Anda di halaman 1dari 43

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sistem hepatobilier merupakan suatu sistem dalam tubuh yang berfungsi dalam vaskularisasi, ekskresi, pertahanan tubuh dan metabolik. Sistem ini memastikan tubuh manusia dapat berfungsi dengan baik dengan adanya enzim yang dapat memetabolisir makanan. Sistem ini dapat mengakibatkan gejala yang fisiologis dan patologis pada tubuh, antaranya seperti ikterus. Berikut ini adalah skenario yang diberikan. Seorang bayi usia 5 haru dibawa ke Puskesmas karena kuning pada wajah dan badannya. Bayi tersebut dilahirkan cukup bulan, dilahirkan pervaginam tanpa komplikasi. Pemeriksaan fisik menunjukkan T: 36,8oC, frekuensi nafas: 42x/menit, BB: 3,2kg, panjang badan: 50cm. bayi tampak aktif.

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan kasus yang diberikan, dapat dirumuskan permasalahan yaitu: Bayi 5 hari, kuning pada wajah dan badannya.

1.3 Tujuan Makalah yang berjudul Hepatobilier ini bertujuan untuk mengetahui tentang sistem hepatobilier dan penyakit yang terkait dengannya termasuk anamnesanya, pemeriksaan, diagnosa banding, etiologi, epidemiologi, gejala klinis, patologi, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi dan prognosis.

1.4 Manfaat a. Bagi Mahasiswa Dilatih untuk memecahkan berbagai macam kasus yang memerlukan pertimbangan dari beberapa aspek terkait mengenai sistem hepatobilier termasuk penyakit-penyakit yang tersangkut padanya. b. Bagi Universitas Dapat menambah referensi mengenai penyakit hepatobilier dan beberapa penyakit lainnya.

BAB II PEMBAHASAN

1.1 ANAMNESA i. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin, malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal) ii. iii. iv. v. vi. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya Riwayat inkompatibilitas darah Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.1

1.2 PEMERIKSAAN 1.2.1 Pemeriksaan fisik Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut. WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.

Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.1

Tabel 1. Klasifikasi Ikterus Tanya dan Lihat Mulai kapan ikterus? Daerah mana yang ikterus? Bayinya kurang bulan? Warna tinja? Tanda / Gejala Klasifikasi

Ikterus segera setelah lahir Ikterus pada 2 hari pertama Ikterus patologis Ikterus pada usia > 14 hari Ikterus lutut/ siku/ lebih Bayi kurang bulan Tinja pucat Ikterus usia 3-13 hari Ikterus fisiologis Tanda patologis (-) (Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2001)

1.2.2 Pemeriksaan penunjang i. Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil). Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.1 ii. Transcutaneous bilirubin (TcB) dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 mol/L), dan tidak reliable pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya
4

yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa. Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis. Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.1 iii. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah. Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah. Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.1 Tabel 2. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus

Hari 1 Bagian tubuh manapun Berat Hari 2 Tengan dan tungkai * Hari 3 Tangan dan kaki * Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
5

iv. Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara lain: Golongan darah dan Coombs test Darah lengkap dan hapusan darah Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc Bilirubin direk Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.1

1.3 DIAGNOSA 1.3.1 Working Diagnosis Ikterus atau jaundice terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, sehingga kulit terutamanya dan atau sklera bayi tampak kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17 mol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL ( >86mol/L). Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut Excessive Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus > 95% menurut Normogram Bhutani.2

1.3.2 Differensial Diagnosis a. KOLESTASIS Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi -1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik. Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier 377 (34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), -1 antitripsin defisiensi 189 (17,4%), hepatitis lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus koledokus 34 (3,1%). Insiden kolestasis selalunya terjadi sekali dalam 2500 kelahiran. Ada repot menyatakan terdapat satu insiden kolestasis dalam 4800 hingga 9000 kelahiran. Namun, angka yang tepat masih tidak dapat ditentukan karena metode diagnostik yang lebih baru dan tepat telah menurunkan angka penyakit kolestasis pada neonatus yang dulunya dianggap sebagai idiopathic neonatal hepatitis.3 Anamnesis

a. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier. b. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia ilier sering terjadi pada anak perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan tinja akolis lebih awal. c. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang demam atau disertai tanda-tanda infeksi. d. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi 1-antitripsin).3

Pemeriksaan fisik

Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna kehijauan bila kadarbilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin. Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaansklera lebih sensitif. Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus kotapada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang tajam danpermukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage, ataukeganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkanbersamaan dengan mikrosefali, korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain. Alagille mengemukakan 4 keadaan klinis yang dapat menjadi patokan untuk membedakan antara kolestasis ekstrahepatik dan intrahepatik. Dengan kriteria tersebutkolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan kolestasis ekstrahepatik 82% dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi gambaran histopatologi hati.3 Tabel 3. Kriteria klinis untuk membedakan intrahepatik dan ekstraheptik Data klinis Kolestasis Ekstrahepatik Kolestasis Intrahepatik Kemaknaan (P) 0.001

Warna tinja selama dirawat - Pucat - Kuning 79% 21% 26% 74%

Usia tinja akolik (hari) Gambaran klinis hati Normal Hepatomegali**: Konsistensi normal Konsistensi padat Konsistensi keras Biopsi hati*** Fibrosis porta Proliferasi duktuler Trombus empedu intraportal

16 1.5*

30 2*

0.001

0.001 13 12 63 24 47 35 47 6

94% 86% 63%

47% 30% 1%

*MeanSD; **Jumlah pasien;

***Modifikasi Moyer

(Dikutip dari Alagille D. Cholestasis in the newborn and infant. In: Alagille D, Odievre M. Liver and biliary tract disease in children. Paris: Flammarion. 2002:426-38) Tabel 4. Pemeriksaan laboratorium pada kolestasis neonatal Darah Panel hati (alanine transferase, aspartate transaminase, alkaline phosphatase, GGT, Bu, Bc) Darah tepi Faal hemotasis 1-Antitrypsin dan phenotype Kadar asam amino Kadar asan empedu Kultur bakteri RPR Endokrin (indek tiroid)

Urine

Amonia Glukosa Indeks zat besi Hepatitis B surface antigen IgM Total Kultur virus

Zat-zat reduksi Asam organik Succinylacetone Metabolit asam empedu

Kultur bakteri Kultur virus (CMV) Tes keringat Pencitraan Ultrasound (patensi saluran empedu, tumor, kista, dan parenkim hati)

Biopsi hati Evaluasi histologi Mikroskop Elektron Enzim dan analisa DNA Kultur

(Dikutip dari Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal cholestasis. Clin Perinatol. 2002; 29:159-80)

10

Diagnosis

Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antarakolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini obstruksi bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan medikamentosa.3
KOLESTASIS NEONATAL

Anamnesis Klinis

: BBLR, riwayat penyakit keluarga, tinja kuning : tampak sakit

YA Kolestasis intrahepatik

TIDAK Kolestasis ekstrahepati

Pemeriksaan penyaring: - TORCH - Infeksi bakteri - Metabolik Skintigrafi: Ekskresi (+) Non-diagnostik

USG Diagnostik

Pembedahan: tumor, kista, striktur

TIDAK Diagnostik Biopsi hati Proliferasi duktuli Kolangiografi operatif Neonatal Hepatitis Operasi Kasai

YA

11

Klasifikasi Kolestasis Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Kolestasis ekstrahepatik, obstruksi mekanis saluran empedu ekstrahepatik. Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan kelainan nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan 2 saluran empedu ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik. Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi virus terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan berat badan lahir, aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia, malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan kemungkinan adanya atresi bilier. Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan proliferasi saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu di dalam duktuli. Pemeriksaan kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai.3 2. Kolestasis intrahepatik a. Saluran Empedu Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b) Disgenesis saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu intrahepatik (hepatoblas) berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja. Beberapa kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatic fibrosis kongenital, tidak mengenai
12

saluran ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis, Carolis disease mengenai kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi hepatoseluler. Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali fosfatase dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai saluran empedu yang besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda hipertensi portal. Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat neonatal dibanding disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan paucity apabila didapatkan < 0,5 saluran empedu per portal tract. Contoh dari sindromik adalah sindrom Alagille, suatu kelainan autosomal dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1. Sindroma ini ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit multi 3 organ pada mata (posterior embryotoxin), tulang belakang (butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu yang sempit). Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala organ lain. Kelainan saluran empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis neonatal, sindroma hiper IgM, sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan kerusakan pada saluran empedu.3 b. Kelainan hepatosit Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan dan aliran empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang sedikit, fungsi transport masih prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi kolestasis. Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan pada sepsis. Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal hepatopati, suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik, endokrin, metabolik, dan infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran histologis yang serupa yaitu adanya pembentukan multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler dan serbukan sel radang,
13

disertai timbunan trombus empedu pada hepatosit dan kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak dipakai sebagai diagnosa akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan metabolik tidak dapat ditemukan.3 Tabel 5. Kolestasis pada neonatus3 Saluran empedu ekstrahepatik

Saluran empedu intrahepatik


Hepatocytes

Biliary atresia Choledochal cyst dan choledochocele Biliary hipoplasia Choledocholithiasis Bile duct perforation Neonatal sclerosing cholangitis

Syndromic paucity (sindrom Alagille, mutasi pada JAGGED1)

Sepsis-associated cholestasis Neonatal hepatitis

Viral infections: Hepatitis B Cytomegalovirus (juga menginfeksi cholangiocytes) Herpes viruses (simplex and HHV-6 and 8) Adenovirus Enterovirus Parovirus B19 Toxoplasmosis Syphilis Progressive familial intrahepatic cholestasis syndromes Bile acid synthetic defects Urea cycle defects Tyrosinemia Fatty acid oxidation disorders Mithocondrial enzymopathies Peroxisomal disorders(zellweger syndrome) Carbohydrate disorders Lipid storage disorders 1-Antitrypsin deficiency

Nonsyndromic paucity Hypothyroidism Bile duct dysgenesis Congenital hepatic fibrosis Ductal plate malformation Polycystic kidney disease Carolis disease Hepatic cyst Cystic fibrosis Langerhans cell histiocytiosis Hyper-IgM syndrome

14

Neonatal hemochromatosis Total parenteral nutritionassociated cholestasis

Patofisiologi

Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epitelial dimana permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal(kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut ke dalam empedu. Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan ke dalam empedu oleh transporter mrp2. Mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit ke dalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonyugasi.3

15

Perubahan fungsi hati pada kolestasis

Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural: A. Proses transpor hati Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu. B. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi akan terganggu. C. Sintesis protein Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi serum protein albumin-globulin akan menurun. D. Metabolisme asam empedu dan kolesterol Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfahydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun. E. Gangguan pada metabolisme logam Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.

16

F. Metabolisme cysteinyl leukotrienes Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal. G. Mekanisme kerusakan hati sekunder i. Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkankolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akanterganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-ATPase,Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu.Sistim transport kalsium dalam hepatosit juga terganggu. Zatzat lain yang mungkin berperan dalam kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.3 ii. Proses imunologis Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu sehinggamenyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.3 Manifestasi klinis

Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi adalah ikterus, tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasis klinis lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan bilirubin. Dibawah ini bagan yang menunjukkan konsekuensi akibat terjadinya kolestasis.3

17

Gambar 1. Manifestasi klinis kolestasis

KOLESTASIS REGURGITASI/ RETENSI EMPEDU As. Empedu pruritus,hepatotoksik Kolesterol xanthelasma,hiperkolesterolemia Bilirubin ikterus SIROSIS BILIER PROGRESIF Hipertensi portal PENURUNAN ALIRAN EMPEDU KE USUS Konsentrasi asam empedu intraluminal turun: Diare, kalsium turun Malabsorbsi - Def. ADEK - Malnutrisi hambatan pertumbuhan

Tembaga hepatotoksik

18

Penatalaksanaan

Medica-mentosa i. ii. Terapi operasi untuk kolestasis ekstrahepatik Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang diketahui penyebabnya Asam ursodeoksikolat 10-30 mg/kg dalam 2-3 dosis Berkompetisi dengan asam kantung empedu yang toksik, bekerja sebagai bile flow inducer dan supplement, bersifat hepatoprotektor Cholestyramine 0,25-0,5g/kgBB/hari Melekat pada asam empdeu, kolesterol , obatan dan bahan toksik yang lain, mengurangi pruritus Rifampisin 10mg/kgBB/hari Meningkatkan aktivitas enzim mikrosomal, inhibisi uptake asam empedu

Antihistamin : difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati Mengurangi pruritus

19

Terapi supportif

Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung lemak rantai sedang (Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral, progrestimil, Pepti Junior. Protein Usahakan 2-3g/kg/hari kecuali ensefalopatik, chain bercabang asam amino dapat meningkatkan status nutrisi Vitamin yang larut dalam lemak A : 5000-25.000 IU D : calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari E : 25-200 IU/kk/hari K1 : 2,5-5 mg : 2-7 x/ minggu

Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe Asam lemak esensial (asam linoleic, asam linolenic dan asam arakidonat) Vitamin larut air 1-2 x RDA Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA reductase inhibitor contohnya kolestipol, simvastatin. Liver failure: transplantasi.4

20

Non-medica mentosa a. Imunisasi b. Dental hygiene c. Terapi Dilihat progresifitas kondisi klinis seperti ikterus (berkurang, tetap, semakin kuning), besarnya hati, limpa, asites, vena kolateral. Kadar bilirubin direk dan indirek, ALT, AST, GGT, albumin, tes koagulasi dan pencitraan. d. Tumbuh Kembang Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien dengan kolestasis ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian akan mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit. Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan bayi/anak.4

21

b. Sindroma Gilbert Sindroma Gilbert adalah suatu kondisi genetik yang selalu terjadi dan tidak berbahaya. Pada sindroma ini, enzim-enzim hepar yang esensial dalam pembuangan bilirubin mengalami abnormaliti. Kondisi ini juga dikenali sebagai hepatic dysfunction and familial nonhemolytic jaundice. Abnormaliti pada sindroma ini mengakibatkan peningkatan sedikit bilirubin di dalam darah, terutamanya sewaktu kelaparan dan dehidrasi.5 Etiologi

Sindroma Gilbert adalah hasil dari mutasi genetik pada regio promoter pada suatu gen untuk enzim UGT1A, yaitu suatu enzim yang penting dalam metabolisme bilirubin. Gen ini terdapat pada kromosom kedua. Manusia dengan dua kopi regio promoter untuk gen UGT1A menderita sindroma ini, dan pada sindroma ini terjadi peningkatan bilirubin pada penderita. Patofisiologi

Bilirubin adalah bahan buangan alami tubuh yang dihasilkan sewaktu hemoglobin dipecahkan. Sel darah merah yang baru dihasilkan secara terus-menerus oleh sum-sum tulang dan sel darah merah yang lama dipecahkan; setiap sel darah merah bertahan hidup kurang lebih 120 hari. Bilirubin dieleminasi dalam cairan bilier yang diproduksi oleh hepar, tetapi pada Sindroma Gilbert, reaksi enzim yang berperan dalam proses ini melambat dari yang biasa. Oleh itu, terjadi bilirubin yang berlebihan dalam darah sehinggat terjadi ikterus/ jaundis. Sindroma ini merupakan suatu kondisi yang dapat ditularkan secara genetik.5

Epidemiologi

Sindroma Gilbert sering ditemukan pada orang-orang di Amerika Utara dan Eropah. Sindroma ini biasanya dideteksi secara tidak sengaja sewaktu blood screening. Penderita selalunya normal dan tidak terdapat simptom disertai level enzim darah yang normal.

22

Gejala Klinis Sering: fatigue, penat, brain fog, pusing, memori kurang, depresi, dizziness, iritabilitas, mual, hilang selera makan, IBS, sakit dan kram lambung, nyeri hepar/ kantong empedu, nyeri abdominal, tremors, gatal dan jaundis ringan. Biasanya: insomnia, susah fokus, panic attacks, reaksi hipoglikemik pada makanan, intoleransi terhadap KH, intoleransi terhadap makanan dan alkohol, diare, kembung, bengkak abdomen, sukar bernapas, palpitasi jantung, nyeri otot, nyeri sendi, numbness, tingling, lemah, turun berat badan. Kadang: sukar menyatakan kata yang benar, merasa seperti mabuk, intoleransi pada makanan berlemak, refluks asam, rasa haus yang tinggi, nyeri dada, akral dingin, alergi lingkungan, nodus limpa bengkak, mood swings, rasa pahit atau metalik pada mulut, nyeri pada mata. Jarang: waking panic attack, mood swings, rasa antisosial, intoleransi pada obat/ narkoba, konstipasi, feses dempul, indigesti, nyeri bagian belakang badan, kulit kering, rasa dingin, suhu badan turun, kulit pucat, BB rendah, keringat pada malam hari, keringat berlebihan, sistem imun turun, tenggorokan kering/ sakit, sensitif cahaya dan mata berdarah.5

Penatalaksanaan

Tidak diperlukan karena selalunya sembuh sendiri dan prognosis baik.

23

c. Sindroma Crigler-Najjar Sindroma ini merupakan suatu penyakit yang jarang terjadi (1: 106 kelahiran) dan penyakit ini berhubungan dengan berkurangnya aktiviti enzim glukoronil transferase yang lengkap. Penyakit ini menjadi lebih ketara pada waktu neonatal awal, jaundis yang intens terjadi karena bilirubin indirek. Pada pemeriksaan fisik, semuanya normal; analisa biologik hanya mendeteksi bilirubin indirek yang tinggi.6 Diagnosa yang dilakukan adalah jumlah bilirubin indirek, biopsy hati, enzim assay, total bilirubin dan bilirubin direk. Etiologi

Ditularkan dalam kalangan keluarga (keturunan). Seorang anak harus mendapat satu kopi gen yang defektif dari kedua orang tua untuk menderita sindroma ini. Orang tua dengan hanya satu gen yang defektif mempunyai aktivitas enzim setengah dari orang normal.6 Epidemiologi

Sindroma Crigler-Najjar jarang sekali ditemukan, yaitu satu dalam sejuta kelahiran. Penyakit ini dapat ditularkan pada semua jenis ras seluruh dunia dan bisa juga terjadi pada semua jenis kelamin. Patofisiologi

Sindroma Crigler-Najjar terjadi karena adanya perubahan pada urutan koding enzim UGT. ini mengakibatkan tiadanya atau kurangnya enzim uridin difosfat glikosiltransferase (UGT). Sindroma Crigler-Najjar berhubungan hampir sepenuhnya terhadap tiadanya enzim, yang berakibat level bilirubin indirek yang tinggi (> 50 mg/dL) pada waktu kelahiran. Karakteristik Crigler-Najjar yang kedua adalah turunnya level serum bilirubin (>20 mg/dL) dan penurunan besar aktivitas UGT hepar. Pengobatan dengan fenobarbital dapat menginduksi ekspresi UGT pada pasien dengan Crigler-Najjer tipe 2 (Arias syndrome), dengan penurunan levek bilirubin serum sehingga 25%.6

24

Gejala Klinis Konfusi dan perubahan pemikiran Ikterus/ jaundis dan kuning pada sclera yang terjadi beberapa hari setelah lahir dan bertambah buruk hari ke hari

Penatalaksanaan Fototerapi dibutuhkan secara regular sepanjang hidup. Pada bayi, fototerapi dilakukan dengan lampu bilirubin atau lampu biru. Fototerapi tidak efektif untuk anak 4 tahun ke atas karena kulit yang tebal menghalang cahaya. Transplantasi hepar dapat digunakan pada penderita dengan sindroma Crigler-Najjar tipe 1. Tranfusi darah dapat membantu mengontrol jumlah bilirubin dalam plasma darah. Kalsium dapat digunakan untuk binding dan membuang bilirubin dalam usus. Obat fenobarbitol digunakan untuk Arias syndrome (tipe 2) tetapi tidak selalu. Pencegahan Kaunseling tentang genetik direkomendasikan kepada orang tua dengan sejarah sindroma Crigler-Najjar. Uji darah untuk pembawa gen tersebut.6

Komplikasi

Kerusakan otak karena kernikterus, kulit dan sclera kuning yang kronik.

25

d. Hemolytic Disease of the Newborn (HDN) HDN atau erythroblastosis fetalis merupakan suatu penyakit darah yang terjadi apabila tipe darah si ibu dan anak tidak kompatibel. Jika tipe darah bayi masuk ke darah si ibu sewaktu dalam kandungan atau sewaktu kelahiran, sistem imun si ibu akan melihat darah bayi sebagai suatu bahan dari luar dan akan menghasilkan antibodi untuk menyerang dan menghapuskan sel darah merah bayi. Keadaan ini akan mengakibatkan komplikasi dari ringan ke berat. Sistem imun ibu menyimpan antibodi yang dihasilkannya tadi dan jika terjadi inkompatibilitas lagi, hal yang sama akan terjadi kepada sel darah merah bayinya. Oleh karena itu, HDN sering terjadi pada ibu yang mengandung kedua kalinya atau kandungan setelah yang pertama, atau juga setelah keguguran atau aborsi.

Etiologi

Tipe darah seseorang ditentukan dengan adanya dua protein yang berbeda yang dikenali sebagai antigen. Antigen A, B, dan O mempresentasikan tipe darah seseorang sebagai tipe A, B, AB atau O. Jika seseorang mempunyai faktor Rh antigen, darahnya mungkin Rh-positif atau Rh-negatif. Inkompatibilitas Rh: HDN yang selalu terjadi apabila ibu dengan Rh-negatif mengandung anak dari ayah yang Rhpositif mendapat anak yang Rh-positif. Inkompatibilitas ABO: Tidak selalu terjadi. HDN ini terjadi bila seorang ibu dan bayinya mempunyai tipe darah yang tidak sama, seperti:

Tipe darah ibu Tipe darah anak

O A atau B

A B

B A

26

Epidemiologi

HDN jarang terjadi karena adanya deteksi dini dan pengobatan. Terdapat kurang lebih 4000 kasus per tahun di Amerika Serikat. HDN selalunya terjadi pada kandungan yang kedua atau kandungan seterusnya. HDN dengan inkompatibilitas Rh lebih sering terjadi berbanding inkompatibilitas ABO. Tiga kali lebih rentan pada bayi Kaukasia berbanding bayi AfrikaAmerika.7 Gejala Klinis Kulit pucat Kuning pada cairan amnion, tali pusat, kulit dan mata Pembesaran hati atau limpa Bengkak berat pada badan

Penatalaksanaan

HDN pada neonatus dapat dicegah. Wanita yang bakal menjadi ibu atau yang menginginkan anak selalunya dilakukan test darah. Jika seorang ibu itu Rh-negatif dan belum lagi disensitisasi, dia akan diberikan obat Rh immunoglobulin atau RhoGAM. Obat ini akan memproduksi produk darah yang akan mencegah antibodi ibu dengan Rh-negatif dari bereaksi pada darah Rh-positif bayinya. Selalunya RhoGAM diberikan pada minggu ke-28 kandungan dan sekali lagi dalam 72 jam sebelum bayi lahir.7 Komplikasi Semasa dalam kandungan: Anemia ringan/ berat, hiperbilirubinemia dan jaundis, hidrops fetalis. Setelah bayi lahir: Hiperbilirubinemia berat dan jaundis, kernikterus.7

27

e. Hepatitis Hepatitis merupakan radang pada hepar yang bisa disebabkan oleh virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Diagnosa

Terutama berdasarkan pemeriksaan serologi: HBsAg, AntiHbs, AntiHbc (IgM/ total) HASIL PEMERIKSAAN anti-HAV IgM + + + HBsAg + Anti-HBc Infeksi hepatitis A akut yang baru terjadi Infeksi hepatitis B akut dini Infeksi Hep B akut atau kronis/ karier dengan gejala yang tidak ada hubungannya dengan tipe B + Kemungkinan baru terinfeksi Hep B. Bila antiHBs (+) infeksi Hep B yang lalu atau non-A non-B atau virus lain. Bila anti HBs (-) infeksi Hep B akut baru terjadi + + + Infeksi Hep non-A, non-B atau virus lain Hep A baru terjadi dan infeksi Hep B kronis. Gambaran yang jarang terjadi. INTERPRETASI

Etiologi

Pada bayi baru lahir, hepaitits terutama disebabkan oleh HVB. HVB mempunyai besar 42 nm, mempunyai envelop yang juga merupakan protein surface antigen (HBsAg). HBV mempunyai nucleocapsid icosahedral, genom DNA circular dan partially double-stranded (4 gen surface protein, core protein, DNA polymerase, X protein). Hanya menusia hospes alami HBV dan tidak ada hewan reservoir.8

28

HBV spesifik menginfeksi hati karena reseptor spesifik untuk virus terdapat pada membrana sel hepatosit yang memudahkan masuk(entry) dan faktor transkripsi hanya ada dalam sel hati (postentry). Replikasi terjadi dengan: Virus masuk dalam sel (viropexis) uncoating DNA polymerase mensintesis rantai DNA virus yang kosong (missing portion of DNA) genom jadi double-stranded penuh dan sirkular (terjadi dalam nukleus sel). Rantai DNA ini menjadi template mRNA dengan pertolongan RNA polymerase sel dibuat rantai lengkap mRNA (+) merupakan template rantai DNA (-) virus. Rantai DNA (-) virus template DNA (+) virus. RNA dependent DNA sintesis terjadi dalam virion yang baru dibentuk dalam sitoplasma sel. RNA dependent DNA sintesis (membuat genom virus) maupun DNA dependent DNA sintesis (membuat missing portion of DNA) dilakukan enzim yang sama (genom HBV hanya mengkode 1 enzim polymerase). Hepadnavirus satu-satunya virus yang membuat rantai DNA dengan reverse transcriptase dari mRNA sebagai template (mirip retrovirus). Beberapa DNA diintegrasikan dengan DNA sel carrier state. Progeny virus lengkap dengan envelop (HBsAg) keluar sel dengan cara budding melalui membrana sel.8 Epidemiologi

HBV virus berenvelop peka kondisi lingkungan luar Tiga cara penularan utama: 1. Darah Tusukan jarum suntik, transfuse darah 2. Hubungan seksual 3. Perinatal: tertular waktu lewat jalan lahir, ASI Hepatitis B terdapat di seluruh dunia terutama Asia, lebih dari 300 juta orang hepatitis kronik 75% adalah orang asia. Di Asia, insidens hepatocelluler carcinoma tinggi menunjukkan HBV adalah virus tumor.

29

Gejala klinis

Masa inkubasi berkisar 40-180 hari. Akut: Infeksi subklinik: tidak ada gejala hanya HBsAg (+) paling sering. Infeksi klinik dengan gejala: Tanpa ikterus: lesu, anoreksia, urin coklat tua, tes fungsi hati meningkat Dengan ikterus: lesu, anoreksia, urin coklat tua, ikterus, tes fungsi hati meningkat

Kronik (Carrier bula HBsAg (+) kurang lebih 6 bulan) Kronik persisten: klinis sehatm, tes fungsi hati sedikit meningkat, infeksius Kronik aktif: gejala hepatitis (+)8

1.4 ETIOLOGI Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih pendek.

Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase, UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit dan konjugasi.

Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh faktor/keadaan:

Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat.

Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin. Polisitemia. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
30

Ibu diabetes. Asidosis. Hipoksia/asfiksia. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.9

1.5 EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65% mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998 menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama. Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia.9 Faktor Risiko

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum: a.


Faktor Maternal Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik. ASI Faktor Perinatal
31

b.

Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis) Infeksi (bakteri, virus, protozoa) Faktor Neonatus

c.

Prematuritas Faktor genetik Polisitemia Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol) Rendahnya asupan ASI Hipoglikemia Hipoalbuminemia9,10

1.6 PATOFISIOLOGI Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahanlahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu. Ikterus fisiologis Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.

Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80

32

hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.10

Gambar berikut menunjukan metabolisme pemecahan hemoglobin dan pembentukan bilirubin.

Ikterus pada bayi mendapat ASI (Breast milk jaundice) Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah.

Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.

33

1.7 GEJALA KLINIS Secara garis besar, batasan kekuningan bayi baru lahir karena proses fisiologis adalah sebagai berikut:

Warna kekuningan tampak pada hari kedua sampai hari keempat. Secara kasat mata, bayi nampak sehat. Warna kuning berangsur hilang setelah 10-14 hari. Kadar bilirubin (pigmen empedu) dalam darah kurang dari 12 mg%.

Adapun warna kekuningan pada bayi baru lahir yang patologis antara lain: Warna kekuningan nampak pada bayi sebelum umur 36 jam. Warna kekuningan lebih cepat menyebar keseluruh tubuh bayi. Warna kekuningan lebih lama menghilang, biasanya lebih dari 2 minggu. Bayi tampak tidak aktif, tak mau menyusu, cenderung lebih banyak tidur, disertai suhu tubuh yang mungkin meningkat atau malah turun. Adakalanya disertai dengan anemia (pucat). Jika air kencingnya berwarna tua seperti air teh. Kadar bilirubin dalam darah lebih dari 12 mg% pada bayi aterm dan > 10 mg% pada bayi prematur. Jika ada tanda-tanda patologis seperti atas, bayi tersebut perlu untuk mendapatkan pemeriksaan dan perawatan medis.11

34

1.8 PENATALAKSANAAN Pada bayi baru lahir dengan warna kekuningan fisiologis, tidak berbahaya dan tidak diperlukan pengobatan khusus, kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya. Prinsip pengobatan warna kekuningan pada bayi baru lahir adalah menghilangkan penyebabnya. Tujuan utama penatalaksanaan ikterus neonatal adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menimbulkan kernikterus/ensefalopati biliaris, serta mengobati penyebab langsung ikterus tersebut. Pengendalian bilirubin juga dapat dilakukan dengan mengusahakan agar kunjugasi bilirubin dapat dilakukan dengan megusahakan mempercepat proses konjugasi. Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakanpula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.11

1.8.1 Medica-mentosa i. Terapi Sinar Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakanbentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. Terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama
35

kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan. Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon yang diletakkan secara paralel dan dipasang dalam kotak yang berfentilasi. Agar bayi mendapatkanenergi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagianbawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelahpenggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembalisinar sebanyak mungkin ke arah bayi. Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar 8 bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidakperlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 mol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efeksamping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.

36

ii. Transfusi tukar Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perludi perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin. Berat Bayi (gram) Tidak Komplikasi (mg/dL) Rasio Bili/Alb Ada Komplikasi (mg/dL) Rasio Bili/Alb

< 1250 1250 1499 1500 1999 2000 2499 18 2500

13 15 17 18 20

5.2 6 6.8 7.2 8

10 13 15 17 18

4 5.2 6 6.8 7.2

Yang dimaksud ada komplikasi apabila: 1. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5 2. PaO2 < 40 torr selama 1 jam 3. pH < 7,15 selama 1 jam 4. Suhu rektal 35 5. Serum Albumin < 2,5 g/dL 6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti 7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
37

8. Anemia hemolitik 9. Berat bayi 1000 g Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positif. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapatdimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB. Macam Transfusi Tukar: 1. Double Volume artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb bayi. 2. Iso Volume artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat mengganti 65% Hb bayi. 3. Partial Exchange artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus polisitemia atau darah pada anemia. Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yangdilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya komplikasi transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung. Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (transportable) dengan memperhatikan syaratsyarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.

38

iii.

Pemberian ASI (Air Susu Ibu)

Pada bayi yang kuning sebagian ibu-ibu menghentikan pemberian ASI. Justrupemberian ASI tidak boleh dihentikan, bahkan harus ditingkatkan (lebih kurang 10-12 kali sehari). Banyak minum ASI dapat membantu menurunkan kadar bilirubin, karena bilirubin dapat dikeluarkan melalui air kencing dan kotoran bayi. Sedangkan pemberian banyak air putih tidak akan menurunkan kadar bilirubin.
iv.

Terapi dengan sinar matahari

Terapi dengan sinar matahari saat ini masih menjadi perdebatan. Dasar pemberian sinar matahari karena sinar matahari mempunyai panjang gelombang sekitar 450-460 nm. Sinar yang mempunyai spektrum emisi pada panjang gelombang tersebut (warna biru, putih dan sinar matahari), akan memecah bilirubin menjadi zat yang mudah larut dalam air.

Bayi yang kuning dengan kadar fisiologis, dapat dijemur di bawah sinar matahari pagi antara pukul 07.00 sampai 09.00, adalah merupakan waktu yang paling efektif, jadi tidak dapat sepanjang waktu, serta belum terlalu panas. Penjemuran biasanya diberikan selama lebih kurang 15 hingga 30 menit. Bayi dijemur tanpa busana, lindungi mata dan kemaluan bayi dari sorot sinar matahari secara langsung. Beberapa ahli yang tidak setuju dengan penjemuran, berpendapat bahwa meletakkan bayi dibawah sinar matahari tidak akan menurunkan kadar bilirubin dalam darah. Malahan sinar matahari tersebut akan menyebabkan luka bakar pada kulit. Selain itu bayi akan kedinginan. Oleh karena itu yang terpenting ialah memberikan ASI secara cukup dan teratur pada bayi-bayi yang kuning, bahkan dengan frekuensi yang lebih ditingkatkan. Kuning ialah suatu pertanda, merupakan proses alamiah walaupun dapat pula menjadi sesuatu yang patologis. Yang penting diperhatikan ialah kuning harus dapat dikendalikan sehingga tidak menjadikan bahaya. Penjemuran dengan sinar matahari masih dapat dilakukan dengan memperhatikan kondisi-kondisi yang menjadi kontra indikasi.10,11

39

1.8.2 Non medica-mentosa Pencegahan Perlu dilakukan terutama bila terdapat faktor risiko seperti riwayat inkompatibilitas ABO sebelumnya. AAP dalam rekomendasinya mengemukakan beberapa langkah pencegahan hiperbilirubinemia sebagai berikut: 1. Primer AAP merekomendasikan pemberian ASI pada semua bayi cukup bulan dan hampir cukup bulan yang sehat. Dokter dan paramedis harus memotivasi ibu untuk menyusukan bayinya sedikitnya 8-12 kali sehari selama beberapa hari pertama. Rendahnya asupan kalori dan atau keadaan dehidrasi berhubungan dengan proses menyusui dan dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Meningkatkan frekuensi menyusui dapat menurunkan kecenderungan keadaan hiperbilirubinemia yang berat pada neonatus. Lingkungan yang kondusif bagi ibu akan menjamin terjadinya proses menyusui yang baik. AAP juga melarang pemberian cairan tambahan (air, susu botol maupun dekstrosa) pada neonatus nondehidrasi. Pemberian cairan tambahan tidak dapat mencegah terjadinya ikterus neonatorum maupun menurunkan kadar bilirubin serum.

2. Sekunder Dokter harus melakukan pemeriksaan sistematik pada neonatus yang memiliki risiko tinggi ikterus neonatorum. Pemeriksaan Golongan Darah Semua wanita hamil harus menjalani pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta menjalani skrining antibodi isoimun. Bila ibu belum pernah menjalani pemeriksaan golongan darah selama kehamilannya, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan golongan darah dan Rhesus. Apabila golongan darah ibu adalah O dengan Rh-positif, perlu dilakukan pemeriksaan darah tali pusat. Jika darah bayi bukan O, dapat dilakukan tes Coombs.10,11

40

1.9 KOMPLIKASI Jika bayi kuning patologis tidak mendapatkan pengobatan, maka akan terjadi penyakit kernikterus. Kernikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak terkonjugasi dalam sel-sel otak. Ker ikterus dapat menimbulkan kerusakan otak dengan gejala gangguan pendengaran, keterbelakangan mental dan gangguan tingkah laku.11 1.10 PROGNOSIS

Prognosisnya baik dengan adanya observasi yang baik dari ibu dan ayah serta dokter.11

41

Bab III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Kuning pada bayi atau jaundice atau ikterus, pada kulit dan mata bayi dapat merupakan tanda alami adanya gangguan fungsi hati yang belum sempurna pada bayi. Tetapi bisa juga terjadi karena gangguan patologis yang dapat meningkatkan kadar biliruibin sangat tinggi. Terjadinya kuning pada mata atau kulit disebabkan peningkatan kadar bilirubin dalam darah bayi. Normalnya, bilirubin akan di metabolisme di hati agar efek racunnya hilang. Setelah di metabolisme menjadi bilirubin terkonyugasi atau terikat albumin akan dibuang bersama tinja dan sebagian kecil kembali lagi ke hati. Pada kondisi bayi kuning, kedua bentuk bilirubin ini dapat meningkat. Apabila yang meningkat adalah bilirubin bebas tidak terikat albumin dengan kadar yang sangat tinggi maka dapat mengendap di sel-sel otak yang mengakibatkan terjadinya kejang.

3.2 Saran Oleh karena ikterus fisoiologis dapat terjadi pada neonatus, maka observasi dari orang tua amat penting dalam memastikan kesehatan bayi, terutamanya untuk mengelakkan terjadinya kernikterus dan penyakit terkait lainnya.

42

DAFTAR PUSTAKA
1. Roberts EA. The jaundiced baby. In: Deirdre A Kelly. Disease of the liver and biliary system 2nd Ed. Blackwell Publishing 2004, p.35-73. 2. Camilia R.M, Cloherty J.P. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty J.P et al Manual of Neonatal Care 5th Ed., Lippincott Williams & Wilkins, 2004: p.185-221. 3. A Kader HH, Balisteri WF. Neonatal cholestasis. In: Behrman, Kliegman, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics 17th Ed. Saunders, 2004; p.1314-19. 4. Karpen SJ. Update on the etiologies and management of neonatal cholestasis. Clin Perinatol. 2002; 29:p.159-80. 5. Worden J. Gilberts Syndrome, Jun 2011. Diunduh dari: http://www.medterms.com/script/main/art.asp?articlekey=7411, 16 Jun 2011. 6. Labrune P. Crigler Najjars Syndrome, Januari 2004. Diunduh dari: http://www.orpha.net/data/patho/Pro/en/CriglerNajjar-FRenPro242.pdf, 16 Jun 2011. 7. Creasy RK, Resnik R. Maternal fetal medicine. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders; 2004. p.537-54. 8. MacSween. Pathology of the liver. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier Limited; 2007. p.159-65. 9. Maisels MJ. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Klaus MH and Fanaroff AA. Care of the High-Risk Neonate. 5th Ed, WB Saunders Co. 2001 : 324-62. 10. Rennie J.M, Roberton NRC. Neonatal Jaundice Dalam: A Manual of Neonatal Intensive Care 4th Ed, Arnold, 2002 : 414-32. 11. Nelson textbook of Pediatric. Hyperbilirubinemia Dalam: Nelson textbook of Pediatric , 17th Ed, Philadelphia WB Saunders, Co, 2004.

43

Anda mungkin juga menyukai