Umar agaknya mengingat dengan tingkat kesadaran yang utuh bagaimana Nabi
yang mulia dan para pengikutnya yang setia berada dalam kondisi yang sangat
kritis. Nabi telah kehilangan orang-orang yang mencintai dan dicintainya, orang
yang melindungi dan membela perjuangannya. Istri tercintanya, Khadijah dan
pamannya, Abu Thalib, telah meninggalkannya untuk selamanya. Sejarah kaum
muslimin menyebutnya sebagai ‘am al huzn, tahun duka nestapa. Sementara
sikap kaum yang membencinya telah kehilangan cara untuk menghentikan
dakwah profetik dan monoteistik. Beberapa cara dan strategi busuk telah
dilakukan termasuk politik pengucilan dan pembiaran agar mati kelaparan.
Satu-satunya cara yang tersisa adalah menghabisi nyawanya. “Muhammad
harus mati”, teriak mereka.
Pada malam yang kelam mereka telah siap untuk mengakhiri hidup Muhammad.
Dengan begitu, pikir mereka, akan berakhir pula riwayat kepercayaan baru yang
merusak tradisi dan kepercayaan politeistik (syirik) mereka.
Tetapi apa yang terjadi? Rencana mereka gagal total. Muhammad yang mereka
cari telah pergi tanpa diketahui jejaknya. Tuhan telah mengaturnya dengan
amat cermat dan menggagalkannya. “Ingatlah (hai Muhammad), ketika orang-
orang kafir Quraisy itu berkomplot membuat rencana terhadapmu, untuk
menangkap atau membunuh atau mengusirmu. Mereka membuat rencana dan
Allah adalah Perencana terbaik”. (Q.S. 8:30).
Hakekat Hijrah
Secara literal hijrah berasal dari kata hajara. Al Mu’jam al Wasith menyebutkan
: hajara berarti taraka min makan ila makan, berpindah dari satu tempat ke
tempat lain dalam arti fisikal atau berarti i’tazala, memisahkan diri atau
tabaa’ada, menjauhkan diri. Ia juga bisa berarti taraka wathanahu, dia
meninggalkan tanah airnya. Mengenai makna ini, Al Qur-an menyatakan: “Dan
orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman
sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin) mereka mencintai orang yang
berhijrah ke tempat mereka”. (Q.S. al Hasyar, 59:9).
Ayat lain yang menunjuk arti perpindahan tempat juga disebutkan dalam Q.S.
Al Ankabut, 29: 26 : “Maka Luth membenarkan kenabian Ibrahim. Dan dia
(Ibrahim) berkata: “Sesungguhnya aku harus berpindah ke (tempat yang
diperintahkan) Tuhan kepadaku”.
Demikianlah, jelas bahwa hijrah tidak dapat dimaknai secara sederhana sebagai
perpindahan tempat, melainkan sebuah langkah yang mengandung dimensi-
dimensi kehidupan yang lebih luas dan strategis. Sebagai seorang Rasul (utusan
Tuhan), misi utama Nabi Muhammad SAW adalah menyebarkan prinsip
monoteisme, keadilan, dan kerahmatan untuk seluruh umat manusia. Dengan
begitu langkah hijrah Nabi SAW adalah dalam kerangka melanjutkan misi
teologis, spiritual, dan moral kemanusiaan di tempat dan audiens yang lebih
menghargai nilai-nilai kemanusian yang luhur.
Hal yang menarik adalah bahwa hampir semua teks suci al Qur-an yang
menyebutkan kata hijrah diikuti dengan kata “jihad”. Dalam terminologi Islam,
jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan
kemampuan yang dimiliki manusia; moral, intelektual, dan spiritual untuk
sebuah tujuan yang mulia. Pada umumnya tujuan jihad adalah membebaskan
tirani (kezaliman), pikiran-pikiran dan perilaku-perilaku yang sesat (batil) dan
mengubahnya menjadi kebenaran, kebaikan, keadilan, kemuliaan dan
kedamaian. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hijrah dan jihad adalah
dua hal yang berjalan secara simultan. Hijrah merupakan langkah melepaskan
diri dari kondisi dan situasi kehidupan yang anti-Tuhan dan sarat kezaliman
menuju perwujudan masyarakat baru yang humanistik. Seluruh langkah ini
harus dilakukan dengan seluruh kesungguhan intelektual, moral, dan spiritual
yang dimiliki manusia beriman.
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum perempuan yang ikut hijrah bersama Nabi
dan memiliki tekad yang kuat untuk setia kepada perjuangan Nabi harus
diperlakukan secara baik. Mereka tidak boleh dibiarkan kembali ke tangan
orang-orang kafir Quraisy yang biasa memperlakukan mereka dengan
pandangan mata yang merendahkan dan mengajak kepada kekufuran. Pada
ayat selanjutnya dinyatakan: “Wahai Nabi, apabila perempuan-perempuan
beriman datang kepadamu untuk mengadakan baiat (janji setia) bahwa mereka
tidak akan menyekutukan sesuatu apapun dengan Allah, tidak akan mencuri,
tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berdusta
dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji-
setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh
Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.(Q.S. al Mumtahanah, 60 ; 12).
Hal lain yang seharusnya menjadi fokus perhatian kita adalah bahwa Nabi SAW
pada suatu hari yang bersejarah melakukan langkah transformasi kebudayaan
dan politik secara spektatuler melalui apa yang disebutnya sebagai “Watsiqah
Madinah” (Traktat Madinah) yang berisi diktum-diktum tentang persamaan,
persaudaraan, dan penegakan keadilan. Para sarjana muslim maupun
nonmuslim mengakui Piagam Madinah tersebut sebagai deklarasi hak-hak asasi
manusia. Ini adalah cita-cita besar Nabi SAW. yang patut kita wujudkan dalam
kehidupan kita hari ini. Cita-cita ini masih diulangi lagi pada kesempatan yang
terakhir sebelum Nabi wafat. Di sebuah bukit di Arafah, Nabi berpidato kepada
seluruh dunia : “Wahai manusia, perhatikan dengan sungguh-sungguh. Aku
berpesan kepadamu agar kamu memper lakukan kaum perempuan dengan
baik, karena mereka (dalam realitas kebudayaan kamu) masih dianggap seperti
tawanan. Kamu tidak mempunyai hak apa-apa atas mereka, kecuali
memperlakukan mereka dengan baik”. Dan dalam kalimatnya yang lain Nabi
juga mengatakan: “Sungguh, darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah
suci, sesuci hari ini dan bulan ini sampai datang masanya kamu menghadap
Tuhan. Dan pasti kamu akan menghadap Tuhan, pada waktu itu kamu dimintai
pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu”. ]
Rahima Jl. Pancoran Timur IIA No. 10 Perdatam Pasar Minggu Jakarta Selatan
Telp./Fax. +62.21. 798 4165 e-mail: rahima2000@cbn.net.id CopyRight © Rahima 2001