Anda di halaman 1dari 15

BELAJAR DAN POTENSI DASAR AKTIVITAS PSIKIS A. Pendahuluan B.

Pengertian Belajar Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Ini berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu amat bergantung pada proses belajar yang dialami siswa, baik ketika ia berada di sekolah maupun di lingkungan rumah ataupun keluarganya sendiri. Oleh karena itu, pemahaman yang benar mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik khususnya para guru. Kekeliruan atau ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan menghasilkan kurang bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik. Sebagai perbandingan untuk mendapatkan pengertian yang terbaik, di sini pemakalah akan mencantum beberapa defenisi belajar menurut para ahli: 1. Skinner, seorang fakar teori belajar mengemukakan bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif. Berdasarkan eksperimennya, ia percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguatan (reinforcer).1 2. Hilgard dan Bower mengemukakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi itu, di mana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atau dasar kecendrungan respon pembawaan, kematangan atau keadaan-keadaan sesaat seseorang.2 3. Gagne menyatakan bahwa belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan
1

isi

ingatan

mempengaruhi

siswa

sedemikian

rupa

sehingga

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 90. 2 Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1988), h. 85-86.

perbuatannya berubah dari waktu sebelum ia mengalami situasi itu kewaktu sesudah ia mengalami situasi tadi. 4. Morgan mengemukakan belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman.3 5. Crow dan Crow mengatakan belajar adalah memperoleh kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap. Menurut beliau pengertian ini meliputi cara-cara yang baru untuk melakukan suatu usaha memperoleh usaha penyesuaian diri terhadap sesuatu yang baru. Belajar menunjuk adanya perubahan yang progresif dari pada tingkah laku. Belajar memungkinkan memuaskan minat-minat individu atau mencapai tujuan.4 Bertolak dari berbagai defenisi yang telah diutarakan tadi, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan kognitif.5 Adapun ciri-ciri perubahan dalam belajar antara lain adalah sebagai berikut: 1. Perubahan yang disadari. Artinya individu yang belajar menyadari terjadinya perubahan itu atau setidak-tidaknya individu merasakan terjadinya suatu perubahan dalam dirinya, misalnya individu menyadari bahwa pengetahuannya, keterampilannua atau sikapnya berubah/bertambah. 2. Perubahan yang bersifat kontiniu dan fungsional. Artinya perubahan itu merupakan perubahan yang berlangsung terus menerus atau dinamis. Suatu perubahan yang akan menyebabkan perubahan yang berikutnya dan bersifat fungsional yaitu perubahan-perubahan yang terjadi itu berguna bagi kehidupan individu dan bagi proses belajar berikutnya. 3. Perubahan yang bersifat positif dan aktif. Perubahan yang bersifat positif ialah perubahan itu senantiasa bertambah dari perubahan hasil belajar yang telah
3 4

Ibid. Usman Effendi & Juhaya S. Praja, Pengantar Psikologi, (Bandung: Angkasa, 1989), h. 102. 5 Syah, Psikologi Pendidikan, h. 92.

diperoleh sebelumnnya. Dengan demikian makin banyak usaha belajar akan makin banyak perubahan yang diperoleh dan makin baik. Perubahan bersifat aktif maksudnya perubahan itu tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi karena usaha dari individu itu sendiri. 4. Perubahan yang bukan bersifat momental dan bukan karena proses kematangan, pertumbuhan atau kematangan. Perubahan yang bersifat momental adalah perubahan yang terjadi sewaktu-waktu atau kebetulan. Misalnya keluar air mata, bersin, keluar keringat dan sebagainya. Sedangkan proses kematangan atau perkembangan terjadi dengan sendirinya karena dorongan dari dalam, perubahan dalam pengertian belajar terjadi karena dorongan dari luar dan sengaja. 5. Perubahan yang bukan karena pengaruh obat-obatan atau penyakit tertentu. Perubahan tingkah laku karen alkohol atau karena penyakit, tidak dapat dikatan perubahan karena belajar, sebab perubahan tersebut selain tidak disadari juga bersifat pasif, negatif, tidak fungsonal dan momentil. Perubahan yang bertujuan atau terarah artinya terjadi perubahan tersebut karena adanya tujuan yang ingin dicapai. Jadi perubahan belajar terarah kepada tujuan yang jelas dan disadari.6 Menurut Sumadi Suryabrata, sebagaimana dikutip Saiful Akhyar Lubis, kegiatan belajar itu dapat digambarkan sesuai dengan bagan berikut:7
ENVIRONMENTAL INPUT

RAW INPUT

LEARNING TEACHING PROCESS

OUTPUT

INTRUMENTAL INPUT

Usman, Pengantar Psikologi, h. 105-106. Saiful Akhyar Lubis, Belajar Dalam Telaah Psikologi Pendidikan, dalam Dasar-Dasar Kependidikan, Saiful Akhyar Lubis (ed), (Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 91.
7

Sebagai penjelasan dari bagan di atas, bahwa masukan mental (raw input) yang merupakan bahan baku yang diberikan pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar mengajar (learning-teaching process) dengan harapan dapat berubah menjadi keluaran (output) dengan kualifikasi tertentu. Di dalam proses belajar mengajar tersebut, turut pula menentukan sejumlah faktor lingkungan, yang merupakan masukan lingkungan (environmental input) serta berfungsinya sejumlah faktor yang dengan sengaja dirancang dan dimanipulasi untuk menunjang keluaran yang dikehendaki. Kelompok faktor lain adalah faktor instrumental (instrumental input). Berbagai faktor tersebut berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan keluaran. Dengan demikian, secara garis besar faktor-faktor umum yang ada dalam kegiatan belajar dapat digolongkan menjadi empat kelompok yakni: 1. Bahan atau hal yang harus dipelajari, yang merupakan input pokok dalam belajar 2. Faktor-faktor lingkungan 3. Faktor-faktor instrumental 4. Kondisi individual si peserta didik.8

C. Teori-Teori Belajar Jika menelaah literatur psikologi, kita akan menemukan banyak teori belajar yang bersumber dari aliran-aliran psikologi. Dalam pembahasan di bawah ini akan dikemukakan tiga teori psikologi yang mendasari teori belajar, yaitu: teori behaviorisme, teori kognitif, teori humanistik. 1. Teori Behavioristik

Ibid., h. 92.

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek aspek mental. Dengan kata lain, behavioristik tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Teori-teori belajar yang termasuk dalam teori behavioristik adalah: a. Konneksionisme Konneksionisme dipelopori oleh Edward L. Thorndike. Menurut teori ini, belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip-prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi (bond, connection) antara kesan panca indera (senseimpression) dengan kecendrungan bertindak (impulse to action). Proses belajar itu disifatkan oleh Trondike sebagai learning by selecting and connecting atau trial and error, dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.9 Dengan kata lain belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, antara aksi dan reaksi.10 Teori ini jika digambarkan seperti gambar berikut:11 hubungan langsung S (koneksi) Thorndike mengemukakan tiga kelompok hukum atau prinsip tentang proses belajar: 1) Hukum primer R

a) Hukum kesiapan (law of readiness)


9 10

Ibid, h. 94. Sardinan, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h.

34. Toeti Soekamto, Perancangan dan Pengembangan Sistem Instruksional, (Jakarta: Intermedia, 1993), h. 78.
11

b) Hukum pengulangan (law of exercise) c) Hukum pengaruh (law of aeffect). 2) Hukum sekunder

a) Hukum respon menyeluruh (law of multiple respons) b) Hukum tahapan (law of set) c) Hukum potensi elemen (law of proepotency of elements) d) Hukum responden menyesuaikan diri (law of respon by analogy). 3) Hukum tambahan

a) Hukum perasaan memiliki (law of belongingness) b) Hukum mengesankan, memberi/menangkap kesan (law of

impressivences) c) Hukum kemampuan memformulasi (law of polarity) d) Hukum mengidentifikasi (law of identifibiality) e) Hukum pengadaan (law of availabity) f) Hukum sistem mental (law of mental system).12 Salah satu konsep Thorndike yang dipandang penting adalah masalah transfer belajar (transfer of learning) yang dikenal dengan nama theory of identical elements, yang berarti bahwa transfer belajar akan terjadi jika antara hal-hal yang baru (yang akan dipelajari) terdapat unsur-unsur identik. b. Classical Conditioning Teori pengkondisian merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori Koneksionisme. Tokoh teori ini adalah Ivan Pavlov ( 1849-1936). Ia adalah ahli Psikologi Refleksiologi dari Rusia. Sebagaiman dijelaskan oleh Hendry C Ellis, bahwa dalam prosedur penelitiannya Pavlov menggunakan
12

Lubis, Dasar-Dasar , h. 94-95.

laboratorium binatang sebagai tempat penelitian. Sama halnya dengan Thorndike, dia juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Belajar merupakan suatu upaya untuk mengkondisikan pembentukan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu.13 Ada tiga hal pokok dalam yang biasanya digunakan dalam teori pavlop, yakni sebagai berikut: 1) Perangsang tidak bersyarat = unconditioned stimulus (US) 2) Perangsang bersyarat = conditioned stimulus (CS. 3) Respon tidak bersyarat = unconditioned respon (UR). Respon bersyarat = conditioned respon (CR).14 Selanjutnya, teori ini melahirkan beberapa hukum belajar, yaitu: 1) Law of Respondent Conditioning, berarti hukum dituntut. 2) Law of Respondent Extinction, berarti hukum pemusnahan yang dituntut.15 Dari teori ini, dapat kita pahami bahwa tingkah laku peserta didik dapat dibentuk dengan melakukannya secara berulang-ulang. Tingkah laku itu dipancing secara berulang-ulang dengan sesuatu yang dapat menimbulkan rangsangan untuk mewujudkan tingkah laku dimaksud. c. Operant Conditioning Teori ini dipelopori oleh Skinner. Ia berbeda pandangan dengan Pavlov dan Trondike dalam kajian tentang hubungan antara perangsang dan respon dalam tingkah laku manusia. Skinner membedakan adanya dua macam respon, yakni:
13 14

pembiasaan yang

internet Lubis, Dasar-Dasar, h. 95-96. 15 Syah, Psikologi Belajar, h. 87-88.

1) Respondent

response

(reflexcive

response),

yakni

respon

yang

ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu. 2) Operant response (instrumental response), yakni respon yang timbul dan berkembang diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Dari eksperimen yang dilakukan Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya: 1) 2) Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah

stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat. diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. Reber menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.16

2. Teori Kognitif Teori-teori belajar yang termasuk ke dalam teori kognitif adalah teori Gestalt dan teori Medan. a. Teori Gestalt Teori ini dipelopori oleh Koffka, Kohler, dan Wertheimer. Penelitianpenelitian psikologi Gestalt pada mulanya adalah bidang persepsi, terutama penglihatan. Adapun hukum-hukum yang lahir dari teori ini adalah:

16

Syah, Psikologi Belajar, h.

1) Hukum pragnanz: Menyatakan bahwa organisasi psikis senantiasa cendrung untuk bergerak ke arah keadaan pragnanz, yakni keadaan penuh arti. 2) Hukum kesamaan: Hal-hal yang sama cendrung untuk membentuk Gestalt. 3) Hukum keterdekatan: Hal-hal yang saling berdekatan cendrung untuk membentuk Gestalt. 4) Hukum ketertutupan: Hal-hal yang tertutup cendrung untuk membentuk Gestalt. 5) Hukum kontinuitas: Hal-hal yang kontiniu atau hal yang merupakan kontiunitas yang baik cendrung untuk membentu Gestalt.17 Pada perkembangan selanjutnya, para ahli psikologi Gestalt berpendapat bahwa hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku dalam bidang pengamatan berlaku juga dalam bidang belajar dan berfikir, karena apa yang dipelajari, dipikirkan itu bersumber dari apa yang dikenal lewat fungsi pengamatan. Belajar, berpikir itu pada hakikatnya adalah melakukan pengubahan struktur kognitif. Teori Gestalt ini memandang bahwa insight adalah inti belajar. Belajar yang sebenarnya adalah insightfull learning, sehingga sumber nomor satu adalah dimengertinya hal yang dipelajari.18 Hilgard memberikan enam macam sifat khas belajar dengan insight itu, sebagai berikut: 1) Insight tergantung kepada kemampuan dasar. 2) Insight itu tergantung pengalaman masa lampau yang relevan. 3) Insight tergantung kepada pengaturan secara eksprimental. 4) Insight itu didahului oleh suatu periode mencoba-cob. 5) Belajar dengan insight itu dapat diulangi.
17 18

Lubis, Dasar-Dasar, h. 97-98. Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 277-278.

6) Insight yang telah sekali didapatkan dapat dipergunakan untuk menghadapi situasi-situasi baru.19 b. Teori Medan Teori belajar Medan Kognitif yang dipelopori oleh Kurt Lewin merupakan teori belajar yang memusatkan perhatiannya pada faktor pribadi (person) yang sedang belajar. Faktor psikologi dari pribadi (person) ini digambarkan atau dinyatakan dalam bentuk konsep yang disebut life space. Konsep life space ini berisikan antara lain: kebutuhan, tujuan, vektor, lingkungan psikologi dan pribadi dari individu yang bersangkutan.20 Dengan konsep life space oleh para pengajar atau guru, maka mereka memperoleh tambahan pengetahuan yang berharga guna dapat memahami tingkah laku siswa. Dengan demikian guru dapat sesuai dengan tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Kurt Lewin menambahkan beberapa unsur penggunaan teori Medan dalam belajar, yaitu: 1) Belajar adalah pengubahan struktur kognitif. Pemecahan problem hanya dapat dilakukan apabila struktur kognitif diubah. 2) Peranan hadiah dan hukuman adalah merupakan dua sarana motivasi yang bermanfaat. Namun, dalam penggunaannya memerlukan pengawasan yang cermat. 3) Masalah sukses dan gagal juga merupakan faktor motivasi yang penting. Pengalaman sukses merupakan hadiah dan pengalaman gagal berperan sebagai hukuman.21 3. Teori Humanistik Teori Humanistik dipelopori oleh Combs, Maslow, dan Rogers. Berikut adalah pendapat dari ketiga tokoh di atas:

19 20

Ibid. Varia, Psikologi Pendidikan, h. 33. 21 Lubis, Dasar-Dasar, h. 98.

a.

Combs menyatakan apabila pendidik ingin memahami perilaku peserta

didik, maka ia harus mencoba memahami dunia persepsi mereka. b. Maslow mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak

mungkin berkembang jika kebutuhan dasar peserta didik belum terpenuhi. c. Rogers mengemukakan ada 10 prinsip belajar: Peserta didik memiliki kemampuan mandiri untuk belajar secara alami. Belajar adalah proses dan kegiatan yang signifikan dengan hasil yang dicapai. Belajar merupakan perubahan persepsi. Tugas-tugas belajar dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar peserta didik. Pengalaman belajar peserta didik berbeda satu sama lain. Belajar yang bermakna diperoleh peserta didik dengan melakukannya secara langsung. Belajar menjadikan peserta didik untuk betanggung jawab. Belajar akan berhasil jika dimulai dari diri sendiri. Percaya pada diri sendiri adalah awal dari keberhasilan. Prinsip belajar adalah keterbukaan.22

D. Tipe-Tipe Belajar Robert M. Gagne, seorang fakar pendidikan. Berpendapat bahwa hasil dari penelitian yang dia lakukan telah menghasilkan empat tipe dasar belajar, meskipun keempat-empatnya merupakan suatu variasi terhadap belajar yang disebut belajar

22

Ibid, h. 99.

asosiatif.23 Belajar asosiatif dipandang oleh Gagne sebagai sesuatu yang berperan dalam masing-masing tipe. Keempat tipe dasar yang dimaksud Gagne ialah:24 1. Belajar signal. Yaitu sesuatu (B) menjadi tanda bagi hal yang lain, yang biasanya menimbulkan reaksi tertentu (A). lama kelamaan, B akan menimbulkan reaksi yang mula-mula hanya diberikan terhadap A, meskipun A sudah tidak ada. Dalam belajar semacam ini, sudah harus ada kaitan antara perangsang dan reaksi spontan, sebagai syarat dasar pada diri anak sendiri. Kaitan dasar itu oleh Gagne dipandang sebagai kondisi internal. Di samping itu, hubungan antara perangsang kedua dengan perangsang utama harus terdapat pada saat yang sama dan diulang kembali beberapa kali. Kedua hal ini oleh Gagne dipandang sebagai kondisi eksternal; karena berada di luar anak. Pemakaian tipe pertama ini, misalnya muncul dalam menyukai atau membenci suatu mata pelajaran, karena dikaitkan dengan menyukai atau membenci tenaga pengajar yang memegang mata pelajaran itu. 2. Belajar membuat suatu gerakan, demi memperoleh sesuatu yang memberikan kepuasan. Gerakan ini melibatkan kejasmanian; maka disebut gerakan motorik yang dilakukan dengan kehendak sendiri. Dalam belajar semacam ini, harus terdapat kepuasan pada anak, bila dia mengadakan gerakan yang tepat. Kepuasan ini merupakan syarat dasar pada pihak anak dan oleh Gagne dipandang sebagai kondisi internal. Untuk itu diperlukan semacam pengatur dari luar anak dan dikenal dengan istilah penguatan bersyarat (reimporcement contingency). Hal-hal lain yang memegang peranan penting dalam belajar semacam ini ialah kebersamaan dalam waktu antara gerakan yang tepat, yang menghasilkan kepuasan (repetisi). Tipe yang kedua ini sukar ditemukan bentuk aslinya dalam belajar di sekolah, tetapi mendapat penerapan yang lebih luas. 3. Belajar membuat suatu segi gerakan-gerakan motorik, sehingga akhirnya terbentuk suatu rangkaian gerakan dalam urutan tertentu. Dalam belajar semacam ini, terdapat sejumlah langkah sebagai mata rantai-mata rantai dalam
23 24

W.S. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Yogyakarta: Media Abadi, 2005), h. 7-8. Ibid, h. 8-10.

keseluruhan rangkaian gerakan yang dilakukan secara berurutan. Anak harus mampu melakukan masing-masing gerakan lebih dahulu, sebelum dapat melakukan keseluruhan rangkaian gerakan dalam urutan yang tepat. Kemampuan ini menjadi tuntunan dasar pada pihak anak dan oleh Gagne dipandang sebagai kondisi internal. Di samping itu, urutan gerak-gerik yang tepat, biasanya perlu diulang beberapa kali. Selanjutnya, harus ada yang mengawasi supaya anak mengadakan gerakan-gerakan itu dalam urutan yang tepat. Dalam peraktek pembelajarannya di sekolah, tipe belajar ketiga ini berperan dalam belajar menulis, menggambar, berkerajinan tangan, berolahraga, berpraktek di laboratorium dan lain sebagainya. 4. Belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu objek yang berupa benda, orang, atau kejadian; dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan tepat. Yang pertama berarti memberikan suatu nama atau cap verbal pada suatu objek, dan yang kedua berarti menempatkan sejumlah kata, yang satu sesudah yang lain, dari urutan tertentu. Sedangkan dalam belajar merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat, anak harus menguasai masing-masing bagian atau baris lebih dahulu, sebelum bagian atau baris dikaitkan satu sama lain, misalnya baris pertama dan kedua, ketiga dan seterusnya. Hal ini menjadi syarat dasar pada pihak anak dan oleh Gagne dipandang sebagai kondisi internal di samping itu, kata-kata dan baris-baris harus terdapat dekat yang satu dengan yang lain dan disajikan dalam urutan yang tepat. Dalam praktek pembelajaran di sekolah, tipe ini muncul dalam belajar berbahasa, lebih-lebih dalam berkomunikasi secara lisan dengan orang lain. Siswa yang menguasai sejumlah ungkapan verbal yang lazim digunakan, memiliki bekal yang bermanfaat sekali dalam berkomunikasi di masyarakat. Dari uraian tentang keempat tipe dasar dan penerapannya terhadap belajar di sekolah, tidak dapat ditarik kesimpulan, bahwa jumlah tipe belajar yang muncul dalam belajar di sekolah hanyalah sebanyak empat saja. Gagne sendiri pun mengakui adanya tipe-tipe belajar yang lebih tinggi.

Ulasan mengenai empat tipe belajar yang dasar, jelaslah bahwa proses belajar mengajar di sekolah bersifat sangat kompleks, karena di dalamnya terdapat aspek paedagogis, psikologis, dan didaktis.25

E. Potensi Dasar Manusia 1. Perspektif Pendidikan Umum Potensi diri adalah kemampuan yang terpendam pada diri setiap orang, setiap orang memiliki hal tersebut. Terkadang seseorang tidak menyadari bahwa potensi yang ada dalam dirinya begitu besar, sehingga orang itu tidak bisa memaksimalkan potensi yang ada dalam dirinya. Kebanyakan orang merasa kesulitan dalam mengembangkan atau mengenali potensi yang ada dalam dirinya, seseorang merasa bingung akan potensi apa yang ada padanya. Mereka merasa takut untuk mengembangkan potensi tersebut. Sebaik makhluk paling sempurna, manusia memiliki tiga potensi luar biasa yang terdapat dalam diri setiap orang. Potensi tersebut yaitu, potensi jasmani/fisik, potensi professional. a. Potensi Jasmani Aspek jasmani adalah keseluruhan organ fisik-biologis, serta sistem sel, syaraf dan kelenjar diri manusia. Organ fisik manusia adalah organ yang paling sempurna di antara semua makhluk. Alam fisik-material manusia tersusun dari unsur tanah, air, api dan udara. Keempat unsur tersebut adalah materi dasar yang mati. Kehidupannya tergantung kepada susunan dan mendapat energi kehidupan yang disebut dengan nyawa atau daya kehidupan yang merupakan vitalitas fisik manusia. Kemampuannya sangat tergantung kepada sistem konstruksi susunan fisik-biologis, seperti; susunan sel, kelenjar, alat pencernaan, susunan saraf sentral, urat, darah, tulang,
25

akal, dan Potensi rohani. Apabila potensi tersebut

disinergikan dengan baik maka akan mengahasilkan pribadi yang menawan dan

Ibid, h. 13.

jantung, hati dan lain sebagainya. Jadi, potensi jasmani memiliki dua sifat dasar. Pertama berupa bentuk konkrit berupa tubuh kasar yang tampak dan kedua bentuk abstrak berupa nyawa halus yang menjadi sarana kehidupan tubuh.

1. Potensi Akal 2. Potensi Rohani

2. Perspektif pendidikan Islam

Anda mungkin juga menyukai