Anda di halaman 1dari 9

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

2. Asas-asas Hukum Kewarisan


A. Asas Kematian.Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 KUH Perdata; Pewarisan
hanya berlangsung karena kematian. Dengan perpedoman pada ketentuan pasal di atas berarti
tidak akan ada proses pewarisan dari pewaris ke ahli waris kalau pewaris belum
meninggaldunia.Asas kematian dikenal dan berlaku pula dalam hukum kewarisan Islam, dan
hukum kewarisan menurut adat. MenurutMuhammad Daud Ali bahwa dalam hukum
kewarisan berdasarkan hukum Islam, juga berlaku ketentuan, Kewarisan ada kalauada yang
meninggal dunia, atau seperti yang diungkapkan Suhrawardi Dan Komis Simanjuntak bahwa,
Hukum kewarisanIslam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata
disebabkan adanya kematian. Dengan penjelasan di atas,dapat disimpulkan bahwa harta
seseorang tidak dapat dialihkan sebagai warisan manakala pemilik harta tersebut masih
hidup.Di dalam kewarisan adat asas ini juga dikenal sebagaimana yang dikemukakan
Muslimin Simar, Ketua Pengadilan Agama kelasI-B Watampone bahwa Asas kematian
merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta
seseorangsebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan. Akan tetapi,
meskipun asas ini dikenal luas oleh masyarakatadat, namun pada sebagian masyarakat telah
melakukan penyimpangan dari asas ini. dikatakan Muslimin Simar. Bahwa, dalammasyarakat
Bugis Bone meskipun asas ini dikenal lebih luas oleh masyarakatnya, namun pada beberapa
praktek masyarakatnyaasas kematian ini disimpangi, seperti pewaris lebih dahulu pembagian
harta bendanya kepada semua ahli warisnya sebelum iameninggal dunia, atau seringkali pula
terjadi bahwa harta warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris, baru dilakukan pembagian jauh
setelah pewaris meninggal dunia .Proses pewarisan seperti di atas ini, dapat dibenarkan dalam
hukum adat oleh karena, Menurut hukum adat, bahwa proses pewarisan dapat berlangsung
sejak di pewaris masih hidup sampai pewaris meninggal dunia, dan inilah yang membedakan
proses pewarisan dalam hukum meninggal dunia, dan inilah yang membedakan proses
pewarisan dalam hukum kewarisan Islam danKUH Perdata. Menurut Hilman dan
Hadikusuma (1999: 10) bahwa, umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktuharta
warisan dibagi dan kapan sebaiknya diadakan pembagian, dan begitu pula siapa yang menjadi
juru bagi tidak adaketentuannya.Baik dalam hukum kewarisan menurut KUH Perdata,
maupun menurut hukum Islam, bahwa asas kematian, juga tidak konsistenditerapkan. Dalam
hukum kewarisan menurut KUH Perdata, hibah atau pemberian pewaris semasa hidupnya
akandiperhitungkan, pada saat pembagian pewaris dan pemisahan harta peninggalan.Dalam
hukum kewarisan Islam, juga demikian dimana asas kematian tidak dipegang teguhnya lagi,
karena praktek masyarakatIslam sendiri dengan kebiasaan membagi harta bendanya kepada
seluruh ahli warisnya sebelum pewaris meninggal dunia. Caraseperti ini bukan hanya dilakukan
oleh orang-orang awam saja tetapi juga dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang
cukupluas penguasaannya dalam ilmu-ilmu keislaman. Munawir Sadzali dalam penelitian di
daerah-daerah yang masyarakatnya kuatkeislamannya, seperti di Silawesi Selatan dan
Kalimantan ditemukan praktek masyarakatnya, di mana pewaris lebih memilihmelakukan
pembagian harta dimasa hidupnya kepada anak-anaknya dengan bagian yang sama antara anak
laki-laki dan anak perempuan (Sarmadi, 1997: 268).Dalam Kompilasi Hukum Islam sendiri,
asas kematian tidak dijumpai ketentuannya secara jelas, kecuali yang dapat ditangkapmelalui
pada rumusan pengertian-pengertian; hukum kewarisan, pewaris, ahli waris dan harta
peninggalan (Pasal 171 padaKetentuan Umum KHI), akan tetapi rumusan-rumusan tersebut
tidak dapat dijadikan alasan bahwa terjadinya peralihan harta peninggalan semata-mata karena
adanya kematian.B. Asas Hubungan Darah dan Hubungan Perkawinan.Asas ini terdapat dalam
pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata. Asas hubungan daerah merupakan salah satu
asas yangesensial dalam setiap sistem Hukum Kewarisan, karena Iaktor hubungan darah dan
hubungan perkawinan menentukan kedekatanseseorang dengan pewaris, dan menentukan
tentang berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris

Dalam hubungan darah dan hubungan perkawinan berlaku dalam ketiga sistem hukum
kewarisan yang ada saat ini, meskipundalam sejarah perjalanannya, Iaktor perkawinan pernah
tidak diakui sebagai sebab adanya pewarisan, baik dalam hukum adatmaupun dalam hukum
kewarisan menurut KUH Perdata.Dalam hukum kewarisan menurut KUH Perdata disebutkan
oleh F. Tenker bahwa isteri tidak mewaris kecuali bila semuakeluarga sedarah sampai derajat
kedua belas sudah tidak ada, sedangkan dalam hukum kewarisan adat oleh
WirjonoProdjodikoro dan Hilman Hadikusuma menyebutkan bahwa, dalam hukum adat
pernah ada ketentuan bahwa Ibu sebagai janda bukan sebagai ahli waris dari ayah atau suami
yang meninggal akan tetapi dalam kenyataan tak mungkin lagi diingkarinya bahwa hubungan
perkawinan melahirkan hubungan lahir bathin antara seorang laki-laki sebagai suami dengan
seorang wanitasebagai isteri, dan di mana hubungan di antara keduanya demikian eratnya,
melebihi hubungan antara si waIat dengan saudara-saudara si waIat. (Prodjodikoro, 1983: 39-
40). Akibat dari kedekatan secara lahir bathin yang begitu erat, kemudian juga atasketentuan
hukum adat bahwa jika suami meninggal dunia, maka isteri harus bertindak sebagia pengasuh
dari anak-anaknya.Kalau si ibu menjalankan Iungsinya yang sedemikian itu dengan sungguh-
sungguh, maka berhak pula mengurusi harta anak-anaknyaC. Asas PerderajatanDalam KUH
Perdata asas Hukum Kewarisan ini didasarkan pada prinsip; de naaste in het bloed erI hetgoed.
Bila berpedoman pada prinsip di atas, maka yang berhak mewaris hanyalah keluarga yang
lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat
derajatnya dari pewaris akan menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih
jauhderajatnya.Berpedoman pada asas perderajatan berarti hukum kewarisan menurut KUH
Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan ahliwaris sebagaimana yang terdapat dalam
sistem hukum kewarisan Islam dan hukum adat. Dalam Hukum Kewarisan menurutHukum
Adat, anak, Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli waris yang lebih dekat dari pewaris melebihi
dari paman/bibi,kakek/nenek, saudara-saudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam,
bahwa penentuan kelompok keutamaan sangat jelas,misalnya anak lebih utama dari cucu,
ayah lebih utama (lebih dekat) kepada anak dari pada saudara: ayah lebih utama kepadaanak
dari pada kakek. Bahkan kelompok keutamaan dalam hukum kewarisan Islam menentukan
juga kuatnya hubungankekerabatan, misalnya saudara kandung lebih utama dari pada saudara
se ayah atau se ibu, sebab saudara kandung mempunyaidua garis penghubung (dari ayah dan
dari ibu), sedangkan saudara sebapak atau saudara seibu hanya dihubungkan oleh satu
garis penghubung yaitu dari ayah atau dari ibu.Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui
bahwa ketiga sistem Hukum Kewarisan sama-sama menempatkan anak, suami/isteri,dan orang
tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu anak
sebagai ahli waris derajatkeutamaan pertama dalam garis ke bawah, sedang orang tua
(Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam derajat keutamaan pertamadalam garis ke atas, melibih
derajat ahli waris lainnya seperti nenek, paman/bibi dan saudara.Di dalam Hukum Kewarisan
Islam dan hukum kewarisan adat tidak demikian halnya, karena anak-anak pewaris dapat
berbagaiwaris dengan Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan tersebut
mengenal juga golongan ahli waris yangdapat menutup (menghijab) ahli waris tertentu.D. Asas
Pergantian Tempat (Plaatsvervulling).Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas
ketentuan yang mengatakan bahwa yang berhak menerima warisan haruslahahli waris yang
masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini
seolah-olahmenyalahi ketentuan bahwa keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup
keluarga yang derajatnya lebih jauh, padahalsesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi
atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan secaraketat, maka
dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya
lebih dahulu meninggaldunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan
yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli waris,hanya karena orang tuanya meninggal
dunia lebih dahulu.Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum kewarisan Islam, menurut
sebagian pendapat, seperti pendapat WirjonoProdjodikoro dan pendapat dari pakar hukum
Islam, antara lain menurut Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pergantian dalamhukum
Islam tidak dikenal. Berbeda dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum
kewarisan Islam mengenal asas

pergantian tempat yang disebut dengan mawaly. Menurut Hazairin bahwa ahli waris
pengganti (mawaly) didasarkan pada al-Qur'an pada Surah an-Nisa (IV) ayat 33, yang
artinya: Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib
kerabat, Kami (Allah) jadikan pewaris-pewarisnya. Pendapat Hazairin di atas, kemudian
diikuti oleh Sajuti Thalib(Ramulyo, 199: 129). Tampaknya juga asas pergantian tempat ini
menjadi salah satu asas penting dalam Hukum Kewarisanmenurut Kompolasi Hukum Islam
(KHI) sebagaimana yang terdapat ketentuannya dalam Pasal 185 KHI (INPRES Nomor
1Tahun 1991).Pasal 185 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka
kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya,kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.
(2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebih dari bagian ahli warisyang sederajat
dengan yang diganti.Bila asas pergantian tempat dilaksanakan akan mencermikan nilai keadilan
dan penegakan hak-hak yang bersiIat lebih manusiawiterhadap seluruh penyelesaian masalah
waris mewaris di antara sesama ahli waris, termasuk masalah kewarisan cucu yangditinggal
mati oleh orang tuanya.E. Asas Individualsesuai lengan namanya, maka asas ini menentukan
tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara individu-individu (perseorangan) bukan kelompok
ahli waris dan bukan kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung pengertian
bahwa harta warisandapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara
perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruhharta warisan dinyatakan dalam nilai dan
setiap ahli waris berhak menurut kadar begiannya tanpa harus terikat dengan ahli warislainnya.
Konsekwensi dari ketentuan ini adalah, harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan
kepada ahli waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan
dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salahsatu cara memperoleh hak milik
adalah melalui pewaris.Asas individual sangat popular pula dalam sistem hukum kewarisan
Islam dan sistem hukum kewarisan adat.Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti,
Setiap ahli waris secara individu berhak atas bagian yang didapatnyatanpa terikat kepada ahil
waris lainnya. Akan tetapi dalam hukum kewarisan adat, selain dikenal sistem pewaris
individual, jugadikenal adanya sistem kolektiI, dan mayorat namun dari ketiga macam sistem
pewaris tersebut, maka sistem individual yanglebih umum berlaku dalam masyarakat, terutama
dalam masyarakat adat parental yang tersebar hampir diseluruh daerah diIndonesia.F. Asas
Bilateral.Asas ini berarti seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan tetapi juga
mewaris menurut garis ibu, demikian jugadari saudara laki-laki maupun saudara perempuan.
Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak laki-laki dan perempuan dalam
hal mewaris, bahkan dengan asas bilateral ini menetapkan juga suami isteri untuk saling
mewaris.Asas Bilateral sama dengan asas individu, selain berlaku dalam Hukum Kewarisan
menurut KUH Perdata, juga berlaku dalamHukum Kewarisan menurut Hukum Islam, dan
Hukum Adat yakni dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental.G. Asas
Segala Hak dan Kewajiban Pewaris Beralih Kepada Ahli Waris.Yang dimaksudkan segala hak
dan kewajiban pewaris dalam asas ini adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta
kekayaan.Dalam Hukum Kewarisan menurut KUH Perdata, asas ini berhubungan erat dengan
hak saisine, sedang hak saisine sendiri bersumber dari pemeo hukum Perancis yang berbunyi:
Le mort saisit Le viI, yang maksudnya bahwa bagi yang meninggal dunia berpegang pada yang
masih hidup. Dengan berpedoman pada prinsip hukum ini, berarti apabila seseorang
meninggal dunia,maka segala harta kekayaannya, baik aktiva maupun pasiva akan berpindah
kepada ahli warisnya.Berpedoman pada prinsip di atas, maka menurut Wirjono Prodjodikoro.
layak kalau BW mengenal tiga macam sikap dari ahliwaris terhadap harta warisan, dan dapat
memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu : 1). Menerima seluruhnya menurut hakikatyang
tersebut dalam BW (hak dan kewajiban); 2). Menerima dengan syarat yaitu, hutang-hutangnya;
dan 3). Menolak menerimaharta warisan. Dalam hukum adat berlaku ketentuan bahwa, harta
kekayaan sebagai harta keluarga/kerabat diperuntukkansebagai dasar hidup materil dari
generasi ke generasi berikutnya (Sudijat, 1968: 158), kemudian terdapat juga ketentuan
yangmenyebutkan bahwa, utang-utang yang ada dan timbul pada dan karena kematian si
pewaris juga merupakan bagian harta peninggalan, meskipun dalam arti negatiI.

Dalam ketentuan undang-undang, para ahli waris yang telah menerima warisan hanya
diwajibkan memukul beban (utang-utang,kewajiban-kewajiban) dari pewaris seimbang dengan
yang diterima dari warisan. Dalam Pasal 1100 KUH Perdata ditegaskan bahwa, Para waris
yang telah menerima suatu warisan diwajibkan dalam hal pembayaran utang, hibah wasiat dan
lain-lain beban, memikul bagian yang seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari
warisan. Kemudian dengan kewajibanmelakukan pembayaran yang dipukul secara
perseorangan akan disesuaikan dengan jumlah besar bagiannya dengan tetap tidak mengurangi
hak-hak para berpiutang, termasuk para berpiutang hipotik atas seluruh harta peninggalan
pewaris selama belumterbagi. (Pasal 1101 KUH Perdata). Ketentuan di atas ini bila dicermati,
akan sejalan dengan ketentuan pada Pasal 175 ayat (2)KHI seperti yang sudah
disebutkan.Menurut H. Muhammad Daud Ali (2000: 129) bahwa, dalam diri seseorang harus
senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus
ditunaikan.Berdasarkan dengan berbagai penjelasan dan ketentuan yang telah dikemukakan di
atas tampaknya, bahwa penjelasan danketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah
penerapan asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris,namun siIatnya
terbatas, artinya harta peninggalan pewaris yang bersiIat aktiva secara otomatis berpindah dari
pewaris kepadaahli waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa pasiva (utang-utang,
kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hak-hak yang diperoleh ahli waris agar
melahirkan prinsip keadilan yang seimbang. Seimbang dengan hak yang sepantasnya
diterimadari barang aktiva dengan kewajiban yang dipikulnya, berupa utang. Akan tetapi kalau
ada ahli waris yang bersediamembayarkan utang-utang pewaris melalui harga pribadi ahli
waris, maka itu tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatanterpuji, dan cermin dari akhlak
yang baik.Melalui penjelasan yang ada itu, maka asas peralihan segala hak dan kewajiban
pewaris kepada ahli waris menurut hukumkewarisan KUH Perdata dalam prakteknya sama
atau sejalan dengan asas yang sama yang terdapat dalam hukum kewarisanIslam dan Adat.
3
. Kesimpulan

1.

Kemajemukan sistem hukum Kewarisan pada masyarakat Indonesia adalah
suatukenyataan.
2.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah salah satu sumber hukum positiI di Indonesia
beberapa asas hukumkewarisannya dalam garis besarnya memiliki kesamaan prinsip dengan
asas yang sama dalam hukum kewarisan Islam,Hukum Kewarisan Adat, bahkan diantara asas-
asasnya sendiri dapat saling melengkapi dan menyempurnakan.3.

Diantara asas hukum kewarisan menurut KUH Perdata yang sama dengan asas kewarisan
menurut Hukum Islam danAdat, meliputi: asas bilateral dan asas segala hak dan kewajiban
pewaris beralih kepada ahli waris.4.

Asas hukum kewarisan KUH Perdata, Hukum Islam and Hukum Adat mengandung nilai-nilai
persamaan,keseimbangan dan keadilan serta sejalan dengan HAM
D
AFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. H. 1992. Kompilasi Hukum Islam. Cet. I. Jakarta: Akademika Pressindo.Ali,
Mohammad Daud. 2000. Hukum Islam. Cet. VIII. Jakarta: PT. Raja GraIindo PustakaBadan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) 1983. Hasil-Hasl Pertemuan Ilmiah (Simposium,
Seminar, Lokakarya 1979-1983).JakartaHazairin. 1982. Hukum Kewarisan Bilateral menurut
Quran dan Hadith. Cet. VI. Jakarta: TintamasHadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Hukum
Adat Indonesia. Cet. I. Bandung: Mandar Maju.INPRES No. 1 Tahun 1991 Tentang
KHI Nuzul, A. 2002. Tinjauan Atas Beberapa Asas Hukum Kewarisan menurut KUH Perdata
di Dalam Kerangka PembentukanHukum Kewarisan Nasional (Tesis). Yogyakarta
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
ASAS PRINSIP KEWARISAN ISLAM

TUJUAN
O Menunaikan perintah al-Qur`an
O Memberikan kamaslahatan bagi kehidupan keluarga.
O Melangsungkan keutuhan kehidupan keluarga
O Melakukan proses peralihan dan perolehan hak secara benar dan bertanggung jawab
O Menghindarkan konIlik keluarga.
O Memperkuat ukhuwwah
NILAI

NILAI HUKUM MKEWARISAN ISLAM ADALAH ILAHIYAH` ATAU TAUHID/ NILAI
INI MENGANDUNG ABSTRAK DAN UNIVERSAL, YAITU SEGALA TINDAKAN
MANUSIA DAN SEGALA BENTUK OBJEK ATAU HARTA YANG ADA DI DUNIA INI,
SEMUANYA DALAM KENDALI/KEKUASAAN ALLAH SWT. KARENA NILAI HARUS
PULA TERIMPLENTASI DLM SISTEM KEWARISAN ISLAM KE DALAM
ASAS/PRINSIP.

PRINSIP KEWARISAN ISLAM

1. PRINSIP IJBARI :
Peralihan harta benda seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih
hidup berlaku dengan sendirinya. Pelaksanaannya atas kehendak Allah bukan karena kehendak
pewaris dan ahli warisnya. Pelaksanaannya juga tidak memberatkan ahli warisnya.

Andaikata harta warisan tidak mencukupi untuk menutupi sangkutannya, maka tidak ada
kewajiban ahliwaris untuk menutupi utang-utangnya itu, cukup dibayarkan sebatas harta benda
yang ditinggalkannya. Kalaupun ahli waris akan melunasi hutang-hutangnya bukanlah karena
perintah hukum, tetapi hanya karena atas dasar etika dan moral mulia dari Ahli Warisnya.

Berbeda dengan KUHP, peralihan harta dari pewaris bergantung pada kehendak AW yang
bersangkutan. AW dimungkinkan bisa menolak menerima kewarisan dan menolak pula segala
konsekuensinya. Demikian pula terhadap wasiat, hanya diperkenankan maksimal 1/3 dari seluruh
hartanya.

2. PRINSIP INDIVIDUAL

Warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahliwarisnya untuk dimiliki secara perorangan. AW
berhak atas bagian dari warisan tanpa terikat dengan ahli waris lainnya. Dasarnya Surat an-Nisa :
7, bahwa setiap ahli waris laki-laki dan perempuan berhak menerima warisan dari orang tua
maupun kerabatnya.

Makna berhak atas warisan tidak berarti warisan harus dibagi-bagikan apapun bentuknya, tetapi
bisa saja tidak dibagi-bagikan sepanjang itu atas kehendak bersama para ahliwarisnya, misalnya
ahli waris tidak berada di tempat, atau masih anak-anak.

Tertundanya pembagian warisan itu tidak menghilangkan hak masing-masing ahli waris sesuai
bagiannya masing-masing. Yang terlarang dalam al-Quran (an-Nisa ayat 2) adalah
mencampurkan harta anak yatim dengan harta yang tidak baik atau menukarnya dengan harta
yang tidak seimbang, dan larangan memakan harta anak yatim bersama hartanya.

Prinsip individual ini terdapat perbedaan mendasar dengan sistem kew adat yang mengenal
kewarisan kolektiI yang tidak dibagi kepada seluruh AW melainkan dimiliki bersama, yaitu harta
pusaka, tanah ulayat.

3. PRINSIP BILATERAL

Kedudukan yang sama antara antara AW laki-laki dan perempuan keduanya dapat menerima
warisan baik dari garis kekerabatan laki-laki maupun dari gariskekerabatan perempuan. Jenis
kelamin bukanlah halangan kewarisan dalam waris Islam. Dasarnya dalam al-Qur`an surat an-
Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176m khusunya pada ayat 7. Dapat ditegaskan bahwa prinsip bilateral
berlaku baik garis ke atas maupun ke samping.

4. PRINSIP KEWARISAN HANYA KARENA KEMATIAN

Peralihan harta warisan seseorang kepada yang lain dengan sebutan kewarisan, berlaku setelah
yang pemiliknya meninggal dunia. Tidak ada pewarisan sepanjang masih hidup. Segala bentuk
peralihan harta pemilik semasa masih hidup tidak termasuk dalam hukum kewarisan Islam, baik
secara langsung maupun tidak langsung.

Waris Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan hanyalah melalui kematian. Dalam KUHP
dikenal kewarisan secara ab intestato yang tidak juga mengenal kewarisan secara wasiat yg
dibuat pewaris se masa masih hidup. Hal relevan dengan prinsip ijbari dimana seseorang dapat
bertindak bebas atas harta kekayaannya semasa masih hidup, tidak lagi setelah meninggal dunia.

Kata warasa menunjukkan bahwa proses kewarisan berlaku setelah kematian (Ii`il maadhi).
Prinsip kematian ini agak berbeda dalam kew adat, kewarisan dapat dimulai sejak pewaris masih
hidup

ProIessor Soepomo mengaskan bahwa : Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang
mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang yg tidak
berwujud (immateriele goeden) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada keturunannya.
Proses itu telah dimulai dalam waktu orang tua masih hidup.

Dalam kewarisan adat dengan adanya proses mencar atau mentas dari seorang anak terhadap
orang tuanya untuk meniti kehidupan mandiri, biasanya orang tua memberkalinya dengan harta
benda milik orang tuanya.
Dalam adat jawa waris adalah mengoperkan harta benda keluarga kepada keturunan baik kepada
laki-laki maupun perempuan.

SEBAB-SEBAB KEWARISAN

1. Karena hubungan kekeluargaan
2. Karena perkawinan
3. Karena Wala` (memerdekakan hamba, konteks tempo dulu).

RUKUN KEWARISAN ISLAM

1. Pewaris (muwarist)
2. Ahli Waris
3. Warisan (irst, mirats, maurust, turats, dan tirkah)

SYARAT-SYARAT KEWARISAN ISLAM

1. Meninggal dunianya pewaris
2. Hidupnya ahli waris
3. Mengetahui status kewarisan

PENGHALANG KEWARISAN

1. Rencana Pembunuhan

HR Ahmad : Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tdk dapat mewarisinya,
walaupun si korban tidak memiliki AW selain dirinya, dan walaupun korban itu bapaknya
maupun anaknya. Maka bagi pembunuh tidak berhak mewarisinya. Lain halnya kaum khawarij
bukanlah halangan kewarisan.

Kaidah Iikih :
Barang siapa yang ingin mempercepat mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia diberi
sanksi tidak boleh mendapatkannya. Pembunuhan tanpa kesengajaan, ulama berbeda pandangan,
Imam SyaIii menegaskan segala jenis pembunuhan penghalang kewarisan karena keumuman
hadis itu.

Imam HanaIi : pembunuhan langsung atau sengaja penghalang kewarisan sedangkan
pembunuhan tidak langsung atau tanpa kesengajaan tidak menghalangi kewarisan.

2. Berlainan agama
Hadis : Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kaIir, dan orang kaIir tidak dapat mewarisi
harta orang Islam (muttaIaq alaih). Perbedaan mazhab bukanlah menjadi halangan kewarisan.

3. Perbudakan

Hamba tidak memiliki kecakapan bertindak, karenanya ia pun bagian harta kekayaan yang dapat
diwariskan.
Surat an-Nahl ayat 75 : Allah telah membuat perumpamaan, yakni seorang budak yang tidak
dapat bertindak terhadap sesuatu apapun...`
Saat perbudakan tidak aktual lagi dibicarakan karena zaman telah berubah.

4. Berlainan negara :

Faktor ini meskipun para ulama Iikih terdahulu sepakat sebagai penghalang kewarisan relevan
ketika itu krn sering terjadi peperangan antar suku/wilayah, dan jauhnya jarak tempuh dengan
alat sederhana.
Saat ini perlu reinterpretasi ulang karena halangan-halangan yang disebutkan itu tidak aktual lagi
saat ini, hubungan antgar negara baik, teknolgi sudah canggih, islam juga universal.

Anda mungkin juga menyukai