Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang kembali muncul dan menjadi masalah, terutama di negara maju. Mycobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun (WHO, 1993). Di Indonesia TB kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun adalah 19%, sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Di Asia Tenggara, selama 10 tahun, diperkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1 juta, 8% diantaranya (2,8 juta) disertai infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ke 3 dalam kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus). Sebanyak 10% dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia <15 tahun. Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di Negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi. Penyakit tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah utama kesehatan anak di Indonesia. Di dunia, Indonesia menduduki peringkat ke-3 setelah India dan Cina. Hal ini bukanlah suatu prestasi yang membanggakan. Besarnya jumlah pasien TB dewasa yang menjadi sumber penularan menyebabkan anak-anak Indonesia sangat berisiko tertular TB. Selain itu, kita masih menghadapi berbagai masalah TB pada anak, seperti diagnosis TB anak yang relatif sangat sulit, serta kepatuhan terhadap pengobatan yang memerlukan waktu lama.

BAB II PEMBAHASAN

II.1. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah. Tuberkulosis primer adalah keradangan paru yang disebabkan oleh basil tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap basil tersebut. Reaksi non-spesifik (tahap pra-alergis) berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada tahap ini tubuh menunjukkan reaksi radang yakni kalor, rubor, tumor, dan fungsiolesa, tetapi uji kulit dengan tuberkulin masih negatif. Kemudian masuk tahap alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada saat itu sudah terbentuk zat anti sehingga tubuh dapat menunjukkan reaksi yang khas (spesifik reaction), yaitu tanda-tanda keradangan umum ditambah uji kulit dengan tubertkulin yang positif. Tuberkulosis paru primer sebagian besar menyerang anak-anak usia 1-3 tahun.

II.2. Epidemiologi

Pada tahun 1990, jumlah kematian karena TB di dunia diperkirakan hampir sebesar 3 juta dan hamper 90% kematian terjadi di Negara berkembang. Pada tahun 2000, jumlah kematian diperkirakan sebesar 3,5 juta. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000 orang per tahun. World Health Organization memperkirakan bahwa TB merupakan penyakit infeksi yang paling banyak
2

menyebabkan kematian pada anak dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat malaria dan AIDS. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas. Jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit (RS) Pusat Pendidikan di Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) adalah 1086 penyandang TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0-14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%), sedangkan untuk bayi <12 bulan didapatkan 16,5%. Berdasarkan Global Tuberculosis Control Tahun 2009 (data tahun 2007) angka prevalensi semua tipe kasus TB, insidensi semua tipa kasus TB dan Kasus baru TB Paru BTA Positif dan kematian kasus TB dapat dilihat di table di bawah. Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2007 prevalensi semua tipe TB sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus semua tipe TB, insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk atau sekitar 528.063 kasus semua tipe TB, Insidensi kasus baru TB BTA Positif sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA Positif sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari.

Tabel II. 1 Angka Prevalensi, Insiden dan Kematian, Indonesia, 1990 dan 2009
3

Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat. Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis. Untuk hasil proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB Paru dapat dilihat pada grafik berikut ini :

Gambar II. 1 Proporsi Pasien TB Anak, Indonesia, 2000-2010

Untuk hasil proporsi pasien TB Anak diantara seluruh pasien TB per provinsi dapat dilihat pada grafik.

Gambar II. 2 Proporsi Pasien TB Anak diantara Seluruh Pasien TB, Per Provinsi 2010

II.3. Faktor Risiko

A. Risiko Infeksi TB a. Anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif) b. Daerah endemis c. Kemiskinan d. Lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik) e. Tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain) B. Risiko Sakit TB a. Usia
b. Infeksi baru yang ditandai dengan konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi

positif) dalam 1 tahun terakhir. c. Malnutrisi, imunokompromais, diabetes mellitus, gagal ginjal kronik d. Status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan masayarakat. Risiko sakit Tidak Sakit TB Paru TB Diseminata (milier, meningitis) 10 20% 2 5% 0.5% <0.5% <0.5%

Umur saat infeksi Primer (tahun)

<1 50% 30 40% 12 75 80% 10 20% 25 95% 5% 5 10 98% 2% > 10 80 90% 10 20% Tabel II. 2 Risiko Sakit TB pada Anak yang Terinfeksi TB

II.4. Etiologi

Kuman Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA), kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat Dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. Mycobacterium tuberculosis tipe humanus dan tipe bovines adalah Mycobacterium yang paling banyak menimbulkan penyakit tuberculosis pada manusia. Berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80C dan 20 menit pada suhu 60C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet (sinar matahari). Tahan hidup berbulanbulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang lembab.

II.5. Cara Penularan

Sumber penularana adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk Droplet (percikan Dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. Selama kuman TB masuk kedalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe ,saluran napas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Penularan pada anakanak biasanya karena ada kontak dengan penderita TB dewasa. II.6. Pembagian Tuberkulosis Paru Primer

1. Tuberkulosis primer yang potensial (potential primary tuberculosis). Kontak dengan

kasus terbuka, tapi uji tuberkulin masih negative.


2. Tuberkulosis primer laten (laten primary tuberculosis).

a. Tanda-tanda infeksi sudah kelihatan, tapi luas dan aktifitas penyakit tidak diketahui. b. Uji tuberkulin (PPD:Purified Protein Derivated) masih negatif. c. Radiologis tidak tampak kelainan.
3. Tuberkulosis primer yang manifestasi (manifest primary tuberculosis). Uji tuberkulin

positif, terlihat kelainan radiologis.

II.7. Penyulit Tuberkulosis Primer

1. Pembesaran kelenjar servikal superfisial. 2. Pleuritis tuberkulosis. 3. Efusi pleura. 4. Tuberkulosis milier. 5. Meningitis Tuberkulosis.

II.8. Patogenesis

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi adalah: 1. Harus ada sumber infeksi: a. Penderita dengan kasus terbuka. b. Hewan yang menderita tuberkulosis. 2. Jumlah basil sebagai penyebab infeksi harus cukup. 3. Virulensi yang tinggi dari basil tuberkulosis. 4. Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang biak. Proses penyebaran dapat meluas dengan cara: 1. Penyebaran langsung basil tuberkulosis ke daerah sekitarnya.
8

2. Penyebaran basil tuberkulosis melalui saluran pernapasan. 3. Penyebaran basil tuberkulosis melalui saluran limfe. Penyebaran di limfogen inilah yang bertanggung jawab terhadap proses di pleura, dinding toraks dan tulang belakang. 4. Penyebaran hematogen. Sebagian besar basil Micobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai fokus primer dari Ghon. Pada stadium permulaan, setelah pembentukan fokus pimer, akan terjadi beberapa kemungkinan: Penyebaran bronkogen Penyebaran limfogen Penyebaran hematogen Penularan biasanya melalui udara, yaitu dengan inhalasi droplet nucleus yang mengandung basil TB. Hanya droplet nucleus ukuran 1-5 mikron yang dapat melewati atau menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkiolus dan alveolus. Di sini basil tuberkulosis berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah tanpa perlawanan yang berarti dari pejamu karena belum ada kekebalan awal. Di dalam alveolus akan memfagsitosis sebagian basil spesifik. Makrofag di dalam alveolus akan memfagositosis sebagian basil tuberkulosis tersebut tetapi belum mampu membunuhnya sebagian basil TB dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang biak. Basil TB yang menyebar melalui saluran limfe regional. Sedangkan yang melalui aliran darah akan mencapai berbagai organ tubuh. Di dalam organ tersebut akan terjadi pemrosesan dan transfer antigen ke limfosit. Ada jaringan dan organ tubuh yang resisten terhadap basil TB. Basil TB hampir selalu terdapat bersarang di sumsum tulang, hepar dan limfe tetapi tidak selalu dapat berkembang biak secara luas. Basil TB di lapangan atas paru, ginjal, tulang, dan otak lebih mudah berkembang biak terutama sebelum imunitas spesifik terbentuk. Imunitas spesifik yang terbentuk biasanya cukup kuat untuk menghambat perkembangbiakan basil TB lebih lanjut. Dengan demikian lesi TB akan sembuh dan tidak ada tanda dan gejala klinis. Pada sebagian kasus imunitas spesifik yang terbentuk tidak cukup kuat

sehingga terjadi penyakit TB dalam 12 bulan setelah infeksi dan pada sebagian penderita TB terjadi setelah lebih dari 12 bulan setelah infeksi. Kurang lebih 10% individu yang terkena infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit TB diperbesar pada balita, pubertas dan akil balik. Juga keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas memperbesar kemungkinan sakit TB, misalnya karena infeksi HIV dan pemakaian kortikosteroid atau obat imunosupresif lainnya yang lama, demikian juga pada diabetes melitus dan silikosis. Hipersensitivitas terhadap beberapa komponen basil TB dapat dilihat pada uji kulit dengan tuberkulin yang biasanya terjadi 2-10 minggu setelah infeksi. Dalam waktu 2-10 minggu ini juga terjadi cell-mediated immune response. Setelah terjadi infeksi pertama, basil TB yang menyebar ke seluruh badan suatu saat di kemudian hari dapat berkembang biak dan menyebabkan penyakit. Penyakit TB dapat timbul dalam 12 bulan setelah infeksi, tapi dapat juga setelah 1 tahun atau lebih. Lesi TB paling sering terjadi di lapangan atas paru. Efusi pleura dapat terjadi setiap saat setelah infeksi primer. Efusi biasanya terjadi karena tuberkuloprotein dari paru masuk ke rongga pleura sehingga terjadi reaksi inflamasi dan terjadi pengumpulan cairan jernih di dalamnya. Selama infeksi primer berlangsung basil TB bersarang di kelenjar limfe hilus dan mediastinum, dan dapat juga bersarang di kelenjar limfe lainnya. Infeksi di kelenjar tersebut dapat langsung berkembang menjadi TB aktif, dapat aktif beberapa tahun kemudian atau tidak pernah menjadi aktif sama sekali. Lesi primer dan lesi di kelenjar limfe regional disebut kompleks primer. TB milier dapat terjadi pada masa dini, tetapi dapt juga terjadi setelah beberapa waktu kemudian akibat erosi fokus di dinding pembuluh darah. TB milier dapat mengenai banyak organ misalnya selaput otak, sehingga terjadi meningitis. Dapat juga mengenai tulang, ginjal dan organ lain. Pada individu normal respons imunologik terhadap infeksi tuberkulosis cukup memberi perlindungan terhadap infeksi tambahan berikutnya. Risiko terjadinya reinfeksi tergantung pada intensitas terpaparnya dan sistem imun individu yang bersangkutan (host=pejamu). Pada pasien dengan infeksi HIV terjadi penekanan pada imun respons. Jadi kalau terkena TB sering terjadi TB yang berat dan sering gambaran klinik TB dengan HIV berbeda dengan TB biasa.

10

Bagan Patogenesis Tuberkulosis Inhalasi Mycobacterium tuberculosis

Kuman mati

Fagositosis oleh makrofag alveolus paru

Kuman hidup Berkembang biak Pembentukan fokus primer Penyebaran limfogen Penyebaran hematogen Masa inkubasi (2-12 minggu)

Uji tuberkulin (+)

Kompleks primer Terbentuk imunitas selular spesifik

Sakit TB Komplikasi kompleks primer Komplikasi penyebaran hematogen Komplikasi penyebaran limfogen

Infeksi TB Imunitas optimal

Meninggal Imunitas turun, reaktivasi/reinfeksi Sembuh Sakit TB

Gambar II. 3 Bagan patogenesis TB

Reaksi Tubuh Terhadap Infeksi Primer


11

TB primer

Infeksi primer (peradangan permulaan), gambaran patologis berupa gambaran bronkopnemonia yang dikelilingi oleh sel-sel radang lokal. Tahap permulaan dapat memberikan keluhan atau tanda-tanda seperti (terutama pada anak-anak): 1. Suhu badan meningkat ringan atau subfebril 2. Anak tampak sakit 3. Nyeri persendian sehingga anak menjadi cerewet atau rewel 4. Malaise, anoreksia, anak kelihatan lelah dan disertai keluhan nafsu makan menurun
5. Uji kulit dengan PPD (tuberkulin) menunjukkan reaksi negatif

Setelah infeksi berjalan kurang lebih 12 minggu, yaitu setelah timbul kekebalan spesifik terhadap basil tuberkulosis, maka akan terjadi pembesaran kelenjar limfe regional sebagai akibat penyebaran limfogen (limfohematogen). Saat ini reaksi tubuh bertambah: 1. Uji kulit dengan PPD menjadi positif 2. Batuk-batuk oleh karena ada pembesaran kelenjar yang menekan saluran pernapasan (bronkus) 3. Foto toraks tampak pembesaran kelenjar limfe di daerah hilus, trakea dan leher.
4. Juga tampak infiltrat halus yang tersebar luas pada seluruh lapangan paru dan dikenal

sebagai tuberculosis paru milier. Panas badan menjadi tinggi dan sering kali disertai kejang-kejang bila terdapat meningitis.

II.9. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak Diagnosis paling tepat adalah ditemukannya basil TB dari bahan yang diambil dari pasien misalnya sputum, bilasan lambung, biopsi dan lain-lain. Tetapi pada anak hal ini sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TB anak didasarkan gambaran klinis, gambaran radiologis, dan uji tuberkulin. Untuk itu penting memikirkan adanya TB pada anak kalau terdapat keadaan atau tandatanda yang mencurigakan seperti dibawah ini : 1. Pada anak harus dicurigai menderita Tb kalau : a. Kontak erat (serumah) dengan penderita TB dengan sputum BTA (+)
12

b. c.

Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG dalam 3-7 hari. Terdapat gejala umum

2. Gejala-gejala yang harus dicurigai TB


a. Gejala umum/tidak spesifik :

- Berat badan turun atau malnutrisi tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi.
- Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik

(failure to thrive) dengan adekuat.


- Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifoid, malaria atau infeksi saluran

nafas akut), dapat disertai keringat malam.


- Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multiple, paling

sering di daerah leher, aksila dan inguinal. b. Gejala-gejala respiratorik : - batuk lama lebih dari 3 minggu - tanda cairan di dada, nyeri dada c. Gejala gastrointestinal - diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare - benjolan/massa di abdomen - tanda-tanda cairan dalam abdomen d. Gejala Spesifik 1. Tb kulit/skrofuloderma 2. Tb tulang dan sendi
- Tulang punggung (spondilitis) - Tulang panggul (koksitis) - Tulang lutut

: gibbus : pincang : pincang dan/atau bengkak

- Tulang kaki dan tangan 3. Tb Otak dan Saraf Meningitis dengan gejala iritabel, kaku kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun 4. Gejala mata Conjungtivitis phlyctenularis
13

Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)

5. Lain-lain 3. Uji tuberculin (Mantoux) Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan intrakutan). Ada 2 jenis tuberkulin yang dipakai yaitu OT (Old Tuberkulin) dan Tuberkulin PPD (Purified Protein Derivatif) dan ada 2 jenis tuberkulin PPD yang dipakai yaitu PPD-S (Seibert) dan PPD-RT23. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU atau PPD-S kekuatan 5 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter tranversal dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam mm, dikatakan positif bila indurasi : > 10 mm, diameter 5-9 mm masih meragukan dan harus dinilai lagi. Imunisasi BCG dapat juga menyebabkan uji tuberkulin positif. Tetapi uji tuberkulin akibat imunisasi BCG biasanya tidak kuat reaksinya sehingga meskipun telah ada parut BCG kalau reaksi 15 mm atau lebih harus dicurigai adanya superinfeksi alami basil TB. Infeksi Mycobacterium atipik dapat juga menyebabkan uji tuberkulin positif, tetapi biasanya reaksinya kecil. 4. Reaksi cepat BCG Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm (dalam 3-7 hari) maka dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. 5. Foto Rontgen Paru : seringkali tidak khas Pembacaan sulit, hati-hati kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gambaran rontgen paru pada TB dapat berupa : Milier, Atelektasis, Infiltrat , pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan/atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Catatan : diskongkruensi antara gambaran klinis dan gambaran radiologis, harus dicurigai Tb. Foto Rontgen paru sebaiknya dilakukan PA dan lateral serta dibaca oleh ahlinya.
6. Pemeriksaan mikrobiologi :

Pemeriksaan langsung BTA (mikroskopis) dan kultur dari sputum (pada anak bilasan lambung karena sputum sulit didapat ).
7. Pemeriksaan serologi (ELISA, PAP, Mycodot, dll) :

Masih memerlukan penelitian lebih lanjut.


14

8. Pemeriksaan patologi anatomi 9. Respon terhadap pengobatan OAT. Kalau dalam 2 bulan terdapat perbaikan klinis nyata, akan menunjang atau memperkuat diagnosis TBC.

Gambar II. 4 Alur deteksi dini dan rujukan TB anak

15

Tabel II. 3 Sistem skoring diagnosis Tuberkulosis anak Catatan : Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter Jika dijumpai skrofuloderma, langsung didiagnosis tuberkulosis Berat badan dinilai saat datang (moment opname) Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada Tb anak Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring Tb anak Didiagnosis Tb jika skor 6 (skor maksimal 14). Cut off point ini masih bersifat tentatif/sementara, nilai definitif menunggu hasil penelitian yang sedang dilaksanakan.
16

II.10. Penatalaksanaan

MEDIKAMENTOSA Alur penatalaksanaan pasien TB anak:


SKOR 6

Beri OAT Selama 2 bulan dan evaluasi

Respon(+) Terapi TB teruskan

Respon(-) Terapi TB teruskan sambil mencari penyebabnya

Obat anti Tuberkulosis (OAT) yang digunakan adalah: 1. Isoniazid INH adalah obat antituberkulosis yang efektif saat ini bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolit aktif yaitu kuman yang sedang berkembang dan bersifat bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan dan cairan tubuh termasuk cairan serebrospinal (CSS), cairan pleura, cairan asites, jaringan caseosa dan angka timbulnya reaksi simpang (adverse reaction) sangat rendah. Dosis harian INH biasa diberikan 5-15 mg/kgBB/hari, max 300 mg/hari, secara peroral, diberikan 1x pemberian. INH yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg dan dalam bentuk sirup 100 mg/5 ml. INH mempunyai 2 efek toksik utama yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer, tetapi keduanya jarang terjadi pada anak, tetapi frekuensinya meningkat dengan bertambahnya usia. Hepatotoksik mungkin terjadi pada remaja atau anak-anak dengan tuberkulosis berat. Idealnya perlu pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama. Hepatotoksik akan meningkat apabila INH diberikan bersama dengan Rifampisin dan PZA. Penggunaan INH bersama dengan fenobartbital atau fenitoin dapat meningkatkan resiko hepatotoksik. INH tidak dilanjutkan pemberiannya pada keadaan kadar transaminase serum naik lebih dari 5x
17

harga normal, atau 3x disertai ikterik dan/atau manifestasi klinik hepatitis, berupa mual, muntah, dan nyeri perut. Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan INH tetapi manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan piridoksin tambahan. Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Piridoksin diberikan 1x sehari 25-50 mg atau 10 mg piridoksin tiap 100 mg INH. Manifestasi alergi atau hipersensitivitas yang disebabkan INH jarang terjadi. Efek samping yang jarang terjadi antara lain pelagra, anemia hemolitik pada pasien dengan defisiensi enzim G6PD, dan reaksi mirip lupus yang disertai ruam dan artritis. 2. Rifampisin Rifampisin bersifat bakteriosid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua jaringan, dapat membunuh kuman semi-dormand yang tidak dapat dibunuh oleh INH. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong, dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini rifampisin diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20mg/kgbb/hari, maksimal 600mg/hari dengan dosis 1 kali pemberian perhari. Jika diberikan bersama INH, dosis rifampisin tidak melebihi 15mg/kgbb/hari dan dosis INH tidak melebihi 10mg/kgbb/hari. Seperti halnya INH, rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh, termasuk CSS. Ekskresi rifampisin terutama terjadi melalui traktus biliaris. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin. Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada INH. Efek samping rifampisin adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah) dan hepatotoksisitas (ikterus atau hepatitis) yang biasanya ditandai oleh peningkatan kadar transaminase serum yang asimptomatik. Rifampisin dapat menyebabkan trombositopenia. Rifampisin umumnya tersedia dalam sediaan kapsul 150mg, 300mg dan 450mg. sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran berat badan. 3. Pirazinamid Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP, cairan serebrospinal, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, diresorbsi baik pada saluran pencernaan. Pemberian PZA secara oral dengan dosis 1530mb/kgbb/hari dengan dosis maksimal 2g/hari. Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet
18

500mg. efek samping PZA adalah hepatotoksisitas, anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensisitivitas dan hiperurisemia jarang timbul pada anak. 4. Etambutol Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Dosis etambutol (EMB) 15-20mg/kg/hari. Maksimal 1,25g/hari dengan dosis tunggal. Ekskresi terutama lewat ginjal dan saluran cerna. EMB tersedia dalam tablet 250mg dan 500mg. Memiliki aktivitas bakteriostatik dan berdasarkan pengalaman, dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. EMB dapat bersifat bakteriosid, jika diberikan dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. EMB tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis. EMB ditoleransi dengan baik pada dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis 1 atau 2 kali sehari. Kemungkinan toksisitas utama adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau. Tidak terdapat laporan toksisitas optik pada anakanak. 5. Streptomisin Streptomisin bersifat bakteriosid dan bakteriostatik. Kuman ekstraseluler pada keadaan basa atau netral, jadi tidak efektif membunuh kuman intraseluler. Streptomisin dapat diberikan secara IM dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram perhari, kadar puncak 40-50 mikrogram permilliliter dalam waktu 1-2 jam. Streptomicin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat melewati selaput otak yang tidak meradang. Streptomisin berdifusi dengan baik pada jaringan dan cairan pleura, dieksresi melalui ginjal. Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.

Panduan Obat TB Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2 bulan pertama) minimal 3 macam obat dan sisanya sebagai tahap lanjutan minimal 2 macam obat (4 bulan, kecuali pada TB berat). Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniazid (H). Pemberian paduan obat ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler. Sedangkan pemberian obat jangka panjang
19

selain untuk membunuh kuman, juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya relaps. OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan 2 atau 3 kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan mengurangi ketidak teraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Dosis:
- INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari.

- Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari. - Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2000 mg/hari. - Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1250 mg/hari. - Streptomisin: 15-40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1000 mg/hari. Untuk kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap (KDT) / Fixed Dose Combination (FDC). Berat Badan (kg) 2 bulan 4 bulan RH (75/50 mg) 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet

RHZ (75/50/150 mg) 59 1 tablet 1014 2 tablet 1519 3 tablet 2032 4 tablet Tabel II. 4 Dosis Kombinasi pada TB Anak

Evaluasi Hasil Pengobatan Evaluasi pengobatan dilakukan setelah 2 bulan. Diagnosis TB pada anak sulit dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Apabila berespon pengobatan baik yaitu gejala klinisnya hilang dan terjadi penambahan berat badan, maka pengobatan dilanjutkan. Apabila respon setelah 2
20

bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada, tidak terjadi penambahan berat badan, maka obat anti TB tetap diberikan dengan tambahan merujuk ke sarana lebih tinggi atau ke konsultan paru anak. Apabila setelah pengobatan 6-12 bulan terdpat perbaikkan klinis, seperti berat badan mengingkat, napsu makan membaik, dan gejala-gejala lainnya menghilang, maka pengobatan dapat dihentikan. Jika masih terdapat kelainan gambaran radiologis maka dianjurkan pemeriksaan radiologis ulangan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan. NONMEDIKAMENTOSA Pendekatan DOTS DOTS adalah strategi yang telah direkomendasi oleh WHO dalam pelaksanaan program penanggulangan TB. Penanggulangan dengan strategi DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Sesuai dengan rekomendasi WHO, maka strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut. 1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. 2. Diagnosis TBC dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. 3. Pengobatan dengan panduan OTA jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). 4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. 5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penganggulangan TBC. Lacak Sumber Penularan dan Case Finding Sumber penularan adalah orang dewasa yang menderita TB aktif dan melakukan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal). Selain itu perlu dicari pula anak lain di sekitarnya yang mungkin tertular dengan uji tuberkulin. Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnestik, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu uji tuberkulin. Aspek Edukasi dan Sosial Ekonomi

21

Pengobatan tuberkulosis tidak terlepas dari masalah sosio ekonomi, karena pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama, maka memerlukan biaya yang cukup besar. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui tentang tuberkulosis. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi. Aktifitas fisik pasien TB anak tidak perlu dibatasi, kecuali pada TB berat. Pencegahan Immunisasi BCG Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml diberikan intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan. Bila BCG diberikan pada usia lebih dari 3 bulan, sebaiknya dilakukan uji tuberkulin dulu. Kontra indikasi pemberian imunisasi BCG adalah deficiensi imun, infeksi berat, dan luka bakar. Kemoprofilaksis Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi TB pada anak, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah aktifnya infeksi sehingga anak tidak sakit. Pada kemoprofilaksis primer, diberikan INH dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis tunggal. Obat dihentikan jika sumber kontak sudah tidak menular lagi dan anak ternyata tetap tidak infeksi (setelah uji tuberkulin ulangan). Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum sakit, ditandai dengan uji tuberkulin positif, klinis dan radiologis normal. Anak yang mendapat kemoprofilaksis sekunder adalah usia balita, menderita morbili, varisela, dan pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik, dan kortikosteroid) usia remaja dan infeksi TB baru. Konversi uji tuberkulin dalam waktu kurang dari 12 bulan.

22

BAB III PENUTUP

III.1.Kesimpulan

TB masih merupakan masalah mortalitas dan morbiditas di negara-negara berkembang. TB merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi BCG pada anak dan pengobatan sumber infeksi, yaitu penderita TB dewasa. Diagnosis TB pada anak sering sulit karena gambaran rontgen paru dan gambaran klinis tidak selalu khas dan sedangkan penemuan basil TB sulit. Anak-anak dengan TB jarang menginfeksi anak lain maupun orang dewasa. Basil tuberkel sedikit disekresi oleh endotracheal pada anak dengan TB paru, dan batuk sering tidak ada atau tidak ada dorongan batuk yang diperlukan untuk menerbangkan partikel-partikel infeksius dengan ukuran yang tepat. Dengan pengobatan yang teratur dan adekuat TBC pada anak dapat disembuhkan dengan sempurna.

23

DAFTAR PUSTAKA

Rastiti N Rahajoe, dkk. Respirologi Anak. 2008. Jakarta : IDAI Hood Alsagaff, Abdul Mukty, dkk. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. 2006. Surabaya : Airlangga University Press Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. 2008. Jakarta : WHO Indonesia http://www.pediatrik.com/ http://www.infeksi.com/ http://tbindonesia.or.id/

24

Anda mungkin juga menyukai