Anda di halaman 1dari 5

Masyarakat Etnis Arab dan Identitas Budaya Lokal

Jumat, 14 November 2008 13:54 I. Keberadaan Etnik Arab Keberadaan masyarakat etnis Arab di Indonesia sudah berlangsung beratus-ratus tahun. Ada yang memerkirakan sejak penyebaran agama Islam di wilayah Nusantara dan Tanah Melayu. Keberadaan etnis Arab tersebar di hampir semua kepulauan Nusantara sejalan dengan proses penyebaran agama Islam. Sebagian ahli berpendapat penyebaran Islam di Indonesia dilakukan oleh para saudagar dari Gujarat - sebuah wilayah di India- bukan oleh bangsa Arab secara langsung. Perbedaan pandangan ini tidak mengganggu proses penyebaran Islam dan pembentukan "kolonie" (enclave) etnis arab di berbagai wilayah. Dalam proses kehidupan etnis Arab pendatang di wilayah Indonesia tidak pernah dibedakan apakah pembawa agama Islam itu berasal dari Gujarat atau Arab. Penyebaran "kolonie" etnis Arab di seluruh wilayah Nusantara menunjukkan bahwa proses integrasi dan assimilasi dengan penduduk setempat berlangsung dalam proses alamiah. Di semua wilayah Nusantara keberdaan sub-etnik Arab selalu menempel (embedded) dengan etnik setempat. Walaupun disana-sini terlihat seakan-akan terjadi segregasi (adanya koloni "Kampung Arab") akan tetapi secara sosio-kultural sub-etnik Arab tetap mewujudkan diri dalam tampilan budaya setempat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor utama yang mempengaruhi latar belakang kedatangan etnis Arab di suatu wilayah tertentu. Pertama, Motivasi migrasi adalah perdagangan dan penyebaran Agama Islam. Menggabungkan perdagangan dengan penyebaran Agama menghasilkan proses assimilasi yang unik. Kedua, dengan semangat keagamaan proses assimilasi terjadi melalui perkawinan dengan penduduk setempat yang berlangsung kemudian dalam jangka waktu yang panjang.2 Ketiga, hasil kawin campur itu menyebabkan etnis Arab Indonesia tidak bersifat monolitik dalam kehidupan sosio-kulturalnya. Hal ini bisa dilihat dari berbagai macam bahasa lokal yang digunakan oleh sub-etnik Arab di seluruh Indonesia3. Keempat, oleh karena pengaruh penyebaran agama Islam sedemikian kuatnya dalam praktek budaya suku-suku bangsa di Nusantara maka terjadilah percampuran beberapa unsur budaya Arab-Islam dengan budaya lokal dalam setting sosio-kultural etnik Indonesia. Konsekuensinya, budaya yang ditampilkan oleh etnik Arab cenderung berwarna lokal.

II. Pandangan Hidup

Sejak awal kedatangannya sub-etnik Arab hanya berorientasi pada kepentingan penyebaran Agama dan perdagangan. Oleh karena itu pandangan hidup mereka ditentukan oleh kemampuan mereka mengadaptasikan diri dengan budaya dan masyarakat setempat. Kemampuan adaptasi dan assimilasi melalui perkawinan menyebabkan identitas diri etnik Arab dipengaruhi oleh warna lokal. Dengan berdirinya negara Republik Indonesia identitas lokal kemudian menjadi identitas nasional. Sebagai etnik campuran hasil asimilasi rasial maka keberadaan etnik Arab menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam konteks negara kebangsaan Indonesia. Kondisi ini disadari sepenuhnya oleh sub-etnik Arab sejak awal. Walaupun dalam masa penjajahan Belanda dilakukan politik segregasi melalui pemisahan status hukum antara bangsa Eropa, Timur Asing dan Pribumi. Segregasi itu tidak pernah mengurangi dan menghambat proses asimilasi. Pertumbuhan kolonie sub-etnik Arab di berbagai wilayah Indonesia tetap tinggi. Dalam pandangan hidup sub-etnik Arab membela dan mempertahankan tanah tempat kelahiran adalah salah satu amal keagamaan (Hubbul Wathan). Konsep ini didasarkan pada ajaran Rasulullah yang menghormati kedudukan dan peran Ibu sedemikian tingginya (Ibumu, Ibumu, Ibumu!). Motherland lebih utama dari Fatherland benar -benar dalam arti harfiahnya. Konsep ini mungkin agak aneh ketika dikaitkan dengan sistem kekeluargaan etnik Arab yang menganut sistem patriachat (garis keturunan laki-laki). Pandangan yang dilandasi kecintaan pada motherland itu ditransformasikan dalam sebuah manifesto politik pada tanggal 4 Oktober 1934 dalam bentuk SUMPAH PEMUDA INDONESIA KETURUNAN ARAB yang dideklarasikan sebagai wujud kesetiaan semua warga etnik keturunan Arab di Indonesia.4 Gerakan politik ini kemudian dikembangkan menjadi institusi politik dengan nama PARTAI ARAB INDONESIA (PAI) yang dijadikan saluran agregasi dan artikulasi kepentingan politik etnik keturunan Arab di Indonesia. Hal yang menarik dari partai Arab ini komitennya untuk membubarkan diri setelah kemerdekaan Indonesia tercapai. Pasca kemerdekaan eksponen PartaiArab Indonesia segera bergabung dengan berbagai macam partai dan ideologi yang ada di Indonesia sampai sekarang. Komitmen ini sesungguhnya menujukkan bahwa warga keturunan Arab tidak berpandangan eksklusif dengan mempertahankan identitas kelompoknya sendiri dalam suatu wadah politik yang tunggal.5

Pandangan politik yang jelas dan gamblang itu diikuti secara total oleh semua warga keturunan Arab di Indonesia. Keinginan untuk membentuk lembaga partai politik tidak pernah ada sejak tahun 1945. Bagi warga keturunan Arab masalah artikulasi kepentingan politik sudah selesai dan ada salurannya. Mereka umumnya menyalurkan suaranya untuk partai-partai Islam dan partai Nasional yang ada. Pada tingkat tertentu mereka bahkan tidak memperdulikan apakah sudah terwakili secara proporsional?6

III. Etos Kerja

Motivasi ekonomi adalah modal utama keturunan Arab. Dalam kehidupan ekonomi hukum yang berlaku adalah perjuangan, kemandirian dan kemerdekaan . Itu sebabnya mayoritas keturunan Arab memilih menjadi pedagang ketimbang, misalnya, menjadi PNS. Walapun sudah cukup banyak keturunan Arab memasuki berbagai macam bidang profesional namun tetap tidak sebanding dengan jumlah mereka yang menggeluti dunia ekonomi perdagangan. Kemandirian adalah kata kuncinya. Pada tingkat tertentu kemandirian itu begitu totalnya sehingga tidak jarang kita temui warga keturunan Arab yang enggan bersentuhan dengan bank, misalnya, atau berbagai macam fasilitas bantuan yang disediakan oleh pemerintah. Ciri masyarakat migran adalah bagaimana memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu ketimbang menuntut fasilitas. Etos kerja yang didasarkan pada self-sufficient philosophy mencitrakan seakan-akan sikap itu sebagai keengganan untuk terlibat dalam kegiatan kenegaraan atau kemasyrakatan. Padahal ajaran agama Islam menyebutkan khairun naas tanfa'uhum linnaas (sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain).

IV. Kearifan Lokal

Kesan yang diperoleh selama ini menunjukkan adanya kearifan lokal yang seakan-akan dibangun melalui proses integrasi dan asimilasi. Pertanyaan yang sering muncul apakah yang menyebabkan masyarakat keturunan Arab menjadi begitu mudah terintegrasi dalam satu sistem kemasyarakatan yang dinamis, kuat dan dapat diandalkan?

Apakah masyarakat di Keturunan Arab tidak pernah mengalami konflik sosial, diskriminasi dan perbedaan-perbedaan budaya, agama atau strata sosial lainnnya? Apakah nuansa kebersamaan dalam masyarakat Keturunan Arab bersama masyarakat etnik lainya merupakan suatu karakter inheren (melekat) begitu saja? Kalau diamati dengan benar ada beberapa hal mendasar yang selama ini menjadi faktor yang sangat berperan dalam kehidupan masyarakat Keturunan Arab. Pertama, Persepsi masyarakat, kelompok, individu yang dikembangkan diantara sesamanya dibangun berdasarkan persamaan yang tak dapat diganggu ataupun ditukar dengan hal lainyya. Persepsi semacam ini didasarkan pada ajaran keagamaan; yakni Islam. Dalam masyarakat Keturunan Arab pandangan dan ajaran keagamaan, khususnya Islam merupakan modal dasar yang paling berharga. Sehingga semua kelompok etnik memandang dirinya sendiri dan orang lain atas dasar ajaran agama Islam. Kedua, Budaya masyarakat Keturunan Arab didasarkan pada ajaran keagamaan pula, yakni Islam. Walaupun kesan yang muncul di masyarakat ini budaya "Arab" atau "Timur Tengah" tetapi sesungguhnya yang dijalankan sehar-hari adalah budaya Islam, bahkan ada juga budaya Islam sinkretik, atau budaya Islam yang dikembangkan dari budaya lokal seperti Jawa,Sumatra dan lain-lain. Ketiga, Toleransi dalam masyarakat Keturunan Arab cenderung menjadi dasar yang tak dapat ditukar dengan lainnya karena selama beratus tahun perbedaan etnik, budaya, suku bangsa dalam kehidupan masyarakat Keturunan Arab justru dibangun berdasarkan sikap toleran yang sangat tinggi. Sebagai contoh: terdapat sebuah Vihara Konghucu (Klenteng) dan Gereja Protestan yang lokasinya hanya sekitar 0,5 Km dari pusat keagamaan terbesar di Surabaya, yakni Mesjid Sunan Ampel yang ada di lingkungan Kampung Arab. Bahkan di kawasan ini pula terdapat tempat pemotongan hewan Babi yang sudah puluhan tahun beroperasi tanpa gangguan. Keempat, Agama menjadikan masyarakat Keturunan Arab memiliki kekuatan untuk membangun masyarakat multi-etnik yang bersatu dan terasimilasi dengan baik. Walaupun Islam menjadi agama yang dominan tidak berarti kemudian warga beragama lainnya tidak ada disana. Pandangan keagamaan masyarakat Keturunan Arab terhadap agama lainnya merupakan karakter yang boleh dibanggakan. Sejauh yang dapat dicatat konflik keagamaan, baik intra-agama (konflik antar madzhab/aliran dalam satu agama) maupun antar agama jarang sekali terjadi. Kelima, Asimilasi budaya merupakan faktor yang sangat menentukan dalam kehidupan bermasyarakat di wilayah Keturunan Arab. Akan tetapi ada faktor penting yang tidak menonjol adalah kemampuan untuk mempersatukan persepsi dan budaya dalam satu kesatuan yang tunggal yaitu, masyarakat yang bersatu, hidup dengan damai dan tidak mendiskriminasi diri sendiri (All Inclusive).

Keenam, Integrasi merupakan kekuatan yang dominan dalam kehidupan masyarakat Keturunan Arab, baik integrasi diantara sesamanya maupun terhadap masyarakat dan bangsa secara nasional. Kesadaran bernegara dengan tidak mendiskriminasikan diri dalam suatu entitas tertentu menjadikan masyarakat Keturunan Arab secara langsung sebagai bagian dari warganegara Indonesia. Walaupun demikian timbul pertanyaan, apakah masyarakat keturunan Arab tidak mengalami konflik sosial, politik, ekonomi dan agama? Sejauh yang terjadi dan dapat dicatat, konflik sosial didalam masyarakat Keturunan Arab sifatnya sangat individual. Perbedaan ekonomi di masyarakat Keturunan Arab bukanlah faktor yang menjadi sumber konflik karena mayoritas masyarakat disana adalah pedagang dengan ciri tertentu dan dikenai kewajiban keagamaan yang utama yakni membayar zakat. Konflik politik hampir tidak pernah terbayangkan dalam masyarakat Keturunan Arab disebabkan identitas politik masyarakat Keturunan Arab sangat beragam, bahkan pilihan-pilihan politik tidak pernah menjadi topik unggulan karena ukuran keberagaman (diversity) dalam masyarakat Keturunan Arab ditentukan oleh nilai-nilai keagamaan dan budaya. Sehingga konflik akibat perbedaan politik Insya Allah jauh dari masyarakat.

Kesimpulan Apa yang bisa dapat kita pelajari dari masyarakat Keturunan Arab sesunggunya sederhana: bagaimana memanusiakan manusia lain sesuai dengan harkat dan kedudukannya masing-masing. Perbedaan dalam masyarakat Keturunan Arab dijadikan kekuatan untuk mempersatukan diri dengan mengacu pada ajaran agama. Integrasi dan Asimilasi adalah dinamika kehidupan yang selalu harus diperbaharui dan dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat.
http://www.kampoengampel.com/berita/seputar-ampel/11-masyarakat-etnis-arab-dan-identitasbudaya-lokal.html

Anda mungkin juga menyukai