengusung istilah: delik pers. Padahal, menurut penulis buku ini, istilah delik pers sebenarnya hanya istilah atau pengertian umum dan bukan pengertian atau terminologi hukum. Untuk lebih memperjelas persoalan menyangkut sengketa pers, disajikan bedah kasus tentang pemberitaan di majalah Tempo yang mengakibatkan pengusaha Tomy Winata menggugat media itu. Juga kasus pemberitaan beberapa suratkabar dan majalah tentang kepergian Laksamana Sukardi ke Australia akhir tahun 2004 lalu. Dua kasus ini dibedah mendalam, lengkap dengan lampiran kronologi. Pada kasus Laksamana Sukardi, misalnya, lampiran lengkap gugatan Pelapor (dalam hal ini Laksamana) disajikan lengkap. Demikian pula jawaban dari masingmasing media yang digugat sekaligus jawaban Dewan Pers yang memungkasi persengketaan itu. Bagi jurnalis dan juga pengelola media, buku ini memberi pemahaman lebih jauh mengenai sengketa di dunia pers dan tentu saja penyelesaiannya. (awd)

Anda mungkin juga menyukai