Anda di halaman 1dari 5

PENBIBIKAN

BERKARAKTER BI
INB0NESIA






nIMAWAN kL2A ANNAS











SMA NLGLkI 1 SUkAkAk1A
2011]2012
kS ] 19

Pendidikan NasionaI Berkarakter Indonesia
Oleh : Yulizal Yunus
(Peneliti Pendidikan/ Ketua Lembaga Penelitian IAIN Imam Bonjol Padang)
Fenomena ini justru menarik dikaji dalam momentum peringatan hari
pendidikan nasional (2 Mei 2011) sebagai sharing pendapat dalam diskusi lewat
massmedia dengan para pengamat dan penulis bidang pendidikan, khusus dengan
penulis dua artikel pendidikan (Cameron Malik dan Mora Dingin menanggapi
Muhammad Kosim) yang dipublikasi Padek 30 April 2011 pada ruang opini.
Tulisan ini mendiskusikan isu mutu pendidikan nasional dan solusi
permasalahannya.

Masih ada trauma bangsa mengingat Laporan Human Development Index
(HDI, 2003) yang menyebut mutu pendidikan Indonesia pada urutan ke-112
(0,682) dari 175 negara, lebih rendah dari posisi Singapura di urut ke-28 (0,888),
Brunei Darussalam ke-31 (0,872), Malaysia ke-58 (0,790), Thailand ke-74 (0,768),
dan Filipina ke-85 (0,751).

Sudahlah dan cukup, itu laporan HDI dulu. Jadikan saja pengalaman lama.
Yang penting sekarang, kita tumbuhkan spirit baru. Harapan Iajar menyingsing,
mudah-mudahan terang pelaksanaan 'standar nasional pendidikan seperti yang
diamanatkan PP Nomor 19 Tahun 2005 berjalan sebagai jawaban mengangkat
mutu pendidikan nasional. Juga diperkuat dengan pelaksanaan '8 standar nasional
mutu (yakni standar kepentensi lulusan, isi, pendidik dan tenaga kependidikan,
proses, sarana prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan pernilaian pendidikan).
Dengan standar nasional mutu ini bangsa berharap dapat membawa berkah
memperkuat dan memastikan arah pendidikan nasional yang karakter yakni
'berwatak dan berperadaban bangsa Indonesia beriman dan bertakwa serta
berakhlak mulia dst, seperti yang digariskan tujuan pendidikan dasional dalam
UU 20/ 2033.

Tegasnya, pendidikan tidak berhenti pada 'proses pemerdekaan individu,
dan tidak pula seperti pernyataan lama 'memanusiakan manusia (miring) seperti
juga diulang Cameron (Padek 30/4), sebab peserta didik sejak lahir sudah manusia
malah sudah dibekali Iitrah yang intinya sudah bertauhid (godspot istilah Ary
1ype Lhe absLracL of Lhe documenL here 1he absLracL ls Lyplcally a shorL summary of Lhe conLenLs of
Lhe documenL 1ype Lhe absLracL of Lhe documenL here 1he absLracL ls Lyplcally a shorL summary of Lhe
conLenLs of Lhe documenL
inanjar, menyebut manusia itu sudah punya otak bagai raksasa tidur). Hanya saja
yang benar belum menjadi 'manusia sempurna (insan kamil) atau belum menjadi
'orang Indonesia seutuhnya seperti tujuan pendidikan nasional yang ingin
dicapai.

Barat justru gagal karena mementingkan hak manusia semata, seperti juga
timur gagal karena mementingkan aspek ketuhanan semata sedangkan aspek
manusia hanya tinggal dalam tataran ide. Karena itu tujuan pendidikan nasional
jadi menarik yang menggabungkan dimensi manusia (berperadaban bangsa) dan
Tuhan (beriman dan bertaqwa) yang dirasakan sangat teo-humanis.

Sebenarnya bentuk tujuan pendidikan teo-humanis ini amat dirindukan
dikaitkan dengan Ienomena sikap latah dunia melekatkan kata 'terorisme pada
Islam, tak harus kepada Islam saja. Fenomena ini disadari atau tidak sebagai
proses memarjinalkan umat Islam. Orang Indonesia yang sangat socialized, justru
sangat agamis dan dominan penganut Islam pada satu sisi sangat-sangat comited
dan gencar memerangi terorisme dan justru paling banyak menjadi korban akibat
teroris.

Di Indonesia, tujuan pendidikannya sudah mengarah 'berkarakter yang
sangat suIistik dan teo-humanis mirip dengan yang diistilahkan Kuntowijoyo
sangat proIetik, yakni kombinasi dimensi sosial yang provant (galomor) dengan
dimensi transedental/ketuhanan. Karena sudah ada tujuan 'peradaban bangsa
(dimensi manusia/ sosial budaya provan), berakhlak mulia dan 'beriman bertaqwa
(dimensi ketuhanan/ transedental). Proses pencapaian tujuan itu tergambar dalam
pelaksanaan 'standar proses yakni satu dari 8 standar nasional mutu, yang
menekankan pada proses pembelajaran interaktiI, inspiratiI, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktiI, serta memberikan
ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat,
minat, dan perkembangan Iisik serta psikologis peserta didik.

Betapa tidak, kalau pendidikan berkarakter yang dicanangkan pemerintah
ini, cepat terlaksana dengan menumbuhkan brainstorming dalam bidang
pendidikan yakni keterdidikan dan kecerdasan intelektual rasional, dialogis, tetapi
juga cerdas emosional dan cerdas spiritual. Bahkan dimungkin menjadi saIety
valve dari terjadinya kekerasan yang disadari atau tidak rentan tumbuhnya sikap
keterdidikan yang tidak cerdas bahkan salah arah seperti kelompok pengebom
masjid yang jadi gunjing, perIormance pendidikan cuci otak dan indoktrinasi
seperti NII yang lagi heboh, dan sangat monologis yang rentan eksklusivism
(bagian dari prinsip brainwashing) dalam bidang pendidikan. Perilaku yang
terakhir ini, bila ruang dan kesempatan sempit dan menghambat kepentingannya,
berpotensi melakukan tindakan demonstratiI atau diam-diam anarkis dan
kontraprodukti dikhawatiri menjadi bibit teroris. Karenanya patut bersama-sama
mengembangkan pendidikan berkarakter seperti yang tersirat dalam tujuan
pendidikan nasional yang berdimensi kemanusian (berwatak dan berperadaban
bangsa) dan dimensi ketuhanan (suIistik, proIetik atau teo-humanis yang
menyalakan energi keimanan dan ketaqwaan membentuk pribadi yang berakhlak
mulia).

Bentuk alternatiI pelaksanaan pendidikan berkarakter dalam tataran ide
mencermati kebijakan pendidikan nasional, adalah praktek pendidikan tidak
semata berorientasi pada aspek kognitiI, melainkan secara terpadu yang
memadukan taksonomi kognitiI dan ranah apektiI dan psikomotorik.

Apalagi dikaitkan dengan situasi sekarang terutama dalam prinsip ujian
(seperti juga UN) terasa penerapan prinsip kejujuran ini penting, di mana
pelaksanaan ujian itu sekaligus uji kejujuran, baik bagi peserta didik maupun guru.
Betapa susah guru mendidik menerapkan siIat jujur, 9 tahun lamanya dari SMA
sejak SD. Saatnya UN, dengan kompetisi diam-diam ada kekuatan maya memaksa
guru berbuat tak jujur. Isu, ya isu, ada sebuah kepenting politik bagi kelulusan
prima, justru kelulusan itu menjadi kinerja pemda dalam kerangka pertarungan
bagi-bagi dan perebutan kue (anggaran dan kekuasaan) pembangunan.

Mau tak mau kelulusan 100 bagaimana pun caranya harus dicapai. uru
dipaksa dan terpaksan membawakan kunci jawaban, ada ditunjukan langsung dan
ada di-SMS-kan. Dampaknya murid tak mandiri, lebih dari itu etos belajar
melemah, 'belajar tak belajar toh ujian dapat juga. Sialnya anak yang lemah di
kampung terpencil yang dilarang Bupati k membeli buku ajar dari guru lantaran
ada dana BOS justru lulus dengan kunci jawaban, sementara anak yang terpintar
yang masa belajar kaya buku reIensi di metroplitas tak lulus lantaran tidak percaya
kunci jawaban.
Di mana lagi martabat guru, tak mungkin lagi lahir guru berkarakter dan
disegani murid. Dulu ia mengajar murid jujur, tiba-tiba dengan Ienomena evaluasi
nasional dipaksa tak jujur lagi. Bukannya guru yang mengevaluasi sebagai bagian
tugasnya, tetapi justru, guru yang diawasi oleh pengawasn non guru bahkan
mengambil/ mengantarkan soal saja, guru diawasi polisi. Jelas-jelas tak ada lagi
kepercayaan kepada guru.

Dalam Ienomena UN ini tak salah (semuanya) pada guru. Kalau pun ada
yang salah itu pasti tidak banyak (kalau pun ada,yang salah, sanksi pun ada). uru
(2009) berjumlah 2.607.311 orang (PNS 1.579.381 dan Non PNS 1.027.930)
mengalami nasib yang sama. Air mata jatuh ke perut, sedih dan menyedihkan, guru
terjebak perangkap krisis kepercayaan, wibawa guru mengalami erosi dan
bangkrut, martabat guru jatuh, karakter (kepribadian) guru dibuat luntur. 'Malang
nasibmu, guru!, teriak nurani para pendidik murni. Karena bagaimanapun ( dalam
UU 14/2005) guru diharapkan sebagai pendidik proIesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
Iormal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU 14/2005 Pasal 1 butir 1.).
Kenyataannya terbalik, tugas evaluasi tidak lagi menjadi kewenanganya. Di mana
lagi poisi guru sebagai Iaktor dominan menentukan dalam pencapaian tujuan
pendidikan nasional berkarakter berwatak, berperadaban bangsa yang beriman dan
bertaqwa sebagai proses melahirkan orang Indonesia seutuhnya? Kita semua
comited mewujudkan tujuan pendidikan nasional itu. Semoga esok lebih baik.
Dirgahayulah Pendidikan Nasional 2011.

5umber http//podonqeksprescoid/?newsnberitoid25

Anda mungkin juga menyukai