Anda di halaman 1dari 3

Nama : Ela Bintang Bahari Kelas No.

:XA : 12

MALAM SERIBU BULAN


Ujang, lekas panggil Pak Mantri Suntik! Lengking suara neneknya mendenging dikuping Ujang. Ia mencari-cari rintih suara ibunya dari bilik yang sama. Ujang sedang berusaha secepat kilat melepaskan seragamnya. Di lemparnya kemeja seragam putih kusam itu kepojok bilik. Dengan telanjang dada, tubuh kecilnya melesat kerumah Pak Mantri Suntik, hujan yang turun tidak dihiraukannya. Untuk smapai kerumah mantri suntik, bocah kecil itu harus berlari menyusuri jalan darurat dari batang kelapa yang disusun sepanjang sungai kecil. Sambil terus berlari, dia juga membayangkan tempat yang menyeramkan, yaitu 2 kuburan tua. Sebagai anak yang lahir di kampung itu, Ujang percaya bahwa waktu hujan panas yan turun sekarang, banyak makhluk jahat yang berkeliaran mencari mangsa. Salah satunya adalah hantu hujan panas. Kalau bukan karena ibu,aku takmau disuruh nenek, katanya sambil menguatkan hati. Dia memetik setangkai rumput dan diselipkan ke telinganya, yang konon begitulah cara untuk menangkal hantu hujan panas. Tetapi, kuburan yang dilihatnya ternyata lebih menyeramkan dari pada hantu hujan panas yang belum ernah dilihatnya. Ibunya sedang terbaring sakit. Dan Ujang menyesal karena belum sempat melihat keadaan ibunya. Karena saat dia pulang dari sekolah sudah dihadang neneknya didepan pintu dengan raut wajah yang panik. Bagaimana kalau ibu sampai... ah! ditepis pikiran buruknya dengan memeperceat langkah. Sekarang Ujang sampai di jalan betanah belumpur dan licin. Dia pasti bisa menolong ibunya, ibuku tidak akan menyusul ayah yang baru sja meninggal karena sakit batuknya. Tubuh ayah hanya tinggal kulit dan tulangnya saja ketika dikuburkan. Bahkan dokterpun tidak bisa memberikan suntikan yang dapat menyelamatkan nyawanya. Pikiran itu membuat Ujang menggigil. Semasa sehatnya, ayah Ujang membukan warung bubur nasi di pasar. Tapi lamakelamaan warungnya tidak pernah di datangi orang lagi karena saat melayani pelanggan, ayahnya tidak berhenti batuk. Ujang mendengar orang kampung mempergunjingkan ayahnya itu terkena TBC. Akhirnya, ayahnya menutup warungnya sejak kabar itu menyebar kemanamana. Sejak saat itu, ayah bertambah sakit dan menolak minum obat. Sampai akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ujang ikut memakamkan ayahnya, dan ia masih ingat bagian yang palig mengerikan adalah saat liang lahat ditutup dan diratakan dengan tanah, dia tidak bisa membayangkan kalau yang berada di dalamnya adanya ibunya. Pak Mantri, ibuku sakit. Nenek suruh datang, teriaknya didepan pintu rumah kayu pak Mantri.

Oh kau, Ujang. Pak Mantri sedang sembahyang. Nanti ku beritahu, kata istri mantri suntik itu dari jendela. Setelah mendapat jawaban itu, ujang berbalik. Sekarang ia dapat mengatur nafas sambil berjalan. Hari itu adalah hari ke-16 bulan puasa, mengingat dia tengah berpuasa terasa kering kerongkongannya tak tertahankan. Sambil menyusuri jalan, pikirannya selalu tertuju pada ibu. Ah..rasanya tidak ada yang lebih baik daripada ibuku didunia ini. Kalau dia mati, aku akan lebih baik mati juga. Aku ingin menemani ibu terus. Tiba-tiba Ujang ingat ucapan guru agamnya disekolanya, bahwa pahala puasa penuh anak seusianya, pahalanya akan ditangguk ibunya. Dan dia menyesal telah membatalkan puasanya. Apalagi tidak sampai setetes air yang membasahi mulutnya, telah membatalkan pahala untuk ibunya. Ia lalu berjanji, besok akan bertahan puasa sehari penuh. Kalau malam ini tidak ada perubahan, besok Kak Aini harus dibawa ke puskesmas. Bayinya harus dilahirkan dengan pertolongan dokter, begitu yang didengar Ujang ketika menguping percakapan Pak Mantri Suntik dengan neneknya. Tapi Ujang sendiri tahu kalau dokter yang hebat itu tinggalnya jauh, sedangkan mereka tidak punya kendaraan. Ada kejadian yang diingat oleh Ujang yang membuatnya tambah cemas yaitu, seorang tetangganya meniggal saat melahirkan, mengalami kejangkejang dijalan sebelum sampai tempat yang dituju. Sebenarnya ada cara yang paling cepat menuju puskesmas, yakni naik mobil. Tapi hanya ada satu orang yang memiliki mobil di kampung itu, yaitu Pak Haji Maulana, orang terkaya di kampung. Malam itu ketika neneknya turun ke sungai dan kemudian sembahyang maghrib di surau, Ujang menyusup ke kamar ibunya. Dan melihat dua adik perempuanya sudah tertidur pulas di sebelah ibunya. Kalau saja aku bisa membantu ibu, kalau saja aku dapat membelikan susu, atau obat tambahan darah seperti yang aku dengar dari televisi milik Pak Kepala Kampung itu.apa yang dapat aku lakukan untuk menolong ibu? Untuk membawa ibu ke dokter? Tapi mungkin saja Pak Haji Maulana mau membantu. Pikiran itu menumbuhkan harapan di hati Ujang. Ketika melihat ibunya sudah tidur, Ujang lalu keluar dan pergi kesurau. Pak Haji selalu ada disana, dilihatnya surau sudah penuh orang yang akan sembahyang tarawih. Ujang mulai mendengar lamat-lamat suara Pak Haji sedang berkhutbah tentang malam yang lebih indah dari seribu bulan, yaitu malam turunnya Al-Quran. Ujang mendengar cerita ini berkali-kali setiap tahun, setiap malam ketujuh belas bulan puasa. Aku belum pernah bicara dengan Pak Haji, mungkin beliau tak mengenalku. Aku tak punya uang untuk menyewa mobil pak Haji, nenekpun tak punya. Tetapi siapa tahu Pak Haji bersedia meminjamkan mobilnya besok pagi untuk membawa ibu ke dokter, siapa tahu.., Ujang terus mengumpulkan keberaniannya.

Aku harus menunggu sampai selesai sholat tarawih, baru bicara dengan Pak Haji, begitu pikirnya.Lalu ia duduk di depan , namun usai sholat Ujang tak berani menghampiri. Ia berniat mencegatnya sepulang dari surau nanti. Telah diturunkan Al-Quran pada malam kemuliaan. Tahukah kamu apa malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan lebih baik daripada seribu bulan... Ujang mendengarkan Pak Haji mengutip tafsir Al-Quran. Pada malam itu malaikat dan ... Ia tak dapat duduk dengan tenang, namun dipaksanya untuk mendngarkan seluruh khutbah pak Haji malam itu. Mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan Pak Haji timbul bayang-bayang ibunya yang pucat dan tergolek lemas diatas tempat tidur. Sontak timbul keraguan dlam hatinya, beranikah aku menghadap Pak Haji? Apakah beliau mau meminjamkan mobilnya? Pak Haji sampai pada khutbahnya yang menyebutkan bila seseorang beramal baik selama bulan puasa maka malaikat datang lalu memberikan berkah untuknya. Ujang mencoba mengusir kegelisahannya dengan menegakan tubuh dan merapatkan kedua tangannya ke dada. Diucapnya sebuah doa, kalau malam ini lebih indah dari seribu bulan akan terulang dan para malaikat turun ke bumi, aku ingin mereka menerangi hati Pak Haji agar mau meminjamkan mobilnya buat ibuku yang sedang sakit. Aku memang bukan anak yang alim. Aku Ujang, umur tujuh setengah tahun, puasaku kali ini banyak celahnnya karena kadang-kadang batal puasa ditengah hari. Tetapi bukankah kata ibu, Tuhan itu baik sekali? Semoga para malaikat memberkahi Pak Haji sehingga berbaik hati padaku. Semoga Pak Haji masuk surga karenanya. Amin.. Malam itu bulan terang di pertengahan bulan Ramadhan menggantung dilangit. Sebuah surau kecil di dusun terpencil, di ujung pulau, penuh dengan orang-orang yang terkantuk-kantuk menyimak khutbah Pak Haji. Di antara mereka ada seorang bocah duduk terpungkur dengan sehelai kain sarung lusuh melilit lehernya. Sebuah doa bergetar dalam dadanya, tolong ibu saya, Tuhan yang baik... pada malam yang lebih indah dari seribu bulan ini.

Anda mungkin juga menyukai