Anda di halaman 1dari 5

MENAKAR KEMBALI KADAR NASIONALISME KITA

1

Oleh : Thariq Mahmud
2


Beberapa hari yang lalu, genap kita merayakan hari kemerdekaan
Indonesia yang telah memasuki usia 66 tahun, sebuah angka yang cukup
menunjukan bahwa kita telah matang sebagai negara yang telah lepas
dari belenggu penjajahan. Setiap memasuki bulan Agustus, hampir
seluruh wilayah Indonesia terhiasi oleh beragam pernak pernik, serta
beberapa simbol berwarna merah putih. Mulai dari gedung bertingkat
hingga gubuk bambu tempat tinggal warga miskin sudah pasti memasang
bendera kebangsaan kita. Pertanyaannya kemudian, mungkinkah perilaku
itu hanya sekedar sebuah ritual simbolik, atau memang mereka
melakukannya sebagai bentuk kecintaannya terhadap negeri. Masih adakah
rasa nasionalisme atau kecintaan warga negara Indonesia terhadap
bangsanya.

Sungguh dipahami, bahwa untuk menakar kecintaan seseorang
terhadap negaranya bukan hanya dilihat seberapa tinggi bendera
dikibarkan dihalaman rumah, atau seberapa banyak pernak-pernik
berwarna merah putih yang dikenakan oleh tubuhnya, namun lebih jauh
dari itu, nasionalisme dan kecintaan seseorang terhadap bangsa saat
ini terlihat dari apa yang telah dilakukannya terhadap negara, menjadi
pahlawan atau malahan menjadi maling.

Penting untuk kita renungkan kembali apa makna kemerdekaan bagi
rakyat Indonesia, dan apa alasan para pendiri negara berkeyakinan
dengan sangat bahwa sudah saatnya Indonesia merdeka pada tahun 1945
setelah menderita akibat jajahan panjang negara kolonial hampir 3,5
abad lamanya. Dalam pidatonya di depan komite persiapan kemerdekaan
yang dibentuk oleh Jepang pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno
mengatakan bahwa kemerdekaan merupakan hal yang mutlak untuk diraih
pada saat itu. Kemerdekaan merupakan sebuah jembatan emas yang dapat
mengantarkan rakyat Indonesia pada bentuk yang sempurna, dimana
rakyatnya tidak lagi bodoh, sejahtera dan memiliki kedaulatan
seutuhnya sebagai manusia.

Kita bisa membayangkan bagaimana semangat para pendiri republik
bersama rakyat saat itu. Dengan kondisi yang sangat memprihatinkan,
mereka berani memutuskan untuk merdeka dari belenggu penjajahan dimana
sebagian besar rakyat pada saat masih dalam keadaan bodoh, tidak bisa
baca tulis, pengangguran dimana-mana, listrik belum ada, infrastruktur
seadanya. Namun kita punya satu senjata ampuh saat itu, yakni
keyakinan dan semangat kecintaan terhadap ibu pertiwi atau rasa
nasionalisme. Dengan senjata itu dan juga berkat rahmat Allah SWT,
merdekalah bangsa kita, kemerdekaan untuk semua golongan, suku dan
agama yang terbentang dari bumi Aceh hingga tanah Irian. Rasa
nasionalisme telah menyatukan dan mengikat kita sebagai bangsa besar,

1
1ullsan lnl dlsampalkan dalam acara dlalog Cepak dengan 1a[uk korups| dan Lunturnya Nas|ona||sme Anak
8angsa" ulselenggarakan oleh u CLAk 26 AgusLus 2011
2
enulls adalah keLua umum CLAk
menciptakan apa yang oleh Ernst Renan sebut sebagai Solidaritas Agung
(the grand solidarity) yang menyatukan penduduk yang berlatar belakang
beraneka ragam kedalam sebuah entitas abstrak bernama Indonesia
3
.

Untuk masa sekarang, penjajahan secara fisik memang telah hilang,
tak ada lagi dentuman meriam, deru tank baja dan pekikan merdeka
ketika orang saling menyapa. Namun, hal tersebut sejatinya tidak
membuat rasa nasionalisme kita lantas hilang. Sebab tantangan demi
tantangan silih berganti datang menghampiri bangsa kita, memberikan
pengalaman serta pendewasaan bagi perjalanan berbangsa dan bernegara.
Semenjak Indonesia merdeka, bangsa ini telah berhasil melewati
masalah-masalah politik dalam bentuk pencarian format sistem
kenegaraan, pemberontakan, penggulingan rezim, separatisme dll. Bangsa
ini juga telah kenyang dalam jatuh bangunnya kondisi ekonomi baik
dalam kondisi kemelaratan hingga diakui sebagai keajaiban ekonomi di
tingkat Asia.

Namun hingga detik ini, pemerintah dari waktu ke waktu belum
berhasil menangani sebuah penyakit ganas yang bernama Korupsi. Praktik
korupsi memang bukanlah sesuatu yang baru bagi bangsa Indonesia. Pada
tahun 1957, sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer lewat
Novelnya berjudul Korupsi, telah melukiskan bagaimana virus korupsi
telah menjalar merasuki tatanan birokrasi di Indonesia. Penyakit
korupsi kemudian bertambah subur ketika Rezim Jrde Baru berkuasa,
begawan Ekonomi Indonesia menyebutkan terjadi kebocoran dana
pembangunan antara tahun 1989-1993 sebesar 30 persen
4
. Sensasi korupsi
bukan saja berhenti sampai disana, memasuki era reformasi perilaku
korup warga negara bertambah kronis.

Korupsi kini bukan hanya menjangkiti para aparat negara namun
juga telah menular ke masyarakat sebagai pelakunya. Jujur menjadi
barang yang amat langka, kini masyarakat bukan hanya memberikan
pemakluman terhadap korupsi bahkan integritas malahan mendapatkan
perlawanan dari masyarakat itu sendiri, contohnya kita bisa lihat
tentang apa yang menimpa Ibu Siami (kasus mencotek massal) di Surabaya
beberapa saat yang lalu.

Sepanjang perjalanan bangsa ini, mungkin hanya korupsi masalah
yang belum diatasi dengan nilai yang memuaskan, semua upaya masih
berjalan di tempat bahkan cenderung mengalami kemunduran. Padahal,
semua kalangan menyadari bahwa korupsilah yang merintangi kemajuan
bangsa ini, negeri dengan wujud surga namun banyak rakyat yang
menderita. Bahaya korupsi menjadi selalu menjadi bahan perbincangan
dalam setiap seminar, diskusi,hingga dalam kampanye pada pemlihan
umum. Dalam tingkatan yang lebih formal, tak kalah banyaknya upaya
pemerintah dalam memerangi kejahatan korupsi, termaktub dalam TAP MPR,
Undang-Undang, Instruksi Presiden serta peraturan-peraturan formal
lainnya. Pemerintahan dari era Soekarno hingga kini pun telah

3
Abdul Mallk Clsmar kefotmosl 5eteoqob Motooq (!akarLa1era[u 2010) hal 30
4
8adan engawas keuangan dan embangunan 5ttoteql lembetootosoo kotopsl Nosloool 1999 hal 296
membentuk lembaga-lembaga anti korupsi, terlebih di era pemerintahan
Yudhoyono. Dalam beberapa kesempatan bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengatakan akan menjadi panglima bagi pemberantasan korupsi.
Artinya, pada tingkatan wacana dan slogan pemerintah dapat dikatakan
bersungguh-sungguh dalam melakukan perlawanan terhadap korupsi, namun
apa guna wacana tanpa terlihatnya hasil, rakyat saat ini menunggu
hasil konkrit, rakyat perlu wujud nyata, bukan hanya sekedar janji dan
harapan belaka.

Sebagai pengahalang utama kemajuan bangsa, korupsi memang perlu
penanganan yang istimewa baik secara struktural maupun kultural.
Segalanya pasti ada batasannya, berapa besar pun kekayaaan negeri ini
pasti juga akan menyongsong kebangkrutan bila kebocoran akibat korupsi
tak kunjung diatasi dengan serius. Harapan kita dalam melihat masa
depan nyaris saja punah, ketika kita melihat aksi pemuda seperti
Muhammad Nazaruddin (32) dan Gayus Tambunan (29) dengan kuatnya
menggocangkan publik karena kasus mega korupsi yang mereka lakukan.
Dunia pendidikan pun yang sejatinya menjadi tempat memumupuk dan
menyemai nilai-nilai kejujuran dan idealisme telah tercoreng akibat
praktek mencontek massal.

Secara pribadi saya menilai, zaman saat ini tak ubahnya seperti
zaman penjajahan, esensinya sama, ada eksploitasi manusia terhadap
manusia lain, adanya ketimpangan, keserakahan, penindasan. Pembedanya
adalah siapa yang menjajah dan dengan metode apa penjajah melakukan
aksinya. Tanpa disadari penjajah itu bernama koruptor yang berasal
dari tanah air yang sama. Ungkapan dijajah bangsa sendiri bukanlah
isapan jempol, ia nyata dan terasa. Koruptor dengan kejam telah
memakan secara ilegal kekayaan negara yang seharusnya dipergunakan
untuk kemaslahatan bersama. Koruptor telah menghianati cita-cita
pendirian republik yang menginginkan keadilan dan kesejahteraan untuk
semua warga. Bila kita semua sepakat bahwa negeri ini masih
terjajah, maka penting untuk kita membangun solidaritas baru,
semangat nasionalisme yang terbaharukan dengan mengadopsi persoalan
kekinian.

Perwujudan nasionalisme baru semata-mata untuk menemukan maskot
atau semacam .ommon platform untuk membentuk tata nilai kolektif
(.olle.tive value system) dan kesadaran kritis rakyat untuk mencintai
negerinya. Seperti yang dikatakan Jtto Bauer dalam bukunya Die
Nationalittenfrage, bahwa timbulnya nasionalisme dan perangai
kebangsaan didasarkan pada ada perasaan senasib
5
. Nah, mencermati
teori tadi, seharusnya kita bisa membangkitkan rasa nasionalisme yang
baru untuk melawan korupsi yang kita dudukan sebagai bentuk penjajahan
gaya baru.

Korupsi mestinya kita jadi salah satu beban dan rasa penderitaan
bersama bagi bangsa ini. Karena korupsilah bangsa ini tak mampu segera
bangkit dari keterpurukan krisis berkepanjangan hingga menyeret rakyat

3
hLLp//ldwlklsourceorg/wlkl/Lahlrnya_ancaslla
dinegeri ini menjadi korban. Untuk itulah dengan semangat nasionalisme
yang baru bersegera dan berkonsistenlah bersama memerangi dan membenci
perilaku korup agar kita dapat segera menjemput kegemilangan masa
depan bangsa. Kita tidak boleh membiarkan masalah korupsi hanya
sebagai bahan obrolan di televisi, kajian ilmiah para akademisi di
kampus-kampus atau bahkan sebagai bahan pembentukan citra penguasa
semata. Bila manusia Indonesia tidak mau seperti yang dikatakan
Mochtar Lubis sebagai manusia hipokrit (munafik), maka langkah melawan
korupsi yang dilandaskan nasionalisme baru harus benar-benar
dilakukan.

Untuk menggelorakan semangat ini, kita perlu pemimpin yang handal
dan bersungguh-sungguh untuk memimpin perlawanan terhadap korupsi.
Pemimpin yang otentik, apa adanya, tidak peduli bila citranya merosot,
dan berani mengambil keputusan dengan tegas. Penguatan kesadaran akan
nasionalisme saat ini membutuhkan keteladanan. Para penguasa harus
bisa menjadi contoh yang lebih mementingkan kepentingan bangsa
daripada kepentingan kelompok. Krisis yang terjadi belakangan ini
lebih dikarenakan elit lebih husyu untuk mencari keuntungan sebesar-
besarnya untuk pribadi dan golongan dibandingkan memikirkan negara
jangka panjang. Kita merindukan pemimpin yang otentik, kaya gagasan
dan mau bekerja keras untuk rakyatnya. Masalah lain yang muncul, elit
negara saat ini juga memiliki kualitas yang rendah karena sebagaian
besar diisi oleh politisi yang berfikir pragmatis. Mereka disibukan
oleh beragam transaksi, negosiasi dan deal jangka pendek. Sangat jauh
berbeda bila kita melihat integritas dan kehebatan para pendiri
bangsa, yang walaupun sering diliputi perbedaan namun tetap bekerja
pada koridor kebangsaan.

Semangat nasionalisme harus segera didengungkan, kita harus
mengguratkan garis tegas antara pengkhianat dengan pekerja keras.
Koruptor harus ditempatkan pada suasana kebencian, sama ketika seluruh
rakyat Indonesia pada zaman yang lampau membenci kolonial. Kita harus
kembali pada nilai-nilai luhur yang mengutamakan kejujuran dan
integritas dalam berkerja, tak ada lagi penghormatan kepada koruptor
sekalipun ia tokoh politik ataupun tokoh agama. Disinilah kita bisa
melihat seberapa besar takaran nasionalisme kita. Bila kita masih
menghormati koruptor dan memilihnya sebagai pemimpin, berarti kadar
kecintaan kita terhadap republik sangat rendah, karena sama artinya
membantu kebangkrutan negara. Namun kalau, kita bersatu dan berjuang
malawan korupsi dengan segala upaya, itu artinya takaran nasionalisme
kita tinggi, dan layak menyandang predikat nasionalis.

Sebagai langkah awal, mari membentuk diskursus baru, dengan
mempopulerkan istilah, koruptor adalah penjajah, koruptor tidak
nasionalis, koruptor adalah pembunuh. Agar logika kita tidak terbalik
lagi dalam memperlakukan koruptor. Tidak boleh ada sejengkal tanah pun
di negeri ini untuk tempat para koruptor bergerak.

Anda mungkin juga menyukai