Anda di halaman 1dari 14

Anggota Kelompok:

Belly Hardi Lawira Fitri Mardiana Hendlyeus Raffael Ira Maya Saputri Muhammad Arlex Prillia Indranila Rizky Noviandri Tervian Febri Tri Wahyuni Vera Araminta

IMAGE OF THE CITY Untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah bentuk dari suatu kota sebenarnya berarti bagi rakyat yang tinggal didalamnya, apa yang dapat dilakukan perancang kota untuk membuat penggambaran kotanya menjadi lebih hidup dan dapat diingat bagi rakyat kota, Kevin Lynch yang dalam bukunya yang berjudul Image of the City memberikan gambarannya dengan melakukan studi di 3 kota besar di Amerika, yaitu Boston, Jersey City, dan Los Angeles dengan cara menginterview beberapa warganya. Kota Boston dipilih karena karakternya kotanya yang unik dibandingkan kotakota di Amerika lainnya karena umurnya, sejarahnya, serta sedikit unsure Eropa dan yang dijadikan objek studi adalah wilayah semua bagian dari central Peninsula hingga Massachusetts Avenue. Sebagian besar orang yang diinterview mengatakan bahwa Boston merupakan suatu kota yang distriknya cenderung hidup namun memiliki jalur yang berliku-liku, membingungkan sehingga gerak sirkulasi menjadi agak terhambat karena sistem dari pathnya cukup membingungkan. Boston juga merupakan kota yang kotor, bangunan bata merah, disimbolkan oleh ruang terbuka Boston Commong, State House dengan kubah emasnya, dan pemandangan Charles River dari sisi Cambridge. Selain itu, bagian jalan gangnya ramai dengan orang dan mobil, tidak ada ruang parkir dan cukup kontras dengan jalan lebar utamanya yang sepi. Jersey City dijadikan objek studi karena ketanpaan bentuk nya yang terlihat, dan juga karena sangat sulitnya untuk dibayangkan. Persilangan antara railtods dan elevated highways membuat Jercey City menjadi tempat untuk lewat saja dibandingkan tinggal di dalamnya. Kota ini dibagi menjadi lingkungan etnik dan lingkungan berkelas sehingga kota ini terdapat lebih dari 1 pusat kota. Salah satunya adalah Journal Square yang merupakan pusat perbelanjaan orang atas merupakan daerah yang cukup kuat karena aktifitas shopping dan entertainment-nya yang intens, tapi macet dan kekacauan spatialnya membingungkan dan membingungkan. Selain itu, kota ini juga kekurangan distrik dan landmark yang jelas, dan kurangnya pengenalan tentang titik node-nya. Mereka juga menambahkan, bahwa ketika mereka kesana kemari, kurang lebihnya sama Newark Avenue, Jackson

Avenue, Bergen Avenue sehingga tidak bisa memutuskan akan pergi ke Avenue yang mana karena terlihat sama dan sulit untuk membedakannya karena hanya ada penanda jalan yang membedakannya. Mungkin seperti itulah penggambaran ruang pubilk di sana. Kota terakhir yang dijadikan studi adalah Los Angeles yang dipilih karena kotanya yang lebih baru dibandingkan kota sebelumnya. Sebagai pusat dari kota besar, pusat kota Los Angeles cukup ramai dengan banyaknya aktivitas, dan dengan pola dasar: pola grid jalan yang cukup teratur. Dibandingkan dengan Boston, adanya desentralisasi wilayah metropolitan di Los Angeles, lalu pola gridnya itu sendiri merupakan suatu matriks yang tidak dapat dibedakan, dimana tiap elemen tidak selalu dapat dilokasikan dengan percaya diri, dan juga karena aktifitas sentral yang secara spatial meluas dan bergeser. Wilayah Broadway juga merupakan salah satu jalan utama dan masih menjadi pusat perbelanjaan terbesar di kota namun bukan merupakan area perbelanjaan bagi orang menengah atas. Jalan ini dipenuhi minoritas etnik dan orang berpenghasilan rendah dan juga ditandai dengan ramainya trotoar, atap-atap peneduh dari rumah film dan kendaraan umum. Jaringan kota di Los Angeles cukup bagus, namun penanda tiap jalannya masih membingungkan sehingga kesulitan mencari arah. The City Image and Its Elements Kota yang satu dengan kota yang lainnya memiliki pencitraan yang berbeda. Pencitraan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal seperti arti social akan sebuah area, fungsi kota tersebut, sejarah tersebut atau bahkan nama dari kota tersebut. Pada dasarnya pencitraan sebuah kota itu didapat diklasifikaskani kedalam lima elemen: 1. Paths Path merupakan bagian utama dari sebuah ruang kota karena dengan elemen itu suatu movement sebuah objek/subjek dari satu titik ketitik lainnnya dapat terfasilitasi. Makin banyak path yang tecipta semakin banyak pula movement yang tercipta sehingga hal ini secara otomtis juga menciptakan suatu network pada suatu kota. Adanya konsentrasi suatu aktifitas atau peruntukan pada suatu path dapat

memberikan suatu pencitraan tertentu pada path tersebut, contohnya seperti jalan MH.Thamrin-Sudirman karena disisir jalan tersebut peruntukannya banyak terdapat kantor sehingga jika ada subject yang ingin menuju kawasan itu pasti citra yang tercipta adalah subjek itu ingin pergi bekerja. 2. Districts Karakteristik fisik dapat menentukan suatu distrik secara tematik.Karakter fisik itu dapat berupa tekstur, kawasan ,bentuk, simbol, tipe-tipe bangunan, aktifitas, topography atau bahkan penduduknya.Sehingga tanpa disadari subject yang ada di place itu lah yang dapat menentukan seberapa besar atau luas distriknya. Bagi orang ketiga pencitraan seperti inilah yang menjadi dasar referensi mereka untuk mengartikan sebuah place tersebut. 3.Edges Setelah elemen distrik yang tercipta, secara paralel elemen edges juga akan tercipta sebagai suatu batas akan tempat tersebut. Sehingga edges tidak hanya berupa batas fisik saja tetapi juga bisa berupa batas yang garisnya imajiner yang tercipta dari suatu pencitraan. 4.Nodes Titik simpul dari suatu movement dapat disebut ebagai Nodes. Perempatan, pertigaan, stasiun dapat pula dikatagorikan sebagai nodes karena hal itu semua dapat memecah suatu movement sehingga movement tersebut mengalami transisi dari 1 titik ke titik lain. Bahkan mungkin saja ditengah-tengah proses itu tercipta pula transit.Tak jarang pula nodes dapat mengalahkan landmark yang ada pada suatu kota tersebut, sehingga nodes itu lah yang tercipta pencitraannya di benak masyarakat kota tersebut. 5.Landmarks Suatu landmark akan lebih mudah dikenal jika landmark itu memiliki bentuk yang jelas, figure ground yang kontras dan memiliki nilai spatial yang special pada kota tersebut. Nilai landmark juga dapat meningkat jika landmark tersebut memiliki nilai sejarah atau memory akan kawasan tersebut karena nilai tersebut akan selalu sustain sebagai jatidiri, ikon atau bahkan karakteristik dari kota tersebut. CREATING DEFENSIBLE SPACE

Tujuan umum dari defensible space adalah menyusun kembali layout fisik dari komunitas untuk membiarkan pemilik hunian untuk mengontrol area yang ada di sekitar hunian mereka. Area-area tersebut di antaranya jalan, taman atau tanah di luar bangunan, lobby, dan koridor-koridor (bila tinggal di rumah susun atau apartemen). Defensible space ini suatu bentuk usaha sendiri yang tidak bergantung pada intervensi pemerintah. Efek yang diharapkan dari penerapan defensible space ini adalah untuk mengontrol neighborhood yang ada, mengurangi angka kriminalitas, dan menstimulasi adanya investasi kembali yang kemudian dapat dijadikan salah satu tambahan pendapatan. Dalam buku ini diberikan beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan defensible space. Salah satu contoh kasus yang terdapat dalam bagian satu buku ini adalah mengenai Pruitt Igoe. Pruitt Igoe merupakan suatu terobosan pada awalnya, dengan sebelas lantai dan kepadatan yang tidak terlalu tinggi. Akan tetapi, penggunaan lantai dasar dan lantai satu yang kemudian menjadi ruang publik yang sangat terbuka bagi siapa saja, koridor-koridor, lift, dan lobby yang sifatnya komunal menjadikannya sebuah bencana. Ruang-ruang tersebut menjadi tidak terasosiasi dengan setiap unit yang menjadi tempat hunian. Ruang-ruang publik tersebut menjadi tidak aman, tidak terkontrol, banyak sampah, dan vandalisme. Berjalan di koridor-koridor atau lobby menjadi hal yang berbahaya bagi orang yang tinggal di sana. Hal tersebut disebabkan karena ruang publik yang ada tidak terkontrol dengan baik. Para penghuni yang tinggal di sana kesulitan mengenali banyaknya orang yang datang, yang bisa jadi merupakan orang asing bahkan penjahat. Vandalisme juga terjadi hampir di setiap bagian dari bangunan yang sifatnya publik. Sampai pada akhirnya Pruiit Igoe tidak dapat dipertahankan dan kemudian diruntuhkan untuk menyelesaikan berbagai penyimpangan yang terjadi di sana. Dalam bagian kedua dijelaskan bagaimana penerapan konsep defensible space dalam sebuah kawasan. Kawasan yang dipilih adalah Five Oaks, Ohio. Di kawasan ini juga banyak sekali terjadi masalah. Berawal dari lokasinya yang berada di dekat pusat kota sehingga sering digunakan sebagai jalan pintas atau jalan potong untuk para komuter sehingga kondisi jalan yang ada di kawasan tersebut mengalami kemacetan parah. Pergantian kepemilikan dari working class homeowner families menjadi lower income renters juga menjadi salah satu penyebab perubahan suasana kawasan karena tingkah laku yang dimiliki pemilik sebelum dan sesudah berbeda terhadap lingkungannya. Meningkatnya angka kriminalitas dan kehadiran para penjual obat-

obatan terlarang di sepanjang jalan di kawasan ini membuat para orang tua mengunci pintu rumahnya rapat-rapat dan tidak membiarkan anak-anaknya bermain di luar. Kemudian dicanangkanlah konsep defensible space di kawasan ini dengan memperhatikan salah satu unsur penting yang menjadi akses publik yaitu jalan. Penulis buku ini kemudian melakukan beberapa tahapan untuk memulai kegiatan tersebut yang pada intinya bertujuan untuk membatasi jumlah kendaraan yang keluarmasuk di lingkungan tersebut dengan membuat semacam gate dan portal. Tidak semudah yang dibayangkan karena kita harus mempelajari semua tentang kawasan tersebut sampai hal-hal terkecil sekali pun dan konsep ini tidak bisa berlaku general di semua tempat karena membutuhkan partisipasi aktif dari warga sekitar untuk melakukan sebuah perubahan. Konsep ini juga tidak bisa menghilangkan tindakan kriminal yang terjadi, tetapi setidaknya dapat dikurangi dan fungsi ruang publik termasuk jalan menjadi lebih baik dan lebih manusiawi untuk warga yang ada di sekitar kawasan tersebut walaupun pada kenyataan akhirnya yang dibuat dari konsep tersebut tidak sepenuhnya persis sama dengan rencana awalnya. Akan tetapi, pembentukan kesadaran akan keberadaan ruang publik yang dipakai bersama dan dijaga bersama bukan diabaikan bersama karena merasa bukan miliknya- menjadi tonggak perubahan suasana ruang publik menjadi lebih baik. Pada bagian ketiga, penulis memberikan contoh kasus yang terjadi di Clason Point, sebuah kompleks row houses yang terletak di sebuah wilayah di New York dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Clason Point terdiri dari beberapa bangunan yang memiliki beberapa unit hunian. Sekeliling bangunannya merupakan lahan yang terbuka dan juga terdapat jalur pejalan kaki yang menghubungkan antarbangunan. Karena merupakan public housing, maka lahan tersebut merupakan lahan milik bersama, yatu para penghuni Clason Point, namun public ground tersebut terabaikan oleh para penghuni karena penghuni hanya merasa memiliki interior dari unit mereka sendiri. Akibatnya lahan tersebut menjadi tempat berbagai tindak kriminal, terutama di area sentral yang benar-benar area terbuka dan tidak terjaga. Menanggapi masalah tersebut, penulis menerapkan konsep defensible space dengan memperhatikan ruang-ruang publik dan pola tingkah laku penghuninya. Solusi yang penulis berikan adalah sebagai berikut:
Membagi public ground tersebut untuk dikontrol oleh masing-masing keluarga

individu dengan memberi batas berupa pagar pada halaman belakang dan balok beton pada halaman depan sebagai boundary untuk digunakan secara privat.

Akses pejalan kaki dibatasi dengan mengurangi jalan untuk pejalan kaki sehingga yang digunakan hanya jalan yang berada di depan unit. Hal tersebut membuat penghuni dapat mengenali siapa saja yang melewati jalan tersebut. Area sentral dijadikan area rekreasi komunal untuk segala usia (orang tua, anakanak, dan remaja). Pembangunan fisik dapat mempengaruhi pola tingkah laku manusia, dan itulah yang diterapkan dalam memberikan solusi permasalahan di atas. Dengan adanya boundary yang mengidentifikasikan kepemilikan, rasa tanggung jawab akan timbul dalam diri penghuni sekaligus membuat tempat tersebut berada di dalam kontrol penghuni. Area sentral yang awalnya dinilai sebagai tempat yang paling tidak aman oleh para penghuninya pun diubah menjadi tempat berkumpul. Modifikasi lingkungan ini dapat mengubah tingkah laku manusianya menjadi lebih sering berinteraksi di luar sehingga tidak memberi kesempatan bagi pola tingkah laku buruk seperti pengedaran narkoba dan vandalisme untuk terjadi. Contoh lainnya adalah masalah public housing di Yonkers. Public housing yang berupa bangunan high rise sering menjadi tempat transaksi narkoba dan prostitusi. Hal ini disebabkan karena ruang-ruang yang fungsinya publik seperti koridor, lift, dan lobi tidak berada di bawah kontrol oleh penghuni sehingga menjadi tempat berlangsungnya tindakan kriminal dan menimbulkan rasa tidak aman. Untuk memperbaikinya, keluarga yang tinggal di sana diseleksi untuk kemudian dipindahkan ke hunian baru berupa row house di beberapa area yang terpisah. Area-area dibuat terpisah agar tidak terlalu padat, karena makin padatnya penghuni, kemungkinan tindakan kriminal untuk terjadi semakin besar. Tiap unit memiliki halaman masing-masing di depan dan belakang. Hasilnya positif, penghuni dapat beradaptasi dan pola kehidupan di row house ini dapat menghindarkan tindak kriminal yang umumnya terjadi di bangunan high rise, dan penghuni dapat membiarkan anak-anak bermain di halaman tanpa takut mereka akan celaka. Perilaku membuang sampah yang dikumpulkan di satu tempat sampah untuk semua penghuni yang mereka lakukan ketika tinggal di bangunan high rise pun diubah menjadi membuang sampah di tempat sampah masing-masing rumah yang ditaruh di halaman depan rumah. Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan dan tingkah

laku manusia saling terkait. Ketika manusia bertingkah laku mengabaikan suatu space maka space tersebut berubah fungsinya menjadi fungsi yang negatif, misalnya menjadi sarang kriminal dan menimbulkan rasa tidak aman bagi penghuni. Sebaliknya, manusia merasa aman apabila manusianya peduli dan memegang kontrol terhadap space yang ditempatinya dan ada rasa memiliki. Terbentuknya kesadaran untuk memiliki ruang publik dapat mencegah timbulnya kriminalitas di dalam ruang publik tersebut.

FINDING LOST SPACE Dalam permasalahan merancang tentu akan ditemukan hal hal yang menjadi

pengait antar satu dengan yang lain dan hal itupun kita mencobamencari apa saja yang menjadi faktor tersebut. Finding Lost space menjadi sumber literature untuk mencari permasalahan tersebut. Dalam perkembangan disain saat ini, perkembangan pola disain menjurus menjadi 2 dimensi, perkembangan ini kian marak dalam pengaplikasiannya. Hal ini disebabkan keterkaitan antara titik awal dengan titik akhir hanya sebatas garis yang menghubungkan 2 titik tersebut. Jika kita lihat secara tampak dari atas ke bawah, maka kedua titik itu saling berhubungan. Perspektif itu coba kita ubah dengan merubah pola pikir 2 dimensi menjadi 3 dimensi. Bisa jadi diantara titik tersebut tak saling temu. Hal ini bisa kita simpulkan dalam merancang kita menyadari hanya hubungan dalam bangunan dan ruang sedangkan seringkali kita tak menyadari adanya pemahaman terhadap perilaku manusia yang diakibatkan antara manusia dan ruang. Perubahan ekonomi, perkembangan industrialism, menyebabkan tumbuh kembangnya pembangunan infra struktur. Sehingga antara infrastruktur 1 dengan infrastruktur lainnya tercipta ruang, misalnya pembangunan jalan layang. Fungsi utama dari ruang itu adalah sebagai titik sirkulasi namun kita tidak memikirkan ruang yang tercipta dari pembangunan jalan layang (kolong jalan layang). Kolong tersebut akhirnya difungsikan sebagai tempat pemukiman kumuh yang awalnya tidak terpikirkan. Namun dengan adanya itu, memberikan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga ruang tersebut dinamakan lost space. Mendefinisikan lost space secara bahasa, lost space adalah ruang yang tercipta karena hilangnya fungsi ruang yang seharusnya serta tidak berkontribusi positif terhadap lingkungannya dan berubah menjadi fungsi yang negatif.

THE DEATH AND LIFE OF GREAT AMERICAN CITIES Pada kehidupan perkotaan tak dapat dipungkiri bahwa sisi jalan (sidewalk)

merupakan bagian dari keseharian aktivitas masyarakatnya. Sisi jalan sebagai salah satu bagian dari lingkungan perkotaan senantiasa mewadahi masyarakatnya untuk beraktivitas. Disana masyarakat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka saling bertemu dalam perpindahan yang mereka lakukan. Mereka memiliki keperluan masing-masing. Itulah keseharian yang terjadi dalam kehidupan perkotaan pada bagian sisi jalan. Dalam buku Jane Jacobs diungkapkan bahwa sebuah sisi jalan (sidewalk) haruslah memiliki peranan-peranan dalam hal: keamanan (safety), dapat dijadian untuk sarana berkomunikasi (contact), menerima anak-anak (assimilating children), serta terpadu dengan lingkungan perkotaan (city neighbourhood). Hal ini ditujukan agar tercipta kehidupan masyarakat kota yang harmonis sehingga keberlangsungan aktivitas mereka dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, bagaimanakah agar bagian sisi jalan dari suatu kota dapat memenuhi kriteria yang diungkapkan pada teori Jane Jacobs tersebut? Dalam hal ini penulis akan coba mengaitkan teori tersebut dengan jaringan (network), tempat (place), gerak (movement), dan perilaku (behavior) dalam konteks kehidupan perkotaan. Jaringan dapat dikatakan merupakan sesuatu yang menghubungkan suatu tempat dengan tempat yang lain. Dalam kehidupan perkotaan jaringan merupakan jalan. Jalan apapun yang digunakan untuk gerak manusia merupakan suatu jaringan. Sisi jalan merupakan bagian dari sebuah jalan. Oleh karena itu sisi jalan merupakan jaringan dalam kehidupan perkotaan. Sebagaimana diungkapkan pada teori Jane Jacobs bahwa sebuah sisi jalan (sidewalk) haruslah memiliki peranan-peranan dalam hal: keamanan (safety), dapat dijadian untuk sarana berkomunikasi (contact), menerima anak-anak (assimilating children), serta terpadu dengan lingkungan perkotaan (city neighbourhood). Bilamana saat ini kondisi suatu perkotaaan belum dapat memenuhi kriteria tersebut maka yang harus dilakukan ialah mengupayakannya. Karena bila tidak, keharmonisan suatu kota tidak akan tercipta. Tempat (place) merupakan bagian-bagian di sisi jalan yang mendukung keberadaan suatu kota. Dalam hal ini tempat yang dimaksud ialah ruang yang dapat dinikmati, mempunyai nilai aik untuk masyarakat komunitas, pribadi, maupun institusi. karena ia menjadi pusat kehidupan kota berlangsung. Pada intinya tempat ini haruslah menyediakan sarana-sarana/infrastruktur yang bermanfaat dan layak untuk semua aktor yang berperan di dalamnya. Dengan kata lain tempat ini tak hanya

harus dapat memenuhi kebutuhan tapi juga dapat memberikan nilai tambah dan menghormati kehidupan yang ada di dalam dirinya. Seperti dalam uraian jacob dimana Keberadaan sidewalk bisa saja membuat rasa nyaman untuk melewatinya sehingga aktivitas berjalan kaki dapat memberikan kontribusi lebih pada kehidupan. Selain jaringan dan tempat, terdapat gerak (movement) dalam kehidupan perkotaan. Macam gerak yang terjadi dapat berupa komunikasi secara langsung di jalan; pertemuan anak-anak kecil yang bermain di sisi-sisi jalan; ataupun berjalan menuju tempat yang menjadi tujuan kita. Macam gerak tersebut akan berlangsung dengan baik bilamana sarana beraktivitas masyarakat tersedia. Benang merahnya adalah dimana Jacob ingin menyatakan bahwa kota adalah merupakan sebuah benda hidup, ia hidup, bergerak, berinteraksi, membutuhkan space dan menciptakan place. Interaksi antar unsur itu akhirnya menjadian sebuah ota itu senciri menjadi esatuan yang seharusnya, dan sudah selayaknya menjunjung nilai kehidupan, mempertahanakan keberlangsungan kehidupannya, dan akrab pada kehidupan di dalamnya. Karena kota itu hidup karena manusia yang berinteraksi, bergerak, saling memberikan tempat pada sesama dan hidup dalam kota tersebut. Tanpa manusia yang hidup dalam kota, kota tidak dapat dikatakan hidup.

CITIES FOR PEOPLE Pada buku Cities for People ini menjelaskan bagaimana kehidupan kota dari

perspektif unsur manusianya. Dilematika perancang yang notabene hanya melihat suatu kota dari atas tanpa melihat bagaimana kehidupan manusia berjalan ketika suatu kota mendapatkan intervensi dari perancang, membuat Jan Gehl terdorong untuk menjelaskan secara terperinci bagaimana kehidupan suatu kota sebenarnya ditekankan pada bagaimana manusia bisa hidup di dalamnya bukan bagaimana kota tersebut terlihat bagus dan rapi dari persperktif mata burung. Jan Gehl memaparkan 4 kunci untuk kehidupan kota yang baik. Yaitu a lively city, a safe city, a sustainable city, a healthy city. Dari 4 kata kunci ini tujuan untuk memberikan kehidupan social manusia yang lebih baik dan lebih sehat sebenarnya akan membawa pengaruh baik pada semua unsur kehidupan kota. A lively city, di sini yang dimaksudkan Jan Gehl adalah membuat kota hidup karena manusianya yang menggunakan kota sebagai sebagian dari rutinitasnya, artinya disini kota berhasil mengundang manusianya untuk berjalan, bersepeda dan stay di ruang kota. Ini merupakan bagian kehidupan kota yang penting, karena dari sinilah nilai social dan budaya dapat tercipta. Yang menjadi perhatian adalah bagaimana mendesain agar ruang kota berhasil mengundang manusianya untuk mau berjalan, bersepeda dan stay di ruang kota. Behaviour manusia ketika berjalan dapat menjadi alat bantu untuk mendesain suatu kota yang dapat mengundang manusia untuk mau beraktivitas di luar ruangan. People come where people are, sudah menjadi behaviour manusia bahwa manusia akan berrkumpul dimana manusiamanusia lain berkumpul di tempat tersebut. Something happens because something happens because something happens, ketika ada seorang anak kecil bermain diluar, ini akan lebih cepat menarik perhatian anak kecil yang lain untuk ikut bermain, dan seterusnya, ketika sudah seterusnya maka tentu satu tambah satu akan dengan cepat sama dengan tiga. Ini sudah menjadi suatu kebiasaan manusia yang akan mendekati tempat yang ramai. Apa saja yang bisa diusahakan agar manusia mau berjalan, bersepeda dan stay pada ruang kota ini? Yang harus diperhatikan adalah ketika manusia berjalan maka kecepatan mereka hanya 3-5 km/jam, saat itulah pengalaman ruang yang bervariasi yang bisa kita tawarkan, pertama adalah, berikan fasad bangunan yang menarik, bila itu adalah toko maka biarkan toko ini terbuka, display barang-barang yang dijual, hal ini akan menghilangkan kebosanan manusia saat berjalan, berikan variasi jejeran bangunan mix function contohnya jajaran kafe, kemudian sebelahnya salon, toko buku atau yang lainnya akan memberikan banyak pintu lebar yang menyediakan banyak titik untuk pertukaran keluar dan masuk dan

memberikan berbagai tipe pengalaman. Dari yang sudah dijelaskan di atas, maka dengan begitu tercipta pula a safe city, dengan banyaknya orang, maka terhindar dari kriminalitas, karena artinya bila ada orang yang ingin melakukan kejahatan langsung dilihat oleh banyak orang. Mengarah pula pada sustainable city, karena tujuan awalnya adalah mengundang manusia untuk berjalan, bersepeda dan stay di ruang kota, maka kebutuhan kendaraan umum massal lebih diutamakan daripada kendaraan pribadi yang sifatnya paratransit dan menghilangkan pengalaman ruang kota yang sedemikian dibangun untuk menghilangkan kebosanan saat berjalan, seperti jalan-jalan yang kanan-kirinya dipenuhi dengan bangunan komersial yang menyatu dengan kota atau kita menyebutnya soft edge. Dari semua itulah yang menuju pada health city, karena manusia tidak lagi ketergantungan dengan kendaraan pribadi yang mengurangi intensitas manusia untuk bergerak. Public space harus pula memperhatikan human dimension, public space seperti square atau plaza dengan ukuran yang sangat besar tidak menjamin akan membuat tempat publik ini akan ramai dikunjungi manusia. Jalan-jalan raya yang dilengkapi dengan pedestrian dan dengan bangunan komersial yang lebih terbuka di kanan kirinya menjadi tempat yang lebih menarik untuk dijadikan ruang publik. Tinggi bangunan juga memperngaruhi bagaimana public space dapat berfungsi dengan baik atau tidak, bangunan tingkat tinggi lebih membuat manusianya untuk tetap ada di dalam bangunan, sedangkan untuk bangunan yang hanya 2 lantai lebih besar memungkinkan manusianya untuk beraktivitas di luar, bagaimana hal ini bisa terjadi? Hal ini dikarenakan dekatnya pintu dan jendela untuk melihat aktivitas yang berlangsung di jalan membuat manusia menjadi sangat mudah untuk melakukan pertukaran pengalaman ruang luar dan dalam. Ini merupakan soft edge. Soft edge ini juga disebut sebagai tempat bangunan dan kota bertemu.

PLACES FOR PEOPLE Setelah evaluasi 10 tahun, Melbourne melakukan rencana perkotaan lanjutan

dengan menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi dari tahun 1994-2004. Mereka mencoba memperbaiki dan meningkatkan hal-hal yang masih kurang baik, dalam rangka meningkatkan kehidupan urban di Melbourne. Sebagian besar perubahan yang dilakukan berhubungan dengan jaringan, seperti mengembangkan jaringan pejalan kaki, memperkuat dan meningkatkan jalan sepeda, mengalokasikan jalan untuk sepeda, mengembangkan hubungan antar transportasi umum, pejalan kaki, dan sepeda, mengembangkan jalur-jalur utama, menghubungkan tepi selatan dengan kota. Selain itu beberapa diantaranya juga berhubungan dengan tempat umum, seperti meningkatkan fasilitas di tempat-tempat pertemuan umum, menciptakan zona aktif yang baru, meningkatkan fasad, paving, dan pencahayaan di tempat-tempat umum, memperkuat aspek fisik dan visual ruang-ruang terbuka, meningkatkan nilai tempat-tempat bersejarah, mengembangkan pusat-pusat lokal untuk meningkatkan populasi. Usaha Melbourne untuk meningkatkan tempat-tempat publik ini berhasil meningkatkan jumlah populasi untuk berkumpul di ruang-ruang publik, selain itu juga mengurangi jumlah kemacetan, dan meningkatkan jumlah pejalan kaki dan sepeda.

Anda mungkin juga menyukai