Anda di halaman 1dari 4

Kondisi politik, khususnya di internal partai Demokrat saat ini sedang mengalami fase krusial.

Suatu fase dimana dinamika organisasi membutuhkan energi luar biasa untuk menghadapi berbagai implikasi tekanan politik akibat kasus yang disebabkan salah satu kadernya, yakni Muhammad Nazarudin. Kasus yang terkait dugaan korupsi wisma Atlet, kasus pelecehan seksual terhadap seorang SPG di Bandung dan kasus pemberian sejumlah uang sebesar 120 ribu dollar Singapura kepada Sekjen MK. Disamping itu telah menunggu pula kasus mantan anggota KPU Andi Nurpati yang saat ini duduk sebagai ketua divisi komunikasi publik partai demokrat yang dilaporkan MK ke polisi atas dugaan kasus pemalsuan putusan MK dalam sengketa calon anggota legislatif (caleg) DPR RI Dapil Sulsel I. Saat itu, muncul dua surat MK. Surat pertama yang diduga palsu menyebut Dewie Yasin Limpo sebagai pemilik satu kursi tersisa di Dapil Sulsel I. Tak ayal, sejumlah kasus tersebut bagi partai demokrat, ibarat tsunami politik yang menghantam organisasi ditengah iklim dan konstelasi politik nasional yang bereskalasi kian kental mengarah kepada upaya pendestrukturisasian eksistensi partai Demokrat saat ini untuk bisa kembali tampil maksimal di pemilu 2014 mendatang. Titik krusial inilah yang sejatinya menggambarkan realitas sesungguhnya tentang sejauh mana tingkat kesolidan sebuah partai politik modern diuji dalam mengambil momentum strategis untuk menyelamatkan diri ditengah dinamika tekanan internal dan persepsi publik yang mengarah terjadinya declinasi eksistensi dan reputasi. Jika partai Demokrat gagal keluar dari problem krusial ini, boleh jadi kasus Nazarudin ini merupakan titik awal berakhirnya zaman keemasan partai demokrat sebagai partai penguasa. Fakta Opini Terkait Konflik Politik Partai Demokrat Menghadapi Kasus Nazarudin Kasus Muhammad Nazarudin memang berhasil mengguncang kekuasaan politik partai demokrat. Dugaan berbagai kasusnya bukan saja telah mencederai reputasi Partai demokrat dimata publik, namun juga kehadirannya sebagai politisi muda partai yang berkarir instan, memiliki pengaruh kuat, karena berhasil menarik gerbong faksi di tubuh partai yang berimplikasi munculnya friksi di internal partai. Jadi amat wajar jika menimbang pengaruh dan kekuatan Nazarudin, partai demokrat melakukan beberapa langkah progresif yang sangat hati-hati agar kasus ini tidak lantas menohok kredibilitas partai, terutama kekuasaan politik Yudhoyono yang perlahan tapi pasti terjun bebas di mata publik. Untuk menganalisa kasus tersebut, setidaknya partai demokrat kemungkinan akan melakukan langkah-langkah politik sebagai berikut : Pertama, terkait kasus Nazarudin. Dalam skenario ini memang partai Demokrat melalui dewan kehormatan telah melepas jabatan Nazarudin sebagai Bendahara Umum partai, walaupun momentumnya memanfaatkan tangan Mahkamah Konstitusi (sejatinya bukan dengan tangan partai Demokrat itu sendiri).

Langkah yang telah dilakukan dewan kehormatan memang secara etis tepat jika mengkaitkan persoalan etika kader partai dalam domain aturan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai. Langkah selanjutnya posisi Nazarudin di DPR juga akan dilepas dengan mekanisme Badan Kehormatan DPR (sekali lagi bukan atas tangan partai demokrat di fraksi). Langkah amputasi secara struktural posisi Nazarudin ini dipahami sebagai langkah cepat untuk mengkanalisasi konflik dan kasus yang menimpa Nazarudin dengan cara mencuci bersih tangan partai untuk tujuan agar tidak bereskalasi kepada kader partai demokrat lainnya. Namun demikian mengingat Nazarudin memiliki sejumlah data terkait lumbung penerimaan/ pemasukan partai yang dicurigai diperoleh dengan cara-cara yang tidak sehat, maka partai demokrat kemudian menimbang pula agar secara politik menyelamatkan Nazarudin untuk tujuan kepentingan partai dengan cara menutup sekecil mungkin peluang Nazarudin bernyanyi mengungkap kebobrokan elit-elit partai. Khususnya terkait rahasia politik anggaran yang dimainkan oleh sejumlah kader partai untuk tujuan rekapitalisasi kekuatan ekonomi partai untuk menghadapi pemilu 2014 mendatang. Dengan berbagai pressure, kompromi dan negosiasiasi internal, maka boleh jadi kepergian Nazarudin ke Singapura dengan alasan chek up, sebelum dicekal oleh KPK adalah salah satu bagian dari skenario kuda-kuda politik partai untuk mengumpulkan sejumlah amunisi menghadapi kasus, sambil konsolidasi partai dilakukan langsung oleh dewan pembina dengan mengumpulkan semua kadernya di Cikeas. Motif ini berhasil di lakukan oleh Nunun Nurbaiti yang terjerembab kasus cek pelawat dalam kasus korupsi pemilihan deputi senior BI. Strategi mengulur waktu ini akan efektif dilakukan jika kemudian partai demokrat mampu memainkan sayap isu baru untuk tujuan pemeriksaan terhadap Nazarudin oleh KPK tidak menjadi prioritas utama. Walaupun strategi ini bukanlah strategi yang permanen dan elegan, namun strategi ini bisa efektif mempercepat polarisasi isu, misalnya, publik akan terus merespons hilangnya Nazarudin, dan akhirnya konflik akan bergeser pada persoalan terkait respons publik atas hilangnya Nazarudin bukan pada apa yang dilakukan Nazarudin dalam ketiga kasus yang diduga dilakukannya. Dan jika itu berhasil, maka persoalan hukum atas kasus ini juga akan lamban tertangani, minimal KPK kesulitan mengurai benang kusut dan korelasi untuk mengidentifikasi alat bukti. Kedua, terkait terjadinya friksi internal partai Isu perpecahan di tubuh partai demokrat memang bukanlah sekedar isu yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Naiknya Anas Urbaningrum sebagai ketua umum, Edy Baskoro (Ibas) sebagai sekjen dan Nazarudin sebagai bendahara umum sebagai sosok yang relatif baru dan masih muda, telah melahirkan faksi ideologis dan mainset kader tentang karir subyektif politik dan adanya previlage kekuasaan di partai demokrat. Munculnya 3 faksi di pengaruhi oleh faktor kedekatan, faktor prestasi dan keringat untuk partai serta faktor umur/ pengalaman mengurus partai). Fakta inilah yang sejatinya menyimpan bara

dalam sekam, yang sewaktu-waktu akan meledak dengan memanfaatkan momentum kasus Nazarudin. Dan fakta opini inilah yang kemudian telah memberanikan sejumlah kader bersuara lantang untuk melakukan restrukturisasi dan kocok ulang mengenai komposisi kabinet Anas Urbaningrum di tubuh partai Demokrat sebagai bentuk kekecewaaan sekaligus upaya mengakomodasi ulang kepentingan dua faksi lain yang terdapat dalam tubuh partai demokrat, yakni faksi Marzuki Alie dan faksi Andi Mallarangeng. Untuk mengelaborasi kepentingan dan tuntutan tersebut, tentu saja partai demokrat juga harus menelaah dari aspek etika politik kader. Kocok ulang atau restrukturisasi kemungkinan akan dilakukan dan langkah tersebut tidak akan berjalan jika tidak ada anggota yang teramputasi atau termarjinalisasi dari struktur partai. Oleh karenanya partai demokrat dengan justifikasi faktor etika, akan menerapkan strategi restrukturisasi partai dengan format peta ulang komposisi anggota yang lebih proporsional dan obyektif untuk merangkul kembali faksi Marzuki Alie dan faksi Andi Mallarangeng. Disamping itu peta ulang kabinet Anas kemungkinan juga akan menyertakan dan mengakomodasi pendekatan atau cara-cara dengan melihat gaya komunikasi dan cara berpolitik beberapa kader partai sebagai bahan evaluasi krusial. Hal tersebut sebagai imbas atas karut marutnya komunikasi politik yang dilakukan kader partai yang dinilai tidak produktif dan justru malah mencederai reputasi partai yang berimplikasi terjadinya proses penndestrukturisasian kredibilitas partai oleh internal partainya sendiri. Fakta opini ini memang sungguh ironis, mengingat konflik politik yang menerpa partai demokrat justru tidak di sokong oleh konflik antar partai (partai politik lain cenderung wait and see) dan cenderung hanya bersikap diam menyaksikan karut marut partai demokrat. Ketiga, terkait kegagalan komunikasi publik dalam merespons opini yang berkembang Masyarakat sebenarnya telah menyaksikan betapa partai politik sebesar partai demokrat teramat tidak cerdas dalam mengelola informasi dan komunikasi publik yang mem-pressure eksistensi partai. Deskripsi ini telah menandaskan bahwa sejatinya partai demokrat adalah partai yang tidak siap dan miskin wawasan terkait strategi meredam informasi negatif tentang partai dan terutama yang bersinggungan dengan kekuasaan politik Yudhoyono. Dengan berbagai respons yang cenderung tidak produktif, bahkan beberapa kader justru merespons persoalan konflik politik partai dengan pendekatan personal previlage-malah opini publik semakin yakin bahwa sejatinya titik krusial persoalan di tubuh partai demokrat, senyatanya memang terjadi. Dengan respons atau counter opini yang dilakukan selama ini oleh hampir semua anggota partai Demokrat, publik semakin menegaskan kepercayaannya terhadap kasus yang menrpa partai demokrat saat ini. Yakni dugaan adanya politisasi anggaran untuk merekapitalisasi kemampuan finansial partai oleh bendahara umum dengan cara tidak sehat, menegaskan tentang terjadinya faksi yang tidak sehat dilingkungan internal partai akibat sisa-sisa komitment pasca kongres yang gagal diakomodasi kelompok Anas, dan dugaan memang adanya ketidak-sehatan iklim berkomunikasi antar kader yang berimplikasi terjadinya like or this like antar sesama kader.

Dalam konteks itulah sejatinya ketika Dewan Pembina mengumpulkan seluruh kader di Cikeas beberapa kali, membuktikan opini publik bahwa sejatinya di tubuh partai demokrat telah mengalami krisis kepercayaan terhadap mesin partainya sendiri yang seharusnya lebih dominan dilakukan oleh sang ketua umum, sekjen dan terutama ketua departemen komunikasi publik dalam merespons setiap opini yang berkembang di media tentang partai demokrat. Fakta opini inilah yang membuat presiden Yudhoyono mulai frustasi. Sungguh ironis, ditengah kepemilikan sumber daya partai dengan mekanisme tugas dan tanggung jawab yang masingmasing diemban, ditengah keberadaan juru bicara di lingkungan istana dan 12 orang staf khususnya, Yudhoyono seolah one man show mengelola konflik politik partai. Indikasi tersebut dibuktikan ketika Yudhoyono kemudian sendirian menanggapi Sort Message Service (SMS) yang menyerang elit partai dan dirinya. Publik menyayangkan sikap tersebut, mengapa SMS gelap direspons oleh seorang presiden yang seharusnya hal tersebut cukup bisa secara bijak ditangani oleh kader partai atau staf khusus bidang komunikasi politik Yudhoyono. Bukankah hal tersebut menegaskan sejatinya telah terjadi distrust yang luar biasa di tingkat ring 1 Yudhoyono yang seharusnya bisa mendemarkasi reputasi dan eksistensi kekuasaan politik Yudhoyono ? Dari faktor kegagalan mengelola informasi dan komunikasi politik partai kepada publik akibat berbagai kasus yang menerpa partai inilah sebenarnya partai demokrat dan terutama kekuasaan politik Yudhoyono tengah berada di titik nadir dan membuka sinyalemen seperti yang dikemukakan dewan pembina partai Golkar Akbar Tanjung, bahwa koalisi tidak menjamin akan mengantarkan Yudhoyono sampai penghujung kekuasaannya di 2014. Jika partai demokrat gagal mengelola politik dan konflik internal di tubuh partainya, maka sinyalemen berupa ancaman halus dari dewan pembina partai Golkar tersebut tentu saja akan mengkhawatirkan iklim politik nasional. Sebab kasus Nazarudin dan langkah politik partai demokrat yang telah dilakukan secara faktual, justru telah membuka peluang bagi lawan politik Demokrat, baik di parlemen maupun diluar parlemen mengambil langkah kuda-kuda dalam memanfaatkan momentum politik. Untuk mengantisipasinya, maka langkah praktis yang secara alamiah akan dilakukan Yudhoyono adalah dengan kembali mempeta ulang komposisi kabinet yang lebih akomodatif menimbang dan menyelamatkan kekuasaan jangka pendek politik Yudhoyono.. Dengan mengakomodasi kepentingan parpol lain dalam komposisi ulang koalisi kabinet Yudhoyono, maka secara praktis serangan tersebut diharapkan tidak sampai menjatuhkan kekuasaan Yudhoyono. Walaupun Yudhoyono dan partai demokrat tidak memiliki garansi pasca koalisi baru bahwa mereka (partai koalisi) tidak akan kritis terhadap pemerintah. Karena teorinya sikap kritis yang ditunjukkan saat ini merupakan modal reputasi partai untuk pemilu 2014 mendatang.

Anda mungkin juga menyukai