Anda di halaman 1dari 35

TUBERKULOSIS PARU DALAM KEHAMILAN

Disusun oleh : MEGA ANDINI (1102007173)

Pembimbing : dr. Dadan Susandi Sp.OG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI SMF OBSTETRI GINEKOLOGI RSUD DR.SLAMET GARUT OKTOBER 2011

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb, Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Tuberkulosis Paru dalam Kehamilan. Penulisan referat ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan klinik di bagian obstetric dan ginekologi di RSUD dr.Slamet Garut. Dalam penulisan referat ini penulis tidak terlepas dari kesulitan dan hambatan yang dihadapi, namun berkat pertolongan dari berbagai pihak referat ini dapat terwujud. Tak lupa ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan setinggi-tingginya kepada dr. H. Dadan Susandi Sp.OG yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan petunjuk, bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu. Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki penulis. Meskipun demikian, penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya. Akhir kata penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari seluruh pihak demi kesempurnaan referat ini.

Garut, Oktober 2011

Mega andini

DAFTAR ISI

Kata pengantar Daftar isi . BAB I BAB II Pendahuluan Tinjauan Pustaka .. II.1 Definisi . II. 2 Epidemiologi.... II. 3 Klasifikasi . II. 4 Patogenesis dan patologi ....... II. 6 Faktor Risiko.............................. II.7 Patofisiologi dan Cara penularan ....... II. 8 Perjalanan Penyakit Tuberkulosa dalam kehamilan.................................................................... II. 9 Diagnosis Banding ...... II. 10 Penatalaksanaan Tuberkulosis dalam kehamilan.................................... II. 11 Prognosis .............. BAB III Kesimpulan ....

Daftar Pustaka ...

BAB I PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru sampai saat ini masih merupakan problem kesehatan yang masih sulit terpecahkan. Tuberkulosis paru masih merupakan suatu ancaman terutama pada negaranegara yang sedang berkembang. Angka kematian sejak awal abad ke-20 mulai berkurang sejak diterapkannya prinsip pengobatan dengan perbaikan gizi dan tata cara kehidupan penderita. TBC paru perlu diperhatikan dalam kehamilan, penyakit ini dapat menimbulkan masalah pada wanita itu sendiri, bayinya dan masyarakat sekitarnya. Insidens penyakit tuberkulosis dan mortalitas yang disebabkannya menurun drastis setelah diketemukannya kemoterapi. Tetapi, pada tahun-tahun terakhir ini penurunan itu tidak terjadi lagi bahkan insidens penyakit ini cenderung meningkat. Kenaikan ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti sosioekonomi, dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan (seperti alkoholisme, tuna wisma, naiknya infeksi HIV/AIDS). Di Indonesia berdasarkan survey Departemen Kesehatan tahun 1980, penyakit ini masih tergolong 4 besar. Selain itu diketahui juga bahwa 75% penderita tuberkulosis paru berasal dari golongan tenaga kerja produktif (umur 15-60 tahun) dan berasal dari golongan ekonomi lemah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TUBERKULOSIS PARU DALAM KEHAMILAN II.1. Definisi Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa. Sebagian besar TBC menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Mycobacterium tuberculosa mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut juga Basil Tahan Asam. Penularannya melalui droplet (percikan dahak) penderita ketika batuk atau bersin. Daya penularannya ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan lewat droplet. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif, maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Penanganan TBC pada kehamilan hampir sama dengan penanganan TBC lainnya. Bila diobati dengan baik, tidak ditemukan pengaruhnya pada ibu hamil. Janin dengan TBC kongenital jarang ditemukan, biasanya bayi baru akan tertular setelah lahir karena dirawat atau disusui oleh ibunya yang tidak diobati dengan baik.

Di Indonesia, kasus baru tuberkulosis hampir separuhnya adalah wanita, dan menyerang sebagian besar wanita pada usia produktif. Kira-kira 1-3 % dari semua wanita hamil menderita tuberkulosis. Pada kehamilan terdapat perubahan-perubahan pada sistem humoral, imunologis, peredaran darah, sistem pernafasan, seperti terdesaknya diafragma ke atas sehingga paru-paru terdorong ke atas oleh uterus yang gravid menyebabkan volume residu pernafasan berkurang. Dimana kehamilan pemakaian oksigen akan bertambah kira-kira 25% dibandingkan diluar kehamilan, apabila penyakitnya berat atau prosesnya luas dapat menyebabkan hipoksia sehingga hasil konsepsi juga ikut menderita, dapat terjadi, partus prematur prematur, atau kematian janin. 5

Proses kehamilan, persalinan, masa nifas, dan laktasi mempunyai pengaruh kurang menguntungkan terhadap jalannya penyakit. Hal ini disebabkan oleh karena perubahanperubahan dalam kehamilan yang kurang menguntungkan bagi proses penyakit dan daya tahan tubuh yang turun akibat kehamilan. Pengaruh TBC paru pada ibu yang sedang hamil bila diobati dengan baik tidak berbeda dengan wanita tidak hamil. Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia dan keadaan medis maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas maternal. Usia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa merupakan factor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam kehamilan dengan TB. IMUNOLOGI Imunitas manusia menunjukkan imunitas alamiah terhadap tuberkulosis, dengan variasi individu yang besar. Penelitian orang kembar telah memperlihatkan bahwa tuberkulosis lebih mungkin timbul pada hubungan darah monozigot dari pada hubungan darah dizigot atau hubungan keluarga lain. Usaha untuk menghubungkan kerentanan terhadap tuberkulosis ke fenotipe HLA telah menghasilkan data bertentangan. Walaupun kerentanan terhadap tuberkulosis telah dihubungkan dengan ras namun bukti telah bersifat anekdot dan tidak menyakinkan. Seperti yang terlihat, usia merupakan faktor penentu penting bagi imunitas alamiah terhadap tuberkulosis. Walaupun data spesifik tentang gizi dan imunitas tuberkulosis tidak ada, namun jelas hubungan tuberkulosis dengan kelaparan. Imunitas didapat pada infeksi tuberkulosis primer. Imunitas spesifik antigen tergantung atau limfosit T dan dapat dipindahkan dengan mengambil limfosit tersebut. Hipersensitivitas tuberkulosis merupakan antigen spesifik di alam dan mengikuti atas monosit efektor. BAKTERIOLOGI Penyebab tuberkulosis adalah Mycabacterium tuberkulosis, sejenis kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Spesies lain kuman ini yang dapat memberikan infeksi pada wanita hamil adalah Mycabacterium bovis, Mycobacterium kansasii, Mycobacterium intra-cellulare. Sebagian besar kuman ini terdiri dari asam lemak (lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. 6

yAng kemudian dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif lagi. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang kandungan oksigennya tinggi. Cara penularan melalui udara pernafasan dengan menghirup partikel kecil yang mengandung bakteri tuberkulosios, minum sus sapi yang sakit tuberkulosis. Masa tunas berkisar antara 4-12 minggu. Masa penularan terus penularan terus berlansung selama sputum BTA penderita positif.

II.2 Epidemiologi

Indonesia merupakan negara ketiga di dunia dalam urutan jumlah penderita TBC setelah India (30%) dan China (15%) dengan presentase sebanyak 10% dari total penderita TBC di dunia. Kurun waktu 5 tahun terakhir dengan berbagai program TBC yang dilakukan hanya mampu menurunkan angka kesakitan penyakit Tuberkulosis yaitu 15 per 100.000 penduduk sehingga dari 122/100.000 menjadi 107/100.000 penduduk. Dari laporan WHO tahun 2005 dinyatakan bahwa estimasi insidens TBC di Indonesia dengan dasar hasil pemeriksaan sputum adalah 128 per 100.000 (2003) dengan perkiraan prevalens sebesar 295 per 100.000. Di Indonesia angka penemuan kasus (Case Detection Rate) mencapai 33% dengan angka kesembuhan (Cure Rate) adalah 86% dengan metoda DOTS (Directly Observed Treatment of Short Course). 1,2,3 TABEL 1. Perkiraan Harga Tuberkulosis Sedunia Aktif Per 100.000 Penduduk

Populasi Afrika Asia Tenggara Cina Pasifik Barat Mediterania Timur Eropa Asia / Kepulauan Pasifik Afrika Amerika Hispanik Amerika

Per 100.000 Penduduk 220 194 191 191 155 31 42 33 21 7

Amerika Selatan dan Tengah 120 US: lembaga pemasyarakatan 106

Populasi Asli Amerika Putih Amerika

Per 100.000 Penduduk 19 4

Diadaptasi dari Haas DW, Des Prez RM: Mycobacterium tuberculosis: Prinsip dan Praktek of Infectious Diseases, pp 2215-2216. 4th ed. New York: Churchill Livingstone, 1995

II.3 Klasifikasi a. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada TB Paru: 1) Tuberkulosis paru BTA positif. a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 8

3) Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah : 1) Tuberkulosis paru 2) Bekas tuberkulosis paru 3) Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi menjadi : Tuberkulosis paru tersangka yang diobati, sputum BTA negatif tapi tanda klinis positif Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati, sputum negatif dan tanda-tanda klinis juga meragukan.

Dalam klasifikai ini perlu dicantumkan : Status bakteriologis : mikrospik sputum BTA, biakan sputum BTA Status radiologik, kelainan yang relevan untuk tuberkulosis paru Status klinik, gejala-gejala yang relevan untuk tuberkulosis paru. Status kemopengobatan, riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis

II.4 PATOGENESIS / PATOLOGI

TUBERKULOSIS PRIMER

Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel in dapat menetap diudara selama 1-2 jam tergantung ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bertahan berhati-hari sampai berbulanbulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, maka ini akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trakeo-bronial beserta gerakan sila dengan sekretnya. Kuman dapat juga masuk melalui luka pada kulit atau mukosa tapi itu sangat jarang. Bila kuman menetap di jaringan paru, ia akan tumbuh dalam sitoplasma makrofag. Disini ia akan terbawa keorgan tubuh lainnya, kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk sarang primer atau afek primer. Kemudian akan timbul peradangan saluran getah bening menjadi kompleks primer, yang selanjutnya dapat menjadi : sembuh tanpa cacat, sembuh dengan sedikit cacat/bekas berupa garis-garis fibrotik, klasifikasi hilus, berkomplikasi dan menyebar secara perkominutatum, bronkogen, limfogen, hematogen.

10

TUBERKULOSIS PRIMER

Kuman dibatukan

Terhisap oleh orang sehat (Menempel pada alan.napas dan Paru) Netap djaringan paru
Tumbuh dalam sitoplasma makrofag

Mati,keluar dari cabang tracheo bronkial

Keorga tubuh lainnya

Sarang Primet / Efek primer

Peradangan saluran getah bening menjadi kompleks Primer : Sembuh tanpa cacat Sembuh dengan sedikit cacat / Bekas berupa garis fibrotik Klasifikasi hillus Berkomplikasi dan menyebar secara perkominutatum Bronkogen Limfogen Hematogen

TUBERKULOSIS POST PRIMER

Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul setelah beberapa tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa (post primer). Tuberkulosis post primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di regio atas paruparu (bagian apikal posterior lobus superior atau inferior). Invasnya adalah ke daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk 11

sarang pneumonia kecil, Tergantung jumlah kuman, virulensi kuman, imunitas penderita sarana dini dapat menjadi : diresorbsi kembali dan sembuh tanpa cacat, meluas tapi segera menyembuh dengan sebukan fibrosis, sarang dini yang meluas dimana granuloma berkembang menghancurkan jaringan sekitarnya dan bagian tengahnya nekrosis membentuk jaringan keju, bila jaringan keju dibatukkan keluar akan terjadi kavitas, kavitas dapat meluas dan menimbulkan sarang baru, atau memadai dan membungkus diri sendiri sehingga terjadi tuberkuloma yang dapat menyembuh atau aktif kembali, atau bisa juga bersih dan menyembuh yang disebut sebagai open healed cavity.

II.5 Gambaran klinis dan Diagnosis Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali.

12

Gejala utama dirasakan penderita bermacam-macam atau tanpa keluhan, keluhan yang terbanyak adalah : a. Demam biasanya subfebril menyerupai influenza, tapi kadang dapat mencapai 40-41 C, serangan demam pertama dapat sembuh kembali. Begitulah demam inflenza yang hilang timbul ini dipengaruhi oleh daya tahan tubuh, berat-ringan infeksi dan jumlah kuman yang masuk. b. Batuk : gejala ini banyak ditemukan, yang disebabkan karena iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk mulamula kering dan setelah timbul peradangan menjadi produktif, pada keadaan lanjut dapat perdarah (hemoptoe) karena pecahnya pembuluh darah. c. Sesak nafas : pada penyakit yang ringan belum dirasakan sesak. Sesak ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana infiltrasinya sudah setengah bagian paru-paru. d. Nyeri dada : agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. e. Malaise : penyakit tuberkulosis bersifat radang menahun, gejala malaise yang sering ditemukan berupa : anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan semakin kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

Pada pemeriksaan fisik mungkin didapat adanya ronkhi basal, suara kaverne atau pleural effusion. Penyakit TBC paru ini mungkin bentuknya aktif atau kronik, dan mungkin pula tertutup atau terbuka. Pada penderita yang dicurigai menderita TBC paru sebaiknya dilakukan pemeriksaan tuberkulosa tes kulit dengan PPD (purified protein derivate) 5u dan bila hasilnya positif diteruskan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu diperhatikan dan dilindungi janin dari pengaruh sinar X. Pada penderita dengan TBC paru aktif perlu dilakukan pemeriksaan sputum, untuk membuat diagnosa secara pasti sekaligus untuk tes kepekaan.

Kehamilan juga menjadi permasalahan tersendiri terhadap terapi TB karena: beberapa obat antimikobakterial dikontraindikasikan dalam kehamilan pasien maupun dokter takut terhadap efek rontgen thoraks terhadap janin infeksi tuberkulosis yang tidak diterapi dapat ditularkan melalui transmisi vertikal maupun lateral

13

Laboratorium Hematologi: LED meningkat

Mikrobiologis: BTA sputum positif minimal 2 kali dari 3 spesimen SPS Kultur Mycobacterium tuberculosis positif (diagnosis pasti) Radiologis:

Foto toraks AP + Lateral: Infiltrat, pembesaran KGB hilus, KGB Paratrakeal, milier, atelektatis, efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitasi, destroyed lung. Tidak rutin dikerjakan pada kehamilan. Jika diperlukan bila usia < 7 bulan harus menggunakan pelindung perut.

Imuno-Serologis: Uji kulit dengan tuberkulin ( Mantoux) positif >15mm pada orang Indonesia yagn imunokompeten Tes PAP, ICT-TBC positif PCR TB dari Sputum

14

Kriteria Diagnosis Diagnosis penyakit tuberkulosis didasarkan pada: 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda: a. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronkhi basah). b. Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. c. Sekret di saluran nafas dan ronkhi. d. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronkus. 2. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis) 3. Foto toraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB yaitu: a. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah. b. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular). c. Adanya kavitas, tunggal, atau ganda. d. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru. e. Adanya kalsifikasi. f. Bayangn menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian. g. Bayangan milier. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Indikasi pemeriksaan foto toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. (lihat bagan alur)

15

Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negative dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.(lihat bagan alur)

Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) 4. Pemeriksaan Sputum BTA Pemeriksaan sputum BTA memastikan diagnosis TB paru Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. 5. Tes PAP (peroksidase anti peroksidase) Merupakan uji serologi imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB. 6. Tes Mantoux/Tuberkulin 7. Teknik Polymerase Chain Reaction Deteksi DNA kuman secara spesifik melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi meskipun hanya ada1 mikroorganisme dalam specimen. Selain itu teknik PCR ini juga dapat mendeteksi adanya resistensi. 8. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC) 9. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) 10. MYCODOT

16

DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN Diagnosis tuberkulosis pada kehamilan sama dengan tuberkulosis tanpa kehamilan. Diagnosis mungkin dapat terlambat ditegakkan karena manifestasi klinis yang tidak khas, tertutup oleh gejala-gejala kehamilan. Good dkk melaporkan dari 27 perempuan hamil dengan pemeriksaan biakan sputum yang positif, didapatkan 74% gejala batuk, 41% penurunan berat badan, 30% demam, malaise dan lelah, 19% batuk darah dan 20% tanpa gejala 1. Oleh karena itu perlu dilakukan penapisan pada perempuan hamil dengan resiko tinggi terkena tuberkulosis melalui antenatal care (ANC). Pemeriksaan yang dianjurkan adalah uji tuberkulin dan foto toraks pada saat melakukan ANC. Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah pemeriksaan sputum BTA dan pemeriksaan biakan 1.

II.6 Faktor Risiko

Tabel 1. Resiko tinggi untuk menderita TB RESIKO TINGGI UNTUK TUBERKULOSIS Infeksi HIV Kontak erat dengan pasien TB/ curiga TB Memiliki faktor-faktor resiko medis yang diketahui meningkatkan resiko terinfeksi TB Lahir di negara dengan prevalensi TB tinggi Status medis meragukan Pendapatan rendah Adiksi alkohol Penggunaan obat-obatan intravena Tinggal di fasilitas-fasilitas perawatan jangka panjang (panti, bangsal psikiatri, dsb) Tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas perawatan beresiko tinggi

Penelitian Jana dan kolega (1994) melaporkan dari 79 kehamilan dengan komplikasi TB paru aktif terjadi peningkatan insidens persalinan preterm, bayi berat lahir rendah, pertumbuhan janin terhambat, dan angka mortalitas perinatal meningkat 6 kali lipat. Luaran tersebut berhubungan dengan diagnosis yang terlambat, terapi yang tidak adekuat, dan lesi pulmonal yang sudah lanjut.

17

II.7 Patofisiologi dan Cara penularan

Penyebaran kuman Mikrobacterium tuberkolusis bisa masuk melalui tiga tempat yaitu saluran pernafasan, saluran pencernaan dan adanya luka yang terbuka pada kulit. Infeksi kuman ini sering terjadi melalui udara (airbone) yang cara penularannya dengan droplet yang mengandung kuman dari orang yang terinfeksi sebelumnya.

Penularan tuberculosis paru terjadi karena penderita TBC membuang ludah dan dahaknya sembarangan dengan cara dibatukkan atau dibersinkan keluar. Dalam dahak dan ludah ada basil TBC-nya, sehingga basil ini mengering lalu diterbangkan angin kemana-mana. Kuman terbawa angin dan jatuh ketanah maupun lantai rumah yang kemudian terhirup oleh manusia melalui paru-paru dan bersarang serta berkembangbiak di paru-paru.

Pada permulaan penyebaran akan terjadi beberapa kemungkinan yang bisa muncul yaitu penyebaran limfohematogen yang dapat menyebar melewati getah bening atau pembuluh darah. Kejadian ini dapat meloloskan kuman dari kelenjar getah bening dan menuju aliran darah dalam jumlah kecil yang dapat menyebabkan lesi pada organ tubuh yang lain. Basil tuberkolusis yang bisa mencapai permukaan alveolus biasanya di inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari 1-3 basil. Dengan adanya basil yang mencapai ruang alveolus, ini terjadi dibawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, maka hal ini bisa membangkitkan reaksi peradangan. Berkembangnya leukosit pada hari hari pertama ini di gantikan oleh makrofag. Pada alveoli yang terserang mengalami konsolidasi dan menimbulkan tanda dan gejala pneumonia akut. Basil ini juga dapat menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional, sehingga makrofag yang mengadakan infiltrasi akan menjadi lebih panjang dan yang sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epitelloid yang dikelilingi oleh limfosit, proses tersebut membutuhkan waktu 10-20 hari. Bila terjadi lesi primer paru yang biasanya disebut focus ghon dan bergabungnya serangan Kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami pencampuran ini juga dapat diketahui pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Beberapa respon lain yang terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Pada proses ini akan dapat terulang kembali dibagian selain paru-paru ataupun basil dapat terbawa sampai ke laring, telinga tengah atau usus.

Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa adanya pengobatan dan dapat meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat 18

menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat dengan perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijauan dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak lepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.

Batuk darah (hemaptoe) adalah batuk darah yang terjadi karena penyumbatan trakea dan saluran nafas sehingga timbul sufokal yang sering fatal. Ini terjadi pada batuk darah masif yaitu 600-1000cc/24 jam. Batuk darah pada penderita TB paru disebabkan oleh terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembuluh darah pada dinding kapitas. Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru, saluran linfe akan membawa kuman TB ke kelenjar linfe disekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer selama 4 - 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

19

20

21

II.8 Perjalanan penyakit tuberkulosis pada Kehamilan 1. Pengaruh kehamilan pada tuberkulosis 2. Pengaruh tuberkulosis pada kehamilan 3. Pengaruh tuberkulosis pada persalinan 4. Pengaruh tuberkulosis pada bayi

1. PENGARUH KEHAMILAN PADA TUBERKULOSIS PARU Tidak selalu mudah untuk mengenal ibu hamil dengan tuberkulosis paru, apalai bila penderita tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas seperti badan kurus, batuk menahan, atau hemoptoe. Tuberkulosis aktif tidak membaik atau memburuk dengan adanya kehamilan. Tetapi kehamilan bisa meningkatkan resiko tuberkulosis inaktif menjadi terutama periode post partum. Sebelum tahun 1940, kehamilan dianggap sesuatu yang mengganggu penyembuhan tuberkulosis paru. Wanita dengan tuberkulosis paru dianjurkan untuk tidak hamil atau, jika setelah terjadi konsepsi maka dilakukan aborsi. Sejak saat itu, banyak dokumentasi yang menyatakan bahwa riwayat tuberkulosis tidak berubah dengan adanya kehamilan pada penderita yang yang diobati. Sekarang, aborsi therapeutik jarang dilakukan, kalaupun itu dilakukan atas indikasi komplikasi kehamilan karena tuberkulosis paru. Bukti, penyakit itu akan meningkat secara progresif antara 15-30 % pada penderita yang tidak mengobati penyakitnya selama 2,5 tahun pertama, apakah mereka hamil atau tidak hamil. Demikian halnya dengan reaktifasi tuberkulosis paru yang inaktif juga tidak mengalami peningkatan selama kehamilan. Angka reaktifasi tuberkulosis paru kira-kira 5-10% tidak ada perbedaan antara mereka yang hamil maupun tidak hamil.

2. PENGARUH TUBERKULOSIS PADA KEHAMILAN Pengaruh tuberkulosis aktif pada kehamilan tidak jelas (vallejo and Starke, 1992) kecuali pada negara berkembang, sesuai dengan luasnya pengalaman yang jarang. Tentunya dengan adanya obat anti tuberkulosis mengurangi pengaruh buruk dari beratnya penyakit. Jika infeksi tuberkulosis diobati dengan baik seharusnya tidak berpengaruh terhadap kehamilan begitu juga sebaiknya kehamilan tidak akan berpengaruh terhadap penyakit tersebut. Pada awal tahun 1957 sampai 1972, Schaefer dkk (1975) melaporkan dari ibu yang menderita tuberkulosis aktif diobati lahir bayi yang sehat. Jana dkk (1994) baru-baru ibi melaporkan tubekulosis paru aktif menyebabkan komplikasi dari 79 kehamilan di India. Bayi dari wanita 22

yang menderita tuberkulosis mempunyai berat badan lahir rendah, dua kali lipat meningkatkan persalinan prematur, kecil masa kehamilan, dan meningkatkan kematian perinatal enam kali lipat. Mungkin ini dianggap berhubungan dengan terlambatnya diagnosis pengobatan yang tidak lengkap dan teratur, dan luasnya kelainan pada paru. Tidak ada bukti bahwa tuberkulosis paru meningkatkan angka abortus spontan, kelainan kongenintal, p[ersalinan dan kelahiran prematur pada penderita yang mendapatkan pengobatan obat anti tuberkulosis yang adekuat. bjerkedai dkk mencatat terjadinya kenaikan taksikemia dan pendarahan pervaginam pada wanita hamil yang menderita tuberkulosis, mereka juga melaporkan perbandingan angka kejadian aboetus pada wanita hamil yang menderita tuberkulosis dan yang sehat adalah
20,1 2,3

/100 pasien dibanding

/100 pasien. Tetapi, pengaruh

utama tuberkulosis pada kehamilan adalah mencegah terjadinya konsepsi, maka banyak diantara penderita tuberkulosis yang mengalami infertilitas. Sistem genitalia dapat terjadi fokus primer dari tuberkulosis paru, biasanya sistem genital yang sering terkena dalah tuba fallopi, dengan bagian distal yang terkena lebih dahulu. Infeksi dapat menyebar ke bagian proksimal dari tuba fallopi dan akhirnya uterus juga terkena. Infeksi jarang turun sampai ke serviks atau bagian bawah dari sistem genitalia. Tidak seperti tuberkulosis paru, infeksi tuberkulosis pada sistem genital dan gejala tidak tampak, setelah bertahun-tahun baru terlihat kelainan dari tuba fallopi yang mencolok dan terjadi perlengketan dengan alat dalam rongga panggul. Walaupun beberapa wanita yang menderita tuberkulosis subur dan terjadi konsepsi tetapi implantasi sering terjadi pada tuba fallopi daripada di uterus. Diagonis tuberkulosis pelvis dibuat dengan dilatasi dan kuretase rongga endometrium yang dilakukan segera pada periode premenstruasi. Jaringan tersebut dikirim dan dilakukan pemeriksaan histologi.

3.

PENGARUH TUBERKULOSIS DALAM PERSALINAN Setengah dari jumlah kasus yang dilaporkan selama proses persalinan terjadi infeksi

pada bayi yang disebabkan karena teraspirasu sekret vagina yang terinfeksi kuman tuberkulosis.

4. PENGARUH TUBERKULOSIS PADA BAYI Bakteriemia selama kehamilan dapat menyebabkan infeksi plasenta, sehingga janinpun dapat terinfeksi, kalaupun ada, kejadian ini jarang tetapi fatal. Pada setengah kasus infeksi didapatkan penyebaran hematogen pada hati atau paru melalui vena yang umbilikalism 23

setengah kasus lagi infeksi pada bayi disebabkan aspirasi sekret vagina yang terinfeksi selama proses persalinan. Hanya 29 kasus tuberkulosis kengenital yang dilaporkan literatur Inggris sejaktahun 1980. Infeksi neonatal tidak mungkin terjadi jika ibunya yang menderita tuberkulosis aktif telah berobat minimal 2 minggu sebelum bersalin. Atau kultur sputum mereka negaive. Beberapa rekomendasi menyarankan untuk memisahkan bayi baru lahir dari ibunya yang diduga menderita tuberkulosis aktif, tidak berobat, tuberkulosis milliar. Karena bayi yang baru lahir lebih mudah terkena tuberkulosis. Jika tidak resiko pada bayi baru lahir dari ibu yang menderita tuberkulosis aktif menderita tuberkulosis 50% pada tahun pertama (Jacobs dan Albemathy,1988). Selain itu juga dilakukan pemeriksaan histologi pada plasenta. Jika ternyata ditemukan tuberkei pada plasenta maka dilakukan pemeriksaan pada neonatus tersebut. Jika tidak ditemukan maka pada neoantus yang beresiko tinggi dilakukan pemeriksaan pulasan dan kultur dari aspirasi lambung. Kalau kuman positif pada pemeriksaan histologi maka bayi tersebut harus diobati dengan baik dimana dapat dimodifikasi atau dihentikan sesuai dengan hasil kultur. Kombinasi isoniazid (10-20mg/kg/hr), ethambutol (15mg/kg/hr) dan rifampin (15mg.kg/hr) dapat digunakan. Tetapi hanya sedikit efek famakologis dan toksikologis yang diketahui dari obat anti Tuberkulosis ini. Tidak diketahui apakah kemoproflaksis dengan isoniazid bermanfaat untuk bayi, ini dapat diberikan dengan atau tanpa vaksinasi BCG. Kemoprofilaksis ini dapat primer atau sekunder, yang dimaksud kemoproflaksis primer adalah pemberian INH pada anak yang nyata kontak dengan penderita tuberkulosis dengan uji tuberkulin masih negatif. Lama pemberian sedikitnya 1 tahun, dengan dosis 10mg/kgbb/hari. Tindakan ini dimaksudkan agar walaupun nanti mendapat infeksi alami, anak dapat terhindar dari terhindar dari komplikasi yang berat. Malahan beberapa sarjana berpendapat bahwa walaupun kontak demikian telah mendapat vaksin BCG, tetapi isolaso tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maka profilaksis primer tidak ada salahnya diberikan. Diagnosis tuberkulosis kongenintal sangat sukar, tes tuberkulin hampir selalu negatif. Tes tuberkulin bisa negatif sampai umur 4-6 minggu, pada penderita yang sakit berat dan anergy tes tuberkulin tidak pernah positif.

KOMPLIKASI Komplikasi Komplikasi dibagi dini : atas komplikasi pleuritis, efusi dini dan komplikasi empiema, lanjut. laringitis.

pleura,

Komplikasi lanjut : Obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim berat, pneumotoraks, sindrom gagal nafas sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB. 24

II.9 Diagnosis Banding Pneumonia, tumor paru, jamur paru, penyakit paru akibat kerja

II.10 PenatalaksanaanTuberkulosis dalam kehamilan Penatalaksanaan pasien tuberkulosis pada kehamilan tidak berbeda dengan tuberkulosis tanpa kehamilan. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah pemberian obat antituberkulosis yang bisa menyebabkan efek teratogenik terhadap janin. Penatalaksanaan secara umum terbagi atas pasien dengan tuberkulosis aktif dan tuberkulosis laten 9.
PENGOBATAN

1) Pengobatan tuberkulosis dalam kehamilan dibagi 2 yaitu : I. i. ii. Pengobatan medis Evaluasi pengobatan Kegagalan pengobatan II. Penangan obstetri 2) Penanganan tuberkulosis dalam persalinan 3) Penanganan tuberkulosis dalam masa nifas 4) Penanganan bayi baru lahir yang sehat dari ibu yang menderita tuberkulosis aktif 5) Cara pemberian ASI pada wanita dengan tuberkulosis.

1) PENGOBATAN TUBERKULOSIS KEHAMILAN

1. PENGOBATAN MEDIS

Pengobatan tuberkulosis aktif pada kehamilan hanya berbeda sedikit dengan penderita yang tidak hamil. Ada 11 obat antituberkulosis yang terdapat di Amerika Serikat, empat diantaranya dipertimbangkan menjadi obat primer karena keefektivitasnnya dan toleransinya pada penderita, obat tersebut adalah isoniazid, rifampin, ethambutol, dan streptomycin. Obat sekunder adalah obat yang digunakan dalam kasus resisten obat atau intolerensi terhadap obat, yang termasuk adalah p-aminasalicylic acid, pyrazinamide, cycloserine, ethionamide, kanamycin, viomycin, dan capreomycin. Pengobatan jangka selama setahun dengan isoniazid diberikan kepada mereka yang tes tuberkulin positif gambaran radiologi atau gejala tidak menunjukkan gejala aktif. Pengobatan ini mungkin dapat ditunda dan mulai diberikan pada post partum. Walaupun beberapa penelitian tidak menunjukkan efek teratogenik dari isoniazid 25

pada wanita post partum. Beberapa rekomendasi menunda pengobatan ini sampai 3-6 bulan post partum. Sayangnya, jikaterjadi penyembuhannya akan memakan waktu yang sangat lama. Isoniazid termasuk kategori obat C dan ini perlu dipertimbangkan keamanannya selama kehamilan. Alternatif lain dengan menunda pengobatan sampai 12 minggu pada penderita asimtomatik. Karena banyak terjadi resistensi pada pemakaian obat tunggal maka the Centers for Disease Control sekarang merekomendasikan cara pengobatan dengan menggunakan kombinasi 4 obat untuk penderita yang tidak hamil dengan gejala tuberkulosis. Ini termasuk isoniazid, rifampin dan pyrazinamde atau streptomycin diberikan sampai tes resistensi dilakukan. Tes resistensi obat dilakukan pada seluruh isolasi pertama. Untungnya beberapa obat tuberkulosatik utama tidak tampak pengaruh buruknya terhadap, beberapa janin. Kecuali streptomycin yang dapat menyebabkan ketulian kongenintal maka sama sekali tidak boleh dipakai selama kehamilan dapat dibuktikan.
1

Menurut Sniders dkk melaporkan

bahwa INH, ethambutol, rifampin aman untuk kehamilan jika diberikan dalam dosis yang tepat dan efek terotogenik terhadap janan manusia tidak dapat dibuktikan. The Centres for disease Control (1993) merekomendasikan resep pengobatan aral untuk wanita hamil sebagai berikut : 1. Isoniazid 5 mg/kg, dan tidak lebih 300 mg per hari bersama pyidoxine 50mg per hari 2. Rifambutol 10 mg/kghr, tidak lebih 600 mg sehari 3. Ethambutol 5-25 mg/kg/hari, dan tidak lebih dari 2,5 gr sehari (biasanya 25mg/kg/hr selama 6 minggu kemudian diturunkan 15mg/kg/hr). Pengobatan ini diberikan minimun 9 bulan. Jika resisten terhadap obat ini, dapat dipertimbangkan pengobatan, dengan pyrazinamide, 1,12 Selain itu Pyrazinamide 50 mg/hr harus diberikan untuk mencegah neuritis periter yang disebabkan oleh isoniazid. Pada tuberkulosis sktif dapat diberikan pengobatan dengan kopmbinasi 2 obat, biasanya digunakan isoniazid 5 mg/kg/hr (tidak lebih 300 mg/hari) dan ethambutal 15mg/kg/hr, pengobatan dilanjutkan sekurang-kurangnya 17 bulan untuk mencegah relaps. Pengobatan ini tidaqk direkomendasikan jika diketahui penderita telah resisten terhadap isoniazid. Jika dibutuhkan pengobatan dengan 3 obat atau lebih dapat ditambah dengan rifampin, tetapi streptomycin sebaiknya tidak digunakan karena beresiko otooksik. Terapi dengan isoniazid mempunyai banyak keuntungan (manjur, murah, dapat diterima penderita) dan merupakan pengobatan yang aman selama kehamilan. 26

Dari hasil penelitian menunjukkan ada obat-obat lain yang dapat digunakan selama kehamilan adalah : kanamisin, viomisin, capreomisin, pyazinamide, cycloserine, dan thiosemicatbazone.

Pada pengobatan kasus baru dipertimbangkan pemberian obat yang bersifat bakterisid, sterilisator dan dapat mencegah terjadinya resistensi, rujukan yang dipakai adalah : 2 HRZ/4HR. pengobatan awal selama 2 bulan pertama menggunakan paduan obat isoniazid, rifampin dan pirazinamid dilanjutkan dengan penggunaan isoniazid dan rifampin pada 4 bulan berikutnya, total pemberian obat selama 6 bulan dan obat diberikan tiap hari. Penggunaan isoniazid disini untuk mengurangi daya infelitilitas dari penderita.

Lama pemberian paduan obat saat ini 6 bulan merupakan standar yang dipakai untuk pengobatan tuberkulosis paru maupun tuberkulosis diluar pada orang dewasa atau pada anak-anak. Keadaan ini disebabkan oleh karena :

1. dapat menyembuhkan dengan cepat, terlihat perbaikan setelah 2-3 bulan pengobatan 2. dapat menyembuhkan sebagian penderita dengan strain kuman yang mempunyai resistensi awal terhadap isoniazid dan streptomycin 3. mencegah kegagalan pengobatan yang disebabkan oleh terjadinya resistensi primer.

Adapun efek samping dari tiap-tiap obat tersebut ialah : 1. isoniazid adalah

Hepatotoksik maka tes fungsi hati seharusnya dilakukan dan diulang secara periodik,

Reaksi hipersentitif. Neurotoksik yang sering adalah neuropoti perifer yang dapat dicegah dengan pemberian vitamin B6, selain itu kadang dapat terjadi kejang, neuritis optik, dan ataksia, stupor, enselopati taksik yang paling jarang terjadi

Gangguan saluran pencernaan.

2. Rifampin : Sindrom flu, hepatotoksik 3. Pyazinamide : nepatotoksik, hiperuresemia 4. Streptomycin : nefrotoksik, gangguan n VIII kranial 5. Ethambutol : neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/dermatitis 27

6. Etionamid : hepatotoksik, gangguan saluran cerna, teratogenik 7. P.A.S : hepatotoksis dan gangguan saluran cerna.

i.

EVALUASI PENGOBATAN

1. KLINIS. Biasanya penderita dikontrol setiap minggu selama 2 minggu, selanjutnya setiap 2 minggu selama sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan dari keluhan-keluhan penderita seperti : batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah. 2. BAKTERIOLOGIS. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan, sputum BTA mulai jadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali sebulan. Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksa sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut bebas kuman. Sewaktu-waktu mungkin terjadi silent bacterial shedding, dimana sputum BTA positif dan tanpa keluhan yang relevant pada kasus-kasus yang memperoleh kesembuhan. Bila ini terjadi, yakni BTA positif pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), berarti penderita mulai kambuh lagi tuberkulosisnya. Bila bakteriologis ada perbaikan tetapi klinis dan radiologis, harus dicurigai adanya penyakit lain disamping tuberkulosis paru. Bila klinis, bakteriologis dan radiologis tetap tidak ada perbaikan padahal penderita sudah diobati dengan dosis adekuat serta teratur, perlu dipikirkan adanya gangguan imunologis pada penderita tersebut. ii. KEGAGALAN PENGOBATAN PADA KEHAMILAN

Sebab-sebab kegagalan pengobatan pada kehamilan : 1. Obat : Paduan obat tidak adekuat Dosis obat tidak cukup Minum obat tidak teratur/tidak sesuai dengan petunjuk yang diberikan Jangka waktu pengobatan kurang dari semestinya Terjadinya resistensi obat

2. Drop-out : Kekurangan biaya pengobatan Merasa sudah sembuh Malas beribat/kurang motivasi 28

3. Penyakit : Lesi paru yang sakit terlalu luas/sakit berat Penyakit lain yang menyertai tuberkulosis seperti DM,alkoholisme, dll Adanya gangguan imunologis pada kehamilan

Penyebab kegagalan pengobatan pada kehamilan yang terbanyak adalah karena kekurangan biaya pengobatan atau merasa sudah sembuh. Kegagalan pengobatan pada kehamilan ini dapat mencapai 50% pada pengobatan jangka panjang, karena sebagian besar penderita tuberkulosis adalah golongan yang tidak mampu sedangkan pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu yang lama dan biaya yang banyak. Untuk mencegah kegagalan pengobatan pada kehamilan ini perlu kerjsama yang baik dari dokter dan paramedis lainnya serta motivasi pengobatan tuberkulosis tersebut terhadap penderita Penanggulangan terhadap kasus-kasus yang gagal pada kehamilan adalah : A. Terhadap penderita yang sudah berobat secara teratur :

Menilai kembali apakah paduan obat sudah adekuat mengenai dosis dan cara pemberiannya

Lakukan tes resistensi kuman terhadap obat Bila sudah dicoba dengan obat tetapi gagal maka pertimbang akan pengobatan dengan pembedahan terutama pada penderita dengan kavitas

B. Terhadap penderita dengan riwayat pengobatan yang tidak teratur :

Teruskan pengobatan selama lebih 3 bulan dengan evaluasi bakteriologis tiap-tiap bulan

Nilai kembali tes resistensi kuman terhadap obat Bila ternyata terdapat resistensi terhadap obat, ganti dengan paduan obat yang masih sensitif. II. PENANGANAN OBSTETRI

Pemeriksaan antenatai care yang teratur, termasuk istirahat yang cukup, makan makanan yang bergizi, mengobati anemia, pemeriksaan kehamilan yang baik, dukungan keluarga. Penatalaksanaan obstetrik yang optimal didasarkan pada pertimbangan matemal atau janin. Berikan isolaso yang memadai selama persalinan, kelahiran dan periode pasca 29

persalinan. Plasenta

harus diukur dan bayi diperiksa untuk mengetahui adanya

tuberkulosis. Walaupun infeksi trans-plasentai jarang, bayi mempunyai resiko infeksi melalui pemaparan dengan pamatasan dari ibunya yang mempunyai penyakit aktif. Untuk perlindungan terhadap bayi yang tidak menunjukkan gejala dan tanda penyakit aktif, berikan baik isoniazid maupun vaksinasi BCG.

2) PENANGANAN DALAM PERSALINAN Bila proses tenang, persalinan akan berjalan seperti biasa dan tidak perlu tindakan apaapa Bila proses aktif, kala 1 dan II diusahakan seringan mungkin. Pada kala I, ibu hamil diberi obat-obat penenang dan analgetika dosis rendah. Kala II diperpendek dengan ekstraksi vakum/forceps Bila ada indikasi obstetrik untuk seksio sesarea, hal ini dilakukan bekerja sama dengan ahli anastesi untuk memperoleh anastesi mana yang terbaik 3) TUBERKULOSIS DALAM MASA NIFAS

Usahakan jangan terjadi perdarahan banyak : diberi uterotonika dan koagulasia. Usahakan mencegah terjadinya infeksi tambahan dengan memberikan antibiotika yang cukup.

Bila ada anemia sebaiknya diberikan tranfusi darah, agar daya tahan ibu kuat terhadap infeksi sekunder

Ibu dianjurkan segera memakai kontrasepsi atau bila jumlah anak sudah cukup, segera dilakukan tubektomi

4) PENANGANAN BAYI BARU LAHIR YANG SEHAT DARI IBU YANG MENDERITA TUBERKULOSIS

Bayi baru lahir yang sehat dan ibu yang menderita tuberkulosis harus dipisahkan dengan segera setelah lahir sampai pemeriksaan bakteriologi ibu negatif dan bayi sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup. Sejak sebanyak 50% bayi baru lahir dari ibu yang menderita tuberkulosis aktif menderita tuberkulosis pada tahun pertamanya, maka kemoprofilaksis dengan isoniazid 1 tahun dan vaksinasi BCG harus segera dilakukan 30

sebelum menyerahkan bayi kepada ibunya. Pendapat ini masih diperdebatkan tetapi keputusan akhir dilakukan dengan pertimbangan lingkungan sosial ibu, ibu dapat dipercaya dapat mengobati diri sendiri dan bayinya yang baru lahir waktu yang lama. Vaksin BCG termasuk golongan kuman hidup yang dilemahkan dari M.bovon yang telah dikembangkan 50 tahun yang lalu. Semua bayi baru lahir dari ibu yang menderita tuberkulosis aktif atau reaktif harus divaksinasi pada hari pertama kelahiran dengan dosis 0,1 ml intrakutan pada regio deltoid, jika vaksinasi. Efek sampingnya dapat membesar dan terjadi ulkus. Setelah 6 bulan papul merah tadi dapat mengecil, berlekuk dengan jaringan parut putih seumur hidup. Kemoprofilaksis dengan BCG ini menyingkirkan penggunaan isoniazid dalam jangka waktu pemakaian yang lama, alternatif profilaksis yang terbaik adalah dengan isoniazid yang tidak dapat dipungkiri. Dosis yang idanjurkan 10mg/kg/hr untuk sekurang-kurangnya 1 tahun. Walaupun efek jangka panjang obat ini pada neonatus dan bayi tidak diketahui, tapi mungkin sangat aman untuk penggunaan jangka panjang. Sayangnya bayi dengan resiko tinggi terhadap tuberkulosis mempunyai orang tua dengan sosial ekonomi lemah dan sering tidak melanjutkan pengobatan. Bayi dari ibu dengan tuberkulosis reaktif tanpa gambaran klinik dan radiologis yang jelas seharusnya tidak diberikan pengobatan profilaksis. Pada bayi ini harus dilakukan tes tuberkulin setiap 3 bulan selama 1 tahun dan tiap tahun setelah itu. Jika sewaktu-waktu tes tuberkulin ini positif, profilaksis INH harus dimulai (15mg/kg/hr) dan diteruskan selama 1 tahun, jika keluarga mampu vaksinasi BCG juga diberikan. Untuk mengurangi waktu pemisahan ibu yang menderita tuberkulosis aktif dengan banyinya dapat diberikan INH dan BCG segera setelah bayi lahir, bayi dipulangkan ke ibunya jika INH profilaksis telah diberikan sampai tes tuberkulin positif. Dua syarat menggunakan cara pengobatan ini adalah kuman tuberkulosis ibu sensitive terhadap INH dan penderita dapat dipercaya bisa dan mampu memberikan obat tersebut pada ibunya. 5) CARA PEMBERIAN ASI PADA WANITA DENGAN TUBERKULOSIS Pemberian ASI dari ibu yang meminum obat tubekulosis selama kehamilan dan tetap diteruskan setelah persalinan tidak berbahaya bagi bayi. Sniders dan Powell melaporkan bahwa bayi yang meminum ASI tersebut mendapat tidak lebih dari 20% INH dan kurang dari 11 % dari obat tuberkulosis lain. jUmlah ini tidak cukup untuk menimbulkan gejala dan tidak cukup untuk pengobatan tuberkulosis. Oleh karena itu resiko keracunan terhadap obat ini dipercayai rendah. Tapi jika bayi mendapat pengobatan tuberkulsosis, penambahan 31

obat anti tuberkulosis dari ASI mungkin dapat menambah toksistas ASI sebaiknya tidak diberikan dalam kasus ini. Wanita yang menderita tuberkulosis dapat menyusui bayinya dengan menggunakan masker sehingga dapat mencegah terjadinya penularan pada bayi.

Pencegahan Bila pasien asimptomatik dengan hasil PPD positif, resiko progresi menjadi penyakit aktif paling tinggi pada 2 tahun pertama setelah konversi. Pada pasien ini dapat diberikan profilaksis isoniazid 300 mg/hari dimulai setelah trimester pertama selama 6-9 bulan, diberikan bersama dengan piridoksin (B6) 50 mg/hari untuk pencegahan neuropati perifer, efek samping dari isoniazid. Isoniazid tidak direkomendasikan untuk wanita usia di atas 35 tahun karena ada peningkatan resiko hepatotoksisitas.

Tabel 1. Obat Anti Tuberkulosis dan Efek Teratogeniknya 10 Obat Isoniazid Dosis 300 mg/hr Efek samping Efek teratogenik

Hepatitis, neuropati Tidak ada, tetapi perifer, gangguan sel cerna mungkin gangguan embrional pada tikus & kelinci Mual, muntah, diare Tak diketahui

Asam para-amino Salisilat (PAS) Etambutol

10-12 mg/hr (oral)

25 mg/kgBB utk 1 Neuritis optik bulan, dianjurkan 10-15 mg/kgBB/hr (oral)

Tikus : kesuburan menurun Tikus putih : cleft palate & unencephaly Kelinci : monoftalmia

Rifampisin 600 mg/hr (oral)

Gangguan sal cerna, sakit Binatang mengerat : kepala spina bifida & celft palate

Streptomisin

Kapreomisin

Kanamisin

Ototoksisiti, sakit kepala, Tak diketahui 0,75-1 gr/hr utk 14- nyeri pada bekas 21 hr, dilanjutkan 1 suntikan, nefrotoksik gr 3x/mgg (IM) (jarang) Wavy ribs pada anak 0,75-1 gr/hr utk 60- Nefrotoksik & ototoksik tikus betina 120 hr, dilanjutkan 1 gr 3x/mgg (IM) Tak diketahui 32

15 mg/kgBB 5x/mgg (IM) Viomisin

3- Ototoksik & nefrotoksik Tak diketahui

1-2 gr/hr 2-4 mgg, Nefrotoksik & ototoksisk dialnjutkan 1-2 gr 23x/mgg (IM) Etionamid 0,5-1 gr/hr terbagi) Pirazinamid 20-35 (oral) Sikloserin 250 mg 2x/hr, tak lebih dari 1 gr/hr (oral)
II.11 PROGNOSIS

(dosis

mg/kgBB/hr

Efek teratogenik pada Gangguan sal cerna, kelinci dan tikus hepatitis, neuritis optik & perifer Tak diketahui Hepatotoksik, hiperuri semia Tak diketahui Gangguan sistem saraf pusat: psikosis, sakit kepala, kejang

Pada wanita hamil dengan tuberkulosis aktif yang diobati secara adekuat, secara umum tuberkulosis tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap kehamilan, masa nifas dan janin. Prognosis pada wanita hamil sama dengan prognasis wanita yang tidak hamil, abortus therapeutik sekarang tidak dilakukan lagi.

33

BAB III KESIMPULAN

Tuberkulosis paru sampai saat ini masih merupakan problem kesehatan yang masih sulit terpecahkan. Perlu dilakukannya suatu penanganan yang menerapkan prinsip pengobatan dengan perbaikan gizi dan tata cara kehidupan penderita. Pemantuan kesehatan ibu dan janin harus selalu dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang mungkin terjadi akibat TB. Perbaikan status nutrisi ibu dan pencegahan anemia sangat penting dilakukan untuk mencegah keparahan TB dan meminimalkan efek yang timbul terhadap janin. Regimen yang sama direkomondasikan pada wanita hamil dengan TB maupun wanita non hamil dengan TB kecuali streptomycin, pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik).

34

DAFTAR PUSTAKA 1. Hisyam dkk, Pneumotoraks spontan, dari Ilmu Penyakit Dalam, editor Sudoyo dkk, Departemen Ilmu Penyakit D alam, FKUI, Jilid II Edisi IV, hal.1073-8 2. Connolly M, Nunn P: Perempuan dan TBC. Kesehatan Dunia Stat Q 49: 115-119, 1996 3. Dolin PJ, Rauzglione MC, Kochi J: TBC insiden Global dan kematian selama 19902000. Bull Dunia Kesehatan Organ 72: 213 - 220, 1994 4. Kochi J: Tuberkulosis: Distribusi, faktor risiko, kematian. Immunobiology 191: 325336, 1994 5. Whitty JE, Dombrowski MP. Respiratory diseases in pregnancy. In: Creasy RK, Resnik R (eds). Maternal-fetal medicine, principles and practice. 5th ed. Pennsylvania: WB Saunders;p.959-62 6. Snider DE, Layde PM, Johnson MW, Lyle MA: Pengobatan TBC selama kehamilan. Am Rev Respir Dis 122: 65 - 79, 1980 7. Schaefer G, Zervoudakis IA, FF Fuchs, David S: Kehamilan dan TBC paru. Obstet Gynecol 46: 706-715, 1975 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. http://www.scribd.com 9. Achmadi. 2005. Klasifikasi dan Gejala TBC. http://putraprabu.wordpress.com 10. Zulkifli Amin, Asril Bahar. 2006. Tuberkulosis Paru. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: UI. 11. Biswas, Manoj K, Perloff, Dorothee. Cardiac, Hematologic, Pulmonary, Renal & Urinari Tract Disorder in Pregnancy, in Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment 8th Edition, pp 428-468. Appleton & Lange: 1994

35

Anda mungkin juga menyukai