BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang sering dilanda
bencana, terutama bencana gempa bumi, tsunami, banjir, dan letusan gunung
berapi. Wilayah Indonesia dikepung oleh lempeng Eurasia, lempeng Indo-
Australia, dan lempeng PasiIik. Sewaktu-waktu lempeng-lempeng ini akan
bergeser dan patah sehingga menimbulkan gempa bumi. Selanjutnya jika terjadi
tumbukan antar lempeng tektonik maka akibatnya akan terjadi tsunami.
Selain dikepung tiga lempeng tektonik dunia, Indonesia juga merupakan
jalur The Pasicif Ring of Fire (Cincin Api PasiIik), yang merupakan jalur
rangkaian gunung api aktiI di dunia. Cincin api PasiIik membentang diantara
subduksi maupun pemisahan lempeng PasiIik dengan lempeng Indo-Australia,
lempeng Eurasia, lempeng Amerika Utara dan lempeng Nazca yang bertabrakan
dengan lempeng Amerika Selatan. Cincin api ini membentang dari mulai pantai
barat Amerika Selatan, berlanjut ke pantai barat Amerika Utara, melingkar ke
Kanada, semenanjung Kamsatschka, Jepang, Indonesia, Selandia baru dan
kepulauan di PasiIik Selatan. Indonesia memiliki gunung berapi dengan jumlah
kurang lebih 240 buah, di mana hampir 70 di antaranya masih aktiI. Zona
kegempaan dan gunung api aktiI Circum Pasifik sangat terkenal, karena setiap
kali terjadi gempa dan tsunami selalu menelan korban jiwa manusia sangat
banyak.
1
Berikut gambar yang menunjukkan kondisi geograIis Indonesia yang
berada pada jalur cincin api pasiIik.
1
Indonesia Berada di Lingkaran Api PasiIik (diakses melalui www.majalah.tempointeraktiI.com)
diakses tanggal 1 Iebruari, 2011
2
ambar 1.1
Peta Cincin Api Pasifik
Wilayah-wilayah tersebut selayaknya merespons undang-undang
penanggulangan bencana dengan bentuk mengeluarkan peraturan daerah terkait
penanggulangan bencana di Kabupaten dan Kota. Salah satu diantara wilayah
yang memiliki potensi bencana adalah Kota Padang. Melihat potensi bencana ini
pemerintah Kota Padang telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Padang
Nomor 0 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana, Peraturan Daerah Kota
Padang nomor 18 tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang, dan Peraturan Walikota
Padang nomor 8 tahun 2008 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Padang.
4
bid. hal. 9
Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional nomor 11 tahun 2008 tentang
Pedoman Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana
21
Perda Kota Padang nomor 0 tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 49
14
Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat merupakan salah satu
program pemerintah dalam kegiatan rehabilitasi pasca bencana gempa bumi 0
September 2009. Kegiatan ini diatur dalam perda Kota Padang Nomor 0 Tahun
2008 tentang Penanggulangan Bencana pasal 49. Pemberian bantuan perbaikan
rumah masyarakat bersiIat stimulan dan dapat diberikan dalam bentuk uang atau
material bahan bangunan.
Berdasarkan Ienomena-Ienomena dan Iakta yang peneliti kemukakan,
maka peneliti tertarik melihat bagaimana implementasi dari perda
penanggulangan bencana yang dibentuk oleh pemerintah Kota Padang.
Banyaknya permasalahan dalam kegiatan rehabilitasi pasca bencana gempa 0
September 2009, membuat peneliti tertarik untuk mengkaji bagaimana
implementasi dari kegiatan rehabilitasi pada tahap pasca bencana. Harapan
peneliti nantinya hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah
dalam mengoptimalkan implementasi dari perda penanggulangan bencana Kota
Padang ini.
1.2. Rumusan Masalah
Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 0 Tahun 2008 Tentang
Penanggulangan Bencana dirumuskan dengan tujuan agar dapat menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang muncul terkait dengan bencana. Dengan
diimplementasikannya perda ini, diharapkan korban jiwa dan kerugian lainnya
dapat diminimalisir. Namun dalam kenyataannya, setelah tiga tahun Perda ini
diimplementasikan, terdapat permasalahan pelik terkait pemberian bantuan
perbaikan rumah masyarakat. Diantaranya, pendataan yang tidak tepat sasaran,
1
belum diterimanya dana oleh masyarakat dan lemahnya pengawasan dalam
pencairan dana bantuan.
Dari Ienomena tersebut diketahui masih banyak permasalahan yang
ditemui terkait dengan upaya penanggulangan bencana di Kota Padang. Terutama
pada kegiatan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat. Kegiatan
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat ini dimuat dalam Perda Kota
Padang Nomor 0 Tahun 2008 Tentang Penanggulangan Bencana Pasal 49. Oleh
karena itu, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
'Bagaimana implementasi dari kegiatan pemberian bantuan perbaikan rumah
masyarakat pasca gempa 0 September 2009?
1.3. %ujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan implementasi dari kegiatan
pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat yang dimuat dalam Perda Kota
Padang Nomor 0 Tahun 2008 Tentang Penanggulangan Bencana Pasal 49.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. ManIaat Akademis
Penelitian ini bermanIaat bagi peneliti untuk mengimplementasikan
serta mengembangkan ilmu-ilmu yang telah didapatkan selama masa
perkuliahan dan juga berguna bagi perkembangan khazanah ilmu administrasi
negara.
16
1.4.2. ManIaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna
bagi pemerintah daerah dan BPBD selaku pelaksana kebijakan dalam meninjau
kembali kebijakan tentang penanggulan bencana yang telah dirumuskan.
1.4.. ManIaat Sosial
Penelitian ini dapat dijadikan tambahan masukan serta memberitahukan
pada masyarakat bagaimana kebijakan penanggulangan bencana dapat benar-
benar dirasakan manIaatnya oleh masyarakat.
1.4.4. ManIaat Teknis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dan pengetahuan
bagi peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan implementasi sebuah
kebijakan.
1.5. Sistematika Penulisan
Bab I mendeskripsikan tentang pendahuluan yang terdiri dari latar
belakang yang merupakan inIormasi secara garis besar tentang apa yang terjadi
dilapangan dengan apa yang seharusnya menyangkut penelitian ini, perumusan
masalah, signiIikansi penelitian atau tujuan penelitian, manIaat penelitian, serta
gambaran umum sistematika penelitian proposal penelitian.
Bab II memaparkan tentang kerangka teori yang merupakan pedoman dari
peneliti terdahulu yang relevan, landasan teori yang digunakan, konsep, dan
skema pemikiran peneliti.
Bab III menjelaskan tentang metode penelitian yang terdiri dari
pendekatan dan desain penelitian, teknik pemilihan inIorman, teknik
17
pengumpulan data, analisis data, triangulasi data, peran peneliti serta tempat dan
lokasi penelitian.
Bab IV mendeskripsikan tentang tempat atau lokasi penelitian yang
merupakan gambaran umum tentang Kota Padang.
Bab V berisi analisis data yang menguraikan tentang implementasi dari
kegiatan rehabilitasi pada tahap pasca bencana gempa 0 September 2009 ditinjau
dari teori implementasi George Edwards III.
Bab VI berisikan kesimpulan dari uraian-uraian pada bab-bab sebelumnya
dan rekomendasi saran untuk pihak-pihak yang terkait didalamnya.
18
BAB II
KERANKA %EORI
2.1. Penelitian %erdahulu
Persoalan penanggulangan bencana merupakan topik yang sangat menarik
untuk diteliti. Hal ini disebabkan oleh posisi Negara Indonesia yang berada di
wilayah rawan bencana, sehingga penanggulangan bencana menjadi sesuatu yang
harus diprioritaskan. Penelitian tentang penanggulangan bencana sebelumnya
telah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh
$afer Communities through Disaster Risk Reduction in Development (SCDRR-D)
bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP) dan
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Penelitian ini berjudul
InisiatiI Harmonisasi Hukum untuk Desentralisasi Perencanaan Pembangunan
dalam Penanggulangan Bencana dilakukan pada tahun 2008.
Penelitian ini mengkaji kebijakan-kebijakan terkait penanggulangan
bencana mulai dari tingkat nasional sampai kepada peraturan-peraturan daerah di
Kabupaten atau Kota di Indonesia. Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan
inventarisasi dan analisa terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penanggulangan bencana dengan menemukenali potensi terjadinya
inkonsistensi dalam perumusan pasal-pasal yang ada di dalamnya, maupun
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Penelitian ini menganalisis pasal per pasal dari setiap kebijakan
penanggulangan bencana dari tingkat tertinggi, yaitu undang-undang hingga ke
tingkat daerah, diantaranya pasal 9, 61, 62 dan pasal 6 peraturan daerah Kota
Padang nomor 0 tahun 2008 tentang penannggulangan bencana. Hasil dari
19
penelitian ini berupa terdapat kesenjangan-kesenjangan antara kebijakan yang satu
dengan kebijakan lain atau tumpang tindihnya kebijakan-kebijakan
penanggulangan bencana dengan peraturan perundangan lainnya.
Penelitian terkait lainnya, dilakukan oleh Soraya Oktarina dari Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Andalas, Padang dengan judul penelitian
yakni, peran pemerintah Kota Padang dalam penanggulangan dampak pasca
bencana gempa bumi 0 September 2009. Penelitian ini menggunakan konsep
manajemen bencana dan teori peran dengan metode kualitatiI. Skripsi ini
menjelaskan tentang bagaimana peran pemerintah Kota Padang dalam menangani
dampak bencana yang terjadi pada 0 September 2009. Hasil yang diperoleh dari
penelitian ini adalah:
22
1. Pemerintah Kota Padang dalam melakukan penanggulangan dampak
bencana gempa bumi 0 September 2009 telah berusaha semaksimal
mungkin, dengan membuat berbagai kebijakan-kebijakan dan membentuk
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk mengurusi dan
menangani masalah ini.
2. BPBD merupakan badan yang dibentuk dan dibebani tugas menanggulangi
bencana dengan instruksi dan komando dari pimpinan.
. Pada saat tanggap darurat, BPBD membuat program reaksi cepat yang
meliputi penanganan korban, evakuasi, pemberian bantuan, penyediaan
logistic, dan lain-lain. Dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, BPBD
bersama-sama dengan SKPD yang terdapat di lingkungan pemerintah
merancang pokok-pokok kebijakan rehab dan rekon.
22
Oktarina, Soraya. 2010. 'Peran Pemerintah kota Padang dalam Penanggulangan Dampak
Pasca Bencana Gempa Bumi 30 $eptember 2009`. Skripsi. Universitas Andalas, hal. 91
20
4. Mengingat baru dibentuknya BPBD, maka dalam hal operasional, teknis,
sarana dan prasarananya masih terbatas, hal ini yang menjadi kendala bagi
BPBD dalam melaksanakan tugasnya.
Penelitian yang peneliti lakukan berbeda dengan kedua penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya. Penelitian ini berjudul implementasi peraturan
daerah Kota Padang nomor 0 tahun 2008 tentang penanggulangan bencana.
Penelitian ini akan melihat bagaimana implementasi dari perda penanggulangan
bencana Kota Padang ini, khususnya pada pasal 49, yakni kegiatan rehabilitasi
pada tahap pasca bencana. Penelitian ini menggunakan teori implementasi George
Edwards III. Teori ini mengemukakan empat Iaktor yang memengaruhi
implementasi kebijakan, yakni komunikasi, sumber-sumber, disposisi, dan
struktur birokrasi.
2
Penelitian ini menggunakan metode kualitatiI deskriptiI.
Penelitian ini nantinya akan melihat bagaimana BPBD memainkan perannya
sebagai pelaksana kebijakan.
2
Budi Winarno. 2007. 'Teori dan Proses Kebifakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo, hal
174
21
Adapun perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian yang peneliti
lakukan dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:
%abel 2.1
Perbedaan Penelitian %erdahulu dengan Penelitian Sekarang
Peneliti Judul Metode Kesimpulan
$afer
Communities
through
Disaster Risk
Reduction in
Development
(SCDRR-D)
InisiatiI Harmonisasi
Hukum untuk
Desentralisasi
Perencanaan
Pembangunan dalam
Penanggulangan
Bencana
Pelaksanaan kajian
ini dilakukan
dengan metode gap
analysis
Ditemukan indikasi bahwa
peraturan perundang-undangan
baik dipusat maupun daerah yang
berkaitan dengan upaya
penanggulangan bencana masih
menunjukkan gejala: over
regulation, overlap-nya
peraturan perundang-undangan di
pusat maupun daerah; tumpang
tindihnya
peraturan dan banyaknya
peraturan perundang-undangan
yang tidak sensitiI
terhadap upaya penanggulangan
bencana.
Soraya
Oktarina
Peran Pemerintah kota
Padang dalam
Penanggulangan
Dampak Pasca
Bencana Gempa Bumi
0 September 2009
Penelitian ini
menggunakan
metode kualitatiI
Pemerintah Kota Padang telah
berusaha menjalankan peran
sebaik mungkin menangani
dampak bencana gempa 0
September akan tetapi karena
masih baru sehingga masih
banyak kekurangan dan pada
hasilnya belum maksimal.
Dewi Fitria Implementasi perda
Kota Padang nomor
tahun 2008 tentang
penanggulangan
bencana
Penelitian ini
menggunakan
pendekatan
kualitatiI dengan
tipe penelitian
deskriptiI
Implementasi program berjalan
tidak eIektiI karena lemahnya
komunikasi dan koordinasi yang
dibangun di antara masing-
masing implementor
$umber. hasil olah data peneliti, 2011
2.2. %eori dan Konsep
2.2.1. Teori Implementasi
Menurut Kamus Administrasi Publik, kebijakan publik adalah pemanIaatan
yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan
masalah-masalah publik atau pemerintah. ShaIritz dan Russell memberikan
deIinisi kebijakan yang paling mudah diingat dan paling praktis yaitu apa yang
22
pemerintah lakukan atau tidak lakukan. Selanjutnya Peterson yang mengutip dari
James Anderson berpendapat bahwa kebijakan publik secara umum dapat dilihat
sebagai aksi pemerintah dalam menghadapi masalah, dengan mengarahkan
perhatian terhadap siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.
24
Proses kebijakan publik berkenaan dengan proses membuat pilihan-pilihan
kebijakan lengkap dengan tahapan-tahapannya, yang secara teoritis dilandasi oleh
berbagai Iaktor atau pertimbangan, dan nampak dalam model-model kebijakan
publik. Sebuah kebijakan publik memiliki proses yang dimulai dengan penetapan
agenda kebijakan, Iormulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan
dan penilaian kebijakan. Pada tahap penetapan agenda kebijakan, ditentukan apa
yang menjadi masalah publik yang perlu dipecahkan. Pada tahap Iormulasi
kebijakan, para analis mengidentiIikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat
digunakan dalam memecahkan masalah.
Implementasi kebijakan merupakan suatu tahap dimana kebijakan yang
telah diadopsi tersebut dilaksanakan oleh unit-unit administratiI tertentu dengan
memobilisasikan dana dan sumber daya yang ada. Tahap terakhir adalah tahap
penilaian kebijakan dimana berbagai unit yang telah ditentukan melakukan
penilaian tentang apakah semua proses implementasi telah sesuai dengan apa yang
telah ditentukan atau tidak.
2
Implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan pada
realisasi program. Dalam hal ini administrator mengatur cara untuk
mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah
diseleksi. Mengorganisir berarti mengatur sumber daya, unit-unit, dan metode-
Yeremias T. Keban. 2008. 'Enam Dimensi $trategis Administrasi Publik Konsep, Teori Dan
su. Yogyakarta: Gava Media. hal. 60
2
bid. hal. 67
2
metode untuk melaksanakan program. Melakukan interpretasi berkenaan dengan
menterjemahkan bahasa atau istilah-istlah program kedalam rencana-rencana dan
petunjuk-petunjuk yang dapat diterima.
Menerapkan berarti menggunakan instrumen-instrumen yang ada,
mengerjakan atau memberikan pelayanan rutin, melakukan pembayaran-
pembayaran. Atau dengan kata lain implementasi merupakan tahap merealisasi
tujuan-tujuan program. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah persiapan
implementasi, yaitu memikirkan dan menghitung secara matang berbagai
kemungkinan keberhasilan dan kegagalan, termasuk hambatan atau peluang-
peluang yang ada dan kemampuan organisasi yang diserahi tugas untuk
melaksanakan program.
26
Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar mempunyai
dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam
pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor, organisasi,
prosedur, teknik serta sumber daya diorganisasikan secara bersama-sama untuk
menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Tahap
implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan sasaran ditetapkan
terlebih dahulu yang dilakukan oleh Iormulasi kebijakan. Dengan demikian, tahap
implementasi kebijakan terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana
disediakan untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
Menurut Jenkins studi implementasi adalah studi perubahan yakni,
bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa
dimunculkan. Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan
26
bid. hal. 76
24
politik, bagaimana organisasi di luar dan di dalam sistem politik menjalankan
urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain, apa motivasi-motivasi mereka
bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka
bertindak secara berbeda.
27
Dalam perkembangannya, terdapat dua pendekatan dalam memahami
implementasi. Pertama, pendekatan top-down yang melihat secara penuh proses
kebijakan sebagai suatu rangkaian seri dari rantai komando. Dalam hal ini
pemimpin politik memberikan kebijakan yang jelas agar kemudian dapat
dilaksanakan oleh birokrasi atas yang merupakan pelaku administrasi. Pendekatan
top-down dimulai dari keputusan pemerintah, diuji keberlangsungan atau
kegagalan pelaksanaannya oleh administrator, kemudian menemukan alasan
keberlangsungan perluasan dari implementasi.
Pendekatan top-down memberikan arah yang jelas pada penelitian
implementasi. Penekanannya adalah pada pencapaian tujuan dan aktivitas dari
pelaksanaan perintah resmi pelaksana implementasi menjadi suatu indikator
apakah implementasi tersebut dimengerti dan diiterima secara nalar.
28
Beberapa
ahli yang mengembangkan perspektiI top-down, diantaranya Donald van Meter
dan Carl van Horn. Model ini mangandaikan bahwa implementasi kebijakan
berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan
publik. Beberapa variabel yang memengaruhi kebijakan publik adalah aktivitas
implementasi dan komunikasi antarorganisasi, karakteristik agen pelaksana atau
27
Wayne Parsons. 2008. 'Public Policy Pengantar Teori Kebifakan Dan Praktik Analisis
Kebifakan. Jakarta: Kencana, hal. 46
28
Terjemahan buku Michael Howlett dan M. Ramesh hal 119
2
implementor, kondisi ekonomi, sosial, dan politik, serta kecenderungan
(disposition) pelaksana atau implementor.
29
Ahli lain yang juga menggunakan perspektiI top-down adalah George C.
Edwards III. Menurut Edwards III:
'Policy implementation, as we have seen, is the stage of policy
making between the establishments of a policy-such as the passage
of a legislative act, the issuing of an executive order, the handing
down of a fudicial decision, or the promulgation of a regulatory
rule-and consequences of the policy for the people whom it
affects.`
30
(implementasi kebijakan, merupakan tahapan dalam
pembuatan kebijakan yang berada di antara pembentukan
kebijakan-seperti diterimanya tindakan legislatiI, mempersoalkan
perintah eksekutiI, keputusan yudikatiI, atau penyebaran
kebijakan-dan konsekuensi kebijakan terhadap sasaran kebijakan).
Kedua, pendekatan bottom-up yang merupakan kritikan terhadap
pendekatan top-down. Pendekatan ini dimulai dari semua aktor baik masyarakat
maupun pribadi yang termasuk dalam program implementasi dan melakukan
pengujian mengenai sasaran atau tujuan organisasi, strategi-strategi mereka, dan
hubungan jaringan yang diciptakan. Selanjutnya, disalurkan ke birokrasi atas yang
lebih tinggi untuk menemukan sasaran-sasaran, strategi, dan hubungan yang akan
dilibatkan dalam perancangan, pendanaan, pelaksanaan program-program yang
ada. Pendekatan bottom-up lebih berorientasi pada keputusan kebijakan dan
feedback (umpan balik) atas masalah-masalah kebijakan yang timbul.
1
Pendekatan bottom-up, salah satunya dikembangkan oleh Michael Lipsky.
Menurut Lipsky:
'Untuk memahami secara lebih baik interaksi antara pemerintah
dan warganya di 'tempat dimana pemerintah dan orang bertemu,
saya berusaha menunjukkan Iaktor-Iaktor umum dalam perilaku
29
Riant Nugroho. 2008. 'Public Policy. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. hal 48
Edwards III, mengungkapkan ada 4 (empat) Iaktor krusial yang
mempengaruhi implementasi kebijakan yakni, komunikasi, sumber-sumber,
disposisi dan struktur birokrasi.
4
Berikut penjelasan dari keempat Iaktor tersebut:
1. Komunikasi (.422:3.,943
Syarat utama agar implementasi berjalan eIektiI adalah bahwa pelaksana
kebijakan harus mengetahui apa yang seharusnya dilakukan.
Implementasi akan
berjalan eIektiI apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh
individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan.
Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan
secara tepat dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran
dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui
secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu.
Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat
kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan
tertentu, atau menyebarluaskannya. Di samping itu sumber inIormasi yang
berbeda juga akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Disini akan dilihat
bagaimana komunikasi antara BPBD Kota Padang dengan aktor lain selain
BPBD. Apakah komunikasi berjalan dengan baik, apakah kebijakan dimaknai
secara jelas dan sama. Untuk mengukur komunikasi dalam implementasi sebuah
kebijakan, Edwards III melihatnya dari (tiga) hal, yakni:
Ibid. hal 17
28
a. Transmisi (transmission)
Kebijakan harus ditansmisikan agar dapat diimplementasikan. Sebuah
kebijakan tidak akan dapat berjalan jika tidak disampaikan secara benar kepada
pelaksana kebijakan. Dalam mentransmisikan kebijakan terdapat beberapa
hambatan, diantaranya pertama, adanya pertentangan pendapat antara
implementors dengan perintah yang dikeluarkan oleh pengambil kebijakan.
Pertentangan terhadap kebijakan-kebijakan ini akan menimbulkan hambatan-
hambatan atau distorsi seketika terhadap komunikasi kebijakan.
Kedua, inIormasi melewati berlapis-lapis hierarki birokrasi. Kondisi ini
sangat memengaruhi tingkat eIektivitas komunikasi kebijakan yang dijalankan.
Penggunaan sarana komunikasi yang tidak langsung dan tidak adanya saluran
komunikasi yang ditentukan mungkin juga mendistorsikan perintah-perintah
pelaksana.
6
Ketiga, pada akhirnya penangkapan komunikasi-komunikasi yang
dapat dihambat oleh persepsi yang selektiI dan ketidakmauan para pelaksana
untuk mengetahui persyaratan-persyaratan suatu kebijakan.
b. Kejelasan (Clarity)
Faktor kedua yang dijelaskan Edwards adalah kejelasan. Jika kebijakan-
kebijakan diimplementasikan sebagaimana yang dinginkan, maka petunjuk-
petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus diterima oleh para pelaksana kebijakan,
tetapi juga komunikasi kebijakan tersebut harus jelas. Seringkali instruksi-
instruksi yang diteruskan kepada pelaksana-pelaksana kabur dan tidak
menetapkan kapan dan bagaimana program dilaksanakan. Ketidakjelasan pesan
komunikasi yang disampaikan berkenaan dengan implementasi kebijakan akan
6
Winarno, p. Cit, hal. 176
29
mendorong terjadinya interpretasi yang salah bahkan mungkin bertentangan
dengan makna pesan awal.
Edwards mengidentiIikasi enam Iaktor yang mendorong terjadinya
ketidakjelasan komunikasi kebijakan. Faktor tersebut adalah kompleksitas
kebijakan publik, keinginan untuk tidak mengganggu kelompok-kelompok
masyarakat, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan, masalah-
masalah dalam memulai suatu kebijakan baru, menghindari pertanggungjawaban
kebijakan, dan siIat pembentukan kebijakan pengadilan.
c. Konsistensi (consistency)
Agar implementasi kebijakan berjalan eIektiI, maka perintah-perintah
pelaksanaan harus konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang
disampaikan kepada para pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi
bila perintah tersebut bertentangan maka perintah tersebut tidak akan
memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya dengan baik. Di sisi
lain, perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak konsisten akan
mendorong pelaksana mengambil tindakan yang sangat longgar dalam
menaIsirkan dan mengimplementasikan kebijakan.
Peraturan daerah Kota Padang nomor 0 tahun 2008 tentang penanggulangan
bencana harus ditransmisikan agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan.
Disini akan dilihat apakah kebijakan memiliki ukuran dan tujuan yang jelas,
sehingga dapat diketahui apakah implementor melaksanakan sesuai dengan
kebijakan atau sebaliknya. Mentransmisikan peraturan daerah ini juga dapat
dilakukan dengan sosialisasi terhadap implementor dan sasaran kebijakan. Maka
dari itu, akan dilihat pula apakah perda ini telah disosialisasikan atau tidak.
0
Agar implementasi perda berjalan sebagaimana mestinya, maka dalam
mengkomunikasikan kebijakan haruslah jelas dan konsisten. Keterlibatan
pelaksana kebijakan dan hirarki yang dilalui dalam pengambilan keputusan dapat
mengakibatkan kesalahpahaman atau kegagalan inIormasi. Sehingga, nanti dalam
pelaksanaannya, kegiatan rehabilitasi dapat dimaknai secara berbeda diantara
pelaksana kebijakan.
2. Sumber-sumber (7084:7.08
Mungkin saja kebijakan telah ditransmisikan secara benar, jelas dan
konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya yang diperlukan
untuk melaksanakan kebijakan, maka kebijakan tidak akan berjalan eIektiI.
Seperti yang dinyatakan oleh Edwards III sebagai berikut:
'mplementation orders may be accurately transmitted, clear, and
consistent, but if implementors lack the resources necessary to carry
out policies, implementation is likely to be ineffective.`
37
Sumber daya yang penting dalam implementasi kebijakan menurut
Edwards terdiri dari ukuran dan kemampuan staI untuk melaksanakan kebijakan,
inIormasi, kewenangan, dan Iasilitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan
kebijakan. Untuk melihat sumber daya yang digunakan, peneliti menggunakan
indikator sebagai berikut:
a. StaI (staff)
Barangkali sumber yang paling penting dalam melaksanakan kebijakan
adalah staI. Satu hal yang harus diingat adalah jumlah tidak selalu mempunyai
eIek positiI bagi implementasi kebijakan. Tetapi, di sisi lain kekurangan staI juga
7
Edwards, p. Cit, hal.
1
akan menimbulkan persoalan pelik menyangkut implementasi kebijakan yang
eIektiI.
Pelaksana kebijakan harus memiliki keterampilan yang diperlukan untuk
melaksanakan pekerjaan. Kurangnya personil yang terlatih dengan baik akan
menghambat pelaksanaan kebijakan yang menjangkau banyak pembaharuan.
Faktor lain adalah kesulitan dalam merekrut dan mempertahankan administrator-
administrator yang kompeten karena pada umumnya gaji, prestise, dan jaminan
kerja sangat rendah.
Persoalan lain berangkat dari pemrakarsa program kebijakan dan pembiayaan
program-program kebijakan. Suatu program kebijakan seringkali diprakarsai oleh
badan-badan legislatiI dan pembiayaan mengenai program tersebut diserahkan
kepada eksekutiI. Akibatnya, para administrator kebijakan seringkali tidak
menerima dana yang memadai untuk membayar jumlah dan tipe personil yang
dibutuhkan guna melaksanakan kebijakan tersebut.
b. InIormasi (information)
InIormasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada
dua bentuk inIormasi yaitu pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus
dilakukan dan inIormasi tentang data pendukung kepatuhan kepada peraturan
pemerintah dan undang-undang. Kekurangan inIormasi atau pengetahuan
bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki konsekuensi langsung seperti,
pelaksana tidak bertanggungjawab, atau pelaksana tidak ada di tempat kerja
sehingga menimbulkan ineIisien.
2
c. Wewenang (Authority)
Sumberdaya lain yang juga penting adalah kewenangan untuk menentukan
bagaimana program dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan atau mengatur
keuangan, baik penyediaan uang, pengadaan staI, maupun pengadaan supervisor.
Namun demikian, dalam beberapa hal suatu badan mempunyai wewenang yang
terbatas atau kekurangan wewenang untuk melaksanakan suatu kebijakan dengan
tepat. Menurut Edwards tidak eIektiInya penggunaan wewenang dapat diketahui
dengan menyelediki salah satu dari sanksi-sanksi yang paling potensial merusak
dari yurisdiksi tingkat tinggi, yakni menarik kembali dana dari suatu program.
d. Fasilitas (facilities)
Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan atau program harus
terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa Iasilitas ini
mustahil program dapat berjalan. Pelaksana kebijakan dapat saja memiliki staI
yang memadai dan memahami apa yang harus dilakukan dan juga memiliki
kewenangan untuk melakukannya. Tetapi semua ini akan tidak berguna jika staI
tersebut tidak diberikan Iasilitas Iisik penunjang implementasi kebijakan. Fasilitas
Iisik ini dapat berupa alat komunikasi, bangunan kantor, dan perlengkapan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan kebijakan.
Fasilitas Iisik dapat memenuhi kebutuhan pelaksanaan kebijakan, jika
ditunjang dengan anggaran yang juga memadai. Karena Iasilitas Iisik yang
digunakan akan semakin berkualitas apabila dana yang digunakan juga mencukupi
untuk penyediaan Iasilitas tersebut. Sehingga selain Iasilitas Iisik, maka anggaran
merupakan Iasilitas lain yang dinilai penting.
Untuk mengimplementasikan perda penanggulangan bencana di Kota Padang
maka dibutuhkan sumber daya yang memadai. Sumberdaya ini meliputi jumlah
dan kemampuan staI BPBD Kota Padang, pengetahuan tentang apa yang harus
dan perlu dilakukan oleh BPBD Kota Padang dan apakah pelaksana mematuhi
perda tersebut, kewenangan yang dimiliki oleh BPBD Kota Padang untuk
mengatur jalannya kegiatan, mengatur pendanaan kegiatan.
BPBD juga selayaknya memiliki Iasilitas-Iasilitas yang menunjang kegiatan
rehabilitasi pada saat pasca bencana. Fasilitas Iisik ini misalnya, gedung kantor
yang memadai untuk melaksanakan kegiatan. Untuk dapat memIasilitasi BPBD
ini diperlukan anggaran yang mencukupi. Karena tanpa anggaran yang memadai,
maka Iasilitas yang mendukung tidak akan terpenuhi.
3. Disposisi atau Sikap (/8548943
Disposisi atau tingkah laku pelaksana kebijakan adalah Iaktor ketiga dalam
pendekatan studi implementasi. Implementasi kebijakan berjalan eIektiI jika,
implementor tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan memiliki
kapabilitas untuk melakukannya, tetapi juga memiliki keinginan untuk
melaksanakan kebijakan. Edwards III menyatakan disposisi sebagai berikut:
'The dispositions or attitude of implementors is the third critical
factor in our approach to the study of public policy
implementation. f implementation is to proceed effectively, not
only must implementors know what todo and have capability to do
it, but they must also desire to carry out a policy.`
8
8
Ibid, hal.11
4
Untuk melihat disposisi dari pelaksana kebijakan, peneliti menggunakan
indikator sebagai berikut:
a. Dampak dari disposisi (effects of dispositions)
Menurut Edwards, banyak kebijakan masuk kedalam 'zona
ketidakacuhan. Ada kebijakan yang dilaksanakan secara eIektiI karena mendapat
dukungan dari para pelaksana kebijakan, namun kebijakan-kebijakan lain
mungkin akan bertentangan secara langsung dengan pandangan-pandangan
pelaksana kebijakan atau kepentingan pribadi atau organisasi dari para pelaksana.
Kebijakan umumnya dilaksanakan oleh badan-badan pemerintah.
Karakteristik dari badan pemerintah ini memberikan dampak kepada
implementasi kebijakan. Diantaranya, badan-badan pemerintah memiliki tingkah
laku yang homogen karena model rekruitmen staI yang berlangsung secara
selektiI. Badan-badan seperti ini lebih suka memperkerjakan orang-orang yang
mempunyai pikiran yang sama sehingga mendorong timbulnya suatu lingkungan
yang secara relatiI seragam dengan lingkungan pembuatan kebijakan.
Karakteristik badan pemerintah lainnya adalah pandangan parokial di kalangan
birokrat. Pandangan parokial atau sempit ini mempunyai pengaruh yang cukup
kuat bagi implementasi kebijakan yang eIektiI.
b. Pengangkatan atau penempatan birokrat (staffing the bureaucracy)
Sebuah kebijakan akan terlaksana secara eIektiI jika kebijakan ini
terlaksana secara berkesinambungan. Penempatan pelaksana kebijakan yang tidak
bertanggungjawab atau tidak memiliki interpretasi yang sama terhadap kebijakan
dengan pemimpinnya akan mengakibatkan tidak optimalnya implementasi sebuah
kebijakan. Pengangkatan staI yang tidak sesuai dengan kebutuhan kebijakan akan
berdampak bagi ketidaklancaran implementasi kebijakan.
c. InsentiI (incentive)
Mengganti personil dalam birokrasi pemerintahan cukup sulit dan
penggantian ini juga tidak menjamin kelancaran implementasi kebijakan.
Karenanya, insentiI menjadi salah satu alternatiI agar implementor dapat merubah
sikapnya terhadap kebijakan. Pemberian insentiI dapat berupa penambahan biaya
dapat mendorong implementor untuk melaksankan kebijakan dengan baik.
Disposisi menurut Edwards lebih terIokus kepada sikap pemerintah
terhadap kebijakan. Dalam penelitian ini, akan dilihat apakah ada political will
dari pemerintah terhadap kebijakan ini. Sehingga kebijakan terlaksana dan
bukannya diabaikan begitu saja. Dampak dari sikap pemerintah ini akan tampak
pada personil-personil yang digunakan dalam kegiatan rehabilitasi
penanggulangan bencana dan insentiI yang diberikan kepada personil tersebut.
Jika pemerintah serius menyikapi kebijakan penanggulangan bencana ini, maka
personil yang dikerahkan pastilah personil yang jumlahnya memadai dan memiliki
kecakapan dalam bidang rehabilitasi bencana.
4. Struktur birokrasi (-:70,:.7,9.897:.9:70
Pelaksana kebijakan yang mengetahui apa yang harus dilakukannya,
memiliki sumber daya yang memadai untuk melaksanakan kebijakan, serta
keinginan yang tinggi memanglah penting. Tetapi, jika hal tersebut tidak
didukung oleh struktur organisasi birokrasi, maka implementasi kebijakan masih
dapat terhambat. Dalam struktur birokrasi, Edwards mengemukakan dua hal,
yakni $tandard perating Procedures (SOPs) dan fragmentation (Iragmentasi).
6
a. SOPs ($tandard perating Procedures)
Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah
adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures) atau SOP.
SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Dengan adanya
SOP, maka akan menghemat waktu dan biaya. SOP juga akan memunculkan
keseragaman sehingga kebijakan dapat dinilai benar atau salah dari keseragaman
tersebut. Untuk organisasi pemerintahan yang cenderung melibatkan banyak pihak
dalam pelaksanaan kebijakan, SOP sangat bermanIaat, karena dengan adanya SOP
organisasi akan lebih stabil dan meminimalisir konIlik.
Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan
pengawasan dan menimbulkan prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini
pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak Ileksibel. Karena
pelaksana kebijakan cenderung melaksanakan kebijakan berdasarkan standar yang
telah ditetapkan. Hal ini terkadang dapat menghambat implementasi kebijakan.
b. Fragmentasi (Fragmentation)
Aspek selanjutnya dalam struktur birokrasi selain SOP, adalah Iragmentasi.
Fragmentasi adalah penyebaran tanggung jawab kepada setiap unit organisasi di
area kebijakan. Semakin banyak aktor yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan
dan semakin tinggi ketergantungan kebijakan terhadap kebijakan lain akan
mengakibatkan tidak eIektiInya implementasi sebuah kebijakan.
Terlalu banyak unit yang melakukan banyak cara, seringkali tumpang tindih,
jarang sekali berkoordinasi, membuang banyak uang dan ini hanya akan sedikit
menyelesaikan masalah. Seperti yang diungkapkan Edwards III dalam bukunya:
7
'There are too many agencies, doing too many things, overlapping too
often, coordinating too rarely, wasting too much money and doing too
little to solve real problems.
9
Implementasi kegiatan rehabilitasi pasca bencana gempa Padang 0
September 2009 lalu, bisa jadi dipengaruhi oleh SOP yang sampai tahun 2011
masih belum ada, sedangkan sebagai organisasi pemerintah, BPBD sangat
membutuhkan ini agar terciptanya stabilitas dalam organisasi dan memperkecil
konIlik yang timbul dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi bencana. Adanya
penyebaran tanggung jawab kepada unit-unit lain selain BPBD juga merupakan
salah satu hal yang mempengaruhi sebuah kebijakan. Keterlibatan banyak aktor
dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kegiatan rehabilitasi.
ambar 2.1
Model Implementasi Edwards III
$umber. George. C. Edwards , mplementing Public Policy, hal 148
Berdasarkan gambar 2.1, terlihat bahwa menurut Edwards III, semua
Iaktor mulai dari komunikasi, sumber-sumber, disposisi (sikap) dan struktur
birokrasi saling berkaitan satu dengan lainnya dalam mewujudkan implementasi
kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan akan dipengaruhi oleh
keterkaitan seluruh aspek di dalamnya, termasuk transimisi, kejelasan, konsistensi
9
ibid. hal. 14
Communication
Resources
Implementation
Dispositions
Bureaucratic
Structure
8
dalam mengkomunikasikan kebijakan, staI, wewenang, inIormasi, Iasilitas,
anggaran yang dikerahkan untuk melaksanakan kebijakan, disposisi atau sikap
pelaksana kebijakan terhadap kebijakan itu sendiri dan struktur birokrasi yang
harus dilalui pelaksana kebijakan dalam mengimplementasikan kebijakan.
2.2.2. Konsep Penanggulangan Bencana
Menurut United Nation Development Programme (UNDP), bencana
adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang
secara merugikan memengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas
sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana.
40
Menurut undang-undang dan
peraturan penanggulangan bencana, bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh Iaktor alam atau Iaktor nonalam maupun
Iaktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
41
Bencana dapat dikategorikan menjadi bencana alam, bencana non alam, dan
bencana sosial. Bencana alam dapat diartikan sebagai bencana yang diakibatkan
oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain
berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan,
dan tanah longsor. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
peristiwa atau serangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal
teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Sedangkan bencana
sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
40
Ramli. p. Cit. Hal 10
41
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
9
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konIlik sosial antarkelompok atau
antar komunitas masyarakat, dan teror.
42
Dari deIinisi bencana tersebut, diketahui bahwa bencana adalah peristiwa
yang merugikan, mengakibatkan korban jiwa, memberikan dampak psikologis
yang tidak baik terhadap manusia, dan menimbulkan kerusakan lainnya. Untuk itu
diperlukan upaya penanggulangan bencana guna meminimalisir dampak buruk
dari bencana tersebut. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas (tiga) tahap meliputi:
4
1. Pra bencana, pada tahap pra bencana penyelenggaraan penanggulangan
bencana meliputi, upaya dalam situasi tidak terjadi bencana dan dalam situasi
terdapat potensi terjadinya bencana.
a. Dalam situasi tidak terjadi bencana, penyelenggaraan penanggulangan
bencana dilakukan dengan perencanaan penanggulangan bencana,
pengurangan resiko bencana, pencegahan, pemaduan dalam perencanaan
pembangunan, persyaratan analisis resiko bencana, pelaksanaan dan
penegakan rencana tata ruang, pendidikan dan pelatihan dan persyaratan
standar teknis dan operasional penanggulangan bencana.
b. Dalam situasi terdapat potensi terjadi bencana, penyelenggaraan
penanggulangan bencana meliputi kesiapsiagaan, peringatan dini dan
mitigasi bencana.
42
ibid
4
Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 0 tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana bagian
kedua Pasal 22
40
i. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah
yang tepat guna dan berdaya guna.
ii. Peringatan dini diperlukan untuk memberi peringatan kepada
masyarakat tentang bencana yang akan terjadi sebelum kejadian seperti
banjir, gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, atau badai.
iii. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko
bencana, baik melalui pembangunan Iisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan mengahadapi ancaman bencana.
2. Saat tanggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta
benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,
penyelamatan, serta pemulihan sarana dan prasarana.
44
. Pasca bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana setelah bencana
terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, maka langkah berikutnya
adalah melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi.
4
a. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan
publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah
pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya
secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada
wilayah pasca bencana. Rehabilitasi dilakukan melalui kegiatan:
44
Ramli. p. Cit. hal.
4
ibid
41
i. Perbaikan lingkungan daerah bencana, merupakan kegiatan Iisik perbaikan
llingkungan untuk memenuhi persyaratan tekhnis, sosial, ekonomi, dan
budaya serta ekosistem suatu kawasan. Kegiatan ini mencakup lingkungan
kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan usaha, dan kawasan
bangunan gedung.
ii. Perbaikan sarana dan prasarana umum, merupakan kegiatan perbaikan
sarana dan prasarana umum untuk memenuhi kebutuhan transportasi,
kelancaran kegiatan ekonomi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat.
Kegiatan ini mencakup perbaikan inIrastruktur, diantaranya perbaikan
jaringan jalan atau perhubungan, pengadaan air bersih, komunikasi, listrik,
sanitasi atau limbah, dan irigasi atau pertanian. Selanjutnya kegiatan ini juga
meliputi perbaikan Iasilitas sosial dan Isilitas umum yakni, Iasilitas
kesehatan, perekonomian, pendidikan, perkantoran pemerintah dan Iasilitas
peribadatan. Kegiatan perbaikan sarana dan prasarana ini harus memenuhi
ketentuan persyaratan keselamatan, persyaratan sistem sanitasi, persyaratan
bahan bangunan, dan persyaratan standar teknis konstruksi jalan, jembatan,
bangunan gedung dan bangunan air.
iii. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat, merupakan bantuan
pemerintah sebagai stimulan untuk membantu masyarakat memperbaiki
rumahnya yang mengalami kerusakan akibat bencana untuk dapat dihuni
kembali. Bantuan ini dapat berupa bahan material, komponen rumah atau
uang yang besarnya ditetapkan berdasarkan hasil veriIikasi dan evaluasi
tingkat kerusakan rumah yang dialami.
42
iv. Pemulihan sosial psikologis, ditujukan untuk membantu masyarakat yang
terkena dampak bencana, memulihkan kembali kehidupan sosial dan kondisi
psikologis pada keadaan normal seperti kondisi sebelum bencana. Kegiatan
ini dilakukan berupa bantuan konseling dan konsultasi, pendampingan,
pelatihan dan kegiatan psikososial.
v. Pelayanan kesehatan, ditujukan untuk membantu masyarakat yang terkena
dampak bencana dalam rangka memulihkan kondisi kesehatan masyarakat
melalui pemulihan sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Kegiatan ini
dilakukan melalui membantu perawatan lanjut korban bencana yang sakit
dan mengalami luka, menyediakan obat-obatan, menyediakan peralatan
kesehatan, menyediakan tenaga medis dan paramedis, dan menIungsikan
kembali sistem pelayanan kesehatan termasuk sistem rujukan.
vi. Rekonsiliasi dan resolusi konIlik, rekonsiliasi ditujukan untuk membantu
masyarakat di daerah bencana dan rawan konIlik sosial untuk menurunkan
eskalasi konIlik sosial dan ketegangan serta memulihkan kondisi sosial
kehidupan masyarakat. Kegiatan rekonsiliasi dan resolusi konIlik dilakukan
melalui upaya mediasi persuasive dengan melibatkan tokoh-tokoh
masyarakat terkait dengan tetap memperhatikan situasi, kondisi dan karakter
serta budaya masyarakat setempat dan menjunjung rasa keadilan.
vii. Pemulihan sosial ekonomi budaya, ditujukan untuk membantu masyarakat
terkena dampak bencana dalam rangka memulihkan kondisi kehidupan
sosial, ekonomi, dan budaya seperti pada kondisi sebelum terjadi bencana.
Kegiatan pemulihan sosial ekonomi budaya dilakukan dengan membantu
masyarakat menghidupkan dan mengaktiIkan kembali kegiatan sosial,
4
ekonomi, dan budaya, layanan advokasi dan konseling, bantuan stimulan
aktivitas dan pelatihan.
viii. Pemulihan keamanan dan ketertiban, ditujukan untuk membantu masyarakat
dalam memulihkan kondisi keamanan dan ketertiban di daerah bencana agar
kembali seperti kondisi sebelum terjadi bencana. Kegiatan ini dilakukan
melalui upaya mengaktiIkan kembali Iungsi lembaga keamanan dan
ketertiban di daerah bencana, meningkatkan peran serta masyarakat dalam
kegiatan pengamanan dan ketertidan dan mengkoordinasikan instansi atau
lembaga yang berwenang di bidang keamanan dan ketertiban.
ix. Pemulihan Iungsi pemerintahan ditujukan untuk memulihkan Iungsi
pemerintahan kembali seperti kondisi sebelum terjadi bencana. Kegiatan ini
dilakukan melalui upaya mengaktiIkan kembali pelaksanaan kegiatan tugas-
tugas pemerintahan secepatnya, penyelamatan dan pengamanan dokumen-
dokumen Negara dan pemerintah, konsolidasi para petugas pemerintahan,
pemulihan Iungsi-Iungsi dan peralatan pendukung tugas-tugas
pemerintahan, dan pengaturan kembali tugas-tugas oemerintahan pada
instansi atau lembaga terkait.
x. Pemulihan Iungsi pelayanan publik ditujukan untuk memulihkan kembali
Iungsi pelayanan kepada masyarakat pada kondisi sebelum terjadi bencana.
Kegiatan ini dilakukan melalui upaya rehabilitasi dan pemulihan Iungsi
prasarana dan sarana pelayanan publik, mengaktiIkan kembali Iungsi
pelayanan publik pada instansi dan lembaga terkait, dan pengaturan kembali
Iungsi pelayanan publik.
44
b. Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan
maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya
kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana. Rekonstruksi dilakukan melalui
kegiatan pembangunan yang lebih baik, meliputi pembangunan kembali
prasarana dan sarana, pembangunan kembali sosial masyarakat,
pembangkitan kembali kehidupan sosial budaya masyarakat, penerapan
rancang bangun yang tepat dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan
tahan bencana, partisipasi dan peran serta lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, dunia usaha, dan masyarakat, peningkatan kondisi sosial,
ekonomi, dan budaya, peningkatan Iungsi pelayanan publik dan peningkatan
pelayanan utama dalam masyarakat.
Dari semua kegiatan rehabilitasi tersebut, peneliti memilih satu kegiatan
dari 10 kegiatan rehabilitasi yang telah peneliti tuliskan sebelumnya.
Kegiatan tersebut adalah pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat.
Hal ini dikarenakan dari 10 kegiatan tersebut, 9 kegiatan lainnya telah
memiliki badan, instansi dan lembaga yang memiliki kewenangan terkait
kegiatan tersebut. Sedangkan untuk kegiatan pemberian bantuan perbaikan
rumah masyarakat, BPBD bekerja sama dengan Iasilitator, PJOK, Lurah dan
Camat setempat yang tidak mempunyai kewenangan khusus dan Iormal
dalam melaksanakan kegiatan ini. Keterlibatan banyak aktor yang juga tidak
4
memiliki kewenangan Iormal ini akan memberikan dampak pada
implementasi dari kegiatan ini.
Penelitian ini akan melihat bagaimana implementasi dari kegiatan ini
ditinjau dari teori implementasi George Edwards III. Berdasarkan teori
George Edward III, implementasi dari sebuah kebijakan dipengaruhi oleh
empat Iaktor yakni komunikasi, sumber-sumber, disposisi, dan struktur
birokrasi. Dengan menggunakan keempat Iaktor tersebut peneliti akan
melihat implementasi dari kegiatan pemberian bantuan perbaikan rumah
masyarakat bencana gempa 0 September 2009.
2.3. Skema Pemikiran
Penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang penting untuk daerah
rawan bencana seperti Indonesia. Untuk itu diperlukan aturan yang jelas guna
mengatur mekanisme pelaksanaan penanggulangan bencana, koordinasi badan-
badan yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan penanggulangan bencana
serta pemanIaatan dan pengalokasian sumber daya yang tepat. Aturan tentang
pelaksanaan penanggulangan bencana telah diatur dalam undang-undang dan
perda. Salah satunya perda Kota Padang nomor 0 tahun 2008 tentang
penanggulangan bencana. Perda ini mengatur tahapan penyelenggaraan
penanggulangan bencana yang terdiri dari tahapan, yakni pra bencana, tanggap
darurat dan pasca bencana.
Pasca gempa 0 September 2009 lalu, pemerintah Kota Padang mengalami
kerugian materi dan non materi yang tidak sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah Kota Padang tidak siap dalam menangani bencana walaupun Kota
46
Implementasi Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana pada
kegiatan pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat tahap
rehabilitasi pasca bencana gempa bumi 30 September 2009 dengan
menggunakan teori eorge C. Edward III
Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 0 Tahun 2008 tentang
Penanggulangan Bencana
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana tahap Rehabilitasi Pasal 48
dalam Perda Kota Padang nomor 0 tahun 2008 tentang
Penanggulangan Bencana
Disposisi Struktur
Birokrasi
Sumber sumber Komunikasi
Padang telah memiliki perda ini sejak tahun 2008. Penelitian ini akan melihat
bagaimana pemerintah Kota Padang menangani bencana gempa tersebut terutama
pada kegiatan rehabilitasi bencana.
Untuk meneliti pelaksanaan perda ini, peneliti menggunakan teori
implementasi George Edwards III. Menurut teori ini, implementasi sebuah
kebijakan dipengaruhi oleh 4 (empat) Iaktor, yakni komunikasi, sumber-sumber,
disposisi, dan struktur birokrasi. Dengan menggunakan empat Iaktor tersebut
peneliti akan melihat bagaimana implementasi kegiatan rehabilitasi pasca bencana
gempa Padang 0 September 2009.
Skema 2.1
Skema Pemikiran Peneliti
47
2.4. Daftar Istilah
1. Implementasi: suatu proses yang penuh dengan muatan politik dimana
mereka yang berkepentingan berusaha sedapat mungkin memengaruhinya.
2. Peraturan daerah: Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah
(gubernur atau bupati/walikota).
. Penanggulangan bencana: upaya sistematis dan komprehensiI untuk
menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk
menekan korban dan kerugian yang ditimbulkannya.
4. Pra bencana: penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi, upaya
dalam situasi tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi
terjadinya bencana.
. Tanggap darurat: serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada
saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan.
6. Pasca bencana: penyelenggaraan penanggulangan bencana setelah bencana
terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati.
7. Rehabilitasi: perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana
dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua
aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
48
BAB III
ME%ODE PENELI%IAN
3.1. Pendekatan dan %ipe Penelitian
Berdasarkan tipenya, penelitian dibedakan dalam lima bentuk, yaitu:
46
1. Penelitian historis, bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang telah
terjadi di masa lampau. Proses-prosesnya terdiri dari penyelidikan,
pencatatan, analisis dan menginterpretasikan peristiwa-peristiwa masa lalu
guna menemukan generalisasi-generalisasi.
2. Penelitian penjajakan atau eksploratiI, penelitian ini bertujuan untuk mencari
hubungan-hubungan baru yang terdapat pada suatu permasalahan yang luas
dan kompleks. Penelitian ini bertujuan pula untuk mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya.
. Penelitian deskriptiI, bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang saat ini
berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada.
4. Penelitian eksplanatori, penjelasan atau eksperimen, bertujuan untuk
menjelaskan apa-apa yang akan terjadi bila variabel-variabel tertentu
dikontrol atau dimanipulasi secara tertentu.
Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan kualitatiI. Pendekatan
kualitatiI pada hakikatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya,
berinteraksi dengan mereka, berusaha mengamati bahasa dan taIsiran mereka
tentang dunia sekitarnya. Pendekatan ini digunakan agar dapat
menginterpretasikan dengan bahasa peneliti tentang hasil penelitian yang
46
Mardalis. 2009. 'Metode Penelitian $uatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara. Hal.
2
49
diperoleh dari inIorman dilapangan sebagai wacana untuk mendapat penjelasan
tentang kondisi yang ada.
47
Dari tipe-tipe dan pendekatan penelitian tersebut,
peneliti menggunakan penelitian deskriptiI dengan pendekatan kualitatiI, dimana
peneliti akan mendeskripsikan, mencatat, menganalisis dan menginterpretasikan
pelaksanaan dari perda penanggulangan bencana di Kota Padang pada saat
sekarang berdasarkan data-data yang diperoleh melalui interaksi langsung peneliti
dengan aktor-aktor dalam kegiatan ini.
3.2. %eknik Pengumpulan Data
Data adalah kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan
kesatuan nyata. Menurut Romney dan Steinbart data adalah Iakta-Iakta yang
dikumpulkan, disimpan dan diproses dalam sistem inIormasi. Dari beberapa
penjelasan di atas sehingga dapat disimpulkan bahwa data adalah nilai yang
mendeskripsikan dari suatu objek atau kejadian.
48
Data merupakan kumpulan Iakta atau angka atau segala sesuatu yang
dapat dipercaya kebenarannya sehingga dapat digunakan sebagai dasar penarikan
kesimpulan. Dalam penelitian ini, pengumpulan dilakukan dengan cara:
.2.1. Wawancara mendalam (indepth interview)
Wawancara atau interview adalah suatu cara untuk mengumpulkan data
dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada seorang inIorman atau seorang
autoritas (seorang ahli atau yang berwenang dalam suatu masalah).
49
47
Burhan Bungin. 2008. 'Penelitian Kualitatif. Komunikasi, Ekonomi, Kebifakan Publik dan lmu
$osial Lainnya`. Jakarta: Kencana, hal. 14
48
ibid
49
ibid
0
Pada wawancara hasil yang diperoleh secara kualitatiI dapat
dipertanggungjawabkan, mempunyai nilai yang tinggi, Semua kesalahpahaman
dapat dihindari, pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan dapat dijawab oleh
inIorman dengan penjelasan-penjelasan tambahan, setiap pertanyaan dapat
dikembangkan lebih lanjut dalam wawancara. Sedangkan menurut Taylor,
wawancara mendalam adalah wawancara tidak berstruktur antara pewawancara
dan inIorman yang dilakukan berulang-ulang kali. Wawancara ini diupayakan
untuk memperoleh data sebanyak mungkin dari inIorman sehingga data-data yang
nanti muncul adalah pernyataan-pernyataan yang dikemukakan inIorman sesuai
dengan topik penelitian.
0
Berdasarkan deIinisi wawancara tersebut, maka dapat diartikan bahwa
wawancara merupakan kegiatan tanya jawab antara inIorman dan peneliti yang
berguna sebagai bentuk pengumpulan data yang akan digunakan untuk penelitian.
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara secara mendalam
kepada aktor yang terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan penanggulangan
bencana Kota Padang.
.2.2. Dokumentasi
Cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip,
termasuk juga buku tentang teori, pendapat, dalil atau hukum, dan lain-lain yang
berhubungan dengan masalah penelitian disebut teknik dokumenter atau studi
dokumenter.
1
Data-data yang dibutuhkan peneliti dalam teknik dokumenter ini
merupakan data sekunder, dimana data yang dibutuhkan berupa surat kabar dan
AIrizal. 200. 'Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Dari Pengertian $ampai Penulisan
Laporan`. Laboratoritum Sosiologi FISIP Unand, Padang, hal. 69.
1
N. Zuriah. 2006. 'Metodologi Penelitian $osial dan Pendidikan. Jakarta, hal. 191
1
beberapa peraturan terkait lainnya seperti Perda Kota Padang nomor 0 tahun
2008 tentang penanggulangan bencana, Perda Kota Padang nomor 18 tahun 2008
tentang pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Peraturan
Walikota Padang nomor 8 tahun 2008 tentang penjabaran Tugas Pokok dan
Fungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah, peraturan Kepala Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Rehabilitasi dan Rekonstruksi, dan Petunjuk Teknis Rehabilitasi Dan
Rekonstruksi Pasca Gempa Bumi Sumatera Barat 0 September 2009 Bidang
Perumahan.
3.3. %eknik Pengambilan Informan
Menurut Koentjaraningrat, inIorman adalah individu atau orang yang
dijadikan sumber untuk mendapatkan keterangan bagi keperluan penelitian.
Dalam pengambilan inIorman, dengan maksud melakukan pemilihan orang-orang
yang dianggap mampu dan relevan memberikan jawaban atas pertanyaan
penelitian. Teknik pengambilan inIorman yang dipakai adalah teknik purposive
sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik pengambilan sumber data
dengan perhitungan tertentu. Pemilihan sekelompok subjek dalam purposive
sampling, didasarkan atas ciri-ciri tertentu yang dipandang mempunyai
keterkaitan yang erat dengan inIorman yang diketahui sebelumnya.
2
Pelaksanaan
kegiatan rehabilitasi pasca bencana dilakukan secara bersama-sama dengan
berkoordinasi dengan BPBD Kota Padang. Sehingga Kepala Bidang Rehabilitasi
dan Rekonstruksi dan juga Kepala Seksi Rehabilitasi BPBD Kota Padang
2
N. Zuriah, op. cit hal. 124
2
merupakan inIorman yang peneliti pilih dengan menggunakan metode purposive
sampling.
Adapun inIorman yang akan peneliti teliti diuraikan dalam tabel .1
berikut ini:
%abel 3.1
Daftar Informan
No. Nama 1abatan
1. Adrinal Kabid. Rehabilitasi dan rekonstruksi BNPB
Provinsi Sumatera Barat
2. Drs. Dedi Henidal, MM Ketua pelaksana BPBD kota padang
. Henky M, S. Pi, MT, M. Sc Kasi. Rehabilitasi bpbd kota padang
4. Asnul ZA, ST Kepala PjOK Kota Padang
. Rina Dian Fasilitator teknik kelurahan parupuk tabing
6. Yusneli Fasilitator pemberdayaan kelurahan parupuk
tabing
7. Nasrul, ST TPM kelurahan parupuk tabing
8. Muchtar Ketua pokmas paus kelurahan parupuk tabing
9. Adrianto Ketua pokmas tongkol kelurahan parupuk
tabing
10. Amdanil Masyarakat penerima bantuan
11. Ita Masyarakat penerima bantuan
$umber. hasil olah data peneliti, 2011
Untuk inIorman yang berasal dari masyarakat, lurah dan camat, peneliti
menggunakan kriteria tertentu guna mempermudah peneliti dalam pengumpulan
data tanpa mengesampingkan urgensi penelitian. InIorman dari masyarakat,
peneliti kelompokkan berdasarkan jumlah kerusakan rumah penduduk yang
tergolong kedalam rusak berat per Kecamatan se Kota Padang pada saat terjadi
bencana gempa bumi 0 September 2009 lalu. Berikut tabel . yang berisikan
data kerusakan per Kecamatan se Kota Padang.
%abel 3.2
Kerusakan per Kecamatan se Kota Padang
Kecamatan
1umlah rumah
penduduk yang
rusak berat
Lubuk Kilangan 2.441
Koto %angah 7.191
Kuranji 4.990
Padang Barat 2.160
Padang Utara 2.666
Padang Selatan 2.46
Padang Timur 1.670
Nanggalo 2.787
Lubuk Begalung 4.976
Pauh 1.129
Bungus Teluk Kabung 1.11
$umber. hasil olah data peneliti dari hasil audit BPK tahun 2010, 2011
Dari tabel ., dapat diketahui bahwa kerusakan rumah penduduk terberat
berada di Kecamatan Koto Tangah dengan total kerusakan mencapai 7.191
bangunan. Dari kecamatan tersebut, dipilih salah satu kelurahan yang merupakan
kelurahan dengan jumlah kerusakan paling banyak. Berdasarkan data yang
peneliti peroleh, kelurahan yang mengalami kerusakan rumah penduduk terparah
berada di Kelurahan Parupuk Tabing dengan jumlah rumah penduduk yang rusak
berat adalah 1271 rumah.
Analisis data peneliti lakukan dengan mengumpulkan data-data yang terkait
dengan penyelenggaraan penanggulangan bencana, baik itu data yang diperoleh
dari hasil wawancara, dokumentasi maupun observasi di lapangan. Kemudian,
4
John W. Creswell. 2002. 'Research Design Qualitative & Quantitative Approaches. Jakarta:
KIK press. Hal 160
Sugiyono. 2006. 'Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D`. Bandung AlIabeta. hal.
244
data-data tersebut peneliti proses, dianalisa hingga menjadi suatu kesimpulan yang
kredibel.
3.6. %riangulasi Data
Triangulasi data merupakan uji keabsahan data yang diperoleh peneliti.
Menurut Burhan Bungin triangulasi lebih banyak menggunakan metode alam
level mikro, seperti bagaimana menggunakan beberapa metode pengumpulan data
dan analisis data sekalius dalam sebuah penelitian, termasuk menggunakan
inIorman sebagai alat uji keabsahan dan analisis hasil penelitian.
6
Asumsinya
bahwa inIormasi yang diperoleh peneliti melalui pengamatan akan lebih akurat
apabila juga digunakan interview atau menggunakan bahan dokumentasi untuk
mengoreksi keabsahan inIormasi yang telah diperoleh. Begitu pula hasil-hasil
analisis data yang dilakukan peneliti akan lebih akurat apabila dilakukan uji
keabsahan melalui uji silang dengan inIorman lain, termasuk dengan inIorman
penelitian.
Triangulasi juga dapat dilakukan dengan menguji pemahaman peneliti
dengan pemahaman inIorman tentang hal-hal yang diinIormasikan inIorman
kepada peneliti. Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam penelitian kualitatiI,
persoalan pemahaman makna suatu hal bisa jadi berbeda antara orang satu dan
lainnya. Termasuk juga kemungkinan adanya perbedaan pemahaman dan
pemaknaan antara inIorman dengan peneliti.
Dengan melakukan triangulasi data, maka akan diperoleh suatu kebenaran
terhadap data yang akan diteliti. Triangulasi data merupakan kroscek kembali data
6
Bungin, Op. Cit. hal. 20
6
yang diperoleh dari inIorman dengan Iakta yang ditemukan di lapangan. Dalam
penelitian ini, peneliti melakukan dua bentuk triangulasi data, yakni triangulasi
sumber yang dipakai dengan cara mengecek data yang diperoleh kepada inIorman
yang terkait dalam penelitian ini dengan tujuan mendapatkan validitas data
dengan melakukan wawancara kepada aktor yang terlibat.
Dalam penelitian ini, triangulasi sumber akan dilakukan dengan mengecek
data yang diperoleh dari BPBD yang merupakan badan penyelenggara kegiatan
penanggulangan bencana kepada masyarakat yang berada di Kelurahan Parupuk
Tabing yang merupakan sasaran kebijakan serta aktor kebijakan lain diluar BPBD
Kota Padang.
Triangulasi teknik digunakan dengan mengecek kembali data yang
diperoleh dari hasil wawancara kepada semua inIorman dengan data dokumentasi
yang peneliti gunakan dalam penelitian ini. Apabila peneliti mempunyai data yang
berbeda maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang
bersangkutan atau yang lain untuk memastikan data mana yang dianggap benar.
3.7. Peranan Peneliti
Dalam menggunakan pendekatan kualitatiI ini, peranan peneliti dalam
penelitian sangat dominan karena peneliti berperan sebagai instrumen utama,
sedangkan instrumen lain yang peneliti gunakan hanya menunjukkan alat bantu
dalam melakukan penelitian. Setelah Iokus penelitian menjadi jelas maka
kemungkinan dikembangkan instrumen penelitian dengan mendata dan
membandingkan dengan data yang ditemukan melalui wawancara dan hasil
obervasi.
7
3.8. %empat dan Lokasi Penelitian
Menetapkan lokasi penelitian merupakan hal yang cukup penting untuk
mempersempit ruang lingkup serta mempertajam yang ingin dikaji. Dalam
penelitian ini, peneliti menetapkan Kota Padang sebagai tempat penelitian dengan
alasan, Kota Padang merupakan pelaksana penyelenggaraan penanggulangan
bencana dalam perda yang akan peneliti teliti. Lokasi penelitian telah peneliti
tentukan di Kelurahan Parupuk Tabing Kecamatan Koto Tangah yang merupakan
lokasi dengan kerusakan terparah akibat gempa September 2009 lalu. Sedangkan
waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah selama 6 (enam) minggu.
3.9. Proses Penelitian
Proses penelitian merujuk kepada bagaimana penelitian ini dilakukan dari
perolehan surat izin hingga penelitian selesai dilakukan. Penelitian ini
berlangsung selama 6 minggu dari tanggal 27 Juni 2011 hingga 18 Agustus 2011.
Penelitian dimulai dengan pengurusan surat izin pada tanggal 27 Juni 2011 ke
Sekretaris Prodi Ilmu Administrasi Negara Unand. Selanjutnya, surat izin
penelitian diteruskan ke bagian akademik untuk membuat surat izin penelitian dari
Iakultas. Pengurusan surat izin ini selesai pada hari yang sama pukul 14.00 WIB.
Surat izin kemudian diurus ke Kesbangpol Kota Padang yang berlokasi di
Terminal Air Pacah Kota Padang pada hari berikutnya tanggal 28 Juni 2011.
Namun, sayangnya pada hari itu, pegawai Kesbangpol tidak berada di tempat
karena pergi melayat salah satu pegawai yang meninggal dunia dan pegawai baru
akan kembali pada pukul 14.00 WIB. Peneliti kembali mengurus surat izin
8
penelitian di Kesbangpol Kota Padang pada tanggal 0 Juni 2011 pukul 10.00
WIB. Surat izin penelitian selesai pada pukul 1.0 WIB. Setelah dari kesbangpol
Kota Padang, peneliti langsung menuju Kantor Kecamatan Koto Tangah yang
berlokasi di Lubuk Buaya Kota Padang untuk menyerahkan surat izin penelitian.
Surat izin tidak bisa langsung diurus karena waktu yang tidak memungkinkan,
pegawai kantor camat menjanjinkan untuk mengurus surat izin tersebut pada hari
senin tanggal 4 Juli 2011.
Pada tanggal 1 Juli 2011, peneliti datang ke Kantor BPBD Kota Padang
dan melakukan wawancara dengan Kepala Pelaksana dan Kasi. Rehabilitasi
BPBD Kota Padang sesuai dengan disposisi yang diberikan oleh BPBD Kota
Padang. Wawancara dilakukan sejak pukul 08.0 WIB 11. 4 WIB. Selain itu
peneliti juga memperoleh data-data dokumentasi yang dibutuhkan terkait dengan
judul penelitian.
Pada tanggal 4 Juli 2011, peneliti mendatangi Kantor Kecamatan Koto
Tangah dan Kesbangpol Provinsi Sumatera Barat untuk pengurusan surat izin
penelitian. Namun, surat izin belum bisa diperoleh karena pegawai yang
bersangkutan sedang tidak berada di tempat, baik pada Kantor Camat Koto
Tangah maupun kantor Kesbangpol Provinsi Sumatera Barat. Surat izin penelitian
untuk Kantor Camat Koto Tangah selesai tanggal Juli 2011. Namun, peneliti
baru bisa mengambil surat izin tersebut pada tanggal 6 Juli 2011 karena pada
tanggal juli 2011 peneliti mendatangi Kantor Camat Koto Tangah pada pukul
09.00 WIB dan pegawai yang mengurus surat izin penelitian belum
menyelesaikan surat izin tersebut. Oleh karenanya, pegawai tersebut menjanjikan
besok pada tanggal 6 Juli 2011 surat izin penelitian baru akan diselesaikan. Surat
9
izin penelitian yang di urus di Kesbangpol Provinsi Sumatera Barat juga selesai
pada tanggal 6 Juli 2011 pukul 14.00 WIB.
Selesai menerima surat izin penelitian dari kantor Camat Koto Tangah
tersebut, peneliti menuju kantor Kelurahan Parupuk Tabing untuk memohon izin
melakukan penelitian kepada warga masyarakat setempat. Pada hari yang sama
peneliti melakukan wawancara dengan pegawai di kantor kelurahan tersebut yang
juga merupakan anggota TPM perwakilan dari kelurahan. Wawancara dan
pencairan data dokumentasi dilakukan dari pukul 10.00 WIB sampai pukul 12.0
WIB. Dari hasil wawancara penliti dengan TPM dan data yang berhasil diperoleh,
maka ditentukanlah 2 pokmas yang menangani rumah rusak berat paling banyak
yakni pokmas tongkol dan pokmas paus. Selain itu, TPM juga memberikan nomor
HP dan alamat rumah ketua dari masing-masing pokmas.
Keesokan harinya pada tanggal 7 Juli 2011 peneliti mulai menghubungi
ketua pokmas dan membuat janji untuk melakukan wawancara pada tanggal 12
Juli 2011 pada pukul 1.00 WIB hingga 18.00 WIB. Pada hari yang sama, peneliti
memasukkan surat izin penelitian ke Kantor BPBD Provinsi Sumatera Barat.
Namun, surat izin belum dapat di proses karena pegawai yang mengurus sedang
tidak berada di tempat. Peneliti diberikan nomor hp pegawai yang mengurus surat
izin dan menunggu konIirmasi lewat teleIon dari pegawai tersebut.
Pada tanggal 12 Juli 2011 pukul 09.0 WIB peneliti memasukkan surat
izin penelitian ke kantor PJOK Kota Padang yang beralamat di Jalan Gajah Mada
Gunung Pangilun Padang. Seperti juga di Kantor BPBD Provinsi Sumatera Barat,
peneliti tidak dapat langsung melakukan penelitian dikarenakan harus menunggu
izin dari Kepala PJOK Kota Padang untuk melakukan penelitian. Siangnya, pukul
60
1.00 peneliti sudah berada di rumah Ketua Pokmas Paus, Bapak Muchtar di
Parupuk Raya Tabing Padang. Wawancara dengan Pak Muchtar berjalan lancar
selama kurang lebih 1 (satu) setengah jam. Selanjutnya Pak Muchtar
menghubungi Pak Adrianto Ketua Pokmas Tongkol dan membuat janji untuk
datang kerumah Pak Adrianto pada pukul 1.00 WIB dengan diantar oleh Pak
Muchtar. Peneliti juga mendapatkan nama, nomor hp, dan alamat Iasilitator yang
mendampingi pokmas paus dan tongkol dari pak muchtar.
Selanjutnya, peneliti melakukan wawancara dengan Pak Adrianto dari
pukul 1.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Di akhir wawancara, Pak Adrianto
memberikan nama-nama masyarakat yang dapat dijadikan inIorman peneliti
sekaligus dengan alamat tempat tinggal masyarakat tersebut. Maka, dari pukul
16.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB peneliti melakukan wawancara kepada dua
orang masyarakat tersebut.
Penelitian di kantor BPBD Provinsi Sumatera Barat baru bisa dilakukan
pada hari senin tanggal 2 Juli 2011 pukul 1.00 WIB sampai pukul 14.00 WIB.
penelitian dilakukan dengan mewawancarai Bapak Adrinal Kepala Bidang
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Provinsi Sumatera Barat. Sore harinya, peneliti
melakukan wawancara via teleIon kepada 1 tim Iasilitator. Wawancara langsung
tidak dimungkinkan karena tim Iasilitator tidak berada di Kota Padang.
Wawancara berlangsung 1 jam untuk 1 orang Iasilitator.
Sedangkan konIirmasi dari PJOK Kota Padang baru peneliti terima pada
tanggal 18 Agustus 2011, setelah peneliti mendatangi kantor PU Kota Padang,
dimana kepala PJOK juga bekerja disana sebagai Kepala Bidang Cipta Karya.
Dari pertemuan di kantor PU kota padang, diperoleh kesepakatan bahwa
61
wawancara akan dilakukan sore hari di kantor PJOK Kota Padang. Akhirnya,
wawancara dilakukan pada sore hari pukul 16.0 WIB hingga pukul 18.1 WIB di
kantor PJOK Kota Padang. Wawancara berjalan lancar dan peneliti telah
mendapatkan data-data yang dibutuhkan.