Anda di halaman 1dari 21

Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) SEKOLAHDASAR.

NET - Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Kamdi, 2007: 77). PBL atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. PBL memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) belajar dimulai dengan satu masalah, (2) memastikan bahwa masalah tersebut berhubungan dengan dunia nyata siswa, (3) mengorganisasikan pelajaran seputar masalah, bukan seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut siswa untuk mendemonstrasi-kan yang telah mereka pelajari dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas bahwa pembelajaran dengan model PBL dimulai oleh adanya masalah yang dalam hal ini dapat dimunculkan oleh siswa ataupun guru, kemudian siswa memperdalam pengetahuannya tentang apa yang mereka telah ketahui dan apa yang mereka perlu ketahui untuk memcahkan masalah tersebut. Siswa dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan seharihari. PBL merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam model PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga siswa tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh sebab itu, siswa tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis. Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah apalagi kalau masalah tersebut

bersifat kontekstual, maka dapat terjadi ketidakseimbangan kognitif pada diri siswa. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacammacam pertanyaan di sekitar masalah seperti apa yang dimaksud dengan., mengapa bisa terjadi, bagaimana mengetahuinya dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri siswa maka motivasi intrinsik siswa untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan siswa tentang konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah, apa yang harus dilakukan atau bagaimana melakukannya dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong siswa mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa PBL sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena dengan PBL akan terjadi pembelajaran yang bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan membuat mereka menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukannya. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi dimana konsep tersebut diterapkan. Selain itu melalui PBL ini siswa dapat mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara berkesinambungan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan aplikasi suatu konsep atau teori yang mereka temukan selama pembelajaran berlangsung. PBL juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok. Ada beberapa langkah cara menerapkan PBL dalam pembelajaran. Secara umum penerapan model ini dimulai dengan adanya masalah yang harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh siswa. Masalah tersebut dapat berasal dari siswa atau mungkin juga diberikan oleh guru. Siswa akan memusatkan perhatiannya di sekitar masalah tersebut. Dengan begitu siswa belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya. Pemecahan masalah dalam PBL harus sesuai dengan langkah-langkah metode ilmiah. Dengan demikian siswa belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBL dapat memberikan pengalaman belajar melakukaan kerja ilmiah yang sangat baik kepada siswa. Adapun langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran PBL ada delapan tahapan (Pannen, 2001: 11), yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) mengum-pulkan data, (3) analisis data, (4) pemecahan masalah berdasarkan analisis data, (5) memilih cara pemecahan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk pemecahan masalah. Dalam proses pemecahan masalah sehari-hari, seluruh tahapan terjadi dan bergulir dengan sendirinya, demikian pula ketrampilan seseorang harus mencapai seluruh tahapan tersebut. Langkah mengidentifkasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBL.

Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah seringkali menjadi masalah bagi guru dan siswa. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir siswa dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini. Walaupun guru tidak melakukan intervensi terhadap masalah tetapi dapat memfokuskan melalui pertanyaanpertanyaan agar siswa melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakannya. Selain guru sebagai fasilitator, guru hendaknya juga menyadari arti penting suatu pertanyaan dalam PBL. Pertanyaan hendaknya berbasis Why bukan sekedar How. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, ketrampilan siswa dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata ketrampilan How, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBL.

http://www.sekolahdasar.net/2011/10/model-pembelajaran-problembased.html

A. Pengertian PBL (Problem Based Learning)


Problem Based Learning (pembelajaran berbasis masalah) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah, termasuk didalamnya belajar bagaimana belajar. Peran guru dalam pembelajaran berbasis masalah adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog. PBL merupakan suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. Problem Based Learning yaitu proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata dan lalu dari masalah ini siswa dirangsang untuk mempelajari masalah ini berdasarkan pengetahuan dan pengalaman baru.

Problem Based Learning (Pembelajaran berbasis masalah) yang dinyatakan oleh kunandar bahwa tanpa guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Secara garis besar pembelajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.

Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)


Para pengembang pembelajaran berbasis masalah (Ibrahin dan Nur,2004) telah mendeskripsikan karaketeristik model pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan pengajuan pertanyaan atau masalah, bukannya mengorganisasikan disekitar prinsipprinsip atau keterampilan-keterampilan tertentu. Pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan atau masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik untuk menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun PBL mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu. Masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran. Penyelidikan autentik. Model pembelajaran berbasis masalah menghendaki siswa untuk melakukan pennyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalsis dan mendefinisikan masalah mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalsis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya. PBL menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Bentuk tersebut dapat berupa laporan, model fisik, video, maupun program komputer. Karya nyata itu kemudian didemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah. Kerjasama. Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir. Tahap-Tahap PBL Pengajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahap, seperti dijelaskan tabel berikut ini;

Tahapan Tahap 1 :

Kegiatan guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan perangkat yang dibutuhkan, Orientasi siswa terhadap masalah memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya. Tahap 2 : Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Mengorganisasi siswa untuk belajar Tahap 3 : Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai dan melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan Membimbing penyelidikan serta pemecahan masalahnya. individual dan kelompok. Tahap 4 : Guru membantu siswa merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, Mengembangkan dan menyajikan video, dan model serta membantu mereka berbagi tugas dengan temannya. hasil karya. Tahap 5 : Guru membantu siswa melakukan refleksi atau evaluasi teerhadap penyelidikan mereka dan Menganalisis dan mengevaluasi proses-proses yang mereka gunakan. proses pemecahan masalah

http://matematika-ipa.com/model-pembelajaran-problem-based-learningpbl/

Model Pembelajaran Kreatif dan Produktif


A. Landasan Pengembangan Model Pembelajaran Kreatif dan Produktif Pada awalnya, model pembelajaran kreatif dan produktif khusus dirancang untuk pembelajaran apresiasi sastra. Namun pada perkembangannya kemudian, dengan berbagai modifikasi, model ini dapat digunakan untuk pembelajaran berbagai bidang studi. Jika pada awalnya model ini disebut sebagai Strategi Strata (Wardani, 1981), maka setelah berbagai modifikasi, model ini diberi label Pembelajaran Kreatif dan Produktif. Sesuai dengan nama yang baru, model ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas

pembelajaran, baik di jenjang pendidikan dasar dan menengah, maupun pada jenjang pendidikan tinggi. Pembelajaran kreatif dan produktif antara lain: belajar aktif, kreatif, konstruktif, serta kolaboratif dan kooperatif. Karakteristik penting dari setiap pendekatan tersebut diintegrasikan sehingga menghasilkan satu model yang memungkinkan mahasiswa mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan produk yang bersumber dari pemahamanmereka terhadap konsep yang sedang dikaji. Beberapa karakteristik tersebut adalah sebagai berikut : 1. Keterlibatan pebelajar secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran. Keterlibatan ini difasilitasi melalui pemberian kesempatan kepada pebelajar untukmelakukan eksplorasi dari konsep bidang ilmu yang sedang dikaji serta menafsirkan hasil ekplorasi tersebut. 2. Pebelajar didorong untuk menemukan/mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara, seperti observasi, diskusi, atau percobaan. Dengan cara ini, konsep tidak ditransfer oleh pembelajar kepada pebelajar, tetapi dibentuk sendiri oleh pebelajar berdasarkan pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang terjadi ketika melakukan eksplorasi serta interpretasi. 3. Pebelajar diberi kesempatan untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas bersama. Kesempatan ini diberikan melalui kegiatan eksplorasi, interpretasi, dan rekreasi. Di samping itu, pebelajar juga mendapat kesempatan untuk membantu temannya dalam menyelesaikan satu tugas. Kebersamaan, baik dalam eksplorasi, interpretasi, serta rekreasi dan pemajangan hasil merupakan arena interaksi yang memperkaya pengalaman. 4. Pada dasarnya, untuk menjadi kreatif, seseorang harus bekerja keras, berdedikasi tinggi, antusias, serta percaya diri (Erwin Segal, dalam Black, 2003). Dalam konteks pembelajaran, kreativitas dapat ditumbuhkan dengan menciptakan suasana kelas yang memungkinkan pebelajar dan pembelajar merasa bebas mengkaji dan mengeksplorasi topik-topik penting kurikulum. Pembelajar mengajukan pertanyaan yang membuat pebelajar berpikir keras, kemudian mengejar pendapat pebelajar tentang ide-ide besar dari berbagai perspektif. Pembelajar juga mendorong pebelajar untuk menunjukkan/mendemonstrasikan pemahamannya tentang topik-topik penting dalam kurikulum menurut caranya sendiri (Black, 2003). B. Tujuan (Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring) Pembelajaran Kreatif dan Produktif. Dampak instruksional yang dapat dicapai melalui model pembelajaran ini antara lain:

pemahaman terhadap suatu nilai, konsep, atau masalah tertentu, kemampuan menerapan konsep / memecahkan masalah, serta kemampuan mengkreasikan sesuatu berdasarkan pemahaman tersebut.

Dari segi dampak pengiring (nurturant effects), melalui model pembelajaran kreatif dan produktif diharapkan dapat dibentuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif, bertanggungjawab, serta bekerja sama, yang semuanya merupakan tujuan pembelajaran jangka panjang. Tentu saja dampak pengiring hanya mungkin terbentuk, jika kesempatan untuk mencapai/menghayati berbagai kemampuan tersebut memang benarbenar disediakan secara memadai. Hal itu akan tercapai, jika model pembelajaran ini diterapkan secara benar dan memadai. C. Kegiatan Pembelajaran Model Pembelajaran Kreatif dan Produktif. Pada dasarnya, kegiatan pembelajaran dibagi menjadi empat langkah, yaitu: orientasi, eksplorasi, interpretasi, dan rekreasi. Setiap langkah dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para pembelajar, dengan berpegang pada hakikat setiap langkah, sebagai berikut: 1. Orientasi Sebagaimana halnya dalam setiap pembelajaran, kegiatan pembelajaran diawali dengan orientasi untuk mengkomunikasikan dan menyepakati tugas dan langkah pembelajaran. Pembelajar mengkomunikasikan tujuan, materi, waktu, langkah, hasil akhir yang diharapkan dari pebelajar, serta penilaian yang akan diterapkan pada mata pelajaran yang akan berjalan. Pada kesempatan ini pebelajar diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya tentang langkah/cara kerja serta hasil penilaian yang ditawarkan oleh pembelajar, dan diharapkan terjadinya negosiasi tentang aspek-aspek tersebut. 2. Eksplorasi Pada tahap ini, pebelajar melakukan eksplorasi terhadap masalah/konsep yang akan dikaji. Eskplorasi dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca, melakukan observasi, wawancara, menonton suatu pertunjukan, melakukan percobaan, browsing lewat internet, dan sebagainya. Kegiatan ini dapat dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Waktu untuk eksplorasi disesuaikan dengan luasnya bidang yang harus dieksplorasi. Eksplorasi yang memerlukan waktu lama dilakukan di luar jam kuliah, sedangkan eksplorasi yang singkat dapat dilakukan pada jam kuliah. Agar eksplorasi menjadi terarah, panduan singkat sebaiknya disiapkan oleh pembelajar. Panduan harus memuat tujuan, materi, waktu, cara kerja, serta hasil akhir yang diharapkan. 3. Interpretasi Dalam tahap Interpretasi, hasil eksplorasi diinterpretasikan melalui kegiatan analisis, diskusi, tanya jawab, atau bahkan berupa percobaan kembali, jika hal itu memang diperlukan. Interpretasi sebaiknya dilakukan pada jam tatap muka, meskipun persiapannya sudah dilakukan oleh pebelajar di luar jam tatap muka. Jika eksplorasi dilakukan oleh kelompok, setiap kelompok menyajikan hasil interpretasinya tersebut di depan kelas dengan caranya masing-masing, diikuti oleh tanggapan dari mahasiswa lain. Pada akhir tahap interpretasi, diharapkan semua pebelajar sudah memahami konsep/topik/masalah yang dikaji.

4. Re-Kreasi Pada tahap rekreasi, pebelajar ditugaskan untuk menghasilkan sesuatu yang mencerminkan hasil interpretasinya terhadap konsep/topik/masalah yang dikaji menurut kreasinya masing-masing. Rekreasi dapat dilakukan secara individual atau kelompok sesuai dengan pilihan pebelajar. Hasil rekreasi merupakan produk kreatif yang dapat dipresentasikan, dipajang, atau ditindaklanjuti. D. Evaluasi Model Pembelajaran Kreatif dan Produktif Evaluasi belajar dilakukan selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran. Selama proses pembelajaran, evaluasi dilakukan dengan mengamati sikap dan kemampuan berpikir mahasiswa. Kesungguhan mengerjakan tugas, hasil eksplorasi, kemampuan berpikir kritis dan logis dalam memberikan pandangan/argumentasi, kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama, merupakan contoh aspek-aspek yang dapat dinilai selama proses pembelajaran. Evaluasi pada akhir pembelajaran adalah evaluasi terhadap produk kreatif yang dihasilkan pebelajar, yang kriteria penilaiannya dapat disepakati bersama pada waktu orientasi. E. Kelemahan Model Pembelajaran Kreatif dan Produktif Model pembelajaran kreatif dan produktif tidak terlepas dari kelemahan di samping kekuatan yang dimilikinya. Kelemahan tersebut, antara lain, terkait dengan kesiapan pembelajar dan pebelajar untuk terlibat dalam suatu model pembelajaran yang memang sangat berbeda dari pembelajaran tradisional. Pembelajar yang terbiasa berperan dominan sebagai sumber pesan, mungkin memerlukan waktu untuk dapat secara berangsur-angsur mengubah kebiasaan tersebut. Ketidaksiapan pembelajar untuk mengelola pembelajaran seperti ini dapat diatasi dengan pelatihan yang kemudian disertai dengan kemauan yang kuat untuk menngujicobakannya. Sementara itu, ketidaksiapan pebelajar dapat diatasi dengan menyediakan panduan yang, antara lain, memuat cara kerja yang jelas, petunjuk tentang sumber yang dapat dieksplorasi, serta deskripsi tentang hasil akhir yang diharapkan. Kendala pembelajaran model kreatif dan produktif memerlukan waktu yang cukup panjang dan fleksibel, meskipun untuk topiktopik tertentu, waktu yang diperlukan mungkin cukup dua kali tatap muka ditambah dengan kegiatan terstruktur dan mandiri. Terlepas dari kelemahannya, model pembelajaran kreatif dan produktif mempunyai kelebihan seperti yang sudah dideskripsikan dalam dampak instruksional dan dampak pengiring. Jika kelemahan dapat diminimalkan, maka kekuatan model ini akan membuahkan proses dan hasil belajar yang dapat memacu kreativitas, sekaligusmeningkatkan kualitas pembelajaran. Dikutip dari Pendidikan dan Penyelenggara Sertifikasi Universitas Negeri Makassar Latihan Guru Profesi Guru Rayon (PLPG) 24

http://tugino230171.wordpress.com/2011/01/09/model-pembelajarankreatif-dan-produktif/

A. PENGERTIAN Pembelajaran kreatif dan produktif adalah model yang

dikembangkan dengan mengacu kepada berbagai pendekatan pembelajaran yang diasumsikan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar. Pembelajarn ini berpijak kepada teori konstruktivistik dimana belajar adalah usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya, dengan demikian dalam pembelajaran ini para siswa diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri konsep atau materi yang mereka dapatkan. Pendekatan pembelajaran kreatif produktif antara lain : belajar aktif, kreatif, konstruktif serta kolaboratif dan kooperatif. Karakteristik penting dari setiap pendekatan satu tersebut yang diintegrasikan sehingga siswa menghasilkan model memungkinkan

mengembangkan kreativitas untuk menghasilkan produk yang bersumber dari pemahaman mereka terhadap konsep yang sedang dikaji. Pembelajaran kreatif produktif ini berlandaskan pada prinsipprinsip dasar : 1. Keterlibatan siswa secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran 2. Siswa didorong untuk menemukan / mengkonstruksi sendiri konsep yang sedang dikaji melalui penafsiran yang dilakukan dengan berbagai cara seperti observasi,diskusi atau percobaan 3. Memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanggung jawab menyelesaikan tugas bersama

4. Untuk

menjadi

kreatif,

seseorang

harus

bekerja

keras,

berdedikasi tinggi, antusias serta percaya diri Dengan mengacu pada karakteristik tersebut, model

pembelajaran ini dapat diterapkan dalam pembelajaran berbagai bidang studi, baik topik-topik yang bersifat abstrak maupun yang bersifat konkret. Materi yang sesuai dengan model pembelajaran tersebut merupakan materi yang menuntut pemahaman yang tinggi terhadap nilai, konsep atau masalah actual di masyarakat serta ketrampilan menerapkan pemahaman tersebut dalam bentuk karya nyata. Materi ini dapat berasal dari berbagai bidang study, seperti apresiasi sastra dari bidang study bahasa Indonesia, masalah ekonomi dari IPS, masalah polusi dari IPA dan lain sebagainya. Pembelajaran ini bertujuan untuk 1. Memahamkan konsep terhadap suatu nilai, konsep atau

masalah tertentu. 2. Mampu menerapkan konsep / memecahkan masalah 3. Mampu tersebut. B. KEGIATAN PEMBELAJARAN Pada dasarnya kegiatan pembelajaran dibagi menjadi empat langkah. Setiap langkah dapat dikembangkan lebih lanjut oleh para guru / dosen dengan berpegang pada hakekat setiap langkah. Langkah-langkah tersebut yaitu : 1. Orientasi Kegiatan pembelajaran diawali dengan orientasi untuk mengkreasikan sesuatu berdasarkan pemahaman

mengkomunikasikan dan menyepakati tugas

dan langkah

pembelajaran. Guru mengemukakan tujuan, materi, waktu, langkah, hasil akhir yang diharapkan dari siswa serta penilaian yang diterapkan. Siswa diberi Dengan kesempatan negosiasi untuk tersebut mengungkapkan pendapatnya.

diharapkan akan terjadi kesepakatan antara guru dan siswa. 2. Eksplorasi Pada tahap ini, mahasiswa melakukan eksplorasi terhadap masalah / konsep yang akan dikaji. Eksplorasi dapat dilakukan dengan membaca, melakukan observasi, wawancara, menonton satu pertunjukan, melakukan percobaan, browsing lewat internet dsb. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan secara individu maupun kelompok. Agar eksplorasi menjadi terarah, sebaiknya guru memberikan panduan singkat yang memuat tujuan, materi, waktu, cara kerja, serta hasil akhir yang diharapkan. 3. Interpretasi Dalam tahap interpretasi, hasil eksplorasi diinterpretasikan melalui kegiatan analisis, diskusi, tanya jawab, atau bahkan berupa percobaan kembali , jika memang diperlukan. 4. Re-kreasi Pada tahap rekreasi, siswa ditugaskan untuk menghasilkan sesuatu yang mencerminkan pengalamannnya terhadap konsep / topic / masalah yang sedang dikaji menurut kreasinya masingmasing. Misalnya siswa dapat diminta membuat satu scenario drama dari novel yang sedang dikajinya. Rekreasi dapat dilakukan secara individu ataupun kelompok. Hasil re-kreasi merupsksn produk kreatif yang dapat dipresentasikan, dipajang atau ditindak lanjuti.

5. Evaluasi Evaluasi belajar dilakukan selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran. Selama proses pembelajaran, evaluasi dilakukan dengan mengamati sikap dan kemampuan berpikir mahasiswa. Evaluasi pada akhir pembelajaran adalah evaluasi terhadap produk kreatif yang dihasilkan mahasiswa. Kriteria orientasi. Untuk membentuk karakter kreatif dan produktif menuju terciptanya kemandiriannya bagi siswa, maka dikembangkan siklus belajar yang meliputi lima aspek pengalaman belajar sebagai berikut : 1. Exploring Merespon informasi baru, mengeksplorasi fakta-fakta dengan petunjuk sederhana, melakukan sharing pengetahuan dengan orang lain atau mengambil informasi dari guru / ahli / pakar / sumber-sumber yang lain. 2. Planning Menyusun rencana kerja, mengidentifikasi alat dan bahan yang diperlukan, menentukan langkah-langkah, desain karya dan rencana lainnya. 3. Doing / acting Melakukan percobaan, pengamatan, menemukan, membuat karya dan melaporkan hasilnya serta menyelesaikan masalah. 4. Communicating penilaian dapat disepakati bersama pada waktu

Mengkomunikasikan diskusi 5. Reflecting

mempresentasikan

hasil

percobaan,

pengamatan, penemuan, atau hasil karyanya, sharing dan

Mengevaluasi proses dan hasil yang telah dicapai, mencari kelemahannya guna meningkatkan efektivitas perencanaan Pembelajaran Individual adalah pembelajaran yang bersifat klasikal yang memperhatikan potensi- potensi setiap individu agar berkembang dengan baik. Penggunaan strategi pembelajaran ini dalam pembelajaran individual diharapkan potensi setiap individu akan berkembang yakni membentuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif, bertanggung jawab serta bekerja sama. Sehingga hasil dari pembelajaran ini tidak hanya segi kognitif, tetapi segi afektif dan psikomotorik juga akan tercapai, bahkan kecerdasan akan lebih terlihat dari setiap siswa. BAB III PENUTUP Model kelemahan model pembelajaran kreatif produktif tidak terlepas dari

di samping kelebihan yang dimilikinya. Kelemahan ini. Kendala lain adalah waktu. Model

tersebut terkait dengan kesiapan guru dan siswa untuk terlibat dalam pembelajaran pembelajaran ini memerlukan waktu yang relative cukup panjang dan fleksibel. Terlepas dari segala kelemahannya, model pembelajaran ini juga mempunyai banyak kelebihan seperti yang telah diuraikan di atas. Jika kelemahannya dapat diminimalkan, maka kekuatan model ini akan membuahkan proses dan hasil belajar yang yang dapat memacu kreatifitas sekaligus meningkatkan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu, sangat diharapkan guru untuk dapat menerapkan

model ini dan mengembangkan model ini sesuai dengan bidang studinya, bahkan mungkin dari model ini, guru dapat mengembangkan model lain yang lebih menjanjikan.
http://kreatifproduktif-blog.blogspot.com/2008/07/pembelajaran-kreatifproduktif.html

MODEL PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME Posted by Endar Suhendar On 23:04 No comments

Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id/journals/interior/.). Hakikat pembelajaran konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar isi belajar termotivasi dalam menggali makna serta

menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya.

Harlen (1992 : 51) mengembangkan model konstruktivis dalam pembelajaran di kelas. Pengembangan model konstruktivis tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut. 1. Orientasi dan Elicitasi Ide. Merupakan proses untuk memotivasi siswa dalam mengawali proses pembelajaran. Melalui elicitasi siswa mengungkapkan idenya dengan berbagai cara. 2. Restrukturisasi ide. Meliputi beberapa tahap yaitu klarifikasi terhadap ide, merombak ide dengan melakukan konflik terhadap situasi yang berlawanan, dan mengkonstruksi dan mengevaluasi ide yang baru. 3. Aplikasi. Menerapkan ide yang telah dipelajari. 4. Review. Mengadakan tinjauan terhadap perubahan ide tersebut. Tahapan - tahapan dalam pengembangan model belajar konstruktivis dengan lebih rinci diimplementasikan oleh Sadia (1996 : 87). Secara signifikan model yang telah dikembangkan ini mampu meningkatkan prestasi belajar fisika siswa. Tahapan-tahapan pengembangan model konstruktivis tersebut mengikuti langkah-langkah sebagai berikut. 1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam pembelajaran akan memberi arah dalam merancang program, implementasi program dan evaluasi. 2. Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip fisika yang mana yang harus dikuasai siswa. 3 Identifikasi dan Klarifikasi Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan awal siswa dilakukan melalui tes awal, interview klinis dan peta konsep. 4. Identifikasi dan Klarifikasi Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan mana diantaranya yang telah sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan mana yang miskonsepsi. 5. Perencanaan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsep. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk modul. 6. Implementasi Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini

merupakan kegiatan aktual dalam ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu : (a) orientasi dan penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-ide siswa, (c) restrukturisasi ide-ide. 7. Evaluasi. Setelah berakhirnya kegiatan implementasi program pembelajaran, maka dilakukan evaluasi terhadap efektivitas model belajar yang telah diterapkan. 8. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi perubahan miskonsepsi maka dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat diubah secara tuntas maupun yang resisten. 9. Revisi strategi pengubahan miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten digunakan sebagai pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi siswa dalam bentuk modul. Dalam makalah ini yang menjadi tahapan-tahapan terhadap penerapan model pembelajaran konstruktivis merupakan modifikasi dari dua model konstruktivis yang telah dikemukakan yaitu model konstruktivis Harlen (1992:51) dan Sadia (1996:87). Tahapan-tahapan pengembangan model konstruktivis ini nantinya sangat memperhatikan prior knowledge dan miskonsepsi-miskonsepsi yang terdapat pada diri siswa, yang menempati posisi yang sentral baik dalam menyusun maupun implementasi program pembelajaran. Tahapan-tahapan penerapan model konstruktivis dalam makalah ini mengikuti langkahlangkah sebagai berikut: 1. Identifikasi awal terhadap prior knowledge dan miskonsepsi. Identifikasiawal terhadap gagasan intuitif yang mereka miliki dalam mencandra lingkungannya dijaring untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan akan munculnya miskonsepsi yang menghinggapi struktur kognitif siswa. Identifikasi ini dilakukan dengan tes awal, interview klinis dan peta konsep. 2. Penyusunan Program Pembelajaran dan Strategi Pengubahan Miskonsepsi. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk Satuan Pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan miskonsepsi diwujudkan dalam bentuk modul kecil yang terdiri dari uraian materi yang memuat konsepkonsep esensial yang mengacu pada konsepsi awal siswa yang telah dijaring sebelum pembelajaran dilaksanakan. Dengan berpedoman pada pra konsepsi ini, siswa diharapkan merasa lebih mudah dalam mereduksi miskonsepsinya menuju konsepsi ilmiah. 3. Orientasi dan Elicitasi. Situasi pembelajaran yang kondusif dan mengasyikkan sangatlah perlu diciptakan pada awal-awal pembelajaran untuk membangkitkan minat mereka terhadap topik yang akan

dibahas. Siswa dituntun agar mereka mau mengemukakan gagasan intuitifnya sebanyak mungkin tentang gejala-gejala fisika yang mereka amati dalam lingkungan hidupnya sehari-hari. Pengungkapan gagasan tersebut dapat melalui diskusi, menulis, ilustrasi gambar dan sebagainya. Gagasan-gagasan tersebut kemudian dipertimbangkan bersama. Suasana pembelajaran dibuat santai dan tidak menakutkan agar siswa tidak khawatir dicemoohkan dan ditertawakan bila gagasan-gagasannya salah. Guru harus menahan diri untuk tidak menghakiminya. Kebenaran akan gagasan siswa akan terjawab dan terungkap dengan sendirinya melalui penalarannya dalam tahap konflik kognitif. 4. Refleksi. Dalam tahap ini, berbagai macam gagasan-gagasan yang bersifat miskonsepsi yang muncul pada tahap orientasi dan elcitasi direfleksikan dengan miskonsepsi yang telah dijaring pada tahap awal. Miskonsepsi ini diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesalahan dan kekonsistenannya untuk memudahkan merestrukturisasinya. 5. Restrukturisasi Ide. a. Tantangan. Siswa diberikan pertanyaan-pertanyaaan tentang gejalagejala yang kemudian dapat diperagakan atau diselidiki dalam praktikum. Mereka diminta untuk meramalkan hasil percobaan dan memberikan alasan untuk mendukung ramalannya itu. b. Konflik Kognitif dan Diskusi Kelas. Siswa akan dapat melihat sendiri apakah ramalan mereka benar atau salah. Mereka didorong untuk menguji keyakinan dengan melakukan percobaan di laboratorium. Bila ramalan mereka meleset, mereka akan mengalami konflik kognitif dan mulai tidak puas dengan gagasan mereka. Kemudian mereka didorong untuk memikirkan penjelasan paling sederhana yang dapat menerangkan sebanyak mungkin gejala yang telah mereka lihat. Usaha untuk mencari penjelasan ini dilakukan dengan proses konfrontasi melalui diskusi dengan teman atau guru yang pada kapasitasnya sebagai fasilitator dan mediator. c. Membangun Ulang Kerangka Konseptual. Siswa dituntun untuk menemukan sendiri bahwa konsep-konsep yang baru itu memiliki konsistensi internal. Menunjukkan bahwa konsep ilmiah yang baru itu memiliki keunggulan dari gagasan yang lama. 6. Aplikasi. Meyakinkan siswa akan manfaat untuk beralih konsepsi dari miskonsepsi menuju konsepi ilmiah. Menganjurkan mereka untuk menerapkan konsep ilmiahnya tersebut dalam berbagai macam situasi untuk memecahkan masalah yang instruktif dan kemudian menguji penyelesaiaanya secara empiris. Mereka akan mampu membandingkan secara eksplisit miskonsepsi mereka dengan penjelasan secara keilmuwan. 7. Review. Review dilakukan untuk meninjau keberhasilan strategi pembelajaran yang telah berlangsung dalam upaya mereduksi miskonsepsi yang muncul pada awal pembelajaran. Revisi terhadap strategi pembelajaran dilakukan bila miskonsepsi yang

muncul kembali bersifat sangat resisten. Hal ini penting dilakukan agar miskonsepsi yang resisten tersebut tidak selamanya menghinggapi struktur kognitif, yang pada akhirnya akan bermuara pada kesulitan belajar dan rendahnya prestasi siswa bersangkutan. Model belajar konstruktivis yang telah diuraikan, dapat dirangkum dalam paradigma berikut:

Read more: http://fisikasma-online.blogspot.com/2010/03/modelpembelajaran-konstruktivisme.html#ixzz1bn59Fc4G Under Creative Commons License: Attribution

http://fisikasma-online.blogspot.com/2010/03/model-pembelajarankonstruktivisme.html

Model Pembelajaran Konstruktivistik Model Pembelajaran Konstruktivistik Pengantar Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang begitu pesat pada era globalisasi, membawa perubahan yang sangat radikal. Perubahan itu telah berdampak pada setiap aspek kehidupan, termasuk

pada system pendidikan dan pembelajaran. Dampak dari perubahan yang luar biasa itu terbentuknya suatu kumonitas global, lebih parah lagi karena komunitas global itu ternyata tiba jauh lebih cepat dari yang diperhitungkan: revulusi informasi telah menghadirkan dunia baru yang benar-benar hyper-reality. Akibat dari perubahan yang begitu cepatnya, manusia tidak bias lagi hanya bergantung pada seperangkat nilai, keyakinan, dan pola aktivitas social yang konstan. Manusia dipaksa secara berkelanjutan untuk menilai kembali posisi sehubungan dengan factor-faktor tersebut dalam rangka membangu sebuah konstruksi social-personal yang memungkin atau yang tampaknya memungkinkan. Jika masyarakat mampu bertahan dalam menghadapi tantangan perubahan di dalam dunia pengetahuan, teknologi, komunikasi serta konstruksi social budaya ini, maka kita hasrus mengembangkan proses-proses baru untuk menghadapi masalah-masalah baru ini. Kita tidak dapat lagi bergantung pada jawaban-jawaban masa lalu karena jawabanjawaban tersebut begitu cepatnya tidak berlaku seiring dengan perubahan yang terjadi. Pengetahuan, metode-metode, dan keterampilan-keterampilan menjadi suatu hal yang ketinggalan zaman hamper bersamaan dengan saat hal-hal ini memberikan hasilnya. Degeng (1998) menyatakan bahwa kita telah memasuki era kesemrawutan. Era yang datangnya begitu tiba-tiba dan tak seorang pun mampu menolaknya. Kita harus masuk di dalamnya dan diobok-obok. Era kesemrawutan tidak dapat dijawab dengan paradigma keteraturan, kepastian, dan ketertiban. Era kesemrawutan harus dijawab dengan paradigma kesemrawutan. Era kesemrawutan ini dilandasi oleh teori dan konsep konstruktivistik; suatu teori pembelajaran yang kini banyak dianut di kalangan pendidikan di AS. Unsure terpenting dalam konstruktivistik adalah kebebasan dan keberagaman. Kebebasan yang dimaksud ialah kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan pa yang mampu dan mau dilakukan oleh si belajar. Keberagaman yang dimaksud adalah si belajar menyadari bahwa individunya berbeda dengan orang/kelompok lain, dan orang/kelompok lain berbeda dengan individunya. Alternative pendekatan pembelajaran ini bagi Indonesia yang sedang menempatkan reformasi sebagai wacana kehidupan berbangsa dan bernegara, bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di segala bidang. Selama ini, wacana kita adalah behavioristik yang berorientasi pada penyeragaman yang pada akhirnya membentuk manusia Indonesia yang sangat sulit menghargai perbedaan. Perilaku yang berbeda lebih dilihat sebagai kesalahan yang harus dihukum. Perilaku manusia Indonesia selama ini sudah terjangkit virus kesamaan, virus keteraturan, dan lebih jauh virus inilah yang mengendalikan perilaku kita dalam berbangsa dan bernegara. Longworth (1999) meringkas fenomena ini dengan menyatakan: Kita perlu mengubah focus kita dan apa yang perlu dipelajari menjadi bagaimana

caranya untuk mempelajari. Perubahan yang harus terjadi adalah perubahan dari isi menjadi proses. Belajar bagaimana cara belajar untuk mempelajari sesuatu menjadi suatu hal yang lebih penting daripada faktafakta dan konsep-konsep yang dipelajari itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan harus mempersiapkan para individu untuk siap hidup dalam sebuah dunia di mana masalah-masalah muncul jauh lebih cepat daripada jawaban dari masalah tersebut, di mana ketidakpastian dan ambiguitas dari perubahan dapat dihadapi secara terbuka, di mana para individu memiliki keterampilan-keterampilan yang diperlukannya untuk secara berkelanjutan menyesuaikan hubungan mereka dengan sebuah dunia yang terus berubah, dan di mana tiap-tiap dan kita menjadi pemberi arti dari keberadaan kita. Beare & Slaughter (1993) menagaskan, Hal ini tidak hanya berarti teknik-teknik baru dalam pendidikan, tetapi juga tujuan baru. Tujuan pendidikan haruslah unutk mengembangkan suatu masyarakat di mana orang-orang dapat hidup secara lebih nyaman dengan adanya perubahan daripada dengan adanya kepastian. Dalam dunia yang akan datang, kemampuan untuk menghadapi hal-hal baru secara tepat lebih penting daripada kemampuan untuk mengetahui dang mengulangi hal-hal lama. Kebutuhan akan orientasi baru dalam pendidikan ini terasa begitu kuat dan nyata dalam berbagai bidang studi, baik dalam bidang studi eksakta maupun ilmu-ilmu social. Para pendidik, praktisi pendidikan dan kita semua, mau tidak mau harus merespon perubahan yang terjadi dengan mengubah paradigma pendidikan. Untuk menjawab dan mengatasi perubahan yang terjadi secara terus-menerus, alternative yang dapat digunakan adalah paradigmna konstruktivistik. Hakikat Pembelajaran Konstruktivisme Pembentukan pengetahuan menurut konstruktivistik memandang subyek aktif menciptakan struktur-struktur kognitif dalam interaksinya dengan lingkungan. Dengan bantuan struktur kognitifnya ini, subyek menyusun pengertian realitasnya. Interaksi kognitif akan terjadi sejauh realitas tersebut disusun melalui struktur kognitif yang diciptakan oleh subyek itu sendiri. Struktur kognitif senantiasa harus diubah dan disesuaikan berdasarkan tuntutan lingkungan dan organisme yang sedang berubah. Proses penyesuaian diri terjadi secara terus menerus melalui proses rekonstruksi. Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, si belajarlah yang harus mendapatkan penekanan. Merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa secara aktif ini perlu dikembangkan.

Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si pendidik melainkan pada pebelajar. Beberapa hal yang mendapat perhatian pembelajaran konstruktivistik, yaitu: (1) mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek yang relevan, (2) mengutamakan proses, (3) menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social, (4) pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman

Hakikat Model Pembelajaran Konstruktivistik oleh Brooks & Brooks dalam Degeng mengatakan bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu. Belajar dilihat sebagai penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi serta interpretasi. Mengajar berarti menata lingkungan agar si belajar termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakmenentuan. Atas dasar ini maka si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergentung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya. http://wawan-junaidi.blogspot.com/2010/12/model-pembelajarankonstruktivistik.html

Anda mungkin juga menyukai