Anda di halaman 1dari 6

1

Pertanggungjawaban Pidana Pejabat Berwenang Pada Pasal 112 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap Akibat Dari Pencemaran Dan Perusakan Pertambangan Yang Menimbulkan Hilangnya Nyawa Manusia: Pasal 112 menyebutkan bahwa: bahwa setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Unsur Objektif: - Perbuatan: tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72. - Objek - Akibat : lingkungan hidup dan manusia. : mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia. Unsur Subjektif: - pejabat berwenang - dengan sengaja Permasalahan: Pada pasal 112 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah disebutkan bahwa pejabat yang dengan

sengaja tidak melakukan pengawasan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia disini dapat disimpulkan bahwa pejabat yang berwenang dapat dituntut pidana penjara atau denda apabila dengan sengaja tidak melakukan ketentuan sebagaimana pasal 112 jelaskan. Pejabat berwenang yang merupakan ujung tombak pemberian izin terhadap seluruh kegiatan pertambangan di Indonesia seakan lepas tangan dan sampai saat ini tidak ada yang dikenakan ancaman pidana, padahal banyak kasus sampai saat ini akibat dari perusakan dan pencemaran yang dilakukan oleh setiap pertambangan yang nakal menimbulkan korban bagi warga yang tidak tahu apa-apa tentang proses pertambangan. Sebenarnya apabila usaha pertambangan sampai melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan berarti usaha pertambangan tersebut sudah melanggar peraturan perundang-undangan sesuai pasal 112 dan harus ditindak lanjuti oleh pejabat berwenang, namun dalam faktanya seolah-olah pejabat berwenang seakan membiarkan perusakan dan pencemaran tersebut ditanggulangi dan malahan ditindak secara lamban. Hal ini bisa menyebabkan korban dari warga yang berada disekitar pertambangan tersebut. Pasal 112 ini juga memuat ketentuan yang penjatuhan pidananya sangat ringan terhadap pejabat berwenang, padahal dampak yang dihasilkan dari kesengajaan tidak dilakukannya pengawasan dapat mengakibatkan banyak korban yang berjatuhan. Ancaman Pidana Penjara 1 tahun dan atau denda Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sangat memudahkan pemerintah untuk memilih ancaman pidana denda dari pada penjara, karena para pejabat kebanyakan mempunyai kekayaan yang mencukupi. Hal ini membuat pemerintah seakan lepas tangan apabila terjadi jatuh koraban akibat perusakan atau pencemaran, namun pertanggung jawaban tersebut malah lebih ditekankan pada Pengusaha Pertambangan yang telah membuat perusakan dan pencemaran, padahal sebenarnya pejabat berwenang didaerah pertambangan tersebut yang memberikan Izin Usaha Pertambangan dapat dijatuhi ancaman pidana.

Pada unsur dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan /atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 ini menunjukkan bahwa kata dengan sengaja tidak melakukan disini bisa diartikan tidak melakukan pengawasan oleh pejabat berwenang itu sendiri tetapi pengawasan tersebut telah didelegasikan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggungjawab dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sehingga pejabat berwenang menganggap ia telah melakukan pengawasan terhadap instansi yang ada dibawahnya, padahal pejabat berwenang tersebut sudah lepas tangan sama sekali. Unsur dengan sengaja tidak melakukan seperti diatas sangat sulit dibuktikan seperti yang saya jelaskan diatas, Selain itu pejabat yang berwenang mempunyai kekuatan untuk terhindar dari hukum karena dalam faktanya Peraturan itu tunduk oleh Pejabat Berwenang, hal ini dapat kita lihat pada Hukum Pidana Progresif yang dilahirkan oleh Satjipto Rahardjo. Pada pasal 116 Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada intinya memuat ketentuan pidana yang subjeknya adalah Korporasi atau Badana Usaha yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup dapat dijatuhi ancaman pidana, sehingga pada faktanya korporasi sendirilah yang bertanggung jawab secara perdata ataupun pidana apabila terjadi perusakan atau pencemaran, sehingga pejabat berwenang tidak terlalu di kedepankan apabila terjadi perusakan dan pencemaran yang dilakukan oleh setiap usaha pertambangan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang akibat dari pencemaran atau perusakan oleh usaha pertambangan. Meskipun dalam Undang Undang Lingkungan Hidup lebih mengutamakan sanksi administratif atau bersifat preventif daripada represif. Hal ini tidak melepaskan sanksi pidana apabila telah menjalankan sanksi administratif. Hal ini telah dijelaskan pada pasal 78 yaitu: Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/ kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.

Pertanggung jawaban pemerintah/pejabat berwenang dalam kasus PT. Lapindo Berantas tidak sesuai dengan Undang Undang Lingkungan Hidup yaitu pertanggung jawaban mutlak (strict liability) yang seharusnya pemerintah jalankan tetapi pemerintah membebankan pertanggung jawaban kepada PT. Lapindo Berantas. Hal ini asal PT. Lapindo Berantas dapat membuktikan bahwa kerusakan itu terjadi disebabkan oleh bencana alam. Apabila penanggung jawab usaha dapat membuktikan di pengadilan bahwa hal itu disebabkan karena bencana alam maka berdasarkan Undang Undang Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemerintah dapat bertanggung jawab terhadap korban lumpur sidoardjo. Pada ketentuan pasal 72 dan pasal 73 Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yaitu: Pasal 71: (1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional. Pasal 72: Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin lingkungan.

Setelah melihat pasal 71 dan 72 yang merupakan acuan dari pasal 112 Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tersebut dapat disimpulkan apabila pejabat seperti Menteri, gubernur, atau bupati/walikota yang melakukan pengawasan secara langsung atau melalui pendelegasian wewenang terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang kemudian dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundangundangan dan izin lingkungan dapat dikenakan pidana penjara dan/atau denda Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pada Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara memuat perizinan berupa Izin Usaha Pertambangan yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang tidak memuat sanksi pidana bagi pejabat berwenang yang telah mengeluarkan izin usaha pertambangan seandainya perusahaan pertambangan tersebut melanggar Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tersebut. Izin usaha pertambangan yang sebagaimana banyak dijelaskan dalam Undang Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Minerba dan Batubara sebenarnya dapat dikaitkan dengan Pasal 112 Undang Undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu izin- izin yang diberikan bagi setiap usaha pertambangan apabila mengakibatkan kerusakan dan menimbulkan kehilangan nyawa, pejabat berwenang dapat dijatuhi ancaman pidana sebagaimana Pasal 112 jelaskan meskipun dalam Undang Undang Minerba dan Batubara tidak memuat ancaman pidana bagi pejabat berwenang tersebut.

Contoh Kasus: Korban Bekas Lubang Tambang Batubara Kekayaan sumber daya alam yang tidak terbarukan, berupa minyak bumi sebanyak 57 juta perbarer, gas bumi 1, 98 ton, dan batubara sebanyak 160 juta ton pertahunnnya ( data Kaltim post, 5 Juli 2011), ini memberi peluang bisnis bagi usaha usaha pertambangan yang berorentasi pasar. Menurut Kementerian ESDM ada 8 ribu ijin

usaha pertambangan, 6 ribu izin bermasalah dengan tumpang tindih setiap daerah, termasuk di Kota Samarinda. Usaha pertambangan di Kota Samarinda, telah memberi implikasi dalam segala aspek kehidupan dan menimbulkan dampak yang signifkan bagi masyarakat. Usaha pertambangan penyumbang terbesar pembakaran fosil yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Kota Samarinda dengan luas 71.800 ha, telah dikuasai IUP sebanyak 76. ini berarti hampir 71% wilayah Kota Samarinda telah dikapling tambang batubara. Ini jelas, bahwa usaha pertambangan batubara di Kota Samarinda sudah melebihi batas daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal ini mengibiri hak asasi setiap warga, terhadap hak atas lingkungan yang baik dan sehat, yang dijamin Pasal 28H UUD 1945. Kemudian dapat dikatakan bahwa, dalam pelaksaannya usaha pertambangan Kota Samarinda, mengabaikan nilai-nilai yang terkandung dalam pelestarian lingkungan . Hal lain adanya tambang, menimbul dampak lingkungan baik berupa pencemaran maupun kerusakan lingkungan seperti: banjir, jalan public rusak, kesehatan, pembeban APBD yang lebih besar untuk mengatasi banjir, sistem budaya dan lain-lain. Dampak lingkungan akibat tambang dalam minggu ini, menjadi headline beberapa media, karena mengakibatkan kematian, sehingga menguras air mata semua warga kota ini. Usaha pertambangan yang digadang-gadang menjadi primadona kota ini, meninggalkan luka yang dalam, bekas lubang tambang membawa petaka, dengan 3 bocah tewas di lubang bekas tambang batubara. Petaka yang tidak seharusnya terjadi.

Anda mungkin juga menyukai