Anda di halaman 1dari 4

1

I. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman perkebunan semusim yang mempunyai sifat sendiri, sebab di dalamnya terdapat zat gula. Tebu ditanam untuk diambil batangnya sebagai sebagai bahan baku gula. Tanaman ini berasal dari daerah sub-tropis dan dapat tumbuh di setiap jenis tanah, dari dataran rendah hingga dataran tinggi pada ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut (Malau, 2009). Pada tahun 2010, luas perkebunan tebu di Indonesia sebesar 446.150 Ha sedangkan di Lampung luas perkebunan tebu sebesar 123.932 Ha (Kementerian Pertanian Direktorat Perkebunan, 2010). Selama ini pemanfaatan tebu masih terbatas pada industri pembuatan gula. Tebu dapat dipanen dengan cara manual atau menggunakan mesin-mesin pemotong tebu. Daun kemudian dipisahkan dari batang tebu, kemudian baru dibawa kepabrik untuk diproses menjadi gula (Berita Iptek, 2010).

Tahapan-tahapan dalam proses pembuatan gula dimulai dari penanaman tebu, proses ekstraksi, pembersihan kotoran, penguapan, kritalisasi, afinasi, karbonasi, penghilangan warna, dan sampai proses pengepakan sehingga sampai ke tangan

konsumen (Berita Iptek, 2010). Pada proses ekstraksi, hasil yang diperoleh yaitu gula berupa sukrosa sebanyak 5%, ampas tebu (bagas) sebanyak 45%, sisanya berupa tetes (molasses) dan air (Wikipedia, 2011).

Jumlah bagas sangat melimpah namun selama ini pemanfaatannya masih sangat terbatas yaitu untuk makanan ternak, bahan baku pembuatan pupuk, pulp, particle board, dan untuk bahan bakar boiler di pabrik gula. Di samping terbatas, nilai ekonomi yang diperoleh juga belum tinggi. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengembangan proses teknologi sehingga terjadi diversifikasi pemanfaatan limbah pertanian yang ada. Salah satu upaya pemanfaatan bagas yang dapat meningkatkan nilai ekonominya adalah diolah menjadi produk kimia pentosan, karena kandungan pentosan dalam ampas tebu cukup besar yaitu sekitar 26,5 % (Hikmah, 2008). Pentosan dapat digunakan sebagai bahan kosmetik, kertas, bahan baku furfural, dxylose, tinta printer, dan dalam proses pembuatan tekstil (Oliver, 1975). Melihat pentingnya pentosan bagi dunia industri, penelitian ini bertujuan untuk mengambil pentosan dari bagas dengan cara ekstraksi padat-cair (leaching). Ekstraksi padat-cair adalah suatu proses pemisahan zat cair dari bahan padat menggunakan pelarut. Mekanisme prosesnya dimulai dengan perpindahan solven dari larutan ke permukaan padatan (adsorpsi), diikuti dengan difusi solven ke dalam solid dan pelarutan solut oleh solven, kemudian difusi ikatan solut-solven ke permukaan solid, dan desorpsi campuran solut-solven dari permukaan solid ke dalam badan pelarut (Treyball, 1980).

Pada penelitian ekstraksi minyak temulawak dengan menggunakan pelarut etanol yang dilakukan oleh Distantina (2005), disebutkan bahwa pada proses ekstraksi padat-cair, terjadi difusi minyak dari dalam rimpang temulawak ke fase cair yaitu pelarut dan akan tercapai keadaan seimbang dimana pada keadaan ini minyak dalam temulawak tidak dapat mendifusi lagi ke pelarut. Hal ini juga terjadi dalam proses pengambilan pentosan dari dalam ampas tebu (bagas). Parameter penting dalam ekstraksi padat cair adalah koefisien transfer massa dan tetapan kesetimbangan. Tetapan kesetimbangan menunjukkan rasio minimum antara pelarut dengan padatan yang diekstraksi (Perry, 1984). Data-data kesetimbangan fase padat-cair pada ekstraksi pentosan belum tersedia, sementara itu data kesetimbangan dibutuhkan dalam perancangan alat ekstraktor. Data-data ini dapat diperoleh dengan menentukan model kesetimbangan proses ekstraksi. Distantina (2005) menggunakan tiga model kesetimbangan dalam penelitian tentang ekstraksi minyak temulawak menggunakan pelarut etanol, yaitu model Henry, Frueunlich dan Langmuir, dan model yang paling mendekati adalah model Langmuir. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan agar didapt data-data kesetimbangan dengan menentukan model kesetimbangan yang sesuai dalam proses ekstraksi pentosan dari ampas tebu ini. 1.2 Perumusan Masalah Selama ini pentosan dari ampas tebu dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan furfural. Dalam proses tersebut, pentosan langsung dihidrolisis tanpa mengalami proses ekstraksi terlebih dahulu, sehingga dibutuhkan banyak pelarut dan proses

lanjutan untuk mengetahui kadar pentosannya. Dalam penelitian ini, akan dilakukan ekstraksi pentosan dari ampas tebu (bagas), agar lebih mudah dalam pemanfaatannya. Proses ekstraksi ini membutuhkan data-data kesetimbangan untuk perancangan alat ekstraktor. Data-data tersebut dapat diperoleh dengan menentukan model kesetimbangan yang sesuai untuk proses ekstraksi ini. I.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini yaitu mencari model kesetimbangan yang sesuai untuk mendapatkan data-data kesetimbangan dalam ekstraksi pentosan dari ampas tebu (bagas).

1.4 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini yaitu model kesetimbangan yang paling sesuai untuk ekstraksi pentosan dari ampas tebu (bagas) menggunakan pelarut asam sulfat adalah model Langmuir. 1.5 Ruang Lingkup Variabel yang digunakan dalam penelitian ini : 1. Perbandingan berat antara ampas tebu dengan pelarut (natrium hidroksida) yaitu 1:30, 1:35, 1:40, 1:45 dan 1:50 (gr/gr) 2. Suhu ekstraksi yaitu 30oC dan 40oC.

Anda mungkin juga menyukai