Anda di halaman 1dari 14

Pengertian Pendekatan Problem Posing

Menurut Brown dan Walter dalam Kadir (2006:7), pada tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for re-direction of mathematics education (reformasi pendidikan matematika). Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika. Problem posing berasal dari bahasa Inggris, yang terdiri dari kata problem dan pose. Problem diartikan sebagai soal, masalah atau persoalan, dan pose yang diartikan sebagai mengajukan (Echols dan Shadily, 1990:439 dan 448). Beberapa peneliti menggunakan istilah lain sebagai padanan kata problem posing dalam penelitiannya seperti pembentukan soal, pembuatan soal, dan pengajuan soal (Yansen, 2005:9). Suryanto (Sutiarso: 2000) mengemukakan bahwa problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah merumuskan masalah (soal) atau membuat masalah (soal). Sedangkan menurut Silver (Sutiarso: 2000) bahwa dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit (problem posing sebagai salah satu langkah problem solving). Kedua, problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain (sama dengan mengkaji kembali langkah problem solving yang telah dilakukan). Ketiga, problem posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan. Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics merumuskan secara eksplisit bahwa siswa harus mempunyai pengalaman mengenal dan memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh The Professional Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang penting bagi guru-guru untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Siswa perlu diberi kesempatan merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut (Silver & Cai, 1996). Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan pengertian problem posing adalah perumusan atau pembuatan masalah/soal sendiri oleh siswa berdasarkan stimulus yang diberikan. http://muhfida.com/pengertian-pendekatan-problem-posing/

Pelaksanaan Pendekatan Problem posing dalam Pembelajaran

Pendek atan probelem posing (pengajuan masalah) dapat dilakukan secara individu atau kelompok (classical), berpasangan (in pairs) atau secara berkelompok (groups). Masalah matematika yang diajukan secara individu tidak memuat intervensi atau pemikiran dari siswa yang lain. Masalah tersebut adalah murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar belakangi oleh situasi yang diberikan. Masalah matematika yang diajukan oleh siswa yang dbuat secara berpasangan dapat lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara kolaborasi, utamanya yang berkaitan dengan tingkat keterselesaian masalah tersebut. Sama halnya dengan masalah matematika yang dirumuskan dalam satu kelompok kecil, akan menjadi lebih berkualitas manakala anggota kelompok dapat berpartsipasi dengan baik (Hamzah, 2003: 10). Dalam pelaksanaannya dikenal beberapa jenis model problem posing antara lain: 1.Situasi problem posing bebas, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengajukan soal sesuai dengan apa yang dikehendaki . Siswa dapat menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan untuk mengajukan soal. 2.Situasi problem posing semi terstruktur, siswa diberikan situasi/informasi terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mengajukan soal dengan mengkaitkan informasi itu dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Situasi dapat berupa gambar atau informasi yang dihubungkan dengan konsep tertentu. 3.Situasi problem posing terstruktur, siswa diberi soal atau selesaian soal tersebut, kemudian berdasarkan hal tersebut siswa diminta untuk mengajukan soal baru. Problem posing adalah kegiatan perumusan soal atau masalah oleh peserta didik. Peserta didik hanya diberikan situasi tertentu sebagai stimulus dalam merumuskan soal/masalah. Berkaitan dengan situasi yang dipergunakan dalam kegiatan perumusan masalah/soal dalam pembelajaran matematika, Walter dan Brown (1993: 302) menyatakan bahwa soal dapat dibangun melalui beberapa bentuk, antara lain gambar, benda manipulatif, permainan, teorema/konsep, alat peraga, soal, dan solusi dari soal. Sedangkan English (1998) membedakan dua macam situasi atau konteks, yaitu konteks formal bisa dalam bentuk simbol (kalimat matematika) atau dalam kalimat verbal, dan konteks informal berupa permainan dalam gambar atau kalimat tanpa tujuan khusus. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing mungkin bukan suatu hal yang baru dalam dunia pendidikan. Pendekatan ini pada awal tahun 2000 sempat menjadi kata kunci di setiap seminar pembelajaran, khususnya pembelajaran matematika. Meskipun pendekatan ini lebih dikembangkan dalam pembelajaran matematika, namun belakangan ini pembelajaran fisika dan kimia juga menggunakan pendekatan ini. Dan tidak menutup kemungkinan pendekatan ini juga sudah dikembangkan dalam pembelajaran rumpun IPS dan bahasa. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing bisanya diawali dengan penyampaian teori atau konsep. Penyampaian materi biasanya menggunakan metode ekspositori. Setelah itu, pemberian contoh soal dan pembahasannya. Selanjutnya, pemberian contoh bagaimana membuat masalah dari masalah yang ada dan menjawanya. Kemudian siswa diminta belajar dengan problem posing. Mereka diberi kesempatan belajar induvidu atau berkelompok. Setelah pemberian contoh cara membuat masalah dari situasi yang tersedia, siswa tidak perlu lagi diberikan contoh. Penjelasan kembali contoh, bagaimana cara mengajukan soal dan menjawabnya bisa dilakukan, jika sangat diperlukan.

Penerapan dan penilaian yang cukup sederhana dari pendekatan ini, yaitu dengan cara siswa diminta mengajukan soal yang sejenis atau setara dari soal yang telah dibahas. Dengan cara ini kita bisa melihat sejauh mana daya serap siswa terhadap materi yang baru saja di sampaikan. Cara yang seperti ini sangat cocok digunakan dalam pembelajaran untuk rumpun mata pelajaran MIPA. Melalui tugas membuat soal yang setara dengan soal yang telah ada, kita bisa mencermati bagaimana siswa mengganti variabel-variabel yang dikatahui lalu mencari variabel yang ditanyakan. Bagi siswa yang memiliki daya nalar diatas rata, pendekatan seperti ini memberikan peluang untuk melakukan eksplorasi intelektualnya. Mereka akan tertatang untuk membuat tambahan informasi dari informasi yang tersediakan. Sehingga pertanyaan yang diajukan memiliki jawab yang lebih kompleks. Sedangkan bagi anak yang berkemampuan biasa cara ini akan memberikan kemudahan untuk membuat soal dengan tingkat kesukaran sesuai dengan kemampuannya. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing dapat juga dimulai dari membaca daftar pertanyaan pada halaman soal latihan yang terdapat dalam buku ajar. Setelah itu baru membaca materinya. Cara ini berkebalikan dengan cara belajar selama ini. Tugas membaca yang diperintahkan pada siswa biasanya bermula dari materi, lalu menjawab soal pada halaman latihan. Kelebihan membaca soal terlebih dahulu baru membaca materi, terletak pada fokus belajar siswa. Ketika siswa membaca pertanyaan terlebih dahulu, maka mereka akan berusaha untuk mencari jawaban dari pernyaan yang telah mereka baca. Tapi lain masalahnya ketika dibalik. Bila membaca materi terlebih dahulu, maka ketika sampai pada bagian soal latihan, ada kemungkinan siswa akan membacanya kembali atau membuka-buka bagian yang telah dibaca untuk menjawab soal yang ada. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk cara belajar membaca materi terlebih dahulu, lebih banyak dibandingkan dengan cara belajar membaca soalnya setelah itu baru membaca materinya. Pada pembelajaran bahasa Indonesia, pembelajaran dengan pendekatan problem posing akan melatih sikap kritis dan cara berfikir divergen. Misalnya, seorang guru cukup membagi-bagikan foto kopian sebuah artikel yang diambil dari majalah atau koran. Berdasarkan artikel tersebut, siswa diminta membuat pertanyaan dan jawabannya. Maka akan muncul ratusan pertanyaan dan jawaban hanya berdasarkan sebuah artikel. Mungkin akan lebih dari itu. Sebab aspek kebahasaan yang dimuat dalam sebuah artikel banyak sekali. Sebenarnya banyak cara bagaimana mengaktifkan siswa. Salah satunya melalui pembelajaran dengan pendekatan problem posing. Melalui pendekatan ini mereka bisa terangsang untuk mengembangkan pengetahuannya dengan cara yang mudah dan murah. Pengetahuan siswa dengan pendekatan ini, bisa dikembangkan dari yang sederhana hingga pada pengetahuan yang kompleks. Selain itu, dengan pendekatan tersebut siswa akan belajar sesuai dengan tingkat berfikirnya. Karena antara siswa yang pandai dengan yang kurang pandai tidak diperlakukan sama. Mereka akan belajar dengan problem posing sesuai dengan pengetahuaan mereka yang telah dimiliki sebelumnya. Dengan pendekatan ini diharapkan siswa lebih bersemangat, kritis dan kreatif. Walhasil, dengan pendekatan problem posing siswa diharapkan lebih peka terhadap masalah yang timbul disekitanya dan mampu memberikan penyelesaian yang cerdas. Sebagai ilustrasi tentang perumusan soal, berikut disajikan contoh pembelajaran objek matematika yang berupa teorema, yang dikutip oleh Sutiarso dalam Brown dan Walter

(1990). Guru : Anak-anak, perhatikan persamaan x2 + y2 = z2, carilah nilai x, y, dan z yang memenuhi persamaan tersebut! Siswa : Saya ingat, itu seperti persamaan dalam Pythagoras, tentu nilai x = 3, y = 4, dan z = 5. Guru : Bagus! Sekarang apakah ada x, y, dan z yang lain? Siswa : Ada. Berapa ya? Guru: Nah, sekarang tulis nilai x, y, dan z sebanyak-banyaknya di buku kalian! (Setelah siswa menulis hasilnya, guru melanjutkan pertanyaan) Guru: Anak-anak, setelah kita menentukan x, y, dan z yang sesuai, sekarang buatlah satu pertanyaan dari persamaan tersebut Siswa: Bagaimana caranya pak? Guru: Baik, sekarang Bapak akan menunjukkan contoh merumuskan soal, misalnya, siapakah penemu pertama pesamaan itu?, atau Apakah nilai x, y, dan z selalu bilangan bulat?. Bagaimana, mudah bukan? Siswa: Baik pak, kami akan mencobanya. Berdasarkan ilustrasi di atas, Brown dan Walter (Sutiarso, 2000) menjelaskan bahwa perumusan soal dalam pembelajaran matematika memiliki dua tahapan kegiatan kognitif, yaitu accepting (menerima), dan challenging (menantang). Tahap menerima adalah suatu kegiatan siswa menerima situasi-situasi yang diberikan guru atau situasi-situasi yang sudah ditentukan, sedangkan tahap menantang adalah suatu kegiatan siswa menantang situasi tersebut dalam rangka perumusan soal. Dalam contoh ilustrasi di atas, tahap accepting-nya Siswa menerima situasi berupa persamaan x2 + y2 = z2, sedangkan tahap challengingnya, Siswa menantang situasi persamaan tersebut dengan merumuskan soal. http://muhfida.com/pelaksanaan-pendekatan-problem-posing-dalam-pembelajaran/ Terkait dengan situasi soal yang tersedia, Stoyanofa (dalam Hajar, 2001:13) menjelaskan bahwa menurut situasi yang tersedia, situasi problem posing diklasifikasi menjadi situasi problem posing bebas, semi terstruktur dan terstruktur. Pada situasi problem posing bebas, siswa tidak diberikan suatu informasi yang harus dipatuhi. Siswa diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk membentuk soal sesuai dengan apa yang dikehendaki. Siswa bisa menggunakan fenomena dalam kehidupan sehari-hari sebagai acuan dalam pembentukan soal. Sedangkan untuk situasi yang semi terstruktur, siswa diberi situasi atau informasi yang terbuka. Kemudian siswa diminta untuk mencari/ menyelidiki situasi tersebut dengan cara menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki. Siswa harus mengaitkan informasi tersebut dengan pengetahuan yang telah ia miliki selama ini. Situasi tersebut bisa berupa ganbar atau table mungkin bisa juga berupa cerita pendek. Adapun, pada situasi problem posing yang terstruktur, siswa diberi masalah khusus (soal) atau selesaian dari soal. Kemudian berdasarkan hal tersebut, siswa diminta untuk membentuk masalah/ soal baru.

Siswa tidak hanya diminta membuat soal atau mengajukan suatu pertanyaan. Tetapi mereka diminta untuk mencari selesaianya. Selesain dari soal yang mereka buat bisa dikerjakan sendiri. Bisa juga minta tolong pada temannya. Mungkin juga soal tersebut dikerjakan secara kelompok. Dengan cara dikerjakan secara kooperatif akan memudahkan pekerjaan mereka. Sebab yang memikirkan masalah tersebut banyak anak. Selain itu, dengan belajar kelompok suatu soal atau masalah dapat diselesaikan dengan banyak cara dan banyak selesaian. http://h4j4r.multiply.com/journal/item/7

Pendekatan Pembelajaran Problem Posing


Problem posing merupakan istilah Bahasa Inggris, dalam Bahasa Indonesia adalah pembentukan masalah. Pembentukan soal atau pembentukan masalah mencakup dua macam kegiatan, yaitu: 1. Pembentukan soal baru atau pembentukan soal dari situasi atau dari pengalaman siswa 2. Pembentukan soal dari soal lain yang sudah ada. Langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing menurut Budiasih dan Kartini dalam Budi Hartati adalah sebagai berikut: 1. Membuka kegiatan pembelajaran 2. Menyampaikan tujuan pembelajaran 3. Menjelaskan materi pelajaran 4. Memberikan contoh soal 5. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang hal-hal yang belum jelas 6. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membentuk soal dan menyelesaikannya 7. Mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan 8. Membuat rangkuman berdasarkan kesimpulan yang dibuat siswa 9. Menutup kegiatan pembelajaran Menurut Srini M. Iskandar dalam makalahnya yang dinukil oleh Budi Hartati, batasan mengenai pembentukan soal adalah sebagai berikut: 1. Perumusan ulang soal yang sudah ada dengan perubahan agar menjadi lebih sederhana dan mudah dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit 2. Perumusan atau pembentukan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka mencari alternatif pemecahan yang lain 3. Perumusan atau pembentukan soal dari kondisi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika, atau sesudah penyelesaian soal. Adapun kondisi dalam pembentukan soal, menurut Srini M. Iskandar dalam Budi Hartati dibagi menjadi tiga golongan yakni: 1. Kondisi bebas, yakni jika kondisi tersebut memberi kebebasan sepenuhnya kepada siswa untuk membentuk soal, karena siswa tidak diberi kondisi yang harus dipenuhi 2. Kondisi semi terstruktur, yakni jika siswa diberi suatu kondisi dengan menggunakan pengetahuan yang dimilikinya 3. Kondisi terstruktur, adalah jika kondisi yang digunakan berupa soal atau penyelesaian soal. Menurut Terry Dash dalam Budi Hartati, penyusunan soal-soal baru dapat digali dari soal yang sudah ada. Artinya, soal yang sudah ada dapat menjadi bibit untuik soal baru

dengan mengubah, menambah, atau mengganti satu atau lebih karakteristik soal yang terdahulu. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1. Change the numbers Salah satu cara membuat soal dari soal yang sudah ada adalah dengan mengubah bilangan. 3. Change the operations Cara lain membuat soal dari soal yang sudah tersedia adalah dengan mengubah operasi hitungnya. Kemampuan siswa dalam membentuk soal dapat dikembangkan dengan cara guru memberikan beberapa contoh seperti berikut: 1. Membentuk soal dari soal yang sudah ada atau memperluas soal yang sudah ada 2. Menyusun soal dari suatu situasi, atau berdasarkan gambar di majalah atau surat kabar, atau membuat soal mengenai benda-benda konkret yang dapat dimanipulasi (dikutakkutik) 3. Memberikan soal terbuka 4. Menyusun sejumlah soal yang mirip tetapi dengan taraf kesilitan yang bervariasi. Kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan soal, secara teknis yang dapat dilakukan adalah: 1. Siswa menyusun soal secara individu. Dalam penyusunan soal ini, hendaknya siswa tidak asal menyusun soal, akan tetapi juga mempersiapkan jawaban dari soal yang sedang disusunnya. Dengan kata lain, setelah siswa tersebut dapat membuat soal, maka dia juga dapat menyelesaikan soal tersebut. 2. Siswa menyusun soal. Soal yang telah tersusun tersebut kemudian diberikan kepada teman sekelasnya. Distribusi soal-soal yang telah tersusun tersebut dapat menggunakan cara penggeseran atau dengan cara bertukar dengan teman semeja. Artinya, distribusi soal tersebut secara individu. 3. Agar lebih bervariasi dan lebih menumbuhkan sikap aktif, interaktif, dan kretaif, maka dapat dibentuk kelompok-kelompok kecil untuk menyusun soal dan soal tersebut didistribusikan kepada kelompok lain untuk diselesaikan. Soal dari kelompok tersebut, diharapkan tingkat kesulitannya lebih tinggi dari soal yang disusun secara individu. Pembelajaran dengan pendekatan problem posing tidak dapat dilepaskan dari kegiatan memecahkan masalah/soal, karena memecahkan masalah adalah salah satu unsur utama dalam pembelajaran matematika. Dalam problem posing, siswa diberi kegiatan untuk membuat/membentuk soal kemudian menyelesaikan/memecahkan soal tersebut sesuai dengan konsep atau materi yang telah dipelajari. Persoalan yang harus dipecahkan oleh siswa datang siswa itu sendiri atau siswa yang lain dalam Pembelajaran menggunakan pendekatan problem posing. Jika menggunakan variasi lain, misal dengan dibuat kelompok-kelompok, maka soal-soal dapat berasal dari kelompok yang lain. Pemecahan masalah memacu fungsi otak anak, mengembangkan daya pikir secara kreatif untuk mengenali masalah, dan mencari alternatif pemecahannya. Proses pemecahan masalah terletak pada diri pelajar, variabel dari luar hanya merupakan intruksi verbal yang bersifat membantu atau membimbing pelajar untuk memecahkan masalah. Memecahkan masalah dapat dipandang sebagai proses dimana pelajar menemukan kombinasi-kombinasi aturan yang telah dipelajarinya lebih dahulu kemudian menggunakannya untuk memecahkan masalah. Namun memecahkan masalah tidak hanya menerapkan aturan-aturan yang telah diketahui tetapi juga memperoleh

pengetahuan baru. Pendekatan problem posing ternyata sesuai dengan salah satu teori tentang berpikir matematis. Berpikir matematis terdiri atas beberapa komponen, yaitu: 1. Memahami masalah atau perkara (segala sesuatu yang dikerjakan dalam pelajaran matematika harus bermakna bagimu) 2. Berusaha keluar dari kemacetan yang ada (bilamana kamu mengalami kemacetan, kamu harus dapat menggunakan apa yang telah kamu ketahui untuk keluar dari kemacetan) 3. Menemukan kekeliruan yang ada (kamu harus dapat menemukan kekeliruan yang ada dalam jawaban soal, dalam langkah yang kamu gunakan, dan dalam berpikir) 4. Meminimumkan pembilangan (jika kamu melakukan hitungan, kamu harus sedikit mungkin menggunakan pembilangan) 5. Meminimumkan tulis-menulis dalam perhitungan 6. Gigih dalam mencari strategi pemecahan masalah (jika kamu menggunakan suatu strategi pemecahan masalah tidak menghasilkan jawaban, kamu harus mencari strategi lain. Jangan mudah putus asa) 7. Membentuk soal atau masalah (kamu harus mampu memperluas masalah dengan membentuk pertanyaan-pertanyaan atau soal-soal). Pembelajaran matematika melalui problem posing diharapkan merupakan pendekatan yang efektif, karena kegiatan tersebut sesuai dengan pola pikir matematis, dalam arti: 1. Pengembangan matematika sering terjadi dari kegiatan membentuk soal, 2. Membentuk soal merupakan salah satu tahap dalam berpikir matematis. Pembelajaran matematika menggunakan pendekatan problem posing jika diperhatikan juga sesuai dengan pendepat Mel Silberman yang telah dikemukakan di atas. Semua potensi siswa (pendengaran, penglihatan, dan pemikiran/jalan berpikir) dilibatkan dalam pembelajaran menggunakan pendekatan ini, sehingga siswa diharapkan akan menguasai ilmu yang diserapnya. http://syarifulfahmi.blogspot.com/2009/09/pendekatan-pembelajaran-problemposing.html 2. Tindakan a) Guru menjelaskan tentang pembelajaran yang akan diharapkan kepada siswa dengan harapan mereka dapat memahami tujuan serta dapat mengikuti dangan baik proses pembelajaran baik dari segi frekuensi maupun intensitas. Penjelasan meliputi bahan yang akan diberikan kegiatan sampai dangan prosedur penilaian yang mengacu pada ketercapaian prestasi belajar baik dari ranah kognitif maupun afektif. b) Guru melakukan tes awal yang hasil nya digunakan untuk mengetahui tingkat daya kritis siswa. Hasil tes tersebut akan menjadi dasar pengajar dalam membagi peserta didik kedalam sejumblah kelompok. Apabila jumlah siswa dalam satu kelas adalah 30 orang. Agar kegitan dalam kelompok berjalan dengan proporsioal maka setiap kelompok terdiri atas 5 orang sehingga akan ada 6 kelompok . Fungsi pembagian kelompok ini antara lain untuk memporoleh pengamatan yang terfokus, namun juga merata, dalm arti setiap kelompok hendaknya terdiri atas siswa yang memiliki kecerdasan heterogen. c) Pegajar kemudian menugaskan setiap kelompok belajar untuk meresume beberapa buku yang berbeda dengan sengaja dibedakan antarkelompok. d) Masing-masing siswa dalam kelompok membentuk pertanyaan berdasarkan hasil

resume yang telah dibuatnya dalam lembar problem posing 1 yang telah disiapkan (antara 5-7 pertanyaan) e) Kesemua tugas membentuk pertanyaan dikumpulkan kemudian dilimpahkan pada kelompok yang lainnya. Misalnya tugas membentuk pertanyaan kelompok 1 diserahkan kepada kelompok 2 untuk dijawab dan dikritisi, tugas kelompok 2 diserahkan kepada kelompok 3, dan seterusnya hingga kelompok 6 kepada kelompok 1. f) Setiap siswa dalam kelompoknya melakukan diskusi internal untuk menjawab pertanyaan yang mereka terima dari kelompok lain disertai dengan tugas resume yang telah dibuat kelompok lain tersebut. Setiap jawaban atas pertanyaan ditulis pada lembaga problem posing II. g) Pertanyaan yang telah ditulis pada lembar problem posing 1 dikembalikan pada kelompok asal untuk kemudian diserahkan pada guru dan jawaban yang terdapat pada lembar problem posing II diserahkan kepada guru. h) Setiap kelompok mempresentasikan hasil rangkuman dan pertanyaan yang telah dibuatnya paada kelompok lain. Diharapkan adanya diskusi menarik diantara kelompokkelompok baik secara eksternal maupun internal menyangkut pertanyaan yang telah dibuatnya dan jawaban yang paling tepat untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan bersangkutan. Pada saat yang bersamaan guru menyerahkan pula formal penilaian yang diisi siswa sendiri evaluasi diri. Jadi, siswa diberikan kesempatan untuk menilai sendiri proses dalam hasil pembelajarannya masing-masing. 3. Observasi Kegiatan observasi sebetulnya dilakukan bersamaan dan setelah rangkaian tindakan yang diharapkan pada siswa. Observasi yang dilakukan bersamaan dengan tindakan adalah pengalaman terhadap aktivitas dan produk dalam kelompoknya masing-masing dan terhadap kelompok lainnya. Produk yang dimaksudkan di sini adalah sejauh mana kemampuannya dalam membentuk pertanyaan. Apakah pertanyaan ataupun aktifitas lebih mengarah pada aspek afektif. kelebihan dan kekurangan problem posing, Petahuddin (1998:22) menyatakan bahwa : a. Kelebihan Pendekatan Problem Posing 1) Memberikan kesempatan pada siswa untuk mencapai pemahaman yang lebih luas dan menganalisis lebih mendalam tentang suatu topik yang diajarkan di kelas. 2) Memotivasi siswa untuk belajar lebih lanjut. 3) Memberikan kesempaatan pada siswa untuk mengembangkan sikap kreatif dan bertanggunng jawab. 4) Pengetahuan yang didapat yang banyak berhubungan dengan minat akan lebih dirasakan siswa dan berguna untuk hidup meraka. b. Kekurangan Pendekatan poblem Posing 1) Sering kali siswa melakukan penipuan, siswa hanya meniru atau menyalin pekerjaan temannya, tanpa mengalami peristiwa belajar. 2) Apabila tugas terlalu sering diberikan maka ketenangan mental akan terganggu. 3) Menyita waktu yang lebih banyak bagi pengajar, khususnya waktu koreksi jawaban siswa. http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/01/teknik-problem-posing.html

Seperti pada metode-metode mengajar lainnya, model problem posing memiliki kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihan-kelebihannya antara lain : Siswa dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembelajaran yaitu siswa membuat soal dan menyelesaikannya, mendidik siswa berpikir secara sistematis, mendidik siswa tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan, mampu mencari berbagai jalan dari suatu kesulitan yang dihadapi, akan mendatangkan kepuasan tersendiri bagi siswa jika soal yang dibuat tidak mampu diselesaikan oleh kelompok lain, siswa akan terampil menyelesaikan soal tentang materi yang diajarkan, dan siswa berkesempatan menunjukkan kemampuannya pada kelompok lain. Sedangkan kelemahan-kelemahannya antara lain : Pembelajaran model problem posing membutuhkan waktu yang lama, dan agar pelaksanaan kegiatan dalam membuat soal dapat dilakukan dengan baik perlu ditunjang oleh buku yang dapat dijadikan pemahaman dalam kegiatan belajar terutama membuat soal. LATAR BELAKANG Matematika merupakan bidang studi yang amat berguna dan banyakmemberi bantuan dalam mempelajari berbagai disiplin ilmu yang lain. Sehingga pada pendidikan formal, pelajaran matematika selalu diajarkan kepada siswa.Namun perlu disadari juga bahwa sebagian besar siswa menganggap matematika merupakan mata pelajaran yang sulit dimengerti.Dari hasil pengamatan penulis ketika melaksanakan program pengalaman lapangan di SMP Negeri 2 Tondano mendapati bahwa nilai semester genap tahun ajaran 2009/2010untuk mata pelajaran matematika lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai mata pelajaran yang lainnya. Tanpa meningkatkan dan mengandalkan pembelajaran matematika yang berkualitas serta menuntun siswa agar mau berpikir, akan sangat sulit untuk menghasilkan sebuah hasil prestasi belajar matematika yang baik. Sebab belajar matematika berkaitan erat dengan proses berpikir. Disinilah peran guru dibutuhkan yaitu memfasilitasi peserta didik agar mereka mau berpikir. Aspek Geometri menjadi materi penting karena melibatkan kemampuan kognitif siswa. Kebanyakan siswa hanya menghafal sifat-sifat suatu bangun atau rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung luas suatu bangun sesuai dengan apa yang guru berikan pada proses belajar mengajar. Tentunya tidak hanya mengandalkan kemampuan menghafal dalam memahami suatu sub materi yang berhubungan dengan geometri tetapi kemampuan untuk menganalisa juga harus diperhitungkan. Soemadi (dikutip oleh Siswono, 2000) mengatakan bahwa pada dasarnya tujuan geometri adalahmengembangkan kemampuan berpikir logis, mengajar membaca danmenginterprestasikan argumen-argumen matematika, menanamkan pengetahuan(geometri) yang diperlukan untuk studi lanjut dan mengembangkan kemampuankeruangan. Pembelajaran konvensional yang sering digunakan di sekolah-sekolah pada umumnya hanya berpusat pada guru.Dimana guru berperan aktif untuk menjelaskan materi pembelajaran tanpa melibatkan siswa untuk berpikir sehingga siswa hanya menjadi pendengar.Disinilah kemampuan berpikir kritis dari siswa akan menurun. Hal ini dapat berakibat pada pemahaman siswa dan hasil belajar yang tidak optimal.

Untuk meningkatkan mutu pembelajaran matematika adalah dengan menekankan pengembangan kemampuan siswa dalam pembentukan soal, karena dengan membentuk soal merupakan inti kegiatan matematis dan merupakan komponen penting dalam kurikulum matematika (English, dalam Surtini, 2003). Dengan membentuk soal sendiri maka secara otomatis siswa, didorong untuk melakukan proses berpikir. Berdasarkan uraian di atas, penulis beranggapan bahwa perlu ada suatu pendekatan dalam pembelajaran khususnya untuk materi geometri, yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir guna pencapaian hasil belajar yang baik.Salah satu alternatif untuk meningkatkan kemapuan berpikir siswa adalah dengan menggunakan pendekatan problem posing. Pendekatan ini melatih siswa untuk bisa mengembangkan kemampuan menggunakan pola pikir matematika,ketrampilan menyelesaikan soal, dan memecahkan masalah yang akhirnya bisa menumbuhkan sikap yang positif siswa terhadap matematika. Sehingga penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : Penggunaan Pendekatan Problem Posing untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa pada Materi Kesebangunan Pendekatan Problem Posing Menurut Brown dan Walter (dalam Firdaus.M, 2010), pada tahun 1989 untuk pertama kalinya istilah problem posing diakui secara resmi oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagai bagian dari national program for re-direction of mathematics education (reformasi pendidikan matematika). Selanjutnya istilah ini dipopulerkan dalam berbagai media seperti buku teks, jurnal serta menjadi saran yang konstruktif dan mutakhir dalam pembelajaran matematika. Problem posing berasal dari bahasa Inggris, yang terdiri dari kata problem dan pose. Problem diartikan sebagai soal atau masalah,dan pose yang diartikan sebagai mengajukan (dalam Neufeldt dan Vianna, 1993). Suryanto (dalam Firdaus, 2010) mengemukakan bahwa problem posing merupakan istilah dalam bahasa Inggris, sebagai padanan katanya digunakan istilah merumuskan masalah (soal) atau membuat masalah (soal). Sedangkan menurut Silver (dalam Firdaus, 2010) bahwa dalam pustaka pendidikan matematika, problem posing mempunyai tiga pengertian, yaitu: pertama, problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka memecahkan soal yang rumit. Kedua, problem posing adalah perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang telah dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan lain. Ketiga, problem posing adalah merumuskan atau membuat soal dari situasi yang diberikan. Sedangkan The Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics merumuskan bahwa siswa harus mempunyai pengalaman mengenal dan memformulasikan soal-soal (masalah) mereka sendiri. Lebih jauh The Professional Standards for Teaching Mathematics menyarankan hal yang penting bagi guru-guru untuk menyusun soal-soal mereka sendiri. Siswa perlu diberi kesempatan merumuskan soal-soal dari hal-hal yang diketahui dan menciptakan soal-soal baru dengan cara memodifikasi kondisi-kondisi dari masalah-masalah yang diketahui tersebut (Silver & Cai, dalam Firdaus, 2010).

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dirumuskan pengertian problem posing adalah perumusan atau pembuatan masalah/soal sendiri oleh siswa berdasarkan stimulus yang diberikan. Seperti pada metode-metode mengajar lainnya, model problem posing memiliki kelebihan dan kelemahan, adapun kelebihan-kelebihannya antara lain : Siswa dapat berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembelajaran yaitu siswa membuat soal dan menyelesaikannya, mendidik siswa berpikir secara sistematis, mendidik siswa tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesulitan, mampu mencari berbagai jalan dari suatu kesulitan yang dihadapi, akan mendatangkan kepuasan tersendiri bagi siswa jika soal yang dibuat tidak mampu diselesaikan oleh kelompok lain, siswa akan terampil menyelesaikan soal tentang materi yang diajarkan, dan siswa berkesempatan menunjukkan kemampuannya pada kelompok lain. Sedangkan kelemahan-kelemahannya antara lain : Pembelajaran model problem posing membutuhkan waktu yang lama, dan agar pelaksanaan kegiatan dalam membuat soal dapat dilakukan dengan baik perlu ditunjang oleh buku yang dapat dijadikan pemahaman dalam kegiatan belajar terutama membuat soal. Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika Sesuai dengan kedudukan problem posing merupakan langkah awal dari problem solving, maka pembelajaran problem posing juga merupakan pengembangan dari pembelajaran problem solving. Silver dkk (dalam Firdaus, 2010) menyatakan bahwa dalam problem posing diperlukan kemampuan siswa dalam memahami soal, merencanakan langkahlangkah penyelesaian soal, dan menyelesaikan soal tersebut. Mengenai peranan problem posing dalam pembelajaran matematika, Sutiarso (dalam Firdaus, 2010) menjelaskan bahwa problem posing adalah adalah suatu bentuk pendekatan dalam pembelajaran matematika yang menekankan pada perumusan soal, yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematis atau menggunakan pola pikir matematis. Hal ini sejalan dengan English (dalam Firdaus, 2010) yang menjelaskan bahwa problem posing adalah penting dalam kurikulum matematika karena di dalamnya terdapat inti dari aktivitas matematika, termasuk aktivitas di mana siswa membangun masalahnya sendiri. Silver dan Simon (dalam Firdaus, 2010) mengemukakan bahwa beberapa aktivitas problem posing mempunyai tambahan manfaat pada perkembangan pengetahuan dan pemahaman anak terhadap konsep penting matematika (Englishdalam Firdaus, 2010). Brown dan Walter dalam Hamzah (dalam Firdaus, 2010) menyatakan bahwa pengajuan masalah matematika tersiri dari dua aspek penting, yaitu accepting dan challenging.Accepting berkaitan dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sulit ditentukan.Sementara challenging, berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah matematika. Suryanto dalam Zahra (dalam Firdaus, 2010) menjelaskan bahwa:

Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana sehinga soal tersebut dapat diselesaikan. Ini terjadi pada soal-soal yang rumit. Problem posing adalah perumusan soal-soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang akan diselesaikan menekankan pada pengajuan soal oleh siswa. Problemposing adalah pengajuan soal dari informasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah kegiatan penyelesaian. Silver dalam Hamzah (dalam Firdaus, 2010) menemukan bahwa pendekatan problem posing merupakan suat aktivitas dengan dua pengertian yang berbeda yaitu: Proses pengembangan matematika yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada. Proses memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata sendiri berdasarkan situasi yang diberikan. Dengan demikian, masalah matematika yang diajukan oleh siswa mengacu pada situasi yang telah disiapkan oleh guru. Selanjutnya Hamzah (dalam Firdaus, 2010) mengemukakan bahwa dalam pustaka pendidikan, problem posing dalam matematika oleh siswa mempunyai 3 pengertian. Problem posing (pengajuan masalah)adalah rumusan masalah matematika sederhana atau perumusan ulang masalah yang telah diberikan dengan beberapa cara dalam rangka menyelesaikan masalah yang rumit. Problem posing (pengajuan masalah) adalah perumusan masalah matematika yang berkaitan dengan sarat-sarat pada masalah yang dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan masalah yang relevan. Problem posing (pengajuan masalah) adalah merumuskan atau mengajukan pertanyaan matematika dari situasi yang diberikan, baik diajukan sebelum, pada saat atau setelah pemecahan masalah. Dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pendekatan problem posing adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika dimana siswa diminta untuk merumuskan, membentuk dan mengajukan pertanyaan atau soal dari situsi yang disediakan. Situasi dapat berupa gambar, cerita, atau informasi lain yang berkaitan dengan materi pelajaran. Langkah-langkah Pembelajaran dengan Problem Posing Pembelajaran dengan pengajuan soal menurut Menon (dalam Siswono, 2000) dapatdilakukan dengan tiga cara berikut : Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi yang diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah membuat pertanyaan berdasar informasi tadi. Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok. Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya. Nanti soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain. Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan kesiapannya. Soal-soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan. Nama pembuat soal tersebut ditunjukkan, tetapi solusinya tidak. Soalsoal tersebut didiskusikan dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberi nilai komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar apakah soal tersebut ambigu atau tidak cukup kelebihan informasi. Soal yang dibuat siswa tergantung interes siswa masing-masing. Sebagai perluasan, siswa dapat menanyakan soal cerita yang dibuat secara individu.

Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut akan membantu siswa "memahami masalah", sebagai salah satu aspek pemecahan masalah oleh Polya (dalam Siswono, 2000). Langkah-langkah itu dapat dimodifikasi seperti siswa dibuat berpasangan.Dalam satu pasang siswa membuat soal dengan penyelesaiannya. Soal tanpapenyelesaian saling dipertukarkan antar pasangan lain atau dalam satu pasang. Siswadiminta mengerjakan soal temannya dan saling koreksi berdasar penyelesaian yangdibuatnya. Adapun pada proses pembelajaran, pendekatan problem posing akan disisipkan pada model pembelajaran langsung. Langkah 1: Penyampaian tujuan pembelajaran Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai setelah mempelajari kesebangunan. Langkah 2 : Mendemonstrasikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan Guru memberikan penjelasan materi dan dalam pemberian contoh soal guru membiasakan siswa untuk memperluas soal dari informasi yang disediakan. Langkah 3 : Pemberian latihan terbimbing Siswa diberikan kesempatan untuk mengerjan LKS dengan teman sebangku. Perhatikan gambar berikut

Gambar 1. Segitiga Samakaki RST RST merupakan segitiga samakaki QRT dan QST merupakan segitiga siku-siku Q titik tengh RS TS = 6 cm dan QR = 2 cm Dari informasi di atas siswa dapat menyusun beberapa soal dengan bimbingan guru dan menyelesaikannya Langkah 4 : Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik Beberapa siswa diminta mempresentasikan hasil pekerjaannya dan ditanggapi siswa lain. Langkah 5 :Pemberian perluasan latihan Menugaskan siswa mengerjakan tugas yang disisipi problem posing secara individu dan dikerjakan di rumah Perhatikan gambar berikut

Gambar Tambahan

2.

Jajargenjang

PQRS informasi:

PQ = RS dan PS = Dari gambar di atas buatlah minimal 3 soal sendiri beserta jawabannya ! http://informasipendidikanmengenaiskripsi.blogspot.com/2011/02/penggunaanpendekatan-problem-posing.html

QS

Anda mungkin juga menyukai