Anda di halaman 1dari 2

Transparansi anggaran Satu tahun lalu, dengan dasar hukum UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik), UI pernah dimintai laporan

keuangannya oleh ICW (Indonesia Corruption Watch), dan UI tidah memberikannya dengan alasan sedang UAS/UTS dan hanya memberikan data tentang SUC (Student Unit Cost). SUC sendiri adalah biaya yang seharusnya dibayar mahasiswa dalam satu semester, Untuk rumpun sosial humaniora kira-kira 15 juta/semester. Karena peraturan dari pemerintah mensyaratkan bahwa mahasiswa hanya membayar 1/3-nya, maka adalah wajar ketika rumpun sosial humaniora membayar 5 juta/semester. Pertanyaannya adalah, apakah benar besaran SUC yang dikeluarkan pihak kampus itu 15 jt/semester? Dengan biaya sebesar itu, apakah sebanding dengan apa yang kita dapatkan? Bayangkan jika SUC yang sebenarnya tidaklah sebesar itu, otomatis biaya kuliah yang kita bayarkan pun pasti akan lebih murah (baik reguler maupun yang non-reguler). Selain itu, uang beasiswa yang selalu terlambat, mahalnya biaya kuliah, uang denda bagi mahasiswa yang telat membayar uang kuliah, uang DKFM, uang parkir bagi kendaraan yang masuk kampus, adalah sebahagian kasus yang menunjukkan bahwa ketransparanan anggaran menjadi hal yang mutlak dilakukan UI. Selama tidak adanya transparansi, maka dapat dipastikan kecurigaan demi kecurigaan akan mengarah pada pihak rektorat bahwa uang-uang mahasiswa juga uang-uang lainnya- diselewangkan sedemikian rupa (bukan tidak mungkin adalah benar). Dapat dipastikan pula ketidakpercayaan (distrust) para sivitas akademika terhadap pihak rektorat akan semakin meningkat dan tajam. Pasca dicabutnya UU BHP UU BHP yang menjadi landasan hukum perguruan tinggi dalam tata kelola kampus dicabut oleh Mahkaman Konstitusi pada tahun 2010 lalu karena terbukti tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Pasca pencabutan tersebut, untuk mengisi kekosongan landasan hukum pengelolaan perguruan tinggi, maka ditetapkanlah PP 66 tahun 2010 sebelum UU yang baru diresmikan. Masa usia PP ini sendiri adalah 3 tahun setelah PP diterbitkan. Masa transisi inilah yang rentan akan gesekan-gesekan kepentingan pihak yang terkait yang menginginkan status UI nantinya sesuai dengan kepentingan mereka. Pihak rektorat sendiri diindikasikan berkeinginan menjadi penguasa tunggal dalam mengelola kampus. Contohnya adalah ketika rektor memutuskan bahwa Majelis Wali Amanat (MWA) tidak akan diperpanjang masa jabatannya. Padahal, MWA ini adalah lembaga yang bertugas sebagai check and balance rektor, juga lembaga yang mengangkat dan memberhentikan rektor. Dapat dibayangkan sebuah lembaga dengan kekuasaan tunggal dan tanpa adanya check and balance, yang terjadi tidak lain adalah kesewenang-wenangan dan otoriterisme. Kembalikan UI sebagai Kampus Mercusuar Penegakan Moral Akhir kata, sudah terlalu banyak permasalahan di kampus UI yang bahkan bisa terlihat dengan mata telanjang sekalipun. Ketika sebuah kampus yang diharapkan menjadi pencetak-pencetak calon pemimpin bangsa yang tentunya juga bermoral

malah tidak menjalankan prinsip-prinsip moralitas tersebut berdasarkan prinsip good governance, maka tidak lain yang mesti dilakukan adalah sebuah pembenahan. Berbagai macam permasalahan yang dipaparkan diatas hanyalah sebagian kecil dari suatu sistem tata kelola yang tidak transparan dan akuntabel. UI sebagai institusi pendidikan yang menyandang nama bangsa di belakangnya, maka tata kelolanya pun mesti transparan sebagai bentuk pertanggung jawaban, bukan hanya kepada sivitas akademika UI, namun juga kepada seluruh rakyat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai