Anda di halaman 1dari 5

ETIKA DAN HUKUM BISNIS UJIAN TENGAH SEMESTER III

Oleh: Mohamad Fakih P2CC10001

DOSEN : DR. ADE MAMAN SUHERMAN, SH, MSc

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN MANAJEMEN RUMAH SAKIT PURWOKERTO 2011

KASUS I Kasus Syahrini vs Blue Eyes

Dalam klausula perjanjian sangat terang dan jelas disebutkan bahwa : Apabila pihak kedua (Blue Eyes) maupun Syahrini membatalkan acara dikarenakan adanya alasan force majeur yang ditentukan Pemerintah seperti keadaan perangm huruhara, atau bencana alam maka pihak kedua atau Syahrini akan menyelesaikan kerugian yang timbul secara kekeluargaan untuk memperoleh penyelesaian terbaik. Disini dapat dilihat dua inti masalah : 1. Keadaan force majeur yang dimaksud adalah cukup jelas, sehingga alasan keluarga tidak dapat dipakai oleh pihak Syahrini. 2. Namun demikian keadaan force majeur diselesaikan dengan cata kekeluargaan, artinya pihak Blue Eyes sebetulnya bisa menempuh jalan di luar pengadilan. Menurut pendapat saya kerugian yang diderita Blue Eyes sebetulnya bukan hanya sekedar kerugian financial, tapi nama baik. Disinilah yang menjadi pokok persoalan Blue Eyes. Pihak Syahrini pun telah menawarkan penggantian jadwal manggung, sehingga uang yang dibayarkan sesungguhnya tidak hangus. Suatu perjanjian dapat berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya serta harus dibuat dengan itikad yang baik (good faith). Sedangkan Konsekuensi Cedera Janji (wanprestasi) merupakan Suatu perjanjian yang disepakati dengan itikd baik tidak jarang tidak terpenuhi karena wanprestasi salah satu pihak. Dalam kasus Syahrini, pihak Syahrini melakukan wanprestasi dengan melakukan pembatalan jadwal manggung akibat menunggui ayah Syahrini yang sedang koma. Alternatif dalam penyelesaian kasus tanpa gugatan pengadilan yang pertama Pihak Blue Eyes menerima penggantian jadwal manggung, dengan tambahan ganti rugi dari Syahrini. Artinya kerugian nama baik, biaya promosi dan sebagainya, dengan kesepakatan baru. Dan jika pihak Syahrini tidak mau memenuhi, baru digunakan dasar untuk menuntut di pengadilan. Dasar tuntutan di pengadilan bukan karena force majeur, karena kedua belah pihak telah beda persepsi sehingga tidak akan ditemukan titik temunya.

KASUS II KARAHA BODAS COMPANY LLC melawan PT.PERTAMINA dan PT. PLN

1. Analisis dasar hukum dan peraturan perundang-undangan tentang penyelesaian di luar pengadilan Untuk menyelesaikan sengketa ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif dalam penyelesaian sengketa keperdataan telah mendapat pengakuan formal yuridis dalam sistem hukum Indonesia yang telah berlangsung sejak jaman kolonial. . Jejak aturan-aturan tersebut antara lain dapat dilihat pada Undang-undang no. 5 tahun 1968, pasal 377 HIR, pasal 3 undangundang no. 4 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) no.1 tahun 1990 dan yang terbaru dalam Undang-undang no. 30 tahun 1999. Pengertian arbitrase termuat dalam pasal 1 angka 8 Undang Undang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Nomor 30 tahun 1999: Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Dalam Pasal 5 Undang-undang No.30 tahun 1999 disebutkan bahwa: Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Dalam banyak perjanjian perdata, klausula arbitase banyak digunakan sebagai pilihan penyelesaian sengketa. Pendapat hukum yang diberikan lembaga arbitrase bersifat mengikat (binding) oleh karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada

lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract wanprestasi). Oleh karena itu tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun. Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap) sehingga ketua pengadilan tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Konvensi New York 1958 yaitu Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award yang telah diterima/ diaksesi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden no. 34 tahun 1981 merupakan pengakuan resmi arbitrase internasional dalam sistem tata hukum nasional di Indonesia.

2. Pendapat

tentang

kasus

KARAHA

BODAS

COMPANY

LLC

melawan

PT.PERTAMINA dan PT. PLN Kasus Karaha Bodas Company adalah kasus hukum perdata Internasional di bidang hukum kontrak Internasional yang menarik. Sayangnya putusan Pengadilan di Indonesia mengenai pembatalan kasus tersebut tidak komprehensif dari sisi legal. Menurut Hikmahanto Juwana, dalam kasus tersebut Putusan Arbitrase Internasional tidak dapat dibatalkan oleh pengadilan nasional. Kalaupun pengadilan nasional melakukan pembatalan, pengadilan di negara lain yang sedang dimintakan untuk melaksanakan putusan arbitrase dapat saja tidak terikat, bahkan mengabaikannya. Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.

Dalam kasus ini hal ketertiban umum tersebut tidak disinggung-singgung. Bahwa alasan Pertamina tidak memenuhi kewajiban kontraknya adalah karena larangan dari Pemerintah Negara Indonesia yang berdaulat melalui Keppres nomor 39 tahun 1997 tanggal 20 September 1997 tentang Penangguhan/pengkajian kembali proyek Pemerintah, badan usaha milik negara, dan swasta yang berkaitan dengan pemerintah/badan usaha milik negara pada Keputusan Pemerintah tersebut terkait dengan upaya mengamankan kesinambungan perekonomian dan jalannya pembangunan nasional, serta berdasarkan landasan konstitusional yang dimiliki oleh Presiden. Dari penjelasan ini jelaslah bahwa penafsiran, perluasan dan pemaknaan pengertian kepentingan umum dan causa yang halal sangat situasional dan kontekstual yang dapat melebar dan meluas keluar dari wilayah hukum dan memasuki wilayah pertimbangan politik, ekonomi dan lain-lain. Dalam hukum perdata internasional, ada asas yang menyatakan apabila pemakaian dari hukum asing berarti suatu pelanggaran yang sangat daripada sendi sendi azasi hukum nasional, hakim dalam hal-hal pengecualian, dapat mengesampingkan hukum asing ini. Tetapi pengesampingan tersebut haruslah sedemikian rupa alasannya, agar tidak tergelincir menjadi kebanggaan sempit pada hukum nasional, yang oleh Sudargo Gautama diistilahkan dengan chauvinisme yuridis . Di sisi lain, apabila hukum nasional tertentu dikesampingkan, dan sebaliknya mengadopsi bagian tertentu dari hukum internasional untuk kepentingan sesaat dan kontekstual, hal ini dapat dikategorikan sebagai penyelundupan hukum. .

Anda mungkin juga menyukai