Anda di halaman 1dari 29

BAB I PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Trauma kepala adalah keadaan gangguan non degeneratif dan non kongenital terhadap kepala dari serangan mekanikal eksternal dan dapat menyebabkan gangguan kognitif baik temporer maupun permanen, gangguan fisik, dan fungsi psikososial dan berhubungan dengan berkurang dan adanya gangguan kesadaran. Trauma kepala merupakan penyebab kematian keempat di Negara Amerika Serikat dan penyebab kematian pertama pada orang berusia 1-44 tahun. Insidensi trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 180-220 kasus per 100.000 populasi. Di Amerika Serikat dengan populasi hampir 300 juta orang, terjadi 600.000 kasus trauma kepala baru yang terjadi setiap tahunnya. Sebanyak 10% dari trauma ini berakibat fatal, dan menyebabkan 550.000 orang dirawat di rumah sakit. Trauma pada kepala dapat menyebabkan cedera patah tulang termasuk tengkorak, hematoma subdural dan epidural, gegar otak dan memar (perdarahan intraserebral termasuk), menembus luka pada kepala dan oklusi vaskular dan trauma pembedahan. Kehadiran patah tulang tengkorak sangat meningkatkan kemungkinan cedera intrakranial utama. Fraktur tengkorak linier yang umumnya terkait dengan subdural atau epidural hematoma. Patah tulang tengkorak basilar mungkin berhubungan dengan Rhinorrhea CSF, pneumocephalus, kelumpuhan saraf kranial atau bahkan fistula sinus cavernous, arteri karotis. Patah tulang tengkorak depresi sering hadir dengan memar otak yang mendasari. Memar mungkin terbatas pada permukaan otak atau perdarahan mungkin melibatkan struktur yang lebih dalam belahan otak atau batang otak. Cedera deselerasi sering terjadi tiba-tiba dan contrecoup cedera. Subdural hematoma epidural dan dapat terjadi sebagai lesi terisolasi dan dalam hubungannya dengan luka memar otak. Penanganan pasien trauma kepala pada keadaan darurat adalah jalan nafas, nafas, sirkulasi, disabilitas. Penanganan darurat pada trauma kepala sama dengan trauma lainnya tetapi pada trauma kepala juga perlu diperhatikan peninggian tekanan intrakranial. Penatalaksanaan tekanan intrakranial sangat penting karena tekanan intrakranial yang tinggi dapat memperburuk prognosis. Kemudian setelah keadaan stabil

pasien baru dievaluasi lebih lanjut dan diberikan terapi defenitif yaitu perlu atau tidaknya tindakan bedah. 1.2 Tujuan Adapun tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah guna melengkapi tugas penulisan laporan kasus pada Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Anestesiologi dan Reanimasi dan agar pembaca mampu memahami tentang trauma tumpul kepala yang menyebabkan cedera otak berat, penanganannya dan tindakan anestesi pada pasien tersebut..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Trauma kepala atau cedera otak traumatik (Traunatic Brain Injury) merupakan salah satu kondisi yang paling serius dan mengancam jiwa pada korban trauma. Trauma tumpul pada kepala adalah trauma pada kepala yang tidak menembus tengkorak akan tetapi dapat bermanifestasi pada kasus fraktur tulang tengkorak, fraktur pada basis kranni ataupun tejadinya epidural hematoma dan subdural hematoma. Penanganan perioperatif pasien-pasien dengan trauma kepala difokuskan secara agresif ke arah stabilisasi pasien dan menghindarkan gangguan pada intrakranial dan sistemik yang dapat menyebabkan cedera neuronal sekunder. Akibat sekunder seperti ini, meskipun dapat dicegah dan dapat ditangani, dapat memberikan komplikasi pada pasien dan dapat mempengaruhi hasil perawatan. 2.2 Klasifikasi Trauma Kepala Trauma kepala dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme trauma : 1. Trauma kepala dengan penetrasi Dibagi menjadi: luka tembak dan luka penetrasi lainnya 2. Trauma kepala tumpul Dibagi menjadi: askelerasi (kecepatan tinggi) dan deskelerasi (kecepatan rendah) Trauma kepala berdasarkan morfologi dibagi atas : 1. Skull Frakture Dibagi lagi atas: vault fracture (linear/satellite, depressed/non-depressed, open/close) dan basilar (dengan atau tanpa perembesan cairan serebrospinal, dengan atau tanpa paralisis nervus VII) 2. Lesi Intrakranial Dibagi lagi atas: fokal (epidural hematoma, subdural hematoma dan intrakranial hematoma) dan difus (kontusi ringan, kontusi klasik dan diffuse axonal injury)

Cedera kepala dapat disebabkan oleh dua hal anatara lain: 1. Benda tajam : Trauma benda tajam dapat menyebabkan cedera setempat
2. Benda tumpul : Trauma benda tumpul dapat menyebabkan cedera secara

menyeluruh akibat dari energi/kekuatan yang diteruskan kepada otak Kerusakan jaringan otak karena benda tumpul tergantung pada: a. lokasi b. kekuatan c. fraktur infeksi / kompresi d. rotasi e. delarasi dan deselarasi Trauma kepala diklasifikasikan atas trauma primer dan sekunder. Klasifikasi ini bermanfaat dalam merencanakan penanganan selanjutnya. 1. Cedera primer merupakan kerusakan yang disebabkan oleh tubrukan mekanis langsung dan tekanan akselerasi-deselerasi yang mengenai kranium dan jaringan otak, yang menyebabkan tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Lesi intrakranial kemudian dibagi menjadi dua tipe: cedera difus dan cedera fokal a. Cedera otak difus dibagi menjadi dua kategori i. ii. jam b. Cedera otak fokal dibagi menjadi: i. ii.
iii.

Kontusio otak yang mana penurunan kesadaran berlangsung <6 jam Cedera aksonal difus merupakan koma traumatik yang berlangsung >6

Kontusio otak biasanya terletak di bawah atau di daerah berlawanan dari Hematoma epidural biasanya disebabkan oleh fraktur tulang tengkorak Hematoma subdural biasanya disebabkan oleh robeknya bridging veins

asal tubrukan dan laserasi dari arteri meningea media antara korteks serebri dan sinus drainase. Hematoma subdural dikatakan mempunyai angka mortalitas yang tinggi. iv. Hematoma intrakranial biasanya terletak di lobus frontal dan temporal dan dapat terlihat sebagai massa hiperdens pada CT-Scan. Jaringan otak yang

rusak karena tubrukan primer tidak akan dapat diselamatkan. Karena itu, hasil fungsional meningkat dengan dilakukan intervensi bedah dan terapi medis. 2. Cedera sekunder terjadi dalam hitungan menit, jam, ataupun hari sejak terjadi cedera awal yang menyebabkan cedera otak yang lebih lanjut. Cedera sekunder yang umum berupa hipoksia serebral dan iskemia. Cedera sekunder dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. Disfungsi respirasi (hipoksemia, hiperkapnia)
b. Instabilitas kardiovaskular (hipotension cardiac output yang rendah)

c. Peningkatan tekanan intrakranial d. Gangguan biokimia 2.3 Patofisiologi Trauma Kepala 1. Efek sistemik trauma kepala
a. Respon kardiovaskular terhadap trauma kepala biasanya terlihat pada fase

awal. Hal ini berupa hipertensi, takikardi, dan peningkatan cardiac output. Pasien dengan trauma kepala berat dan yang mendapat cedera sistemik difus dengan perdarahan yang cukup banyak, dapat berkembang menjadi hipotensi dan penurunan cardiac output. b. Respon respirasi terhadap trauma kepala meliputi apnoe dan pola pernafasan abnormal. Insufisiensi respirasi dan hiperventilasi spontan sering terjadi. c. Pengaturan temperatur dapat terganggu, dan hipertermia, bila terjadi, dapat menyebabkan kerusakan otak lebih lanjut.
2. Perubahan sirkulasi dan metabolisme serebral. Pada cedera otak fokal, cerebral

blood flow (CBF) dan laju metabolisme serebral terhadap oksigen menurun pada pusat dari daerah cedera dan di penumbra, suatu area dimana jaringan mendapat perfusi yang kurang yang mengelilingi jaringan yang rusak. Ketika TIK meningkat, hipometabolisme dan hipoperfusi difus dapat terjadi. Pada cedera otak difus, hiperemia dapat terjadi. Pada kebanyakan kasus, CBF menurun dalam hitungan beberapa jam setelah terjadi trauma kepala. Kombinasi hipotensi dan terganggunya autoregulasi menyebabkan iskemia serebral. Regulasi

metabolik-kimiawi dari CBF dapat juga terganggu. Kombinasi dari respon patofisiologi ini menimbulkan skenario penanganan yang rumit. 2.4 Penanganan Kegawatdaruratan 1. Penilaian awal kondisi pasien

Penilaian neurologis: biasanya hanya terdapat

sedikit waktu untuk menilai kondisi neurologis pasien secara keseluruhan. Namun, penilaian neurologis yang cepat dapat dilakukan sambil menstabilkan kondisi pasien untuk mencapai ventilasi yang adekuat dan stabilisasi hemodinamik.
o

Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana dan diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan status neurologis pasien dengan trauma kepala. 1. 2. 3.
o

Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan Respon pupil (ukuran, refleks

cahaya) dan penilaian simetris ekstremitas harus secepatnya dinilai. Penilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang berasal dari cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama ditujukan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks atau intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks maupun abdomen harus dilakukan segera. 2. Jalan nafas dan ventilasi
1. Intubasi trakea. Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan

nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena semua pasien trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang penuh dan sering juga mendapat trauma servikal, tekanan pada krikoid dan stabilisasi in-line terhadap tulang servikal dilakukan selama digunakan laringoskop dan intubasi.6
2. Intubasi nasal juga menambah resiko pada pasien yang menderita fraktur basis

kranii karena masuknya benda terkontaminasi ke otak. Fraktur basis kranii diduga

ktika terjadi perdarahan dari kavum timpani, otorrhea, petekiae pada prosesus mastoideus (Battless sign), dan petekiae disekitar bola mata (Panda sign). 3. Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi 4. Ventilasi mekanik. Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm. Hiperventilasi agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan kecuali herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia, harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction bronkus dapat dilakukan. 3. Stabilisasi kardiovaskular. Hipotensi sistemik merupakan salah satu kontributor mayor terhadap jeleknya prognosa pada pasien trauma kepala. Penilaian tanda-tanda vital harus disesuaikan dengan umur pasien. Hal ini dimaksudkan agar dapat dilakukan evaluasi dan penangan pasien dengan tepat.

Resusitasi cairan. Hipovolemia sering tertutup oleh tekanan darah yang

relatif stabil sekunder akibat hiperaktivitas simpatis atau respon refleks terhadap peningkatan TIK. Karena itu, resusitasi cairan harus dilakukan tidak hanya berdasarkan tekanan darah namun juga oleh urine output dan CVP. o Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan hipertonik dan larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga volume intravaskular yang adekuat.
o

Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai hematokrit

yang rendah membutuhkan tranfusi untuk mengoptimalkan oxygen

delivery. Hematokrit idealnya dipertahankan diatas 30%. o Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang dengan perburukan neurologis. Glukosa sebaiknya mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena hiperglikemia dihubungkan digunakan hanya untuk menangani hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya dicapai. Kadar plasma diatas 200 mg/dL

Inotropik dan vasopresor. Jika tekanan darah dan cardiac output tidak

dapat diperbaiki melalui resusitasi cairan, pemberian inotropik dan vasopresor secara intravena mungkin diperlukan. Infus fenilefrin atau dopamin direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion Pressure diatas 60 mmHg. 4. Penanganan terhadap peningkatan TIK.

Hiperventilasi. Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada

pasien dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2 sebesar < 30 mmHg karena hiperventilasi dapat dengan cepat dan efektif menurunkan TIK.

Terapi diuretik. Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam

10 menit pada pasien dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas serum dijaga dan tidak boleh melebihi 320 mOsm/L.

Posisi. Menaikkan posisi kepala 30-45o memfasilitasi drainase CSF dan

menurunkan TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan dimana tekanan darah sistemik menurun. Kortikosteroid. Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai manfaat dalam mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada pasien dengan trauma kepala. Namun, beberapa laporan terakhir menunjukkan perburukan pada pasien yang diberikan terapi kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid tidak berperan dalam penanganan trauma kepala meskipun bermanfaat pada trauma spinal. 2.5 Manajemen anestesi Tujuan utama dari manajemen anestesi yaitu untuk (a) mengoptimalkan perfusi dan

oksigenasi serebral, (b) menghindari kerusakan sekunder, (c) membuat kondisi bedah yang baik untuk operator neurosurgery. Anestesi general direkomendasikan untuk memfasilitasi kontrol fungsi respirasi dan sirkulasi. Induksi obat anestesi. Banyak pasien dengan cedera kepala yang parah sudah dipasang endotrakeal tube oleh triase selama di bagian gawat darurat untuk pemeriksaan CT. Pasien yang datang ke ruangan opreasi tanpa adanya endotrakeal tube di terapi dengan pemberian segera oksigen dan mengamankan jalan nafas. Seorang anestesiologis harus waspada bahwa pasien ini datang dengan keadaan perut yang penuh, volume intra vaskular yang menurun, dan potensial cedera pada servikal. Monitoring tekanan arteri secara langsung dilakukan dengan memasukkan kateter sebelum induksi anestesia dilakukan. Beberapa teknik induksi diperlukan. Keadaan pasien dan stabilnya hemodinamik menentukan pilihan yang diambil. Induksi cepat dapat diambil pada pasien dengan hemodinamik sabil, walaupun prosedur ini dapat menghasilkan peningkatan tekanan darah dan peningkatan tekanan intra kranial. Selama pemberian 100% oksigen, dan dosis induksi dari tiopental, 3-4 mg/kg, atau propofol, 1-2 mg/kg, dan succinylcholine 1,5 mg/kg, diberikan dan trakea sudah terintubasi. Etomidate, 0,2-0,3 mg/kg, dapat diberikan pada pasien dengan stetus sirkulasi yang menghawatirkan. Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, dosis induksi dari obat dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan. Bagaimanapun, depresi kardiovaskular selalu menjadi perhatian, terutama pada pasien dengan hipovolemi. Succinylcholine dapat meningkatkan tekanan intra kranial. Pemberian muscle relaxan nondepolarisasi dosis kecil mungkin dapat menghindari peninggian tekanan ini, tetapi tidak dapat diramalkan. Succinylchoil merupakan pilihan yang baik untuk memfasilitasi masuknya laringoskop dan mengamankan jalan nafas. Roccuronium 0.6-1 mg/kg merupakan alternaif yang baik karena onsetnya yang cepat dan sedikit efeknya terhadap peningkatan tekanan intra kranial. Induksi intravena. Saat pasien stabil dan tidak dengan keadaan perut penuh, anestesi dapat diinduksi dengan mentitrasi dosis dari tiopental ataupun propofol unutk meminimalkan ketidakstabilan sirkulasi. Dosis intubasi dari muscle relaxan nondepolarisasi diberikan dengan ataupun tidak dengan priming untuk memfasilitasi intubasi dengan waktu yang pendek. Sebagai contoh, rocuronium, 0,6-1mg/kg, memberikan kondisi intubasi yang memuaskanselama 60-90 detik.

Fentanyl, 1-4 mcg/kg iv, diberikan untuk menumpulkan respon hemodinamik saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Lidokain 1,5mg/kg iv, diberikan 90 detik sebelum laringoskopi, dapat membantu untuk mencegah peningkatan tekanan intra kranial. Gastrik tube ukuran besar dimasukkan setelah intubasi, dan isi lambung di aspirasi dan kemudian secara pasiv di kosongkan selama operasi. Penggunaan NGT dihindari karena adanya kemungkinan fraktur basis kranii. Mempertahankan anestesia. Obat yang ideal dalam mempertahankan anestesia sebaiknya yang mengurangi tekanan intra kranial, menjaga oksigen suplai yang adekuat ke jaringan otak, dan melindungi otak dari metabolik-iskemik yang menganggu. Tidak ada obat anestesi gold standart yang memenuhi syarat ini pada cedera kepala. Pemilihan obat anestesi berdasarkan pertimbangan dari patologi intrakranial sama seperti kondisi sistemik seperti pada gangguan kardiopulmoner dan adanya trauma multisistem. Obat anestesi 1. Anestesi intravena a. Barbiturat. Tiopental dan fenobarbital mengurangi aliran darah ke otak (CBF), volume darah otak (CBV), dan tekanan intrakranial (ICP). Mengurangi ICP dengan obat ini juga mengurangi CBF dan CBV dengan depresi metabolik. Tiopental dan fenobarbital melindungi iskemi otak fokal pada percobaan binatang. Pada cedera kepala, iskemi merupakan sekuele yang umum. b. Etomidate. Bersamaan dengan barbiturat etomidat mengurangi CBF, dan ICP. Hipoensi sitemik muncul lebih sedikit dibandingkan dengan enggunaan barbiturat. Penggunaan yang berlama-lama dari etomidate dapat menekan respon adrenokortikal terhadap stress. c. Propofol. Efek hemodinamik dan metabolik pada otak dengan penggunaan propofol menyerupai obat barbiturat.
d. Benzodiazepine. Diazepam dan midazolam mungkin dapat berguna

baik untuk sedasi maupun untuk induksi anestesia karen aboat ini memiliki minimal efek pada hemodinamik. Diazepam, 0,1-0,2 mg/kg, dapat diberikan untuk menginduksi anestesia dan dapat diulangi jika

10

perlu, sampai batas 0,3-0,6 mg/kg. Midazolam, 0,2 mg/kg, dapat digunakan untuk induksi dan dapat diulangi bila perlu. e. Narkotik, dalam penggunaan untuk klinis menghasilkan pengurangan yang minimal sampai sedang pada CBF. Saat ventilasi diberikan secara adekuat, narkotik memiliki efek minimal pada ICP. Meskipun memiliki sedikit efek meningkatkan ICP, fentanyl memberikan efek analgesi yang memuaskan dan depat memberikan konsenterasi dari penggunaan obat anestesi inhalasi yang lebih sedikit 2. Anestesi inhalasi
a. isoflurane. Depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki sedikit

efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada halotan. Karena isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini mungkin memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan konsenterasi >1 dari minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena dapat menimbulkan peningkatan substansial pada ICP. b. Sevoflurane. Pada model kelinci cryogenic brain injury, peningkatan ICP muncul dengan kenaikan tekanan darah lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan halotan. Pada studi klinis, walaupun efek pada hemodinamik serbral sevoflurane mirip dengan isoflurane. Efek yang tidak menguntungkan pada sevoflurane yaitu metabolitnya yang bersifat racun pada konsenterasi yang tinggi. c. Desflurane. Desflurane pada konsenterai yang tinggi dapat meningkatkan ICP. d. Nitrous Oxide (N2O). N2O mendilatasi pembuluh darah otak, karena itu dapat meningkatkan ICP. Pasien dengan hipertensi intrakranial sebaiknya tidak menggunakan obat ini. N2O juga dihindari pada pneumochepalus atau pneumothorax karena N2O berdifusi ke rongga udara lebih cepat dibandingkan dengan nitrogen, oleh karena itu dapat meningkatkan volume di dalam rongga udara.
3. Anestesi lokal. Infiltrasi lidokain 1% maupun bupivacaine 0,25%, dengan atau

tidak dengan epinephrine, di kulit sekitar insisi skalp dan tempat insersi pin head

11

holder membantu mencegah hipertensi sitemik dan intrakranial terhadap rangsangan ini dan menghindari penggunaan yang tidak perlu dari anestesi dalam.
4. Muscle relaxant. Muscle relaxan yang adekuat memfasilitasi mekanikal ventilasi

dan mengurangi ICP. Batuk dan peregangan dihindari karena keduanya dapat mengakibatkan meningkatnya pengisisan vena serebral. a. Vecironium memiliki minimal ataupun tanpa efek pada ICP, tekanan darah, atau denyut jantung dan efektif pada pasien dengan trauma kepala. Obat ini memiliki inisial dosis yaitu 0,08-0,1 mg/kg diikuti pemberian infus 1-1,7 mcg/kg/menit b. Pancuronium tidak menimbulkan peningkatan ICP tapi dapat menimbulkan hipertensi dan takikardia karena efek vagolitiknya, oleh karena itu dapat meningkatkan resiko pada pasien. c. Atracurium tidak memiliki efek pada ICP. Karena onsetnya yang cepat dan durasi yang pendek, dosis bolus 0,5-0,6 mg/kg diikuti dengan pemberian melalui infus 4-10mcg/kg/menit diberikan dengan monitoring dari neuromuskular blok. d. Rocuronium berguna saat intubasi karena efeknya yang cepat dan sedikit efek pada intrakranial. Untuk mempertahankan, obat dengan durasi lebih lama dibutuhkan. 2.6 Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif
a. Ventilasi mekanik. Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar

35 mmHg. Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 > 100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi, atau edema paru neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang berlebihan sebiknya dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.
b. Penanganan sirkulasi. CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi

bertahan meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau

12

vasopresor. c. Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing) 2.7 Penanganan peningkatan TIK intraoperatif
a. Posisi pasien. Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin

tidak menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return. b. Ventilasi. Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat. c. Sirkulasi. Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi (tekanan sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan. d. Diuretik. Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK. Furosemide juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat juga pada pasien dengan penurunan fungsi jantung. e. Drainase CSF. Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF merupakan cara yang efektif dalam menurunkan TIK. 2.8 Monitoring
a. Monitoring standar termasuk heart rate dan ritme (EKG), pengukuran noninvasif

tekanan darah arteri, pulse oximetry, end-tidal CO2, suhu badan, urine output, CVP, dan blokade neuromuskular. AGDA, hematokrit, elektrolit, glukosa, dan osmolaritas serum harus dinilai secara periodik. b. Monitoring terhadap emboli udara. Deteksi emboli pada vena dengan menggunakan USG Doppler harus dipertimbangkan pada tindakan bedah yang mana vena tempat operasi terletak diatas jantung.
c.

Monitoring otak seperti EEG, evoked potential, jugular venous bulb oxygen saturation (SjO2), Laju aliran yang diukur menggunakan Transcranial Doppler (TCD), brain tissue PO2 (btPO2), dan TIK dapat digunakan.

13

2.9 Proteksi Serebral Hipotermi. Penurunan suhu tubuh hingga 33-35 oC dapat merubah proteksi serebral. Mekanisme protektif termasuk menurunkan kebutuhan metabolik, eksitotoksisitas, pembentukan radikal mbebas, dan pembentukan edema. Pada hewan model iskemia, hipotermia ringan menjadi sekitar 34-36 oC terlihat dapat mengurangi resiko terjadinya cedera akibat iskemia jaringan. Ketika induksi hipotermia dilakukan, pengawasan yang ketat harus dilakukan untuk mencegah terjadinya hipotensi, aritmia jantung, koagulopati, dan infeksi. Penghangatan kembali harus dilakukan secara perlahan. Monitoring suhu badan sebaiknya dilakukan di dua tempat atau lebih antara lain pada membran timpani, area nasofaringeal, esofagus dan darah. 2.10 Penanganan post operatif Perawatan Pascabedah :
1. Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri

atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.


2. Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2 > 35

mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala. 3. Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri rerata > 130 mmHg.
4. Infus dengan kristaloid. Hematokrit pertahankan 33%.

5. Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.
6. Untuk mengendalikan kejang bisa diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb dengan

kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,1 mg/kg bb) perlahan lahan selama 1-2 menit. Rangkaian persiapan untuk membangunkan pasien: Persiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah depresi nafas pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang bersifat middle atau long acting 60 menit sebelum opersi selesai, obat anastesi dihentikan saat menjahit kulit, blok

14

neuromuskuler di TOF 2, bila digunakan obat pelumpuh otot berikan antidote pelumpuh otot sebelum ekstubasi. Naikkan PaCO2 ke arah normoventilasi.

Tabel 1. Kondisi sistemik dan serebral yang menyebabkan pasien lambat bangun

Sistemik Hipotermi ( <35,5 C) Hipertensi (tekanan sistolik mmHg) Hipotensi-hipovolemia Hematokrit < 25% Hipoksia atau hiperkapnia Nafas spontan tidak efektif Hipoosmolar < 280 mOsm/kg) Gannguan koagulasi Ada residu obat pelumpuh otot

>

Serebral Perubahan kesadaran prabedah 150 Reseksi tumor besar dengan midline shift Operasi > 6 jam Ada pembengkakan otak selama operasi Cedera pada saraf IX, X, XII Kejang saat bangun dari anastesi

Hindari rangsangan nyeri yang tidak perlu, misalnya : lepas head pin sesegera mungkin, ambil pak di mulut/faring, pengisapan faring dilakukan sebelum pasien betulbetul bangun. Terapi lonjakan tekanan darah, sasarannya MAP < 120 mmHg dengan lidokain 1,5 mg/kg, dexmedetomidine, atau beta bloker.Saat transfer ke PACU atau ICU berikan O2 dan monitoring EKG, tekanan darah, SpO2 terus dilakukan. Tekanan perfusi otak harus dipertahankan minimum 70 mmHg. Tekanan perfusi otak yang didefinisikan sebagai MAP-tekanan intrakranial, sangat erat berhubungan dengan terjadinya iskemia serebral. Tekanan perfusi otak yang rendah mungkin membahayakan otak dengan preexisting iskemi dan memperbesar tekanan hidrostatik intravaskuler dengan meningkatkan tekanan perfusi otak dapat memprebaiki prefusi serebral. Karena itu, mempertahankan tekanan perfusi otak > 70 mmHg adalah suatu opsi terapi yang dapat menurunkan mortalitas dan memperbaiki kualitas pasien yang hidup dan memperbesar perfusi pada region iskemik setelah cedera otak berat. Hiperventilasi dapat menurunkan tekanan intracranial dengan jalan vasokonstriksi dan selanjutnya terjadi penurunan aliran darah ke otak. Dari penelitian penilitian yang lalu secara jelas telah menunjukkan bahwa aliran darah otak selama 24 jam setelah cedera kepala kurang dari setengahnya dan ada resiko terjadi iskemia serebral bila dilakukan

15

hiperventilasi agresif. Jadi pembatasan penggunaan hiperventilasi pada pasien cedera kepala berat akan memperbaiki pemulihan neurologis setelah cedera kepala. Hiperventilasi dilakukan hanya bila ada tanda-tanda herniasi otak dan memburuknya neurologis dengan cepat. Tanda tanda herniasi otak adalah adanya dilatasi pupil unilateral atau bilateral, reaktivitas pupil asimetris, motor posturing atau bukti memburuknya neurologis. Terapi hiperventilasi pertama kali untuk mencapai PaCO2 30 35 mmHg, tetapi bila tekanan intracranial masih tinggi, hiperventilasi dapat diperdalam untuk mencapai PaCO2 < 30 mmHg, tetapi harus dilakukan pemantauan SJO2 atau AVDO2 untuk melihat adanya komplikasi iskemia otak. Posisi: Untuk kebanyakan pasien bedah saraf, posisi netral, head-up 30-40o dianjurkan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan jalan memperbaiki drainase vena serebral. Kepala fleksi atau rotasi dapat menimbulkan obstruksi drainase vena serebral, memyebabkan peningkatan tekanan intracranial. Penurunan posisi kepala menyebabkan gangguan drainase vena serebral, yang secara cepat meningkatkan barin bulk dan tekanan intrakranial. Metode Proteksi Otak Proteksi otak dapat dilakukan dengan berbagai jalan, yaitu: 1. Basic Methods 2. Farmakologi 3. Hipotermi 4. Kombinasi Hipotermi dan Farmakologi Basic Methods: Dapat dilakukan dengan cara jalan nafas yang bebas, oksigenasi yang adekuat, cegah hiperkarbi (selalu dalam normokarbia , hiperventilasi hanya bila ada herniasi otot dan bila PaCO2 < 35 mmHg harus dipasang alat pantau SJO2), pengendalian tekanan darah (harus normotensi, sistolik jangan < 90 mmHg), pengendalian tekanan intraklanial

16

(terapi bila tekanan intraklanial > 20 mmHg, herniasi otak sudah dapat terjadi pada tekanan intraklanial < 20 25 mmHg), mempertahakan tekanan perfusi otak (tekanan peruse otak harus > 70 mmHg), pengendalian kejang. Metode dasar ini yang harus dilakukan pertama kali dalam melakukan proteksi otak. Farmakologi: Obat yang menimbulkan vasokonstriksi serebral: Pemberian obat yang meningkatkan resistensi pembuluh darah serebral dapat secara cepat mengurangi tekanan intracranial. Jenis-jenisnya adalah 1) 2) Pentotal: menyebabkan kontriksi pembuluh darah serebral, yang menurunkan aliran darah ke otak dan karena itu menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. Pentobarbital: digunakan untuk mengatur tekanan intrakranial apabila cara terapi lain gagal. Dosis bolus 10 mg/kg selama lebih dari 30 menit dilanjutkan dengan dosis 1-1,5 mg/kg dapat menimbulkan koma. 3) Barbiturat: memberikan proteksi otak dengan cara menurunkan metabolisme otak. Masalah utama dengan barbiturate adalah adanya penurunan arteri rerata, yang apabila tidak dapat dikendalikan dapat menurunkan perfusi ke otak. Mekanisme barbiturate dalam menurunkan CMR adalah karena penurunan influks Ca, blockade terowongan Na, inhibisi pembentukan radikal bebas, potensiasi aktivitas GABAergic. Menghambat transfer glukosa melalui barrier darah otak. Rasisonalisasi utama penggunaan barbiturat untuk proteksi melawan iskemi adalah mengurangi kebutuhan energy jaringan dengan menekan fungsi aktivitas listrik sel. Hipotermi: Hipotermia ringan adalah ditujukan untuk mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan cedera kepala dengan menurunkan metabolism otak, memperlambat depolarisasi anoksik/iskemik, memelihara homeostasis ion, menurunkan excitatory neurotransmisi, mencegah atau mengurangi kerusakan sekunder terhadap perubahan biokimia. Obat yang menekan menggigil secara sentral, pelumpuh otot, dan ventilasi mekanis diperlukan bila dilakukan teknik hipotermi. Di dalam OK suhu pertahankan 3435 pascabedah di ICU 36 C.

17

BAB III LAPORAN KASUS ANAMNESA PRIBADI Nama Umur Berat badan Agama Alamat : an. Gusti Farel : 7 tahun : 30 kg : Islam : Hamadi

Jenis kelamin : Laki-Laki

Tanggal MRS : 04 September 2011 Rujukan RSU Keerom dengan diagnosis cedera kepala berat dan vulnus laceratum regio sagitalis frontalis (post kecelakaan lalu lintas jam 08.00) ANAMNESA PENYAKIT Keluhan Utama : tidak sadarkan diri Telaah : Hal ini telah dialami os sejak 3 jam SMRS. Sebelumya tejadi benturan

keras pada daerah kepala setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Riwayat pingsan (+), muntah (+). Riwayat kejang (-). Setelah kejadian os dibawa ke RSU Keerom dan mendapatkan perawatan selama 1 jam. luka robek (+) di daerah parietal kanan dan telah dijahit situasional. Kemudian dirujuk ke RSU Abepura akan tetapi ruangan ICU full sehingga dirujuk ke RSU Jayapura untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut RPT RPO :: IVFD RL, ceftriaxon 1 gr, antrain 30 mg, ranitidine, ATS 3000 IU

18

PEMERIKSAAN FISIK Primary Survey (04/09/2011 Pukul 11.45 WIT) A (Airway) : Clear, gurgling (-), snoring(-), crowing (-), c-spine stabil, maxillofacial injury (-) B (Breathing) : Spontan, RR 32x/menit, SP: vesikuler, ka=ki, ST: -/- , pernafasan cuping hidung (-), hematopneumothorax (-), jejas pada thorax (-), flail chest (-) C(Circulation): Akral: H/M/K, TD : 109/77, N : 109/m, CRT < 2, Nadi kuat reguler D (Disability) : responsif pada nyeri, GCS: 5 (E1 V2 M2), Pupil: isokor, diameter 3 mm/3mm, RC +/+, pingsan (+), kejang E (Exposure) : luka robek pada parietal dextra dan sudah dihecting Secondary survey (04/092011 pukul 12.20 WIT) Kepala Leher (-/-) Abdomen Extremitas Inferior Genital Status Neurologis Laboratorium 04 September 2011 HB Lekosit Trombosit HB Lekosit Trombosit 05 September 2011 : 6,4 gr % : 7.400/mm3 : 205.000/mm3 : 10,1 gr% : 20.700/mm3 : 397.000/mm3 : datar, supel, distense abdomen (-), hepar dan lien tidak teraba : jejas (-) : laki-laki : tidak dievaluasi Extremitas Superior : jejas (-), akral hangat, kering, merah, capillary refill time < 2 : vulnus laceratum (+), brill hematoma (+/+), Otorhea (+/-) : jejas (-), oedem (-), nyeri (-)

Dada : simetris, retraksi (-/-), suara nafas bronkovesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing

19

CT BT ASSESMENT

: 1000 : 0330

Cedera otak berat suspek fraktur basis kranii Epidural hematoma dd subdural hematoma PLANNING Diagnosis Terapi :FOTO SKULL AP/LATERAL CT SCAN KEPALA tanpa kontras :Resusitasi dan stabilisasi Bersihkan jalan nafas Orofaringel tube Sungkup wajah O2 6-8 L/m IVFD D5 NS 500 cc/6 jam Manitol 200 cc (bolus) 4 x 100 cc (drips) Ceftriaxon 1 x 2 gr Ketorolac 3 x 1 ampul Ranitidin 2 x 50 mg Piracetam 3 x 2 gr Transfusi PRC 450 cc PEMERIKSAAN RADIOLOGIS Rontgen skull ap/lateral

20

Pemeriksaan Fisik (09/09/2011 Jam 07.30 WIT) Pemeriksaan fisik BB Suhu Jalan Nafas Sirkulasi Saraf Gastro intestinal Ginjal Metabolik Hati DIAGNOSA Cedera otak berat Suspek fraktur basis kranii Epidural hematoma DD Subdural hematoma Vulnus laceratum regio parietalis OPERASI Jenis pembedahan PS ASA Anestesi Posisi Lama operasi Premedikasi Medikasi : DEBRIDEMEN :2 : GA - ETT : Supine : 1 jam 30 menit : petidin 30, sedacum 2 : lipurol 70, tramus 20+20 : 30 kg : Febris : Terpasang sungkup wajah O2 5-6 L/m : TD100/70, N:100/m, CRT < 2, akral HKM : GCS : 5 : bising usus (+), distense (-), hepar dan lien tidak teraba : DC produksi (+) : riwayat DM (-), HT (-) : ikterik (-)

21

Tekhnik Anestesi

Posisi head up 30 Pre medikasi dengan midazolam 2 mg dan petidin 30 mg secara perlahan-lahan Oksigenasi dengan sungkup 8 L/i Induksi dengan propofol 30 mg Injintubasi dengan ETT kemudian dilakukan fiksasi Pemberian anastesi inhalasi dengan Sevofluran 1%, O2 2l/i, air 2l/I Maintenance dengan Lipurol 70 mg dan Tramus 20 mg.

Durante OP TD HR SpO2 Perdarahan Cairan : 95-125/60-90mmHg : 100-120 x/mnt : 98-100 % : 50 cc : 600 cc : 800 cc : 500 cc :Pre operasi RL Durante Operasi RL

Penguapan + Maintenance

FOLLOW UP di Pasca Bedah Post Operasi (13 September 2011) B1 B2 B3 B4 B5 B6 : Airway: clear, Terpasang sungkup O2 5-6 L/m RR : 22-24 x/m, SP: ves/ves, ST: -/-, SpO2 100% : Akral :H/M/K, TD : 120/70 mmHg, HR : 158 x/i, reguler, t/v kuat/cukup : gelisah, E3M5VX, pupil isokor, 2mm/2mm. RC +/+, : BAK (+), vol : 46 cc/jam, warna : kuning jernih, Balance cairan : -310 cc : Abd soepel, peristaltik (-), mual (-), muntah (+) 50 cc, terpasang NGT : luka operasi dirawat terbuka

22

Terapi Post Operasi

Bed Rest head up 30 0 O2 sungkup wajah 5-6 L/m IVFD KaENMG3 500 cc/24 jam IVFD Aminovel 500 cc/24 jam Inj Stabactam 3 x 500 mg Inj Ranitidin 3 x 25 mg Inj antrain 3 x 500 mg Inj piracetam 3 x 1 gr Inj citicolin 3 x 125 mg Susu via NGT 4 x 100 cc

23

BAB IV PEMBAHASAN Berdasarkan anamnesa diketahui bahwa pasien ini mengalami trauma tumpul kepala karena kecelakaan lalu lintas dan luka robek di daerah frontoparietal dextra sudah dihecting situasi saat tiba di RSU Jayapura. Pada pasien ada riwayat pingsan, muntah tetapi tidak kejang. Pada kasus trauma tumpul kepala biasanya terjadi cedera vaskular neuronal pada ipsilateral ataupun kontralateral dan fraktur tidak hanya terbatas pada daerah luka bahkan dapat juga terjadi fraktur pada basis kranii bila mekanisme trauma yang terjadi begitu hebatnya Pasien ini merupakan pasien rujukan yang telah mendapatkan perawatan selama 30 menit di rumah sakit sebelumnya. Evaluasi awal secara cepat dengan manajemen ABCD airway, breathing dan circulation, disability, dengan melihat secara keseluruhan mulai dari kepala ke kaki, depan dan belakang, dengan melakukan mobilisasi in-line. Pemeriksaan Glasgow Coma Scale (GCS), dapat menjadi parameter untuk evaluasi penting terhadap kemajuan klinis. Pada pasien ini telah dilakukan evaluasi awal dan penanganan secara cepat dimana pada pasien ini jalan nafasnya bebas (clear), cedera otak berat. Pasien dengan cedera otak sering mengalami hipoksia dan hiperkapni, hal ini dapat meningkatkan tekanan intrakranial yang dapat memperburuk otak pasien ini, untuk itu diperlukan terapi oksigen yang adekuat. Pada pasien ini diberikan oksigen dengan sungkup wajah 6-8L/menit dan sebelumnya telah dipasang Orofaring tube untuk mencegah jatuhnya glotis pada pasien dengan penurunan kesadaran yang dapat menyumbat jalan nafas.. Pernafasan pada pasien ini baik dengan respiratory rate : 32x/menit, suara pernafasan vesikuler, kanan sama dengan kiri dan tidak didengar suara tambahan. Pada perdarahan intrakranial atau luka pada scalp terutama pada anak sering menyebabkan hipotensi dan hipovolemi. Untuk itu harus diberikan cairan yang adekuat untuk resusitasi perdarahannya dan mempertahankan perfusi ke otak minimum 70 untuk sirkulasi dipasang iv line 20G serta dilakukan pemeriksaan GCS dengan nilai 5 (E1 V2 M2) dan dikategorikan sebagai

24

mmHg. Pada kasus ini, kondisi pasien sebelum dilakukan tindakan operasi dalam keadaan hemodinamik stabil dengan akral hangat, merah dan kering, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 100/menit teraba kuat/cukup, regular. Peningkatan tekanan darah pada fase akut merupakan respon kompensasi untuk mempertahankan perfusi serebral. Untuk itu, hipertensi yang moderat sebaiknya tidak perlu diterapi. MAP > 130 mmHg harus segera diterapi, karena meningkatkan TIK secara tajam. Obat yang bisa dipakai, beta bloker esmolol (500 mcgr/kg iv dosis terbagi), dan propanolol (0,5-1,0 mg bolus iv), golongan alfa bloker (pentholamine), alfa dan beta bloker yaitu labetalol (5-10 mg bolus iv). Pada pasien ini tidak diberikan obat-obatan antihipertensi karena MAP tidak lebih dari 130 mmHg. Pasien ini telah melewati masa golden period untuk itu kita harus mencegah secondary brain injury dengan mengambil langkah-langkah pertahankan normovolemik, mencegah hipoksia, mencegah nyeri, mencegah infeksi, dan lakukan observasi terhadap vital sign dan GCS. Dan hal yang jangan sampai dilupakan adalah bagaimana pemberian analgetik yang bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri yang ada sehingga tidak ikut memberikan peran pada peningkatan intra cerebral pressure. Penggunaan manitol sebagai terapi yang digunakan untuk menurunkan peningian tekanan intra kranial haruslah diberikan sejak awal pentalaksanaan pasien trauma kepal, dengan dosis 0,25-1 gr/Kg BB diberikan selama 10 hari dengan taperring off. Tindakan ini ditujukan untuk mengurangi tekanan yang timbul akibat lesi desak ruang intra kranial yang dapat memperburuk dan menyebabkan terjadinya trauma sekunder pada sisitem saraf pusat. Pasien ini dari awal hingga pasca operasi dilakukan head up 30o sebab posisi kepala head-up 30-40o dianjurkan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan jalan memperbaiki drainase vena serebral. Posisi kepala yang tidak netral akan mengganggu aliran darah serebral, sehingga TIK dapat meningkat. Yang perlu diperhatikan adalah pasien dengan hipotensi, hipovolemia, dapat menurunkan MAP, CPP dan terjadinya iskemia. Pasien ini didiagnosa dengan curiga terjadinya fraktur basis kranii dan epidural hematoma DD subdural hematoma. Tetapi diagnosis ini tidak dapat ditegakkan diakibatkan keterbatasan sarana CT-Scan yang tidak dimiliki. Padahal diagnosis definitif

25

perlu ditegakkan sebelum dilakukannya tidakan yang definitif pula. Tindakan operati berupa debridemen dilakukan untuk evakuasi serpihan benda asing dan mencegah infeksi. Pemilihan tehnik anastesi menggunakan GA-ETT dengan posisi supine. GA-ETT dipilih karena pasien akan dilakukan debridemen yang waktunya diperkirakan tidak lama. Pemilihan GA-ETT juga dengan alasan penggunaan muscle relaxan yang dapat mempermudah operator bedah. Teknik anestesi adalah dengan memposisikan pasien dalam posisi supine dengan head up 30o, pre medikasi dengan midazolam (sedacum) 2 mg dan petidin 30 mg secara perlahan-lahan dalam waktu satu menit, kemudian preoksigenasi dengan sungkup 8 l/i, dilanjutkan penyuntikan lidokain dan induksi dengan propofol 30 mg intubasi dengan ETT dan dilakukan fiksasi dengan plester lalu pemberian anestesi inhalasi dengan sevofluran 1%, O2 2l/i, air 2l/I dan maintenance dengan Tramus 20 mg. Pemberian cairan pada trauma kepala harus hati-hati. Hal ini ditujukan untuk menjaga dan menjamin perfusi otak yang adekuat dan kardiovaskular yang stabil. Pemberian cairan yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan odema otak bila ada kerusakan sawar darah-otak. Dengan pilihan adalah cairan kristaloid yang hiperosmolar dibanding dengan osmolaritas tubuh. Pada pasien ini diberikan KaENMG3 yaitu cairan kristaloid yang juda diberikan nutrisi, untuk mencukupi kebutuhan perhari dengan bukti hemodinamik dalam keadaan stabil dengan memantau nadi dan tekanan darah serta MAP dalam kisaran 75mmHg. Pasien cedera otak membutuhkan nutrisi tinggi (dalam 24 jam) tujuannya mengganti 140 % dari REE (resting energy expenditure) dengan 15 % protein selama 7 hari paska trauma. Enteral nutrisi berhubungan dengan rendahnya insiden hiperglikemia serta proteksi terjadinya ulkus gaster. Waktu pengosongan lambung akan memanjang maka perlu diberikan obat-obatan prokinetik. Penggunaan parenteral nutrisi disarankan bersama dengan propilaksis ulkus gaster (H2 antagonis atau sukralfate), kontrol gula darah dan CO2 yang merupakan hasil metabolism karbohidrat. Hal ini sesuai dengan yang diberikan pada pasien yaitu 7,5 gram protein yaitu 15% dari total kalori serta pemberian ranitidine untuk mencegah terjadinya ulkus gaster. Awal masuk rumah sakit, pasien ini mengalami leukositosis dengan hitung jenis sel darah putih hingga 20.700/mm3 sehingga dicurigai adanya infeksi akibat luka tusuk.

26

Oleh sebab itu pasien diberikan antibiotik spektrum luas secara intravena yaitu injeksi ceftriaxone. Namun seharusnya dilakukan kultur pada pasien ini terlebih dahulu sebelum pemberian antibiotik spektrum luas sehingga apabila pemberian antibiotik spektrum luas dapat diganti dengan antibiotik yang spesifik untuk bakteri tersebut tanpa harus membuang waktu untuk menunggu kultur dan menunggu hasilnya lagi. Pada pasien ini digunakan analgetik Ketorolac yang merupakan analgesik kuat untuk menekan nyeri yang timbul. Akan tetapi pemilihan obat ini kuranglah tepat karena berpengaruh pada profil PT dan APTT yang memanjang sehingga mempengaruhi waktu perdarahan. Penggunaan antrain lebih ditumakan pada pasien ini apalagi pasien tersebut masih anak-anak. Antrain dapat diberikan dengan dosis 3 x 10-15 mg/kg BB.

27

DAFTAR PUSTAKA 1. Stoelting RK, Miller RD. Basics of ANESTESIA. Fifth edition .Kalamas AG, Chapter 23. Fluid Management. Churchill Livingstone, Elsevier.Philadelphia ; 2007: 347-52 2. Yao FS, Malhotra MD, Fontes ML. Anesthesiology : Problem Oriented Patient Management. Sixth Edition. Section III. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia ; 2008 :471-514 3. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. Fifth edition. Lippincot Williams & Wilkins. Philadelphia ; 2006 :1054-60
4. Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In: Townsend

CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston Textbook of Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2007.
5. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds. Oxford

Textbook of Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 2000


6. Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In:

Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed. Lippincott

28

Williams & Wilkins Publishers. 2001. 7. Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship of Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain Injury. Acta Neurochir, 2005; 95: 13-16. 8. Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical Strategies: Handbook of Anesthesiology. 2004-2005 ed. Current Clinical Strategies Publishing, USA. 2004. 9. Meier U, Grawe A, Konig A. The Importance of Major Extracranial Injuries by the Decompressive Craniectomy in Severe Head Injuries. Acta Neurochir, 2005; 95: 55-57. 10. Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 2008

29

Anda mungkin juga menyukai