1) Kedudukan kepala negara (presiden) adalah sebagai kepala negara dan sebagai kepala
eksekutif (pemerintahan). 2) Presiden dan parlemen dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu sehingga akan terjadi presiden berasal dari partai politik yang berbeda dengan partai politik di parlemen. 3) Presiden dan parlemen tidak bisa saling mempengaruhi (menjatuhkan).
4) Presiden tidak dapat diberhentikan oleh parlemen dalam masa jabatannya, tetapi jika
presiden melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum, presiden dapat dikenai
kewarganegaraan sering mengakibatkan hubungan suatu negara dengan negara lain menjadi renggang.
Secara formal, periode perkembangan ketatanegaraan Indonesia dapat dirinci sebagai berikut. 1. Periode berlakunya UUD 1945 ( 18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia Hal tersebut menunjukkan satu kesatuan bangsa Indonesia dan satu kesatuan wilayah Indonesia. b. Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi : Negara republik Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk republik . Kata kesatuan dalam pasal tersebut menunjukkan bentuk pemerintahan. UUD 1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan secara murni seperti yang diajarkan Montesquieu dalam ajaran Trias Politika. UUD 1945 lebih cenderung menganut prinsip Pembagian Kekuasaan (Distribution of Power). Menurut UUD 1945, seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kekuasaan-kekuasaan dalam Negara dikelola oleh lima lembaga, yaitu. a. b. c. d. Legislatif, yang dilakukan oleh DPR Eksekutif, yang dijalankan oleh presiden Konsultatif, yang dijalankan oleh DPA Eksaminatif (mengevaluasi), kekuasaan inspektif (mengontrol), dan kekuasaan menunjukkan bentuk Negara, sedangkan Republik
auditatif (memeriksa) yang dijalankan oleh BPK. e. Yudikatif, yang dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Namun, pembagian kekuasaan pada masa UUD 1945 kurun waktu 18 Agustus 1949 sampai dengan 27 Desember 1945 belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum terbentuknya lembaga-lembaga negara seperti yang dikehendaki UUD 1945. Seperti kita ketahui, pada kurun waktu itu di Indonesia hanya ada presiden, wakil persiden, dan menteri-menteri serta KNIP. Oleh karena itu, sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu presiden dibantu KNIP. Jadi, dapat dikatakan belum ada pembagian kekuasaan. Kekuasaan presiden yang demikian luas itu berdasarkan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945. Namun setelah munculnya maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua badan, yaitu kekuasaan legislatif dijalankan oleh
KNIP dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap dipegang oleh presiden sampai tanggal 14 November 1945. Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh presiden beralih ke tangan perdana menteri sebagai konsekuensi dari dibentuknya sistem pemerintahan parlementer. Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan Negara kita masih berada pada masa peralihan hukum dan pemerintahan, pelaksanaan ketatanegaraan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum dapat sepenuhnya dilaksanakan. Namun, penjelasan UUD 1945 telah mengantisipasi keadaan itu. Menurut pasal IV Aturan Peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk menurut UUD 1945, segala kekuasaan Negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional. Namun, dalam perkembangannya KNIP yang dibentuk itu menuntut kekuasaan legislatif kepada pemerintah/presiden sehingga keluarlah Maklumat Wakil Presiden No.X, yang memberikan kewenangan kepada KNIP untuk menjalankan kekuasaan legislatif (DPR/MPR). Penyimpangan kekuasaan KNIP menjadi lembaga legislatif (parlemen) waktu itu dimungkinkan setelah keluarnya Maklumat Pemerintah pada 14 November 1945, yang menyatakan bahwa prinsip pertanggungjawaban memteri-menteri kepada KNIP secara resmi diakui. Akibatnya, dibentuklah kabinet baru yang dipimpin oleh Sutan Syahrir (sebagai Perdana Menterinya).
sendiri bertanggung jawab kepada parlemen. b. parlemen. c. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan Pembentukan kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam
kekuatan yang ada dalam parlemen. d. Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala
Negara dengan saran perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
e. f.
Lamanya masa jabatan kabinet tidak dapat ditentukan secara pasti. Kedudukan kepala Negara tidak dapat diganggu gugat atau diminta
pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan. Dengan demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan
parlementer adalah sebagai berikut. a. Sistem pemerintahan presidensial yang menjadi kepala negara pasti seorang
presiden, sedangkan dalam pemerintahan parlementer yang menjadi kepala negara bisa presiden, raja atau kaisar. b. Sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan berada di bawah pengawasan parlemen, sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen/DPR. Sejarah sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak periode berlakunya UUD 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintah bergeser dari tangan presiden kepada menteri atau menteri-menteri. Setiap undang-undang yang dikeluarkan harus terdapat tanda-tangan menteri (contra seign ministry). Dengan demikian, presiden tidak dapat diganggu-gugat. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab dalam penetapan suatu undang-undang adalah para menteri, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Berikut ini keenam lembaga negara sebagai alat-alat perlengkapan federal RIS, yaitu sebagai berikut. a. presiden
b. menteri-menteri c. senat
Di antara badan-badan (kekuasaan) tersebut, terdapat hubungan yang bersifat kerja sama dan pengawasan. Pembagian kekuasaan yang dimaksudkan itu adalah sebagai berikut. a. Kekuasaan pembentukan perundang-undangan (legislatif) yang dijalankan oleh
pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat. b. Kekuasaan melaksanakan perundang-undangan atau pemerintahan negara (eksekutif) yang dilakukan oleh pemerintah.
undang yang isinya melibatkan beberapa negara/daerah bagian atau antara pemerintah federal dengan negara/daerah bagian. Untuk undang-undang yang isinya di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR. Mahkamah Agung berfungsi sebagai penilai masalah penerapan atau pelanggaran hukum dalam peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan federasi tertinggi yang berwenang melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal maupun pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan. Konstitusi RIS yang bersifat liberal federalistik tidak sesuai dengan semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pancasila, dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh karena itu, muncullah berbagai reaksi dan unjuk rasa dari negara-negara bagian menuntut pembubaran negara RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas desakan itu maka tanggal 8 Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1950, yang isinya mengatur tata cara perubahan susunan kenegaraan negara RIS. Dengan adanya undang-undang tersebut hampir semua negara bagian RIS
menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian, yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatra Timur. Keadaan itu mendorong negara RIS berunding dengan RI untuk membentuk negara kesatuan. Pada 19 Mei 1950, dicapai kesepakatan membentuk kembeli NKRI yang dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan. NKRI secara resmi berdiri tanggal 17 Agustus 1950 dan Ir. Soekarno terpilih sebagai presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Sejak saat itu pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS 1950.
Dalam pasal 45 disebutkan Presiden ialah kepala negara. Karena presiden sebagai kepala negara, ia tidak dapat diminta pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintahan. Pasal 45 tersebut dipertegas dalam pasal 83 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : (1) Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, untuk bagiannya sendiri-
(2)
sendiri
Ketentuan lain yang menunjukkan bahwa UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer adalah pasal 84 yang berbunyi : Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan rakyat. Masa berlakunya UUDS 1950 diisi dengan jatuh bangunnya kabinet sehingga
pemerintahan tidak stabil. Hal tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut : a. Adanya sistem pemerintahan parlementer yang disertai sistem multipartai
(banyak partai) b. partainya c. Pelaksanaan sistem demokrasi yang tidak sehat. Perjuangan partai-partai politik hanya untuk kepentingan golongan atau
Karena itu, baik UUD RIS maupun UUDS 1950 menggunakan Pancasila sebagai Dasar Negara hanya dalam ketentuan formal , sedangkan jiwa kekeluargaannya belum mampu dijalankan secara operasional.. Pada masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan negara dipegang oleh beberapa alat perlengkapan negara yaitu : a. b. c. d. e. presiden dan wakil presiden menteri-menteri DPR Mahkamah Agung Dewan Pengawas Keuangan
UUDS pun menganut ajaran pembagian kekuasaan. Hal ini terbukti dengan ditentukannya badan-badan yang memegang tiga kekuasaan tersebut. a. Kekuasaan pemerintah negara dilakukan oleh dewan menteri
b. Kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR c. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung
Sesuai dengan sistem parlementer yang dianut oleh UUDS 1950, kekuasaan pemerintah negara (eksekutif) dilakukan sepenuhnya oleh dewan menteri sehingga kebijaksanaan pemerintah dipertanggungjawabkan oleh dewan menteri kepada DPR.
Kekuasaan perundang-undangan (legislatif) dilakukan oleh pemerintah bersama DPR, kecuali dalam perubahan UUD.DPR memiliki hak untuk mengajukan rancangan Undang-undang. Bidang yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Menurut pasal 105 ayat 1 dan 2 UUDS 1950, Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi yang bertugas melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan lain, berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. UUDS 1950 ini bersifat sementara yang ditegaskan dalam pasal 134 bahwa : Konstintuante bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan mengganti UUDS ini. Badan Konstintuante yang diserahi tugas membuat UUD baru tetap tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Keadaan ini memancing berkembangnya persaingan politik yang membawa akibat luas dalam berbagai tata kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Situasi gawat ini mendorong presiden mengajukan konsepsinya mengenai Sistem Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Konsepsi itu disampaikan di depan siding pleno DPR hasil Pemilu tahun 1955. Perdebatan yang terus berlarut-larut tanpa menghasilkan keputusan penting, mendorong Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang berisi : a. Pembubaran Badan Konstituante
b. Memberlakukan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
c. Pembentukan MPR dan DPA sementara 4. Periode Berlakunya Kembali UUD 1945
a. Periode Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
Para pembentuk UUDS 1950 sejak semula menyebutkan bahwa UUD tersebut masih bersifat sementara. Hal ini ditegaskan dalam pasal 134 yang berbunyi : Konstituante (Sidang Pembuat UUD) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini. Mengingat UUDS masih bersifat sementara, maka harus ada UUD yang tetap akan ditetapkan oleh Konstituante bersama-sama dengan pemerintah. Berdasarkan UUDS 1950, pembentukan anggota-anggota Konstituante harus diperoleh melalui pemilu. Pemilu untuk anggota Konstituante tersebut, baru dapat diselenggarakan pada bulan Desember 1955. Pada 10 November 1956, sidang pertama Konstituante dibuka di
Bandung oleh presiden Soekarno. Pada saat itu presiden Soekarno untuk kali pertama memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.
Rakyat dan pemerintah sangat berharap Konstituante dapat membentuk UUD baru dengan segera. Dengan munculnya UUD baru diharapkan dapat mengubah tatanan kehidupan politik yang dinilai kurang baik. Lebih dari dua tahun bersidang, Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan UUD baru. Ketika itu, perbedaan pendapat yang telah menjadi perdebatan di dalam gedung Konstituantemengenai dasar negara telah menjalar ke luar gedung Konstituante, sehingga diperkirakan akan menimbulkan ketegangan politik dan fisik di kalanagan masyarakat. Perdebatan-perdebatan di kalangan anggota Konstituante tentang dasar negara sulit untuk diselesaikan. Sehubungan dengan itu, pada bulan Maret 1959 pemerintah memberikan keterangan dalam sidang pleno DPR mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada UUD 1945. Perdana Menteri Djuanda menegaskan bahwa usaha untuk kembali kepada UUD 1945 itu harus dilakukan secara konstitusional, artinya, harus berdasarkan pada pasal 134 UUDS 1950. Oleh karena itu, pemerintah akan menyampaikan kepada Konstituante untuk menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara Republik Indonesia. Mengingat suhu politik yang semakin memanas, pada 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat kepada Konstituante. Amanat tersebut memuat anjuran kepala negara dan pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Di samping itu, menegaskan pula pokok-pokok Demokrasi Terpimpin, yaitu sebagai berikut. 1) Demokrasi terpimpin bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi
Sentralisme dan berbeda pula dengan Demokrasi Liberal yang dipraktikkan selama ini. 2) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan
dasar hidup bangsa Indonesia. 3) Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi di segala soal kenegaraan dan
4)
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, bukan oleh penyiasatan dan perdebatan yang diakhiri dengan pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra.
5)
6)
yang membangun
diharuskan dalam alam Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan alat, bukan tujuan. Tujuan melaksanakan Demokrasi Terpimpin ialah mencapai sesuatu
7)
masyarakat yang adil dan makmur, yang penuh dengan kebahagiaan materiil dan spiritual, sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945. 8) Sebagai alat, Demokrasi terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan
Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante, namun dengan pandangan yang berbeda. Pertama, menerima saran untuk kembali kepada UUD 1945 secara utuh. Kedua, menerima untuk kembali kepada UUD 1945 tetapi dengan amandemen, yaitu sila ke satu Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 harus diubah dengan sila ke satu Pancasila seperti tercantum dalam Piagam Jakarta. Adapun prosedur untuk kembali kepada UUD 1945 sebagaimana diputuskan oleh Kabinet Karya adalah sebagai berikut. 1) Setelah terdapat kata sepakat antara presiden dan Dewan Menteri maka pemerintah minta supaya diadakan sidang pleno Konstituante. 2) Atas nama pemerintah, disampaikan oleh presiden amanat berdasarkan pasal 134 UUDS 1950 kepada Konstituante yang berisi anjuran supaya UUD 1945 ditetapkan. 3) Jika anjuran itu diterima oleh Konstituante, pemerintah atas dasar ketentuan pasal 137 UUDS 1950 mengumumkan UUD Republik Indonesia 1945 itu dengan keluhuran. Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu piagam yang ditandatangani dalam suatu sidang pleno Konstituante di bandung oleh presiden, para menteri, dan para anggota Konstituante, yang antara lain memuat Piagam Jakarta tertinggal 22 Juni 1945. Setelah melalui berbagai macam usaha. Konstituante tidak dapat mengambil keputusan untuk menerima anjuran tersebut. Hal ini sah-sah saja mengingat kewenangan untuk mempersiapkan dan membentuk undang-undang dasar ada di tangan Konstituante, sedangkan pemerintah yang melandaskan pada pasal 137 hanya berwenang mengesahkan dan mengumumkan. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 dan mengingat lembaga-lembaga negara belum lengkap maka dilakukanlah beberapa langkah sebagai berikut. 1) Pembaruan susunan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960. 2) Penyusunan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun 1960. Dalam pasal ditentukan bahwa anggota-anggota DPR diberhentikan dengan hormat dari jabatannya terhitung ulai tanggal pelantikan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh presiden. 3) Untuk melaksanakan Dekrit Presiden, presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. 4) Penyusunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960.
10
5) Dikeluarkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara. Dengan demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Banyak penyimpangan yang telah terjadi antara lain sebagai berikut.
belum
dibentuk
berdasarkan undang-undang. Lembaga-lembaga ini masih bersifat sementara. 2) Pengangkatan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963. Ketetapan ini jelas melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang tegas-tegas menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih lagi. Sejarah Indonesia mencatat bahwa penyimpangan-penyimpangan konstitusional ini mencapai puncaknya di bidang politik dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini masih menjadi perdebatan sampai saat ini. Sejarah mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965 masih menyimpan berbagai misteri. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku sejarah yang mencoba melakukan penelusuran kembali, akan tetapi sayang banyak dokumen yang hilang. Terlepas dari kebenaran dari masing-masing versi tersebut, yang jelas peristiwa Gerakan 30 September pemerintahan 1965 telah menimbulkan sejarah kekacauan sosial budaya dan instabilitas hitam dalam peta politik dan hukum
serta
meninggalkan
ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa seperti ini adalah jatuhnya legitimasi Presiden Soekarno dalam memegang tampuk kekuasaan negara. Legitimasi itu semakin terpuruk dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang pada hakikatnya merupakan perintah dari presiden kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk
mengambil segala tindakan dalam menjamin keamanan serta stabilitas jalannya pemerintahan. Demi terciptanya kepemimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya kestabilan politik, ekonomi, dan hankam maka dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 yang
menyatakan : Mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia sampai terpilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.
b.
Setelah turunnya Presiden Soekarno dari tampuk kepresidenan, maka berakhirlah Orde Lama. Kepemimpinan disahkan kepada Jenderal Soeharto mulai memegang kendali
pemerintahan dan menamakan era kepemimpinannya sebagai Orde Baru. Di era ini konsentrasi
11
penyelenggaraan sistem pemerintahan dan kehidupan demokrasi menitikberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional. Untuk mencapai titik tolak tersebut, dilakukanlah upaya-upaya pembenahan sistem ketatanegaraan dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai sejumlah sisi yang menonjol, yaitu: 1) adanya konsep dwifungsi ABRI; 2) pengutamaan Golongan Karya; 3) magnifikasi kekuasaan di tangan eksekutif; 4) diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat;
5. Periode Reformasi
Setelah tumbangnya Orde baru maka dimulailah pentahapan konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia. Konsolidasi tersebut antara lain adalah melakukan perubahan dan penggantian berbagai peraturan perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang bagi kehidupan demokrasi dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia mencapai puncak dengan mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional pada 20 Mei 1998. Selama Presiden Soeharto memegang kekuasaan negara selama 30 tahun, sistem pemerintahan RI mengarah pada supremasi eksekutif. Ini mengakibatkan langgam politik ketatanegaraan Indonesia justru mengarah pada pola otoriterisme.
12
Kondisi semacam inilah yang mengakibatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan menjadi lemah, sehingga kontrol terhadap pelaksanaan pemerintahan menjadi tidak berjalan. Akibat dari kesemuanya itu adalah krisis multidimensional yang dialami Indonesia di pertengahan tahun 1997 tidak dapat tertanggulangi. Reformasi Indonesia yang utama adalah menuju tatanan kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dapat dilihat dari ketiga periode sebagaimana dikemukakan oleh Huntington. Ketiga periode yang dimaksud adalah pertama, pengakhiran rezim nondemokratis, yakni ditandai dengan tumbangnya kekuasaan Presiden Soeharto sebagai akibat ketidakmampuan dalam mempertahankan legitimasi di hadapan masa rakyat dan mahasiswa. Kedua, pengukuhan rezim demokratis yang ditandai dengan dilaksanakannya pemilu tahun 1999 dengan sistem multipartai. Dalam periode ini terpilih presiden dan wakil presiden yakni Abdurrahman Gus Dur Wahid, sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ketiga, periode konsolidasi sistem demokratis ditandai dengan adanya pembenahan struktur ketatanegaraan Indonesia, seperti amandemen UUD 1945 oleh MPR melalui Panitia Ad-Hoc I MPR-RI. Dalam amandemen UUD 1945 tersebut, antara lain ditegaskan bahwa sistem
pemerintahan presidensial akan tetap dipertahankan bahkan diperkuat melalui mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pasal-pasal yang terkait dengan hal tersebut dan yang telah diamandemen adalah sebagai berikut. a. Pasal 5 ayat 1 menegaskan : presiden berhak mengajukan Rancangan Undang Undang kepada DPR. b. Pasal 7 menegaskan : Presiden dan Wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. c. Pasal 17 ayat 2 menyatakan : Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. d. Pasal 20 ayat 1 menyatakan : DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. Kendati pasal-pasal UUD 1945 yang sudah diamandemen tersebut memberikan indikasi pelaksanaan sistem presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraan ketatanegaraan Indonesia, ini masih belum dilaksanakan secara murni. Hal ini tertuang dalam Tap MPR No. VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI. Dalam pasal 8 menyatakan sebagai berikut. a. Fraksi dapat mengajukan seorang calon presiden
b. Calon presiden dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya 70 orang anggota majelis yang terdiri atas satu fraksi atau lebih
13
c.
Setiap anggota majelis hanya boleh menggunakan salah satu cara pengajuan calon presiden sebagaimana disebutkan dalam ayat 1 dan 2 pasal ini.
Memperhatikan ketentuan ini, tampak jelas bahwa pemilihan presiden tidak dilakukan secara langsung, melainkan masih merupakan wewenang dari MPR melalui pengusulan oleh anggota MPR maupun fraksi. Ini berarti dalam hal rekruitmen kepala pemerintahan masih tetap menggunakan pola sistem parlementer. Sistem pemerintahan parlementer ini semakin menunjukkan eksitensinya ketika Presiden Gus Dur memperoleh memorandum I,II,dan III oleh DPR karena dianggap terlibat dalam kasus penyelewengan dan Bulog dan bantuan dari Sultan Brunei. Kasus ini disebut sebagai kasus Bullogate dan Brunaigate. Akhir dari konflik eksekutif dan legislatif ini mengakibatkan Presiden Gus Dur dilengserkan oleh MPR melalui keputusan pada Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Presiden Gus Dur selanjutnya digantikan oleh Wakil Presiden, Megawati Soekarnoputri. Kemudian dalam sidang tahunan MPR tahun 2001, Megawati Soekarnoputri diangkat menjadi presiden dan didampingi oleh Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden. Berdasarkan sidang tahunan MPR tahun 2002, di dalam amandemen keempat UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden dan wakil presiden, dipilih langsung oleh rakyat. Di dalam pasal 6A UUD 1945, antara lain sbb : 1. Presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat 2. Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum
3.
suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. 4. Dalam hal tidak ada pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden. 5. Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
lebih lanjut diatur oleh Undang-undang Berdasarkan ketentuan tersebut, presiden dan wakil presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, melainkan bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Berkaitan
14
dengan hal ini, pasal 3 ayat 3 amandemen UUD 1945 menegaskan bahwa MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD. Menurut pasal 7A UUD 1945, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR ini atas usul DPR, baik apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut, DPR terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat DPR tentang adanya indikasi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7B UUD 1945 menyatakan sebagai berikut.
1. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada
MPR hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. 2. Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. 3. Pengajuan Permintaan DPR kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
4.
Mahkamah konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lambat 90 hari setelah permintaan
15
7. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna. MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dari jumlah anggota yang disetujui oleh sekurang-kurangnya dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR. Berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban tersebut, setelah UUD 1945 diamandemen, terdapat perubahan sistem pemerintahan negara RI yang cukup fundamental. Perubahan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut : a. Sistem pemerintahan negara mempergunakan sistem presidensial murni
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden serta parlemen yang terdiri atas dua kamar dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum c. Di bidang politik, kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden serta parlemen samasama kuat. d. Dikenal adanya lembaga peradilan konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan impeachment kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden jikalau ditengarai telah melakukan pelanggaran cukup berat. e. Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada parlemen harus diawali dengan adanya pertanggungjawaban hukum (yuridis). Adapun jika pertanggungjawaban politis merupakan konsekuensi logis, jika Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pertanggungjawaban hukum tersebut.
16
17