Anda di halaman 1dari 15

SINDROMA GUILLAIN BARRE

Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Sindroma Guillain Barre mempunyai banyak sinonim, antara lain : polineuritis akut pasca infeksi, polineuritis akut toksik, polineuritis febril, poliradikulopati dan acute ascending paralysis. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang semua umur. SGB merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda-tanda radang. Periode laten antara infeksi dan gejala polineuritis memberi dugaan bahwa kemungkinan kelainan yang terdapat disebabkan oleh suatu respons terhadap reaksi alergi saraf perifer. Pada banyak kasus, infeksi sebelumnya tidak ditemukan, kadang-kadang kecuali saraf perifer dan serabut spinal ventral dan dorsal, terdapat juga gangguan medula spinalis dan medula oblongata. Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat memperbaiki prognosisnya. INSIDENS Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, tersering dikenai umur dewasa muda. Insidensi lebih tinggi pada perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1, dan lebih banyak terjadi pada usia muda (umur 4-10 tahun). Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu. ETIOLOGI Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagian penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated process. Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran nafas bagian atas atau saluran pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya. PATOGENESIS Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer. Infeksi-infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang paling umum dilanda proses perlekatan

pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya defisit sensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak. Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast. Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf pada daerah tersebut. GAMBARAN KLINIS Penyakit infeksi dan keadaan prodromal : Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya (2). Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa (1,4). Masa laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Keluhan utama Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak. Gejala Klinis 1.Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4). 2.Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral (3). Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik (1,4). 3.Saraf Kranialis

Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus (4). 4.Gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 (4). Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai (1,4). Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu. 5.Kegagalan pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita (1,4). 6.Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang (4). 7.Perjalanan penyakit Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu (3,4). Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu (3). Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan. Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita SGB (3).

1.Variasi klinis Di samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut : Sindroma Miller-Fisher

Defisit sensoris kranialis Pandisautonomia murni Chronic acquired demyyelinative neuropathy. 2.Pemeriksaan laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu (2,4,11). Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone). 3.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah (11) : Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat Distal motor retensi memanjang Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna (12). DIAGNOSIS Diagnosis SGB berdasarkan gambaran klinis yang spesifik, disosiasi sito-albuminik dan kelainan elektrofisiologis. Kriteria diagnosis yang luas dipakai adalah kriteria diagnosis dari NINCDS tahun 1981 (11). Tabel 1. Garis besar kriteria diagnosis SGB Gambaran yang diperlukan untuk diagnosis Kelemahan motorik yang progresis Arefleksi atau hipofleksia Gambaran yang mendukung diagnosis Gambaran klinis Progresif cepat Relatif simetris Keluhan gejala sensoris yang ringan Dikenainya saraf otak Penyembuhan dimulai setelah 4 minggu fase progresif berakhir Gangguan otonom Afebril pada saat onset Gambaran cairan otak Peninggian kadar protein setelah satu minggu onset Jumlah sel mononuklear cairan otak < 10 sel/mm3 Gambaran EMG Terdapat perlambatan atau blok hantaran saraf

Gambaran yang meragukan diagnosis Kelumpuhan asimetris yang menetap Gangguan kandung kemih dan defikasi yang menetap Gangguan kandung kemih dan defikasi pada onset Jumlah sel mononuklear dalam cairan otak > 50 sel mm3 Terdapat leukosit PMN dalam cairan otak Gangguan sensibilitas berbatas tegas Gambaran yang menyingkirkan diagnosis Terdapat sangkaan adanya riwayat, gambaran klinis atau laboratorium dari : Pemakaian uap n-heksan Porfiria intermitten akut Infeksi difteri Neuropati karena keracunan timah hitam Poliomielitis, botulisme, histeri atau neuropati toksik DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari SGB adalah polimielitis, botulisme, hysterical paralysis, neuropati toksik (misalnya karena nitrofurantoin, dapsone, organofosfat), diphtheric paralysis, porfiria intermitten akut, neuropati karena timbal, mielitis akut (2,4,11). PROGNOSIS Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20 % penderita meninggal oleh karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara 2-10 % (1,3,6), dengan penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi paru dan emboli paru. Sebagian besar penderita (60-80 %) sembuh secara sempurna dalam waktu enam bulan. Sebagian kecil (7-22 %) sembuh dalam waktu 12 bulan dengan kelainan motorik ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan kaki (2,3). Kira-kira 3-5 % penderita mengalami relaps (2).

TERAPI Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama pengobatan adalah perawatan yang baik dan memperbaiki prognosisnya. 1.Perawatan umum dan fisioterapi (1,4,13) Perawatan yang baik sangat penting dan terutama ditujukan pada perawatan kulit, kandung kemih. Saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea. Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati. Respirasi diawasi secara ketat, terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan pernafasan buatan. Jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama maka trakheotomi harus dikerjakan. Fisioterapi yang teratur dan baik juga penting. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh, dan kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif.

Segera setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. Disfungsi otonom harus dicari dengan pengawasan teratur dari irama jantung dan tekanan darah. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik. 2.Pertukaran plasma Pertukaran plasma (plasma exchange) bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. 3.Kortikosteroid Walaupun telah melewati empat dekade pemakaian kortikosteroid pada SGB masih diragukan manfaatnya. Namun demikian ada yang berpendapat bahwa pemakaian kortikosteroid pada fase dini penyakit mungkin bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA

1.Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang. 2.Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 3.Mardjono M, 1989, Patofisiologi Susunan Neuromuskular, dalam : Neurologi Klinis Dasar, edisi V : hal 41-43, PT Dian Rakyat, Jakarta. 4.Sidharta, P, 1992, Lesu-Letih-Lemah, dalam : Neurologi Klinis dalam praktek Umum : ha; 160-162, PT Dian Rakyat, Jakarta. 5.Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.

SINDROMA GUILLAIN BARRE

1 Votes

SINDROMA GUILLAIN BARRE

Pendahuluan
Sindroma Guillain Barre adalah penyakit yang menyerang radiks saraf yang bersifat akut dan yang menyebabkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai bagian bawah dan meluas keatas sampai tubuh dan otot-otot wajah. Penyakit ini dapat mengancam jiwa yaitu berupa kelemahan yang dimulai dari anggota gerak distal yang dengan cepat dapat merambat ke proximal. Nama lain dari sindroma Guillaain Barre adalah Poli radikulo neuropati inflamasi akut atau PIA. Insiden tahunan di Amerika Serikat adalah 1 sampai 2 per 100.000. Penyakit ini tidak dipengaruhi terhadap musim dan tidak endemik dapat menyerang semua golongan umur terutama pada usia 50-70 tahun, presentasi jumlah antara pria dan wanita sama. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yang menyebabkan demielinisasi pada akar saraf tepi. Sampai saat ini penyebab pasti penyakit ini masih dalam perdebatan.

Etiologi
Pada umumnya penyakit ini sering didahului penyakit infeksi traktus respiratorius atas seperti influenza, atau dapat juga didahului oleh infeksi bakteri, vaksinasi, tindakan bedah dan lain-lain. Dengan melihat keadaan klinis yang mendahuluinya, banyak teori dicoba untuk dikaitkan dengan penyakit ini. 1. Infeksi 50% penderita mengalami infeksi dalam waktu 2 minggu sebelum gejala, umumnya infeksi virus terutama influenza. 2. Tindakan Bedah 5-10% kasus terjadi setelah tindakan bedah.

3. Penyakit Keganasan. Beberapa kasus penyakit ini dikaitkan dengan penyakit Hodgkins dan limfoma. 4. Vaksinasi 3% penderita dengan sindroma ini 8 minggu sebelumnya mengalami vaksinasi yang dilaporkan sebagian besar vaksinasi influenza.

Patologi
Masih belum jelas tetapi beberapa peneliti mempunyai kecenderungan peranan dasar patogenesa yang bersifat imunologik. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:

Didapatnya antibody atau daya respon kekebalan selular terhadap agen infeksi saraf tepi. Adanya autoantibodi atau kekebalan selular terhadap system saraf tepi. Didapatnya penimbunan komplek antigen-antibodi pada pembuluh saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.

Gambaran Klinik Terjadinya kelemahan yang bersifat progresif yang menyangkut lebih dari satu anggota gerak. Kelemahan dapat hanya berupa parese ringan pada kedua lengan dengan atau tanpa ataksia ringan sampai lumpuh total pada keempat otot ekstremitas, atot tubuh, otot bulbar, otot wajah dan biasanya mata tidak terkena. Adanya arefleksia bagian distal dan hiporefleksia proksimal cukup untuk mendiagnosa dengan disertai ciri-ciri lain. Ciri-ciri klinis lain dapat berupa : Gejala kelumpuhan otot yang luas secara cepat tapi berhenti dalam 4 minggu, kira-kira 50% mencapai 2 minggu, 80 % sesudah 3 minggu, dan 90% sesudah 4 minggu. Simetris, walaupun jarang akan tetapi bila sisi satu terkena maka sisi yang lain ikut terkena. Gangguan sensorik ringan

Syaraf otak yang ikut terkena adalah saraf otak VII sekitar 50% dan sering bilateral. Saraf lain yang ikut terkena terutama mengenai lidah (proses menelan), otot ekstra okuler sekitar 5 %. Progresifitas penyakit biasanya terhenti dalam 2-4 minggu dari sejak kelumpuhan.

Gangguan saraf otonom seperti takikardi, aritmia, hipotensi postural serta gangguan vasomotor bila ada akan memperkuat diagnosis. Sindrom ini dikenal juga dengan paralysis ascendens oleh karena kelumpuhan yang menjalar dari bagian tubuh bawah ke bagian tubuh atas. Perluasan dan kelemahan otot-otot batang tubuh yang meluas ke daerah thorak akan mengganggu pernapasan, oleh karena itu perlu dikontrol pernapasan penderita. Perkiraan kasar dapat dengan menyuruh penderita menarik napas panjang atau sedalam-dalamnya dan kemudian dihitung. Sebagian orang dapat mencapai hitungan 35 atau 40 dalam satu kali bernapas. Jika diduga terjadi adanya paralysis landry yaitu kelumpuhan naik sampai ke N. Phrenicus dan N.Vagus yang menyebabakan gangguan gerak pernapasan pada diafragma dan costae sehingga tidak terjadi pernapasan thorakal atau abdominal yang dapat menimbulkan gagal napas, keadaan ini harus diatasi segera dengan trakeostomi. Jika menganai saraf cranial selain gejala diatas dapat juga terjadi gejala kesemutan atau baal, pada anggota tubuh distal.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Cairan Serebrospinal

Adanya albumino- Cytologic Dissosiation yaitu penigkatan kadar protein pada cairan serebrospinal yang sangat tinggi lebih kurang diatas 300 mg/ul pada hari kesepuluh sampai hari keduapuluh tanpa disertai pleositosis, akan tetapi terdapat 9% kelainan ini tidak disertai kenaikan kadar protein. Peningkatan protein ini diduga akibat dari reaksi inflamasi yang luas. Hal diatas tidak sesuai dengan jumlah sel yang dalam LCS tidak mengalami perubahan.

Pemeriksaan elektroneuromiografi

Menunjukkan adanya dimielinisasi pada hampir semua penderita Sindrom Guillain Barre.

Pemeriksaaan Kecepatan Hantaran Saraf yang menurun (Nerve Conductivity Test)

Diagnosa Banding

Polineuropathy Defisiensi Vitamin

Perjalanan penyakit progresif lambat (berbulan-bulan), gejala sensorik yang menonjol, kelemahan otot bagian distal, jarang menganai otot pernapasan, saraf cranialis atau saraf otonom. Pada punksi lumbal tidak ada peningkatan protein liquor.

Miastenia Gravis

Kelemahan otot terutama yang sering digunakan seperti otot bola mata, otot-otot untuk menelan dan untuk bicara tidak ada keluhan sensorik. Didapat perbesaran thymus. Test prostigmin membaik.

Paralisis Periodik Hipokalemia

Kelemahan otot terjadi pada pagi hari sehabis bangun tidur. Tidak ada keluhan sensorik yang diakibatkan oleh kadar kalium yang rendah. Dengan infus KCl akan membaik keadaannya.

Penatalaksanaan

A.

Umum

Meliputi pengawasan dan penanganan terhadap system pernapasan, sistem kardiovaskuler, sistem saluran pencernaan, sistem urogenital.

B. Spesifik
1. Kortikosteroid Penggunaan kortikosteroid dosis rendah dan dosisi tinggi 500 mg dalam penggunaan harus diperhatikan efek samping yaitu moon face, penurunana daya tahan tubuh, osteoporosis, supresi korteks adrenal dan gastritis. Mnfaat pemberian masih kontroversi namun demikian apabila terjadi keaqdaan gawat akibat paralysis otot pernapasan maka kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. 2. Fresh Frozen Plasma Exchange Dianjurkan pada negara yang sedang berkembang, 0,5 liter darah diambil dari Vena ante Cubiti dan ditampung dalam kantong plastik, setelah venaseksi infus 0,25 liter plasma beku segar. Darah kantong plastik disentrifuge kembali ke penderita. Cara ini dilakukan dua kali sehari selama 7 sampai 13 hari berturut-turut. 3. Plasma Pharesis atau Plasma Exchange Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Plasma diganti dengan beberapa cairan yang meliputi plasmonate, albumin 4% dan pook plasma setiap 1 kali plasma paresis dikeluarkan 40 ml/kgBB yang dikerjakan dalam 2 hari.

Program Rehabilitasi Medik


1. Fisioterapi

Alih baring (positioning) dan peregangan otot untuk mencegah kekakuan juga untuk mencegah terjadinya ulkus dekubitus. ROM Exercise (latihan lingkup gerak sendi) secara pasif dan aktif untuk alat gerak atas dan bawah. Latihan pernafasan dalam Latihan penguatan dengan tahanan terhadap kelompok otot-otot besar. Ambulasi dimulai dengan berdiri dan berjalan dengan menggunakan parallel bar.

2. Terapi Okupasi Cara tidur yang benar yaitu dengan mengganjal kedua anggota gerak bawah untuk mencegah terjadinya droop foot. Mencegah penggunaan otot persendian berlebihan sehingga dapat menimbulkan kelelahan. 3. Ortotik Prostetik Alat bantu gerak sementara termasuk alat pembungkus kaki dengan elastik bandage untuk mentokong dorsofleksi kaki, kepala lutut dipakai splint temporer, kemudian a light spring wire brace untuk droop foot jika diperlukan. 4. Psikososial Memberitahukan keluarga tentang prognosis penyakit dan mengajak keluarga untuk menjalankan program terapi bersama tim medis untuk mencapai hasil maksimal. Meningkatkan gizi penderita dan menghindarkan infeksi. Melakukan evaluasi psikologis secara teratur terhadap penderita.

Program Rehabilitasi Medik Yang Intensif dan Benar Pada Sindrom Guillain Barre

A.

Stadium Akut

Pada stadium ini penderita menunjukan kelemahan otot yang komplit atau sedang berjalan. Sasaran rehabilitasi medis adalah :

Memelihara luas gerak sendi (mencegah kontraktur)

1. Pasif atau aktif assistif (tergantung kekuatan otot) 2. Tidak boleh sampai lelah.

3. Latihan dikerjakan hati-hati jangan sampai terjadi peregangan yang berlebihan karena akan mencederai otot yang dilatih. 4. Restling splint dapat diprogramkan untuk tangan (untuk dapat mempertahankan posisi pergelangan tangan pada posisi fungsional) dan unutk kaki ( mencegah kontraktur tendo achilles)

Mencegah terjadinya ulkus dekubitus

1. Ubah posisi penderita tiap 2 jam 2. Hindari penekanan pada daerah yang mudah mengalami iskemik misalnya dengan memberi bantalan yang lembut.

Memelihara Fungsi Pernafasan Memberi Dukungan Psikologis. Stadium Sub Akut

B.

Pada fase ini ada perbaikan umumnya setelah 1 sampai 2 bulan. Program rehabilitasi medik: Pelatihan luas gerak sendi jangan sampai terjadi over stretching Latihan penguatan otot disesuaikan dengan kemajuan motorik Gait training

a. Latihan berdiri hanya boleh dilakukan jika kekuatan otot betis mencapai lebih dari 3. b. Latihan jalan hanya dapat dimulai jiak otot gluteus, hamstring dan quadriceps kekuatannya sudah lebih dari 3. c. Jika kekuatan otot masih 2, latihan jalan dapat dilakukan dalam air (hidroterapi) d. Latihan ADL (Activity of Daily Living) Penderita hanya boleh makan sendiri jika kekuatan otot anggota gerak atas lebih dari 3, kadang diperlukan splint untuk pergelangan tangan dan kaki. Kegiatan yang menyebabkan kerja berlebih harus dihindari.

C.

Stadium Kronis

Jika penderita tidak menunjukan perbaikan motorik setelah lebih dari 6 bulan berarti terdapat kerusakan akson yang luas sampai menunggu kesembuhan selanjutnya, program pencegahan imobilisasi lama harus dilakukan sebaik-baiknya.

Pencegahan Komplikasi Pada Imobilisasi yang Lama

Kelemahan Otot dan Atrofi Otot

Pencegahannya: - Pemanasan atau diatermi listrik - Latihan penguatan

Ulkus Dekubitus

Pencegahannya: - Posisi baring yang benar - Mengubah posisi baru tiap 2 jam - Nutrisi yang baik - Massage dan pemberian talk - Tempat tidur air - Pemeliharaan tetap kering dan bersih

Gangguan Metabolik (Konstipasi)

Pencegahannya: Makanan tinggi serat Minum yang banyak Mobilisasi Massage daerah abdomen Mengedan

Rektal toucher Beri pencahar/klisma


Kontraktur

Pasif atau aktif ROM Exercise membantu mencegah kontraktur jaringan lunak dan dilakukan 2 kali sehari. Jika terjadi kontraktur dapat dibantu dengan memberi tekanan ringan dan stretching.

Gangguan Fungsi Kardiovaskular dan Pulmo

Pencegahan pada hipotensi ortostatik yaitu dengan elevasi kaki, jangan berdiri mendadak, latihan gerak kaki dan tungkai, ubah posisi tiap 2 jam termasuk ke posisi gerak untuk menghindari terjadinya hipostatik pneumonia.

Batu Saluran Kemih

Dapat dicegah mobilisasi atau ambulansi segera, banyak minum, diet rendah kalsium, pemeriksaan urin rutin.

Deteriorasi Psikologis (Kemunduran Fungsi-Fungsi Psikologis)

Dicegah dengan sesegera mungkin dilakukan aktivitas yang mampu dilakukan dan dorongan keluarga serta lingkungan secara optimal.

Prognosis
80% pasien sindroma Guillain Barre membaik meskipun memakan waktu berbulan-bulan. Faktor yang memperburuk prognosa adalah gangguan otonom, otot pernafasan, adanya kelemahan pada EMG, usis pasien yang tua. Mortalitas pasien Sindrom Guillain Barre adalah 3-5%.
DAFTAR PUSTAKA

1) Hardhi Pranata, dr, SpS; Sindroma Guillain Barre dalam Pengenalan dan penatalaksanaan Kasus-Kasus Neurologi, Buku Pertama, Dept. Neurologi RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Hal 48-54. 2) Eddy Tamtama, dr, SpS, Sindroma Guillain Barre dalam Pemeriksaan Neurologis, Bagian IV, UPF Neurologi RSUD Gunung Jati, Cirebon; 2001, Hal 48-58 3) Lumban Tobing, dr, SpS; Neurologi Klinik Pemeriksaan Klinik dan Mental, FKUI, Jakarta, 2000

Like

Be the first to like this post.

Anda mungkin juga menyukai