Anda di halaman 1dari 21

BAB II

DISKUSI DAN STUDI PUSTAKA



ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA
Anatomi
OTelinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membrane tympani. Daun
telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruI S, dengan rangka
tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri
dari tulang. Panjangnya kira-kira 21/2-3cm
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut.
Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga (Indro Soetirto, dkk. 2007).

OTelinga Tengah
Telinga tengah berbentuk kubus dengan
Batas luar : membrane tympani
Batas depat : tuba eustachius
Batas bawah : vena jugularis
Batas belakakang : aditus ad anthrum, canalis Iascialis pars verticalis
Batas atas : tegmen tympani
Batas dalam :berturut-turut dari atas ke bawah: canalis semicircularis horizontal,
canalis Iascialis, Ienestra ovale, Ienestra rotundum, dan promotorium


Membrane tympani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan
terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars Ilaksida, sedangkan bagian
bawah pars tensa. Pars Ilaksida hanya berlapis du, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit
liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel sel mukosa
pernapasan. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin.
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane tympani disebut sebagai
umbo. Dari umbo bermula satu reIlek cahaya (cone oI light) kearah bawah yaitu pada pukul
tujuh untuk membrane tympani kiri dan pukul lima untuk membrane tympani kanan. Membrane
tympani dibagi dalam empat kuadran dengan menarik garis searah dengan processus longus
malleus dan garis tegak lurus pada garis itu di umbo.

Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan. Prosessus longus malleus
melekat pada membrane tympani, malleus melekat pada inkus, dan inkus melekat pada stapes.
Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan cochlea. Tuba eustachius
termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasopharynx ke telinga tengah
(Endo Soetirto, dkk. 2007). Pada anak, tuba lebih pendek, lebih lebar, dan kedudukannya lebih
horizontal dari tuba orang dewasa (zainul A djaIaar, dkk. 2007). Tuba Eustachius berkembang
secara progressive saat usia anak-anak dan mencapai ukuran dewasa pada usia tujuh tahun
(Sadler-Kimes, 1989)

OTelinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari cochlea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari 3 buah canalis semicircularis. Ujung atau puncak cochlea disebut
helikotrema, menghubungkan perilymphe skala tympani dan skala vestibuli. Canalis
semicircularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak
lengkap. Pada irisan melintang cochlea tampak skala vestibuli sebelah atas. Skala tympani
disebelah bawah dan skala media (ductus cochlearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala
tympani berisi perilimphe sedangkan skala media berisi endolymphe. Pada skala media terdapat
membrane basalis. Pada membran ini terdapat organon corti (Endo Soetirto, dkk. 2007).




Fisiologi
OPendengaran
Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam
bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke cochlea. Getaran tersebut
menggetarkan membrane tympaniditeruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang
pendengaran yang akan mengampliIikasigetaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan
perkalianperbandingan luasmembrane tympani dan Ienestra ovale. Energi getar yang
diampliIikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakan tingkap lonjong sehingga
perilymphe pada skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane raissner yang
mendorong endolimphe, sehingga akan menimbulkan gerak relatiI antara membrane basilaris
dan membrane tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
deIleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ionterbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan depolarisasi sel rambut, sehingga
melepaskan neurotransmitter kedalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraI
auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus
temporalis (Endo Soetirto, dkk. 2007).
Hantaran (konduksi) gelombang suara ke cairan di telinga dalam melalui membrane
tympani dan tulang pendengaran, yang merupakan jalur utama untuk pendengaran normal,
disebut hantaran osikular. Gelombang suara juga mencetuskan getaran membrane tympani
sekunder yang menutup Ienestra rotundum. Proses ini, yang tidak penting untuk pendengaran
normal, adalah hantaran udara. Hantaran tipe ketiga, hantaran tulang, adalah transmisi getaran
dari tulang tengkorak ke cairan telinga dalam (Ganong, 2008).

Tuba Eustachius
Tuba eustachius biasanya tertutup dan akan terbuka melaluikontraksi musculus tensor veli
palatini pada saat menelan, menguap, dan membuka rahang. Fungsi tuba eustachius adalah
ventilasi, drainase, proteksi telinga tengahdari kontaminasi nasopharynx. Ventilasi
memungkinkan keseimbangan tekanan atmosIer pada kedua sisi membrane tympani (Boies.
1997).



GANGGUAN FISIOLOGI TELINGA
Gangguan telinga luar dan tengah menyebabkan tuli konduksi, sedangkan gangguan telinga
dalam menyebabkan tuli persepsi (sensorineural), yang terbagi atas tulikoklea dan tuli
retrokoklea.
Subatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah dan akan terjadi tuli
konduksi. Gangguan pada vena jugulare berupa aneurisma akan menyebabkan telinga berbunyi
sesuai dengan denyut jantung.
Antara inkus dan maleus berjalan cabang n. Iacialis yang disebut korda timpani. Bila
terdapat radang di telinga tengah atau trauma mungkin korda timpani terjepit, sehingga timbul
gangguan pengecap.
Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat pendengaran. Obat-obat dapat
merusak stria vaskularis, sehingga saraI pendengaran rusak dan terjadi tuli sensorineural. Setelah
pemakaian obat ototoksik seperti streptomisin, akan terdapatgejala gangguan pendengaran
berupa tuli sensorineural dan gangguan keseimbangan.
Tuli dibagi atas tuli konduksi, tuli sensorineural (sensorineural deaIness) serta tuli campur
(mixed deaIness).
Pada tuli konduktiI terdapat gangguan hantaran udara, disebabkan oleh kelainan atau
penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli sensorineural (perseptiI) kelainan
terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran, sedangakan tuli
campur disebabkan oleh kombinasi tuli konduktiI dan tuli sensorineural. Tuli campur dapat
merupakan satu penyakit, missal radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau
merupakan dua penyakit yang berlainan, tumor nervus VIII (tuli saraI) dengan radang telinga
tengah.
Jadi jenis ketulian sesuai dengan letak kelainan.
Cara Pemeriksaan Pendengaran
Untuk memeriksa pendengaran diperlukan pemeriksaan hantaran melalui udara dan
melalui tulang dengan memakai garputala atau audiometric nada murni
TES PENALA
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatiI. Terdiri dari:
Tes Rinne ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan melalui tulang pada
telinga yang diperiksa.
Tes Weber ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan
telinga kanan.
Tes Schwabach membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa
yang pendengarannya normal.
TES BERBISIK
Pemeriksaan ini bersiIat semi-kuantitatiI, menentukan derajat ketulian secara kasar. Hal ini
yang perlu diperhatikan adalah ruangan cukup tenang, dengan panjang minimal 6 meter. Pada
nilai normal tes berbisik: 5/6 - 6/6.
INTERPRETASI GE1ALA
Pusing
Pusing dapat dibagi menjadi dua, pusing vestibuler dan pusing non-vestibuler. Secara
klasik pusing vestibuler menimbulkan sensasi berputar baik pada pasien sendiri atau
lingkungannya. Pada kasus yang lebih kronik dan pada kasus pusing periIer bilateral, pasien
hanya dapat merasa 'mabuk atau amat goyah.
Penglihatan ganda, skotoma dan bintik buta jarang dikeluhkan. Perubahan-perubahan
visual yang tak lazim mengesankan suatu etiologi non-vestibuler.
Vertigo dengan Dasar Vestibuler
Vertigo Posisional Benigna. Biasanya ditemukan pada pasien yang menyadari bahwa pada
posisi kepala tertentu, mereka mengalami serangan pusing akut yang berlangsung sepintas.
Vestibular Neuronitis. Penyebabnya tidak diketahui. Suatu kelainan klinis dimana pasien
mengeluh pusing berat dengan mual, muntah yang membandel, serta tidak mampu berdiri atau
berjalan.
Labirintitis. Suatu proses radang yang melibatkan telinga dalam. Terdapat beberapa
klasiIikasi klinis dan patologik yang berbeda. Proses dapat akut maupun kronik, serta toksik
maupun supuratiI. Labirintitis kronik biasanya sembuh dengan gangguan pendengaran dan
vestibuler.
Nyeri Telinga
Respon inIlamasi dapat berupa inIlamasi lokal maupun sistemik. Nyeri (dolor) pada telinga
pasien meruakan salah satu dari petanda inIlamasi. Nyeri dapat timbul dengan berbagai cara,
perubahan pH lokal dan konsentrasi ion ion yang merangsang ujung saraI, pelepasan zat-zat
kimia tertentu, serta tekanan yang meningkat akibat terjadinya pembengkakan.
Tinitus
Tinitus merupakan salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa sensasi suara tanpa
adanya rangsangan dari luar, dapat berupa sinyal mekanoakusti maupun listrik. Keluhan tinitus
dapat berupa suara mendenging, menderu, mendesis atau berbagai suara yag lain.
Tinitus dapat terjadi akibat kelainan pada telinga yang dapat menimbulkan impuls
abnormal dari dalam (internal) tubuh penderita sehingga menyebabkan aktivitas elektrik pada
area auditoris yang menimbulakan perasaan adanya bunyi.
Tinitus bukanlah suatu penyakit melainan suatu gejala klinik dari penyakit telinga,
sehingga dalam penataaksanaan tinitus adalah dengan mengobati penyakit yang mendasarinya.
Diagnosis dapat di tegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan Iisik THT, otoskopi, test
penala, audiometri, OAE(Otoacustic Emmision), BERA (Brainstem Evoked Response
Audiometri), ENG serta pemeriksaan laboratorium.
Penatalaksanaan:
1. Psikologik
2. ElektroIisiologik
3. Medikamentosa
4. Tindakan bedah untuk tumor akustik neuroma
Limfadenopati
LimIadenopati berarti pembengkakan pada kelenjar limIe. Terdapat beberapa patoIisiologi
dari limIadenopati, yaitu:
1. Peningkatan jumlah imIosit dan makroIag jinak selama reaksi
terhadap antigen
2. InIiltrasi pada sel radang pada inIeksi yang menyerang kelenjar
limIe (limIadenitis)
3. ProliIerasi in situ dari limIosit maligna, atau makroIag
4. InIiltrasi kelenjar limIe oleh sel ganas metastatik
InIiltrasi kelenjar limIe oleh makroIag yang mengandung metabolit
dalam penyakit cadangan lipid.
Pasien dalam skenario mengalami limIadenopati pada kelenjar limIe servikal yang terjadi
akibat adanya respon inIlamasi pada telinga. Respon inIlamasi menebabkan peningkatan jumlah
limIosit dan makroIag selama reaksi terhadap antigen.
Demam Turun
Respon inIlamasi dapat berupa inIlamasi lokal maupun sistemik. Pada inIamasi terjadi
penglepasan berbagai mediator yang berasal dari jaringan yang rusak, sel mast, leukosit dan
komplemen. Mediator tersebut menyebabkan berbagai petanda klasik inIlamasi seperti edema,
bengkak, merah, sakit, dan gangguan Iungsi.
Pasien dalam skenario mengalami inIlamasi lokal pada telinga. Demam yang dialami
pasien dalam skenario turun setelah keluarnya cairan dari telinga. Sekret pada telingan pasien
mengandung kuman peyebab penyakit serta leukosit dari tubuh pasien. Leukosit-leukosit
tersebut mengeluarkan berbagai mediator inIlamasi yang menyebabkan peningkatan suhu
sehinggap pasien mengalami demam. Pada saat sekret tersebut keluar, sebagian besar kuman
beserta leukosit keluar sehingga demam pasien kemudian turun.
INTERPRETASI PEMERIKSAAN THT
Pemeriksaan telinga didapatkan discharge purulen. Discharge adalah substansi yang
dikeluarkan oleh tubuh, dapat merupakan suatu proses normal/Iisiologis, dapat pula karena
penyakit/patologis. Dapat berbentuk :
a. Mukous yaitu berupa lendir yang dikeluarkan membran mukosa yang
mengandung mucin, berbagai garam anorganik dan epitel-epitel yang lepas
atau leukosit.
b. Serous yaitu berupa cairan jernih seperti air biasanya mengandung enzim-
enzim
c. Purulen yaitu merupakan cairan yang keluar akibat inIlamasi yang
mengandung pus. Biasanya merupakan akibat dari inIeksi kuman pembentuk
pus (pus Iorming bacteria) yaitu staphylococcus aureus, streptococcus
hemolitikus, pneumococcus.
Jadi pada pemeriksaan telinga pasien yang didapatkan discharge purulen tadi kemungkinan
disebabkan oleh inIeksi kuman-kuman di atas. (Zainul A. DjaaIar,2001)
Hidung : discharge seromukous, konka hiperemi. Hal ini menandakan adanya proses
peradangan di daerah hidung pasien yang timbul dengan gejala batuk pilek. Peradangan ini bisa
disebabkan berbagai hal seperti alergen (debu), mikroorganisme (bakteri dan virus) dan lain-lain.
Tenggorok : mukosa pharynx hiperemi. Mukosa pharynx kemerahan/hiperemi
kemungkinan disebabkan terjadinya inIlamasi ataupun peradangan pada pharynx. Hal ini juga
berkaitan dengan keluhan pasien yang nyeri menelan. Peradangan pada pharynx atau pharyngitis
bisa disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,trauma,toksin dan lain-lain akan mengakibatkan rasa
tidak nyaman saat menelan (Rusmarjono,2007)
Hasil pemeriksaan laboratorium darah didapatkan leukositosis,eosinophylia dan LED
meningkat. Leukositosis adalah akumulasi jumlah leukosit secara abnormal di dalam darah.
Normalnya 4500-11.000/

. Penambahan jumlah leukosit yang berlebihan ini biasanya


disebabkan oleh inIeksi yang terjadi dalam tubuh kita. Pemeriksaaan laboratorium darah seperti
penambahan jumlah eosinoIil dapat menjadi pelengkap yang berguna untuk menegaskan
diagnosis gangguan alergi. EosinoIil dihubungkan dengan sejumlah tipe reaksi imun maupun
non-imun. Interpretasi eosinoIil sulit dikarenakan masalah dalam hal deIenisinya dan arenanya
dipengaruhi oleh ekskresi sejumlah obat seperti steroid dan agen beta adrenergik, waktu
pengambilan dan kinetiknya (Blumenthal,1997). LED yang meningkat juga menandakan adanya
inIeksi dalam tubuh kita, dengan penambahan partikel dalam darah kita maka pengendapan
darah akan semakin cepat.

INTERPRETASI PEMERIKSAAN DARAH
Leukosit atau sel darah putih dibentuk di sumsum tulang dari sel-sel progenitor. Pada
proses diIerensiasi selanjutnya, sel-sel progenitor menjadi golongan yang tidak bergranula, yaitu
limIosit T dan B, monosit dan makroIag atau golongan yang bergranula yaitu neutrophil,
basophil, dan eosinophil. Jumlah normal leukosit di dalam sirkulasi adalah 4.500-11.000/uL.
Peran sel darah putih adalah untuk mengenali dan melawan mikroorganisme pada reaksi
imun, dan untuk membantu proses peradangan dan penyembuhan.
Leukositosis adalah peningkatan jumlah sel darah putih dalam sirkulasi (nilainya melebihi
11.000/uL). Leukositosis merupakan respons normal terhadap inIeksi dan peradangan.
Leukositosis abnormal dijumpai pada keganasan tertentu dan gangguan sumsum tulang.
Biasanya hanya satu jenis sel darah yang terganggu. Sebagai contoh, respons alergi dan asma
secara spesiIik berkaitan dengan kenaikan eosinophil.
Penyebab leukositosis berdasarkan hitung jenis :
NeutroIilia : NeutroIil meningkat melebihi normal yang disebabkan oleh inIeksi
bakteri, inIlammatory bowel disease, rheumatoid arthritis, vasculitis, keganasan,
pemberian kortikosteroid, dan splenektomi.
LimIositosis : Jumlah limIosit meningkat melebihi normal oleh karena inIeksi virus.
Monositosis : Jumlah monosit meningkat melebihi normal karena inIeksi bakteri
(tuberculosis, endocarditis bakterialis subakut, brucellosis).
BasoIilia : Jumlah basophil meningkat melebihi normal karena adanya keganasan.
EosinoIilia : Jumlah eosinophil meningkat melebihi normal oleh karena alergi,
hipersensitivitas terhadap obat, inIeksi parasit, inIeksi virus, keganasan, dan kelainan
kulit.
EosinoIil adalah sel darah putih dari kategori granulosit yang berperan dalam sistem
kekebalan dengan melawan parasit multiselular dan beberap inIeksi. Bersama-sama dengan sel
biang, eosinoIil juga ikut mengendalikan mekanisme alergi.
EosinoIil terbentuk pada proses haematopoiesis yang terjadi pada sumsum tulang sebelum
bermigrasi ke dalam sirkulasi darah.
EosinoIil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin, eosinoIil
peroksidase, ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, plasminogen dan beberapa asam
amino yang dirilis melalui proses degranulasi setelah eosinoIil teraktivasi. Zat-zat ini
bersiIat toksin terhadap parasit dan jaringan tubuh. EosinoIil merupakan sel
substrat peradangan dalam reaksi alergi. Aktivasi dan pelepasan racun oleh eosinoIil diatur
dengan ketat untuk mencegah penghancuran jaringan yang tidak diperlukan.
Individu normal mempunyai rasio eosinoIil sekitar 1 hingga 6 terhadap sel darah
putih dengan ukuran sekitar 12 - 17 mikrometer.
EosinoIil dapat ditemukan pada medulla oblongata dan sambungan antara korteks otak
besar dan timus, dan di dalam saluran pencernaan, ovarium, uterus, limpa dan lymph nodes.
Tetapi tidak dijumpai di paru, kulit, esoIagus dan organ dalam lainnya, pada kondisi normal,
keberadaan eosinoIil pada area ini sering merupakan pertanda adanya suatu penyakit.
EosinoIil dapat bertahan dalam sirkulasi darah selama 8-12 jam, dan bertahan lebih lama
sekitar 8-12 hari di dalam jaringan apabila tidak terdapat stimulasi.
EosinoIilia adalah tingginya rasio eosinoIil di dalam plasma darah. EosinoIilia bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan respon terhadap suatu penyakit. Peningkatan
jumlah eosinoIil dalam darah dipicu sekresi interleukin-5 oleh sel T, mastosit dan makroIaga,
biasanya menunjukkan respon yang tepat terhadap sel-sel abnormal, parasit atau bahan-bahan
penyebab reaksi alergi (alergen).
Setelah dibuat di dalam sumsum tulang, eosinoIil akan memasuki aliran darah dan tinggal
dalam darah hanya beberapa jam, kemudian masuk ke dalam jaringan di seluruh tubuh. Jika
suatu bahan asing masuk ke dalam tubuh, akan terdeteksi oleh limIosit dan neutroIil, yang akan
melepaskan bahan untuk menarik eosinoIil ke daerah ini. EosinoIil kemudian melepaskan
bahan racun yang dapat membunuh parasit dan menghancurkan sel-sel yang abnormal.
Laju Endap Darah (LED) atau dalam bahasa inggrisnya Erythrocyte Sedimentation Rate
(ESR) merupakan salah satu pemeriksaan rutin untuk darah yang dilihat dari laju mengendapnya
eritrosit dalam tabung vertical. Makin banyak eritrosit yang mengendap maka makin tinggi Laju
Endap Darah (LED)-nya. LED normal tergantung pada usia (normal _ |usia/2| -10), adanya
protein Iase akut serta jumlah protein tersebut dalam darah, serta densitas eritrosit (pada anemia
LED meningkat).
Peningkatan LED merupakan respon yang tidak spesiIik terhadap kerusakan jaringan dan
merupakan petunjuk adanya penyakit. Peningkatan LED menunjukkan suatu inIeksi yang aktiI
atau terapi penyakit sebelumnya yang tidak berhasil. LED yang tinggi juga dapat dijumpai pada
keadaan-keadaan seperti haid, anemia, kehamilan setelah bulan ketiga, dan pada orang tua.
Beberapa obat-obatan juga dapat meningkatkan hasil LED, diantaranya dextran, metildopa,
kontrasepsi oral, teoIilin, penisilamin prokainamid, dan vitamin A, sementara aspirin, kortison,
dan kuinin dapat menurunkan LED.
Tinggi ringannya nilai pada Laju Endap Darah (LED) memang sangat dipengaruhi oleh
keadaan tubuh kita, terutama saat terjadi radang. Namun ternyata orang yang anemia, dalam
kehamilan dan para lansia pun memiliki nilai Laju Endap Darah yang tinggi. Jadi orang normal
pun bisa memiliki Laju Endap Darah tinggi, dan sebaliknya bila Laju Endap Darah normalpun
belum tentu tidak ada masalah.

DIAGNOSIS BANDING
Otitis Media
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis
media supuratiI dan otitis media non supuratiI. Dan setiap pembagian tersebut memiliki bentuk
akut dan kronis, yaitu otitis media supuratiI akut (otitis media akut OMA) dan otitis media
supuratiI kronis (OMSK). Selain itu, terdapat juga otitis media spesiIik, seperti otitis media
tuberkulosa atau otitis media siIilitika (DjaaIar dkk, 2007).

A. Otitis Media Akut
Sumbatan pada saluran tuba eustachius merupakan Iactor penyebab utama dari Otitis
Media akut (OMA). Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah inIeksi saluran naIas.
Adapun kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik seperti $treptokokus
hemolitikus, $tafilokokus aureus, Pneumokokus. Selain itu kadang-kadang ditemukan juga
HemoIilus inIluenza, Escherichia colli, Streptokokus anhemolitikus, Proteus vulgaris, dan
Pseudomonas aerugenosa (DjaaIar dkk, 2007).
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat inIeksi dapat dibagi atas 5 stadium yaitu:
Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negative di dalam
telinga tengah. Kadang berwarna normal atau keruh pucat. EIusi tidak dapat dideteksi.
Sukar dibedakan dengan otitis media serosa akibat virus atau alergi.
Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi)
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau seluruh membran
timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih
bersiIat eksudat serosa sehingga sukar terlihat.
Stadium Supurasi
Membran timpani menonjol kea rah telinga luar akibat edema yang hebat pada
mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superIicial serta terbentuknya eksudat
purulen di kavum timpani. Pasien merasa sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta
nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan tidak berkurang, akan terjadi iskemia,
tromboIlebitis dan nekrosis mukosa serta submukosa. Nekrosis ini terlihat sebagai daerah
yang lebih lembek dan kekuningan pada membran timpani. Di tempat ini akan terjadi
ruptur.
Stadium Perforasi
Karena pemberian antibiotic yang terlambat atau virulensi kuman yang tinggi,
dapat terjadi ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke
telinga luar. Pasien yang semula gelisah menjadi tenang, suhu badan turun dan dapat
tidur dengan nyenyak.
Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh maka perlahan-lahan akan normal kembali. Bila
telah terjadi perIorasi maka secret akan berkurang dan mongering. Bila daya tahan tubuh
baik dan virulensi kuman rendah maka resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan. Otitis
media akut (OMA) berubah menjadi otitis media supuratiI subakut bila perIorasi menetap
dengan secret yang keluar terus menerus atau hilang timbul lebih dari 3 minggu. Disebut
otitis media supuratiI kronik (OMSK) bila berlangsung lebih dari 1,5 atau 2 bulan. Dapat
meninggalkan gejala sisa berupa otitis media serosa bila secret menetap di kavum timpani
tanpa perIorasi.
Pengobatan pada OMA tergantung pada stadium penyakitnya.
Pada stadium oklusi diberikan obat tetes hidung. HCl eIedrin 0,5 dalam larutan
Iisiologik (anak 12 tahun) atau HCl eIedrin 1 dalam larutan Iisiologik untuk yang berumur
diatas 12 tahun dan pada orang dewasa.
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika (golongan penisilin atau ampisilin),
obat tetes hidung, dan analgetika. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB
per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau
eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotic, idealnya harus disertai dengan
miringotomi, bila membrane timpani masih utuh.
Pada stadium perforasi pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H
2
O
2
3
selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.
Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur normal kembali, secret tidak
ada lagi dan perIorasi membrane timpani menutup. Namun, apabila edema mukosa telinga
tengah masih berlanjut, antibiotika dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila setelah 3 minggu setelah
pengobatan masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis.
B. Otitis Media SupuratiI Kronis
Otitis media supuratiI kronis (OMSK) adalah inIeksi kronis di telinga tengah dengan
perIorasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus-menerus atau hilang
timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening, atau berupa nanah (DjaaIar dkk, 2007).
OMSK dapat dibagi menjadi 2 jenis yaitu (1) OMSK tipe aman (tipe mukosa tipe
benigna) dan (2) OMSK tipe bahaya (tipe tulang tipe maligna). Proses peradangan pada OMSK
tipe man terbatas pada mukosa saja, dan biasanya tidak mengenai tulang. PerIorasi terletak di
sentral dan tidak terdapat kolesteatoma. OMSK tipe bahaya letak perIorasinya di marginal atau
atik.
Diagnosis OMSK dapat ditegakkan dengan:
a. Anamnesis (history-taking)
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita seringkali
datang dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering
dijumpai adalah telinga berair, adanya sekret di liang telinga yang pada tipe
tubotimpanal sekretnya lebih banyak dan seperti berbenang (mukous), tidak berbau
busuk dan intermiten, sedangkan pada tipe atikoantral, sekretnya lebih sedikit, berbau
busuk, kadangkala disertai pembentukan jaringan granulasi atau polip, maka sekret
yang keluar dapat bercampur darah. Ada kalanya penderita datang dengan keluhan
kurang pendengaran atau telinga keluar darah.
b. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perIorasi. Dari perIorasi
dapat dinilai kondisi mukosa telinga tengah.
c. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai hantaran tulang
dan udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk
menentukan gap udara dan tulang. Audiometri tutur berguna untuk menilai speech
reception threshold` pada kasus dengan tujuan untuk memperbaiki pendengaran.
d. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional, Ioto polos radiologi, posisi Schller berguna untuk menilai
kasus kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT scan dapat lebih eIektiI menunjukkan
anatomi tulang temporal dan kolesteatoma.
Komplikasi pada OMSK ini dapat berupa komplikasi intratemporal seperti parese n.Iasial,
ataupun ekstrateporal seperti abses ekstradural, abses intradural, abses subdural, dll. Pada radang
telinga tengah menahun ini walaupun telinga berair sudah bertahun-tahun lamanya telinga tidak
merasa sakit, apabila didapati telinga terasa sakit disertai demam, sakit kepala hebat dan kejang
menandakan telah terjadi komplikasi ke intrakranial.
Komplikasi ke intrakranial, merupakan penyebab utama kematian pada OMSK di negara
sedang berkembang, yang sebagian besar kasus terjadi karena penderita mengabaikan keluhan
telinga berair. (WHO) Meningitis atau radang selaput otak adalah komplikasi intrakranial OMSK
yang paling sering ditemukan di seluruh dunia, biasanya mempunyai gejala demam, sakit kepala
serta adanya tanda-tanda perangsangan meningen, seperti kejang. Kematian terjadi pada 18,6
kasus OMSK dengan komplikasi intrakranial.
Namun Irekuensi komplikasi yang mengancam jiwa pada OMSK telah menurun secara
dramatis dengan ditemukannya antibiotik. Angka mortalitas menurun tajam dari 76 pada
tahun 1930-an menjadi 36 pada tahun 1980-an.
Prinsip terapi OMSK tipe aman ialah konservatiI atau dengan medika mentosa. Bila secret
masih keluar terus menerus, maka diberikan obat pencuci telinga, berupa larutan H
2
O
2
3
selama 3-5 hari. Setelah secret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes
telinga yang mengandung antibiotika dan kortekosteroid.
Bila secret telah kering, tetapi perIorasi masih ada, idealnya dilakukan miringoplasti atau
timpanoplasti. Bila terdapat sumber inIeksi yang menyebabkan secret tetap ada, atau terjadinya
inIeksi berulang, maka sumber inIeksi harus diobati terlebih dahulu, mungkin juga diperlukan
pembedahan seperti adenoidektomi dan tonsilektomi.
Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah pembedahan, yaitu mastoidektomi dengan atau
tanpa timpanoplasti. Terapi konservatiI dengan medikamentosa hanya merupakan terapi
sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses sub-periosteal retroaurikuler,
maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi.

Hipertrofi Adenoid
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limIoid pada dinding posterior
nasoIaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin waldeyer.
Apabila sering terjadi inIeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi hipertroIi
adenoid yang akan mengabatkan sumbatan pada koana, sumbatan tuba eustachius serta gejala
umum. Akibat sumbatan koana maka pasien akan bernapas lewat mulut sehingga terjadi :
a) Jika berlangsung lama menyebabkan palatum durum lengkungnya menjadi tinggi dan
sempit, area dentalis superior lebih sempit dan memanjang daripada arcus dentalis
inIerior hingga terjadi malocclusio dan overbite (gigi incisivus atas lebih menonjol ke
depan).
b) Muka penderita kelihatannya seperti anak yang bodoh, dan dikenal sebagai Iacies
adenoidea.
c) Mouth breathing juga menyebabkan udara pernaIasan tidak disaring dan kelembabannya
kurang, sehinnga mudah terjadi inIeksi saluran pernaIasan bagian bawah. Faringitis dan
bronkitis.
d) Pada sumbatan, tuba eustachius akan terjadi otitis media serosa baik rekuren maupun
otitis medis akut residiI, otitis media kronik dan terjadi ketulian. Obstruksi ini juga
menyebabkan perbedaan dalam kualitas suara.
Gejala umum yang ditemukan pada hipertroIi adenoid yaitu gangguan tidur, tidur
ngorok/mendengkur, retardasi mental dan pertumbuhan Iisis kurang dan dapat menyebabkan
sumbatan pada jalan napas bagian atas yang dapat mencetuskan kor pulmonale dimana sukar
disembuhkan dengan penggunaan diuretik tetapi memberikan respon yang cepat terhadap
adenoidektomi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisis
a. Directa:
1. Dengan melihat transoral langsung ke dalam nasoIaring setelah palatum
molle di retraksi.
2. Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas palatum molle
waktu mengucapkan "i" yang terhambat oleh pembesaran adenoid, hal
ini disebut Ienomena palatum molle yang negatiI
b. Indirecta:
1. Dengan cermin dan lampu kepala melihat nasoIaring dari arah
oroIaring dinamakan rhinoskopi posterior.
2. Dengan nasoIaringioskop, suatu alat seperti scytoskop yang
mempunyai sistem lensa dan prisma dan lampu diujungnya, dimasukkan
lewat cavum nasi, seluruh nasoIaring dapat dilihat.
c. Palpasi.
Jari telunjuk yang dimasukkan ke nasoIaring dapat meraba adenoid yang
membesar.

3. Pemeriksaan penunjang:
a. Radiologi. Pengambilan Ioto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertroIi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan karena
ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan dengan
pengambilan Ioto lateral bisa menunjukkan ukuran adenoid dan derajat
obstruksi.
b. Endoskopi. Endoskopi yang Ilexible membantu dalam mendiagnosis
adenoid hipertroIi, inIeksi pada adenoid, dan insuIisiensi velopharyngeal
(VPi), juga dalam menyingkirkan penyebab lain dari obstruksi nasal.
(EIiaty Arsyad Soepardi, 2007)

Faringitis
Faringitis (pharyngitis) Akut, adalah suatu penyakit peradangan tenggorok (Iaring) yang
siIatnya akut (mendadak dan cepat memberat). Umum disebut radang tenggorok. Radang ini
menyerang lapisan mukosa (selaput lendir) dan submukosa Iaring.
Disebut Iaringitis kronis bila radangnya sudah berlangsung dalam waktu lama dan biasanya
tidak disertai gejala yang berat.
Penyebab:
1. Radang ini bisa disebabkan oleh virus atau kuman.
2. Biasanya disebabkan oleh bakteri streptokokus grup A. Namun bakteri lain
seperti . gonorrhoeae, C. diphtheria, H. influen:a juga dapat menyebabkan
Iaringitis.
3. Apabila disebabkan oleh inIeksi virus biasanya oleh #hinovirus, Adenovirus,
Parainfluen:a virus danCoxsackie virus.
4. Faringitis juga bisa timbul akibat iritasi udara kering, merokok, alergi, trauma
tenggorok (misalnya akibat tindakan intubasi), penyakit reIluks asam lambung,
jamur, menelan racun, tumor.
Gejala dan tanda yang sering muncul pada Iaringitis adalah:
1. Nyeri tenggorok dan nyeri menelan
2. Tonsil (amandel) membesar
3. Mukosa yang melapisi Iaring mengalami peradangan berat atau ringan dan tertutup
oleh selaput yang berwarna keputihan atau mengeluarkan pus (nanah).
4. Demam, bisa mencapai 40C.
5. Pembesaran kelenjar getah bening di leher.
6. Setelah bakteri atau virus mencapai sistemik maka gejala-gejala sistemik akan
muncul,
7. Lesu dan lemah, nyeri pada sendi-sendi otot, tidak naIsu makan dan nyeri pada
telinga.
8. Peningkatan jumlah sel darah putih.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan Iisik:
1. Kemerahan dan peradangan dinding belakang mukosa mulut.
2. Pembengkakan mukosa
3. Adanya selaput, bintik-bintik, nanah pada mukosa
4. Dengan menggunakan penilaian tertentu atas gejala dan tanda, bisa diprediksi
penyebab Iaringitis apakah viral atau bakterial
Pemeriksaan penunjang:
1. Pemeriksaan terhadap apus tenggorok.
2. Skrining terhadap bakteri Streptokokus.
3. Darah rutin menunjukkan peningkatan jumlah lekosit.
4. Kultur dan uji resistensi bakteri bila diperlukan
(EIiaty Arsyad Soepardi, 2007)


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Diagnosis sementara pasien dalam sekenario adalah Otitis Media Akut yang merupakan
komplikasi dari terjadinya inIeksi pada pharynx atau saluran napas atas.
B. SARAN
Sebaiknya diberi penatalaksanaan yang tepat sesuai dengan causa penyakit agar Otitis Media
Akut yang terjadi tidak lanjut menjadi Otitis Media SupuratiI Kronis.















DAFTAR PUSTAKA

Soepardi, EIiaty Arsyad, dkk. 2007. uku Afar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher Edisi ke enam. Jakarta : FKUI

Elizabeth J. Corwin. uku $aku Patofisiologi Edisi 3. 2009. EGC: Jakarta

Young, Barbara; Lowe, Joseph O'Connell; Stevens, Alan; Heath, John W. (2006). Wheaters
Functional Histology (edisi ke-5)

Davey, Patrick. At a Glance Medicine. 2006. Erlangga: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai