Anda di halaman 1dari 23

Hak dan Kebebasan Beragama

Topik kebebasan dan hak azasi manusia adalah topic yang universal, namun ia tidak berarti netral. Sebab pembahasan mengenai kebebasan dan HAM pada umumnya hanya dalam perspektif manusia yang dalam peradaban Barat telah terbentuk dalam doktrin humanisme. Humanisme sendiri selalu dihadapkan atau berhadap-hadapan dengan agama. Ini sekaligus merupakan pertanda bahwa orientasi manusia Barat telah bergeser dari sentralitas Tuhan kepada sentralitas manusia. Manusia lebih penting dari agama, dan sikap manusiawi seakan menjadi lebih mulia daripada sikap religius. Dalam situasi seperti ini topik mengenai kebebasan beragama dipersoalkan. Akibatnya terjadi ketegangan dan perebutan makna kebebasan beragama antara agama dan humanisme. Ketika humanisme memaknai kebebasan beragama standar kebebasannya tidak merujuk kepada agama sebagai sebuah institusi dan ketika agama memaknai kebebasan ia menggunakan acuan internal agama masing-masing dan selalunya tidak diterima oleh prinsip humanisme. Humanisme dianggap anti agama dan sebaliknya agama dapat dituduh anti kemanusiaan. Ketegangan ini perlu diselesaikan melalui kompromi ditingkat konsep dan kemudian dikembangkan pada tingkat sosial atau politik. Dan untuk itu agama-agama perlu membeberkan makna dan batasan atau tolok ukur kebebasannya masing-masing. Sementara itu prinsip-prinsip HAM perlu mempertimbangkan prinsip internal agama-agama. Makalah ini akan mencoba mengelaborasi makna hak dan kebebasan dari perspektif Islam, DUHAM dan perundang-undangan di Indonesia.

Sejarah Ahmadiyah
Ulama besar India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi, mengatakan gerakan Ahmadiyah menambah beban pekerjaan rumah umat Islam Saya tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad seorang nabi dan belum percaya pula bahwa ia seorang mujaddid *pembaharu+, tulis Ir. Soekarno dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, jilid 1, cetakan ke-2, Gunung Agung Jakarta, 1963, hlm. 345. Mantan Presiden RI pertama itu tidak keliru dan bukan pula sendirian. Jauh sebelum itu, tokoh pemikir masyhur Sir Muhammad Iqbal ketika ditanya oleh Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri India waktu itu, perihal Ahmadiyah dengan tegas menjawab bahwa wahyu kenabian sudah final dan siapapun yang mengaku dirinya nabi penerima wahyu setelah Muhammad saw adalah pengkhianat kepada Islam: No revelation the denial of which entails heresy is possible after Muhammad. He who claims such a revelation is a traitor to Islam (Lihat: Islam and Ahmadism, cetakan Islamabad: Dawah Academy, 1990, hlm. 8). Iqbal menangkap banyak kemiripan antara gerakan Ahmadiyah di India dengan Babiyah di Persia (Iran), yang pendirinya juga mengklaim dapat wahyu sebagai nabi. Menurut Iqbal, tokoh-tokoh kedua aliran sesat ini merupakan alat politik belah bambu kolonialis Inggris -yang waktu itu masih bercokol di Indiadan imperialis Rusia -yang sempat menjajah Asia Tengah dan sebagian Persia. Akidah mereka adalah kepasrahan pada penguasa (political servility), jelas Iqbal (hlm. 13). Jika pemerintah Russia mengijinkan Babiyah membuka markas mereka di Ishqabad, Turkmenistan, maka pemerintah Inggris merestui Ahmadiyah mendirikan pusat misi mereka di Woking, wilayah tenggara England. Bagi Iqbal, doktrindoktrin Ahmadiyah hanya akan mengembalikan orang kepada kebodohan. Inti dari Ahmadisme atau Qadianisme -demikian Iqbal lebih suka menyebutnya- adalah rekayasa mencipta sebuah umat baru bagi nabi India (sebagai tandingan nabi Arabia): to carve out, from the Ummat of the Arabian Prophet, a new ummat for the Indian prophet. (hlm. 2). Seorang ulama India yang paling disegani pada zamannya, Syed Abul Hasan Ali an-Nadwi, sesudah mempelajari secara intensif dan objektif perjalanan hidup dan evolusi Mirza Ghulam Ahmad dari seorang santri sederhana hingga menjadi pembela agama (1880) dan mengaku imam mahdi alias masih mawud (1891) serta menganggap dirinya nabi (1910), menyimpulkan bahwa gerakan Ahmadiyah ini hanya menambah beban pekerjaan rumah umat Islam, memecah-belah mereka, dan membikin masalah

umat kian rumit (Lihat: Qadianism: A Critical Study, cetakan Lucknow 1980, hlm. 155). Bahwa esensi ajaran Ahmadiyah adalah klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad juga disimpulkan oleh Yohanan Friedman, peneliti dari Hebrew University of Jerusalem, dalam bukunya, Prophecy Continous: Aspects of Ahmadi Religious Thought and Its Medieval Background, Berkeley: University of California Press, 1989, hlm. 119, 181 dan 191

KWI: Indonesia Butuh UU Kebebasan Beragama


TEMPO Interaktif, Jakarta - Sekretaris Jenderal Konferensi Waligereja Indonesia Benny Soesatyo mengatakan yang dibutuhkan masyarakat Indonesia adalah Undang-Undang Kebebasan Beragama. "Di mana negara beri jaminan kepada warganya untuk bebas ekspresikan keyakinannya dan tidak kesulitan beribadah,"ujarnya ketika dihubungi, Kamis (10/2).

Menurut dia, Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 tentang hak asasi warga negara yang juga menyebutkan mengenai hak beragama masih harus diturunkan dalam bentuk UU. Namun, kata Romo Benny, bentuknya bukanlah UU Kerukunan Umat Beragama.

"Nanti justru malah diatur sedemikian rupa soal pernikahan, kelahiran, tempat disemayamkan. Umat malah dikotak-kotakkan," ucapnya.

Dengan UU Kebebasan Beragama, kata dia, pemerintah juga diharapkan tidak lagi absen. Sebab, selama ini ia menilai negara seperti tunduk kepada pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama.

"Kekerasan seolah-olah mendapat perlakuan istimewa dan orang-orangnya kebal hukum. Dengan UU ada jaminan pasti aparatur negara untuk hadir menjaga," tutur Benny.

Ia menambahkan segala bentuk kekerasan tidak bisa diterima apa pun alasannya. "Apa pun keyakinannya, hak warga negara untuk beribadah itu dijamin dan kekerasan tidak dibenarkan," kata Romo Benny.

Kebebasan Beragama: Pelaksanaan Peraturan Tergantung Kepemimpinan

there are no translations available.

Jakarta, Kompas - Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menilai Peraturan Bersama (bukan Surat Keputusan Bersama seperti diberitakan sebelumnya) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah tak bermasalah. Peraturan bersama ini juga masih diperlukan guna menata kehidupan umat beragama yang beragam di Indonesia. Tidak ada masalah dengannya. Prinsip peraturan itu adalah mengatur dan menata, kata Gamawan, Jumat (17/9), dalam silaturahim dengan wartawan di Jakarta. Namun, Gamawan mengakui, pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sangat bergantung pada kepemimpinan di daerah. Kemampuan wali kota, bupati, dan gubernur dalam melakukan pendekatan saat menerapkan peraturan bersama menentukan hasil yang diperoleh. Dalam kasus HKBP Bekasi, Gamawan menilai memang ada yang tidak beres. Bayangkan selama 19 tahun tidak beres-beres. Ada apa di balik itu? ujar Gamawan. Untuk melancarkan tugas menegakkan peraturan bersama, Gamawan menegaskan bahwa Wali Kota Bekasi seharusnya bisa meminta masukan dari Forum Komunikasi Umat Beragama di Bekasi. Wali Kota juga bisa meminta masukan dari Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi.

Peraturan bersama, menurut Gamawan, tidaklah menyulitkan. Untuk mendapatkan persetujuan 60 warga guna mendirikan tempat ibadah, yang ditandai dengan bukti KTP, bukan hal berat. Kalau satu rumah ada tiga orang pemegang KTP, dari 20 rumah saja syarat itu bisa terpenuhi. Jadi, rasanya tidak susah, kok, ujar Gamawan. Jadi masalah Dalam diskusi publik di Jakarta, kemarin, Pendeta Shephard Supit mengatakan, peraturan bersama itu selalu menjadi masalah. Salah satu ketentuan yang dinilai selalu menjadi masalah adalah persyaratan dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Mungkin di antara 60 orang, 58 orang sudah setuju, tetapi ada dua orang yang tidak setuju. Akibatnya, pendirian gereja batal, katanya. (egi/ato/fer/nwo)

Kebebasan Beragama dan Implementasi HAM di Indonesia

Demokrasi tanpa kebebasan sipil, demikian istilah yang melekat untuk Indonesia dengan iklim kehidupan sosial politiknya. Apalagi jika kita menyoroti kondisi kehidupan beragama, kebebasan agaknya merupakan sebuah barang langka. Karena melaksanakan sholat dua bahasa Usman Roy harus mendekam dalam penjara, perlakuan yang sama juga dialami oleh Lia Aminuddin sebagai pemimpin komunitas eden karena dianggap sebagai nabi palsu. Belum lagi teror fisik dan penyerangan yang dilakukan terhadap Jamaah Ahmadiyah, serta kasus terakhir yang belakangan ini menimpa Ahmad Mushadieq dengan ajaran al-qiyadah al-Islamiyahnya. Seluruh catatan-catatan fenomena tersebut menjadi bukti nyata bahwa Indonesia merupakan negeri yang belum cukup longgar terhadap kebebasan beragama. Padahal, Indonesia merupakan negeri pancasila yang mencerminkan keanekaragaman dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika-nya. Apa yang salah dengan negeri pancasila?, bukankah kebebasan beragama telah mendapatkan jaminan konstitusi yang cukup kuat di negeri ini?, lantas mengapa kebebasan beragama seolah tidak memiliki tempat di bumi pancasila? Tulisan ini merupakan sebuah pengembaraan intelektual guna menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut, sembari mengurai realitas implementasi Hak Azasi Manusia, tulisan ini akan mengantarkan kita kepada fenomenafenomena kondisi realitas kebebasan beragama di Indonesia.

Rapuhnya Jaminan Konstitusi Kebebasan Beragama Jika kita merujuk pada pasal 28 (e) ayat 2 undang-undang hasil amandemen, di sana disebutkan: Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan fikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. undang-undang ini disempurnakan pula dengan pasal 29 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan: Negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, Negara Menjamin Kemerdekaan Tiap-tiap Penduduk untuk memeluk agamanya, dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Undang-undang yang baru disebutkan diatas pada prinsipnya sudah cukup mapan sebagai jaminan konstitusi untuk kebebasan beragama di Indonesia. Jika

ditafsirkan secara bebas, undang-undang ini mencerminkan beberapa prinsip tentang hak kebebasan beragama, yaitu: hak untuk meyakini suatu kepercayaan, dan hak untuk mengekspresikan fikiran serta sikap sesuai dengan hati nurani. Namun demikian, melihat fenomena yang dicontohkan beberapa kasus yang telah disebutkan sebelumnya, agaknya jaminan konstitusi terhadap-hak-hak tersebut belum terimplementasi dengan baik. Jika saja undang-undang ini terimplementasi dengan baik, barangkali tidak akan ada kelompok yang diklaim sebagai aliran sesat, dan atau jikapun ada, setidaknya mereka yang dinilai sesat masih bebas menikmati haknya untuk tetap hidup dan tumbuh di negeri ini. Bukan sebaliknya, perlakuan terhadap mereka yang dinilai sesat justru mencerminkan penghakiman terhadap keyakinan yang bersumber dari hati nurani mereka. Fenomena yang paling menggelitik adalah, jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama di Indonesia seolah hanya merupakan macan kertas yang tidak memiliki power sedikitpun. Terbukti, tindakan kurang adil yang dilakukan pemerintah (juga mayoritas masyarakat) terhadap kelompok-kelompok yang dinilai sesat ini bukan didasarkan pada konstitusi yang berlaku secara legal-universal, malah tindakan tersebut dipicu oleh keputusan yang masih bisa diperdebatkan (fatwa MUI misalnya), tentu keputusan yang dikeluarkan lembaga semacam ini tidak dapat diberlakukan secara universal. Pada akhirnya konstitusi yang semsetinya bersifat legal-universal menyangkut kebebasan beragama di negeri ini mengalami kerapuhan dengan sendirinya, jika tidak dikatakan kurang berguna, atau malah tidak berguna sama sekali. Jika dicermati lebih jauh, rapuhnya jaminan konstitusi kebebasan beragama tidak saja diakibatkan oleh kurang terimplementasinya undang-undang dimaksud, lebih dari itu kerapuhan tersebut disebabkan pula oleh penafsiran yang kerap kali dipersempit pada undang-undang turunannya. Pada gilirannya kondisi ini melahirkan hukum yang saling tumpang tindih, bahkan kontradiktif antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Lihat misalnya undang-undang No 1/PNPS/1965 yang menyebutkan ada enam agama di Indonesia: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, sangat kontradiktif dengan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri No 477/ 74054/ BA.012/ 4683/95 tertanggal 18 November 1978 yang menyatakan bahwa agama yang diakui pemerintah ada lima: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha, meskipun belakangan Konghucu diakui kembali sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Pembatasan 5 dan atau 6 agama yang diakui di Indonesia tentu menjadi ancaman serius terhadap masa depan kebebasan beragama. Apabila pembatasan ini mutlak dipahami dan dipegang teguh oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, akan sangat wajar jika agama agama lain diluar agama yang diakui tersebut sulit untuk di terima hidup di di negeri ini, bahkan agamaagama lokal sekalipun yang memang lahir dan tumbuh dari tradisi asli bangsa Indonesia, seperti agama Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di daerah Jawa, dan agama Parmalin yang terdapat di Tanah Batak Sumatera Utara, yang kerap dipandang sebagai kebudaya belaka. Lebih dari itu, pembatasan ini sangat jelas bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap kebebasan beragama yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia, khususnya yang termaktub pada pasal 28 (e) dan pasal 29 undang-undang 1945.

HAM dan Kebebasan Beragama Disamping konstitusi dengan skala nasional yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia, jaminan kebebasan beragama di Indonesia pada dasarnya juga memiliki perlindungan hukum dengan skala internasional melalui ratafikasi Hak Azasi Manusia yang pernah dilakukan Indonesia. Jaminan tersebut tercermin dengan jelas dalam Universal Declaration of Human Right (UDHR) yang biasa disebut sebagai DUHAM (Deklarasi Universal Hak Azasi Manusia), khususnya pasal 18 yang menyatakan: Everyone has the right to freedom of tought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief and freedom either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief teaching, practice, worship and observance (Setiap orang berhak atas kemerdekaan berfikir, berkeyakinan dan beragama; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama dan kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemajuan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, dimuka umum maupun secara pribadi). Ratafikasi terhadap DUHAM dilakukan Indonesia berdasarkan Undang-undang RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia, khususnya pada pasal 22 yang menyangkut jaminan hak atas kebebasan beragama. Pada pasal 22 ini disebutkan: pertama, setiap orang bebas memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; kedua, Negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, jaminan kebebasan beragama dalam skala internasional yang turut diratafikasi Indonesia melalui HAM juga dapat dilihat melalui Undang-undang No 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR) (Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), dengan meratafikasi konvenan ini, maka indonesia terikat untuk menjamin: hak setiap orang atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, serta perlindungan atas hak-hak tersebut (pasal 18); hak untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama atau bahasa minoritas yang mungkin ada di Negara pihak [Negara yang terlibat menandatangani konvenan internasional dimaksud] (pasal 27). Namun demikian, kondisi kehidupan beragama di Indonesia agaknya tidak mencerminkan nilainilai dimaksud, baik yang dicerminkan oleh HAM itu sendiri, maupun konvenan-konvenan internasional yang telah diratafikasi sebagai undang-undang turunannya. Padahal, dengan turut meratafikasi konvenan-konvenan tersebut, maka semestinya Indonesia menjadi salah satu Negara yang bertanggung jawab atas berjalannya HAM dalam pemerintahan negara, dalam hal ini termasuk pula ihwal kebebasan beragama. Bahkan, tanggung jawab tersebut dengan jelas tercermin pada pasal 8 Undang-undang RI tentang Hak Azasi Manusia yang menegaskan Perlindungan, pemajuan, penagakkan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia menjadi tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.

Realitas Kebebasan Beragama dan Pelanggaran HAM di Indonesia. HAM mestilah menjadi jaminan alternatif lain terhadap jaminan kebebasan beragama di Indonesia ketika undang-undang kebebasan beragama sebagai jaminan hak atas kebebasan beragama dirasa mengalami kemandulan, sebab dalam praktiknya undang-undang tersebut

tidak dapat di implementasikan dengan baik. Akan tetapi, keberadaan HAM di Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan undang-undang yang telah disebutkan sebelumnya, masih mengalami kemandulan. Namun demikian, jika hukum yang telah diatur dalam sistem perundangan di Indonesia tidak, atau belum terimplementasi, masih saja terjadi pelanggaran di sana-sini baik oleh pemerintah maupun masyarakat pada umumnya, dapat dipastikan tidak berakibat fatal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia (internasional). Lain halnya dengan pelanggaran HAM berikut konvenan-konvenan yang telah diratafikasi, tentu akan berakibat fatal dan menjadi ancaman bagi Indonesia di mata dunia. Pada pasal 5 bagian kedua Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik misalnya, dengan tegas disebutkan: pertama, tidak satupun ketentuan dalam konvenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada Negara, kelompok atau individu untuk terlibat dalam kegiatan atau melaksanakan suatu tindakan yang ditujukan untuk menghancurkan hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui di sini, atau untuk membatasinya lebih dari pada yang telah ditetapkan dalam konvenan ini; dan kedua, tidak boleh ada pembatasan atau pengurangan terhadap hak azasi manusia yang mendasar yang diakui atau yang berlaku di Negara peserta konvenan ini, menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa konvenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi dalam tingkatan yang lebih rendah. Jika dicermati bunyi pasal di atas, maka ditemukan demikian banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud. Ironisnya pelanggaran-pelanggaran tersebut justru dilakukan oleh pemerintah sendiri, dengan turut mencampuri urusan keberagamaan masayarakatnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat dijelaskan misalnya, pemenjaraan terhadap Usman Roy dan Lia Aminuiddin sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah karena telah mencampuri urusan keberagamaan umat (melanggar pasal 5 ayat 1 ICCPR); tidak terjaminnya kenyamanan Jamaah Ahmadiyah dari serangan fisik dan teror yang dilakukan masyarakat Islam pada umumnya (melanggar pasal 2 ayat 3 item pertama ICCPR). Jika ditinjau lebih jauh, tentu masih banyak pelanggaran-pelanggaran lain yang dapat ditemukan, seperti kasus terakhir yang dialami oleh Ahmad Mushadieq pimpinan al-Qiyadah al-Islamiyah.

Memang dapat ditemukan beberpa pasal dalam konvena tersebut yang memberikan kelonggaran bagi Negara yang turut meratafikasi konvenan ini untuk tidak mengikuti beberapa pasal kewajiban yang telah ditentukan. Seperti dapat ditemukan pada pasal 4 ayat 1 yang menyebutkan dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan Negara dan keadaan tersebut telah dinyatakan secara resmi, Negara peserta konvenan ini dapat mengambil upaya-upaya yang mengurangi (derogate) kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan konvenan ini, sejauh hal itu dituntut oleh situasi darurat tersebut, dengan ketentuan langkah-langkah tersebut harus selaras dengan kewajiban-kewajiban Negara yang lain berdasarkan hukum internasional, dan tidak menyangkut diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asalusul social semata-mata. Anggaplah pelanggaran-pelanggaran HAM terkait dengan maslah kebebasan beragama di Indonesia sebagai situasi darurat, sehingga ada beberapa pasal yang kesannya dilanggar, tetap saja argumentasi semacam ini dirasa belum memadai untuk melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal dimaksud. Sebab, beberapa pelanggaran atas hak kebebasan beragama di Indonesia agaknya tidak mempertimbangkan ketentuan yang dijelaskan pada pasal yang disebutkan di atas (pasal 4 ayat 1 ICCPR). Walaupun dalam praktiknya, tindak diskriminasi yang kerap dialami oleh beberapa kelompok yang dipandang sebagai aliran sesat terjadi karena alasan meresahkan masyarakat, namun keresahan-keresahan tersebut kurang cukup beralasan sebagai kondisi yang akan mengancam kehidupan Negara. Justru sebaliknya, tidak mustahil jika kebebasan beragama terbelenggu begitu ketat, sejarah sekularisme (penyingkiran agama dari kebijakan Negara) yang pernah terjadi di Eropa akan terulang di Indonesia, ini baru dapat disebut sebagai ancaman serius bagi kehidupan Negara.

Penutup: Krisis Peranan dan Krisis Kesadaran. Mengapa iklim kebebasan beragam sulit untuk diwujudkan di Indonesia?, paling tidak ada dua faktor yang berpeluang besar menyebabkan kesulitan tersebut, yaitu: krisis peranan dan krisis kesadaran. Krisis peranan hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, meskipun sedikitnya krisis ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Krisis dimaksud adalah tanggung

jawab untuk berperan aktif merealisasikan undang-undang yang telah ada dan dirasa cukup mapan menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Bahkan, tanpa ikut menandatangani HAM sekalipun, pada dasarnya undang-undang Negara Indonesia terkait masalah kebebasan beragama sudah cukup memadai jika tidak ada penafsiran-penafsiran yang menyimpang. Namun demikian, yang terjadi tidak menampakkan kondisi yang semestinya (dasolen). Pemerintah justru kurang mengambil peranan yang tepat dalam hal ini. Undang-undang yang telah dibentuk sedemikian rupa, dengan mengorbankan waktu dan tenaga, seolah tidak membuahkan hasil memuaskan, sehingga kita dapat melihat demikian banyak pelanggaranpelanggaran yang dilakukan pada undang-undang dimaksud. Ironisnya, pemerintah terkesan menjadi kekuatan atas pelanggaran-pelanggaran tersebut (dalam kasus kebebasan beragama). Banyak argumentasi untuk menyanggah pernyataan ini; penangkapan Usman Roy dan Lia Aminuddin mengindikasikan campur tangan pemerintah; atau yang paling kontras konon, ketika kasus Amadiyah tengah menghangat dalam pembicaraan publik, Menteri Agama meminta mereka untuk membentuk agama sendiri. Disamping peranan pemerintah untuk merealisasikan undang-undang (kebebasan beragama), tentu peranan lembaga-lembaga hukum lainnya sangat berpengaruh dalam permasalahan ini. Indonesia memiliki demikian banyak Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dimana suara mereka ketika terjadi tindak diskriminasi pada kelompok minoritas di negeri ini. Negara kita juga menyediakan biaya yang cukup besar untuk lembaga-lembaga resmi HAM, mengapa tidak terlihat ketika iklim kebebasan beragama dinodai?. Disinilah krisis peranan semakin jelas terlihat. Krisis peranan pada gilirannya menuntut kesadaran, baik kesadaran pemerintah maupun kesadaran masayarakat. Pemerintah mestinya menyadari peranan objektif mereka begitu penting untuk mengatasi masalah kebebasan beragama di negeri ini, bukan malah menjadi kekuatan baru untuk membelenggu kebebasan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga harus lebih menyadari bahwa kebebasan beragama merupakan masalah yang amat fundamental dan bersifat individual. Kita tidak dapat menghakimi keyakinan orang lain, sama halnya ketika orang lain tidak mungkin menghakimi keyakinan, inilah yang mesti kita sadari.

Potret Buram Kebebasan Beragama


Negara yang absen dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama menjadi pintu gerbang pelbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap penganut-penganut agama minoritas. Hal ini berkali-lipat menjadi lebih buruk ketika ternyata negara tidak sekedar absen memberi perlindungan, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran. Bagaimana merumuskan kehidupan keagamaan di Indonesia memang telah menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai. Ketidakselesaian pembahasan itu tentu bukan khas Indonesia. Hampir seluruh negara di muka bumi ini mengalami persoalan yang sama: belum selesai merumuskan kehidupan beragama. Beberapa Kemajuan Namun di tengah proses yang terus berjalan itu, harus diakui bahwa Indonesia mengalami sejumlah kemajuan penting. Amandemen Undang-undang Dasar 1945 secara tegas memasukkan unsur kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pada pasal 28 E ayat 1, 2 dan 3, pasal 28 I ayat 1 dan 2, dan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 menyatakan tentang kebebasan warga negara untuk meyakini dan menjalankan keyakinannya masing-masing. Pada tahun 2005, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU No.12/2005. Kovenan ini jelas menunjukkan dukungan terhadap gagasan mengenai kebebasan beragama. Pasal 18 kovenan ini menjelaskan konsep mengenai kebebasan beragama. Pada 25 November 1981, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)di mana Indonesia adalah salah satu anggotanyamengeluarkan resolusi Sidang Umum PBB No.36/55/1981 tentang Declaration of the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief. Deklarasi ini memberi dukungan kebebasan beragama secara luas baik dalam bentuk keyakinan maupun ekspresi keyakinan berupa ibadah, pendirian rumah ibadah, pendirian komunitas, dakwah, dan penyebaran gagasan melalui pelbagai media.

Perangkat hukum lain yang menjamin kebebasan beragama adalah UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 UU ini menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Pada pasal 22 ayat 2 menyebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Diskriminasi Konstitusional Meski mengalami kemajuan, tetapi kemajuan itu sangat terasa tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang secara konsisten memberi pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, khususnya tentang hak atas kebebasan beragama. Kovenan Internasional tentang Hakhak Sipil dan Politik, misalnya, baru diratifikasi pada tahun 2005, padahal kovenan ini telah ada sejak 1966. Hal lain yang cukup merisaukan adalah masih adanya sejumlah perangkat UU yang diskriminatif. UU diskriminatif yang paling banyak disorot, dalam hubungannya dengan kebebasan beragama, adalah UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. UU ini pada mulanya adalah Penetapan Presiden Tahun 1965 yang kemudian statusnya diangkat menjadi UU pada tahun 1969. Pasal 1 UU tersebut menyatakan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Implikasi UU No. 1/PNPS/1965 ini adalah tercantumnya delik hukum pada pasal 156 a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang pemidanaan lima tahun penjara bagi siapapun yang di muka hukum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan (a) yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.

Gugatan Judicial Review yang dilakukan oleh sejumlah tokoh dan LSM terhadap UU No. 1/PNPS/1965 mengalami beberapa benturan konstitusional yang cukup serius. Di samping pencantuman gagasan kebebasan beragama, Konstitusi ternyata juga secara eksplisit mengandung unsur yang melegitimasi pembatasan kebebasan beragama. Pasal 28 J ayat 2 UUD 1945 menyebutkan: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Di atas segalanya, dasar negara, Pancasila, sebenarnya sejak mula telah mencantumkan sila diskriminatif dan pembatasan kebebasan beragama. Sila pertama Pancasila secara tegas menyatakan: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila diskriminatif ini kemudian dipertegas oleh pasal 29 ayat 1 UUD 1945: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi pada 2005 juga tidak tanpa masalah. Pasal 18 ayat 3 Kovenan tersebut menyatakan: Kebebasan untuk mengejewantahkan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum dan apabila diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. Dengan demikian, kovenan ini membuka kemungkinan bagi pembatasan kebebasan beragama setidaknya pada lima alasan: (1) keamanan (public safety), (2) ketertiban (public order), (3) kesehatan (public health), (4) moral (public moral) dan (5) hak-hak atas kebebasan orang lain. Fakta Kekerasan Sepintas lalu tampak bahwa semua instrumen perundang-undangan di atas tidak memiliki persoalan pada hak sipil mengenai kebebasan beragama. Ketertiban sosial, misalnya, bahkan sangat diperlukan untuk penegakan hukum. Hanya pada kondisi di mana hukum dihormatilah kebebasan beragama bisa tercapai. Dan hanya pada kondisi normal dan stabillah penegakan hukum bisa diwujudkan.

Laporan indeks kebebasan beragama yang dilakukan sejumlah lembaga beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa persoalan kebebasan beragama justru bermula dari pendefinisian mengenai ketertiban, keamanan, dan moral sosial, juga beberapa kali dengan alasan untuk melindungi hakhak kebebasan orang lain. Sejumlah kasus kriminalisasi terhadap kelompok minoritas dan agama-agama baru justru terjadi di atas argumen bahwa keyakinan kelompok-kelompok tersebut telah meresahkan warga dan berpotensi menimbulkan konflik sosial. UU No. 1/PNPS/1965 secara nyata digunakan dalam sejumlah bentuk kriminalisasi atas kebebasan beragama. Kasuskasus seperti Lia Eden, Ahmadiyah, Salat Bersiul dan semacamnya dijatuhi hukuman pidana berdasarkan UU ini. Dan yang lebih mengerikan adalah bahwa UU ini telah digunakan oleh sejumlah elemen masyarakat untuk melakukan kekerasan tanpa memperoleh tanggapan serius dari negara (tidak diproses secara hukum). Dengan demikian, pencegahan keonaran atau anarkhi yang menjadi semangat UU ini sama sekali tidak tercipta dalam penerapannya. Yang terjadi justru UU ini menjadi alat legitimasi bagi terciptanya rasa tidak aman untuk menjalan agama dan keyakinan pribadi. Akibat lebih jauh terhadap adanya sejumlah instrumen UU yang diskriminatif adalah keterlibatan negara secara konsisten dalam kegiatan diskriminasi dan pelanggaran hak kebebasan beragama. Sejumlah data indeks kebebasan beragama yang ditunjukkan oleh sejumlah lembaga menyatakan bahwa negara sangat aktif dalam melakukan atau terlibat dalam kegiatan pelanggaran hak atas kebebasan beragama. Setara Institute merilis temuan bahwa dari 291 tindakan pelanggaran kebebasan beragama tahun 2009, 139 di antaranya dilakukan oleh negara. Wahid Institute melaporkan ada 35 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan/atau keyakinan yang dilakukan oleh negara sepanjang tahun 2009. Moderat Moslem Society mengidentifikasi 22 dari 59 kasus intoleransi sepanjang 2009 dilakukan oleh pemerintah. Sementara Center for Religious & Crosscultural Studies (CRCS) mengidentifikasi sejumlah kasus di mana negara juga terlibat aktif seperti persoalan seputar rumah ibadah dan Ahmadiyah. Temuan-temuan ini semakin mempertegas bahwa negara tidak hanya absen di dalam perlindungan hak-hak kebebasan beragama, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Aktivitas negara melanggar kebebasan beragama tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan aktif (by commission) dan pembiaran (by omission). Yang

mengejutkan adalah bahwa tindakan aktif di mana aparatus negara berinisiatif melakukan pelanggaran sangat dominan. Dari 139 pelanggaran negara yang dilaporkan oleh Setara, 101 di antaranya dilakukan dalam bentuk keterlibatan aktif (by commission). Kondisi semacam ini sangat merisaukan. Negara yang absen dalam perlindungan hak atas kebebasan beragama menjadi pintu gerbang pelbagai bentuk tindakan kekerasan dan diskriminatif terhadap penganut-penganut agama minoritas. Hal ini berkali-lipat menjadi lebih buruk ketika ternyata negara tidak sekedar absen memberi perlindungan, melainkan juga secara aktif melakukan tindakan pelanggaran. Pantauan yang dilakukan oleh Setara Institut dalam tiga tahun terakhir menunjukkan grafik yang bergerak naik. Meski lebih banyak pelanggaran yang terjadi pada tahun 2008 di banding tahun 2009, namun jika ditarik garis dari tahun 2007 sampai 2009, maka akan ditemukan trend pelanggaran yang menaik. Melihat fakta-fakta hukum yang ada, tampaknya kelompok-kelompok minoritas masih tetap harus dirundung malang dalam jangka waktu yang lama. Salah satu sumber petaka diskriminasi, UU No. 1/PNPS/1965, memang sedang dibahas oleh Mahkamah Konstitusi. Tetapi belum lagi MK memberi keputusan, Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru sedang disusun dan diusulkan untuk ditetapkan. RUU ini secara terperinci mengurai pembatasan kebebasan beragama. Tentu kita mengharapkan terpenuhinya hak-hak kebebasan warga secara penuh, namun tampaknya kita mesti lebih banyak bersabar.

UU Kebebasan Beragama untuk Cegah Kebablasan


Jakarta (ANTARA news) - Kepala Bagian Penerangan Agama Islam Kementerian Agama, Ahmad Jauhari mengatakan UU yang mengatur kebebasan umat beragama dibuat untuk mencegah terjadinya kebablasan dalam beragama.

"Peran negara itu menjamin kebebasan umat beragama. Oleh sebab itu, perlu diatur agar tidak kebablasan," kata Jauhari usai diskusi dan peluncuran buku "Beragama, Berkeyakinan, dan Berkonstitusi", di Jakarta, Selasa.

Namun menurut dia, kebebasan beragama itu bukan berarti bebas melakukan penodaan terhadap agama. Jauhari mengatakan, orang bebas memilih agama apa pun sesuai keyakinannya, asalkan keyakinan tersebut tidak menodai agama yang ia yakini.

"Kalau ada orang tidak mengaku Islam tidak masalah, tetapi yang menjadi masalah ialah jika ia mengaku Islam tapi nabi yang diyakininya bukan Muhammad SAW. Itu yang jadi masalah," ujar Jauhari.

Untuk menghindari berbagai bentuk penodaan agama tersebut, menurut Jauhari, dibutuhkan pembatasan melalui UU.

Jauhari mengatakan, UU yang dibuat bukanlah untuk mengekang kebebasan tetapi melindungi keadilan.

"Misalnya, nikah siri dalam aturan pemerintah itu kan pelanggaran. Aturan tersebut dibuat karena ada kecenderungan nikah siri yang dilakukan sekarang ini cuma mengikuti hawa nafsu," kata Jauhari.

Lebih lanjut, Jauhari mengatakan bahwa selain UU, forum-forum keagamaan, seperti Forum Komunikasi Kebebasan Umat Beragama berperan untuk menjaga kedamaian kebebasan beragama.

Menurut dia, masalah antar umat beragama seperti penyegelan tempat beribadah harus diselesaikan dengan penuh toleransi antar umat beragama.

"Jika terjadi perusakan atau penyegelan tempat ibadahnya harus dilaporkan ke pemda setempat. Forum harus melihat penyebabnya," kata Jauhari.

Berbeda dengan Jauhari, Ketua Badan Pengurus SETARA Institute For Democracy and Peace, Hendardi mengatakan, UU yang mengatur kebebasan beragama tersebut justru berarti membatasi kebebasan beragama.

"Kebebasan orang beragama dan berkeyakinan itu tidak perlu diatur karena aturan tersebut mencerminkan negara tidak memberi jaminan kebebasan beragama," kata Hendardi.

Menurut dia, aturan yang ada saat ini bersifat mendua karena di sisi lain memberikan jaminan kebebasan beragama, namun di sisi lain melakukan pembatasan.

Hendardi mengatakan, pikiran dan keyakinan seseorang tidak dapat dibatasi karena itu merupakan hak yang hakiki.

"Kalau ada orang ngaku Tuhan ya biarkan saja, toh orang kita tidak bodoh dan punya pikiran. Lalu kalau ada 10 ribu orang yang mengaku Tuhan apa harus diurus semuanya. Semua itu kembali pada keyakinan masing-masing orang," ujar Hendardi.(T.M-RFG/R009)

Inilah Sebagian Aliran Sesat Di Indonesia..

Perjuangan selalu mendapat dua tantangan. Tekanan dari luar dan duri dalam daging. Ada banyak pola yang mencoba untuk meruntuhkan bangunan Islam, termasuk aliran-aliran sesat yang mengeruhkan sejarah gemilang. Aliran sesat tampak makin marak, bahkan mengalami euforia (mabuk kebebasan) di masa Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang menduduki jabatan sejak Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Dari ruwatan kemusyrikan sampai JIL (Jaringan Islam Liberal) yang tak mengakui hukum Tuhan muncul secara resmi. Hingga ada tokoh aliran sesat yang keceplosan, Mumpung presidennya Gus Dur. Orang mulai bingung. Lantas terbit buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, 2002, terbelalaklah masyarakat. Ada yang simpati, tapi ada yang gerah. Dari pihak sesat pun berkelit bahwa yang berhak menentukan sesat itu hanyalah Tuhan. Si sesat masih berteriak pula bahwa yang mengorek kesesatan itu pemecah belah. <img

Kita harus menyadari bahwa yang menyatukan hati itu adalah Allah, bukan kita (lihat QS 2: 6263). Adanya persatuan itupun hanya kalau berada pada ketaatan kepada Alllah dan Rasul-Nya. Bila tidak, maka akan bercerai berai. Dalam hadits ditegaskan: Numan bin Basyir berkata, Rasulullah saw menghadapkan wajahnya kepada para manusia, lalu bersabda: Tegakkanlah shaf-shaf (barisan shalat) kalian (diucapkan) tiga kali. Wallahi, kamu sekalian mau menegakkan shaf-shafmu atau (kalau kalian tidak mau) maka Allah pasti akan mencerai beraikan di antara hati-hati kalian. Numan berkata, maka aku lihat seorang lelaki melekatkan pundaknya dengan pundak temannya (dalam shaf shalat), dengkulnya dengan dengkul temannya, dan mata kakinya dengan mata kaki temannya (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Pengertian sesat

Sesat atau kesesatan itu bahasa Arabnya dhalal. Yaitu setiap yang menyimpang dari jalan yang dituju (yang benar) dan setiap yang berjalan bukan pada jalan yang benar, itulah kesesatan. Dalam al-Quran disebutkan, setiap yang di luar kebenaran itu adalah sesat (lihat QS Yunus: 32). Kebenaran hanya datang dari Allah. Pertanyaannya kini, kebenaran dari Allah itu adanya di al-Quran dan as-Sunnah, namun cara pemahamannya/penafsirannya model apa? Pertanyaan itu sudah ada jawabannya, dalam hadits tentang 73 golongan, riwayat At-Tirmidzi. Siapakah dia (golongan yang satuyang selamat dari nerakaitu) wahai Rasulullah? Beliau menjawab, (Mereka yang mengikuti apa) yang aku dan sahabatku berada di atasnya. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, penulis Lamhah anil firaq adh-dhaallah, Membongkar Firqah-Firqah Sesat, berkomentar. Ketika Rasulullah ditanya tentang siapakah satu yang selamat

itu, beliau menjawab, Mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan seperti yang aku dan sahabatku tempuh. Maka barangsiapa yang tetap di atas jalan yang ditempuh Rasul saw dan para sahabatnya, maka dia termasuk yang selamat dari neraka. Dan barangsiapa yang menyelisihi dari hal tersebut sesungguhnya dia diancam dengan neraka sesuai dengan kadar jauhnya. Dalam praktik, kesesatan itu tidak dianggap sesat walaupun dilaksanakan ramai-ramai. Di antara contohnya adalah kelompok yang tidak langsung dikenali sebagai kelompok sesat, misalnya:
Komunitas Penimbrung Quran Sunnah

Golongan yang satu ini tidak mau disebut kelompok agama, tak mau pula disebut sekuler. Tapi mereka menolak semua yang datang dari al-Quran dan as-Sunnah. Kelompok ini muncul menjelang pertengahan abad 20 dengan membatasi bahwa al-Quran dan as-Sunnah tidak bisa diberlakukan di wilayah mereka, karena beralasan bahwa di tempat mereka bukanlah wilayah alQuran dan as-Sunnah. Mereka punya aturan-aturan tertentu yang kadang masuk ke wilayah yang diatur al-Quran dan as-Sunnah dengan membantu pelaksanaan praktisnya, dalam hal yang menguntungkan mereka. Misalnya tentang pelaksanaan ibadah haji. Di sisi itulah al-Quran dan as-Sunnah mereka terima, bahkan hampir mereka monopoli. Lain lagi dengan kelompok yang secara nama adalah Islamis, namun justru sesat menyesatkan. Misalnya:
NII KW IX

NII (Negara Islam Indonesia) asalnya DI (Darul Islam, diproklamasikan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, 7 Agustus 1949 di Cisayong Tasikmalaya Jawa Barat). Kemudian nama NII itu berupa penjelasan singkat tentang proklamasi. Pada tahun 1980-an ketika diadakan musyawarah tiga wilayah besar (Jawa Barat, Sulawesi, dan Aceh) di Tangerang Jawa Barat, diputuskan bahwa Adah Djaelani Tirtapradja diangkat menjadi Imam NII. Lalu ada pemekaran wilayah NII yang tadinya 7 menjadi 9, penambahannya itu KW VIII (Komandemen Wilayah VIII) Priangan Barat (mencakup Bogor, Sukabumi, Cianjur), dan KW IX Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi). Pada dekade 1990-an KW IX dijadikan sebagai Ummul Quro (ibukota negara) bagi NII, menggantikan Tasikmalaya, atas keputusan Adah Djaelani. Karena pentingnya menguasai ibukota sebagai pusat pemerintahan, maka dibukalah program negara secara lebih luas, dan puncaknya ketika pemerintahan dipegang Abu Toto Syekh Panjigumilang (yang juga Syekh Mahad Al-Zaitun, Desa Gantar, Indramayu, Jawa Barat) menggantikan Adah Djaelani sejak tahun 1992. Penyelewengannya terjadi ketika pucuk pimpinan NII dipegang Abu Toto. Ia mengubah beberapa ketetapan-ketetapan Komandemen yang termuat dalam kitab PDB (Pedoman Dharma Bakti) seperti menggantikan makna fai dan ghanimah yang tadinya bermakna harta rampasan dari musuh ketika terjadi peperangan (fisik), tetapi oleh Abu Toto diartikan sama saja, baik perang fisik maupun tidak. Artinya, harta orang selain NII boleh dirampas dan dianggap halal. Pemahaman ini tidak dicetuskan dalam bentuk ketetapan syura (musyawarah KW IX) dan juga tidak secara tertulis, namun didoktrinkan kepada jamaahnya. Sehingga jamaahnya banyak yang

mencuri, merampok, dan menipu, namun menganggapnya sebagai ibadah, karena sudah diinstruksikan oleh negara. Dalam hal shalat, dalam Kitab Undang-undang Dasar NII diwajibkan shalat fardhu 5 waktu, namun perkembangannya, dengan pemahaman teori kondisi perang, maka shalat bisa dirapel. Artinya, dari mulai shalat zuhur sampai dengan shalat subuh dilakukan dalam satu waktu, masingmasing hanya satu rakaat. Ini doktrin Abu Toto dari tahun 2000-an. Mengenai puasa, mereka mengamalkan hadits tentang mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka dengan cara, sudah terbit matahari pun masih boleh sahur, sedang jam 5 sore sudah boleh berbuka. Alasannya dalil hadits tersebut. Gerakan ini mencari mangsa dengan jalan setiap jamaah diwajibkan mencari satu orang tiap harinya untuk dibawa tilawah. Lalu diarahkan agar hijrah dan berbaiat sebagai anggota NII. Karena dengan baiat maka seseorang terhapus dari dosa masa lalu, tersucikan diri, dan menjadi ahli surga. Untuk itu peserta ini harus mengeluarkan shadaqah hijrah yang besarnya tergantung dosa yang dilakukan. Anggota NII di Jakarta saja, saat ini diperkirakan 120.000 orang yang aktif.

Anda mungkin juga menyukai