Anda di halaman 1dari 2

PERANAN IR SOEKARNO DALAM POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA Peranan Ir.

Soekarno dalam politik luar negeri Indonesia mulai tampak pada masa Demokrasi Terpimpin, yang mana pada masa tersebut perkembangan politik Indonesia berpusat di tangan Soekarno selaku kepala negara Republik Indonesia dan juga berpusat pada Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) dan Partai Komunis Indonesia sebagai pendukung utamanya (Mustopo, 2005). Pada masa demokrasi Terpimpin, Indonesia memiliki peranan yang aktif dalam kancah internasional. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya: 1) pengiriman Pasukan Garuda II ke Kongo untuk bergabung dengan pasukan perdamaian PBB UNOC (United Nations Operation for Congo); 2) Presiden Soekarno menyampaikan pidatonya pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diselenggarakan pada tanggal 30 September 1960 dengan judul To Built The World A New yang mana dalam pidato tersebut Presiden Soekarno menjelaskan tentangPancasila, masalah Irian Barat, kolonialisme, peredaan Perang Dingin dan perbaikan organisasi PBB; 3) Indonesia memprakarsai berdirinya Gerakan Non-Blok (NonAligned); 4) Indonesia berhasil melaksanakan Asian Games IV di Jakarta pada tanggal 24 Agustus-4 September 1962. Sebenarnya pada masa Demokrasi Terpimpin, hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan negara-negara barat mengalami kerenggangan, mengingat Pemerintah Indonesia yang dinilai pasif dalam memperjuangkan pembebasan masalah Irian Barat. Oleh sebab itulah, Pemerintah Indonesia lebih cenderung menjalin hubungan baik dengan negara-negara blok Timur, seperti Uni Soviet dan Republik Rakyat China. Kedekatan hubungan antara Pemerintah Indonesia dengan kedua negara yang berhaluan komunisme tersebut, dilatarbelakangi oleh adanya pemberian bantuan kredit dari kedua negara tersebut guna membeli peralatan militer yang bertujuan agar Pemerintah Indonesia memiliki kekuatan angkatan perang yang sifatnya modern (Mustopo, 2005). Keadaan itu pulalah yang menyebabkan Indonesia mengondisikan adanya dua kubu kekuatan dunia, yakni: 1) Oldefo (Old Established Forces), yaitu kubu negara-negara kapitalis-imperialis, 2) Nefo (Nefo Emerging Force), yaitu kubu bangsa-bangsa tertindas yang progresif revolusioner menentang imperialisme dan neo-kolonialisme. Semenjak saat itu, Indonesia mulai bersikap konfrontatif terhadap negara-negara barat. Hal tersebut diwujudkan melalui sikap konfrontatif Indonesia terhadap Malaysia yang dianggap sebagai proyek nekolim (Neo Kolonialisme Imperialisme) dari Negara Inggris, sebab pada waktu itu Inggris sedang melakukan penjajahan di Malaysia. Indonesia menentang keras proyek Nekolim tersebut, karena proyek tersebut menginginkan pembentukan Federasi Malaysia dengan menggabungkan negaranegara bekas jajahan Inggris, yakni Singapura, Sabah dan Serawak serta Persatuan Tanah

Melayu menjadi negara-negara yang berada dalam satu bagian. Proyek Nekolim tersebut memang memberikan kekhawatiran tersendiri bagi Pemerintah Indonesia, sebab proyek tersebut dapat membahayakan kedudukan Nefo secara keseluruhan. Dalam rangka mengganyang Malaysia, Pemerintah Indonesia mengumumkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat) pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta, yang isinya sebagai berikut: 1) perhebat ketahanan Revolusi Indonesia, dan 2) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaysia, Singapura, Sabah, Serawak, Brunei, untuk membubarkan negara boneka Malaysia (Mustopo, 2005). Sebagai bentuk protes Pemerintah Indonesia dalam proyek Nekolim tersebut, Pemerintah Indonesia menyatakan keluar dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tanggal 7 Januari 1965 setelah Malaysia diterima menjadi anggota Dewan Keamanan. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia mengajukan dibentuknya Conefo (Conference of New Emerging Forces) yang dijadikan organisasi tandingan PBB. Ide Conefo secara kuat didukung oleh Beijing (RRC) dan bermarkas besar di Jakarta. Negara-negara komunis yang lain, seperti Korea Utara dan Vietnam tertarik untuk bergabung dengan kelompok baru tersebut, sehingga terbentuklah Poros Peking-Pyongyang-Hanoi-Jakarta atau yang lebih dikenal dengan sebutan Poros Jakarta-Peking. Sebenarnya kedekatan Pemerintah Indonesia dengan negara-negara komunis tersebut, mengimplementasikan kebijakan luar negeri Indonesia dalam persoalan Irian Barat dilakukan secara agresif, mengingat adanya bantuan militer yang diberikan oleh kedua negara komunis, yakni Republik Rakyat China dan Uni Soviet membuat kedudukan peralatan dan pertahanan militer Pemerintah Indonesia semakin kuat sehingga konfrontasi Irian Barat terjadi pada tanggal 15 Januari 1962 dengan sangat hebat (Mustopo, 2005). Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kesabaran Pemerintah Indonesia yang sudah habis dalam mengahadapi Belanda selaku pihak yang mengklaim wilayah Irian Barat, sebab meski Pemerintah Indonesia telah menempuh jalan damai untuk menyelesaikan masalah Irian Barat tersebut, tetapi pihak Belanda tetap saja tidak dapat memenuhi kesepakatan yang telah disetujui antara dirinya dengan Pemerintah Indonesia secara konsekuen. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia mengambil tindakan tegas dalam menghadapi Belanda atas wilayah Irian Barat dengan melakukan konfrontasi total, yakni dengan menggunakan kekuatan militer dalam menyerang pihak Belanda yang berada di wilayah Irian Barat. Mustopo, M. Habib. 2005. Sejarah 3 Indonesia. Jakarta: Ghalia Printing. Hlm 108-116.

Anda mungkin juga menyukai