Anda di halaman 1dari 7

TUGAS

TEHNIK PEMBUATAN KEPUTUSAN DAN PERIZINAN

Nama : Ni Putu Puja Sukmiwati NIM : 0903005199 Kelas : A

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011

Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking), menurut Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, didefinisikan sebagai berikut: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Jika ditijau dari definisi menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, akan ditemukan unsur-unsurnya sebagai berikut: a. Penetapan tertulis b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan d. Bersifat konkret, individual dan final e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Ad.a Penetapan Tertulis Unsur ini menentukan bahwa, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 harus merupakan penetapan tertulis. Penjelasan Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusaan pengangkatan dan sebagainya. Keputusan Tata Usaha Negara harus dalam bentuk tertulis dikarenakan Penjelasan Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dengan bentuk tertulis, karena untuk memudahkan bagi pembuktian. Bentuk formal dari suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak menjadi syarat mutlak, agar penetapan tertulis tersebut dapat disebut atau termasuk Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 3, maka penjelasan Pasal 1 angka 3 menyebutkan lebih lanjut bahwa sebuah memo atau nota akan merupakan suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, apabila sudah jelas: a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya

b. Maksud serta mengenai hal apa isi dari memo atau nota itu c. Kepada siapa memo atau nota itu d tunjukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.

Ad.b Unsure ini menentukan bahwa penetapan tertulis tersebut harus dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 2 yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau dengan perkataan lain, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Dengan demikian ukuran atau kriteria agar suatu badan atau Pejabat dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Badan atau Pejabat tersebut mempunyai wewenang untuk melaksanakan urusan pemerintahan.

Ad.c Oleh penjelasan Pasal 1 angka 3 disebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Atau dengan perkataan lain, tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah tindakan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dilakukan atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan terhadap seseorang atau badan hukum perdata.karena tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut atas dasar peraturan perundang-undangan menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan, maka daapat dikatakan tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Hukum Tata Usaha Negara itu selalu merupakan tindakan hukum public sepihak.tidak selalu tindakan hukum dari Bahan atau Pejabat Tata Usaha Negara merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara, tetapi hanya tindakan hukum dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum mengenai urusan pemerintahan saja yang merupakan tindakan hukum Tata Usaha Negara.

Ad.d Yang dimaksud dengan bersifat konkret, individual, dan final1 adalah 1. Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud tertentu atau dapat ditentukan. 2. Bersifat individual, artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tetentu, baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan, misalnya keputusan tentang pembuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama yang terkena keputusan tersebut. Akan tetapi, dari hasil diskusi pada Pelatihan Teknis Yustisial HakimKeputusan Tata Usaha Negara antara lain diketahui bahwa Keputusan Tata Usaha yangbersifat umum sepanjang masih dapat individualisasikan, maka dianggap sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. 3. Bersfat final, artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum final, karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan, misalnya keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Kepwegawaian Negara.

Ad.e Yang dimaksud dengan menimbulkan akibat hukum adalah menimbulkan akibat hukum Tata Usaha Negara, karena penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha yang menimbulkan akibat hukum tersebut adalah berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara. Akibat hukum Tata Usaha Negara tersebut2 dapat berupa: 1. Menguatkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada (declaratior). 2. Menimbulkan suatu hubungan hukum atau keadaan hukum yang baru (consitutief). 3. a. menolak untuk menguatkan hubungan hukum atau keadaan hukum yang telah ada. b. menolak untuk menimbulkan hubungan atau keadaan hukum yang baru.

Penjelasan Pasal 1 angka 3 Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi Negara dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, Cetakan III, 1985, h.118-119
2

Syarat-syarat sahnya suatu keputusan menurut para sarjana, antara lain: 1. Menurut Ridwan, HR. Dalam pembuatan suatu ketetapan (keputusan / beschikking), terdapat syarat material dan formil yang harus dipenuhi agar menjadi keputusan yang sah: Syarat Material : Organ pemerintahan yang membuat ketetapan harus berwenang. Karena ketetapan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan kekurangan yuridis (geen juridische gebreken in de wilsvorming), seperti penipuan (bedrog), paksaan (dwang) atau suap (omkoping), kesesatan (dwaling). Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan (situasi) tertentu. Ketetapan harus dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturanperaturan lain, serta isi dan tujuan ketetapan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

Syarat Formal : Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya ketetapan dan berhubung dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi. Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan itu. Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan. 2. Menurut Prof. H. Amrah Muslimin, S.H Syarat sah berlakunya suatu penetapan (keputusan) : a. Syarat-syarat formil: 1. Procedure atau cara membuat penetapan Dalam hal membuat suatu penetapan mengenai hal-hal yang penting, umpamanya dalam penetapan menunjuk pelaksana pemborongan membangun jalan raya, ditetapkan prosure tertentu, yaitu harus diadakan pengumuman dahulu secara luas

dalam surat-surat kabar atau cara-cara lain, agar diadakan tawaranoleh peminatpeminat pemborong. Kemudian harus diadakan seleksi oelh sebuah panitia yang telah dibentuk untuk itu, yang memeriksa apakah pelamar-pelamar yang ikut serta dalam tender memenuhi syarat-syarat tertentu dan pelamar yang paling mendekati syaratsyarat yang ditentukan pemerintahberdasarkan peraturan, ditunjuk sebagai pemegang tender. Baru dilakukan penetapan sebagai penunjukan pelaksana pemborongan pembangunan. Apabila procedure ini tidak dituruti, penetapan itu dapat dibatalkan dan dapat diperintahkan dengan suatu penetapan instansi atasan, agar procedure yang diharuskan dituruti dahulu. 2. Bentuk penetapan Persoalan apakah penetapan harus diberi bentuk tertentu, umpamanya boleh secara lisan ataupun harus secara tertulis, tergantung dari peraturan pokok yang menjadi dasar bagi pengambi;lan suatu penetapan. 3. Pemberi tahuan penetapan padayang bersangkutan Untuk dapat berlaku suatu penetapan pada hakekatnya harus disampaikan pada yang terkena penetapan, apakah hal ini dilakukan dengan pengumuman melalui massmedia ataukah diberi tahukan secara tercatat. b. Syarat-syarat materiil: 1. Instansi yang membuat penetapan harus berwenang menurut jabatan 2. Penetapan harus dibuat tanpa adanya kekurangan-kekurangan yuridis dalam pembentukan kemauan pada waktu membuat penetapan pada sipejabat. 3. Penetapan harus menuju sasaran yang tepat (doelmatig).

Akibat hukum apabila suatu keputusan tidak sesuai dengan syarat-syarat sahnya suatu keputusan.

Menurut Prof. H. Amrah Muslimin, S.H, akibat dari penetapan yang tidak sempurna karena tidak memenuhi syarat-syarat formil dan materiil: 1. Penetapan menjadi batal; 2. Penetapan dapat dibatalkan atau dicabut kembali oleh instansi yang membuat penetapan; 3. Penetapan harus disahkan lebih dahulu oleh instansi atasan, tidak disahkan; 4. Ada kemungkinan kekurangan dalam penetapan tidak mempunyai pengaruh mengenai sah berlakunya, berlakunya. Yang dapat menyanggah sah berlakunya penetapn itu ialah: 1. Yang terkena oleh penetapan itu sendiri (yustisiabel). 2. Instansi lain diluar instansi yang membuat penetapan atau instansi atasan/bawahan. 3. Instansi yang membuat penetapan sendiri dalam arti dapat mencabut kembali penetapan sebelumnya karena ada kesalahan. malahan dengan perbaikan/penambahan kekurangan, diperkuat sah

Anda mungkin juga menyukai